OLEH
ABDUL RAHMAN
ARIANZA GUNARDI
NURFUAD MUHCLIS
INDRA KARTOWIHARJO
MOH RUSLI SY. LASODI
SRIKIT LAHAMI
JUMRIANI
MAIFA
MISRA FADILAH
RINI SUSANTI
SUNARTI HAMRI
SRI RATNA
NURWADHANI
SAROMI RUGE
DWI HENDRO
FATMAWATI DULLAH
YURLIN DUMOLA
Definisi Kasus Surveilans untuk infeksi HIV dari CDC menurut Sylvia dan
Lorraine (2012) yaitu: Kriteria yang direvisi pada tahun 2000 untuk pelaporan tingkat
nasional, mengombinasikan infeksi HIV dan AIDS dalam satu definisi kasus. Pada
orang dewasa , remaja, atau anak berusia 18 bulan atau lebih, definisi kasus surveilans
infeksi HIV dipenuhi apabila salah satu kriteria laboratorium positif atau dijumpai
bukti klinis yang secara spesifik menunjukkan infeksi HIV dan penyakit HIV berat
(AIDS).
Kriteria klinis mencangkup suatu diagnosa infeksi HIV yang didasarkan pada
daftar kriteria laboratorium yang tercatat dalam rekam medis oleh dokter atau
penyakit-penyakit yang memenuhi kriteria yang tercakup dalam definisi kasusuntuk
AIDS. Kriteria untuk definisi kasus AIDS adalah :
a. Semua pasien yang terinfeksi oleh HIV dengan :
1) Hitungan sel T CD4+ <200/μI atau
2) Hitungan sel T CD4+ <14% sel T total, tanpa memandang kategori klinis,
simtomatik atau asimtomatik
b. Adanya infeksi-infeksi oportunistik terkait HIV, seperti :
1) Kondidiasis bronkus, trakea, atau paru
2) Kondidiasis esofagus
3) Kanker serviks, invasif
4) Koksidioidomikosis, diseminata atau ekstraparu
5) Kriptokokus, ekstraparu
6) Kriptosporidiosis, usus kronik (lama sakit lebih dari 1 bulan)
7) Penyakit sitomegalovirus (selain di hati,limpa, atau kelenjer getah bening)
8) Retnitis sitomegalovirus (disertai hilangnya penglihatan)\
9) Ensafalopati, terkait HIV
10) Harpes simpleks; ulkus (-ulkus kronik lebijh dari 1 bulan; atau bronkitis,
pneumonitis, esofagitis
11) Histoplasmosis, diseminata atau ekstraparu
12) Isosporiasis, usus kronik (lama sakit lebih dari 1 bulan)
13) Sarkoma Kaposi (SK)
14) Limfoma, Burkitt (atau ekivalen)
15) Limfoma, imunoblastik (atau yang ekivalen)
16) Limfoma, primer, otak
17) Mycobacterium avium complex atau Mycobacterium kansasi, diseminata atau
ektra paru
18) Mycobacterium tuberkulosis, semua tempat, paru-paru atau ekstraparu
19) Mycobacterium, spesies lain atau spesies yang belum teridentifikasi,
diseminata atau ekstraparu
20) Pneumonia Pneumicytis carinii (PPC)
21) Pneumonia, rekuren
22) Leukoensefalopati multifokus progresif
23) Septikemia salmonela, rekuren
24) Toksoplasmosis otak
25) Sindrom pengurusan yang disebabkan oleh HIV
2. Penyebab
Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) disebabkan oleh Human
Immunodeficiency Virus (HIV), suatu retrovirus pada manusia yang termasuk dalam
keluarga lentivirus (termasuk pula virus imunodefisinsi pada kucing, virus
imunodefisiensi pada kera, visna virus pada domba, dan virus anemia infeksiosa pada
kuda). Dua bentuk HIV yang berbeda secara genetik, tetapi berhubungan secara
antigen, yaitu HIV-1 dan HIV-2 yang telah berhasil diisolasi dari penderita AIDS.
Sebagian besar retrovirus, viron HIV-1 berbentuk sferis dan mengandung inti
berbentuk kerucut yang padat elektron dan dikelilingi oleh selubung lipid yang
berasal dari membran se penjamu. Inti virus tersebut mengandung kapsid utama
protein p24, nukleokapsid protein p7 atau p9, dua sirina RNA genom, dan ketiga
enzim virus (protease, reserve trancriptase, dan integrase). Selain ketiga gen
retrovirus yang baku ini, HIV mengandung beberapa gen lain (diberi nama dengan
tiga huruf, misalnya tat, rev, vif, nef, vpr dan vpu) yang mengatur sintetis serta
perakitan partikel virus yang infeksius.
Menurut Nursalam dan Kurniawati (2011) virus HIV menular melalui enam cara
penularan, yaitu :
a. Hubungan seksual dengan pengidap HIV/AIDS
Hubungan sesual secara vaginal, anal dan oral dengan penderita HIV tanpa
perlindungan bisa menularkan HIV. Selama hubungan seksual berlangsusng, air
mani, cairan vagina, dan darah yang dapat mengenai selaput lendir, penis, dubur,
atau muluh sehingga HIV yang tedapa dalam cairan tersebut masuk ke aliran darah.
Selama berhubungan juga bisa terjadi lesi mikro pada dinding vagina, dubur dan
mulut yang bisa menjadi jalan HIV untuk masuk ke aliran darah pasangan seksual
b. Ibu pada bayinya
Penularan HIV dari ibu bisa terjadi pada saat kehamilan (in utero). Berdasarkan
laporan CDC Amerika, prevalensi penularan HIV dari ibu ke bayi adalah 0.01%
sampai 7%. Bila ibu baru terinfeksi HIV dan belum ada gejala AIDS, kemungkinan
bayi terinfeksi sebanyak 20% sampai 35%, sedangkan gejala AIDS sudah jelas
pada ibu kemungkinan mencapai 50%.
Penularan juga terjadi selama proses persalinan melalui tranfusi fetomaternal atau
kontak antara kulit atau membran mukosa bayi dengan darah atau sekresi maternal
saat melahirkan. Semakin lam proses melahirkan, semakin besar resiko penularan.
Oleh karena itu, lama persalinan bisa dipersingkat dengan operasi sectio caesaria.
Transmisi lain terjadi selam periode post partum melaui ASI. Resiko bayi tertular
melalui ASI dai Ibu yang positif sekitar 10%
c. Darah dan produk darah yang tercemar HIV/AIDS
Sangat cepat menular HIV karena virus langsung masuk ke pembuluh darah dan
menyebar ke seluruh tubuh.
d. Pemakaian alat kesehatan yang tidak steril
Alat pemeriksaan kandungan seperti spekulum, tenakulum, dan alat-alat lain yang
menyentuh darah, cairan vagina atau air mani yang terinveksi HIV, dan langsung
digunakan untuk orang lain yang tidak terinfeksi HIV, dan langsung digunakan
untuk orang lain yang tidak terinfeksi HIV bisamenular HIV
e. Alat-alat untuk menoreh kulit
Alat tajam dan runcing seperti jarum, pisau, silet, menyunat seseorang, membuat
tato, memotong rambut, dan sebagainya bisa menularkan HIV sebab alat tersebut
mungkin dipakai tanpa disterilkan terlebih dahulu.
f. Menggunakan jarum suntik secara bergantian
Jarum suntik yang digunakan di fasilitas kesehatan, maupun yang digunakan oleh
para pengguna narkoba (Injecting Drug User-IDU) sangat berpotensi menularkan
HIV. Selain jarun suntik, pada para pemakai IDU secara bersama-sama juga
menggunakan tempat penyampur, pengaduk, dan gelas pengoplos obat, sehingga
berpotensi tinggi untuk menularkan HIV.
HIV tidak menular melalui peralatan makan, pakaian, handuk, sapu tangan, hidup
serumah dengan penderita HIV/AIDS, gigitan nyamuk, dan hubungan sosial yang
lain.
3. Patofisiologi
Perjalanan infeksi HIV paling baik dipahami dengan menggunakan kaidah saling
memengaruhi antara HIV dan sistem imun. Ada tiga tahap yang dikenali yang
mencerminkan dinamika interaksi antara virus dan penjamu. (1) fase akut pada tahap
awal; (2) fase kronis pada tahap menengah; dan (3) fase krisis, pada tahap akhir.
Fase kronis, pada tahap menengah, menunjukkan tahap penahanan relatif virus. Pada
fase ini, sebagian besar sistem imun masih utuh, tetapi replikasi virus berlanjut hingga
beberapa tahun. Pada pasien tidak menunjukkan gejala ataupun menderita
limfadenopati persisten, dan banyak penderita yang mengalami infeksi oportunistik
“ringan” seperti ariawan (Candida) atau harpes zoster selama fase ini replikasi virus
dalam jaringan limfoid terus berlanjut. Pergantian virus yang meluas akan disertai
dengan kehilangan sel CD4+ yang berlanjut. Namun, karena kemampuan regenerasi
sistem imun besar, sel CD4+ akan tergantikan dalam jumlah yang besar. Oleh karena
itu penurunan sel CD4+ dalam darah perifer hanyalah hal yang sederhana. Setelah
melewati periode yang panjang dan beragam, pertahanan penjamu mulai berkurang,
jumlah sel CD4+ mulai menurun, dan jumlah sel CD4+ hidup yang terinfeksi oleh
HIV semakin meningkat. Limfadenopati persisten yang disertai dengan kemunculan
gejala konstitusional yang bermakna (demam, ruam, mudah lelah) mencerminkan
onset adanya dekompensasi sistem imun, peningkatan replikasi virus, dan onset fase
“krisis”.
Tahap terakhir, fase krisis, ditandai dengan kehancuran ppertahanan penjamu yang
sangat merugikan peningkatan viremia yang nyata, serta penyakit klinis. Para pasien
khasnya akan mengalami demam lebih dari 1 bulan, mudah lelah, penurunan berat
badan, dan diare. Jumlah sel CD4+ menurun dibawah 500 sel/μL. Setelah adanya
interval yang berubah-ubah, para pasien mengalami infeksi oportunistik yang serius,
neoplasma sekunder, dan atau manifestasi neurologis (disebut dengan kondisi yang
menentukan AIDS), dan pasien yang bersangkutan dikatakan telah menderita AIDS
yang sesungguhnya. Bahkan jika kondisi lazim yang menentukan AIDS tidak muncul,
pedoman CDC yang digunakan saat ini menentukan bahwa seseorang yang terinfeksi
HIV dengan jumlah sel CD4+ kurang atau sama dengan 200/μL sebagai pengidap
AIDS.
4. Respon Tubuh Terhadap Perubahan Fisiologis
Manifestasi klinis penyakit AIDSmenyebar luas dan pada dasarnya dapat
mengenai setiap sistem organ.Penyakit yang berkaitan dengan infeksi HIV dan
penyakit AIDS terjadi akibat infeksi, malignasi dan atau efek langsung HIV pada
jaringan tubuh, pembahasan berikutini dibatasi pada manifestasi klinis dan akibat
infeksi HIV berat yang paling sering ditemukan.
a. Respiratori
Pneumonia Pneumocytis carini. Gejala nafas yang pendek, sesak nafas(dispnea),
batuk-batuk, nyeri dada dan demam akan menyertai berbagai infeksi oportunistik
seperti yang disebabkan oleh Mycobacterium aviumintracellulare (MAI),
sitomegalovirus (CMV) dan Legionella. Walaupunbegitu, infeksi yang paling
sering ditemukan pada penderita AIDS adalah Pneumonia Pneumocytis Carinii
(PCP) yang merupakan penyakit oportunistik pertama yang dideskripsikan
berkaitan dengan AIDS.
Gambaran klinik PCP pada pasien AIDS umumnya tidak begitu akut bila
dibandingkan dengan pasien gangguan kekebalan karena keadaan lain. Periode
waktu antara awitan gejala dan penegakan diagnosis yang benar bisa beberapa
minggu hingga beberapa bulan. Penderita AIDS pada mulanya hanya
memperlihatkan tanda-tanda dan gejala yang tidak khas seperti demam, menggigil,
batuk non produktif, nafas pendek, dispnea dan kadang-kadang nyeri dada.
Konsentrasi oksigen dalam darah arterial pada pasien yang bernafas dengan udara
ruangan dapat mengalami penurunan yang ringan; keadaan ini menunjukkan
keadaan hipoksemia minimal. Bila tidak diatasi, PCP akan berlanjut dengan
menimbulkan kelainan paru yang signifikan dan pada akhirnya, kegagalan
pernafasan.
Penyakit kompleks Kompleks Mycobacterium avium (MAC;Mycobacterium avium
Complex) yaitu suatu kelompok baksil tahan asam, biasanya menyebabkan infeksi
pernafasan kendati juga sering dijumpai dalam traktus gastrointerstinal, nodus
limfatik dan sumsum tulang. Sebagian pasien AIDS sudah menderita penyakit yang
menyebar luas ketika diagnosis ditegakkan dan biasanya dengan keadaan umum
yang buruk.
Berbeda dengan infeksi oportunistik lainnya, penyakit tuberkulosis (TB) cenderung
terjadi secara dini dalam perjalanan infeksi HIV dan biasanya mendahului diagnosa
AIDS. Dalam stadium infeksi HIV yang lanjut, penyakit TB disertai dengan
penyebaran ke tempat-tempat ekstrapulmoner seperti sistem saraf pusat, tulang,
perikardium, lambung, peritoneum dan skrotum.
b. Gastrointerstinal
Manifestasi gastrointerstinal penyakit AIDS mencangkup hilagnya selera makan,
mual, vomitus, kondisiasis oral, serta esofagus, dan diare kronis. Bagi pasien
AIDS, diare dapat membawa akibat yang serius sehubungan dengan terjadinya
penurunan berat badan yang nyata (lebih dari 10% berat badan), gangguan
keseimbnagan cairan dan elektrolit, ekskoriasis kulit perianal, kelemahan dan
ketidakmampuan untuk melaksanakan kegiatan yang biasa dilakukan dalam
kehidupan sehari-hari.
c. Kanker
Sarkoma Kaposi yaitu kelainan malignasi yang berkaitan dengan HIV yang paling
sering ditemukan merupakan penyakit yang melibatkan lapisan endotel pembuluh
darah dan limfe.Kaposi yang berhubungan dengan AIDS memperlihatkan penyakit
yang lebih agresif dan beragam yang berkisar mulai dari lesi kutaneus setempat
hingga kelainan yang menyebar dan mengenai lebih dari satu sistem organ. Lesi
Kutaneus yang dapat timbul pada setiap bagian tubuh biasanya bewarna merah
mudah kecoklatan hingga ungu gelap. Lesi dapat datar atau menonjol dan
dikelilingi oleh ekimosis (bercak-bercak perdarahan) serta edema.
Lokasi dan ukuran beberapa lesi dapat menimbulkan statis aliran vena, limfadema
serta rasa nyeri. Lesi ulserasi akan merusak integritas kulit dan meninggalkan
ketidaknyamanan pasien serta kerentanannya terhadap infeksi.
Limfoma Sel-B merupakan malignansi paling sering kedua yang terjadi diantara
pasien-pasien AIDS. Limfoma yang berhubungan dengan AIDS cenderung
berkembang diluar kelenjer limfe; limfoma ini paling sering dijumpai pada otak,
sumsum tulang dan traktus gastrointerstinal.
d. Neurologik
Ensefalopati HIV disebut juga sebagai kompleks demensia AIDS. Hiv ditemukan
dengan jumlah yang besar dalam otak maupun cairan serebrospinal pasien-pasien
ADC (AIDS dementia complex). Sel-sel otak yang terinfeksi HIV didominasi
olehsel-sel CD4 + yang berasal dari monosit/magrofag. Infeksi HIV diyakini akan
memicu toksin atau limfokin yang mengakibatkan disfungsi seluler atau yang
mengganggu atau yang mengganggu fungsi neurotransmiter ketimbang
menyebabkan kerusakan seluler. Keadaan ini berupa sindrom klinis yang ditandai
oleh penurunan progresif pada fungsi kognitif, prilaku dan motorik. Tanda tanda
dan gejalanya yang samar-samar serta sulit dibedakan dan kelelahan, depresi atau
efek terapi yang merugikan terhadap infeksi dan malignansi.
Manifestasi dini mencangkup gangguan daya ingat, sakit kepala, kesulitan
berkonsentrasi, konfusi progresif, pelambatan psikomotorik, apatis dan ataksia.
Stadium lanjut mencangkup gangguan kognitif global kelambatan dalam respon
verbal, gagguan afektif seperti pandangan yang kosong,hiperrefleksi paraparesis
spastik, psikologis, halusiansi, tremor, inkontenensia, serangan kejang, mutisme
dan kematian.
Infeksi jamur Criptococcus neoformans merupakan infeksi opotunistik paling
sering keempat yang terdapat di antara pasien-pasien AIDS dan penyebab infeksi
paling sering ketiga yang menyebabkan kelainan neurologik. Meningitis
kriptokokus ditandai dengan gejala seperti demam/panas, sakit kepala, keadaan
tidak enak badan (melaise), kaku kuduk, mual, vormitus, perubahan status mental,
dan kejang-kenjang.
Leukoensefalopati Multifokal Progresif (PML) merupakan kelainan sistem saraf
pusat dengan demielinisasi yang disebabkan oleh virus J.C.
Manifestasi klinis dapat dimulai dengan konfusi mental dan mengalami
perkembangan cepat yang akhirnya mencakup gejala kebutaan, afasia, paresis,
(paraliasis ringan) serta kematian.
Kelemahan neurologik lainnya berupa neuropati perifer yang berhubungan dengan
HIV diperkirakan merupakan kelainan demielinisasi dengandisertai rasa nyeri serta
patirasa pada ekstremitas, kelemahan, penurunan rekfleks tendon yang dalam,
hipotensi ortostatik dan impontensi.
e. Struktur integrumen
Manifestasi kulit menyertai infeksi HIV dan infeksi oportunistik serta malignansi
yang mendampinginya, Infeksi oportunistik seperti harpes zoster dan harpes
simpleks akan disertai dengan pembentukan vesikel yang nyeri yang merusak
integritas kulit. Moloskum kontagiosum merupakan infeksi virus yang ditandai
oleh pembentukan plak yang disertai deformitas. Dermatitis seboreika akan disertai
ruam yang difus, bersisik dengan indurasi yang mengenai kulit kepala serta wajah.
Penderita AIDS juga dapat memperlihatkan folokulasi menyeluruh yang disertai
dengan kulit yang kering dan mengelupas atau dengan dermatitis atropik seperti
ekzema atau psoriasis. Hingga 60% enderita yang diobati dengan
trimetroprimsulfametoksazol (TMP/SMZ) untuk mengatasi pneumoniapneumocytis
carinii akan mengalami ruam yang berkaitan dengan obat dan berua preuritus yang
disertai pembentukan papula serta makula bewarna merah muda. Terlepas dari
penyebab ruam ini pasien akan mengalami gangguan rasa nyaman dan menghadapi
peningkatan resiko untuk menderita infeksi tambahan, akibat rusaknya keutuhan
kulit.
5. Penatalaksanaan
Upaya penanganan medis meliputi beberapa cara pendekatan yang mencangkup
penanganan infeksi yang berhubungan dengan HIV serta malignansi, penghentian
replikasi virus HIV lewar preparat antivirus, dan penguatan serta pemulihan sistem
imun melalui pengguanaan preparat immunomodulator. Perawatan suportif
merupakan tindakan yang penting karena efek infeksi HIV dan penyakit AIDS yang
sangat menurunkan keadaan umum pasien; efek tersebut mencangkup malnutrisi,
kerusakan kulit, kelemahan dan imobilisasi dan perubahan status mental.
Penatalaksanaan HIV AIDS sebegai berikut :
a. Obat-obat untuk infeksi yang berhubungan dengan HIV infeksi
Infeksi umum trimetroprime-sulfametokazol, yang disebut pula
TMPSMZ(Bactrim,septra), merupakan preparat antibakteri untuk mengatasi
berbagai mikroorganisme yang menyebabkan infeksi. Pemberian secara IV
kepada pasien-pasien dengan fungsi gastrointerstinal yang normal tidak
memberikan keuntungan apapun. Penderita AIDS yang diobati dengan TMP-
SMZ dapat mengalami efekyang merugikan dengan insiden tinggiyang tidak
lazim terjadi, seperti demam, ruam, leukopenia, trombositopenia dengan ganggua
fungsi renal. Pentamidin, suatu obat anti protozoa, digunakan sebagai preparat
alternatif untuk melawan PCP. Jika terjadi efek yang merugikan atau jika pasien
tidak memperlihatkan perbaikan klinis ketika diobati dengan TMP-SMZ, petugas
kesehatan dapat merekomendasikan pentamidin.
Kompleks Mycobacterium avium, terapi kompleks Mycobacterium aviumcomplex
(MAC) masih belum ditentukan dengan jelas dan meliputi penggunaan lebih dari
satu macam obat selam periode waktu yang lama.
Meningitis, Terpi primer yang muthakhir untuk meningitis kriptokokus adalah
amfoterisin B IV dengan atau tanpa flusitosin atau flukonazol (Diflucan). Keadaan
pasien harus dipantau untuk endeteksi efek yang potensial merugikan dan serius
dari amfoterisin B yang mencangkup reaksi anafilaksik, gangguan renal serta
hepar, gangguan keseimbangan elektrolit, anemia, panas dan menggigil.
Retinitis Sitomegalovirus, Retinitis yang disebabkan oleh sitomegalovirus
(CMV;cytomegalovirus) merupan penyebab utama kebutaan pada penderita
penyakit AIDS.
Foskarnet (Foscavir), yaitu peparat lain yang digunakan mengobati retinitis
CMV, disuntikkan intravena setiap 8 jam sekali selama 2 hingga 3 minggu.
Reaksi merugikan yang lazim terjadi pada pemberian foskarnet adalah
nefrotoksisitas yang mencangkup gagal ginjal akut dan gangguan keseimbangan
elektrolit yang mencangkup hipokalasemia, hiperfosfatemia serta
hipomagnesemia. Semua keadaan ini dapat membawa kematian. Efek merugikan
lainnya yang lazim dijumpai adaah serangan kejang-kejang, gangguan
gastrointerstinal, anemia, flebitis, pada tempat infus dan nyeri punggung bawah.
Keadaan lain, Asiklovir dan foskarnat kini digunakan untuk mengobati infeksi
ensefalitis yang disebabkan oleh harpes simpleks atau harpes zoster. Pirimetamin
(Daraprim) dan Sulfadiazin atau klindamisin (Cleosin HCL) digunakan untuk
pengobatan maupun terapi supresif seumur hidup bagiinfeksi Toxoplasmosis
gondi. Infeksi kronis yang membandel oleh kondendidasi (trush) atau lesi
esofagus diobati dengan Ketokonazol atau flukonazol.
b. Penatalaksanaan Diare Kronik
Terapi dengan oktreotid asetat (sandostain), yaitu suatu analog sintetik
somatostatin, ternyata efektif untuk mengatasi diare yang berat dan kronik.
Konsentrasi reseptor somatosin yang tinggi ditemukan dalam traktus
gastrointerstinal maupun jaringan lainnya. Somatostain akan menghambat banyak
fungsi fisologis yang mencangkup motalisis gastrointerstinal dan sekresi-
interstinal air serta elektrolit.
c. Terapi Antiretrovirus
Saat ini terdapat empat preparat antiretrovirus yang sudah disetujui oleh FDA
untuk pengobatan HIV, keempat preparat tersebut adalah; Zidovudin,
Dideoksinosin , dideoksisitidin dan Stavudin. Semua obat ini menghambat kerja
enzim reserve transcriptase virus dan mencegah virus reproduksi virus HIV
dengan cara meniru salah satu substansi molekuler yang digunakan virus tersebut
untuk membangun DNA bagi partikel-partikel virus baru. Dengan mengubah
komponen struktural rantai DNA, produksi virus yang baru akan dihambat.
d. Terapi Nutrisi
Nutrisi yang sehat dan seimbang diperlukan pasien HIV AIDS untuk
mempertahankan kekuatan, meningkatkan fungsi sistem imun, meningkatkan
kemampuan tubuh, utuk memerangi infeksi, dan menjaga orang yang hidup
dengan infeksi HIV AIDS tetap aktif dan produktif. Defisiensi vitamin dan
mineral bisa dijumpai pada orang dengan HIV, dan defisiensi sudah terjadi sejak
stadium dini walaupun pada ODHA mengonsumsi makanan dengan gizi
berimbang. Defisiensi terjadi karena HIV menyebabkan hilangnya nafsu makan
dan gangguan absorbsi szat gizi.
Untuk mengatasi masalah nutrisi pada pasien HIV AIDS, mereka harus diberikan
makanan tinggi kalori, tinggi protein, kaya vitamin dan mineral serta cukup air.
e. Manfaat konseling dan VCT pada pasien HIV
Konseling HIV/AIDS merupakan dialog antara seseorang (klien) dengan
pelayanan kesehatan (konselor) yang bersifat rahasia, sehingga memungkinkan
orang tersebut mampu menyesuaikan atau mengadaptasi diri dengan stres dan
sanggup membuat keputusan bertindak berkaitan dengan HIV/AIDS.
Konseling HIV berbeda dengan konseling lainnya, walaupun keterampilan dasar
yang dibutuhkan adalah sama. Konseling HIV menjadi hal yang unik karena :
1) Membutuhkan pengetahuan yang luas tentang infeksi menular seksual (IMS)
dan HIV/AIDS
2) Membutuhkan mengenai praktik seks yang bersifat pribadi
3) Membutuhkan pembahasan tentang keamatian atau proses kematian
4) Membutuhkan kepekaan konselor dalam menghadapi perbedaan pendapat
dan nilai yang mungkin sangat bertentangan dengan nilai yang dianut oleh
konselor itu sendiri.
5) Membutuhkan keterampilan pada saat memberikan hasil HIV positif
6) Membutuhkan keterampilan dalam menghadapi kebutuhan pasangan maupun
anggota keluarga klien.
B. Konsep Asuhan Keperawatan Pada pasien HIV AIDS dengan Kasus GEA
PENGKAJIAN
Identitas pasien : Meliputi nama lengkap, tempat tinggal, umur, asal suku bangsa dan
pekerjaan orang tua.
1. Keluhan utama
Buang air besar lebih dari 3 kali sehari dengan frekunsi sering dan konsistensi encer.
2. Riwayat penyakit sekarang
- Suhu badan mungkin meningkat, nafsu makan berkurang atau tidak ada, dan diare.
- Feses cair, mungkin disertai lendir atau lendir dan darah.
- Anus dan sekitarnya timbul lecet karena sering defekasi.
- Gejala muntah dapat terjadi sebelum dan sesudah diare.
- Apabila klien telah banyak kehilangan cairan dan elektrolit, maka gejala dehidrasi
mulai tampak.
- Diuresis terjadi oliguria.
3. Riwayat kesehatan meliputi:
- Riwayat imunisasi.
- Riwayat alergi terhadap makanan atau obat obatan
- Riwayat penyakit yang pernah diderita sebelumnya.
4. Riwayat nutrisi
- Asupan makanan
- Keluhan nyeri abdomen.
- Distensi abdomen, mual, muntah.
- Berat badan biasanya turun.
5. Pola eliminasi
- Frekuensi defekasi sering.3 kali sehari
- Feses cair, mengandung lendir dan darah.
6. Pemeriksaan fisik
- Keadaan umum: baik, sadar (tanpa dehidrasi). Gelisah, (dehidrasi ringan
dansedang). Lesu, lungkai atau tidak sadar, tidak ada urine (dehidrasi berat).
- Berat badan: klien diare dengan dehidrasi biasanya mengalami penurunan
beratbadan: dehidrasi ringan: bila terjadi penurunan berat badan 5%.
- Dehidrasi : sedang bila terjadi penurunan berat badan 5-10%. Dehidrasi berat
bilaterjadi penurunan berat badan 10-15%.
- Kulit : Untuk mengetahui elastisitas kulit, dapat dilakukan pemeriksaan
turgorkulit, inspeksi kulit perianal apakah terjadi iritasi.
- Mulut/lidah : Mulut dan lidah biasanya tanpa dehidrasi. Mulut dan lidah
kering(dehidrasi ringan sampai sedang). Mulut dan lidah sangat kering
(dehidrasiberat).
- Abdomen : kemungkinan mengalami distensi, kram, nyeri dan bising usus
yangmeningkat.
DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul pada klien HIV AIDS dengan kasus
Gastroenteritis adalahsebagai berikut :
- Diare berhubungan dengan inflamasi, iritasi dan mal absorbsi usus.
- Defisit nutrisi berhubungan dengan nutrisi tidak adekuat
- Intoleran aktivitas berhubungan dengan produksi energi menurun
- Resiko Hipovolemia berhubungan dengan kehilangan cairan secara aktif,
kekurangan intake cairan
- Nyeri berhubungan dengan hiperperistaltik usus, diare lama, iritasi kulit, jaringan.
- Cemas berhubungan dengan faksot psikologis/rangsangan simpatit (proses
inflamasi), ancaman konsep diri, ancaman terhadap perubahan status kesehatan.
- Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan
berhubungan dengan kesalahan interprestasi informasi, kurang mengingat dan
tidak mengenal sumber informasi.
Intervensi
1. Genogram
X X X
X
X X X
X X X X X
X
X X 63 60 57
Genogram 3 generasi
Keterangan :
: Laki-Laki
: Perempuan
:Klien
x: Meninggal Keterangan:
Kesadaran : Composmentis
Distribusi Rambut :
Lesi : Ya √ Tidak
Warna Kulit : √ Ikterus Sianosi Kemerahan
Pucat
Akral : √ Hangat Panas Dingin
Oedema Ya √ Tidak
Warna kuku : √ Pink Sianosis Lain-lain
2. Kepala dan leher
Kepala : √ Simetris Asimetris
Lesi : Ya √ Tidak
Deviasi Trakea : Ya √ Tidak
Pembesaran Kelenjar Tiroid : Ya √ Tidak
3. Mata danTelinga
Gangguanpengihatan Ya √ Tidak
Menggunakankacamata Ya √ Tidak
Ds :
₋ Pasien mengatakan lemas dialami sejak 1 bulan yang
lalu dan memberat 1 minggu terakhir
₋ Klien mengatakan diare sejak 5 hari yang lalu
₋ Pasien mengatakan lemas
2. Defisit Nutrisi
Do :
₋ Keadaan umum lemas
₋ Tampak kandidiasis oral
₋ Penurunan BB >10% satu bulan terakhir
₋ IMT: 15,05 kg/m²
₋ Albumin : 2,4 gr/dl
DS :
₋ Klien mengatakan lemas sejak 1 bulan yang lalu dan
memberat 1 minggu terakhir
3. DS: Intoleras Aktivitas
₋ Ku tampak lemas
₋ Bartel index (8) yaitu ketergantungn berat
4. Faktor resiko :
Diare
Na: 129 mmol/l Resiko Hipovolemi
K: 3.6 mmol/l
Albumin 2.4 gr/dl
RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN
Nama Klien : Tn.R Umur:41 tahun
Diagnosa Medis: HIV+Diare+Candidiasis Ora
Nomor RM: -
Ruang Rawat : Ruangan Infeksi
No DIAGNOSA KEPERAWATAN
SLKI SIKI
(SDKI)
1. Diare berhubungan dengan inflamasi Setelah melakukan tindakan Manajemen Diare
gastrointestinal ditandai dengan: keperawatan selama 1x 24 jam Observasi
Ds : diharapkanpasien tidak mengalami 1. Identifikasi penyebab diare
₋ diare, dengan kriteria : 2. Monitor warna,volume, frekuensi dan konsistensi
Do : 1. Kontrol pengeluaran feses tinja
₋ Pasien mengatakan diare sejak 5 hari yang menurun 3. Monitor tanda dan gejala hipovolemi (Mis:
lalu 2. Konsistensi feses membaik takikardi, nadi teraba lemah, TD turun, turgor kulit
3. Frekuensi defekasi membaik turun, mukosa kulit kering, CRT melambat, BB
4. Peristaltik usus membaik menurun)
Serum kalium meningkat Terapeutik
1. Berikan asupan cairan oral (mis: larutan garam,
gula, oralit dll)
2. Pasang jalur intravena
3. Berikan cairan intravena
4. Ambil sampel darah untuk pemeriksaan darah
lengkap dan elektrolit
Edukasi
1. Anjurkan makanan dalam porsi kecil dan sering
secara bertahap
2. Anjurkan menghindari makanan berbentuk gas,
pedas dan mengandung laktosa
Kolaborsi
- Kolaborasi pemberian obat antimotilitas
(loperamide, difenoksilat)
Manajemen Elektrolit
Observasi
1. Identifikasi tanda dan gejala ketidakseimbangan
kadar elektrolit
2. Monitor kadar elektrolit
3. Monitor efek samping pemberian suplemen
elektrolit
Terapeutik
1. Berikan cairan jika perlu
2. Berikan diet yang tepat
3. Anjurkan pasien dan keluarga modifikasi diet jika
perlu
4. Pasang akses intravena
Edukasi
1. Jelaskan jenis, penyebab dan penanganan
ketidakseimbangan elektrolit
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian suplemen elektrolit sesuai
indikasi
2. Defisit nutrisi berhubungan dengan nutrisi tidak Setelah dilakukan intervensi selama Manajemen nutrisi
adekuat ditandai dengan : 3x24 jam diharapkan status nutrisi Observasi
DS : membaik dengan kriteria : 1. Identifikasi status nutrisi
₋ Pasien mengatakan lemas dialami sejak 1 1. Porsi makanan yang dihabiskan 2. Identifikasi alergi dan intoleran makanan
bulan yang lalu dan memberat 1 minggu meningkat 3. Identifikasi makanan yang disukai
terakhir 2. Serum albumin cukup meningkat 4. Idnetifikasi kebutuhan kalori dan jenis nutrient
₋ Klien mengatakan diare sejak 5 hari yang 3. Verbalisasi keinginan untuk 5. Monitor asupan makanan
lalu meningkatkan nutrisi 6. Monitor hasil pemeriksaan laboratorium
₋ Pasien mengatakan lemas 4. Pengetahuan tentang standar Terapeutik
asupan nutrisi yang tepat 4. Lakukan oral hygiene sebelum makan
Do : 5. Frekuensi makan membaik 5. Sajikan makanan secara menarik dengan suhu yang
₋ Keadaan umum lemas sesuai
₋ Tampak kandidiasis oral 6. Berikan makanan tinggi kalori dan tinggi protein
₋ Penurunan BB >10% satu bulan terakhir 7. Berikan suplemen makanan jika perlu
₋ IMT: 15,05 kg/m²
₋ Albumin: 2.4 gr/dl Edukasi
1. Ajarkan diet yang di programkan
Kolaborasi
1. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan
jumlah kalori dan jenis nutrient yang dibutuhkan
jika perlu
Manajemen nutrisi parenteral
Observasi
1. Identifikasi indikasi pemberian nutrisi parenteral
(gangguan absorpsi makanan, gangguan motilitas
usus dan jalur enteral tidak memungkinkan)
2. Identifikasi jenis akses parenteral yang diperlukan
(perifer atau sentral)
3. Monitor reaksi alergi pemberian nutrisi parenteral
4. Monitor kepatenan akses intravena
5. Monitor asupan nutrisi
6. Monitor terjadinya komplikasi (mis: mekanik,
septik, metabolik)
Terapeutik
1. Hitung kebutuhan kalori
2. Berikan nutrisi parenteral sesuai indikasi
3. Intoleran aktivitas berhubungan dengan produksi Setelah dilakukan intervensi Manajemen Energi
energi menurun ditandai dengan : keperawatan selama 3x24 jam Observasi
diharapkan pasien toleransi aktivitas 1. Identifikasi gangguan fungsi tubuh yang
DS : meningkat dengan kriteria: mengakibatkan kelelahan
₋ Klien mengatakan lemas sejak 1 bulan yang 1. Kemudahan dalam melakukan 2. Monitor kelelahan fisik dan emosional
lalu dan memberat 1 minggu terakhir aktivitas sehari-hari cukup 3. Monitor pola dan jam tidur
DS: meningkat 4. Monitor lokasi dan ketidaknyamanan selama
₋ Ku tampak lemas 2. Perasaan lemah menurun melakukan aktifitas
₋ Bartel index (8) yaitu ketergantungn berat 3. Tehnik konservasi energi Terapeutik
meningkat 1. Sediakan lingkungan nyaman dan rendah
4. Strategi untuk menyeimbangakan stimulus
aktivitas dan istirahat meningkat 0. Lakukan rentang gerak pasif dan atau aktif
1. Fasilitasi duduk di tempat tidur, jika tidak dapat
berpindah atau berjalan
Edukasi
1. Anjurkan tirah baring
2. Anjurkan melakukan aktivitas secara bertahap
4. Resiko Hipovolemi Setelah dilakukan intervensi Manajemen Hipovolemi
Faktor resiko : keperawatan selam 1x 24 jam Observasi
Diare diharapkan tidak terjadi resiko 1. Periksa tanda dan gejala hipovolemi (frek nadi
Na: 129 mmol/l hipovolemi dengan kriteria: menigkat, nadi teraba lemah, TD menurun, turgor
K: 3.6 mmol/l 1. Serum kalium meningkat kulit menurun, membrane mukosa kering, volume
Albumin 2.4 gr/dl 2. Perasaan lemah menurun urine menurun, hematokrit meningkat, haus dan
3. Intake cairan membaik lemah)
4. Diare menurun 2. Monitor input dan output cairan
5. Serum albumin meningkat Terapeutik
Berikan asupan cairan oral
Edukasi
Anjurkan memperbanyak asupan cairan oral
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian cairan IV isotonic (mis. Rl,
NaCl)
Daftar Isi
Indonesia, P. P. N. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (Edisi 1). DPP PPNI.
Indonesia, P. P. N. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan (Edisi 1). DPP PPNI.