DI SUSUN
( 1507.14201.383 )
MALANG
2019
BAB I
PENDAHULUAN
C. Tujuan Penelitian
a. Tujuan Umum
Mengetahui pengaruh senam bugar lanjut usia terhadap tekanan darah dan
kualitas hidup pada lansia penderita hipertensi Yayasan Pelayanan Kasih
Bethesdha Malang.
b. Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi Aktifitas Fisik di Yayasan Pelayanan Kasih Bethesdha Malang
2. Mengidentifikasi kualitas hidup di Yayasan Pelayanan Kasih Bethesdha Malang.
3. Mengidentifikasi senam aerobic lansia penderita Hipertensi di Yayasan Pelayanan
Kasih Bethesdha Malang.
D. Manfaat Penelitian
1. Teoritis
Untuk menambah wawasan tentang pengaruh senam bugar lanjut usia terhadap
tekanan darah dan kualitas hidup pada lanjut usia hipertensi di Yayasan
Pelayanan Kasih Bethesdha Malang.
2. Praktis
a. STIKES Widyagama Husada Malang
Hasil penelitian ini dapat memberikan data bagi mahasiswa atau peneliti
selanjutnya yang ingin melakukan penelitian terkait aktifitas fisik dengan kualitas
hidup lansia penderita Hipertensi di Yayasan Pelayanan Kasih Bethesdha
Malang.
b. Yayasan Pelayanan Kasih Bethesdha Malang.
Dapat dijadikan acuan bagi perawat praktisi di Yayasan Pelayanan Kasih
Bethesdha Malang. dalam melakukan intervensi aktifitas fisik dengan kualitas
hidup pada lansia penderita Hipertensi karena setiap perawat hendaknya
memberikan asuhan keperawatan secara komprehensif meliputi bio, psiko,
sosial, dan spiritual pasiennya.
d. Peneliti
Dapat memberikan pemahaman tentang aktifitas dengan kualitas hidup dalam
memprediksi mortality yang tepat berupa kemampuan di Yayasan Pelayanan
Kasih Bethesdha Malang.
2. Bagi Pembaca
a. Profesi Fisioterapi,sebagai bahan masukan untuk mengoptimalkan pelayanan
fisioterapi khususnya di bidang fisioterapi kardiovaskuler dan fisioterapi geriatri.
b. Masyarakat
Diharapkan bagi masyarakta agar dapat menerapkan dan memahami sumber-
sumber makanan yang dapat menurunkan tekanan darah dan manfaat
melakukan aktifitas fisik, se sebagai tambahan pengetahuan dan edukasi
tentang senam bugar lanjut usia terhadap tekanan darah dan kualitas hidup
pada lanjut usia hipertensi.
BAB ll
TINJAUAN PUSTAKA
3. Patofisiologi
Baik TDS maupun TDD meningkat sesuai dengan meningkatnya umur.
TDS meningkat secara progresif sampai umur 70-80 tahun, sedangkan TDD
meningkat samapi umur 50-60 tahun dan kemudian cenderung menetap atau
sedikit menurun. Kombinasi perubahan ini sangat mungkin mencerminkan
adanya pengakuan pembuluh darah`dan penurunan kelenturan arteri dan ini
mengakibatkan peningkatan tekanan nadi sesuai dengan umur. Scperti
diketahui, takanan nadi merupakan predictok terbaik dari adanya perubahan
struktural di dalam arteri. Mekanisme pasti hipertensi pada lanjut usia belum
sepenuhnya jelas. Efek utama dari ketuaan normal terhadap sistem
kardiovaskuler meliputi perubahan aorta dan pembuluh darah sistemik.
Penebalan dinding aorta dan pembuluhn darah besar meningkat dan elastisitas
pembuluh darah menurun sesuai umur. Perubahan ini menyebabkan penurunan
kelenturan aorta dan pembuluh darah besar dan mengakibatkan pcningkatan
TDS. Penurunan elastisitas pembuluh darah menyebabkan peningkatan
resistensi vaskuler perifer. Sensitivitas baroreseptor juga berubah dengan umur.
(Kuswardhani,2006)
Perubahan mekanisme refleks baroreseptor mungkin dapat
menerangkan adanya variabilitas tekanan darah yang terlihat pada pemantauan
terus menerus. Penurunan sensitivitas baroreseptor juga menyebabkan
kegagalan refleks postural, yang mengakibatkan hipertensi pada lanjut usia
sering terjadi hipotensi ortostatik. Perubahan keseimbangan antara vasodilatasi
adrenergik beta dan vasokonstriksi adrenergik alfa akan menyebabkan
kecenderungan vasokontriksi dan selanjutnya mengakibatkan pcningkatan
resistensi pembuluh darah perifer dan tekanan darah. Resistensi Natrium akibat
peningkatan asupan dan penurunan sekresi juga berperan dalam terjadinya
hipertensi. Walaupun ditemukan penurunan renin plasma dan respons renin
terhadap asupan garam, sistem renin-angiotensin tidak mempunyai peranan
utama pada hipertensi pada lanjut usia Berbagai perubahan di atas bertanggung
jawab terhadap penurunan curah jantung (cardiac output), penurunan denyut
jantung, penurunan kontraktilitas miokard, hipertrofi ventrikcl kiri, dan disfungsi
diastolik. Ini menyebabkan penurunan fungsi ginjal dengan penurunan perfusi
ginjal dan laju filtrasi glomerulus. (Kuswardhani,2006)
B. KLASIFIKASI HIPERTENSI
Tabel 2.1. Definisi dan Klasifikasi Tingkat Tekanan Darah (mmHg). Menurut WHO Tahun 1999.
Sumber: (Dalimartha,dkk,2008)
Jika tekanan darah sistolik dan diastolik berbeda kategori, dipakai kategori yang lebih tinggi.
1. Latihan Aerobik
Lansia direkomendasikan melakukan aktivitas fisik setidaknya selama 30 menit
pada intensitas sedang hampir setiap hari dalam seminggu. Berpartisipasi dalam
aktivitas seperti berjalan, berkebun, melakukan pekerjaan rumah, dan naik turun
tangga dapat mencapai tujuan yang diinginkan. Lansia dengan usia lebih dari
65 tahun disarankan melakukan olahraga yang tidak terlalu membebani tulang,
seperti berjalan, latihan dalam air, bersepeda statis, dan dilakukan dengan cara
yang menyenangkan. Bagi Lansia yang tidak terlatih harus mulai dengan
intensitas rendah dan peningkatan dilakukan secara individual berdasarkan
toleransi terhadap latihan fisik. Olahraga yang bersifat aerobik adalah olahraga
yang membuat jantung dan paru bekerja lebih keras untuk memenuhi
meningkatnya kebutuhan oksigen, misalnya berjalan, berenang, bersepeda, dan
lain-lain. Latihan fisik dilakukan sekurangnya 30 menit dengan intensitas
sedang, 5 hari dalam seminggu atau 20 menit dengan intensitas tinggi, 3 hari
dalam seminggu, atau kombinasi 20 menit intensitas tinggi 2 hari dalam
seminggu dan 30 menit dengan intensitas sedang 2 hari dalam seminggu.
2. Latihan Penguatan Otot
Bagi Lansia disarankan untuk menambah latihan penguatan otot disamping
latihan aerobik. Kebugaran otot memungkinkan melakukan kegiatan sehari-hari
secara mandiri. Latihan fisik untuk penguatan otot adalah aktivitas yang
memperkuat dan menyokong otot dan jaringan ikat. Latihan dirancang supaya
otot mampu membentuk kekuatan untuk mengerakkan atau menahan beban,
misalnya aktivitas yang melawan gravitasi seperti gerakan berdiri dari kursi,
ditahan beberapa detik, berulang-ulang atau aktivitas dengan tahanan tertentu
misalnya latihan dengan tali elastik. Latihan penguatan otot dilakukan
setidaknya 2 hari dalam seminggu dengan istirahat diantara sesi untuk masing-
masing kelompok otot. Intensitas untuk membentuk kekuatan otot menggunakan
tahanan atau beban dengan 10-12 repetisi untuk masing-masing latihan.
Intensitas latihan meningkat seiring dengan meningkatnya kemampuan individu.
Jumlah repetisi harus ditingkatkan sebelum beban ditambah. Waktu yang
dibutuhkan adalah satu set latihan dengan 10-15 repetisi.
3. Latihan Fleksibilitas dan Keseimbangan
Kisaran sendi (ROM) yang memadai pada semua bagian tubuh sangat penting
untuk mempertahankan fungsi muskuloskeletal, keseimbangan dan kelincahan
pada Lansia. Latihan fleksibilitas dirancang dengan melbatkan setiap sendi-
sendi utama (panggul, punggung, bahu, lutut, dan leher). Latihan fleksibilitas
adalah aktivitas untuk membantu mempertahankan kisaran gerak sendi (ROM),
yang diperlukan untuk melakukan aktivitas fisik dan tugas sehari-hari secara
teratur. Latihan fleksibilitas disarankan dilakukan pada hari- hari dilakukannya
latihan aerobik dan penguatan otot atau 2-3 hari per minggu. Latihan dengan
melibatkan peregangan otot dan sendi. Intensitas latihan dilakukan dengan
memperhatikan rasa tidak nyaman atau nyeri. Peregangan dilakukan 3-4 kali,
untuk masing-masing tarikan dipertahankan 10-30 detik. Peregangan dilakukan
terutama pada kelompok otot-otot besar, dimulai dari otot-otot kecil.
Contoh: latihan Yoga. Latihan keseimbangan dilakukan untuk membantu
mencegah Lansia jatuh. Latihan keseimbangan dilkakukan setidaknya 3 hari
dalam seminggu. Sebagian besar aktivitas dilakukan pada intensitas rendah.
Kegiatan berjalan, Tai Chi, dan latihan penguatan otot memperlihatkan
perbaikan keseimbangan pada Lansia. Program latihan untuk Lansia meliputi
latihan daya tahan jantung paru (aerobik), kekuatan (strenght), fleksibilitas, dan
keseimbangan dengan cara progresif dan menyenangkan. Latihan melibatkan
kelompok otot utama dengan gerakan seoptimal mungkin pada ROM yang
bebas dari nyeri. Pembebanan pada tulang, perbaikan postur, melatih gerakan-
gerakan fungsional akan meningkatkan kekuatan, fleksibilitas, dan
keseimbangan.
Olahraga dilakukan dengan cara menyenangkan disertai berbagai
modifikasi, termasuk mengkombinasikan beberapa aktivitas sekaligus.
Kombinasi berjalan yang bersifat rekreasi dan senam di air dengan intensitas
yang menantang namun tetap nyaman dilakukan, kombinasi latihan spesifik
untuk memperbaiki kekuatan dan fleksibilitas (latihan beban, circuit training,
latihan dengan musik, menari) bisa dilakukan. Kombinasi latihan kekuatan,
keseimbangan dan fleksibilitas bisa dilakukan dengan menggunakan alat bola.
Latihan difokuskan pada teknik yang menstabilkan dan meningkatkan kekuatan,
keseimbangan dan fleksibilitas, selain itu juga mengintegrasikan tubuh dan
pikiran serta melibatkan teknik pernafasan, konsentrasi dan kontrol gerakan.
Bagi Lansia yang lemah secara fisik, aktivitas yang dilakukan dikaitkan
dengan kegiatan sehari-hari dan mempertahankan kemandirian, misalnya teknik
mengangkat beban yang benar, berjalan, cara menjaga postur yang benar, dan
sebagainya. Olahraga dan Penyakit pada Lansia Olahraga pada Lansia
dilakukan dengan mempertimbangkan keamanan, masalah kesehatan, perlunya
modifikasi latihan, dan mempertimbangkan kelemahan yang mungkin ada.
Screening diperlukan sebelum program latihan dimulai. Sangat penting untuk
menanyakan apakah pasien aman untuk berlatih, dipikirkan pula apakah pasien
lebih baik apabila tidak aktif berlatih (sedentary). Screening meliputi semua
sistem utama tubuh, termasuk status kognitif, auskultasi arteri karotis, inspeksi
hernia, penilaian keseimbangan dan kemampuan mobilitas.
Program latihan fisik bagi Lansia disusun dengan berbagai pertimbangan
terkait dengan kondisi fisik Lansia. Sebelum olahraga dianjurkan berkonsultasi
dengan dokter. Olahraga dilaksanakan secara bertahap, misalnya dimulai
dengan intensitas rendah (40-50% denyut nadi istirahat) selama 10-20 menit,
kemudian ditingkatkan sesuai dengan kemampuan adaptasi latihan tiap
individu. Durasi latihan ditingkatkan secara bertahap. Lebih diajurkan untuk
menambah durasi daripada meningkatkan intensitas. Lingkungan dan fasilitas
olahraga harus diperhatikan terkait dengan faktor keamanan. Modifikasi
olahraga kadang diperlukan, misalnya Lansia dengan penglihatan berkurang
dianjurkan bersepeda statis daripada bersepeda di jalan. Program yang disusun
juga harus memperhatikan masalah ortopedik yang mungkin ada, dianjurkan
untuk menambah waktu pemanasan dan pendinginan, serta dipilih aktivitas yang
tidak membutuhkan koordinasi tingkat tinggi.
Selama latihan tidak boleh dilupakan minum untuk mengganti cairan yang
hilang selama olahraga. Jenis olahraga disarankan mempunyai aspek sosial
sehingga sekaligus bisa berdampak pada emosi Lansia (Erin, 2008).
a. Osteoartritis
Riset menunjukkan bahwa olahraga teratur menjadi salah satu hal penting untuk
mencegah osteoporosis, termasuk patah tulang karena osteoporosis dan jatuh.
Olahraga dapat meningkatkan massa tulang, kepadatan, dan kekuatan pada
Lansia. Olahraga juga melindungi melawan patah tulang panggul (Megan,
2008). Olahraga direkomendasikan bagi Lansia dengan osteoartritis untuk
memperkuat otot dan mobilitas sendi, memperbaiki kapasitas fungsional,
menghilangkan nyeri dan kekakuan, dan mencegah deformitas lebih lanjut.
Program latihan disusun berdasarkan status individual. Olahraga sebaiknya
yang tidak membebani tubuh, misalnya bersepeda dan latihan di dalam air.
Latihan aerobik meliputi aktivitas yang membuat seseorang menahan beban
tubuhnya sendiri (weight bearing), misalnya berjalan atau aktivitas yang tidak
secara langsung tubuh menahan berat badannya sendiri (nonweight bearing),
misalnya bersepeda, berenang. Latihan penguatan otot dilakukan dengan nyeri
sebagai acuan. Latihan fleksibilitas dilakukan dengan melibatkan sendi yang
terkena artritis, namun dengan batasan ROM yang bebas nyeri. Kontra indikasi
pada artritis yaitu latihan berat, berulang-ulang pada sendi yang tidak stabil,
serta melatih sendi saat tanda- tanda radang masih aktif.
b. Penyakit Kardiovaskular
Latihan pada penderita penyakit kardiovaskular difokuskan pada latihan aerobik
30-60 menit per hari untuk menurunkan tekanan darah. Latihan penguatan otot
dilakukan dengan tahanan lebih rendah, repetisi lebih banyak dan menghindari
terjadinya manuver valsava. Suatu metaanalisis menunjukkan bahwa latihan
aerobik intensitas sedang dapat menurunkan tekanan sistolik 11 poin dan
diastolik rata-rata 8 poin.
c. Obesitas
Latihan aerobik dilakukan 45-60 menit untuk meningkatkan pengeluaran energi.
Intensitas dan durasi di bawah yang direkomendasikan untuk menghindari
cedera tulang. Risiko hipertermia meningkat sehingga hidrasi perlu diperhatikan.
1. Diuretik tiazid
Diuretik tiazid adalah diuretik dengan potensi menengah yang menurunkan
tekanan darah dengan cara menghambat reabsorpsi sodium pada daerah
awal tubulus distal ginjal, meningkatkan ekskresi sodium dan volume urin.
Tiazid juga mempunyai efek vasodilatasi langsung pada arteriol, sehingga
dapat mempertahankan efek antihipertensi lebih lama. Tiazid diabsorpsi baik
pada pemberian oral, terdistribusi luas dan dimetabolisme di hati. Efek
diuretik tiazid terjadi dalam waktu 1‐2 jam setelah pemberian dan bertahan
sampai 12‐24 jam, sehingga obat ini cukup diberikan sekali sehari. Efek
antihipertensi terjadi pada dosis rendah dan peningkatan dosis tidak
memberikan manfaat pada tekanan darah, walaupun diuresis meningkat pada
dosis tinggi. Efek tiazid pada tubulus ginjal tergantung pada tingkat
ekskresinya, oleh karena itu tiazid kurang bermanfaat untuk pasien dengan
gangguan fungsi ginjal.
Efek samping
Peningkatan eksresi urin oleh diuretik tiazid dapat mengakibatkan
hipokalemia, hiponatriemi, dan hipomagnesiemi. Hiperkalsemia dapat terjadi
karena penurunan ekskresi kalsium. Interferensi dengan ekskresi asam urat
dapat mengakibatkan hiperurisemia, sehingga penggunaan tiazid pada
pasien gout harus hati‐hati. Diuretik tiazid juga dapat mengganggu toleransi
glukosa (resisten terhadap insulin) yang mengakibatkan peningkatan resiko
diabetes mellitus tipe 2. Efek samping yang umum lainnya adalah
hiperlipidemia, menyebabkan peningkatan LDL dan trigliserida dan
penurunan HDL. 25% pria yang mendapat diuretic tiazid mengalami
impotensi, tetapi efek ini akan hilang jika pemberian tiazid dihentikan.
2. Beta-blocker
Beta blocker memblok beta‐adrenoseptor. Reseptor ini diklasifikasikan
menjadi reseptor beta‐1 dan beta‐2. Reseptor beta‐1 terutama terdapat pada
jantung sedangkan reseptor beta‐2 banyak ditemukan di paru‐paru, pembuluh
darah perifer, dan otot lurik. Reseptor beta‐2 juga dapat ditemukan di jantung,
sedangkan reseptor beta‐1 juga dapat dijumpai pada ginjal. Reseptor beta
juga dapat ditemukan di otak. Stimulasi reseptor beta pada otak dan perifer
akan memacu penglepasan neurotransmitter yang meningkatkan aktivitas
system saraf simpatis. Stimulasi reseptor beta‐1 pada nodus sino‐atrial dan
miokardiak meningkatkan heart rate dan kekuatan kontraksi. Stimulasi
reseptor beta pada ginjal akan menyebabkan penglepasan rennin,
meningkatkan aktivitas system renninangiotensin‐ aldosteron. Efek akhirnya
adalah peningkatan cardiac output, peningkatan tahanan perifer dan
peningkatan sodium yang diperantarai aldosteron dan retensi air. Terapi
menggunakan beta‐blocker akan mengantagonis semua efek tersebut
sehingga terjadi penurunan tekanan darah. Beta‐blocker yang selektif (dikenal
juga sebagai cardioselective beta‐blockers), misalnya bisoprolol, bekerja pada
reseptor beta‐1, tetapi tidak spesifik untuk reseptor beta‐1 saja oleh karena itu
penggunaannya pada pasien dengan riwayat asma dan bronkhospasma
harus hati‐hati. Beta‐blocker yang nonselektif (misalnya propanolol) memblok
reseptor beta‐1 dan beta‐2. Beta‐blocker yang mempunyai aktivitas agonis
parsial (dikenal sebagai aktivitas simpatomimetik intrinsik), misalnya
acebutolol, bekerja sebagai stimulan‐beta pada saat aktivitas adrenergik
minimal (misalnya saat tidur) tetapi akan memblok aktivitas beta pada saat
aktivitas adrenergik meningkat (misalnya saat berolahraga). Hal ini
menguntungkan karena mengurangi bradikardi pada siang hari. Beberapa
betablocker, misalnya labetolol, dan carvedilol, juga memblok efek
adrenoseptor‐alfa perifer. Obat lain, misalnya celiprolol, mempunyai efek
agonis beta‐2 atau vasodilator. Beta‐blocker diekskresikan lewat hati atau
ginjal tergantung sifat kelarutan obat dalam air atau lipid. Obatobat yang
diekskresikan melalui hati biasanya harus diberikan beberapa kali dalam
sehari sedangkan yang diekskresikan melalui ginjal biasanya mempunyai
waktu paruh yang lebih lama sehingga dapat diberikan sekali dalam sehari.
Beta‐blocker tidak boleh dihentikan mendadak melainkan harus secara
bertahap, terutama pada pasien dengan angina, karena dapat terjadi
fenomena rebound.
Efek samping
Blokade reseptor beta‐2 pada bronkhi dapat mengakibatkan bronkhospasme,
bahkan jika digunakan beta‐blocker kardioselektif. Efek samping lain adalah
bradikardia, gangguan kontraktil miokard, dan tanga‐kaki terasa dingin karena
vasokonstriksi akibat blokade reseptor beta‐2 pada otot polos pembuluh
darah perifer. Kesadaran terhadap gejala hipoglikemia pada beberapa pasien
diabetes melitus tipe 1 dapat berkurang. Hal ini karena beta‐blocker memblok
sistem saraf simpatis yang bertanggung jawab untuk “memberi peringatan“
jika terjadi hipoglikemia. Berkurangnya aliran darah simpatetik juga
menyebabkan rasa malas pada pasien. Mimpi buruk kadang dialami,
terutama pada penggunaan beta‐blocker yang larut lipid seperti propanolol.
Impotensi juga dapat terjadi. Beta‐blockers non‐selektif juga menyebabkan
peningkatan kadar trigilserida serum dan penurunan HDL.
3. ACE inhibitor
Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEi) menghambat secara
kompetitif pembentukan angiotensin II dari prekursor angiotensin I yang
inaktif, yang terdapat pada darah, pembuluh darah, ginjal, jantung, kelenjar
adrenal dan otak. Angitensin II merupakan vaso‐konstriktor kuat yang
memacu penglepasan aldosteron dan aktivitas simpatis sentral dan perifer.
Penghambatan pembentukan angiotensin iI ini akan menurunkan tekanan
darah. Jika sistem angiotensin‐renin‐aldosteron teraktivasi (misalnya pada
keadaan penurunan sodium, atau pada terapi diuretik) efek antihipertensi
ACEi akan lebih besar. ACE juga bertanggungjawab terhadap degradasi
kinin, termasuk bradikinin, yang mempunyai efek vasodilatasi. Penghambatan
degradasi ini akan menghasilkan efek antihipertensi yang lebih kuat.
Beberapa perbedaan pada parameter farmakokinetik obat ACEi. Captopril
cepat diabsorpsi tetapi mempunyai durasi kerja yang pendek, sehingga
bermanfaat untuk menentukan apakah seorang pasien akan berespon baik
pada pemberian ACEi. Dosis pertama ACEi harus diberikan pada malam hari
karena penurunan tekanan darah mendadak mungkin terjadi; efek ini akan
meningkat jika pasien mempunyai kadar sodium rendah.
4. Antagonis Reseptor Angiotensin II
Reseptor angiotensin II ditemukan pada pembuluh darah dan target lainnya.
Disubklasifikasikan menjadi reseptor AT1 dan AT2. Reseptor AT1
memperantarai respon farmakologis angiotensin II, seperti vasokonstriksi dan
penglepasan aldosteron. Dan oleh karenanya menjadi target untuk terapi
obat. Fungsi reseptor AT2 masih belum begitu jelas. Banyak jaringan mampu
mengkonversi angiotensin I menjadi angiotensin II tanpa melalui ACE. Oleh
karena itu memblok sistem renin‐angitensin melalui jalur antagonis reseptor
AT1 dengan pemberian antagonis reseptor angiotensin II mungkin
bermanfaat. Antagonis reseptor angiotensin II (AIIRA)mempunyai banyak
kemiripan dengan ACEi, tetapi AIIRA tidak mendegradasi kinin. Karena
efeknya pada ginjal, ACEi dan AIIRA dikontraindikasikan pada stenosis arteri
ginjal bilateral dan pada stenosis arteri yang berat yang mensuplai ginjal yang
hanya berfungsi satu.
Efek samping ACEi dan AIIRA
Sebelum mulai memberikan terapi dengan ACEi atau AIIRA fungsi ginjal dan
kadar elektrolit pasien harus dicek. Monitoring ini harus terus dilakukan
selama terapi karena kedua golongan obat ini dapat mengganggu fungsi
ginjal. Baik ACEi dan AIIRA dapat menyebabkan hiperkalemia karena
menurun‐kan produksi aldosteron, sehingga suplementasi kalium dan
penggunaan diuretik hemat kalium harus dihindari jika pasien mendapat
terapiACEI atau AIIRA. Perbedaan antara ACEi dan AIIRA adalah batuk
kering yang merupakan efek samping yang dijumpai pada 15% pasien yang
mendapat terapi ACEi. AIIRA tidak menyebabkan batuk karena tidak
mendegaradasi bradikinin.
5. Calcium channel blocker
Calcium channel blockers (CCB) menurunkan influks ion kalsium ke dalam sel
miokard, sel‐sel dalam sistem konduksi jantung, dan sel‐sel otot polos
pembuluh darah. Efek ini akan menurunkan kontraktilitas jantung, menekan
pembentukan dan propagasi impuls elektrik dalam jantung dan memacu
aktivitas vasodilatasi, interferensi dengan konstriksi otot polos pembuluh
darah. Semua hal di atas adalah proses yang bergantung pada ion kalsium.
Terdapat tiga kelas CCB: dihidropiridin (misalnya nifedipin dan amlodipin);
fenilalkalamin (verapamil) dan benzotiazipin (diltiazem). Dihidropiridin
mempunyai sifat vasodilator perifer yang merupakan kerja antihipertensinya,
sedangkan verapamil dan diltiazem mempunyai efek kardiak dan digunakan
untuk menurunkan heart rate dan mencegah angina. Semua CCB
dimetabolisme di hati.
Efek samping
Kemerahan pada wajah, pusing dan pembengkakan pergelangan kaki sering
dijumpai, karena efek vasodilatasi CCB dihidropiridin. Nyeri abdomendan
mual juga sering terjadi. Saluran cerna juga sering terpengaruh oleh influks
ion kalsium, oleh karena itu CCB sering mengakibatkan gangguan
gastrointestinal, termasuk konstipasi.
6. Alpha-blocker
Alpha‐blocker (penghambat adrenoseptor alfa‐1) memblok adrenoseptor alfa‐
1 perifer, mengakibatkan efek vasodilatasi karena merelaksaasi otot polos
pembuluh darah. Diindikasikan untuk hipertensi yang resisten.
Efek samping
Alpha‐blocker dapat menyebabkan hipotensi postural, yang sering terjadi
pada pemberian dosis pertama kali. Alpha‐blocker bermanfaat untuk pasien
laki‐laki lanjut usia karena memperbaiki gejala pembesaran prostat.
7. Golongan lain
Antihipertensi vasodilator (misalnya hidralazin, minoksidil) menurunkan
tekanan darah dengan cara merelaksasi otot polos pembuluh darah.
Antihipertensi kerja sentral (misalnya klonidin, metildopa, monoksidin) bekerja
pada adrenoseptor alpha‐2 atau reseptor lain pada batang otak, menurunkan
aliran simpatetik ke jantung, pembuluh darah dan ginjal, sehingga efek
ahirnya menurunkan tekanan darah.
Efek samping
Antihipertensi vasodilator dapat menyebabkan retensi cairan. Tes fungsi hati
harus dipantau selama terapi dengan hidralazin karena ekskresinya melalui
hati. Hidralazin juga diasosiakan dengan sistemiklupus eritematosus.
Minoksidil diasosiasikan dengan hipertrikosis (hirsutism) sehingga kurang
sesuai untuk pasien wanita. Obat‐obat kerja sentral tidak spesifik atau tidak
cukup selektif untuk menghindari efek samping sistem saraf pusat seperti
sedasi, mulut kering dan mengantuk, yang sering terjadi. Metildopa
mempunyai mekanisme kerja yang mirip dengan konidin tetapi dapat
memnyebabkan efek samping pada sistem imun, termasuk pireksia, hepatitis
dan anemia hemolitik.
Menerapkan gaya hidup sehat bagi setiap orang sangat penting untuk
mencegah tekanan darah tinggi dan merupakan bagian yang penting dalam
penanganan hipertensi. Semua pasien dengan prehipertensi dan hipertensi
harus melakukan perubahan gaya hidup. Disamping menurunkan tekanan
darah pada pasien pasien dengan hipertensi, modifikasi gaya hidup juga
dapat mengurangi berlanjutnya tekanan darah ke hipertensi pada pasien-
pasien dengan tekanan darah prehipertensi. (He J, et.al., 2008). Modifikasi
gaya hidup yang penting yang terlihat dapat menurunkan tekanan darah
adalah mengurangi berat badan untuk individu yang obesitas ; mengadopsi
pola makan DASH (Dietary Approach to Stop Hypertension) yang kaya akan
kalium dan kalsium; diet rendah natrium; aktifitas fisik; dan tidak banyak
mengkonsumsi alkohol. Pada sejumlah pasien dengan pengontrolan tekanan
darah cukup baik dengan terapi satu obat antihipertensi; mengurangi garam
dan berat badan dapat membebaskan pasien dari menggunakan obat.
(Hyman DJ et.al., 2009).
2. Pembatasan Garam dalam Makanan
Pada beberapa orang dengan penyakit hipertensi, ada yang peka terhadap
garam (saltsensitive) dan terdapat pula yang resisten terhadap garam.
Penderita hipertensi yang peka terhadap garam cenderung akan menahan
natrium, berat badan bertambah, dan menimbulkan hipertensi pada diet yang
tinggi garam. Sebaliknya, untuk penderita yang resisten terhadap garam
cenderung tidak terdapat perubahan dalam berat badannya atau tekanan
darah pada diet garam rendah atau tinggi. Reaksi terhadap garam ini
menjelaskan mengapa beberapa orang yang mempunyai penurunan tekanan
darah yang tidak sesuai dengan pembatasan garam dalam makanan, sedang
pada orang lain tekanan darah tetap tidak berubah. (Suwarso, 2010).
Dari hasil penelitian, diketahui bahwa diet yang mengandung 1600-
2300 mg natrium/hari dapat menurunkan tekanan darah sistolik sebesar 9-15
mmHg dan tekanan diastolik sebesar 7-16 mmHg. Pembatasan garam sekitar
2000 mg natrium/hari dianjurkan untuk pengelolaan diet pada kebanyakan
penderita hipertensi. (Suwarso, 2010).
Pembatasan konsumsi garam sangat dianjurkan, maksimal 2 gr garam
dapur perhari dan menghindari makanan yang kandungan garamnya tinggi.
Misalnya telur asin, ikan asin, terasi, minuman dan makanan yang
mengandung ikatan natrium.Tujuan diet rendah garam adalah untuk
membantu menghilangkan retensi (penahan) air dalam jaringan tubuh
sehingga dapat menurunkan tekanan darah. Walaupun rendah garam, yang
penting diperhatikan dalam melakukan diet ini adalah komposisi makanan
harus tetap mengandung cukup zat-zat gizi, baik kalori, protein, mineral,
maupun vitamin yang seimbang. (Unimus)
BAB III
A. KERANGKA KONSEP
Penyakit Jantung
Faktor- faktor yang mempengaruhi Dispnea Paroksimal Nokturnal
perubahan kualitas tidur :
1. Status kesehatan
2. Lingkungan Irama sirkadian berubah sehingga
3. Stress psikologis
latensi tidur meningkat dan mudah
4. Diet
5. Gaya hidup terbangun pada malam hari
6. Obat-obatan
7. Aktivitas fisik
Perubahan kualitas tidur dan
pola istirahat
7. Aktivitas fisik
Metabolisme tubuh
Kualitas tidur baik
Sirkulasi darah
Relaksasi
berkurang
Keterangan :
: Diteliti
: Tidak diteliti
Penderita penyakit jantung akan mengalami gangguan tidur yaitu dipsnea paroksimal
nokturnal yang menyebabkan terjadinya perubahan irama sirkadian sehingga
berdampak pada latensi tidur yang meningkat dan mudah terbangun pada malam
hari, sehingga menyebabkan perubahan kualitas tidur dan pola istirahat, serta
mengganggu kualitas tidur penderita penyakit jantung. Faktor-faktor yang
mempengaruhi tidur pada penderita penyakit jantung diantaranya, status kesehatan,
lingkungan, stress psikologis, diet, gaya hidup, obatobatan dan akivitas fisik yang
dapat memicu terjadinya gangguan tidur pada penderita penyakit jantung.
B. Hipotesis Penelitian
Hipotesis adalah jawaban sementara dari rumusan masalah penelitian yang masih
perlu diuji kebenarannya melalui uji hipotesis atau uji statistik (Swarjana, 2016).
Berdasarkan konsep diatas maka dalam penelitian ini akan dikembangkan hipotesis
sebagai berikut:
H1: Ada hubungan antara aktivitas fisik dengan kualitas tidur penderita penyakit
jantung. Ada pengaruh antara aktivitas fisik dengan kejadian hipertensi para lanjut
usia di Yayasan Pelayanan Kasih Bethesdha Malang.
BAB IV
METODE PENELITIAN
A. Metode Penelitian
Desain penelitian menggunakan pendekatan cross sectional dan jenis penelitian
adalah analitik observasional karena bertujuan menganalisis hubungan dua
variabel yang diteliti tanpa memberi perlakuan (eksperimen) pada sampel
(Sastroasmoro,2011).
2. Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan dari tanggal 18 Januari sampai tanggal 23 Januari 2019.
Minggu
No Kegiatan I II
1. Pengumpulan Data Yayasan
C. 2. Perumusan masalah Populasi
dan 3. Penyusunan proposal Sample
4. Penyusunan kuesioner
1. Populasi
5. Konsultasi
Populasi
6. Pembagian kuesioner
7. Pengelolaan data dalam
8. Penarikan kesimpulan penelitian ini
adalah peserta posyandu lansia bulan Januari 2019 di Yayasan Pelayanan Kasih
Bethesdha Malang. sebanyak 51 Lansia.
F. Pengolahan Data
Pengolahan data bertujuan mengubah data mentah dari hasil pengukuran menjadi
data yang lebih halus sehingga memberikan arah untuk pengkajian lebih lanjut
(Sudjana, 2001). kegiatan pengolahan data meliputi :
1. Editing Data
Editing data adalah (Arikunto, 2006) proses meneliti hasil survai untuk meneliti
apakah ada response yang tidak lengkap, tidak komplet atau membingungkan;
meneliti kembali data yang terkumpul dari penyebaran kuesioner. Langkah
tersebut dilakukan untuk mengetahui apakah data yang terkumpul sudah cukup
baik. Pemeriksaan data atau editing dilakukan terhadap jawaban yang telah ada
dalam kuesioner dengan memperhatikan halhal meliputi: kelengkapan pengisian
jawaban, kejelasan tulisan, kejelasan makna jawaban, serta kesesuaian antar
jawaban.
2. Scoring Data
Scoring adalah memberikan penilaian terhadap item pertanyaan pada kuesioner
yang diberikan kepada responden. Aktivitas Fisik terdiri dari 6 item Pertanyaan:
1. Apakah menurut anda olahraga itu penting?
Jawab:
a.Ya
b.Tidak
Untuk jawaban Ya diberi skor 1, dan jawaban Tidak diberi skor 0
2. Apakah anda berolahraga?
Jawab:
a.Ya
b.Tidak
Untuk jawaban Ya diberi skor 1, dan jawaban Tidak diberi skor 0
3. Jika ya, berapa kali anda berolahraga dalam seminggu?
Jawab:
a. Setiap hari diberi skor 2
b. lebih dari 2x seminggu diberi skor 1
c. kurang dari 2x seminggu dibei skor 0
4. Jika ya, berapa lama lama anda berolahraga?
a. > 30 menit diberi skor 1
b. < 30 menit diberi skor 0
5. Apakah anda sering melakukan aktivitas fisik lain di usia anda saat ini?
Jawab:
a.Ya
b.Tidak
Untuk jawaban Ya diberi skor 1, dan jawaban Tidak diberi skor 0
6. Aktivitas fisik apa yang sering anda lakukan?
Jawab:
(pertanyaan terbuka), berdasarkan hasil kuisioner jawaban terbanyak
adalah:
1. Bersepeda diberi skor 1
2. Bertani diberi skor 1
3. Jalan-jalan diberi skor 1
4. Lain-lain skor 0
Dari 6 item didapat Skor total 0 s/d 7
Kesimpulan
Bila skor total = 3 ≤ dikategorika sebagai ‘TIDAK, dan
= > 3 dikategorikan sebagai “ADA”’
3. Tabulasi Data
Tabulasi merupakan pengorganisasian data sedemikian rupa agar dengan
mudah dijumlah, disusun, dan ditata untuk disajikan dan dianalisis. Penelitian ini
menggunalan tabulasi data metode Tally. Langkah-langkahnya adalah sebagai
berikut:
1. Membuat tabel yang memuat variabel dan ruang untuk membuat coretan
dan jumlah.
2. variabel yang diinginkan.
3. coretan sesuai dengan variabel tersebut.
4. semua coretan sesuai dengan variabelnya dijumlah.
G. Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan perhitungan manual menggunakan rumus rasio
prevalensi :
a
Rp −1 : ∑ −a /(a+b)
h
Keterangan :
Jika Rasio Prevalensi (RP ) = 1, maka faktor risiko tidak berpengaruh
atas timbulnya efek atau dikatakan bersifat netral. Jika Rasio Prevalensi
(RP ) > 1, maka faktor resiko merupakan penyebab timbulnya penyakit. Jika
Rasio Prevalensi (RP) < 1, maka faktor resiko bukan menjadi penyebab
toimbulnya penyakit bahkan merupakan faktor protektif.