Anda di halaman 1dari 43

PROPOSAL

HUBUNGAN ANTARA AKTIVITAS FISIK DENGAN KUALITAS HIDUP PADA


LANSIA PENDERITA HIPERTENSI DI YAYASAN PELAYANAN KASIH
BETHESDHA MALANG.

DI SUSUN

ALOYSIUS OKTAVIANUS KUSUMA

( 1507.14201.383 )

PROGRAM STUDI ILMU S1 KEPERAWATAN

STIKES WIDYAGAMA HUSADA

MALANG

2019
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hipertensi atau tekanan darah tinggi merupakan masalah yang ditemukan


pada masyarakat baik di negara maju maupun berkembang termasuk Indonesia.
Hipertensi merupakan suatu keadaan meningkatnya tekanan darah sistolik lebih dari
sama dengan 140 mmHg dan diastolik lebih dari sama dengan 90 mmHg. Hipertensi
dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis yaitu hipertensi primer atau esensial yang
penyebabnya tidak diketahui dan hipertensi sekunder yang dapat disebabkan oleh
penyakit ginjal, penyakit endokrin, penyakit jantung, dan gangguan anak ginjal.
Hipertensi seringkali tidak menimbulkan gejala, sementara tekanan darah yang terus-
menerus tinggi dalam jangka waktu lama dapat menimbulkan komplikasi. Oleh karena
itu, hipertensi perlu dideteksi dini yaitu dengan pemeriksaan tekanan darah secara
berkala (Sidabutar, 2009).
Hipertensi belum banyak diketahui sebagai penyakit yang berbahaya,
padahal hipertensi termasuk penyakit pembunuh diam-diam, karena penderita
hipertensi merasa sehat dan tanpa keluhan berarti sehingga menganggap ringan
penyakitnya. Sehingga pemeriksaan hipertensi ditemukan ketika dilakukan
pemeriksaan rutin/saat pasien datang dengan keluhan lain. Dampak gawatnya
hipertensi ketika telah terjadi komplikasi, jadi baru disadari ketika telah menyebabkan
gangguan organ seperti gangguan fungsi jantung koroner, fungsi ginjal, gangguan
fungsi kognitif/stroke. Hipertensi pada dasarnya mengurangi harapan hidup para
penderitanya. Penyakit ini menjadi muara beragam penyakit degeneratif yang bisa
mengakibatkan kematian. Hipertensi selain mengakibatkan angka kematian yang
tinggi juga berdampak kepada mahalnya pengobatan dan perawatan yang harus
ditanggung para penderitanya. Perlu pula diingat hipertensi berdampak pula bagi
penurunan kualitas hidup.
Bila seseorang mengalami tekanan darah tinggi dan tidak mendapatkan
pengobatan secara rutin dan pengontrolan secara teratur, maka hal ini akan
membawa penderita ke dalam kasus-kasus serius bahkan kematian. Tekanan darah
tinggi yang terus menerus mengakibatkan kerja jantung ekstra keras, akhirnya
kondisi ini berakibat terjadi kerusakan pembuluh darah jantung, ginjal, otak dan mata
(Wolff, 2006). Kurangnya pengetahuan akan mempengaruhi pasien hipertensi untuk
dapat mengatasi kekambuhan atau melakukan pencegahan agar tidak terjadi
komplikasi. Hal ini dikarenakan sebagian besar penderita hipertensi lansia bertempat
tinggal di pedesaan dan pendidikannya masih rendah. Pendidikan yang rendah pada
pasien hipertensi lansia tersebut mempengaruhi tingkat pengetahuan mengenai
penyakit hipertensi secara baik. Pengetahuan pasien hipertensi lansia yang kurang
ini berlanjut pada kebiasaan yang kurang baik dalam hal perawatan hipertensi.
Lansia tetap mengkonsumsi garam berlebih, kebiasaan minum kopi merupakan
contoh bagaimana kebiasaan yang salah tetap dilaksanakan.
Pengetahuan yang kurang dan kebiasaan yang masih kurang tepat pada
lansia hipertensi dapat mempengaruhi motivasi lansia dalam berobat. Motivasi
merupakan dorongan, keinginan dan tenaga penggerak yang berasal dari dalam diri
seseorang untuk melakukan sesuatu dengan mengesampingkan hal-hal yang
dianggap kurang bermanfaat. Motivasi yang kuat yang berasal dari diri pasien
hipertensi untuk sembuh akan memberikan pelajaran yang berharga. Proses untuk
menjaga tekanan darah pasien hipertensi tidak hanya dengan perawatan non
farmakologi seperti olah raga, namun juga dilakukan dengan cara pengobatan
farmakologi. Pengobatan farmakologi diperoleh salah satunya dengan cara
melakukan kontrol ke puskesmas. Pengobatan pasien hipertensi lansia di
puskesmas yang rutin sesuai jadwal kunjungan, akan mempercepat kondisi tekanan
darah pasien hipertensi lansia tetap terjaga dengan normal.
Penelitian Mubin dkk (2010) tentang Karakteristik dan Pengetahuan Pasien
dengan Motivasi Melakukan Kontrol Tekanan Darah di Wilayah Kerja Puskesmas
Sragi I Pekalongan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penderita hipertensi paling
sering terjadi pada usia 60 tahun, perempuan, pendidikan SD, bekerja sebagai buruh
petani dan berpengetahuan sedang. Tidak ada hubungan yang signifikan antara
karakteristik pasien dengan motivasi kontrol tekanan darah. Ada hubungan yang
signifikan antara pengetahuan dengan motivasi kontrol tekanan darah Hasil studi
pendahuluan yang dilakukan peneliti dengan metode wawancara terhadap 11 lansia
di Puskesmas Arjowinangun pada bulan Juni 2012, didapatkan data 7 lansia
mengatakan kurang mengetahui penyebab, tanda dan gejala hipertensi. Lansia
menyatakan hanya merasakan keluhan seperti pusing dan mual. Pasien juga
menyatakan bahwa jarang melakukan kontrol ke puskesmas, karena pasien merasa
sehat dan tidak merasakan pusing-pusing sehingga tidak melakukan kontrol ke
puskesmas. Selain itu jarak rumah yang cukup jauh dengan puskesmas menjadikan
pasien hipertensi lansia enggan untuk kontrol pengobatan. Berbeda halnya dengan
4lansia penderita hipertensi pertanyaan yang diajukan mengenai pengertian, tanda
dan gejala hipertensi keempat lansia tersebut dapat menjawab tetapi pasien
hipertensi tidak selalu kontrol ke puskesmas sesuai jadwal.
Berdasarkan hasil studi awal tersebut menunjukkan bahwa ada berbagai
masalah yang menyebabkan pasien hipertensi tidak melaksanakan kontrol darah,
diantaranya adalah scbagian besar pasien hipertensi tidak mera sakan 6 adanya
keluhan, kurangnya pengetahuan pasien hipertensi tentang bahaya penyakit
hipertensi itu sendiri, aktiiitas atau kesibukan klien hipertensi sehingga sebagian dari
mereka kurang termotivasi untuk melakukan kontrol. Berdasarkan latar belakang
tersebut diatas peneliti ingin meneliti mengenai hubungan tingkat pengetahuan
dengan motivasi untuk memeriksakan diri pasien hipertensi pada lansia di
Puskesmas Arjowinagun Peningkatan kondisi sosial masyarakat dan usia harapan
hidup (UHH) menyebabkan jumlah lanjut usia (lansia) semakin bertambah (Utomo,
2010).
Menurut data Badan Pusat Statistik (2015) hasil proyeksi penduduk tahun
2014 menunjukkan umur harapan hidup penduduk Indonesia sebesar 70,6 tahun.
Berdasarkan hasil proyeksi penduduk, lanjut usia di Indonesia pada tahun 2014
sebesar 8,2 persen. Peningkatan jumlah lansia tersebut perlu mendapatkan
perhatian karena lansia beresiko tinggi mengalami berbagai gangguan kesehatan
khususnya penyakit degeneratif. Menurut Tamher & Noorkasiani (2009) gangguan
kesehatan utama yang sering terjadi pada lansia salah satunya adalah tekanan
darah tinggi (hipertensi). Hipertensi didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah
sistolik sedikitnya 140 mmHg atau tekanan diastolik sedikitya 90 mmHg (Irmawati,
2013). Gangguan kesehatan tersebut dapat menyebabkan penurunan kualitas hidup
pada lansia. Kualitas hidup berhubungan dengan kepuasan atau kebahagiaan dalam
kehidupan individu yang mempengaruhi atau dipengaruhi oleh kesehatan. Kualitas
hidup mencakup emosianal, sosial, kesejahteraan fisik, serta kemampuan seseorang
dalam kehidupan sehari-hari (Donald, 2009).
Dari banyak penelitian di dapatkan bahwa dengan meningkatnya usia, maka
tekanan darah akan meningkat. Hipertensi menjadi masalah pada usia lanjut karena
sering ditemukan dan menjadi faktor utama stroke, payah jantung, dan penyakit
jantung koroner (Surya, 2010). Penanganan hipertensi dapat dilakukan dengan
memperbaiki pola hidup (terapi non farmakologis) dan terapi farmakologis. Salah
satu cara yang dapat dilakukan untuk memperbaiki pola hidup adalah dengan
melakukan latihan fisik secara teratur. Latihan fisik tersebut bertujuan untuk
menurunkan tekanan darah dan terbukti dapat meningkatkan kualitas hidup pada
penderita hipertensi (Setiawan dkk., 2012).
Latihan fisik yang sesuai dengan lansia diantaranya berjalan-jalan,
bersepeda, berenang, melakukan pekerjaan rumah dan senam. Latihan fisik seperti
senam yang teratur juga membantu mencegah keadaan atau penyakit kronis, seperti
tekanan darah tinggi (hipertensi) (Astari, 2012). Senam dapat meningkatkan aktivitas
metabolisme tubuh dan kebutuhan oksigen. Senam lansia sangat penting untuk para
lanjut usia, karena dapat menjaga kesehatan tubuh mereka. Berdasarkan hasil
penelitian Astari (2012) perbedaan perubahan tekanan darah sebelum dan setelah
diberikan senam lansia terdapat penurunan rata-rata tekanan darah sistolik
sebanyak 21,67 mmHg dan diastolik sebanyak 12,50 mmHg.
Hal ini mengindikasikan bahwa terjadi penurunan nilai rata-rata tekanan
darah sistolik dan diastolik setelah melakukan senam lansia. Hasil penelitian yang
dilakukan Setiawan dkk (2013) menunjukkan bahwa terjadi peningkatan skor kualitas
hidup rata-rata dengan Mac New Heart Disease Health Related QoL sebesar 9,27
yang menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan senam bugar lansia terhadap
kualitas hidup penderita hipertensi. Berdasarkan dari hasil penelitian tersebut penulis
menyimpulkan bahwa senam bugar lansia merupakan salah satu aktivitas fisik yang
dapat dilakukan untuk menurunkan tekanan darah dan meningkatkan kualitas hidup
pada penderita hipertensi. Sehingga, peneliti tertarik untuk meneliti tentang pengaruh
senam bugar lansia terhadap tekanan darah dan kualitas hidup pada lansia
hipertensi.
Menurut WHO tahun 2010 menunjukkan sekitar 972 juta orang atau 26,4%
penduduk dunia menderita hipertensi, dengan perbandingan 50,54% pria dan 49,49
% wanita. Jumlah ini cenderung meningkat tiap tahunnya (Ardiansyah, 2012). Data
statistic dari Nasional Health Foundation di Australia memperlihatkan bahwa sekitar
1.200.000 orang Australia (15% penduduk dewasa di Australia) menderita hipertensi.
Besarnya penderita di negara barat seperti, Inggris, Selandia Baru, dan Eropa Barat
juga hampir 2 15% (Maryam, 2008).
Di Amerika Serikat 15% ras kulit putih pada usia 18-45 tahun dan 25-30% ras
kulit hitam adalah penderita hipertensi (Miswar, 2009). the International Society of
Hypertension (ISH), saat ini terdapat 600 juta penderita hipertensi di seluruh dunia,
dan 3 juta di antaranya meninggal setiap tahunnya. Tujuh dari setiap 10 penderita
tersebut tidak mendapatkan pengobatan secara adekuat. (Rahajeng,2009)
Berdasarkan hasil survei Dinkes Propinsi Jawa Timur pada tahun 2008 Hipertensi
merupakan penyakit terbanyak peringkat ke-3 di puskesmas sentinel dengan angka
11,77 %, pada tahun 2009 naik ke peringkat 2 dengan angka 17,39%, pada tahun
2010 turun lagi ke peringkat 3 dengan angka 12,41%. (Dinkes Jatim,2008) Di
posyandu lansia Dusun Buntut Desa candi sewo Kecamatan Lowok Waru, sekitar
80% lansia yang berkunjung mengalami hipertensi. Ditempat tersebut pernah
diadakan program senam lansia tapi tidak berjalan. (Malang,2013)
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas dapat dirumuskan masalah sebagai
berikut: Apakah ada pengaruh aktifitas fisik dengan kualitas hidup pada lansia
penderita Hipertensi di Yayasan Pelayanan Kasih Bethesdha Malang?

C. Tujuan Penelitian
a. Tujuan Umum
Mengetahui pengaruh senam bugar lanjut usia terhadap tekanan darah dan
kualitas hidup pada lansia penderita hipertensi Yayasan Pelayanan Kasih
Bethesdha Malang.

b. Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi Aktifitas Fisik di Yayasan Pelayanan Kasih Bethesdha Malang
2. Mengidentifikasi kualitas hidup di Yayasan Pelayanan Kasih Bethesdha Malang.
3. Mengidentifikasi senam aerobic lansia penderita Hipertensi di Yayasan Pelayanan
Kasih Bethesdha Malang.

D. Manfaat Penelitian
1. Teoritis
Untuk menambah wawasan tentang pengaruh senam bugar lanjut usia terhadap
tekanan darah dan kualitas hidup pada lanjut usia hipertensi di Yayasan
Pelayanan Kasih Bethesdha Malang.

2. Praktis
a. STIKES Widyagama Husada Malang
Hasil penelitian ini dapat memberikan data bagi mahasiswa atau peneliti
selanjutnya yang ingin melakukan penelitian terkait aktifitas fisik dengan kualitas
hidup lansia penderita Hipertensi di Yayasan Pelayanan Kasih Bethesdha
Malang.
b. Yayasan Pelayanan Kasih Bethesdha Malang.
Dapat dijadikan acuan bagi perawat praktisi di Yayasan Pelayanan Kasih
Bethesdha Malang. dalam melakukan intervensi aktifitas fisik dengan kualitas
hidup pada lansia penderita Hipertensi karena setiap perawat hendaknya
memberikan asuhan keperawatan secara komprehensif meliputi bio, psiko,
sosial, dan spiritual pasiennya.
d. Peneliti
Dapat memberikan pemahaman tentang aktifitas dengan kualitas hidup dalam
memprediksi mortality yang tepat berupa kemampuan di Yayasan Pelayanan
Kasih Bethesdha Malang.
2. Bagi Pembaca
a. Profesi Fisioterapi,sebagai bahan masukan untuk mengoptimalkan pelayanan
fisioterapi khususnya di bidang fisioterapi kardiovaskuler dan fisioterapi geriatri.
b. Masyarakat
Diharapkan bagi masyarakta agar dapat menerapkan dan memahami sumber-
sumber makanan yang dapat menurunkan tekanan darah dan manfaat
melakukan aktifitas fisik, se sebagai tambahan pengetahuan dan edukasi
tentang senam bugar lanjut usia terhadap tekanan darah dan kualitas hidup
pada lanjut usia hipertensi.
BAB ll

TINJAUAN PUSTAKA

A. LANDASAN TEORI HIPERTENSI


1. Definisi Hipertensi
Hipertensi adalah tidak berubah sesuai dengan umur. tekanan darah
sistolik (TDS) > 140 mmHg dan/ atau tekanan darah diastolik (TDD) > 90 mmHg.
The joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and
treatment of High Bloodpressure (JNC VI) dan WHO/lnternational Society of
Hypertension guidelines subcommittees setuju bahwa TDS & keduanya
digunakan untuk klasifikasi hipertensi. (Kuswardhani,2006) Hipertensi
dikelompokkan menjadi dua, yaitu Hipertensi esensial atau idiopatik, dan
hipertensi sekunder. Hipertensi essensial merupakan 95% dari semua kasus
hipertensi dan masih dicari etiologinya.
Beberapa faktor dikemukakan relevan terhadap mekanisme penyebab
hipertensi, yaitu Genetik, Jenis kelamin, Usia, Natrium, Obesitas, Perokok,
Aktivitas Fisik, dan Stress.Hipertensi sekunder sekitar 5% telah diketahui
penyebabnya dan dapat dikelompokkan menjadi: penyakit parenkim ginjal 3%,
penyakit renovaskuler 1%, Endokrin 1%. (Gray,2005) Hipertensi dengan
peningkatan tekanan sistol tanpa disertai peningkatan diastole lebih sering pada
lansia, sedangkan hipertensi dengan peningkatan diastole tanpa sistol sering
terjadi pada dewasa muda (Tambayong,2000) 5 6 Olahraga atau senam
hipertensi adalah bagian dari usaha untuk mengurangi berat badan dan
mengelola stress dua faktor yang mempertinggi hipertensi. Pada tahun 1993.
American Collage of Sport Medicine (ACSM) menganjurkan latihan-latihan
aerobic (olahraga ketahanan) yang teratur serta cukup takarannya untuk
mencegah risiko hipertensi. Dengan melakukan gerakan yang tepat selama 30-
40 menit atau lebih sebanyak 3-4 hari perminggu, dapat menurunkan tekanan
darah sebanyak 10 mmHg pada bacaan sistolik dan diastolik. Menurut American
Society of Hypertension (ASH), pengertian hipertensi adalah suatu sindrom atau
kumpulan gejala kardiovaskuler yang progresif, sebagai akibat dari kondisi lain
yang kompleks dan saling berhubungan. (Informasi Lengkap Untuk Penderita
Dan Keluarga Hipertensi,2008) Olahraga yang teratur berkaitan dengan
penurunan penyakit jantung koroner sebesar 20-40%. (Gray,2009)
2. Epidemiologi
Walaupun peningkatan tekanan darah bukan merupakan bagian normal
dari ketuaan, insiden hipertensi pada lanjut usia adalah tinggi. Setelah umur 69
tahun, prevalensi hipertensi meningkat sampai 50%. Pada tahun 1988- 1991
National Health and Nutrition Examination Survey menemukan prevalensi
hipertensi pada kelompok umur 65-74 tahun sebagai berikut: prevalensi
keseluruhan 49,6% untuk hipertensi derajat 1 (140-159/90-99 mmHg), 18,2%
untuk hipertensi derajat 2 (160-179/100-109 mmHg), dan 6.5% untuk hipertensi
derajat 3 (>180/110 mmHg). Ditengarai bahwa 7 hipertensi sebagai faktor risiko
pada lanjut usia. Pada studi individu dengan usia a 50 tahun mempunyai
tekanan darah sistolik terisolasi sangat rentan terhadap kejadian penyakit
kardiovaskuler. (Kuswardhani,2006) Diperkirakan 50 juta orang dewasa amerika
serikat menderita hipertensi. Hipertensi merupakan factor resiko untuk arteri
koroner, gagal jantung kongestif, stroke dan gagal ginjal. Orang Amerika
keturunan Afrika cenderung menderita hipetensi lebih berat dan pada usia yang
lebih dini, serta memiliki resiko stroke dan infark miokard dua kali lebih besar
disbanding dengan orang kulit putih. (Brashers,2008).

3. Patofisiologi
Baik TDS maupun TDD meningkat sesuai dengan meningkatnya umur.
TDS meningkat secara progresif sampai umur 70-80 tahun, sedangkan TDD
meningkat samapi umur 50-60 tahun dan kemudian cenderung menetap atau
sedikit menurun. Kombinasi perubahan ini sangat mungkin mencerminkan
adanya pengakuan pembuluh darah`dan penurunan kelenturan arteri dan ini
mengakibatkan peningkatan tekanan nadi sesuai dengan umur. Scperti
diketahui, takanan nadi merupakan predictok terbaik dari adanya perubahan
struktural di dalam arteri. Mekanisme pasti hipertensi pada lanjut usia belum
sepenuhnya jelas. Efek utama dari ketuaan normal terhadap sistem
kardiovaskuler meliputi perubahan aorta dan pembuluh darah sistemik.
Penebalan dinding aorta dan pembuluhn darah besar meningkat dan elastisitas
pembuluh darah menurun sesuai umur. Perubahan ini menyebabkan penurunan
kelenturan aorta dan pembuluh darah besar dan mengakibatkan pcningkatan
TDS. Penurunan elastisitas pembuluh darah menyebabkan peningkatan
resistensi vaskuler perifer. Sensitivitas baroreseptor juga berubah dengan umur.
(Kuswardhani,2006)
Perubahan mekanisme refleks baroreseptor mungkin dapat
menerangkan adanya variabilitas tekanan darah yang terlihat pada pemantauan
terus menerus. Penurunan sensitivitas baroreseptor juga menyebabkan
kegagalan refleks postural, yang mengakibatkan hipertensi pada lanjut usia
sering terjadi hipotensi ortostatik. Perubahan keseimbangan antara vasodilatasi
adrenergik beta dan vasokonstriksi adrenergik alfa akan menyebabkan
kecenderungan vasokontriksi dan selanjutnya mengakibatkan pcningkatan
resistensi pembuluh darah perifer dan tekanan darah. Resistensi Natrium akibat
peningkatan asupan dan penurunan sekresi juga berperan dalam terjadinya
hipertensi. Walaupun ditemukan penurunan renin plasma dan respons renin
terhadap asupan garam, sistem renin-angiotensin tidak mempunyai peranan
utama pada hipertensi pada lanjut usia Berbagai perubahan di atas bertanggung
jawab terhadap penurunan curah jantung (cardiac output), penurunan denyut
jantung, penurunan kontraktilitas miokard, hipertrofi ventrikcl kiri, dan disfungsi
diastolik. Ini menyebabkan penurunan fungsi ginjal dengan penurunan perfusi
ginjal dan laju filtrasi glomerulus. (Kuswardhani,2006)

B. KLASIFIKASI HIPERTENSI
Tabel 2.1. Definisi dan Klasifikasi Tingkat Tekanan Darah (mmHg). Menurut WHO Tahun 1999.

Kategori Sistolik Diastolik


(mmHg). (mmHg).
Optimal <120 <80
Normal <130 < 85
Normal-tinggi 130-139 85-89
Hipertensi derajat 1 (ringan) 140-159 90-99
Subkelompok : borderline 140-149 90 – 94
Hipertensi derajat 2 (sedang) 160-179 100-109
Hipertensi derajat 3 (berat) ≥ 180 ≥110
Hipertensi sistolik terisolasi ≥ 140 < 90
Subkelompok : borderline 140 – 149 < 90

Sumber: (Dalimartha,dkk,2008)

Jika tekanan darah sistolik dan diastolik berbeda kategori, dipakai kategori yang lebih tinggi.

Tabel 2.2 Klasifikasi Hipertensi menurut Joint National Committee 7th


Kategori Sistol (mmHg) Dan/atau Diastole (mmHg)
Normal <120 Dan <80
Pre hipertensi 120-139 Atau 80-89
Hipertensi tahap 1 140-159 Atau 90-99
Hipertensi tahap ll ≥ 160 Atau ≥ 100
Sumber: (Chobanian,2003)
Tabel 2.3 Klasifikasi Hipertensi Hasil Konsensus Perhimpunan Hipertensi
Indonesia Tahun 2007.

Kategori Sistol(mmhg) Dan/atau Dioatole(mmhg)


Normal <120 Dan <80
Sumber:
Pre hipertensi 120-139 Atau 80-89
(Jafar,2010). Hipertensi tahap 1 140-159 Atau 90-99
Hipertensi tahap 2 ≥ 160 Atau ≥ 100
Hipertensi sistol terisolasi ≥ 140 Dan < 90

C. FAKTOR RISIKO YANG MEMPENGARUHI HIPERTENSI


Fakktor risiko yang mempengaruhi hipertensi ada dua yaitu yang dapat atau
tidak dapat dikontrol:
a. Faktor Risiko Yang Tidak Dapat Dikontrol:
1. Jenis kelamin
Prevalensi hipertensi pada wanita (25%) lebih besar daripada pria (24%)
(Tesfaye et al,2007). Namun wanita terlindung dari penyakit kardiovaskuler
sebelum menopause. Wanita yang belum mengalami menopause dilindungi
oleh hormon estrogen yang berperan dalam meningkatkan kadar High Density
Lipoprotein (HDL). Kadar kolesterol HDL yang tinggi merupakan faktor
pelindung dalam mencegah terjadinya proses aterosklerosis. Efek
perlindungan estrogen dianggap sebagai penjelasan adanya imunitas wanita
pada usia premenopause. Pada premenopause wanita mulai kehilangan sedikit
demi sedikit hormon estrogen yang selama ini melindungi pembuluh darah dari
kerusakan Hormon estrogen ini kadarnya akan semakin menurun setelah
menopause. (Armilawati,2007).
2. Umur
Semakin meningkat umur responden semakin tinggi risiko hipertensi.Tingginya
hipertensi sejalan dengan bertambahnya umur, disebabkan oleh perubahan
struktur pada pembuluh darah besar, sehingga lumen menjadi lebih sempit dan
dinding pembuluh darah menjadi kaku, sebagai akibat adalah meningkatnya
tekanan darah sistolik.(Rahajeng,2009). Pada wanita, hipertensi sering terjadi
pada usia diatas 50 tahun. Hal ini disebabkan terjadinya perubahan hormon
sesudah menopause. Kondisi yang berkaitan dengan usia ini adalah produk
samping dari keausan arteriosklerosis dari arteri-arteri utama, terutama aorta,
dan akibat dari berkurangnya kelenturan. Dengan mengerasnya banyak arteri
ini dan menjadi semakin kaku, arteri dan aorta itu kehilangan daya
penyesuaian diri. (Hanns Peter, 2009) Pada umur 25-44 tahun prevalensi
hipertensi sebesar 29%, pada umur 45-64 tahun sebesar 51% dan pada umur
>65 Tahun sebesar 65%. Penelitian Hasurungan15 pada lansia menemukan
bahwa dibanding umur 55-59 tahun, pada umur 60-64 tahun terjadi
peningkatan risiko hipertesi sebesar 2,18 kali, umur 65-69 tahun 2,45 kali dan
umur >70 tahun 2,97 kali.(Rahajeng,2009)
3. Keturunan (Genetik)
Adanya faktor genetik pada keluarga tertentu akan menyebabkan keluarga itu
mempunyai risiko menderita hipertensi. Hal ini berhubungan dengan
peningkatan kadar sodium intraseluler dan rendahnya rasio antara potasium
terhadap sodium Individu dengan orang tua dengan hipertensi mempunyai
risiko dua kali lebih besar untuk menderita hipertensi dari pada orang yang
tidak mempunyai keluarga dengan riwayat hipertensi. Selain itu didapatkan 70-
80% kasus hipertensi esensial dengan riwayat hipertensi dalam keluarga
(Anggraini dkk,2009).

b. Faktor Resiko Yang Dapat Dikontrol:


1. Obesitas
Untuk mengetahui seseorang mengalami obesitas atau tidak, dapat dilakukan
dengan mengukur berat badan dengan tinggi badan, yang kemudian disebut
dengan Indeks Massa Tubuh (IMT). Rumus perhitungan IMT adalah sebagai
berikut:
Berat Badan (kg)
IMT = Tinggi Badan (m) x Tinggi Badan(m)

Seseorang dikatakan kegemukan atau obesitas jika memiliki nilai IMT≥25.0.


Obestitas merupakan faktor risiko munculnya berbagai penyakit degeneratif,
seperti hipertensi, penyakit jantung koroner dan diabetes mellitus. Data dari
studi Farmingham (AS) yang diacu dalam Khomsan (2004) menunjukkan
bahwa kenaikan berat badan sebesar 10% pada pria akan meningkatkan
tekanan darah 6.6 mmHg, gula darah 2 mg/dl, dan kolesterol darah 11 mg/dl.
Prevalensi hipertensi pada seseorang yang memiliki IMT>30 pada lakilaki
sebesar 38% dan wanita 32%, dibanding dengan 18% laki-laki dan 17%
perampuan yang memiliki IMT<25. (Krummel,2004)
2. Kurang Olahraga
Olahraga seperti bersepeda, jogging, dan aerobik yang teratur dapat
memperlancar peredaran darah sehingga menurunkan tekanan darah. Orang
yang kurang aktif berolah raga umumnya cenderung mengalami kegemukan.
Olahraga juga dapat mengurangi atau mencegah obesitas serta mengurangi
asupan garam kedalam tubuh. Garam akan keluar dari tubuh bersama
keringat. (Dalimartha,2008) Melakukan aktivitas secara teratur (aktivitas fisik
aerobic selama 30-45 menit/hari) diketahui sangat efektif dalam mengurangi
risiko relatif hipertensi hingga mencapai 19% hingga 30%. Begitu juga halnya
dengan kebugaran kardiorespirasi rendah pada usia paruh baya diduga
meningkatkan risiko hipertensi sebesar 50%. (Rahajeng,2009)
3. Kebiasaan Merokok
Hipertensi dirangsang oleh adanya nikotin dalam batang rokok yang dihisap
seseorang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nikotin dapat meningkatkan
penggumpalan darah dalam pembuluh darah. Selain itu, nikotin juga dapat
menyebabkan terjadinya pengapuran pada dinding pembuluh darah.
(Dalimartha,2008)
4. Mengkonsumsi makanan asin dan berpengawet
Makanan asin dan makanan yang diawetkan adalah makanan dengan kadar
natrium tinggi. Natrium adalah mineral yang sangat berpengaruh pada
mekanisme timbulnya hipertensi. Makanan asin dan awetan biasanya memiliki
rasa gurih (umami), sehingga dapat meningkatkan nafsu makan (Krisnatuti,
2005)
5. Minum alkohol
Minum alcohol dapat memicu terjadinya hipertensi karena adanya peningkatan
sintetis katekolamin yang dalam jumlah besar dapat memicu kenaikan tekanan
darah. (Dalimartha,2008)
6. Minum kopi
Dari hasil penelitian di Journal of Nutrition Collage dikatakan bahwa kopi 1-2
cangkir perhari meningkatkan risiko hipertensi 4,11 kali lebih tinggi dibanding
tidak meminum kopi. (Martiani,2012)
7. Stres
Pengaruh stres juga masih kontroversi, pengaruhnya diduga melalui aktivitas
saraf simpatis yang dapat meningkatkan tekanan darah sebagai reaksi fisik bila
sesorang mengalami ancaman (fight or flight response). (Rahajeng,2009)
8. Diagnosis Hipertensi
Pada semua umur, diagnosis hipertensi memerlukan pengukuran berulang
dalam keadaan istirahat, tanpa ansietas, kopi, alkohol, atau merokok. Namun
demikian, salah diagnosis lebih sering terjadi pada lanjut usia, terutama
perempuan, akibat beberapa faktor seperti berikut. Panjang cuff mungkin tidak
cukup untuk orang gemuk atau berlebihan atau orang terlalu kurus. Penurunan
sensitivitas refleks baroreseptor sering menyebabkan fluktuasi tekanan darah
dan hipotensi postural. Fluktuasi akibat ketegangan (hipertensi jas putih =white
coat hypertension) &latihan fisik juga lebih sering pada lanjut usia. Arteri yang
kaku akibat arterosklerosis menyebabkan tekanan darah terukur lebih tinggi.
Kesulitan pengukuran tekanan darah dapat diatasi dengan cara pengukuran
ambulatory.
Bulpitt et al. menganjurkan bahwa sebelum menegakkan diagnosis
hipertensi pada lanjut usia, hendaknya paling sedikit dilakukan pemeriksaan di
klinik sebanyak tiga kali dalam waktu yang berbeda dalam beberapa minggu.
(Kuswardhani,2006) Gejala HTS yang sering ditemukan pada lanjut seperti
ditemukan pada the SYST-EUR trial adalah: 25% dari 437 perempuan dan
21% dari 204 laki-laki menunjukkan keluhan. Gejala yang menonjol yang
ditemukan pada penderita perempuan dibandingkan penderita laki-laki adalah;
nyeri sendi tangan (35% pada perempuan vs. 22% pada laki-laki), berdebar
(33% vs.17%), mata kering (16% vs. 6%), penglihatan kabur (35% vs. 23%),
kramp pada tungkai (43% vs. 31 %), nyeri tenggorok (15% vs. 7%), Nokturia
merupakan gejala tersering pada kedua jenis kelamin, 68%.
(Kuswardhani,2006)

D. PENATALAKSANAAN HIPERTENSI PADA PENDERITA HIPERTENSI


Joint National Committee VII merekomendasikan konsep terapi yang terbaru
yaitu :
1. Pasien dengan tekanan darah sistolik 120-139 mmHg dan tekanan darah
diastolik 80-89 mmHg hanya memerlukan penatalaksanaan nonfarmakologis
dengan cara modifikasi gaya hidup.
2. Pasien yang tidak memiliki komplikasi hipertensi, diperlukan
penatalaksanaan secara farmakologis dengan diberikan obat golongan
diuretik atau bisa juga diberikan obat dari golongan lain.
3. Lebih memperhatikan tekanan darah sistolik dan penanganannya harus
dimulai jika tekanan darah sistolik meningkat walaupun tekanan darah
diastoliknya tidak.
4. Sebagian besar pasien hipertensi memerlukan obat kombinasi
antihipertensi, salah satunya adalah obat dari golongan diuretik tiazid.
5. Kebanyakan pasien hipertensi memerlukan 2 atau lebih pengobatan untuk
mencapai tekanan darah } 20/10 mmHg di atas tekanan darah yang
diinginkan.
6. Golongan ACE Inhibitor sendiri atau kombinasi dengan golongan
diuretic masih merupakan terapi pilihan yang terbaik untuk pasien dengan
hipertensi yang sudah mengalami komplikasi penyakit jantung. Selain itu,
juga diperlukan modifikasi pola hidup bisa dilakukan dengan cara
memperbaiki beberapa pola hidup, seperti menurunkan berat badan jika ada
kegemukan, mengurangi minum alkohol, meningkatkan aktivitas fisik
aerobik, mengurangi asupan garam, mempertahankan asupan kalium yang
adekuat, mempertahankan asupan kalsium dan magnesium yang adekuat,
menghentikan merokok, mengurangi asupan lemak jenuh dan kolesterol.
Seperti halnya pada orang yang lebih muda, intervensi nonfarmakologis ini
harus dimulai sebelum menggunakan obat-obatan (Kuswardhani,2008).

E. LANDASAN TEORI LATIHAN FISIK


A. Defenisi Latihan Fisik
Latihan fisik dalam pelaksanaannya lebih difokuskan kepada proses
pembinaan kondisi fisik atlet secara keseluruhan, dan merupakan salah satu
faktor utama dan terpenting yang harus dipertimbangkan sebagai unsur yang
diperlukan dalam proses latihan guna mencapai prestasi yang tertinggi. Tujuan
utamanya adalah untuk meningkatkan potensi fungsional atlet dan
mengembangkan kemampuan biomotor ke derajat yang paling tinggi. Melalui
latihan kondisi fisik kebugaran jasmanai atlet dapat dipertahankan atau
ditingkatkan, baik yang berhubungan dengan keterampilan maupun dengan
kesehatan secara umum. Dimana kebugaran jasmani ini sebagai penentu
ukuran kemampuan fisik seseorang (atlet) dalam melaksanakan tugasnya
sehari-hari. Makin tinggi derajat kesegaran jasmani atlet makin tinggi pula
kemampuan kerja fisiknya.
Latihan kondisi fisik merupakan program pokok dalam pembinaan atlet
untuk berprestasi seperti halnya dalam prestasi bulutangkis atau bola voli.
“Latihan kondisi fisik adalah proses memperkembangkan kemampuan aktivitas
gerak jasmani yang dilakukan secara sistematik dan ditingkatkan secara
progresif untuk mempertahankan atau meningkatkan derajat kebugaran jasmani
agar tercapai kemampuan kerja fisik yang optimal”. Kondisi fisik merupakan
unsur yang sangat penting hampir diseluruh cabang olahraga. Oleh karena itu
latihan kondisi fisik perlu mendapat perhatian yang serius direncanakan dengan
matang dan sistematis sehingga tingkat kesegaran jasmani dan kemampuan
fungsional alat-alat tubuh lebih baik. Apabila kodisi fisik baik, maka :
a. Akan ada peningkatan dalam kemampuan sistem sirkulasi dan kerja jantung.
b. Terjadi peningkatan dalam kekuatan, kelentukan, stamina, kecepatan, dan
komponen kondisi fisik lainnya.
c. Akan meningkatkan efektifitas dan efisiensi gerak kearah yang lebih baik.
d. Waktu pemulihan akan lebih cepat.
e. Respon bergerak lebih cepat apabila dibutuhkan.

B. Perubahan-perubahan Fisik pada Lansia


Banyak perubahan-perubahan yang terjadi pada Lansia, diantaranya
perubahan komposisi tubuh, otot, tulang dan sendi, sistem kardiovaskular,
respirasi, dan kognisi. Distribusi lemak berubah dengan bertambahnya usia.
Laki-laki dengan bertambahnya usia akan mengakumulasi lemak terutama di
sekitar batang tubuh (truncus) dan di sekitar organ-organ dalam, sedangkan
wanita terutama di sekitar organ-organ dalam. Penelitian pada atlet senior
menunjukkan bahwa mereka mempunyai kadar lemak lebih renda dibandingkan
dengan non-atlet, namun apabila dibandingkan dengan atlet muda mempunyai
kadar lemak 5-10% lebih tinggi (Wojtek, 2009).
Pada Lansia, ada penurunan massa otot, perubahan distribusi darah ke
otot, penurunan PH dalam sel otot, otot menjadi lebih kaku, dan ada penurunan
kekuatan otot. Olahraga dapat meningkatkan kekuatan otot, massa otot, perfusi
otot, dan kecepatan konduksi saraf ke otot. Pada usia 90-an, 32% wanita dan
17% laki-laki mengalami patah tulang panggul dan 12-20% meninggal karena
komplikasi. Massa tulang menurun 10% dari massa puncak tulang pada usia 65
tahun dan 20% pada usia 80 tahun. Pada wanita, kehilangan massa tulang lebih
tinggi, kira-kira 15-20% pada usia 65 tahun dan 30% pada usia 80 tahun. Lakil-
laki kehilangan massa tulang sekitar 1% per tahun sesudah usia 50 tahun,
sedangkan wanita mulai kehilangan massa tulang pada usia 30-an, dengan laju
penurunan 2-3% per tahun sesudah menopause. Tulang, sendi, dan otot saling
terkait. Jika sendi tidak dapat digerakkan sesuai dengan ROM-nya maka
gerakan menjadi terbatas sehingga fleksibilitas menjadi komponen esensial dari
program latihan bagi Lansia. Jika suatu sendi tidak digunakan, maka otot yang
melintasi sendi akan memendek dan mengurangi ROM.
Latihan fleksibilitas dapat meningkatkan kekuatan tendon dan ligamen,
mempertahankan kekuatan otot yang melintasi sendi, mengurangi nyeri pada
kasus osteoartritis sehingga ROM bisa dipertahankan. Perubahan pada sistem
kardiovaskular ditandai dengan adanya perubahan anatomi di jantung dan
pembuluh darah, menurunnya denyut nadi maksimal,
meningkatnya tekanan darah, hipotensi postural, perubahan dalam pemulihan
denyut nadi sesudah aktivitas fisik, menurunnya jumlah darah yang dipompa
dalam tiap denyutan, dan perubahan dalam darah (sel darah merah,
hemoglobin). Olahraga disebutkan dapat menurunkan tekanan darah pada
hipertensi, meningkatkan stroke volume (jumlah darah yang dikeluarkan jantung
dalam satu kali denyutan), meningkatkan produksi sel darah merah,
menurunkan LDL dan menaikkan HDL, dan mempercepat pemulihan setelah
aktivitas fisik. Beberapa kondisi Lansia yang terkait dengan fungsi paru
diantaranya meningkatnya infeksi saluran nafas atas, berkurangnya luas
permukaan paru (75m2 pada usia 20 tahun menjadi 50-60 m2 pada usia 80
tahun, berkurangnya elastisitas paru, perubahan volume paru, dan kemungkinan
terjadi penyakit paru obstruktif menahun yang dapat memperpend ek nafas,
batuk, lendir yang berlebihan, dan rendahnya toleransi terhadap latihan fisik.
Olahraga dikatakan dapat mencegah osteoporosis pada tulang dada,
memperbaiki kondisi otot-otot pernafasan, dan meningkatkan sistem imun,
sedangkan kerusakan jaringan paru tampaknya merupakan proses yang
ireversibel.
Fungsi kognitif akan menurun dengan bertambahnya usia. Olahraga
dihipotesiskan dapat memperbaiki fungsi kognitif dengan cara meningkatkan
aliran darah ke otak dan meningkatkan pembentukan neurotransmiter otak.
Sementara dalam hal emosi, Lansia berisiko untuk mengalami depresi dan
menurunnya kemampuan dalam menghadapi stres. Depresi dapat timbul karena
menurunnya status kesehatan, kehilangan kemampuan fisik, kehilangan
pasangan hidup, tidak mempunyai pekerjaan, uang, ketakutan hidup sendiri, dan
lain sebagainya. Olahraga dapat memperbaiki mood, meningkatkan kemampuan
menghadapi stres, menurunkan angka depresi melalui interaksi sosial saat
olahraga. Lansia juga mengalami kendala pengaturan keseimbangan karena
menurunnya persepsi terhadap kedalaman, menurunnya penglihatan perifer,
menurunnya kemampuan untuk mendeteksi informasi spatial. Kondisi ini
berakibat meningkatnya risiko jatuh pada Lansia. Olahraga yang ditujukan untuk
memperbaiki keseimbangan sangat bermanfaat, misalnya Tai Chi, dansa.

C. Manfaat Olahraga pada Lansia


Aktivitas fisik adalah setiap gerakan tubuh yang membutuhkan energi
untuk mengerjakannya, seperti berjalan, menari, mengasuh cucu, dan lain
sebagainya. Aktivitas fisik yang terencana dan terstruktur, yang melibatkan
gerakan tubuh berulang-ulang serta ditujukan untuk meningkatkan kebugaran
jasmani disebut olahraga (Farizati, 2002).
Manfaat olahraga pada Lansia antara lain dapat memperpanjang usia,
menyehatkan jantung, otot, dan tulang, membuat Lansia lebih mandiri,
mencegah obesitas, mengurangi kecemasan dan depresi, dan memperoleh
kepercayaan diri yang lebih tinggi. Olahraga dikatakan dapat memperbaiki
komposisi tubuh, seperti lemak tubuh, kesehatan tulang, massa otot, dan
meningkatkan daya tahan, massa otot dan kekuatan otot, serta fleksibilitas
sehingga lansia lebih sehat dan bugar dan risiko jatuh berkurang. Olahraga
dikatakan juga dapat menurunkan risiko penyakit diabetes melitus, hipertensi,
dan penyakit jantung. Secara umum dikatakan bahwa olahraga pada lansia
dapat menunjang kesehatan, yaitu dengan meningkatkan nafsu makan,
membuat kualitas tidur lebih baik, dan mengurangi kebutuhan terhadap obat-
obatan.
Selain itu, olahraga atau aktivitas fisik bermanfaat secara fisiologis,
psikologis maupun sosial. Menurut Nina (2007), secara fisiologis, olahraga dapat
meningkatkan kapasitas aerobik, kekuatan, fleksibilitas, dan keseimbangan.
Secara psikologis, olahraga dapat meningkatkan mood, mengurangi risiko pikun,
dan mencegah depresi. Secara sosial, olahraga dapat mengurangi
ketergantungan pada orang lain, mendapat banyak teman, dan meningkatkan
produktivitas.

D. Jenis Aktivitas Fisik pada Lansia


Aktivitas fisik yang bermanfaat untuk kesehatan Lansia sebaiknya
memenuhi kriteria FITT (frequency, intensity, time, type). Frekuensi adalah
seberapa sering aktivitas dilakukan, berapa hari dalam satu minggu. Intensitas
adalah seberapa keras suatu aktivitas dilakukan. Biasanya diklasifikasikan
menjadi intensitas rendah, sedang, dan tinggi. Waktu mengacu pada durasi,
seberapa lama suatu aktivitas dilakukan dalam satu pertemuan, sedangkan jenis
aktivitas adalah jenis-jenis aktivitas fisik yang dilakukan. Jenis-jenis aktivitas fisik
pada Lansia menurut Kathy (2007), meliputi latihan aerobik, penguatan otot
(muscle strengthening)), fleksibilitas, dan latihan keseimbangan. Seberapa
banyak suatu latihan dilakukan tergantung dari tujuan setiap individu, apakah
untuk kemandirian, kesehatan, kebugaran, atau untuk perbaikan kinerja
(performance).

1. Latihan Aerobik
Lansia direkomendasikan melakukan aktivitas fisik setidaknya selama 30 menit
pada intensitas sedang hampir setiap hari dalam seminggu. Berpartisipasi dalam
aktivitas seperti berjalan, berkebun, melakukan pekerjaan rumah, dan naik turun
tangga dapat mencapai tujuan yang diinginkan. Lansia dengan usia lebih dari
65 tahun disarankan melakukan olahraga yang tidak terlalu membebani tulang,
seperti berjalan, latihan dalam air, bersepeda statis, dan dilakukan dengan cara
yang menyenangkan. Bagi Lansia yang tidak terlatih harus mulai dengan
intensitas rendah dan peningkatan dilakukan secara individual berdasarkan
toleransi terhadap latihan fisik. Olahraga yang bersifat aerobik adalah olahraga
yang membuat jantung dan paru bekerja lebih keras untuk memenuhi
meningkatnya kebutuhan oksigen, misalnya berjalan, berenang, bersepeda, dan
lain-lain. Latihan fisik dilakukan sekurangnya 30 menit dengan intensitas
sedang, 5 hari dalam seminggu atau 20 menit dengan intensitas tinggi, 3 hari
dalam seminggu, atau kombinasi 20 menit intensitas tinggi 2 hari dalam
seminggu dan 30 menit dengan intensitas sedang 2 hari dalam seminggu.
2. Latihan Penguatan Otot
Bagi Lansia disarankan untuk menambah latihan penguatan otot disamping
latihan aerobik. Kebugaran otot memungkinkan melakukan kegiatan sehari-hari
secara mandiri. Latihan fisik untuk penguatan otot adalah aktivitas yang
memperkuat dan menyokong otot dan jaringan ikat. Latihan dirancang supaya
otot mampu membentuk kekuatan untuk mengerakkan atau menahan beban,
misalnya aktivitas yang melawan gravitasi seperti gerakan berdiri dari kursi,
ditahan beberapa detik, berulang-ulang atau aktivitas dengan tahanan tertentu
misalnya latihan dengan tali elastik. Latihan penguatan otot dilakukan
setidaknya 2 hari dalam seminggu dengan istirahat diantara sesi untuk masing-
masing kelompok otot. Intensitas untuk membentuk kekuatan otot menggunakan
tahanan atau beban dengan 10-12 repetisi untuk masing-masing latihan.
Intensitas latihan meningkat seiring dengan meningkatnya kemampuan individu.
Jumlah repetisi harus ditingkatkan sebelum beban ditambah. Waktu yang
dibutuhkan adalah satu set latihan dengan 10-15 repetisi.
3. Latihan Fleksibilitas dan Keseimbangan
Kisaran sendi (ROM) yang memadai pada semua bagian tubuh sangat penting
untuk mempertahankan fungsi muskuloskeletal, keseimbangan dan kelincahan
pada Lansia. Latihan fleksibilitas dirancang dengan melbatkan setiap sendi-
sendi utama (panggul, punggung, bahu, lutut, dan leher). Latihan fleksibilitas
adalah aktivitas untuk membantu mempertahankan kisaran gerak sendi (ROM),
yang diperlukan untuk melakukan aktivitas fisik dan tugas sehari-hari secara
teratur. Latihan fleksibilitas disarankan dilakukan pada hari- hari dilakukannya
latihan aerobik dan penguatan otot atau 2-3 hari per minggu. Latihan dengan
melibatkan peregangan otot dan sendi. Intensitas latihan dilakukan dengan
memperhatikan rasa tidak nyaman atau nyeri. Peregangan dilakukan 3-4 kali,
untuk masing-masing tarikan dipertahankan 10-30 detik. Peregangan dilakukan
terutama pada kelompok otot-otot besar, dimulai dari otot-otot kecil.
Contoh: latihan Yoga. Latihan keseimbangan dilakukan untuk membantu
mencegah Lansia jatuh. Latihan keseimbangan dilkakukan setidaknya 3 hari
dalam seminggu. Sebagian besar aktivitas dilakukan pada intensitas rendah.
Kegiatan berjalan, Tai Chi, dan latihan penguatan otot memperlihatkan
perbaikan keseimbangan pada Lansia. Program latihan untuk Lansia meliputi
latihan daya tahan jantung paru (aerobik), kekuatan (strenght), fleksibilitas, dan
keseimbangan dengan cara progresif dan menyenangkan. Latihan melibatkan
kelompok otot utama dengan gerakan seoptimal mungkin pada ROM yang
bebas dari nyeri. Pembebanan pada tulang, perbaikan postur, melatih gerakan-
gerakan fungsional akan meningkatkan kekuatan, fleksibilitas, dan
keseimbangan.
Olahraga dilakukan dengan cara menyenangkan disertai berbagai
modifikasi, termasuk mengkombinasikan beberapa aktivitas sekaligus.
Kombinasi berjalan yang bersifat rekreasi dan senam di air dengan intensitas
yang menantang namun tetap nyaman dilakukan, kombinasi latihan spesifik
untuk memperbaiki kekuatan dan fleksibilitas (latihan beban, circuit training,
latihan dengan musik, menari) bisa dilakukan. Kombinasi latihan kekuatan,
keseimbangan dan fleksibilitas bisa dilakukan dengan menggunakan alat bola.
Latihan difokuskan pada teknik yang menstabilkan dan meningkatkan kekuatan,
keseimbangan dan fleksibilitas, selain itu juga mengintegrasikan tubuh dan
pikiran serta melibatkan teknik pernafasan, konsentrasi dan kontrol gerakan.
Bagi Lansia yang lemah secara fisik, aktivitas yang dilakukan dikaitkan
dengan kegiatan sehari-hari dan mempertahankan kemandirian, misalnya teknik
mengangkat beban yang benar, berjalan, cara menjaga postur yang benar, dan
sebagainya. Olahraga dan Penyakit pada Lansia Olahraga pada Lansia
dilakukan dengan mempertimbangkan keamanan, masalah kesehatan, perlunya
modifikasi latihan, dan mempertimbangkan kelemahan yang mungkin ada.
Screening diperlukan sebelum program latihan dimulai. Sangat penting untuk
menanyakan apakah pasien aman untuk berlatih, dipikirkan pula apakah pasien
lebih baik apabila tidak aktif berlatih (sedentary). Screening meliputi semua
sistem utama tubuh, termasuk status kognitif, auskultasi arteri karotis, inspeksi
hernia, penilaian keseimbangan dan kemampuan mobilitas.
Program latihan fisik bagi Lansia disusun dengan berbagai pertimbangan
terkait dengan kondisi fisik Lansia. Sebelum olahraga dianjurkan berkonsultasi
dengan dokter. Olahraga dilaksanakan secara bertahap, misalnya dimulai
dengan intensitas rendah (40-50% denyut nadi istirahat) selama 10-20 menit,
kemudian ditingkatkan sesuai dengan kemampuan adaptasi latihan tiap
individu. Durasi latihan ditingkatkan secara bertahap. Lebih diajurkan untuk
menambah durasi daripada meningkatkan intensitas. Lingkungan dan fasilitas
olahraga harus diperhatikan terkait dengan faktor keamanan. Modifikasi
olahraga kadang diperlukan, misalnya Lansia dengan penglihatan berkurang
dianjurkan bersepeda statis daripada bersepeda di jalan. Program yang disusun
juga harus memperhatikan masalah ortopedik yang mungkin ada, dianjurkan
untuk menambah waktu pemanasan dan pendinginan, serta dipilih aktivitas yang
tidak membutuhkan koordinasi tingkat tinggi.
Selama latihan tidak boleh dilupakan minum untuk mengganti cairan yang
hilang selama olahraga. Jenis olahraga disarankan mempunyai aspek sosial
sehingga sekaligus bisa berdampak pada emosi Lansia (Erin, 2008).
a. Osteoartritis
Riset menunjukkan bahwa olahraga teratur menjadi salah satu hal penting untuk
mencegah osteoporosis, termasuk patah tulang karena osteoporosis dan jatuh.
Olahraga dapat meningkatkan massa tulang, kepadatan, dan kekuatan pada
Lansia. Olahraga juga melindungi melawan patah tulang panggul (Megan,
2008). Olahraga direkomendasikan bagi Lansia dengan osteoartritis untuk
memperkuat otot dan mobilitas sendi, memperbaiki kapasitas fungsional,
menghilangkan nyeri dan kekakuan, dan mencegah deformitas lebih lanjut.
Program latihan disusun berdasarkan status individual. Olahraga sebaiknya
yang tidak membebani tubuh, misalnya bersepeda dan latihan di dalam air.
Latihan aerobik meliputi aktivitas yang membuat seseorang menahan beban
tubuhnya sendiri (weight bearing), misalnya berjalan atau aktivitas yang tidak
secara langsung tubuh menahan berat badannya sendiri (nonweight bearing),
misalnya bersepeda, berenang. Latihan penguatan otot dilakukan dengan nyeri
sebagai acuan. Latihan fleksibilitas dilakukan dengan melibatkan sendi yang
terkena artritis, namun dengan batasan ROM yang bebas nyeri. Kontra indikasi
pada artritis yaitu latihan berat, berulang-ulang pada sendi yang tidak stabil,
serta melatih sendi saat tanda- tanda radang masih aktif.

b. Penyakit Kardiovaskular
Latihan pada penderita penyakit kardiovaskular difokuskan pada latihan aerobik
30-60 menit per hari untuk menurunkan tekanan darah. Latihan penguatan otot
dilakukan dengan tahanan lebih rendah, repetisi lebih banyak dan menghindari
terjadinya manuver valsava. Suatu metaanalisis menunjukkan bahwa latihan
aerobik intensitas sedang dapat menurunkan tekanan sistolik 11 poin dan
diastolik rata-rata 8 poin.
c. Obesitas
Latihan aerobik dilakukan 45-60 menit untuk meningkatkan pengeluaran energi.
Intensitas dan durasi di bawah yang direkomendasikan untuk menghindari
cedera tulang. Risiko hipertermia meningkat sehingga hidrasi perlu diperhatikan.

F. LANDASAN TEORI KUALITAS HIDUP


A. Defenisi Kualitas Hidup
Secara awam, kualitas hidup berkaitan dengan pencapaian kehidupan
manusia yang ideal atau sesuai dengan yang diinginkan (Diener dan Suh, dalam
Nofitri, 2009). Goodinson dan Singleton (O’Connor, 1993) mengemukakan
defenisi kualitas hidup sebagai derajat kepuasan atas penerimaan suasana
kehidupan saat ini. Calman memberikan satu definisi dari kualitas hidup yang
dapat diterima secara umum, yakni perasaan subjektif seseorang mengenai
kesejahteraan dirinya, berdasarkan pengalaman hidupnya saat ini secara
keseluruhan (dalam O’Connor, 1993).
World Health Organization (WHO) (dalam Kwan, 2000) mendefenisikan
kualitas hidup sebagai persepsi individu mengenai posisi mereka dalam
kehidupan dilihat dari konteks budaya dan sistem nilai dimana mereka tinggal
serta hubungannya dengan tujuan, harapan, standar, dan hal-hal lain yang
menjadi perhatian individu tersebut. Berdasarkan definisi Calman dan WHO
mengimplikasikan bahwa kualitas hidup ditentukan oleh persepsi individual
mengenai kondisi kehidupannya saat ini.

B. Aspek-Aspek Kualitas Hidup


Berawal dari pemikiran mengenai aspek kualitas hidup yang dapat berbeda
antara individu satu dengan individu lainnya, berbagai studi kualitas hidup
meneliti aspek-aspek kehidupan yang penting bagi individu dalam hubungannya
dengan kualitas hidup. Ada banyak aspek kualitas hidup menurut para ahli.

1. Aspek Kesehatan fisik


Kesehatan fisik mencakup aktivitas sehari-hari, ketergantungan pada obat-
obatan dan bantuan medis, energi dan kelelahan, mobilitas (keadaan mudah
bergerak), sakit dan ketidak nyamanan, tidur dan istirahat, kapasitas kerja.
Kesehatan fisik dapat mempengaruhi kemampuan individu untuk melakukan
aktivitas. Aktivitas yang dilakukan individu aka memberikan pengalaman-
pengalaman baru yang merupakan modal perkembangan ke tahap selanjutnya
2. Aspek psikologis
Aspek psikologis yaitu terkait dengan keadaan mental individu. Keadaan mental
mengarah pada mampu atau tidaknya individu menyesuaikan diri terhadap
berbagai tuntutan perkembangan sesuai dengan kemampuannya, baik tuntutan
dari dalam diri maupun dari luar dirinya. Aspek psikologis juga terkait dengan
aspek fisik, dimana individu dapat melakukan suatu aktivitas dengan baik bila
individu tersebut sehat secara mental. Kesejahteraan psikologis mencakup
bodily image dan appearance,perasaan positif, perasaan negatif, self esteem,
spiritual/agama/keyakinan pribadi, berpikir, belajar, memori dan konsentrasi.
3. Aspek hubungan sosial
Aspek hubungan sosial yaitu hubungan antara dua individu atau lebih dimana
tingkah laku individu tersebut akan saling mempengaruhi, mengubah, atau
memperbaiki tingkah laku individu lainnya. Mengingat manusia adalah mahluk
sosial maka dalam hubungan sosial ini, manusia dapat merealisasikan
kehidupan serta dapat berkembang menjadi manusia seutuhnya. Hubungan
sosial mencakup hubungan pribadi, dukungan sosial, aktivitas seksual.
4. Aspek lingkungan
Aspek lingkungan yaitu tempat tinggal individu, termasuk di dalamnya keadaan,
ketersediaan tempat tinggal untuk melakukan segala aktivitas kehidupan,
termasuk di dalamnya adalah saran dan prasarana yang dapat menunjang
kehidupan. Hubungan dengan lingkungan mencakup sumber financial,
kebebasan, keamanan dan keselamatan fisik, perawatan kesehatan dan social
care termasuk aksesbilitas dan kualitas; lingkungan rumah, kesempatan untuk
mendapatkan berbagai informasi baru maupun keterampilan (skill), partisipasi
dan mendapat kesempatan untuk melakukan rekreasi dan kegiatan yang
menyenangkan di waktu luang, lingkungan fisik termasuk
polusi/kebisingan/keadaan air/iklim, serta transportasi.

C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kualitas Hidup


Kualitas hidup secara langsung dipengaruhi oleh pengalaman positif
pengasuhan, pengalaman pengasuhan negatif, dan stres kronis. Sumber daya
ekonomi dan sumber daya sosial memiliki dampak langsung pada kualitas
hidup. Ferrans dan Powers (dalam Kwan, 2000) empat domain yang sangat
penting untuk kualitas hidup yaitu kesehatan dan fungsi, sosial ekonomi,
psikologis, spiritual, dan keluarga. Domain kesehatan dan fungsi meliputi
aspek-aspek seperti kegunaan kepada orang lain dan kemandirian fisik.
Domain sosial ekonomi berkaitan dengan standar hidup, kondisi lingkungan,
teman-teman, dan sebagainya. Domain psikologis/spiritual meliputi
kebahagiaan, ketenangan pikiran, kendali atas kehidupan, dan faktor lainnya.
Domain keluarga meliputi kebahagiaan keluarga, anak-anak, pasangan, dan
kesehatan keluarga.
Meskipun sulit untuk membuang semua elemen kehidupan, keempat
domain mencakup sebagian besar elemen dianggap penting untuk kualitas
hidup. Menurut Ghozally (dalam Larasati, 2009) faktor-faktor yang
mempengaruhi kualitas hidup diantaranya mengenali diri sendiri, adaptasi,
merasakan penderitaan orang lain, perasaan kasih dan sayang, bersikap
optimis, mengembangkan sikap empati. Dan beberapa faktor-faktor yang
mempengaruhi kualitas hidup yakni :
1. Jenis kelamin
Fadda dan Jiron (1999) mengatakan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki
perbedaan dalam peran serta akses dan kendali terhadap berbagai sumber
sehingga kebutuhan atau hal-hal yang penting bagi laki-laki dan perempuan
juga akan berbeda. Hal ini mengindikasikan adanya perbedaan aspek-aspek
kehidupan dalam hubungannya dengan kualitas hidup pada laki-laki dan
perempuan. Ryff dan Singer (1998) mengatakan bahwa secara umum,
kesejahteraan laki-laki dan perempuan tidak jauh berbeda, namun perempuan
lebih banyak terkait dengan aspek hubungan yang bersifat positif sedangkan
kesejahteraan tinggi pada pria lebih terkait dengan aspek pendidikan dan
pekerjaan yang lebih baik.
2. Usia
Wagner, Abbot, dan Lett (2004) menemukan terdapat perbedaan yang terkait
dengan usia dalam aspek-aspek kehidupan yang penting bagi individu.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ryff dan Singer (1998) individu
dewasa mengekspresikan kesejahteraan yang lebih tinggi pada usia dewasa
madya.
3. Pendidikan
Pendidikan juga merupakan faktor kualitas hidup, senada dengan penelitian
yang dilakukan oleh Wahl dkk (2004) menemukan bahwa kualitas hidup akan
meningkat seiring dengan lebih tingginya tingkat pendidikan yang didapatkan
oleh individu. Barbareschi, Sanderman, Leegte, Veldhuisen dan Jaarsma
(2011) mengatakan bahwa tingkat pendidikan adalah salah satu faktor yang
dapat mempengaruhi kualitas hidup, hasil penelitian menunjukkan bahwa
tingginya signifikansi perbandingan dari pasien yang berpendidikan tinggi
meningkat dalam keterbatasan fungsional yang berkaitan dengan masalah
emosional dari waktu ke waktu dibandingkan dengan pasien yang
berpendidikan rendah serta menemukan kualitas hidup yang lebih baik bagi
pasien berpendidikan tinggi dalam domain fisik dan fungsional, khususnya
dalam fungsi fisik, energi/kelelahan, social fungsi, dan keterbatasan dalam
peran berfungsi terkait dengan masalah emosional.
4. Pekerjaan
Hultman, Hemlin, dan H¨ornquist (2006) menunjukkan dalam hal kualitas hidup
juga diperoleh hasil penelitian yang tidak jauh berbeda dimana individu yang
bekerja memiliki kualitas hidup yang lebih baik dibandingkan individu yang
tidak bekerja.
5. Status pernikahan
Glenn dan Weaver melakukan penelitian empiris di Amerika secara umum
menunjukkan bahwa individu yang menikah memiliki kualitas hidup yang lebih
tinggi dari pada individu yang tidak menikah, bercerai, ataupun janda atau duda
akibat pasangan meninggal (Veenhoven, 1989).
6. Finansial
Pada penelitian Hultman, Hemlin, dan H¨ornquist (2006) menunjukkan bahwa
aspek finansial merupakan salah satu aspek yang berperan penting
mempengaruhi kualitas hidup individu yang tidak bekerja.
7. Standar referensi
Menurut O’Connor (1993) mengatakan bahwa kualitas hidup dapat dipengaruhi
oleh standar referensi yang digunakan seseorang seperti harapan, aspirasi,
perasaan mengenai persamaan antara diri individu dengan orang lain. Hal ini
sesuai dengan definisi kualitas hidup yang dikemukakan oleh WHOQOL
(dalam Power, 2004) bahwa kualitas hidup akan dipengaruhi oleh harapan,
tujuan, dan standard dari masing-masing individu.

G. TERAPI FARMAKOLOGI DAN NON FARMAKOLOGI


A. Terapi Farmakologi
Golongan obat antihipertensi yang banyak digunakan adalah diuretik tiazid
(misalnya bendroflumetiazid), beta‐bloker, (misalnya propanolol, atenolol)
penghambat angiotensin converting enzymes (misalnya captopril, enalapril),
antagonis reseptor angiotensin II (misalnya candesartan, losartan), calcium
channel blocker (misalnya amlodipin, nifedipin) dan alpha‐blocker (misalnya
doksasozin).
Yang lebih jarang digunakan adalah vasodilator dan antihipertensi kerja
sentral dan yang jarang dipakai, guanetidin, yang diindikasikan untuk keadaan
krisis hipertensi.
No Golongan Obat Mekanisme Kerja Efek Samping Contoh Obat
.
1. Diuretik Tiazid  Menghambat reabsorpsi hipokalemia,hiponatriemi, bendroflumetiazid
sodium pada daerah awal hipomagnesiemi,hiperkalsemia
tubulus distal ginjal , hiperuresemia, peningkatan
 Meningkatkan ekskresi resiko DM II, hiperlipidemia,
sodium dan volume urin impotensi pada pria.
 Vasodilator arteriol
2. ACE Inhibitor Menghambat secara gangguan fungsi Captopril,enalapril
kompetitif pembentukan ginjal,hiperkalemia, batuk
angiotensin II dari prekursor
angiotensin I inaktif yang
terdapat pada darah,
pembuluh darah, ginjal,
jantung, kelenjar adrenal dan
otak.
3. Antagonis Memblok sistem gangguan fungsi ginjal, candesartan,
Reseptor reninangitensin melalui jalur hiperkalemia losartan
Angiotensin II antagonis reseptor AT1
4. Calcium Menurunkan influks ion Kemerahan, pusing, amlodipin,nifedipin
Channel kalsium ke dalam sel pembengkakan, gangguan
Blocker miokard, sel‐sel dalam sistem pencernaan
konduksi jantung, dan sel‐sel
otot polos
pembuluh darah
5. Alpha Blocker Memblok adrenoseptor alfa‐1 Hipotensi postural doksasozin
perifer, mengakibatkan efek
vasodilatasi karena
merelaksasi otot polos
pembuluh darah
6. Beta Blocker Memblok betaadenoreseptor bronkhospasme, bradikardia, propanolol,atenolol,
miokardia, vasokonstriksi labetolol,acebutolol,
pembuluh darah, hipoglikemia, bisoprolol
rasa malas, mimpi buruk,
impotensi, peningkatan
kadar trigliserida, penurunan
kadar HDL.
7. Obat  Antihipertensi vasodilator (misalnya hidralazin, minoksidil) menurunkan tekanan
Golongan Lain darah dengan cara merelaksasi otot polos pembuluh darah.
 Antihipertensi kerja sentral (misalnya klonidin, metildopa, monoksidin) bekerja
pada adrenoseptor alpha‐2 atau reseptor lain pada batang otak, menurunkan
aliran simpatetik ke jantung, pembuluh darah dan ginjal, sehingga efek ahirnya
menurunkan tekanan darah

1. Diuretik tiazid
Diuretik tiazid adalah diuretik dengan potensi menengah yang menurunkan
tekanan darah dengan cara menghambat reabsorpsi sodium pada daerah
awal tubulus distal ginjal, meningkatkan ekskresi sodium dan volume urin.
Tiazid juga mempunyai efek vasodilatasi langsung pada arteriol, sehingga
dapat mempertahankan efek antihipertensi lebih lama. Tiazid diabsorpsi baik
pada pemberian oral, terdistribusi luas dan dimetabolisme di hati. Efek
diuretik tiazid terjadi dalam waktu 1‐2 jam setelah pemberian dan bertahan
sampai 12‐24 jam, sehingga obat ini cukup diberikan sekali sehari. Efek
antihipertensi terjadi pada dosis rendah dan peningkatan dosis tidak
memberikan manfaat pada tekanan darah, walaupun diuresis meningkat pada
dosis tinggi. Efek tiazid pada tubulus ginjal tergantung pada tingkat
ekskresinya, oleh karena itu tiazid kurang bermanfaat untuk pasien dengan
gangguan fungsi ginjal.
 Efek samping
Peningkatan eksresi urin oleh diuretik tiazid dapat mengakibatkan
hipokalemia, hiponatriemi, dan hipomagnesiemi. Hiperkalsemia dapat terjadi
karena penurunan ekskresi kalsium. Interferensi dengan ekskresi asam urat
dapat mengakibatkan hiperurisemia, sehingga penggunaan tiazid pada
pasien gout harus hati‐hati. Diuretik tiazid juga dapat mengganggu toleransi
glukosa (resisten terhadap insulin) yang mengakibatkan peningkatan resiko
diabetes mellitus tipe 2. Efek samping yang umum lainnya adalah
hiperlipidemia, menyebabkan peningkatan LDL dan trigliserida dan
penurunan HDL. 25% pria yang mendapat diuretic tiazid mengalami
impotensi, tetapi efek ini akan hilang jika pemberian tiazid dihentikan.

2. Beta-blocker
Beta blocker memblok beta‐adrenoseptor. Reseptor ini diklasifikasikan
menjadi reseptor beta‐1 dan beta‐2. Reseptor beta‐1 terutama terdapat pada
jantung sedangkan reseptor beta‐2 banyak ditemukan di paru‐paru, pembuluh
darah perifer, dan otot lurik. Reseptor beta‐2 juga dapat ditemukan di jantung,
sedangkan reseptor beta‐1 juga dapat dijumpai pada ginjal. Reseptor beta
juga dapat ditemukan di otak. Stimulasi reseptor beta pada otak dan perifer
akan memacu penglepasan neurotransmitter yang meningkatkan aktivitas
system saraf simpatis. Stimulasi reseptor beta‐1 pada nodus sino‐atrial dan
miokardiak meningkatkan heart rate dan kekuatan kontraksi. Stimulasi
reseptor beta pada ginjal akan menyebabkan penglepasan rennin,
meningkatkan aktivitas system renninangiotensin‐ aldosteron. Efek akhirnya
adalah peningkatan cardiac output, peningkatan tahanan perifer dan
peningkatan sodium yang diperantarai aldosteron dan retensi air. Terapi
menggunakan beta‐blocker akan mengantagonis semua efek tersebut
sehingga terjadi penurunan tekanan darah. Beta‐blocker yang selektif (dikenal
juga sebagai cardioselective beta‐blockers), misalnya bisoprolol, bekerja pada
reseptor beta‐1, tetapi tidak spesifik untuk reseptor beta‐1 saja oleh karena itu
penggunaannya pada pasien dengan riwayat asma dan bronkhospasma
harus hati‐hati. Beta‐blocker yang nonselektif (misalnya propanolol) memblok
reseptor beta‐1 dan beta‐2. Beta‐blocker yang mempunyai aktivitas agonis
parsial (dikenal sebagai aktivitas simpatomimetik intrinsik), misalnya
acebutolol, bekerja sebagai stimulan‐beta pada saat aktivitas adrenergik
minimal (misalnya saat tidur) tetapi akan memblok aktivitas beta pada saat
aktivitas adrenergik meningkat (misalnya saat berolahraga). Hal ini
menguntungkan karena mengurangi bradikardi pada siang hari. Beberapa
betablocker, misalnya labetolol, dan carvedilol, juga memblok efek
adrenoseptor‐alfa perifer. Obat lain, misalnya celiprolol, mempunyai efek
agonis beta‐2 atau vasodilator. Beta‐blocker diekskresikan lewat hati atau
ginjal tergantung sifat kelarutan obat dalam air atau lipid. Obatobat yang
diekskresikan melalui hati biasanya harus diberikan beberapa kali dalam
sehari sedangkan yang diekskresikan melalui ginjal biasanya mempunyai
waktu paruh yang lebih lama sehingga dapat diberikan sekali dalam sehari.
Beta‐blocker tidak boleh dihentikan mendadak melainkan harus secara
bertahap, terutama pada pasien dengan angina, karena dapat terjadi
fenomena rebound.
 Efek samping
Blokade reseptor beta‐2 pada bronkhi dapat mengakibatkan bronkhospasme,
bahkan jika digunakan beta‐blocker kardioselektif. Efek samping lain adalah
bradikardia, gangguan kontraktil miokard, dan tanga‐kaki terasa dingin karena
vasokonstriksi akibat blokade reseptor beta‐2 pada otot polos pembuluh
darah perifer. Kesadaran terhadap gejala hipoglikemia pada beberapa pasien
diabetes melitus tipe 1 dapat berkurang. Hal ini karena beta‐blocker memblok
sistem saraf simpatis yang bertanggung jawab untuk “memberi peringatan“
jika terjadi hipoglikemia. Berkurangnya aliran darah simpatetik juga
menyebabkan rasa malas pada pasien. Mimpi buruk kadang dialami,
terutama pada penggunaan beta‐blocker yang larut lipid seperti propanolol.
Impotensi juga dapat terjadi. Beta‐blockers non‐selektif juga menyebabkan
peningkatan kadar trigilserida serum dan penurunan HDL.
3. ACE inhibitor
Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEi) menghambat secara
kompetitif pembentukan angiotensin II dari prekursor angiotensin I yang
inaktif, yang terdapat pada darah, pembuluh darah, ginjal, jantung, kelenjar
adrenal dan otak. Angitensin II merupakan vaso‐konstriktor kuat yang
memacu penglepasan aldosteron dan aktivitas simpatis sentral dan perifer.
Penghambatan pembentukan angiotensin iI ini akan menurunkan tekanan
darah. Jika sistem angiotensin‐renin‐aldosteron teraktivasi (misalnya pada
keadaan penurunan sodium, atau pada terapi diuretik) efek antihipertensi
ACEi akan lebih besar. ACE juga bertanggungjawab terhadap degradasi
kinin, termasuk bradikinin, yang mempunyai efek vasodilatasi. Penghambatan
degradasi ini akan menghasilkan efek antihipertensi yang lebih kuat.
Beberapa perbedaan pada parameter farmakokinetik obat ACEi. Captopril
cepat diabsorpsi tetapi mempunyai durasi kerja yang pendek, sehingga
bermanfaat untuk menentukan apakah seorang pasien akan berespon baik
pada pemberian ACEi. Dosis pertama ACEi harus diberikan pada malam hari
karena penurunan tekanan darah mendadak mungkin terjadi; efek ini akan
meningkat jika pasien mempunyai kadar sodium rendah.
4. Antagonis Reseptor Angiotensin II
Reseptor angiotensin II ditemukan pada pembuluh darah dan target lainnya.
Disubklasifikasikan menjadi reseptor AT1 dan AT2. Reseptor AT1
memperantarai respon farmakologis angiotensin II, seperti vasokonstriksi dan
penglepasan aldosteron. Dan oleh karenanya menjadi target untuk terapi
obat. Fungsi reseptor AT2 masih belum begitu jelas. Banyak jaringan mampu
mengkonversi angiotensin I menjadi angiotensin II tanpa melalui ACE. Oleh
karena itu memblok sistem renin‐angitensin melalui jalur antagonis reseptor
AT1 dengan pemberian antagonis reseptor angiotensin II mungkin
bermanfaat. Antagonis reseptor angiotensin II (AIIRA)mempunyai banyak
kemiripan dengan ACEi, tetapi AIIRA tidak mendegradasi kinin. Karena
efeknya pada ginjal, ACEi dan AIIRA dikontraindikasikan pada stenosis arteri
ginjal bilateral dan pada stenosis arteri yang berat yang mensuplai ginjal yang
hanya berfungsi satu.
 Efek samping ACEi dan AIIRA
Sebelum mulai memberikan terapi dengan ACEi atau AIIRA fungsi ginjal dan
kadar elektrolit pasien harus dicek. Monitoring ini harus terus dilakukan
selama terapi karena kedua golongan obat ini dapat mengganggu fungsi
ginjal. Baik ACEi dan AIIRA dapat menyebabkan hiperkalemia karena
menurun‐kan produksi aldosteron, sehingga suplementasi kalium dan
penggunaan diuretik hemat kalium harus dihindari jika pasien mendapat
terapiACEI atau AIIRA. Perbedaan antara ACEi dan AIIRA adalah batuk
kering yang merupakan efek samping yang dijumpai pada 15% pasien yang
mendapat terapi ACEi. AIIRA tidak menyebabkan batuk karena tidak
mendegaradasi bradikinin.
5. Calcium channel blocker
Calcium channel blockers (CCB) menurunkan influks ion kalsium ke dalam sel
miokard, sel‐sel dalam sistem konduksi jantung, dan sel‐sel otot polos
pembuluh darah. Efek ini akan menurunkan kontraktilitas jantung, menekan
pembentukan dan propagasi impuls elektrik dalam jantung dan memacu
aktivitas vasodilatasi, interferensi dengan konstriksi otot polos pembuluh
darah. Semua hal di atas adalah proses yang bergantung pada ion kalsium.
Terdapat tiga kelas CCB: dihidropiridin (misalnya nifedipin dan amlodipin);
fenilalkalamin (verapamil) dan benzotiazipin (diltiazem). Dihidropiridin
mempunyai sifat vasodilator perifer yang merupakan kerja antihipertensinya,
sedangkan verapamil dan diltiazem mempunyai efek kardiak dan digunakan
untuk menurunkan heart rate dan mencegah angina. Semua CCB
dimetabolisme di hati.

 Efek samping
Kemerahan pada wajah, pusing dan pembengkakan pergelangan kaki sering
dijumpai, karena efek vasodilatasi CCB dihidropiridin. Nyeri abdomendan
mual juga sering terjadi. Saluran cerna juga sering terpengaruh oleh influks
ion kalsium, oleh karena itu CCB sering mengakibatkan gangguan
gastrointestinal, termasuk konstipasi.
6. Alpha-blocker
Alpha‐blocker (penghambat adrenoseptor alfa‐1) memblok adrenoseptor alfa‐
1 perifer, mengakibatkan efek vasodilatasi karena merelaksaasi otot polos
pembuluh darah. Diindikasikan untuk hipertensi yang resisten.
 Efek samping
Alpha‐blocker dapat menyebabkan hipotensi postural, yang sering terjadi
pada pemberian dosis pertama kali. Alpha‐blocker bermanfaat untuk pasien
laki‐laki lanjut usia karena memperbaiki gejala pembesaran prostat.
7. Golongan lain
Antihipertensi vasodilator (misalnya hidralazin, minoksidil) menurunkan
tekanan darah dengan cara merelaksasi otot polos pembuluh darah.
Antihipertensi kerja sentral (misalnya klonidin, metildopa, monoksidin) bekerja
pada adrenoseptor alpha‐2 atau reseptor lain pada batang otak, menurunkan
aliran simpatetik ke jantung, pembuluh darah dan ginjal, sehingga efek
ahirnya menurunkan tekanan darah.
 Efek samping
Antihipertensi vasodilator dapat menyebabkan retensi cairan. Tes fungsi hati
harus dipantau selama terapi dengan hidralazin karena ekskresinya melalui
hati. Hidralazin juga diasosiakan dengan sistemiklupus eritematosus.
Minoksidil diasosiasikan dengan hipertrikosis (hirsutism) sehingga kurang
sesuai untuk pasien wanita. Obat‐obat kerja sentral tidak spesifik atau tidak
cukup selektif untuk menghindari efek samping sistem saraf pusat seperti
sedasi, mulut kering dan mengantuk, yang sering terjadi. Metildopa
mempunyai mekanisme kerja yang mirip dengan konidin tetapi dapat
memnyebabkan efek samping pada sistem imun, termasuk pireksia, hepatitis
dan anemia hemolitik.

B. Terapi Non Farmakologi


Pengobatan non farmakologi yang utama terhadap hipertensi adalah
pembatasan garam dalam makanan, pengawasan berat badan, dan
membatasi minuman alkohol. Intervensi terhadap faktor di atas dapat
digunakan sendiri atau dalam kombinasi. Pengobatan ini akan benar-benar
berguna apabia tekanan darah diastol di antara 90-95 pada penderita
hipertensi dengan usia kurang dari 50 tahun yang tidak mempunyai faktor-
faktor resiko kardiovaskuler lainnya seperti : diabetes mellitus,
hiperkolesterolemia, laki-laki, riwayat keluarga, kulit hitam, atau bukti-bukt
adanya kerusakan dalam organ target. Pengobatan nonfarmakologi diberikan
sebagai tambahan pada penderita-penderita yang mendapat terapi dengan
obat-obat. (Suwarso, 2010).

1. Modifikasi Gaya Hidup


Modifikasi Rekomendasi Kira-kira Penurunan
Tekanan darah, range
Penurunan BB Pelihara BB Normal 5-20 mmHg/10-kg
(BMI 18,5-24.9) 13
penurunan BB
Adopsi pola makan DASH Diet kaya dengan buah, 16
Sayur,dan produk susu, 18-14 mmHg
Rendah lemak
Diet rendah sodium Mengurangi diet,sodium, 2-8 mmHg
Tidak lebih dari 100meq/L
(2.4 gsodium atau 6 g sodium
Klorida)
Aktifitas fisik Reguler aktifitas fisik aerobik 18
Seperti jalan kaki 30 m/hari, 4-9 mmHg
Beberapa hari/minggu
Minum alkohol sedikit saja Limit minum alkohol tidak lebih
Dari 2/hari (30ml etanol[.720 ml 2-4 mmHg
Beer, 300 mlwine) untuk laki-laki
Dan 1/hari untuk perempuan
Singkatan: BMI, body mass index, BB, Berat,DASH, Dietary Approach to Stop
Hypertension
Berhenti meroko, untuk mengurangi resiko kardiovaskuler secara keseluruhan

Tabel 4. Modifikasi Gaya Hidup Untuk Mengontrol Hipertensi

Menerapkan gaya hidup sehat bagi setiap orang sangat penting untuk
mencegah tekanan darah tinggi dan merupakan bagian yang penting dalam
penanganan hipertensi. Semua pasien dengan prehipertensi dan hipertensi
harus melakukan perubahan gaya hidup. Disamping menurunkan tekanan
darah pada pasien pasien dengan hipertensi, modifikasi gaya hidup juga
dapat mengurangi berlanjutnya tekanan darah ke hipertensi pada pasien-
pasien dengan tekanan darah prehipertensi. (He J, et.al., 2008). Modifikasi
gaya hidup yang penting yang terlihat dapat menurunkan tekanan darah
adalah mengurangi berat badan untuk individu yang obesitas ; mengadopsi
pola makan DASH (Dietary Approach to Stop Hypertension) yang kaya akan
kalium dan kalsium; diet rendah natrium; aktifitas fisik; dan tidak banyak
mengkonsumsi alkohol. Pada sejumlah pasien dengan pengontrolan tekanan
darah cukup baik dengan terapi satu obat antihipertensi; mengurangi garam
dan berat badan dapat membebaskan pasien dari menggunakan obat.
(Hyman DJ et.al., 2009).
2. Pembatasan Garam dalam Makanan
Pada beberapa orang dengan penyakit hipertensi, ada yang peka terhadap
garam (saltsensitive) dan terdapat pula yang resisten terhadap garam.
Penderita hipertensi yang peka terhadap garam cenderung akan menahan
natrium, berat badan bertambah, dan menimbulkan hipertensi pada diet yang
tinggi garam. Sebaliknya, untuk penderita yang resisten terhadap garam
cenderung tidak terdapat perubahan dalam berat badannya atau tekanan
darah pada diet garam rendah atau tinggi. Reaksi terhadap garam ini
menjelaskan mengapa beberapa orang yang mempunyai penurunan tekanan
darah yang tidak sesuai dengan pembatasan garam dalam makanan, sedang
pada orang lain tekanan darah tetap tidak berubah. (Suwarso, 2010).
Dari hasil penelitian, diketahui bahwa diet yang mengandung 1600-
2300 mg natrium/hari dapat menurunkan tekanan darah sistolik sebesar 9-15
mmHg dan tekanan diastolik sebesar 7-16 mmHg. Pembatasan garam sekitar
2000 mg natrium/hari dianjurkan untuk pengelolaan diet pada kebanyakan
penderita hipertensi. (Suwarso, 2010).
Pembatasan konsumsi garam sangat dianjurkan, maksimal 2 gr garam
dapur perhari dan menghindari makanan yang kandungan garamnya tinggi.
Misalnya telur asin, ikan asin, terasi, minuman dan makanan yang
mengandung ikatan natrium.Tujuan diet rendah garam adalah untuk
membantu menghilangkan retensi (penahan) air dalam jaringan tubuh
sehingga dapat menurunkan tekanan darah. Walaupun rendah garam, yang
penting diperhatikan dalam melakukan diet ini adalah komposisi makanan
harus tetap mengandung cukup zat-zat gizi, baik kalori, protein, mineral,
maupun vitamin yang seimbang. (Unimus)

Diet rendah garam dibagi menjadi 3 :


1. Diet garam rendah I (200-400 mg Na)
Diet garam rendah I diberikan kepada pasien dengan edema, asites dan /
atau hipertensi berat. Pada pengolahan makanannya tidak ditambahkan
garam dapur. Dihindari bahan makanan yang tinggi kadar natriumnya.
2. Diet garam rendah II (600-800 mg Na)
Diet garam rendah II diberikan kepada pasien dengan edema, asites, dan /
atau hipertensi tidak berat. Pemberian makanan sehari sama dengan diet
garam rendah I. Pada pengolahan makanannya boleh menggunakan ½ sdt
garam dapur. Dihindari bahan makanan yang tinggi kadar natriumnya.
3. Diet garam rendah III (1000 – 1200 mg Na)
Diet garam rendah III diberikan kepada pasien dengan edema dan atau
hipertensi ringan. Pemberian makanan sehari sama dengan diet garam
rendah I. Pada pengolahan makanannya boleh menggunakan 1 sdt garam
dapur. (Unimus).
3. Diet rendah kolesterol dan lemak terbatas
Membatasi konsumsi lemak dilakukan agar kadar kolesterol darah tidak
terlalu tinggi. Kadar kolesterol darah yang terlalu tinggi dapat mengakibatkan
terjadinya endapan kolesterol dalam dinding pembuluh darah. Lama-
kelamaan jika endapan kolesterol bertambah akan menyumbat pembuluh
nadi dan mengganggu peredaran darah. Dengan demikian, akan
memperberat kerja jantung dan secara tidak langsung memperparah
hipertensi. (Unimus). Diet ini bertujuan untuk menurunkan kadar kolesterol
darah dan menurunkan berat badan bagi penderita yang kegemukan.
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam mengatur diet lemak antara lain
sebagai berikut :
1. Hindari penggunaan lemak hewan, margarin, dan mentega, terutama
makanan yang digoreng dengan minyak
2. Batasi konsumsi daging, hati, limpa, dan jenis jeroan lainnya serta sea food
(udang, kepiting), minyak kelapa, dan santan
3. Gunakan susu skim untuk pengganti susu full cream
4. Batasi konsumsi kuning telur, paling banyak tiga butir dalam seminggu.
(Unimus). Pembatasan asupan natrium dapat merupakan pengobatan
efektif bagi banyak pasien dengan hipertensi ringan. Diet rata rata orang
Amerika mengandung sekitar 200 meq natrium setiap harinya. Diet yang
dianjurkan untuk pengobatan hipertensi adalah 70-100 meq natrium setiap
harinya, dapat dicapai dengan tidak memberi garam pada makanan
selama atau sesudah memasak dan menghindari makanan yang
diawetkan dengan kandungan natrium besar. Kepatuhandalam
pembatasan natrium dapat ditentukan dengan mengukur ekskresi natrium
urine setiap 24 jam, yang dapat memperkirakan masukan natrium sebelum
dan sesudah petunjuk untuk melakukan diet.(Univesitas Udayana)
4. Olahraga
Aktifitas fisik dapat menurunkan tekanan darah. Olah raga aerobik secara
teratur paling tidak 30 menit/hari beberapa hari per minggu ideal untuk
kebanyakan pasien. Studi menunjukkan kalau olah raga aerobik, seperti
jogging, berenang, jalan kaki, dan menggunakan sepeda, dapat menurunkan
tekanan darah. Keuntungan ini dapat terjadi walaupun tanpa disertai
penurunan berat badan. (Depkes, 2006).
5. Mengurangi Berat Badan
Insiden hipertensi meningkat 54 hingga 142% pada penderita yang obesitas.
Penurunan berat badan dalam waktu yang pendek dalam jumlah yang cukup
besar biasanya disertai dengan penurunan tekanan darah. Beberapa peneliti
menghitung ratarata penurunan tekanan darah sebesar 20,7 sampai 12,7
mmHg dapat mencapai penurunan berat badan rata-rata sebesar 11,7 kg.
Terdapat hubungan yang erat antara perubahan berat badan dan perubahan
tekanan darah dengan ramalan tekanan darah sebesar 25/15 mmHg setiap
kilogram penurunan berat badan. (Suwarso, 2010).
6. Pembatasan Alkohol
Kurang lebih sebanyak 5-12% dari kasus hipertensi yang mengurangi minum
alkohol dapat menurunkan tekanan darahnya. (Suwarso, 2010).
7. Meningkatkan konsumsi buah dan sayur
Diet yang kaya buah dan sayuran dengan sedikit produk rendah lemak efektif
menurunkan tekanan darah, diduga berkaitan dengan tinggi kalium dan
kalsium pada diet tersebut. (Universitas Udayana) Buah dan sayuran segar
mengandung banyak vitamin dan mineral. Buah yang banyak mengandung
mineral kalium dapat membantu menurunkan tekanan darah yang ringan.
Peningkatan masukan kalium (4,5 gram atau 120-175 mEq/hari) dapat
memberikan efek penurunan darah. Selain itu, pemberian kalium juga
membantu untuk mengganti kehilangan kalium akibat dari rendahnya natrium.
(Unimus).

8. Terapi Diet Pisang Ambon


Berdasarkan penelitian yang dilakukanoleh Tangkilisan, et.al pada tahun
2013, didapatkan bahwa terapi diet pisang ambon dapat menurunkan tekanan
darah sistolik dan diastolik pada pasien hipertensi. Pisang dapat menurunkan
tekanan darah karena mengandung kalium tinggi yang bekerja mirip obat
antihipertensi di dalam tubuh manusia.
9. Berhenti Merokok
Merokok merangsang sistem adrenergik dan meningkatkan tekanan darah.
Berdasarkan penelitian bahwa ada hubungan yang linear antara jumlah
alkohol yang diminum dengan laju kenaikan tekanan sistolik arteri. (Unimus).
10. Terapi Relaksasi
Terapi relaksasi ditujukan untuk menangani faktor psikologis dan stress yang
dapat emnyebabkan hipertensi. Hormon epineprin dan kortisol yang
dilepaskan saat stress menyebabkan peningkatan tekanan darah dengan
menyempitkan pembuluh darah dan meningkatkan denyut jantung. Besarnya
peningkatan tekanan darah tergantung pada beratnya stress dan sejauh
mana kita dapat mengatasinya. Penanganan stress yang adekuat dapa
berpengaruh baik terhadap penurunan tekanan darah. (Hikayati, 2014).
Relaksasi yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan teknik
pernapasan yang ritmis dan alami. Di dalam relaksasi harus melakukan
pernapasan yang ritmis agar dapat mencapai hasil relaksasi yang optimal
melalui penurunan gelombang otak dari gelombang beta ke gelombang alpha.
Pernapasan dengan irama yang teratur akan menenangkan gelombang otak
serta merelaksasikan seluruh otot dan jaringan tubuh. (Hikayati, 2014).

BAB III

KERANGKA KONSEP HIPOTESIS PENELITIAN

A. KERANGKA KONSEP

Penyakit Jantung
Faktor- faktor yang mempengaruhi Dispnea Paroksimal Nokturnal
perubahan kualitas tidur :
1. Status kesehatan
2. Lingkungan Irama sirkadian berubah sehingga
3. Stress psikologis
latensi tidur meningkat dan mudah
4. Diet
5. Gaya hidup terbangun pada malam hari
6. Obat-obatan

7. Aktivitas fisik
Perubahan kualitas tidur dan
pola istirahat
7. Aktivitas fisik

Metabolisme tubuh
Kualitas tidur baik

Sirkulasi darah

Relaksasi

Ketegangan otak dan otot

berkurang

Gambar 3.1 Kerangka Konseptual Penelitian Hubungan Antara Aktivitas


Fisik Terhadap Kualitas Tidur Penyakit Jantung.

Keterangan :

: Diteliti

: Tidak diteliti

Penderita penyakit jantung akan mengalami gangguan tidur yaitu dipsnea paroksimal
nokturnal yang menyebabkan terjadinya perubahan irama sirkadian sehingga
berdampak pada latensi tidur yang meningkat dan mudah terbangun pada malam
hari, sehingga menyebabkan perubahan kualitas tidur dan pola istirahat, serta
mengganggu kualitas tidur penderita penyakit jantung. Faktor-faktor yang
mempengaruhi tidur pada penderita penyakit jantung diantaranya, status kesehatan,
lingkungan, stress psikologis, diet, gaya hidup, obatobatan dan akivitas fisik yang
dapat memicu terjadinya gangguan tidur pada penderita penyakit jantung.

Berdasarkan teori H.L Blum, dilihat dari faktor genetk seperti:


Riwayat keluarga Penyakit Jantung merupakan faktor resiko terjadinya
hipertensi dalam keluarga. Pada usia lanjut asupan kalori sehingga mengimbangi
penuruna kebutuhan energi karena kurangnya aktivitas. Itu sebabnya berat badan
meningkat. Obesitas dapat memperburuk kondisi lansia karena dapat memicu
timbulnya berbagai penyakit seperti artritis, jantung dan pembuluh darah, hipertensi.
Sedangkan, hubungan antara stress dengan hipertensi diduga melalui aktivitas saraf
simpatis peningkatan saraf dapat menaikan tekanan darah secara intermiten (tidak
menentu). Stress yang berkepanjangan dapat mengakibatkan tekanan darah
menetap tinggi. Dari faktor perilaku, seperti: merokok menyebabkan peninggian
tekanan darah. Perokok berat dapat dihubungkan dengan peningkatan insiden
hipertensi.
Masyarakat yang mendukung dan memiliki wawasan yang luas dapat
menciptakan populasi masyarakat yang sehat juga. Kurangnya aktivitas fisik
menaikan risiko tekanan darah tinggi karena bertambahnya risiko untuk menjadi
gemuk. Orang-orang yang tidak aktif cenderung mempunyai detak jantung lebih
cepat dan otot jantung mereka harus bekerja lebih keras pada setiap kontraksi,
semakin keras dan sering jantung harus memompa semakin besar pula kekuatan
yang mendesak arteri. Latihan fisik berupa berjalan kaki selama 30-60 menit setiap
hari sangat bermanfaat untuk menjaga jantung dan peredaran darah. Sedangkan bila
dilihat dari karakteristiknyadengan bertambahnya umur elastisitas pembuluh darah
menurun sehingga dapat mengakibatkan terjadinya hipertensi. Hipertensi lebih
banyak terjadi pada pria bila terjadi pada umur dewasa muda. Tetapi lebih banyak
menyerang wanita setelah umur 55 tahun, sekitar 60% penderita hipertensi adalah
wanita. Hal ini sering dikaitkan dengan perubahan hormon setelah menopause.
Dari faktor lingkungan ada dua, yaitu: lingkungan social dan lingkungan
fisik.Lingkungan social meliputi lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat
sekitar, sangat berperan penting dalam hal pengetahuan dan keprihatinan atas
hipertensi. Sehingga, dalam penangannya perlu diadakan kerjasama lintas
sektoral.Lingkungan fisik meliputi keadaan rumah dan tempat kerja. Keadaan rumah
dan tempat kerja yang baik, bisa menjadikan masyarakat terbiasa dengan pola hidup
bersih dan sehat. Faktor pelayanan kesehatan dilihat dari: Ketersediaan tempat
posyandu lansi, yaitu Sarana dan prasarana yang mendukung bisa meningkatkan
mutu layanan sehingga bisa membuat pasien merasa nyaman.
Selanjutnya penerimaan program posyandu lansia, Bila program tidak
diterima oleh masyarakat maka pemantauan kesehatan terutama tekanan darah
terhadap lansia di posyandu akan sulit. Selain itu, Akses yang mudah ke lokasi
merupakan salah satu faktor yang menyebabkan pasien bisa berkunjung. Sehingga
pemantauan kesehatan atau hipertensi bisa berjalan dengan baik. Dan yang tidak
kalah penting adalah biaya yang terjangkau, pada pelayanan pasien pada posyandu
lansia ini gratis tidak dikenakan biaya sehingga diharapkan banyak pasien yang akan
datang.

B. Hipotesis Penelitian
Hipotesis adalah jawaban sementara dari rumusan masalah penelitian yang masih
perlu diuji kebenarannya melalui uji hipotesis atau uji statistik (Swarjana, 2016).
Berdasarkan konsep diatas maka dalam penelitian ini akan dikembangkan hipotesis
sebagai berikut:
H1: Ada hubungan antara aktivitas fisik dengan kualitas tidur penderita penyakit
jantung. Ada pengaruh antara aktivitas fisik dengan kejadian hipertensi para lanjut
usia di Yayasan Pelayanan Kasih Bethesdha Malang.

BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Metode Penelitian
Desain penelitian menggunakan pendekatan cross sectional dan jenis penelitian
adalah analitik observasional karena bertujuan menganalisis hubungan dua
variabel yang diteliti tanpa memberi perlakuan (eksperimen) pada sampel
(Sastroasmoro,2011).

B. Lokasi dan Waktu Penelitian


1. Lokasi
Penelitian dilakukan di Yayasan Pelayanan Kasih Bethesdha Malang.

2. Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan dari tanggal 18 Januari sampai tanggal 23 Januari 2019.

Tabel 4.1 Lokasi dan waktu penelitian

Minggu
No Kegiatan I II
1. Pengumpulan Data Yayasan
C. 2. Perumusan masalah Populasi
dan 3. Penyusunan proposal Sample
4. Penyusunan kuesioner
1. Populasi
5. Konsultasi
Populasi
6. Pembagian kuesioner
7. Pengelolaan data dalam
8. Penarikan kesimpulan penelitian ini
adalah peserta posyandu lansia bulan Januari 2019 di Yayasan Pelayanan Kasih
Bethesdha Malang. sebanyak 51 Lansia.

2. Besar dan Cara Pengambilan Sampel


Sampel penelitian diambil secara Total Sampling dengan besar sampel 51 lansia
yaitu seluruh lansia yang hadir pada posyandu lansia bulan Januari 2019.

D. Variabel dan Definisi Operasional

Tabel 4.1Tabel Variabel dan Definisi Operasional

Cara Hasil Ukur


No. Variabel Defenisi Ukur Alat Ukur Kategori Skala
1. Aktifitas aktivitas fisik respon yang Wawa kuisioner 1. olahraga Nominal
Fisik dilakukan oleh Subjek ncara 2. tidak
Penelitian olahraga
Olah raga : Aktifitas fisik
lain :
-Frekuensi
-Jalan kaki
-Lama -Bersepeda
-Naik turun
tangga
-Joging

2. Kualitas kualitas hidup sebagai derajat Wawanc kuisioner 1.Puas Nominal


Hidup kepuasan atas penerimaan ara 2.Tidak Puas
suasana kehidupan saat ini.
perasaan subjektif seseorang
mengenai kesejahteraan
dirinya.
 kesehatan fisik
 kesejahteraan
 psikologis
 tingkat kemandirian
 hubungan sosial
 hubungan dengan
lingkungan, dan
 keadaan spiritual.

E. Jenis, Teknik dan Alat Pengumpulan Data


1. Data primer didapatkan dengan tehnik pengisian langsung oleh responden pada
alat pengumpul data berupa kuisioner yang diberikan.
2. Data sekunder diperoleh dengan tehnik studi dokumen berupa KMS/ laporan
data Geografi dan Demografi di Yayasan Pelayanan Kasih Bethesdha Malang
dengan alat pengumpul data berupa catatan lapangan.

F. Pengolahan Data
Pengolahan data bertujuan mengubah data mentah dari hasil pengukuran menjadi
data yang lebih halus sehingga memberikan arah untuk pengkajian lebih lanjut
(Sudjana, 2001). kegiatan pengolahan data meliputi :

1. Editing Data
Editing data adalah (Arikunto, 2006) proses meneliti hasil survai untuk meneliti
apakah ada response yang tidak lengkap, tidak komplet atau membingungkan;
meneliti kembali data yang terkumpul dari penyebaran kuesioner. Langkah
tersebut dilakukan untuk mengetahui apakah data yang terkumpul sudah cukup
baik. Pemeriksaan data atau editing dilakukan terhadap jawaban yang telah ada
dalam kuesioner dengan memperhatikan halhal meliputi: kelengkapan pengisian
jawaban, kejelasan tulisan, kejelasan makna jawaban, serta kesesuaian antar
jawaban.

2. Scoring Data
Scoring adalah memberikan penilaian terhadap item pertanyaan pada kuesioner
yang diberikan kepada responden. Aktivitas Fisik terdiri dari 6 item Pertanyaan:
1. Apakah menurut anda olahraga itu penting?
Jawab:
a.Ya
b.Tidak
Untuk jawaban Ya diberi skor 1, dan jawaban Tidak diberi skor 0
2. Apakah anda berolahraga?
Jawab:
a.Ya
b.Tidak
Untuk jawaban Ya diberi skor 1, dan jawaban Tidak diberi skor 0
3. Jika ya, berapa kali anda berolahraga dalam seminggu?
Jawab:
a. Setiap hari diberi skor 2
b. lebih dari 2x seminggu diberi skor 1
c. kurang dari 2x seminggu dibei skor 0
4. Jika ya, berapa lama lama anda berolahraga?
a. > 30 menit diberi skor 1
b. < 30 menit diberi skor 0
5. Apakah anda sering melakukan aktivitas fisik lain di usia anda saat ini?
Jawab:
a.Ya
b.Tidak
Untuk jawaban Ya diberi skor 1, dan jawaban Tidak diberi skor 0
6. Aktivitas fisik apa yang sering anda lakukan?
Jawab:
(pertanyaan terbuka), berdasarkan hasil kuisioner jawaban terbanyak
adalah:
1. Bersepeda diberi skor 1
2. Bertani diberi skor 1
3. Jalan-jalan diberi skor 1
4. Lain-lain skor 0
Dari 6 item didapat Skor total 0 s/d 7

 Kesimpulan
Bila skor total = 3 ≤ dikategorika sebagai ‘TIDAK, dan
= > 3 dikategorikan sebagai “ADA”’

Untuk mengetahui lansia yang mengalami hipertensi atau tidak data


diambil melalui pengukuran tekanan darah secara langsung saat kegiatan
posyandu lansia dan ditulis kedalam catatan lapangan.

3. Tabulasi Data
Tabulasi merupakan pengorganisasian data sedemikian rupa agar dengan
mudah dijumlah, disusun, dan ditata untuk disajikan dan dianalisis. Penelitian ini
menggunalan tabulasi data metode Tally. Langkah-langkahnya adalah sebagai
berikut:
1. Membuat tabel yang memuat variabel dan ruang untuk membuat coretan
dan jumlah.
2. variabel yang diinginkan.
3. coretan sesuai dengan variabel tersebut.
4. semua coretan sesuai dengan variabelnya dijumlah.

G. Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan perhitungan manual menggunakan rumus rasio
prevalensi :
a
Rp −1 : ∑ −a /(a+b)
h

Keterangan :
Jika Rasio Prevalensi (RP ) = 1, maka faktor risiko tidak berpengaruh
atas timbulnya efek atau dikatakan bersifat netral. Jika Rasio Prevalensi
(RP ) > 1, maka faktor resiko merupakan penyebab timbulnya penyakit. Jika
Rasio Prevalensi (RP) < 1, maka faktor resiko bukan menjadi penyebab
toimbulnya penyakit bahkan merupakan faktor protektif.

Anda mungkin juga menyukai