Anda di halaman 1dari 9

HIV/AIDS

2.1.1. Definisi
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang menyebabkan Acquired
Immuno Deficiency Syndrome (AIDS). AIDS adalah suatu kumpulan gejala berkurangnya
kemampuan pertahanan diri yang disebabkan oleh masuknya virus HIV dalam tubuh
seseorang. ODHA (Orang Dengan HIV dan AIDS) adalah orang yang telah terinfeksi virus
HIV.

Gambar 2.1. Struktur Anatomi HIV

2.1.2. Epidemiologi
Kasus pertama AIDS di Indonesia dilaporkan dari Bali pada tahun 1987. Penderitanya
adalah seorang wisatawan Belanda yang meninggal di RSUP Sanglah akibat infeksi sekunder
pada paru-parunya. Sejak pertengahan tahun 1999 mulai terlihat peningkatan tajam akibat
penggunaaan narkotika suntik. Fakta yang mengkhawatirkan adalah pengguna narkotika ini
sebagian besar adalah remaja dan dewasa muda yang merupakan kelompok usia produktif.
Pada akhir Maret 2005 tercatat 6789 kasus HIV/AIDS yang dilaporkan. Sampai akhir
Desember 2008, jumlah kasus sudah mencapai 16.110 kasus AIDS dan 6.554 kasus HIV.
Sedangkan jumlah kematian akibat AIDS yang tercatat sudah mencapai 3.362 orang. Dari
seluruh penderita AIDS tersebut, 12.061 penderita adalah laki-laki dengan penyebaran
tertinggi melalui hubungan seks.2 Pada tahun 2010-2012 kasus HIV positif cukup stabil yaitu
sebanyak 21.591 pada tahun 2010, 21.031 pada tahun 2011, 21.511 pada tahun 2012. Namun
pada tahun 2013 mengalami peningkatan secara signifikan dengan kenaikan mencapai 35%
dibanding tahun 2012 yaitu sebanyak 29.037 kasus.

Gambar 2.2. Jumlah Kasus Baru HIV Positif di Indonesia

2.1.3. Cara Penularan


HIV berada terutama dalam cairan tubuh manusia. Cairan yang berpotensial
mengandung HIV adalah darah, cairan sperma, cairan vagina dan air susu ibu. Penularan HIV
dapat terjadi melalui berbagai cara, yaitu: kontak seksual, kontak dengan darah atau sekret
yang infeksius, ibu ke anak selama masa kehamilan, persalinan dan pemberian ASI (Air Susu
Ibu).
HIV dapat menular melaui:
1. Penularan melalui hubungan heteroseksual adalah yang paling dominan dari semua
cara penularan. Penularan melalui hubungan seksual dapat terjadi selama senggama
laki-laki dengan perempuan atau laki-laki dengan laki-laki. Senggama berarti
kontak seksual dengan penetrasi vaginal, anal (anus), oral (mulut) antara dua individu.
Resiko tertinggi adalah penetrasi vaginal atau anal yang tak terlindung dari individu
yang terinfeksi HIV.
2. Melalui transfusi darah atau produk darah yang sudah tercemar dengan virus HIV.
3. Melalui jarum suntik atau alat kesehatan lain yang ditusukkan atau tertusuk ke dalam
tubuh yang terkontaminasi dengan virus HIV, seperti jarum tato atau pada pengguna
narkotik suntik secara bergantian. Bisa juga terjadi ketika melakukan prosedur
tindakan medik ataupun terjadi sebagai kecelakaan kerja (tidak sengaja) bagi petugas
kesehatan.
4. Melalui silet atau pisau, pencukur jenggot secara bergantian hendaknya dihindarkan
karena dapat menularkan virus HIV kecuali benda-benda tersebut disterilkan
sepenuhnya sebelum digunakan.
5. Melalui transplantasi organ pengidap HIV.
6. Penularan dari ibu ke anak. Infeksi HIV pada anak didapat dari ibunya saat ia
dikandung, dilahirkan dan sesudah lahir melalui ASI.
7. Penularan HIV melalui pekerjaan: pekerja kesehatan dan petugas laboratorium.
Tidak terdapat bukti yang meyakinkan bahwa air liur dapat menularkan infeksi baik
melalui ciuman. Selain itu air liur terdapat inhibitor terhadap aktivitas HIV. Menurut
WHO, terdapat beberapa cara dimana HIV tidak dapat ditularkan antara lain:
1. Kontak fisik seperti berada dalam satu rumah dengan penderita HIV/AIDS, bernapas
dengan udara yang sama, bekerja dalam satu ruangan. Bersalaman, berpelukan
maupun mencium pipi, tangan dan kening penderita HIV/AIDS tidak akan
menyebabkan seseorang tertular.
2. Memakai milik penderita seperti menggunakan tempat duduk toilet, handuk,
peralatan makan maupun peralatan kerja penderita HIV/AIDS tidak akan menular.
3. Digigit nyamuk maupun serangga dan binatang lainnya.
4. Mendonorkan darah bagi orang yang sehat tidak dapat tertular HIV.

2.1.4. Patogenesis
Setelah virus masuk dalam tubuh maka target utamanya adalah limfosit CD4 karena
virus mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4. Virus ini mempunyai
kemampuan untuk mentransfer informasi genetik mereka dari RNA ke DNA dengan
menggunakan enzim yang disebut reverse transcriptase. Limfosit CD4 berfungsi
mengkoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yang penting. Hilangnya fungsi tersebut
menyebabkan gangguan respon imun yang progresif.
Setelah infeksi primer, terdapat 4-11 hari masa antara infeksi mukosa dan viremia
permulaan yang dapat dideteksi selama 8-12 minggu. Selama masa ini, virus tersebar luas ke
seluruh tubuh dan mencapai organ limfoid. Pada tahap ini telah terjadi penurunan jumlah sel-
T CD4. Respon imun terhadap HIV terjadi 1 minggu sampai 3 bulan setelah infeksi, viremia
plasma menurun, dan level sel CD4 kembali meningkat namun tidak mampu menyingkirkan
infeksi secara sempurna. Masa laten klinis ini bisa berlangsung selama 10 tahun. Selama
masa ini akan terjadi replikasi virus yang meningkat. Diperkirakan sekitar 10 milyar partikel
HIV dihasilkan dan dihancurkan setiap harinya. Waktu paruh virus dalam plasma adalah
sekitar 6 jam, dan siklus hidup virus rata-rata 2,6 hari. Limfosit T CD4 yang terinfeksi
memiliki waktu paruh 1,6 hari. Karena cepatnya proliferasi virus ini dan angka kesalahan
reverse transcriptase HIV yang berikatan, diperkirakan bahwa setiap nukleotida dari genom
HIV mungkin bermutasi dalam basis harian.
Akhirnya pasien akan menderita gejala-gejala konstitusional dan penyakit klinis yang
nyata seperti infeksi oportunistik atau neoplasma. Level virus yang lebih tinggi dapat
terdeteksi dalam plasma selama tahap infeksi yang lebih lanjut. HIV yang dapat terdeteksi
dalam plasma selama tahap infeksi yang lebih lanjut dan lebih virulin daripada yang
ditemukan pada awal infeksi.
Infeksi oportunistik dapat terjadi karena para pengidap HIV terjadi penurunan daya
tahan tubuh sampai pada tingkat yang sangat rendah, sehingga beberapa jenis
mikroorganisme dapat menyerang bagian-bagian tubuh tertentu. Bahkan mikroorganisme
yang selama ini komensal bisa jadi ganas dan menimbulkan penyakit.

2.1.5. Gejala Klinis


Gejala klinis dari HIV/AIDS dibagi atas beberapa fase, yaitu:
a. Fase awal
Pada awal infeksi, mungkin tidak akan ditemukan gejala dan tanda-tanda infeksi.
Tapi kadang-kadang ditemukan gejala mirip flu seperti demam, sakit kepala, sakit
tenggorokan, ruam dan pembengkakan kelenjar getah bening. Walaupun tidak
mempunyai gejala infeksi, penderita HIV/AIDS dapat menularkan virus kepada
orang lain.
b. Fase lanjut
Penderita akan tetap bebas dari gejala infeksi selama 8 atau 9 tahun atau lebih.
Tetapi seiring dengan perkembangan virus dan penghancuran sel imun tubuh,
penderita HIV/AIDS akan mulai memperlihatkan gejala yang kronis seperti
pembesaran kelenjar getah bening (sering merupakan gejala yang khas), diare, berat
badan menurun, demam, batuk dan pernafasan pendek.
c. Fase akhir
Selama fase akhir dari HIV, yang terjadi sekitar 10 tahun atau lebih setelah
terinfeksi, gejala yang lebih berat mulai timbul dan infeksi tersebut akan berakhir
pada penyakit yang disebut AIDS.
2.1.6. Diagnosis
Ada dua sistem klasifikasi yang biasa digunakan untuk dewasa dan remaja dengan
infeksi HIV yaitu:
1. Klasifikasi CDC
CDC mengklasifikasikan HIV/AIDS pada remaja (>13 tahun dan dewasa)
berdasarkan dua sistem, yaitu dengan melihat jumlah supresi kekebalan tubuh
yang dialami pasien serta stadium klinis. Jumlah supresi kekebalan tubuh
ditunjukkan oleh limfosit CD4+.
Sistem ini terdiri dari tiga kategori yaitu:

a. Kategori Klinis A: CD4+ > 500 sel/ml.


Meliputi infeksi HIV tanpa gejala (asimptomatik), limfadenopati
generalisata yang menetap, infeksi HIV akut primer dengan penyakit penyerta
atau adanya riwayat infeksi HIV akut.
b. Kategori Klinis B: CD4+ 200-499 sel/ml.
Terdiri atas kondisi dengan gejala (simptomatik) pada remaja atau orang
dewasa yang terinfeksi HIV.
c. Kategori Klinis C : CD4+ < 200 sel/ml.
Meliputi gejala yang ditemukan pada pasien AIDS dan pada tahap ini orang
yang terinfeksi HIV menunjukkan perkembangan infeksi dan keganasan yang
mengancam kehidupannya.
2. Klasifikasi WHO
Pada beberapa negara, pemeriksaan limfosit CD4+ tidak tersedia, dalam hal ini
seseorang dapat didiagnosis berdasarkan gejala klinis, yaitu berdasarkan tanda dan
gejala mayor dan minor. Dua gejala mayor ditambah dua gejala minor
didefinisikan sebagai infeksi HIV simptomatik. Gejala mayor terdiri dari:
penurunan berat badan > 10%, demam yang panjang atau lebih dari 1 bulan, diare
kronis, tuberkulosis. Gejala minor terdiri dari: kandidiasis orofaringeal, batuk
menetap lebih dari 1 bulan, kelemahan tubuh, berkeringat malam, hilang nafsu
makan, infeksi kulit generalisata, limfadenopati generalisata, herpes zoster, infeksi
herpes simplex kronis, pneumonia.
WHO mengklasifikasikan HIV/AIDS pada orang dewasa menjadi 4 stadium
klinis, yaitu:
a. Stadium I
Bersifat asimptomatik, aktivitas normal dan dijumpai adanya limfadenopati
generalisata.
b. Stadium II
Simptomatik, aktivitas normal, berat badan menurun.
c. Stadium III
Pada umumnya kondisi tubuh lemah, aktivitas di tempat tidur <50%, berat
badan menurun >10%, terjadi diare kronis yang berlangsung lebih dari 1
bulan, demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan, terdapat kandidiasis
orofaringeal, TB paru dalam 1 tahun terakhir, infeksi bakterial yang berat
seperti pneumonia dan piomiositis.
d. Stadium IV
Pada umumnya kondisi tubuh sangat lemah, aktivitas ditempat tidur >50%,
terjadi HIV wasting syndrome, semakin bertambahnya infeksi opurtunistik
seperti pneumonia pneumocystis carinii, toksoplasmosis otak, diare
kriptosporidiosis lebih dari 1 bulan, kriptosporidiosis ekstrapulmonal, retinitis
virus Sitomegalo, herpes simpleks mukomutan >1 bulan, leukoensefalopati
multifokal progresif, mikosis diseminata seperti histopasmosis, kandidiasis di
esofagus, trakea, bronkus, dan paru, tuberkulosis ekstra paru, limfoma,
sarkoma kaposi, serta ensefalopati HIV.
Terdapat beberapa jenis pemeriksaan laboratorium untuk memastikan diagnosis infeksi
HIV. Secara garis besar dibagi menjadi pemeriksaan serologik untuk mendeteksi adanya
antibodi terhadap HIV dan pemeriksaan untuk mendeteksi keberadaan HIV. Pemeriksaan
yang lebih mudah dilaksanakan adalah pemeriksaan terhadap antibodi HIV. Sebagai
penyaring biasanya digunakan teknik ELISA (enzyme-linked immunosorbent assay). Jika
pemeriksaan penyaring menyatakan hasil yang reaktif, pemeriksaan dapat dilanjutkan dengan
pemeriksaan konfirmasi, yang paling sering dipakai adalah teknik Western Blot (WB).
Seseorang yang ingin menjalani tes HIV untuk keperluan diagnosis harus mendapat
konseling pra tes. Hal ini harus dilakukan agar ia dapat mendapat informasi yang sejelas-
jelasnya mengenai infeksi HIV/AIDS sehingga dapat mengambil keputusan yang terbaik
untuk dirinya serta lebih siap menerima apapun hasil tes.

2.1.7. Pengobatan
Pemberian anti retroviral (ARV) telah menyebabkan kondisi kesehatan para penderita
menjadi jauh lebih baik. Penekanan terhadap replikasi virus menyebabkan penurunan
produksi sitokin dan protein virus yang dapat menstimulasi pertumbuhan. Obat ARV terdiri
dari beberapa golongan seperti nucleotide reverse transcriptase inhibitor (NRTI), non
nucleotide reverse transcriptase inhibitor dan inhibitor protease (NNRTI). Obat-obat ini
hanya berperan dalam menghambat replikasi virus tetapi tidak bisa menghilangkan virus
yang telah berkembang.
Prinsip dalam pemberian ARV adalah sebagai berikut:
1. Paduan obat ARV harus menggunakan 3 jenis obat yang terserap dan berada dalam
dosis terapeutik. Prinsip tersebut untuk menjamin efektivitas penggunaan obat.
2. Membantu pasien agar patuh minum obat antara lain dengan mendekatkan akses
pelayanan ARV.
3. Menjaga kesinambungan ketersediaan obat ARV dengan menerapkan manajemen
logistik yang baik.
Tabel 2.1. Saat memulai terapi pada ODHA dewasa

Paduan yang ditetapkan oleh pemerintah untuk lini pertama: 2 NRTI + 1 NNRTI
Mulailah terapi antiretroviral dengan salah satu dari paduan di bawah ini:
2.1.8. Pencegahan
HIV/AIDS dapat dicegah dengan kegiatan sebagai berikut:
1. Promosi kesehatan
Promosi kesehatan ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan yang benar dan
komprehensif mengenai pencegahan penularan HIV dan menghilangkan stigma serta
diskriminasi. Promosi kesehatan dilakukan tenaga kesehatan dan tenaga non
kesehatan terlatih. Sasaran promosi kesehatan meliputi pembuat kebijakan, sektor
swasta, organisasi kemasyarakatan dan masyarakat.
Masyarakat diutamakan pada populasi kunci, meliputi:
a. Pengguna napza suntik.
b. Wanita Pekerja Seks.
c. Pelanggan/ pasangan seks WPS.
d. Gay, waria, dan laki pelanggan/pasangan seks dengan sesama laki.
e. Warga binaan lapas/rutan.
Promosi kesehatan dapat berupa:
a. Iklan layanan masyarakat.
b. Kampanye penggunaan kondom pada setiap hubungan seks berisiko penularan
penyakit.
c. Promosi kesehatan bagi remaja dan dewasa muda.
d. Peningkatan kapasitas dalam promosi pencegahan penyalahgunaan napza.
e. Program promosi kesehatan lainnya.
2. Pencegahan penularan HIV
Pencegahan penularan HIV sebagai berikut:
a. Pencegahan penularan HIV melalui hubungan seksual yaitu:
Tidak melakukan hubungan seksual (Abstinensia).
Setia dengan pasangan (Be Faithful).
Menggunakan kondom secara konsisten (Condom use).
Menghindari penyalahgunaan obat/zat adiktif (no Drug).
Meningkatkan kemampuan pencegahan melalui edukasi termasuk mengobati
IMS sedini mungkin (Education).
b. Pencegahan penularan HIV melalui hubungan non seksual yaitu:
Uji saring darah pendonor.
Pencegahan infeksi HIV pada tindakan medis dan non medis yang melukai
tubuh.
Pengurangan dampak buruk pada pengguna napza suntik.
c. Pencegahan penularan HIV dari ibu ke anaknya yaitu:
Pencegahan penularan HIV pada perempuan usia reproduktif.
Pencegahan kehamilan yang tidak direncanakan pada perempuan dengan HIV.
Pencegahan penularan HIV dari ibu hamil dengan HIV ke bayi yang
dikandungnya.
Pemberian dukungan psikologis, sosial dan perawatan kepada ibu dengan HIV
beserta anak dan keluarganya.

Anda mungkin juga menyukai