Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN HIV/AIDS ( HUMAN IMMUNODEFICIENCY

VIRUS / ACQUIRED IMMUNE DEFICIENCY SYNDROME )


STASE KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

Oleh :
LESKA DEVICA
NIM : 2022207209049
NERS LAMPUNG TENGAH

PROGRAM STUDI PROFESI NERS FAKULTAS ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PRINGSEWU LAMPUNG
2022/2023
KONSEP DASAR HIV/AIDS

A. Pengertian HIV/AIDS
HIV atau human immunodeficiency virus disebut sebagai retrovirus yang
membawa materi genetik dalam asam ribonukleat (RNA) dan bukan asam
deoksibonukleat (DNA). HIV disebut retrovirus karena mempunyai enzim reverce
transcriptase yang memungkinkan virus mengubah informasi genetiknya yang berada
dalam RNA ke dalam bentuk DNA.(Widyanto & Triwibowo, 2013).
AIDS atau acquired immunodeficiency syndrome didefinisikan kumpulan
penyakit dengan karakteristik defisiensi kekebalan tubuh yang berat dan merupakan
stadium akhir infeksi HIV (Widyanto & Triwibowo, 2013). Kerusakan progresif pada
system kekebalan tubuh menyebabkan ODHA amat rentan dan mudah terjangkit
bermacam-macam penyakit (Rendy & Margareth, 2012).

B. ETIOLOGI
AIDS disebabkan oleh HIV yaitu suatu retrovirus pada manusia yang
termasuk dalam keluarga lentivirus. secara genetik HIV dibedakan menjadi dua, tetapi
berhubungan secara antigen, yaitu HIV-1 dan HIV-2. Keduanya merupakan virus
yang menginfeksi sel T-CD4 yang memiliki reseptor dengan afinitas tinggi untuk
HIV. (Widyanto & Triwibowo, 2013). AIDS disebabkan oleh HIV yang dikenal
dengan retrovirus yang di tularkan oleh darah dan punya afinitas yang kuat terhadap
limfosit T. (Rendy & Margareth, 2012).

Menurut Smeltzer (2013) manifestasi klinis penyakit AIDS menyebar luas dan pada
dasarnya dapat mengenai setiap sistem organ. Penyakit yang berkaitan dengan
infeksai HIV dan AIDS terjadi akibat infeksi, malignasi dan atau efek langsung HIV
pada jaringan tubuh, pembahasan berikut ini dibatasi pada manifestasi klinis dan
akibat infeksi HIV berat yang paling sering ditemukan.
Menurut Nursalam dan Kurniawati (2017) virus HIV menular melalui enam
cara penularan, yaitu :
a. Hubungan seksual dengan pengidap HIV/AIDS
Hubungan sexsual secara vaginal, anal dan oral dengan penderita HIV tanpa
perlindungan bisa menularkan HIV. Selama hubungan seksual berlangsung, air mani,
cairan vagina, dan darah yang dapat mengenai selaput lendir, penis, dubur, atau muluh
sehingga HIV yang tedapat dalam cairan tersebut masuk ke aliran darah
(PELEKSI,2015 dalam Nursalam,2017 ). Selama berhubungan juga bisa terjadi lesi
mikro pada dinding vagina, dubur dan mulut yang bisa menjadi jalan HIV untuk
masuk ke aliran darah pasangan seksual.
b. Ibu pada bayinya
Penularan HIV dari ibu bisa terjadi pada saat kehamilan (in utero).
Berdasarkan laporan CDC Amerika, prevalensi penularan HIV dari ibu ke bayi adalah
0.01% sampai 7%. Bila ibu baru terinfeksi HIV dan belum ada gejala AIDS,
kemungkinan bayi terinfeksi sebanyak 20% sampai 35%, sedangkan gejala AIDS
sudah jelas pada ibu kemungkinan mencapai 50% (PELKESI,2015 dalam Nursalam,
2017). Penularan juga terjadi selama proses persalinan melalui tranfusi fetomaternal
atau kontak antara kulit atau membran mukosa bayi dengan darah atau sekresi
maternal saat melahirkan.(Lili V, 2014 dalam Nursalam, 2017). Semakin lam proses
melahirkan, semakin besar resiko penularan. Oleh karena itu, lama persalinan bisa
dipersingkat dengan operasi sectio caesaria (HIS dan STB,2020 dalam Nursalam,
2017). Transmisi lain terjadi selam periode post partum melaui ASI. Resiko bayi
tertular melalui ASI dai Ibu yang positif sekitar 10%
c. Darah dan produk darah yang tercemar HIV/AIDS
Sangat cepat menular HIV karena virus langsung masuk ke pembuluh darah
dan menyebar ke seluruh tubuh.
d. Pemakaian alat kesehatan yang tidak steril
Alat pemeriksaan kandungan seperti spekulum, tenakulum, dan alat-alat lain
yang menyentuh darah, cairan vagina atau air mani yang terinveksi HIV, dan
langsung digunakan untuk orang lain yang tidak terinfeksi HIV, dan langsung
digunakan untuk orang lain yang tidak terinfeksi HIV bisa menular HIV
e. Alat-alat untuk menoreh kulit
Alat tajam dan runcing seperti jarum, pisau, silet, menyunat seseorang,
membuat tato, memotong rambut, dan sebagainya bisa menularkan HIV sebab alat
tersebut mungkin dipakai tanpa disterilkan terlebih dahulu.
f. Menggunakan jarum suntik secara bergantian
Jarum suntik yang digunakan di fasilitas kesehatan, maupun yang digunakan
oleh para pengguna narkoba (Injecting Drug User-IDU) sangat berpotensi
menularkan HIV. Selain jarun suntik, pada para pemakai IDU secara bersama-sama
juga menggunakan tempat penyampur, pengaduk, dan gelas pengoplos obat, sehingga
berpotensi tinggi untuk menularkan HIV. HIV tidak menular melalui peralatan
makan, pakaian, handuk, sapu tangan, hidup serumah dengan penderita HIV/AIDS,
gigitan nyamuk, dan hubungan sosial yang lain.

C. PATOFISIOLOGIS

Menurut Widyanto & Triwibowo, (2013) HIV dapat membelah diri dengan
cepat dan kadar virus dalam darah berkembang cepat, dalam satu hari HIV dapat
membelah diri menghasilkan virus baru jumlahnya sekitar 10 miliar. Proses terjadinya
defisit nutrisi pada HIV/AIDS, pasien akan mengalami 4 fase yaitu :
a. Periode jendela
Pada periode ini pemeriksaan tes antibodi HIV masih negatif walaupun virus
sudah ada dalam darah pasien. Hal itu karena antibodi yang terbentuk belum cukup
terdeteksi melalui pemeriksaan laboratium. Biasanya Antibodi terhadap HIV muncul
dalam 3-6 minggu hingga 12 minggu setelah infeksi primer. Pada periode ini pasien
mampu dan berisiko menularkan HIV kepada orang lain.
b. Fase infeksi akut
Proses ini di mulai setelah HIV menginfeksi sel target kemudian terjadi proses
replika yang menghasilkan virus baru yang jumlahnya berjuta-juta virion. Virimea
dari banyak virion ini memicu munculnya sindrom infeksi akut dengan gejala mirip
flu. Sekitar 50-70% orang hiv yang terinfeksi mengalami sindrom infeksi akut selama
3-6 minggu seperti influenza yaitu demam, sakit otot, berkeringat, ruam, sakit
tenggorokan, sakit kepala, keletihan, pembengkakan kelenjar limfe, mual, muntah,
anoreksia, diare, dan penurunan BB. Antigen HIV terdeteksi kira-kira 2 minggu
setelah infeksi dan terus ada selama 3-5 bulan. Pada fase akut terjadi penurunan
limfosit T yang dramatis kemudian terjadi kenaikan limfosit T karena respon imun.
Pada fase ini jumlah limfosit T masih di atas 500 sel/mm3 kemudian akan menurun
setelah 6 minggu terinfeksi HIV.

c. Fase infeksi laten


Pada fase infeksi laten terjadi pembentukan respon imun spesifik HIV dan
terperangkapnya virus dalam sel dendritic folikuler (SDF) di pusat germinativum
kelenjar limfe. Hal tersebut menyebabkan virion dapat dikendalikan, gejala hilang dan
mulai memasuki fase laten. Pada fase ini jarang di temukan virion sehingga
jumlahnya menurun karena sebagian besar virus terakumulasi di kelenjar limfe dan
terjadi replika. Jumlah limfosit T-CD4 menurun sekitar 500-200 sel/mm3. Meskipun
telah terjadi serokonversi positif individu pada umumnya belum menunjukan gejala
klinis (asimtomatis). Fase ini terjadi sekitar 8-10 tahun setelah terinfeksi HIV. Pada
tahun ke delapan setelah terinfeksi HIV gejala klinis akan muncul seperti demam ,
kehilangan BB < 10%, diare, lesi pada mukosa dan infeksi kulit berulang.
d. Fase infeksi kronis
Selama fase ini, replika virus terus terjadi di dalam kelenjar limfe yang di ikuti
kematian SDF karena banyaknya virus. Fungsi kelenjar limfe yaitu sebagai perangkap
virus akan menurun atau bahkan hilang dan virus diluncurkan dalam darah. Pada fase
ini terjadi peningkatan jumlah virion berlebihan, limfosit semakin tertekan karena
infeksi HIV semakin banyak. Pada saat tersebut terjadi penurunan, jumlah limfosit T-
CD4 di bawah 200 sel/mm3. Kondisi ini menyebabkan sistem imun pasien menurun
dan semakin rentan terhadap berbagai infeksi sekunder. Perjalanan penyakit semakin
progresif yang mendorong ke arah AIDS.

D. MENIFESTASI KLINIS

Berikut ini adalah tanda-tanda gejala mayor dan minor untuk mendiagnosis
HIV berdasarkan WHO. (Nursalam & Kurniawati, 2017)
a. Gejala Mayor yaitu penurunan berat badan, diare lebih dari 1 bulan
(kronis/berulang), demam, dan tuberkulosis.

b. Gejala Minor yaitu kandidiasis oral, batuk, pnemonia, dan infeksi kulit.

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Bukti laboratorium untuk infeksi HIV mencakup reaksi positif berulang
terhadap uji-uji penapisan antibodi yang dikonfirmasi dengan uji suplementer (misal,
ELISA dikonfirmasi dengan ujI Western blot) atau hasil positif atau laporan
terdeteksinya salah satu uji nonantibodi atau virologi HIV: uji antigen p24 HIV
dengan pemeriksaan netralisir, biakan virus HIV, deteksi asam nuleat (RNA atau
DNA) HIV (misalnya, reaksi berantai polimerase atau RNA HIV-1 plasma, yang
berinteraksi akibat terpajan masa perinatal ( Nursalam & Kurniawati,2017 ).

F. KOMPLIKASI
Menurut Nurasalam, 2017 komplikasi yang disebabkan karena infeksi HIV
memperlemah system kekebalan tubuh, yang dapat menyebabkan penderita banyak
terserang infeksi dan juga kanker tertentu. Infeksi umum terjadi pada HIV/AIDS
antara lain:

1. Tuberculosis (TB)
Tuberkulosi pada pasien HIV sering ditemukan. Jika dilihat dari manifestasi
klinis atau gejala maka sama antara pasien normal dan penderita HIV namun perlu
penekanan bahwah pada pasien HIV seringkali tidak menemukan gejala batuk. Juga
tidak ditemukan adanya kuman BTA pada pasien – pasien yang HIV positif karena
adanya penekanan imun sehingga dengan CD4 yang rendah membuat tubuh tidak
mampu untuk membentuk adanya granuloma/ suatu proses infeksi didalam paru yang
kemudian tidak bermanifes dan tidak menyebabkan adanya dahak. Namun penderita
HIV yang yang memiliki kuman TB sangat berisiko sepuluh kali untuk terkena
Tuberculosis terutama pada pendrita HIV/AIDS yang memiliki sel CD4 dibawah 200.
2. Masalah di Otak
Pasien HIV seringkali mengalami masalah diotak. Masalah diotak yang sering
dijumpai pada pasien HIV dibagi menjadi 2 :
a. Infeksi Oportunistik di Otak
Disebabkan oleh berbagai macam kuman misalnya Toksoplasma yaitu suatu parasit
atau oleh jamur meningitis criptococus, infeksi Tuberculosis (TB).
b. Dimensia HIV/lupa atau gangguan memori pada pasien HIV
Disebabkan oleh proses infeksi HIV itu sendiri didalam otak yang menimbulkan
berbagai reaksi peradangan diotak sehingga manifestasinya adalah pasien mengeluh
sering lupa dan mengalami kesulitan untuk melakukan ativitas harian akibat memori
jangka pendeknya terganggu. Deminsia HIV merupakan suatu keadaan yang harus
didiagnosis karena penyakit ini jika terjadi pada seorang pasien HIV dapat
mengganggu pengobatan, pasien akan lupa untuk minum obat.
3. Meningitis
Pasien dengan gejala meningitis paling sering dengan 4 tanda dan keluhan
nyeri kepala, panas badan, kemudian penurunan kesadaran dan juga adanya kaku
kuduk.
4. Hepatitis C
Pasien HIV dengan hepatitis C biasanya terjadi pada pasien HIV akibat
Injection Drug User (IDU). Gejala awal yang dirasakan yaitu mudah lelah, tidak
nafsu makan dan bisa tibul mata yang kuning lalu kemudian perut membuncit, kaki
bengkak dan gangguan kesadaran. Pasien HIV dengan hepatitis kemungkinan lebih
besar untuk terjadi penyakit kronik/hepatitis kronik jka tidak diobati maka akan
terjadi serosis hati, setelah itu bisa menjadi kanker hati yang akan menimbulkan
kematian.
5. Koinfeksi sifilis dan HIV
Biasanya terjadi pada pasien Male Sex Male (MSM) yang terinfeksi HIV,
sifilis adalah suatu infeksi menular seksual yang disebabkan oleh karena bakteri
Treponemapalidum.Bakteri ini dapat meyerang sistemik, awalnya melakukan infeksi
lokal pada tempat kontak seksual bisa di oral, genetal ataupun di anus dan kemudian
berkembang menimbulkan gejala ulkus kelamin. Koinfeksi HIV menyebabkan
manifestasi klinis sifilis menjadi lebih berat yang disebut Sifilis Maligna, meyebar
luas ke seluruh badan sampai ke mukosa.

G. PENATALAKSANAAN
Menurut Brunner dan Suddarth’s (2013) upaya penanganan medis meliputi
beberapa cara pendekatan yang mencakup penanganan infeksi yang berhubungan
dengan HIV serta malignasi, penghentian replikasi virus HIV lewat preparat antivirus,
dan penguatan serta pemulihan sistem imun melaluui penggunaan preparat
immunomodulator. Perawatan suportif merupakan tindakan yang penting karena efek
infeksi HIV dan penyakit AIDS yang sangat menurunkan keadaan umum pasien; efek
tersebut mencakup malnutrisi, kerusakan kulit, kelemahan dan imobilisasi dan
perubahan status mental. Penatalaksanaan HIV AIDS sebagai berikut :
a. Obat-obat untuk infeksi yang berhubungan dengan infeksi HIV.
Infeksi umum trimetroprime-sulfametosoksazol, yang disebut pula TMP-SMZ
(bactrim, septra), merupakan preparat antibakteri untuk mengatasi berbagai
mikroorganisme yang menyebabkan infeksi. Pemberian secara IV kepada psien-
pasien dengan gastrointestinal yang normal tidak memberikan keuntungan apapun.
Penderita AIDS yang diobati dengan TMPS-MZ dapat mengalami efek yang
merugikan dengan insidenm tinggi yang tidak lazim terjadi, sepeerti demam, ruam,
leukopenia, trombositopenia dengan gangguan fungsi renal.
Pentamidin, suatu obat anti protozoa , digunakan sebagai preparat alternatif
untuk melawan PCP. Jika terjadi efek yang merugikan atau jika pasien tidak
memperlihatkan perbaikan klinis ketika diobati dengan TMP-SMZ, petugas kesehatan
dapat meromendasikan pentamidin.
Meningitis, terapi untuk meningitis kriptokokus adalah amfoteisin B IV
dengan atau tanpa flusitosin atau flukonazol (diflukcan). Keadaan pasien harus
dipantau untuk mendeteksi efek yanga potensial merugikan dan seirus dari
amfoterisin B yang mencakup reaksi anafiklasik, gangguan renal serta
hepar,gangguan kesiembangan eletrolit, anemia, panas danb menggigil.
Retinitis sitomegalovirus, retinitis yang disebabkan oleh sitomegalovirus
(CMV; cyto megalovirus) merupak penyebab utama kebutaan pada penderita penyakit
AIDS.
Froskarmet (foscavir), yaitu preparat lain yang digunakan mengobati retinitis
CMV, disuntikan secara IV setiap 8 jam sekali selam 2 hingga 3 minggu. Reaksi
merugikan yang lazim pada pemberiam foskarnet adalah nefrotoksisitas yang
mencakup gagal ginjal akut dan gangguan keseimbangan elektrolit yang mencakup
hipokalasemia, hiperfosvatemia, serta hipomagnesemia. Semua keadaan ini dapat
memabawa kematian. Efek merugikan lainnya yang lazim dijumpai adalah serangan
kejang-kejang gangguan gastrointerstinal, anemia, flebitis, pada tempat infus dan
nyeri punggung bawah.
b. Penatalaksanaan diare kronik
Terapi dengan okterotid asetat (sandostain), yaitu suatu analog sisntesis
somatostatin, ternyata efektif untuk mengattasi diare yang berat dan kronik.
Konsentraasi reseptor somaytosin yang tinggi ditemukan dalam traktus
gastrointestinal maupun jaringan lainnya. Somatosytain akan mengahambat banayk
fungsi fisiologis yang mencakup motalisis gastrointerstinal dan sekresi – interstinal air
serta elekltrolit.
c. Penalaksanaan sindrom pelisutan
Penatalaksanaan sindrom pelisutan mencakup penanganan penyebab yang
mendasari infeksi oportunistik sistematis maupun gastrointerstinal. Mallnutirisi
sendriri akan memperbersar resiko infeksi dan dapat pula meningkatkan insiden
infeksi oportunistik. Terapi nutrisi dapat dilakukan mulai dari diet oral dan pemberian
makan lewat sonde (terapi nutriasi enternal) hingga dukungan nutrisi parenteral jika
diperlukan.
d. Penanganan keganasan
Penalaksanaan sarkoma kaposi biasanya sulit karena beragamnya gejala dan
sistem organ yang terkena. Tujuan terapinya adalah untuk mengurangi gejala dengan
memperkecil ukuran lesi pada kulit, mengurangi gangguan rasa nyaman yang
berkaitan dengan edma serta ulserasi, dan mengendalikan gejala yang berhubungan
dengan lesi mukosa serta organ viseral. Hingga saat ini, kemoterapi yang paling
efektif tampaknya berupa ABV (adriamisin, bleomisin, dan vinkristin). e. Terapi
antiretrovirus. Saat ini terdapat empat preparat yang sudah disetujui oleh FDA untuk
pengobatan HIV, keempat preparat tersebut adalah; zidovudin,dideoksinosin,
dideoksisitidin dan stavudin. Semua obat ini menghambat kerja enzim reserve
trancriptase virus dan mencegah virus reproduksi HIV dengan cara meniru salah satu
substansi molekuler yang dugunakan virus tersebut untuk membangun DNA bagi
partikel-partikel virus baru. Dengan mengubah komponen struktural rantaii DNA,
produksi virus yang baru akan dihambat.
f. Inhibitor protase
Inhibitor protase merupakan obat yang menghanbat kerja enzim protase, yaitu
enzim yang digunakan untuk replikasi virus HIV dan produksi virion yang menular.
Inhibisi protase HIV-1 akan menghasilkan partikel virus noninfeksius dengan
penurunan aktivitas enzim reserve transcriptase.
g. Perawatan Pendukung
Pasien yang menjadi lemah dan memiliki keadaan umum yang menurun
sebagai akibat dari sakit kronik yang berkaitan dengan HIV memerlukan banyak
macam perawatan suportif. Dukungan nutrisi mungkin merupakan tindakan sederhana
seperti membantu pasien dalam mendapatkan atau mempersiapkan makanan.
Untuk pasien dengan gangguan nutrisi yang lanjut karena penurunn asupan
makanan, sindrom perlisutan, atau malabsorbsi saluran cerna yang berkaitan dengan
diare, mungkin diperlukan dalam pemberian makan lewat pembuluh darah seperti
nutrisi parenteral total.
Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit yang terjadi akibat mual,
vomitus dan diare kerap kali memrlukan terapi pengganti yang berupa infus cairan
serta elektrolit. Lesi pada kulit yang berkaitan dengan sarkoma caposi, ekskoriasi kulit
periana dan imobilisasi ditangani dengan perawatan kulit yang seksama dan rajin;
Perawatan ini mencakup tindakan mengembalikan tubuh pasien secara teratur,
membersihkan dan mengoleskan salab obat serta menutup lesi dengan kasah steril.
h. Terapi nutrisi
Menurut Nursalam (2017) nutrisi yang sehat dan seimbang diperlukan pasien
HIV AIDS untuk mempertahankan kekuatan,nebingkatkan fungsi sistim imun,
meningkatkan kemampuan tubuh untuk memerangi infeksi dan menjaga orang yang
hidup dengan infeksi HIV AIDS tetap aktif dan produktif. Defisiensi vitamin dan
mineral bisa dijumpai pada orang dengan HIV, dan defisiensi sudah terjadi sejak
stadium dini walaupun pada ODHA mengonsumsi makanan dengan gizi seimbang,
defisiensi terjadi karena HIV menyebabka hilangnya nafsu makan dan gangguan
absorbsi zat gisi.
Untuk mengatasi masalh nutrisi pada pasien HIV AIDS, mereka harus diberi
makanan tinggi kalori, tinggi protein, kaya vitamin dan mineral serta cukup air.
i. Manfaat konseling dan VCT pada pasien HIV
Menurut Nursalam (2017) kionseling HIV/AIDS merupakan dialog antara
seseorang (klien) dengan pelayanan kesehatan (konselor) yang bersifat rahasia,
sehingga memungkinkan orang tersebut mampu menyesuaikan atau mengadaptasi diri
denga stres dan sanggup membuat keputusan bertindak berkaitan dengan HIV/AIDS.
Konseling HIV berbeda dengan konseling lainnya, walaupun keterampilan dasar yang
dibutuhkan adalah sama. Konseling HIV menjadi hal yang unik karena :
1) Membutuhkan pengetahuan yang luas tentang infeksi menular seksual
(IMS) dan HIV/ AIDS
2) Membutuhkan menganai praktik seks yang bersifat pribadi
3) Membutuhkan pembahasan tentang kematian atau proses kematian
4) Membutuhkan kepekaan konselor dalam menghadapiperbedaan pendapat
dan nilai yang mungkin sangat bertentangan dengan nilai yang dianut oleh
konselor itu sendiri
5) Membutuhkan keterampilan pada saat memberikan hasil HIV positif
6) Membutuhkan keterampilan dalam menghadapi kebutuhan pasnagan
maupun anggota keluarga klien
Menurut nursalam (2017) tujuan konseling HIV yaitu :
1) Mencegah penularan HIV dengan cara mengubah perilaku.
Untuk merubah perilaku ODHA (orang dengan HIV/AIDS) tidak
hanya membutuhkan informaasi belaka, tetapi jauh lebih pentung adalah
pemberian dukungan yang dapat menumbuhkan motivasi mereka,
misalnya dala m perilaku seks aman, tidak berganti-ganti jarum suntik, dan
lain-lain.
2) Meningkatkan kualitas hidup ODHA dalam segala aspek baik medis,
psikologis, sosial, dan ekonomi. Dalam hal ini konseling bertujuan
memberikan dukungan kepada ODHA agar mampu hidup secara positif.
Voluntary conseling tetsting atau VCT adalah suatu pembinaan dua
arah atau dialog yang berlangsung tak terputus antara konselor dengan
kliennya bertujuan mencegah penularan HIV, memberikan dukungan
moral, informasi, serta dukungan lainnya kepada ODHA, keluarga, dan
lingkungannya (Nursalam, 2011).
Tujuan VCT yaitu sebagai upaya pencegahan HIV /AIDS, upaya untuk
mengurangi kegelisahan, meningkatkan presepsi/ pengetahuan mereka
tentang faktor-faktor resiko
penyebab seseorang terinfeksi HIV, dan upaya pengembangan perubahan
perilaku, sehingga secara dini mengarahkan menuju ke program pelayanan
dan dukunga termasuk akses terapi antiretroviral, serta membantu
mengurangi stikma dalam masyarakat (Nursalam, 2011).
KONSEP KEPERAWATAN

A. FOKUS PENGKAJIAN
a. Identitas data
b. Keluhan utama
c. Riwayat penyakit sekarang
d. Riwayat penyakit terdahulu
e. Riwayat penyakit keluarga
f. Riwayat Kesehatan Lingkungan
g. Riwayat Tumbuh Kembang
h. Pemeriksaan fisik
i. Terapi
j. Pemeriksaan penunjang

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN

1) Defisit nutrisi ( D.0019 ) b/d ketidakmampuan menelan makanan/


Ketidakmampuan mencerna makanan dan mengabsorbsi nutrient
2) Diare ( D. 0020 ) b.d inflamasi gastrointestinal / iritasi gastrointestinal / proses
infeksi
3) Intoleransi aktifitas b.d kelemahan ( D. 0056 )
4) Bersihan jalan nafas ( D.0001 ) b.d sekresi jalan nafas / proses infeksi

C. RENCANA TINDAKAN
1. Defisit nutrisi ( D.0019 ) b/d ketidakmampuan menelan makanan/
Ketidakmampuan mencerna makanan dan mengabsorbsi nutrient
Tujuan :
 Keadekuatan asupan nutrisi untuk memenuhi kebutuhan metabolism
(L.03030).
 Jalan makanan dari mulut sampai ke abdomen adekuat
keinginan untuk makan (L.06053).
 Pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan dengan kerusakan
jaringan actual atau fungsional dengan onset mendadak atau lambat dan
berintensitas ringan hingga berat dan konstan (L.08066).
 Akumulasi bobot tubuh sesuai dengan usia dan jenis kelamin (L.03018).
Kriteria hasil :
 Keinginan makan meningkat
 Porsi makan yang dihabiskan meningkat
 Asupan makanan meningkat
 Asupan nutrisi meningkat
 Keluhan nyeri menurun
 Nafsu makan membaik
 Berat badan membaik
 Penerimaan makanan membaik

Rencana tindakan :
Menejemen nutrisi ( I.03119 ) :
 Identifikasi alergi dan intoleransi makanan
 Identifikasi makanan yang disukai
 Monitor asupan makanan
 Monitor hasil pemeriksaan laboratorium
 Lakukan oral hygiene sebelum makan, jika perlu
 Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan jenis
nutrien yang dibutuhkan, jika perlu
Pemantauan nutrisi ( I.03123) :
 Identifikasi factor yang mempengaruhi asupan gizi
 Identifikasi perubahan berat badan
Promosi berat badan ( I.03136)
 Monitor adanya mual dan muntah
 Monitor berat badan
 Sediakan makanan yang tepat sesuai kondisi pasien
2. Diare ( D. 0020 ) b.d inflamasi gastrointestinal / iritasi gastrointestinal / proses
infeksi
Tujuan :
 Proses defakasi normal yang disertai dengan pengeluaran feses mudah dan
konsistensi , frekuensi serta bentuk feses normal (L.04033).
 Kemamapuan saluran cerna untuk masuk dan mencerna makanan serta
menyerap nutria dan membuang zat sisa (L.03019).

Kriteria hasil :
 Kontrol pengeluaran feses menigkat
 Nyeri abdomen menurun
 Konsistensi feses membaik
 Frekuensi defakasi membaik
 Paristaltik usus membaik
 Nafsu makan meningkat

Rencana tindakan
Menejemen diare ( I.03101 ) :
 Identifikasi penyebaba diare
 Monitor warna , volume , frekuensi , dan konsistensi tinja.
 Monitor jumlah pengeluaran diare
 Berikan asupan cairan oral
 Pasang jalur intravena
 Berikan cairan intravena
 Ambil sempel darah untuk pemeriksaan darah lengkap dan elektrolit
 Anjurkan makanan porsi kecil dan seringb secara bertahap
 Anjurkan menghindari makanan pembentuk gas, pedas , dan
mengandung laktosa
 Kolaborasi pemberian obat antimotilitas
 Kolaborasi pemberian obat pengeras feses

3. Intoleransi aktifitas b.d kelemahan ( D. 0056 )


Tujuan :
 Setelah dilakuakn tindakan keperawatan diharapkan toleransi aktifitas
meningkat. ( L.05047 ).
Dengan kriteria hasil :
 Frekuensi nadi meningkat
 Keluhan lelah menurun
 Warna kulit membaik
Rencana Tindakan :
Menejemen energi ( L.05178 )
 Identifikasi gangguan fungsi tubuh yang mengakibatkan kelelahan
 Monitor kelelahan fisik dan emosional
 Monitor pola dan jam tidur
 Monitor lokasi dan ketidak nyamana selama melakukan aktifitas
 Lakukan latihan rentang gerak pasif dan/atau aktif
 Berikan aktifitas distraksi yang menenangkan
 Fasilitasi duduk disisi tempat tidur , jika tidak dapat berpindah atau
berjalan
 Anjurkan tirah baring
 Anjurkan melakukan aktifitas secara bertahap
 Anjurkan menghubungi perawat jika tanda dan gejala kelelahan tidak
berkurang
 Kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara meningkatkan asupan
makanan

4. Bersihan jalan nafas ( D.0001 ) b.d sekresi jalan nafas / proses infeksi
Tujuan :
 Kemampuan membersihkan secret atau obstruksi jalan nafas untuk
mempertahankan jalan nafas tetep paten. (L.01001)

Dengan kriteria hasil :


 Batuk efektif meningkat
 Produksi seputum menurun
 Wheezing menurun
 Dispnea menurun
 Sianosis menurun
 Frekuensi nafas membaik
 Pola nafas membaik

Rencana tindakan :
Menejemen jalan nafas ( I.01011)
 Monitor pola nafas
 Monitor bunyi nafas tambahan
 Monitor seputum
 Posisikan semi-fowler atau fowler
 Berikan minuman hangat
 Lakukan fisiotrapi dada , jika perlu
 Berikan oksigen , jika perlu
 Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari, jika tidak ada kontraindikasi
 Ajarkan teknik batuk efektif
 Kolaborasi pemberian brongkodilator , ekspektorat , mukolitik, jika
perlu
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & suddarth’s. 2013. Medical-surgical nursing. Jakarta : EGC


Ditjen P2P Kementrian Kesehatan RI, (2016). Laporan Perkembangan HIV AIDS
triwulan 1 Tahun 2016. Jakarta.
Kementrian Kesehatan RI. (2015). Profil Kesehatan Indonesia 2014.
Jakarta:Sekretaris Jenderal
Nurasalam. (2017). Asuhan Keperawatan Pada Pasien Terinfeksi HIV AIDS, Jakarta :
Salemba Medika
Nursalam dan Kurniawati,Ninuk Dian. 2017. Asuhan Keperawatan Pada Pasien
Terinfeksi HIV/AIDS. Jakarta: Salemba Medika
Perry & Potter (2009). Buku Ajar Fundamental Keperawatan: konsep proses,dan
praktik. Jakarta: EGC
PPNI,Tim Pokja SDKI DPP.(2017) .Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia:
Definisi dan Indikator Diagnostik (sted.). Jakarta Selatan: DPPPPNI.
PPNI,Tim Pokja SIKI DPP.(2018). Standar Intervensi Keperawatan : Difinisi dan
Tindakan Keperawatan. Jakarta Selatan: DPPPPNI.
PPNI,Tim Pokja SILI DPP.(2019). Standar luaran Keperawatan indonesia: Difinisi
dan kriteria hasil Keperawatan. Jakarta Selatan: DPPPPNI.
Rendy & Margareth. 2012. Buku ajar medical bedah : Yogyakarta : Nuha medika
Smeltzer dan Bare. 2013. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Vol.3. Jakarta:
EGC
Smeltzerth dan Bare (2013) Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Vol.3.
jakarta: EGC
Widyanto & Triwibowo. 2013. Buku Ajar Patologi Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai