Disusun oleh :
Rani Wahyu Siswati
(2214314901040)
Infeksi pada kehamilan adalah penyebab morbiditas ibu dan neonatal yang sudah
diketahui. Banyak kasus dapat dicegah, dan dalam makalah ini akan dibahas mengenai
penyakit infeksi yang sering ditemukan yang dapat terjadi dalam kehamilan.
B. Etiologi
Transmisi infeksi HIV dan AIDS terdiri dari lima fase yaitu :
1. Periode jendela. Lamanya 4 minggu sampai 6 bulan setelah infeksi. Tidak ada
gejala.
2. Fase infeksi HIV primer akut. Lamanya 1-2 minggu dengan gejala flu likes illness.
3. Infeksi asimtomatik. Lamanya 1-15 atau lebih tahun dengan gejala tidak ada.
4. Supresi imun simtomatik. Diatas 3 tahun dengan gejala demam, keringat malam
hari, B menurun, diare, neuropati, lemah, rash, limfadenopati, lesi mulut.
5. AIDS. Lamanya bervariasi antara 1-5 tahun dari kondisi AIDS pertama kali
ditegakkan. Didapatkan infeksi oportunis berat dan tumor pada berbagai system
tubuh, dan manifestasi neurologist.
D. Patofisiologi
a. HIV masuk kedalam darah dan mendekati sel T–helper dengan melekatkan
dirinya pada protein CD4. Sekali ia berada di dalam, materi viral (jumlah virus
dalam tubuh penderita) turunan yang disebut RNA (ribonucleic acid) berubah
menjadi viral DNA (deoxyribonucleic acid) dengan suatu enzim yang disebut
reverse transcriptase. Viral DNA tersebut menjadi bagian dari DNA manusia,
yang mana, daripada menghasilkan lebih banyak sel jenisnya, benda tersebut
mulai menghasilkan virus–virus HI.
b. Enzim lainnya, protease, mengatur viral kimia untuk membentuk virus–virus
yang baru. Virus–virus baru tersebut keluar dari sel tubuh dan bergerak bebas
dalam aliran darah, dan berhasil menulari lebih banyak sel. Ini adalah sebuah
proses yang sedikit demi sedikit dimana akhirnya merusak sistem kekebalan
tubuh dan meninggalkan tubuh menjadi mudah diserang oleh infeksi dan
penyakit–penyakit yang lain. Dibutuhkan waktu untuk menularkan virus tersebut
dari orang ke orang.
c. Respons tubuh secara alamiah terhadap suatu infeksi adalah untuk melawan sel–
sel yang terinfeksi dan mengantikan sel–sel yang telah hilang. Respons tersebut
mendorong virus untuk menghasilkan kembali dirinya.
d. Jumlah normal dari sel–sel CD4+T pada seseorang yang sehat adalah 800–1200
sel/ml kubik darah. Ketika seorang pengidap HIV yang sel–sel CD4+ T–nya
terhitung dibawah 200, dia menjadi semakin mudah diserang oleh infeksi–infeksi
oportunistik.
e. Infeksi–infeksi oportunistik adalah infeksi–infeksi yang timbul ketika sistem
kekebalan tertekan. Pada seseorang dengan sistem kekebalan yang sehat infeksi–
infeksi tersebut tidak biasanya mengancam hidup mereka tetapi bagi seorang
pengidap HIV hal tersebut dapat menjadi fatal.
a. Wanita dan atau pasangannya yang berasal dari wilayah geografis dimana
HIV merupakan sesuatu yang umum.
b. Wanita dan atau pasangannya yang menggunakan obat-obatan yang
disuntikkan melalui pembuluh darah.
c. Wanita yang menderita STD tetap dan kambuhan.
d. Wanita yang menerima tranfusi darah dari pengidap HIV.
e. Wanita yang yakin bahwa dirinya mungkin terjangkit HIV.
Tes HIV sebaiknya ditawarkan kepada wanita beresiko tinggi pada awal
mereka memasuki perawatan prenatal. Namun, soronegativitas pada uji prenatal
pertama bukan jaminan untuk titer negative yang berlangsung. Misalnya, seorang
wanita berusia 24 tahun yang mendapatkan perawatan prenatal selama 8 minggu
mempunyai hasil tes western blot yang negative. Namun, setelah terinfeksi HIV,
serum antibody membutuhkan waktu sampai 12 minggu untuk berkembang. Tes
western blot harus diulangi dalam 1 atau 2 bulan dan pada trimester ketiga. Tes
prenatal rutin dapat membantu mengidentifikasi wanita yang terinfeksi HIV
(Foster, 1987; Kaplan et al, 1987; Minkoff, 1987; Rhoads et al, 1987).
Tes ini juga dapat mengungkap Gonhorhea, Siphilis, Herpes yang tetap
dan menjadi lebih lama, C.Trakomatis, Hepatic B, Micobacterium tuberculosis,
Candidiasis (oropharingeal atau infeksi Vagian Chronic), Cytomegalo Virus
(CMV), dan Toxophlasmosis. Sekitar separuh penderita AIDS mengalami
peningkatan titer CMV. Karena masuknya penyakit CMV memiliki bahaya yang
serius terhadap janin, para wanita hamil dianjurkan dengan yang terinfeksi HIV.
Sejarah vaksinasi dan kekebalan telah didokumentasikan. Titer untuk cacar dan
rubella ditentukan dan tes kulit tuberkulosa (Derivasi protein yang
dimurnikan/puriviet protein derivatif (PPD)) telah dilakukan vaksinasi sebelumnya
dengan vaksin rekonbivak Hb dicatat karena vaksin tersebut berisi produk darah
manusia (Vaksin ini sekarang bebas dari darah manusia dan produk-produk
darah). Wanita dapat menjadi calon yang menerima Rho D Imunoglobulin.
Penularan HIV belum ditemukan adanya vaksin Rh. Proses persiapan melibatkan
alcohol ethyl yang membuat virus tidak aktif. Vaksin ini dibuat dari darah yang
diambil dari kelompok donor regular yang tidak dikenali. Darah yang digunakan
untuk memproduksi vaksin menjalani tes darah yang dapat mendeteksi darah
adanya HIV (Francis, Chin, 1987, MMWR, 1987). Beberapa ketidaknyamanan
yang dihadapi pada masa prenatal (seperti kelelahan, anoreksia, dan penurunan
berat badan) menyiratkan tanda-tanda dan gejal-gejala infeksi HIV.
2. Periode Intrapartum
3. Periode Postpartum.
1. Gejala mayor
a. BB menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan
b. Diare kronik yang berlangsung lebih dari 1 bulan
c. Penurunan kesadaran dan adanya gangguan neurologis
d. Demensia / HIV Ensefalopati
2. Gejala minor
a. Batuk menetap lebih dari 1 bulan
b. Dermatitis generalist
c. Adanya herpes zoster yang berulang
d. Kandidiasis orofaringeal
e. Herpes simplex kronik progresif
f. Limfadenopati generalist
g. Infeksi jamur berulang pada kelamin wanita
h. Retinitis Cytomegalovirus
G. Pemeriksaan diagnostic
H. Pengobatan
A. Pengkajian
1. Biodata Klien
2. Riwayat Penyakit
Jenis infeksi sering memberikan petunjuk pertama karena sifat kelainan imun.
Umur kronologis pasien juga mempengaruhi imunokompetens. Respon imun sangat
tertekan pada orang yang sangat muda karena belum berkembangnya kelenjar timus.
Pada lansia, atropi kelenjar timus dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi.
Banyak penyakit kronik yang berhubungan dengan melemahnya fungsi imun.
Diabetes meilitus, anemia aplastik, kanker adalah beberapa penyakit yang kronis,
keberadaan penyakit seperti ini harus dianggap sebagai factor penunjang saat
mengkaji status imunokompetens pasien.
i) Pernafasan
1) Gejala : ISK sering atau menetap, napas pendek progresif, batuk, sesak pada
dada.
2) Tanda : Takipnea, distress pernapasan, perubahan bunyi napas, adanya sputum.
j) Seksualitas
1) Gejala : Riwayat berprilaku seks dengan resiko tinggi, menurunnya libido,
penggunaan pil pencegah kehamilan.
2) Tanda : Kehamilan,herpes genetalia.
k) Interaksi Sosial
1) Gejala : Masalah yang ditimbulkan oleh diagnosis, isolasi, kesepian, adanya
trauma AIDS.
2) Tanda : Perubahan interaksi.
4. Pemeriksaan Diagnostik
a. Tes Laboratorium
Telah dikembangkan sejumlah tes diagnostic yang sebagian masih bersifat
penelitian. Tes dan pemeriksaan laboratorium digunakan untuk mendiagnosis Human
Immunodeficiency Virus (HIV) dan memantau perkembangan penyakit serta
responnya terhadap terapi Human Immunodeficiency Virus (HIV)
1) Tes antibody serum
Skrining Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan ELISA. Hasil tes positif, tapi
bukan merupakan diagnosa
2) Tes blot western
Mengkonfirmasi diagnosa Human Immunodeficiency Virus (HIV)
3) Sel T limfosit
Penurunan jumlah total
4) Sel T4 helper
Indikator system imun (jumlah <200>
5) T8 ( sel supresor sitopatik )
Rasio terbalik ( 2 : 1 ) atau lebih besar dari sel suppressor pada sel helper ( T8 ke
T4 ) mengindikasikan supresi imun.
6) P24 ( Protein pembungkus HIV)
Peningkatan nilai kuantitatif protein mengidentifikasi progresi infeksi
b. Pemeriksaan lain :
1) EEG, MRI, CT Scan otak, EMG (pemeriksaan saraf)
2) Tes Lainnya
3) Sinar X dada
4) Menyatakan perkembangan filtrasi interstisial dari PCP tahap lanjut atau
adanya komplikasi lain
5) Tes Fungsi Pulmonal
6) Deteksi awal pneumonia interstisial
7) Skan Gallium Ambilan difusi pulmonal terjadi pada PCP dan bentuk
pneumonia lainnya.
8) Biopsis
9) Diagnosa lain dari sarcoma Kaposi
10) Bronkoskopi / pencucian trakeobronkial Dilakukan dengan biopsy pada
waktu PCP ataupun dugaan kerusakan paru-paru
B. Diagnosa Keperawatan
1. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan imunosupresi, malnutrisi dan pola hidup
yang beresiko.
2. Resiko tinggi penularan infeksi pada bayi berhubungan dengan adanya kontak darah
dengan bayi sekunder terhadap proses melahirkan.
3. Resiko tinggi defisit volume cairan berhubungan dengan output cairan berlebih
sekunder terhadap diare
C. Rencana Keperawatan
D. Implementasi
Didasarkan pada diagnosa yang muncul baik secara aktual, resiko, atau
potensial. Kemudian dilakukan tindakan keperawatan yang sesuai berdasarkan
NCP.
E. Evaluasi
Disimpulkan berdasarkan pada sejauh mana keberhasilan mencapai kriteria
hasil, sehingga dapat diputuskan apakah intervensi tetap dilanjutkan, dihentikan,
atau diganti jika tindakan yang sebelumnya tidak berhasil.