Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

DENGAN “PNEUMONI (SUSP HIV)”


DI RUMAH SAKIT UMUM dr. SAIFUL ANWAR MALANG
Tugas ini dibuat untuk memenuhi tugas profesi ners pada mata kuliah Keperawatan Anak,
yang dibina oleh :
Ns. Lilla Maria, M.Kep

Disusun oleh :
Rani Wahyu Siswati
(2214314901040)

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MAHARANI MALANG


PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN
TAHUN 2023
A. Pengertian hiv

HIV ( Human immunodeficiency Virus ) adalah virus pada manusia yang


menyerang system kekebalan tubuh manusia yang dalam jangka waktu yang relatif
lama dapat menyebabkan AIDS, sedangkan AIDS sendiri adalah suatu
sindroma penyakit yang muncul secara kompleks dalam waktu relatif lama karena
penurunan sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh infeksi HIV.
a. AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) adalah sindroma yang
menunjukkan defisiensi imun seluler pada seseorang tanpa adanya penyebab yang
diketahui untuk dapat menerangkan terjadinya defisiensi tersebut sepertii
keganasan, obat-obat supresi imun, penyakit infeksi yang sudah dikenal dan
sebagainya ( Rampengan & Laurentz ,1997 : 171).
b. AIDS adalah penyakit yang disebabkan oleh virus yang merusak sistem kekebalan
tubuh manusia (H. JH. Wartono, 1999 : 09).
c. AIDS merupakan kumpulan gejala penyakit akibat menurunnya sistem kekebalan
tubuh (dr. JH. Syahlan, SKM. dkk, 1997 : 17).

Infeksi pada kehamilan adalah penyebab morbiditas ibu dan neonatal yang sudah
diketahui. Banyak kasus dapat dicegah, dan dalam makalah ini akan dibahas mengenai
penyakit infeksi yang sering ditemukan yang dapat terjadi dalam kehamilan.

B. Etiologi

Penyebab infeksi adalah golongan virus retro yang disebut human


immunodeficiency virus (HIV). HIV pertama kali ditemukan pada tahun 1983 sebagai
retrovirus dan disebut HIV-1. Pada tahun 1986 di Afrika ditemukan lagi retrovirus baru
yang diberi nama HIV-2. HIV-2 dianggap sebagai virus kurang pathogen
dibandingkaan dengan HIV-1. Maka untuk memudahkan keduanya disebut HIV.

Transmisi infeksi HIV dan AIDS terdiri dari lima fase yaitu :
1. Periode jendela. Lamanya 4 minggu sampai 6 bulan setelah infeksi. Tidak ada
gejala.
2. Fase infeksi HIV primer akut. Lamanya 1-2 minggu dengan gejala flu likes illness.
3. Infeksi asimtomatik. Lamanya 1-15 atau lebih tahun dengan gejala tidak ada.
4. Supresi imun simtomatik. Diatas 3 tahun dengan gejala demam, keringat malam
hari, B menurun, diare, neuropati, lemah, rash, limfadenopati, lesi mulut.
5. AIDS. Lamanya bervariasi antara 1-5 tahun dari kondisi AIDS pertama kali
ditegakkan. Didapatkan infeksi oportunis berat dan tumor pada berbagai system
tubuh, dan manifestasi neurologist.

Cara penularan HIV:


1. Melakukan penetrasi seks yang tidak aman dengan seseorang yang telah terinfeksi.
Kondom adalah satu–satunya cara dimana penularan HIV dapat dicegah.
2. Melalui darah yang terinfeksi yang diterima selama transfusi darah dimana darah
tersebut belum dideteksi virusnya atau pengunaan jarum suntik yang tidak steril.
3. Dengan mengunakan bersama jarum untuk menyuntik obat bius dengan seseorang
yang telah terinfeksi.
4. Wanita hamil dapat juga menularkan virus ke bayi mereka selama masa kehamilan
atau persalinan dan juga melalui menyusui.

Penularan secara perinatal:


1. Ibu hamil yang terinfeksi HIV dapat menularkan HIV pada bayi yang
dikandungnya.
2. Penularan dari ibu terjadi terutama pada saat proses melahirkan, karena pada saat
itu terjadi kontak secara lansung antara darah ibu dengan bayi sehingga virus dari
ibu dapat menular pada bayi.
3. Bayi juga dapat tertular virus HIV dari ibu sewktu berada dalam kandungan atau
juga melalui ASI
4. Ibu dengan HIV dianjurkan untuk PASI

Kelompok resiko tinggi:


1. Lelaki homoseksual atau biseks.
2. Orang yang ketagian obat intravena
3. Partner seks dari penderita AIDS
4. Penerima darah atau produk darah (transfusi).
5. Bayi dari ibu/bapak terinfeksi.

C. Macam infeksi HIV


Atas dasar interaksi HIV dengan respon imun pejamu, infeksi HIV dibagi menjadi
tiga Tahap :
a. Tahap dini, fase akut, ditandai oleh viremia transien, masuk ke dalam jaringan
limfoid, terjadi penurunan sementara dari CD4+ sel T diikuti serokonversi dan
pengaturan replikasi virus dengan dihasilkannya CD8+ sel T antivirus. Secara
klinis merupakan penyakit akut yang sembuh sendiri dengan nyeri tenggorok,
mialgia non-spesifik, dan meningitis aseptik. Keseimbangan klinis dan jumlah
CD4+ sel T menjadi normal terjadi dalam waktu 6-12 minggu.
b. Tahap menengah, fase kronik, berupa keadaan laten secara klinis dengan
replikasi. virus yang rendah khususnya di jaringan limfoid dan hitungan CD4+
secara perlahan menurun. Penderita dapat mengalami pembesaran kelenjar limfe
yang luas tanpa gejala yang jelas. Tahap ini dapat mencapai beberapa tahun.
Pada akhir tahap ini terjadi demam, kemerahan kulit, kelelahan, dan viremia.
Tahap kronik dapat berakhir antara 7-10 tahun.
c. Tahap akhir, fase krisis, ditandai dengan menurunnya pertahanan tubuh penderita
secara cepat berupa rendahnya jumlah CD4+, penurunan berat badan, diare,
infeksi oportunistik, dan keganasan sekunder. Tahap ini umumnya dikenal
sebagai AIDS. Petunjuk dari CDC di Amerika Serikat menganggap semua orang
dengan infeksi HIV dan jumlah sel T CD4+ kurang dari 200 sel/µl sebagai
AIDS, meskipun gambaran klinis belum terlihat. ( Robbins, dkk, 1998 : 143)

D. Patofisiologi
a. HIV masuk kedalam darah dan mendekati sel T–helper dengan melekatkan
dirinya pada protein CD4. Sekali ia berada di dalam, materi viral (jumlah virus
dalam tubuh penderita) turunan yang disebut RNA (ribonucleic acid) berubah
menjadi viral DNA (deoxyribonucleic acid) dengan suatu enzim yang disebut
reverse transcriptase. Viral DNA tersebut menjadi bagian dari DNA manusia,
yang mana, daripada menghasilkan lebih banyak sel jenisnya, benda tersebut
mulai menghasilkan virus–virus HI.
b. Enzim lainnya, protease, mengatur viral kimia untuk membentuk virus–virus
yang baru. Virus–virus baru tersebut keluar dari sel tubuh dan bergerak bebas
dalam aliran darah, dan berhasil menulari lebih banyak sel. Ini adalah sebuah
proses yang sedikit demi sedikit dimana akhirnya merusak sistem kekebalan
tubuh dan meninggalkan tubuh menjadi mudah diserang oleh infeksi dan
penyakit–penyakit yang lain. Dibutuhkan waktu untuk menularkan virus tersebut
dari orang ke orang.
c. Respons tubuh secara alamiah terhadap suatu infeksi adalah untuk melawan sel–
sel yang terinfeksi dan mengantikan sel–sel yang telah hilang. Respons tersebut
mendorong virus untuk menghasilkan kembali dirinya.
d. Jumlah normal dari sel–sel CD4+T pada seseorang yang sehat adalah 800–1200
sel/ml kubik darah. Ketika seorang pengidap HIV yang sel–sel CD4+ T–nya
terhitung dibawah 200, dia menjadi semakin mudah diserang oleh infeksi–infeksi
oportunistik.
e. Infeksi–infeksi oportunistik adalah infeksi–infeksi yang timbul ketika sistem
kekebalan tertekan. Pada seseorang dengan sistem kekebalan yang sehat infeksi–
infeksi tersebut tidak biasanya mengancam hidup mereka tetapi bagi seorang
pengidap HIV hal tersebut dapat menjadi fatal.

E. Periode Penularan HIV pada Ibu hamil


1. Periode Prenatal

Timbulnya HIV pada wanita hamil diperkirakan meningkat (Minkoff,


1987). Sejarah kesehatan, uji fisik dan tes laboratorium harus merefleksikan
pengharapan ini jika wanita dan bayinya menerima perawatan yang tepat. Para
wanita yang termasuk dalam kategori beresiko tinggi terhadap infeksi HIV
mencakup:

a. Wanita dan atau pasangannya yang berasal dari wilayah geografis dimana
HIV merupakan sesuatu yang umum.
b. Wanita dan atau pasangannya yang menggunakan obat-obatan yang
disuntikkan melalui pembuluh darah.
c. Wanita yang menderita STD tetap dan kambuhan.
d. Wanita yang menerima tranfusi darah dari pengidap HIV.
e. Wanita yang yakin bahwa dirinya mungkin terjangkit HIV.

Tes HIV sebaiknya ditawarkan kepada wanita beresiko tinggi pada awal
mereka memasuki perawatan prenatal. Namun, soronegativitas pada uji prenatal
pertama bukan jaminan untuk titer negative yang berlangsung. Misalnya, seorang
wanita berusia 24 tahun yang mendapatkan perawatan prenatal selama 8 minggu
mempunyai hasil tes western blot yang negative. Namun, setelah terinfeksi HIV,
serum antibody membutuhkan waktu sampai 12 minggu untuk berkembang. Tes
western blot harus diulangi dalam 1 atau 2 bulan dan pada trimester ketiga. Tes
prenatal rutin dapat membantu mengidentifikasi wanita yang terinfeksi HIV
(Foster, 1987; Kaplan et al, 1987; Minkoff, 1987; Rhoads et al, 1987).
Tes ini juga dapat mengungkap Gonhorhea, Siphilis, Herpes yang tetap
dan menjadi lebih lama, C.Trakomatis, Hepatic B, Micobacterium tuberculosis,
Candidiasis (oropharingeal atau infeksi Vagian Chronic), Cytomegalo Virus
(CMV), dan Toxophlasmosis. Sekitar separuh penderita AIDS mengalami
peningkatan titer CMV. Karena masuknya penyakit CMV memiliki bahaya yang
serius terhadap janin, para wanita hamil dianjurkan dengan yang terinfeksi HIV.
Sejarah vaksinasi dan kekebalan telah didokumentasikan. Titer untuk cacar dan
rubella ditentukan dan tes kulit tuberkulosa (Derivasi protein yang
dimurnikan/puriviet protein derivatif (PPD)) telah dilakukan vaksinasi sebelumnya
dengan vaksin rekonbivak Hb dicatat karena vaksin tersebut berisi produk darah
manusia (Vaksin ini sekarang bebas dari darah manusia dan produk-produk
darah). Wanita dapat menjadi calon yang menerima Rho D Imunoglobulin.
Penularan HIV belum ditemukan adanya vaksin Rh. Proses persiapan melibatkan
alcohol ethyl yang membuat virus tidak aktif. Vaksin ini dibuat dari darah yang
diambil dari kelompok donor regular yang tidak dikenali. Darah yang digunakan
untuk memproduksi vaksin menjalani tes darah yang dapat mendeteksi darah
adanya HIV (Francis, Chin, 1987, MMWR, 1987). Beberapa ketidaknyamanan
yang dihadapi pada masa prenatal (seperti kelelahan, anoreksia, dan penurunan
berat badan) menyiratkan tanda-tanda dan gejal-gejala infeksi HIV.

2. Periode Intrapartum

Perawatan wanita yang sakit saat melahirkan tidak diubah secara


substansial untuk infeksi tanpa gejala dengan HIV (Minkoff,1987). Cara kelahiran
didasarkan hanya pada pertimbangan obstetric karena virus melalui plasenta pada
awal kehamilan. Fokus utama pencegahn penyebaran HIV nosocomial dan
perlindungan terhadap pelaku perawatan. Resiko penularan HIV dianggap rendah
selama kelahiran vaginal.. EPM (Elektrinic Fetal Monitoring) eksternal dilakukan
jika EPM diperlukan. Terdapat kemungkinan inokulasi virus ke dalam neonatus
jika dilakukan pengambilan sempel darah pada bayi dilakukan atau jika elektroda
jangat kepala bayi diterapkan. Disamping itu, seseorang yang melakukan prosedur
ini berada pada resiko tertular virus HIV.

3. Periode Postpartum.

Hanya sedikit yang diketahui tentang tindakan klinis selama periode


postpartum yang dapat dilakukan pada wanita yang terinfeksi HIV. Walaupun
periode postpartum pertengahan tercatat signifikan (update, 1987), tindak lanjut
yang lebih lama telah mengungkap frekwensi penyakit kilinis yang tinggi pada
ibu-ibu yang anaknya menderita penyakit (Skott, 1985; Minkoff et al, 1987).
Tindakan pencegahan universal dilakukan terhadap ibu dan bayi, seperti yang
dilakukan terhadap semua pasien. Wanita dan bayinya diarahkan pada dokter yang
berpengalamn dalam pengobatan AIDS dan keadaan-keadaan yang menyertainya.
Pengaruh infeksi pada bayi dan neonatal mungkin tidak jelas. Karena virus yang
melalui plasenta, darah di tali pusat akan menunjukkan antibody HIV baik apabila
bayi terinfeksi ataupun tidak. Selama itu antibody yang melalui palang plasenta
mungkin tidak terdapat pada bayi yang tidak terinfeksi sampai usia 15 bulan.
Ketika infeksi HIV menjadi aktif banyak infeksi lain yang biasa menyertai pada
orang dewasa terjadi pada bayi. Komplikasi yang menyertai infeksi HIV pada bayi
mencakup Enchephalopati, Microchephalli, Defisit Kognitif, system saraf pusat
(CNS/central nervous system) Lhympoma, Cerebro Vaskuler Accident, gagal
pernapasan dan Lhympaclenophaty.

F. Gejala HIV AIDS

1. Gejala mayor
a. BB menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan
b. Diare kronik yang berlangsung lebih dari 1 bulan
c. Penurunan kesadaran dan adanya gangguan neurologis
d. Demensia / HIV Ensefalopati
2. Gejala minor
a. Batuk menetap lebih dari 1 bulan
b. Dermatitis generalist
c. Adanya herpes zoster yang berulang
d. Kandidiasis orofaringeal
e. Herpes simplex kronik progresif
f. Limfadenopati generalist
g. Infeksi jamur berulang pada kelamin wanita
h. Retinitis Cytomegalovirus

G. Pemeriksaan diagnostic

1. Tes untuk diagnosa infeksi HIV :


a. Western blot
b. P24 antigen test
c. Kultur HIV
2. Tes untuk deteksi gangguan system imun.
a. Hematokrit.
b. LED
c. CD4 limfosit
d. Rasio CD4/CD limfosit
e. Serum mikroglobulin B2
f. Hemoglobulin

H. Pengobatan

1. Obat–obatan Antiretroviral (ARV) bukanlah suatu pengobatan untuk HIV/AIDS


tetapi cukup memperpanjang hidup dari mereka yang mengidap HIV. Pada tempat
yang kurang baik pengaturannya permulaan dari pengobatan ARV biasanya secara
medis direkomendasikan ketika jumlah sel CD4 dari orang yang mengidap
HIV/AIDS adalah 200 atau lebih rendah. Untuk lebih efektif, maka suatu kombinasi
dari tiga atau lebih ARV dikonsumsi, secara umum ini adalah mengenai terapi
Antiretroviral yang sangat aktif (HAART). Kombinasi dari ARV berikut ini dapat
mengunakan:
a. Nucleoside Analogue Reverse Transcriptase Inhibitors (NRTI'), mentargetkan
pencegahan protein reverse transcriptase HIV dalam mencegah perpindahan dari
viral RNA menjadi viral DNA (contohnya AZT, ddl, ddC & 3TC).
b. Non–nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NNRTI's) memperlambat
reproduksi dari HIV dengan bercampur dengan reverse transcriptase, suatu enzim
viral yang penting. Enzim tersebut sangat esensial untuk HIV dalam memasukan
materi turunan kedalam sel–sel. Obat–obatan NNRTI termasuk: Nevirapine,
delavirdine (Rescripta), efavirenza (Sustiva).
c. Protease Inhibitors (PI) mengtargetkan protein protease HIV dan menahannya
sehingga suatu virus baru tidak dapat berkumpul pada sel tuan rumah dan
dilepaskan.
2. Pencegahan perpindahan dari ibu ke anak (PMTCT): seorang wanita yang mengidap
HIV(+) dapat menularkan HIV kepada bayinya selama masa kehamilan, persalinan
dan masa menyusui. Dalam ketidakhadiran dari intervensi pencegahan,
kemungkinan bahwa bayi dari seorang wanita yang mengidap HIV(+) akan
terinfeksi kira–kira 25%–35%. Dua pilihan pengobatan tersedia untuk mengurangi
penularan HIV/AIDS dari ibu ke anak. Obat–obatan tersebut adalah:
a. Ziduvidine (AZT) dapat diberikan sebagai suatu rangkaian panjang dari 14–28
minggu selama masa kehamilan. Studi menunjukkan bahwa hal ini menurunkan
angka penularan mendekati 67%. Suatu rangkaian pendek dimulai pada
kehamilan terlambat sekitar 36 minggu menjadi 50% penurunan. Suatu rangkaian
pendek dimulai pada masa persalinan sekitas 38%. Beberapa studi telah
menyelidiki pengunaan dari Ziduvidine (AZT) dalam kombinasi dengan
Lamivudine (3TC)
b. Nevirapine: diberikan dalam dosis tunggal kepada ibu dalam masa persalinan dan
satu dosis tunggal kepada bayi pada sekitar 2–3 hari. Diperkirakan bahwa dosis
tersebut dapat menurunkan penularan HIV sekitar 47%. Nevirapine hanya
digunakan pada ibu dengan membawa satu tablet kerumah ketika masa
persalinan tiba, sementara bayi tersebut harus diberikan satu dosis dalam 3 hari.

I. Konsep Asuhan Keperawatan

A. Pengkajian
1. Biodata Klien

2. Riwayat Penyakit
Jenis infeksi sering memberikan petunjuk pertama karena sifat kelainan imun.
Umur kronologis pasien juga mempengaruhi imunokompetens. Respon imun sangat
tertekan pada orang yang sangat muda karena belum berkembangnya kelenjar timus.
Pada lansia, atropi kelenjar timus dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi.
Banyak penyakit kronik yang berhubungan dengan melemahnya fungsi imun.
Diabetes meilitus, anemia aplastik, kanker adalah beberapa penyakit yang kronis,
keberadaan penyakit seperti ini harus dianggap sebagai factor penunjang saat
mengkaji status imunokompetens pasien.

3. Pemeriksaan Fisik (Objektif) dan Keluhan (Subyektif)


a) Aktifitas / Istirahat
1) Gejala : Mudah lelah,intoleran activity,progresi malaise,perubahan pola tidur.
2) Tanda : Kelemahan otot, menurunnya massa otot, respon fisiologi aktifitas
( Perubahan TD, frekuensi Jantun dan pernafasan ).
b) Sirkulasi
1) Gejala : Penyembuhan yang lambat (anemia), perdarahan lama pada cedera.
2) Tanda : Perubahan TD postural,menurunnya volume nadi perifer, pucat /
sianosis, perpanjangan pengisian kapiler.
c) Integritas dan Ego
1) Gejala : Stress berhubungan dengan kehilangan,mengkuatirkan penampilan,
mengingkari doagnosa, putus asa,dan sebagainya.
2) Tanda : Mengingkari,cemas,depresi,takut,menarik diri, marah.
d) Eliminasi
1) Gejala : Diare intermitten, terus menerus, sering dengan atau tanpa kram
abdominal, nyeri panggul, rasa terbakar saat miksi
2) Tanda : Feces encer dengan atau tanpa mucus atau darah, diare pekat dan
sering, nyeri tekan abdominal, lesi atau abses rectal, perianal, perubahan
jumlah, warna dan karakteristik urine.
e) Makanan / Cairan
1) Gejala : Anoreksia, mual muntah, disfagia
2) Tanda : Turgor kulit buruk, lesi rongga mulut, kesehatan gigi dan gusi yang
buruk, edema
f) Hygiene
1) Gejala : Tidak dapat menyelesaikan AKS
2) Tanda : Penampilan tidak rapi, kurang perawatan diri.
g) Neurosensoro
1) Gejala : Pusing, sakit kepala, perubahan status mental,kerusakan status
indera,kelemahan otot,tremor,perubahan penglihatan.
2) Tanda : Perubahan status mental, ide paranoid, ansietas, refleks tidak
normal,tremor,kejang,hemiparesis,kejang.
h) Nyeri / Kenyamanan
1) Gejala : Nyeri umum / local, rasa terbakar, sakit kepala,nyeri dada pleuritis.
2) Tanda : Bengkak sendi, nyeri kelenjar,nyeri tekan,penurunan rentan
gerak,pincang.

i) Pernafasan
1) Gejala : ISK sering atau menetap, napas pendek progresif, batuk, sesak pada
dada.
2) Tanda : Takipnea, distress pernapasan, perubahan bunyi napas, adanya sputum.
j) Seksualitas
1) Gejala : Riwayat berprilaku seks dengan resiko tinggi, menurunnya libido,
penggunaan pil pencegah kehamilan.
2) Tanda : Kehamilan,herpes genetalia.
k) Interaksi Sosial
1) Gejala : Masalah yang ditimbulkan oleh diagnosis, isolasi, kesepian, adanya
trauma AIDS.
2) Tanda : Perubahan interaksi.

4. Pemeriksaan Diagnostik
a. Tes Laboratorium
Telah dikembangkan sejumlah tes diagnostic yang sebagian masih bersifat
penelitian. Tes dan pemeriksaan laboratorium digunakan untuk mendiagnosis Human
Immunodeficiency Virus (HIV) dan memantau perkembangan penyakit serta
responnya terhadap terapi Human Immunodeficiency Virus (HIV)
1) Tes antibody serum
Skrining Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan ELISA. Hasil tes positif, tapi
bukan merupakan diagnosa
2) Tes blot western
Mengkonfirmasi diagnosa Human Immunodeficiency Virus (HIV)
3) Sel T limfosit
Penurunan jumlah total
4) Sel T4 helper
Indikator system imun (jumlah <200>
5) T8 ( sel supresor sitopatik )
Rasio terbalik ( 2 : 1 ) atau lebih besar dari sel suppressor pada sel helper ( T8 ke
T4 ) mengindikasikan supresi imun.
6) P24 ( Protein pembungkus HIV)
Peningkatan nilai kuantitatif protein mengidentifikasi progresi infeksi

b. Pemeriksaan lain :
1) EEG, MRI, CT Scan otak, EMG (pemeriksaan saraf)
2) Tes Lainnya
3) Sinar X dada
4) Menyatakan perkembangan filtrasi interstisial dari PCP tahap lanjut atau
adanya komplikasi lain
5) Tes Fungsi Pulmonal
6) Deteksi awal pneumonia interstisial
7) Skan Gallium Ambilan difusi pulmonal terjadi pada PCP dan bentuk
pneumonia lainnya.
8) Biopsis
9) Diagnosa lain dari sarcoma Kaposi
10) Bronkoskopi / pencucian trakeobronkial Dilakukan dengan biopsy pada
waktu PCP ataupun dugaan kerusakan paru-paru

B. Diagnosa Keperawatan
1. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan imunosupresi, malnutrisi dan pola hidup
yang beresiko.
2. Resiko tinggi penularan infeksi pada bayi berhubungan dengan adanya kontak darah
dengan bayi sekunder terhadap proses melahirkan.
3. Resiko tinggi defisit volume cairan berhubungan dengan output cairan berlebih
sekunder terhadap diare
C. Rencana Keperawatan

N Tujuan dan Kriteria


Diagnosa Intervensi Rasional
o hasil
1 Resiko tinggi Pasien akan bebas 1. Monitor tanda- 1. Untuk
infeksi infeksi setelah tanda infeksi baru. pengobatan dini
berhubungan dilakukan tindakan 2. gunakan teknik 2. Mencegah
dengan keperawatan selama aseptik pada setiap pasien terpapar
imunosupresi, 3×24 jam dengan tindakan invasif. Cuci oleh kuman
malnutrisi dan pola kriteria hasil: tangan sebelum patogen yang
hidup yang - Tidak ada luka meberikan tindakan. diperoleh di
beresiko. atau eksudat. 3. Anjurkan pasien rumah sakit.
- Tanda vital metoda mencegah 3. Mencegah
dalam batas normal terpapar terhadap bertambahnya
(TD=110/70, lingkungan yang infeksi
RR=16-24, N=60- patogen. 4. Meyakinkan
100, S=36-37) 4. Kumpulkan diagnosis akurat
- Pemeriksaan spesimen untuk tes lab dan pengobatan
leukosit normal sesuai order. 5. Mempertaha
(6000-10000) 5. Atur pemberian nkan kadar darah
antiinfeksi sesuai yang terapeutik
order

2 Resiko tinggi Infeksi HIV tidak 1. Anjurkan pasien 1. Pasien dan


infeksi (kontak ditransmisikan atau orang penting keluarga mau dan
pasien) setelah dilakukan lainnya metode memerlukan
berhubungan tindakan mencegah transmisi informasikan ini
dengan infeksi keperawatan HIV dan kuman
HIV, adanya selama 3×24 jam patogen lainnya. 2. Mencegah
infeksi dengan kriteria hasil: 2. Gunakan darah transimisi infeksi
nonopportunisitik - kontak pasien dan cairan tubuh HIV ke orang lain
yang dapat dan tim kesehatan precaution bial merawat
ditransmisikan. tidak terpapar HIV pasien. Gunakan
- Tidak terinfeksi masker bila perlu.
patogen lain seperti
TBC.
3 Resiko tinggi Defisit volume 1. Kaji konsistensi 1. Mendeteksi
defisit volume cairan dapat teratasi dan frekuensi feses dan adanya darah
cairan berhubungan setelah dilakukan adanya darah. dalam feses
dengan output tindakan 2. Auskultasi 2. Hipermotilit
cairan berlebih keperawatan selama bunyi usus i mumnya dengan
sekunder terhadap 1×24 jam dengan 3. Atur agen diare
diare criteria hasil: antimotilitas dan 3. Mengurangi
- perut lunak psilium (Metamucil) motilitas
- tidak tegang sesuai order usus, yang pelan,
- feses lunak, 4. Berikan emperburuk
warna normal ointment A dan D, perforasi pada
- kram perut vaselin atau zinc oside intestinal
hilang, 4. Untuk
menghilangkan
distensi

D. Implementasi
Didasarkan pada diagnosa yang muncul baik secara aktual, resiko, atau
potensial. Kemudian dilakukan tindakan keperawatan yang sesuai berdasarkan
NCP.
E. Evaluasi
Disimpulkan berdasarkan pada sejauh mana keberhasilan mencapai kriteria
hasil, sehingga dapat diputuskan apakah intervensi tetap dilanjutkan, dihentikan,
atau diganti jika tindakan yang sebelumnya tidak berhasil.

Anda mungkin juga menyukai