Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN PENDAHULUAN HIV/AIDS

DISUSUN OLEH :
EKO HERI KURNIAWAN
NIM: 2022207209086

PROGRAM PROFESI NERS FAKULTAS KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PRINGSEWU - LAMPUNG 2022/2023
LAPORAN PENDAHULUAN HIV/AIDS

A. KONSEP HIV AIDS


1. Pengertian
Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan penyakit
kekurangan sistem imun yang disebabkan oleh retrovirus HIV tipe 1 atau HIV
tipe 2 (Copstead dan Banasik, 2012). Infeksi HIV adalah infeksi virus yang
secara progresif menghancurkan sel-sel darah putih infeksi oleh HIV biasanya
berakibat pada kerusakan sistem kekebalan tubuh secara progresif,
menyebabkan terjadinya infeksi oportunistik dan kanker tertentu (terutama
pada orang dewasa) (Bararah dan Jauhar. 2013). Acquired Immune Deficiency
Syndrome (AIDS) adalah suatu kumpulan kondisi klinis tertentu yang
merupakan hasil akhir dari infeksi oleh HIV (Sylvia & Lorraine, 2012).

Definisi Kasus Surveilans untuk infeksi HIV dari CDC menurut Sylvia dan
Lorraine (2012) yaitu: Kriteria yang direvisi pada tahun 2000 untuk pelaporan
tingkat nasional, mengombinasikan infeksi HIV dan AIDS dalam satu definisi
kasus. Pada orang dewasa , remaja, atau anak berusia 18 bulan atau lebih,
definisi kasus surveilans infeksi HIV dipenuhi apabila salah satu kriteria
laboratorium positif atau dijumpai bukti klinis yang secara spesifik
menunjukkan infeksi HIV dan penyakit HIV berat (AIDS).

Bukti laboratorium untuk infeksi HIV mencangkup reaksi positif berulang


terhadap uji-uji penapisan antibodi yang dikonfirmasi dengan uji suplementer
(misal,ELISA, dikonfirmasi dengan uji Western blot) atau hasil positif atau
laporan terdeteksinya salah satu uji nonantibodi atau virologi HIV: uji antigen
p24 HIV dengan pemeriksaan netralisis, biakan virus HIV, deteksi asam
nukleat (RNA atau DNA) HIV (misalnya, reaksi berantai polimerase atau RNA
HIV-1 plasma, yang berinteraksi akibat terpajan pada masa perinatal).
Kriteria klinis mencangkup suatu diagnosa infeksi HIV yang didasarkan pada
daftar kriteria laboratorium yang tercatat dalam rekam medis oleh dokter atau
penyakit-penyakit yang memenuhi kriteria yang tercakup dalam definisi kasus
untuk AIDS. Kriteria untuk definisi kasus AIDS adalah :
a. Semua pasien yang terinfeksi oleh HIV dengan :
1) Hitungan sel T CD4+ <200/μI atau
2) Hitungan sel T CD4+ <14% sel T total, tanpa memandang kategori
klinis, simtomatik atau asimtomatik
b. Adanya infeksi-infeksi oportunistik terkait HIV, seperti :
1) Kondidiasis bronkus, trakea, atau paru
2) Kondidiasis esofagus
3) Kanker serviks, invasif
4) Koksidioidomikosis, diseminata atau ekstraparu
5) Kriptokokus, ekstraparu
6) Kriptosporidiosis, usus kronik (lama sakit lebih dari 1 bulan)
7) Penyakit sitomegalovirus (selain di hati,limpa, atau kelenjer getah
bening)
8) Retnitis sitomegalovirus (disertai hilangnya penglihatan)\
9) Ensafalopati, terkait HIV
10) Harpes simpleks; ulkus (-ulkus kronik lebijh dari 1 bulan; atau
bronkitis, pneumonitis, esofagitis
11) Histoplasmosis, diseminata atau ekstraparu
12) Isosporiasis, usus kronik (lama sakit lebih dari 1 bulan)
13) Sarkoma Kaposi (SK)
14) Limfoma, Burkitt (atau ekivalen)
15) Limfoma, imunoblastik (atau yang ekivalen)
16) Limfoma, primer, otak
17) Mycobacterium avium complex atau Mycobacterium kansasi,
diseminata atau ektra paru
18) Mycobacterium tuberkulosis, semua tempat, paru-paru atau ekstraparu
19) Mycobacterium, spesies lain atau spesies yang belum teridentifikasi,
diseminata atau ekstraparu
20) Pneumonia Pneumicytis carinii (PPC)
21) Pneumonia, rekuren
22) Leukoensefalopati multifokus progresif
23) Septikemia salmonela, rekuren
24) Toksoplasmosis otak
25) Sindrom pengurusan yang disebabkan oleh HIV

2. Penyebab
Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) disebabkan oleh Human
Immunodeficiency Virus (HIV), suatu retrovirus pada manusia yang termasuk
dalam keluarga lentivirus (termasuk pula virus imunodefisinsi pada kucing,
virus imunodefisiensi pada kera, visna virus pada domba, dan virus anemia
infeksiosa pada kuda). Dua bentuk HIV yang berbeda secara genetik, tetapi
berhubungan secara antigen, yaitu HIV-1 dan HIV-2 yang telah berhasil
diisolasi dari penderita AIDS. Sebagian besar retrovirus, viron HIV-1
berbentuk sferis dan mengandung inti berbentuk kerucut yang padat elektron
dan dikelilingi oleh selubung lipid yang berasal dari membran se penjamu. Inti
virus tersebut mengandung kapsid utama protein p24, nukleokapsid protein p7
atau p9, dua sirina RNA genom, dan ketiga enzim virus (protease, reserve
trancriptase, dan integrase). Selain ketiga gen retrovirus yang baku ini, HIV
mengandung beberapa gen lain (diberi nama dengan tiga huruf, misalnya tat,
rev, vif, nef, vpr dan vpu) yang mengatur sintetis serta perakitan partikel virus
yang infeksius. (Robbins dkk, 2011)

Menurut Nursalam dan Kurniawati (2011) virus HIV menular melalui enam
cara penularan, yaitu :
a. Hubungan seksual dengan pengidap HIV/AIDS
Hubungan sesual secara vaginal, anal dan oral dengan penderita HIV tanpa
perlindungan bisa menularkan HIV. Selama hubungan seksual
berlangsusng, air mani, cairan vagina, dan darah yang dapat mengenai
selaput lendir, penis, dubur, atau muluh sehingga HIV yang tedapa dalam
cairan tersebut masuk ke aliran darah (PELEKSI,1995 dalam
Nursalam,2007 ). Selama berhubungan juga bisa terjadi lesi mikro pada
dinding vagina, dubur dan mulut yang bisa menjadi jalan HIV untuk masuk
ke aliran darah pasangan seksual

b. Ibu pada bayinya


Penularan HIV dari ibu bisa terjadi pada saat kehamilan (in utero).
Berdasarkan laporan CDC Amerika, prevalensi penularan HIV dari ibu ke
bayi adalah 0.01% sampai 7%. Bila ibu baru terinfeksi HIV dan belum ada
gejala AIDS, kemungkinan bayi terinfeksi sebanyak 20% sampai 35%,
sedangkan gejala AIDS sudah jelas pada ibu kemungkinan mencapai 50%
(PELKESI,1995 dalam Nursalam, 2007). Penularan juga terjadi selama
proses persalinan melalui tranfusi fetomaternal atau kontak antara kulit
atau membran mukosa bayi dengan darah atau sekresi maternal saat
melahirkan.(Lili V, 2004 dalam Nursalam, 2007). Semakin lam proses
melahirkan, semakin besar resiko penularan. Oleh karena itu, lama
persalinan bisa dipersingkat dengan operasi sectio caesaria (HIS dan
STB,2000 dalam Nursalam, 2007). Transmisi lain terjadi selam periode
post partum melaui ASI. Resiko bayi tertular melalui ASI dai Ibu yang
positif sekitar 10%

c. Darah dan produk darah yang tercemar HIV/AIDS


Sangat cepat menular HIV karena virus langsung masuk ke pembuluh
darah dan menyebar ke seluruh tubuh.

d. Pemakaian alat kesehatan yang tidak steril


Alat pemeriksaan kandungan seperti spekulum, tenakulum, dan alat-alat
lain yang menyentuh darah, cairan vagina atau air mani yang terinveksi
HIV, dan langsung digunakan untuk orang lain yang tidak terinfeksi HIV,
dan langsung digunakan untuk orang lain yang tidak terinfeksi HIV bisa
menular HIV

e. Alat-alat untuk menoreh kulit


Alat tajam dan runcing seperti jarum, pisau, silet, menyunat seseorang,
membuat tato, memotong rambut, dan sebagainya bisa menularkan HIV
sebab alat tersebut mungkin dipakai tanpa disterilkan terlebih dahulu.

f. Menggunakan jarum suntik secara bergantian


Jarum suntik yang digunakan di fasilitas kesehatan, maupun yang
digunakan oleh para pengguna narkoba (Injecting Drug User-IDU) sangat
berpotensi menularkan HIV. Selain jarun suntik, pada para pemakai IDU
secara bersama-sama juga menggunakan tempat penyampur, pengaduk, dan
gelas pengoplos obat, sehingga berpotensi tinggi untuk menularkan HIV.

HIV tidak menular melalui peralatan makan, pakaian, handuk, sapu tangan,
hidup serumah dengan penderita HIV/AIDS, gigitan nyamuk, dan hubungan
sosial yang lain.

3. Patofisiologi

Gambar 2.1 Perjalanan infeksi HIV AIDS


Menurut Robbins, Dkk (2011) Perjalanan infeksi HIV paling baik dipahami
dengan menggunakan kaidah saling memengaruhi antara HIV dan sistem imun.
Ada tiga tahap yang dikenali yang mencerminkan dinamika interaksi antara
virus dan penjamu. (1) fase akut pada tahap awal; (2) fase kronis pada tahap
menengah; dan (3) fase krisis, pada tahap akhir.

Fase akut menggambarkan respon awal seseorang dewasa yang


imunokompeten terhadap infeksi HIV. Secara klinis, hal yang secara khas
merupakan penyakit yang sembuh sendiri yang terjadi pada 50% hingga 70%
dari orang deawasa selama 3-6 minggu setelah infeksi; fase ini ditandai dengan
gejala nonspesifik yaitu nyeri tenggorokan, mialgia, demam, ruam, dan
kadang-kadang meningitis aseptik. Fase ini juga ditandai dengan produksi virus
dalam jumlah yang besar, viremia dan persemaian yang luas pada jaringan
limfoid perifer, yang secara khas disertai dengan berkurangnya sel T CD4+.
Namum segera setelah hal itu terjadi, akan muncul respon imun yang spesifik
terhadap virus, yang dibuktikan melalui serokonversi (biasanya dalam rentang
waktu 3 hingga 17 minggu etelah pejanan) dan muali munculnya sel T sitoksik
CD8+ yang spesifik terhadap virus. Setelah viremia mereda, sel T CD4+
kembali mendekati jumlah normal. Namun, berkurangnya virus dalam plasma
bukan merupakan penanda berakhirnya replikasi virus, yang akan terus
berlanjut di dalam makrofag dan sel T CD 4+ jaringan.

Fase kronis, pada tahap menengah, menunjukkan tahap penahanan relatif virus.
Pada fase ini, sebagian besar sistem imun masih utuh, tetapi replikasi virus
berlanjut hingga beberapa tahun. Pada pasien tidak menunjukkan gejala
ataupun menderita limfadenopati persisten, dan banyak penderita yang
mengalami infeksi oportunistik “ringan” seperti ariawan (Candida) atau harpes
zoster selama fase ini replikasi virus dalam jaringan limfoid terus berlanjut.
Pergantian virus yang meluas akan disertai dengan kehilangan sel CD4+ yang
berlanjut. Namun, karena kemampuan regenerasi sistem imun besar, sel CD4+
akan tergantikan dalam jumlah yang besar. Oleh karena itu penurunan sel
CD4+ dalam darah perifer hanyalah hal yang sederhana. Setelah melewati
periode yang panjang dan beragam, pertahanan penjamu mulai berkurang,
jumlah sel CD4+ mulai menurun, dan jumlah sel CD4+ hidup yang terinfeksi
oleh HIV semakin meningkat. Limfadenopati persisten yang disertai dengan
kemunculan gejala konstitusional yang bermakna (demam, ruam, mudah lelah)
mencerminkan onset adanya dekompensasi sistem imun, peningkatan replikasi
virus, dan onset fase “krisis”.

Tahap terakhir, fase krisis, ditandai dengan kehancuran ppertahanan penjamu


yang sangat merugikan peningkatan viremia yang nyata, serta penyakit klinis.
Para pasien khasnya akan mengalami demam lebih dari 1 bulan, mudah lelah,
penurunan berat badan, dan diare. Jumlah sel CD4+ menurun dibawah 500
sel/μL. Setelah adanya interval yang berubah-ubah, para pasien mengalami
infeksi oportunistik yang serius, neoplasma sekunder, dan atau manifestasi
neurologis (disebut dengan kondisi yang menentukan AIDS), dan pasien yang
bersangkutan dikatakan telah menderita AIDS yang sesungguhnya. Bahkan
jika kondisi lazim yang menentukan AIDS tidak muncul, pedoman CDC yang
digunakan saat ini menentukan bahwa seseorang yang terinfeksi HIV dengan
jumlah sel CD4+ kurang atau sama dengan 200/μL sebagai pengidap AIDS.
Poltekkes Kemenkes Padang
Poltekkes Kemenkes Padang
4. Respon Tubuh Terhadap Perubahan Fisiologis
Menurut Burnner dan Suddarth (2013) Manifestasi klinis penyakit AIDS
menyebar luas dan pada dasarnya dapat mengenai setiap sistem organ.
Penyakit yang berkaitan dengan infeksi HIV dan penyakit AIDS terjadi akibat
infeksi, malignasi dan atau efek langsung HIV pada jaringan tubuh,
pembahasan berikutini dibatasi pada manifestasi klinis dan akibat infeksi HIV
berat yang paling sering ditemukan.
a. Respiratori
Pneumonia Pneumocytis carini. Gejala nafas yang pendek, sesak nafas
(dispnea), batuk-batuk, nyeri dada dan demam akan menyertai berbagai
infeksi oportunistik seperti yang disebabkan oleh Mycobacterium avium
intracellulare (MAI), sitomegalovirus (CMV) dan Legionella. Walaupun
begitu, infeksi yang paling sering ditemukan pada penderita AIDS adalah
Pneumonia Pneumocytis Carinii (PCP) yang merupakan penyakit
oportunistik pertama yang dideskripsikan berkaitan dengan AIDS.

Gambaran klinik PCP pada pasien AIDS umumnya tidak begitu akut bila
dibandingkan dengan pasien gangguan kekebalan karena keadaan lain.
Periode waktu antara awitan gejala dan penegakan diagnosis yang benar
bisa beberapa minggu hingga beberapa bulan. Penderita AIDS pada
mulanya hanya memperlihatkan tanda-tanda dan gejala yang tidak khas
seperti demam, menggigil, batuk non produktif, nafas pendek, dispnea dan
kadang-kadang nyeri dada. Konsentrasi oksigen dalam darah arterial pada
pasien yang bernafas dengan udara ruangan dapat mengalami penurunan
yang ringan; keadaan ini menunjukkan keadaan hipoksemia minimal. Bila
tidak diatasi, PCP akan berlanjut dengan menimbulkan kelainan paru yang
signifikan dan pada akhirnya, kegagalan pernafasan.

Penyakit kompleks Kompleks Mycobacterium avium (MAC;


Mycobacterium avium Complex) yaitu suatu kelompok baksil tahan asam,
biasanya menyebabkan infeksi pernafasan kendati juga sering dijumpai

Poltekkes Kemenkes Padang


dalam traktus gastrointerstinal, nodus limfatik dan sumsum tulang.
Sebagian pasien AIDS sudah menderita penyakit yang menyebar luas
ketika diagnosis ditegakkan dan biasanya dengan keadaan umum yang
buruk.

Berbeda dengan infeksi oportunistik lainnya, penyakit tuberkulosis (TB)


cenderung terjadi secara dini dalam perjalanan infeksi HIV dan biasanya
mendahului diagnosa AIDS. Dalam stadium infeksi HIV yang lanjut,
penyakit TB disertai dengan penyebaran ke tempat-tempat ekstrapulmoner
seperti sistem saraf pusat, tulang, perikardium, lambung, peritoneum dan
skrotum.

b. Gastrointerstinal
Manifestasi gastrointerstinal penyakit AIDS mencangkup hilagnya selera
makan, mual, vomitus, kondisiasis oral, serta esofagus, dan diare kronis.
Bagi pasien AIDS, diare dapat membawa akibat yang serius sehubungan
dengan terjadinya penurunan berat badan yang nyata (lebih dari 10% berat
badan), gangguan keseimbnagan cairan dan elektrolit, ekskoriasis kulit
perianal, kelemahan dan ketidakmampuan untuk melaksanakan kegiatan
yang biasa dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.

c. Kanker
Sarkoma Kaposi yaitu kelainan malignasi yang berkaitan dengan HIV yang
paling sering ditemukan merupakan penyakit yang melibatkan lapisan
endotel pembuluh darah dan limfe.Kaposi yang berhubungan dengan AIDS
memperlihatkan penyakit yang lebih agresif dan beragam yang berkisar
mulai dari lesi kutaneus setempat hingga kelainan yang menyebar dan
mengenai lebih dari satu sistem organ. Lesi Kutaneus yang dapat timbul
pada setiap bagian tubuh biasanya bewarna merah mudah kecoklatan
hingga ungu gelap. Lesi dapat datar atau menonjol dan dikelilingi oleh
ekimosis (bercak-bercak perdarahan) serta edema.

Poltekkes Kemenkes Padang


Lokasi dan ukuran beberapa lesi dapat menimbulkan statis aliran vena,
limfadema serta rasa nyeri. Lesi ulserasi akan merusak integritas kulit dan
meninggalkan ketidaknyamanan pasien serta kerentanannya terhadap
infeksi.

Limfoma Sel-B merupakan malignansi paling sering kedua yang terjadi


diantara pasien-pasien AIDS. Limfoma yang berhubungan dengan AIDS
cenderung berkembang diluar kelenjer limfe; limfoma ini paling sering
dijumpai pada otak, sumsum tulang dan traktus gastrointerstinal.

d. Neurologik
Ensefalopati HIV disebut juga sebagai kompleks demensia AIDS. Hiv
ditemukan dengan jumlah yang besar dalam otak maupun cairan
serebrospinal pasien-pasien ADC (AIDS dementia complex). Sel-sel otak
yang terinfeksi HIV didominasi olehsel-sel CD4 + yang berasal dari
monosit/magrofag. Infeksi HIV diyakini akan memicu toksin atau limfokin
yang mengakibatkan disfungsi seluler atau yang mengganggu atau yang
mengganggu fungsi neurotransmiter ketimbang menyebabkan kerusakan
seluler. Keadaan ini berupa sindrom klinis yang ditandai oleh penurunan
progresif pada fungsi kognitif, prilaku dan motorik. Tanda tanda dan
gejalanya yang samar-samar serta sulit dibedakan dan kelelahan, depresi
atau efek terapi yang merugikan terhadap infeksi dan malignansi.

Manifestasi dini mencangkup gangguan daya ingat, sakit kepala, kesulitan


berkonsentrasi, konfusi progresif, pelambatan psikomotorik, apatis dan
ataksia. Stadium lanjutmencangkup ganggua kognitif global kelambatan
dalam respon verbal, gagguan afektif seperti pandangan yang
kosong,hiperrefleksi paraparesis spastik, psikologis, halusiansi, tremor,
inkontenensia, serangan kejang, mutisme dan kematian.

Poltekkes Kemenkes Padang


Infeksi jamur Criptococcus neoformans merupakan infeksi opotunistik
paling sering keempat yang terdapat di antara pasien-pasien AIDS dan
penyebab infeksi paling sering ketiga yang menyebabkan kelainan
neurologik. Meningitis kriptokokus ditandai dengan gejala seperti
demam/panas, sakit kepala, keadaan tidak enak badan (melaise), kaku
kuduk, mual, vormitus, perubahan status mental, dan kejang-kenjang.

Leukoensefalopati Multifokal Progresif (PML) merupakan kelainan sistem


saraf pusat dengan demielinisasi yang disebabkan oleh virus J.C.
Manifestasi klinis dapat dimulai dengan konfusi mental dan mengalami
perkembangan cepat yang akhirnya mencakup gejala kebutaan, afasia,
paresis, (paraliasis ringan) serta kematian.

Kelemahan neurologik lainnya berupa neuropati perifer yang berhubungan


dengan HIV diperkirakan merupakan kelainan demielinisasi dengan
disertai rasa nyeri serta patirasa pada ekstremitas, kelemahan, penurunan
rekfleks tendon yang dalam, hipotensi ortostatik dan impontensi.

e. Struktur integrumen
Manifestasi kulit menyertai infeksi HIV dan infeksi oportunistik serta
malignansi yang mendampinginya, Infeksi oportunistik seperti harpes
zoster dan harpes simpleks akan disertai dengan pembentukan vesikel yang
nyeri yang merusak integritas kulit. Moloskum kontagiosum merupakan
infeksi virus yang ditandai oleh pembentukan plak yang disertai deformitas.
Dermatitis seboreika akan disertai ruam yang difus, bersisik dengan
indurasi yang mengenai kulit kepala serta wajah. Penderita AIDS juga
dapat memperlihatkan folokulasi menyeluruh yang disertai dengan kulit
yang kering dan mengelupas atau dengan dermatitis atropik seperti ekzema
atau psoriasis. Hingga 60% enderita yang diobati dengan
trimetroprimsulfametoksazol (TMP/SMZ) untuk mengatasi pneumonia
pneumocytis carinii akan mengalami ruam yang berkaitan dengan obat dan

Poltekkes Kemenkes Padang


berua preuritus yang disertai pembentukan papula serta makula bewarna
merah muda. Terlepas dari penyebab ruam ini pasien akan mengalami
ganggua rasa nyaman dan menghadapi peningkatan resiko untuk menderita
infeksi tambahan, akibat rusaknya keutuhan kulit.

5. Penatalaksanaan
Menurut Burnnner dan Suddarth (2013) Upaya penanganan medis meliputi
beberapa cara pendekatan yang mencangkup penanganan infeksi yang
berhubungan dengan HIV serta malignansi, penghentian replikasi virus HIV
lewar preparat antivirus, dan penguatan serta pemulihan sistem imun melalui
pengguanaan preparat immunomodulator. Perawatan suportif merupakan
tindakan yang penting karena efek infeksi HIV dan penyakit AIDS yang
sangat menurunkan keadaan umum pasien; efek tersebut mencangkup
malnutrisi, kerusakan kulit, kelemahan dan imobilisasi dan perubahan status
mental. Penatalaksanaan HIV AIDS sebegai berikut :
a. Obat-obat untuk infeksi yang berhubungan dengan HIV infeksi
Infeksi umum trimetroprime-sulfametokazol, yang disebut pula TMP-
SMZ (Bactrim,septra), merupakan preparat antibakteri untuk mengatasi
berbagai mikroorganisme yang menyebabkan infeksi. Pemberian secara IV
kepada pasien-pasien dengan fungsi gastrointerstinal yang normal tidak
memberikan keuntungan apapun. Penderita AIDS yang diobati dengan
TMP-SMZ dapat mengalami efekyang merugikan dengan insiden tinggi
yang tidak lazim terjadi, seperti demam, ruam, leukopenia,
trombositopenia dengan ganggua fungsi renal.
Pentamidin, suatu obat anti protozoa, digunakan sebagai preparat alternatif
untuk melawan PCP. Jika terjadi efek yang merugikan atau jika pasien
tidak memperlihatkan perbaikan klinis ketika diobati dengan TMP-SMZ,
petugas kesehatan dapat merekomendasikan pentamidin.

Poltekkes Kemenkes Padang


Kompleks Mycobacterium avium, terapi kompleks Mycobacterium avium
complex (MAC) masih belum ditentukan dengan jelas dan meliputi
penggunaan lebih dari satu macam obat selam periode waktu yang lama.

Meningitis, Terpi primer yang muthakhir untuk meningitis kriptokokus


adalah amfoterisin B IV dengan atau tanpa flusitosin atau flukonazol
(Diflucan). Keadaan pasien harus dipantau untuk endeteksi efek yang
potensial merugikan dan serius dari amfoterisin B yang mencangkup
reaksi anafilaksik, gangguan renal serta hepar, gangguan keseimbangan
elektrolit, anemia, panas dan menggigil.

Retinitis Sitomegalovirus, Retinitis yang disebabkan oleh sitomegalovirus


(CMV;cytomegalovirus) merupan penyebab utama kebutaan pada
penderita penyakit AIDS.

Foskarnet (Foscavir), yaitu peparat lain yang digunakan mengobati


retinitis CMV, disuntikkan intravena setiap 8 jam sekali selama 2 hingga 3
minggu. Reaksi merugikan yang lazim terjadi pada pemberian foskarnet
adalah nefrotoksisitas yang mencangkup gagal ginjal akut dan gangguan
keseimbangan elektrolit yang mencangkup hipokalasemia, hiperfosfatemia
serta hipomagnesemia. Semua keadaan ini dapat membawa kematian. Efek
merugikan lainnya yang lazim dijumpai adaah serangan kejang-kejang,
gangguan gastrointerstinal, anemia, flebitis, pada tempat infus dan nyeri
punggung bawah.
Keadaan lain, Asiklovir dan foskarnat kini digunakan untuk mengobati
infeksi ensefalitis yang disebabkan oleh harpes simpleks atau harpes
zoster. Pirimetamin (Daraprim) dan Sulfadiazin atau klindamisin (Cleosin
HCL) digunakan untuk pengobatan maupun terapi supresif seumur hidup
bagiinfeksi Toxoplasmosis gondi. Infeksi kronis yang membandel oleh
kondendidasi (trush) atau lesi esofagus diobati dengan Ketokonazol atau
flukonazol.

Poltekkes Kemenkes Padang


b. Penatalaksanaan Diare Kronik
Terapi dengan oktreotid asetat (sandostain), yaitu suatu analog sintetik
somatostatin, ternyata efektif untuk mengatasi diare yang berat dan kronik.
Konsentrasi reseptor somatosin yang tinggi ditemukan dalam traktus
gastrointerstinal maupun jaringan lainnya. Somatostain akan menghambat
banyak fungsi fisologis yang mencangkup motalisis gastrointerstinal dan
sekresi-interstinal air serta elektrolit.

c. Penatalaksanaan Sindrom Pelisutan


Penatalaksanaan sindrom pelisutan mencangkup penanganan penyebab yang
mendasari infeksi oportunitis sistematik maupun gastrointerstinal. Malnutrsi
sendiri akan memperbesar resiko infeksi dan dapat pula meningkatkan
insiden infeksi oportunistis. Terapi nutrisi bisa dilakukan mulai dari diet oral
dan pemberian makan lewat sonde (terapi nutriasi enternal) hingga
dukungan nutrisi parenteral jika diperlukan.

d. Penanganan keganasan
Penatalaksanaan sarkoma Kaposi biasanya sulit karena sangat beragamnya
gejala dan sistem organ yang terkena.Tujuan terapinya adalah untuk
mengurangi gejala dengan memperkecil ukuranlesi pada kulit, mengurangi
gangguan rasa nyaman yang berkaitan dengan edema serta ulserasi, dan
mengendalikan gejala yang berhubungan dengan lesi mukosa serta organ
viseral. Hinngga saat ini, kemoterapi yang paling efektif tampaknya berupa
ABV (Adriamisin, Bleomisin, dan Vinkristin).

e. Terapi Antiretrovirus
Saat ini terdapat empat preparat antiretrovirus yang sudah disetujui oleh
FDA untuk pengobatan HIV, keempat preparat tersebut adalah; Zidovudin,
Dideoksinosin , dideoksisitidin dan Stavudin. Semua obat ini menghambat
kerja enzim reserve transcriptase virus dan mencegah virus reproduksi virus
HIV dengan cara meniru salah satu substansi molekuler yang digunakan

Poltekkes Kemenkes Padang


virus tersebut untuk membangun DNA bagi partikel-partikel virus baru.
Dengan mengubah komponen struktural rantai DNA, produksi virus yang
baru akan dihambat.

f. Inhibitor Protase
Inhibitor protase merupakan obat yang menghambat kerja enzim protase,
yaitu enzim yang dibutuhkan untuk replikasi virus HIV dan produksi virion
yang menular. Inhibisi protase HIV-1 akan menghasilkan partikel virus
noninfeksius dengan penurunan aktivitas enzim reserve transcriptase.

g. Perawatan pendukung
Paien yang menjadi lemah dan memiliki keadaan umum yang menurun
sebagai akibat dari sakit kronik yang berkaitan dengan HIV memerlukan
banyak macam perawatan suportif. Dukungan nutrisi mungkin merupakan
tindakan sederhana seperti membantu pasien dalam mendapatkan atau
mempersiapkan makanannya. Untuk pasien dengan gangguan nutrisi yang
lanjut karena penurunan asupan makanan, sindrome perlisutan atau
malabsobsi saluran cerna yang berkaitan dengan diare, mungkin diperlukan
dalam pemberian makan lewat pembuluh darah seperti nutrisi parenteral
total. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit yang terjadiakibat mual,
Vomitus dan diare hebat kerapkali memerlukan terapi pengganti yang
berupa infus cairan serta elektrolit. Lesi pada kulit yang berkaitan dengan
sarkoma kaposi, ekskoriasi kulit perianal dan imobilisasi ditangani dengan
perawatan kulit yang seksama dan rajin; perawatan ini mencangkup
tindakan membalikkan tubuh pasien secara teratur, membersihkan dan
mengoleskan salep obat serta menutup lesi dengan kasa steril.

Gejala paru seperti dispnea dan napas pendek mungkin berhubungan dengan
infeksi, sarkoma kaporsi serta keadaan mudah letih. Pasien-pasien ini
mungkin memerlukan terapi oksigen, pelatihan relaksasi dan teknik
menghemat tenaga. Pasien dengan ganggguan fungsi pernafasan yang berat

Poltekkes Kemenkes Padang


pernafasan yang berat dapat membutuhkan tindakan ventilasi mekanis. Rasa
nyeri yang menyertai lesi kulit, kram perut, neuropati perifer atau sarkoma
kaposi dapat diatasi dengan preparat analgetik yang diberikan secara teratur
selama 24 jam. Teknik relaksasi dan guded imagery (terapi psikologi
dengan cara imajinasi yang terarah) dapat membantu mengurangi rasa nyeri
dan kecemasan pada sebagian pasien.

h. Terapi nutrisi
Menurut Nursalam (2011) nutrisi yang sehat dan seimbang diperlukan
pasien HIV AIDS untuk mempertahankan kekuatan, meningkatkan fungsi
sistem imun, meningkatkan kemampuan tubuh, utuk memerangi infeksi, dan
menjaga orang yang hidup dengan infeksi HIV AIDS tetap aktif dan
produktif. Defisiensi vitamin dan mineral bisa dijumpai pada orang dengan
HIV, dan defisiensi sudah terjadi sejak stadium dini walaupun pada ODHA
mengonsumsi makanan dengan gizi berimbang. Defisiensi terjadi karena
HIV menyebabkan hilangnya nafsu makan dan gangguan absorbsi szat gizi.

Untuk mengatasi masalah nutrisi pada pasien HIV AIDS, mereka harus
diberikan makanan tinggi kalori, tinggi protein, kaya vitamin dan mineral
serta cukup air.

i. Manfaat konseling dan VCT pada pasien HIV


Menurut Nursalam (2011) konseling HIV/AIDS merupakan dialog antara
seseorang (klien) dengan pelayanan kesehatan (konselor) yang bersifat
rahasia, sehingga memungkinkan orang tersebut mampu menyesuaikan atau
mengadaptasi diri dengan stres dan sanggup membuat keputusan bertindak
berkaitan dengan HIV/AIDS.

Konseling HIV berbeda dengan konseling lainnya, walaupun keterampilan


dasar yang dibutuhkan adalah sama. Konseling HIV menjadi hal yang unik
karena :

Poltekkes Kemenkes Padang


1) Membutuhkan pengetahuan yang luas tentang infeksi menular seksual
(IMS) dan HIV/AIDS
2) Membutuhkan mengenai praktik seks yang bersifat pribadi
3) Membutuhkan pembahasan tentang keamatian atau proses kematian
4) Membutuhkan kepekaan konselor dalam menghadapi perbedaan
pendapat dan nilai yang mungkin sangat bertentangan dengan nilai yang
dianut oleh konselor itu sendiri.
5) Membutuhkan keterampilan pada saat memberikan hasil HIV positif
6) Membutuhkan keterampilan dalam menghadapi kebutuhan pasangan
maupun anggota keluarga klien

Menurut Nursalam (2011) tujuan konseling HIV yaitu :


1) Mencegah penularan HIVdengan cara mengubah prilaku. Untuk
mengubah prilaku ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) tidak hanya
membutuhkan informasi belaka, tetapi jauh lebih penting adalah
pemberian dukungan yang dapat menumbuhkan motivasi mereka,
misalnya dalam prilaku seks aman, tidak berganti-ganti jarum suntik,
dan lain-lain.
2) Meningkatkan kualitas hidup ODHA dalam segala aspek baik medis,
psikologis, sosial, dan ekonomi. Dalam hal ini konseling bertujuan
untuk memberikan dukungan kepada ODHA agar mampu hidup secara
positif.

Voluntary Conseling Testing atau VCT adalah suatu pembinaan dua arah
atau dialog yang berlangsung tak terputus antara konselor dan kliennya
dengantujuan untuk mencegah penurlaran HIV, memberikan dukungan
moral, informasi, serta dukungan lainnya kepada ODHA, keluarga, dan
lingkungannya (Nursalam, 2011).

Tujuan VCT yaitu sebagai upaya pencegahan HIV/AIDS, upaya untuk


mengurangi kegelisahan, meningkatkan presepsi/ pengetahuan mereka

Poltekkes Kemenkes Padang


tentang faktor-faktor resiko penyebab seseorang terinfeksi HIV, dan upaya
pengembangan perubahan prilaku, sehingga secara dini mengarahkan
menuju ke program pelayanan dan dukungan termasuk akses terapi
antiretroviral, serta membantu mengurangi stigma dalam masyarakat
(Nursalam, 2011)

B. Konsep Asuhan Keperawatan Pada Kasus HIV AIDS


Asuhan keperawatan bagi penderita penyakit AIDS merupakan tantangan yang
besar bagi perawat karena setiap sistem organ berpotensi untuk menjadi sasaran
infeksi ataupun kanker. Disamping itu, penyakit ini akan dipersulit oleh
komplikasi masalah emosional, sosial dan etika. Rencana keperawatan bagi
penderita AIDS harus disusun secara individual untuk memenuhi kebutuhan
masing-masing pasien (Burnner & Suddarth, 2013).

Pengkajian pada pasien HIV AIDS meliputi :


1. Pengkajian
a. Identitas Klien
Meliputi : nama, tempat/ tanggal lahir, jenis kelamin, status kawin, agama,
pendidikan, pekerjaan, alamat, diagnosa medis, No. MR

b. Keluhan utama
Dapat ditemukan pada pasien AIDS dengan manifestasi respiratori ditemui
keluhan utama sesak nafas. Keluhan utama lainnya ditemui pada pasien
HIV AIDS yaitu, demam yang berkepanjangan (lebih dari 3 bulan), diare
kronis lebih dari satu bulan berulang maupun terus menerus, penurunan
berat badan lebih dari 10%, batuk kronis lebih dari 1 bulan, infeksi pada
mulut dan tenggorokan disebabkan oleh jamur Candida Albicans,
pembengkakan kelenjer getah bening diseluruh tubuh, munculnya Harpes
zoster berulang dan bercak-bercak gatal diseluruh tubuh.

Poltekkes Kemenkes Padang


c. Riwayat kesehatan sekarang
Dapat ditemukan keluhan yang biasanya disampaikan pasien HIV AIDS
adalah : pasien akan mengeluhkan napas sesak (dispnea) bagi pasien yang
memiliki manifestasi respiratori, batuk-batuk, nyeri dada dan demam,
pasien akan mengeluhkan mual, dan diare serta penurunan berat badan
drastis.

d. Riwayat kesehatan dahulu


Biasanya pasien pernah dirawat karena penyakit yang sama. Adanya
riwayat penggunaan narkotika suntik, hubungan seks bebas atau
berhubungan seks dengan penderita HIV/AIDS, terkena cairan tubuh
penderita HIV/AIDS.

e. Riwayat kesehatan keluarga


Biasanya pada pasien HIV AIDS adanya anggota keluarga yang menderita
penyakit HIV/AIDS. Kemungkinan dengan adanya orang tua yang
terinfeksi HIV. Pengkajian lebih lanjut juga dilakukan pada riwayat
pekerjaan keluarga, adanya keluarga bekerja di tempat hiburan malam,
bekerja sebagai PSK (Pekerja Seks Komersial).

2. Pola aktivitas sehari-hari (ADL)


a. Pola presepsi dan tata laksanaan hidup sehat
Biasanya pada pasien HIV/AIDS akan menglami perubahan atau
gangguan pada personal hygiene, misalnya kebiasaan mandi, ganti
pakaian, BAB dan BAK dikarenakan kondisi tubuh yang lemah, pasien
kesulitan melakukan kegiatan tersebut dan pasien biasanya cenderung
dibantu oleh keluarga atau perawat.

Poltekkes Kemenkes Padang


c. Pola Nutrisi
Biasanya pasien dengan HIV/AIDS mengalami penurunan nafsu makan,
mual, muntah, nyeri menelan, dan juga pasien akan mengalami penurunan
BB yang cukup drastis dalam waktu singkat (terkadang lebih dari 10%
BB).

d. Pola Eliminasi
Biasanya pasien mengalami diare, fases encer, disertai mucus berdarah.

e. Pola Istirahat dan tidur


Biasanya pasien dengan HIV/AIDS pola istirahat dan tidur mengalami
gangguan karena adanya gejala seperi demam dan keringat pada malam
hari yang berulang. Selain itu juga didukung oleh perasaan cemas dan
depresi pasien terhadap penyakitnya.

f. Pola aktivitas dan latihan


Biasanya pada pasien HIV/AIDS aktivitas dan latihan mengalami
perubahan. Ada beberapa orang tidak dapat melakukan aktifitasnya
seperti bekerja. Hal ini disebabkan mereka yang menarik diri dari
lingkungan masyarakat maupun lingkungan kerja, karena depresi terkait
penyakitnya ataupun karena kondisi tubuh yang lemah.

g. Pola presepsi dan konsep diri


Pada pasien HIV/AIDS biasanya mengalami perasaan marah, cemas,
depresi, dan stres.

h. Pola sensori kognitif


Pada pasien HIV/AIDS biasanya mengalami penurunan pengecapan, dan
gangguan penglihatan. Pasien juga biasanya mengalami penurunan daya
ingat, kesulitan berkonsentrasi, kesulitan dalam respon verbal. Gangguan
kognitif lain yang terganggu yaitu bisa mengalami halusinasi.

Poltekkes Kemenkes Padang


i. Pola hubungan peran
Biasanya pada pasien HIV/AIDS akan terjadi perubahan peran yang dapat
mengganggu hubungan interpersonal yaitu pasien merasa malu atau harga
diri rendah.

j. Pola penanggulangan stres


Pada pasien HIV AIDS biasanya pasien akan mengalami cemas, gelisah
dan depresi karena penyakit yang dideritanya. Lamanya waktu perawatan,
perjalanan penyakit, yang kronik, perasaan tidak berdaya karena
ketergantungan menyebabkan reaksi psikologis yang negatif berupa
marah, kecemasan, mudah tersinggung dan lain-lain, dapat menyebabkan
penderita tidak mampu menggunakan mekanisme koping yang kontruksif
dan adaptif.

k. Pola reproduksi seksual


Pada pasaaien HIV AIDS pola reproduksi seksualitas nya terganggu
karena penyebab utama penularan penyakit adalah melalui hubungan
seksual.

l. Pola tata nilai dan kepercayaan


Pada pasien HIV AIDS tata nilai keyakinan pasien awal nya akan
berubah, karena mereka menggap hal menimpa mereka sebagai balasan
akan perbuatan mereka. Adanya perubahan status kesehatan dan
penurunan fungsi tubuh mempengaruhi nilai dan kepercayaan pasien
dalam kehidupan pasien, dan agama merupakan hal penting dalam hidup
pasien.

Poltekkes Kemenkes Padang


3. Pemeriksaan Fisik
a. Gambaran Umum : ditemukan pasien tampak lemah.
b. Kesadaran pasien : Compos mentis cooperatif, sampai terjadi penurunan
tingkat kesadaran, apatis, samnolen, stupor bahkan coma.
c. Vital sign :
TD : Biasanya ditemukan dalam batas normal
Nadi : Terkadang ditemukan frekuensi nadi
meningkat Pernafasan :Biasanya ditemukan frekuensi pernafasan
meningkat
Suhu :Biasanya ditemukan Suhu tubuh menigkat
karena demam.
d. BB : Biasanya mengalami penurunan (bahkan hingga 10% BB)
TB : Biasanya tidak mengalami peningkatan (tinggi badan
tetap)
e. Kepala : Biasanya ditemukan kulit kepala kering karena dermatitis
seboreika
f. Mata : Biasanya ditemukan konjungtiva anemis, sclera tidak ikhterik,
pupil isokor, reflek pupil terganggu,
g. Hidung : Biasanya ditemukan adanya pernafasan cuping hidung.
h. Gigi dan Mulut: Biasanya ditemukan ulserasi dan adanya bercak-bercak
putih seperti krim yang menunjukkan kandidiasi.
i. Leher : kaku kuduk ( penyebab kelainan neurologic karena infeksi jamur
Cryptococcus neoformans), biasanya ada pembesaran kelenjer getah
bening,
j. Jantung : Biasanya tidak ditemukan kelainan
k. Paru-paru : Biasanya terdapat yeri dada, terdapat retraksi dinding dada
pada pasien AIDS yang disertai dengan TB, Napas pendek (cusmaul),
sesak nafas (dipsnea).
l. Abdomen : Biasanya terdengar bising usus yang Hiperaktif
m. Kulit : Biasanya ditemukan turgor kulit jelek, terdapatnya tanda-tanda
lesi (lesi sarkoma kaposi).

Poltekkes Kemenkes Padang


n. Ekstremitas : Biasanya terjadi kelemahan otot, tonus otot menurun, akral
dingin.

2. Diagnosis Keperawatan Yang Mungkin Muncul


a. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan penyakit paru
obstruksi kronis
b. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan kerusakan neorologis,
ansietas, nyeri, keletihan
c. Diare berhubungan dengan infeksi
d. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan aktif
e. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan
volume cairan aktif, kehilangan berlebihan melalui diare, berat badan
ekstrem, faktor yang mempengaruhi kebutuhan status cairan:
hipermetabolik,
f. Ketidak seimbangan cairan elektrolit berhubungan dengan diare
g. Resiko ketidakseimbangan elektrolit berhubungan dengan diare, muntah
h. Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan faktor biologis, ketidak mampuan menelan.
i. Nyeri kronis berhubungan dengan agen cedera;bilogis
j. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera; biologis
k. Hipertermi berhubungan dengan penyakit, peningkatan laju metabolisme
l. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan status cairan,
perubahan pigmentasi, perubahan turgor, kondisi ketidak seimbangan
nutrisi, penurunan imunologis
m. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan
pigmentasi, perubahan turgor kulit, kondisi ketidak seimbangan nutrisi,
faktor imunologi
n. Resiko infeksi berhubungan dengan, imunosupresi, malnutrisi, kerusakan
integritas kulit.
o. Keletihan berhubungan dengan status penyakit, peningkatan kelelahan
fisik, malnutrisi, ansitas, depresi, stres

Poltekkes Kemenkes Padang


p. Kelelahan berhubungan dengan proses penyakit
q. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan gejala terkaiit
penyakit
r. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan biofisik
s. Harga diri rendah situasional berhubungan dengan gangguan citra
tubuh
t. Isolasi sosial berhubungan dengan
stigma, gangguan harga diri. (Nanda
Internasional, 2014)

Anda mungkin juga menyukai