Anda di halaman 1dari 14

PRAKTIKUM TOURISM MEDICAL LABORATORY

IDENTIFIKASI VIRUS PENYEBAB INFEKSI SISTEM REPRODUKSI

IDENTIFIKASI PENYAKIT HIV-AIDS

OLEH :

Ni Putu Dian Wela Kusuma

P07134019082

IV B

POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR

JURUSAN TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIS PRODE DII

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

TAHUN 2020/2021
1. Karakteristik Virus
HIV adalah singkatan dari Human Immunodeficiency Virus, sebuah virus yang
menyerang sistem kekebalan tubuh manusia.AIDS singkatan dari Acquired Immune
Deficiency Syndrome.AIDS muncul setelah virus (HIV) menyerang sistem kekebalan
tubuh.Sistem kekebalan tubuh menjadi lemah, dan satu atau lebih penyakit dapat timbul.
Karena lemahnya sistem kekebalan tubuh tadi, beberapa penyakit bisa menjadi lebih
berat dari pada biasanya.
Penyakit AIDS telah menjadi masalah internasional karena dalam waktu singkat
terjadi peningkatan jumlah penderita dan melanda semakin banyak negara. Dikatakan
pula bahwa epidemi yang terjadi tidak saja mengenai penyakit (AIDS ), virus (HIV)
tetapi juga reaksi/dampak negatif berbagai bidang seperti kesehatan, sosial, ekonomi,
politik, kebudayaan dan demografi.
Virus ini merupakan virus yang termasuk dalam familia retrovirus yaitu kelompok
virus terselubung (envelope virus) yang mempunyai enzim reverse transcriptase, enzim
yang dapat mensintesis kopi DNA dari genon RNA. Virus ini masuk dalam sub familia
lentivirus berdasarkan kesamaan segmen genon, morfologi dan siklus hidupnya.

Virion virus HIV berbentuk sferis dengan inti berbentuk kerucut yang dikelilingi
oleh selubung lipid dari membran sel hopes. Inti virus mengandung protein kapsid
terbesar yaitu p24, protein nukleokapsid p7/p9, sedangkan 3 enzim yaitu protease,
reverse transcriptase dan integrase.

Inti virus yang berada di bawah lapisan lipid dinamakan p17 yang dikelilingi oleh
matriks protein. Hasil translasi berupa protein prekursor yang besar dan akan dipotong
oleh enzim protease virus menjadi protein mature. HIV dikelompokkan berdasarkan
struktur genom dan antigenitasnya yaitu HIV - 1 dan HIV – 2

1. Bentuk Virus
Dari segi ukuran dan bentuk, virus hiv memiliki diameter mencapai 1/20 lebih
besar dibanding bakteri E.coli. Sedangkan perbandingan dengan sel darah putih, virus hiv
memiliki ukuran lebih besar sampai 1/70.

Jika dilihat melalui mikroskop, tampak beberapa membran lemak di sekeliling


virus hiv. Di lokasi itu pula, tumbuh beberapa paku kecil yang terbuat dari protein yang
sangat berbahaya jika pasien tidak mengkonsumsi obat hiv tradisional. Sedangkan semua
materi genetik tersimpan di dalam membran sel. Selain itu, virus hiv mampu
memproduksi protein secara mandiri. Senyawa ini yang kelak membantu mikro
organisme tersebut melakukan pembelahan dan perayapan.

2. Virus Hiv Menyerang Sel Darah Putih

Virus hiv pasti menyerang sel darah putih dan tidak merusak sel yang lain.
Mereka memulainya dengan melakukan infeksi di sel CD4. Sel CD4 adalah satu jenis sel
darah putih yang berfungsi sebagai pembentuk imun. Jika sel ini terganggu
akibat makanan setelah minum ARV yang basi, otomatis sistem kekebalan tubuh manusia
juga terganggu. Teorinya adalah semakin menurun imun, tubuh juga rawan diserang
penyakit kategori infeksi

3. Gejala Mayor Dan Gejala Minor

Karakteristik virus hiv selanjutnya bisa dilihat dari gejala penyakit. Menurut
medis, ada dua gejala jika hiv menyerang imun dan pasien belum sempat mengobatinya
dengan makanan yang mengandung cd4. Yaitu, gejala mayor dan gejala minor.

Yang masuk kategori gejala mayor adalah diare kronis, demam, hilang ingatan
dan berat badan menurun drastis. Sedangkan gejala minor diantaranya ialah batuk kronis,
Dermatitis generalisata, herpes dan infeksi jamur pada kelamin.

Fase Infeksi Virus HIV

Sesuai karakteristik di atas, pergerakan hiv di tubuh bisa diurutkan sesuai fase
kejadian. Ada fase awal, pertengahan dan fase terakhir. Sedangkan AIDS berada pada
fase terakhir. Ini dia penjelasan yang lebih lengkap, yaitu:

1. Fase Pertama

Pada fase awal, infeksi sering disebut hiv primer yang istilah medis adalah
sindrom retroviral akut. Di fase ini, gejala hiv mirip serangan influenza. Bahkan beberapa
kasus, gejala juga serupa dengan penyakit saluran pencernaan akibat buah untuk
meningkatkan cd4 busuk.
2. Fase Kedua

Fase yang kedua merupakan tahapan paling ironi dari infeksi virus hiv. Karena di
masa ini, gejala benar-benar hilang, sehingga penderita tidak sadar ada penyakit dalam
tubuhnya. Bahkan, periode ini terjadi hingga puluhan tahun.

Menurut para medis, fase kedua hiv adalah periode paling awas. Karena di masa
ini, virus melakukan berbagai infeksi penting sekalipun tidak menyakitkan. Maka dari itu,
jika pasien positif mengalami fase awal, terus lakukan pemeriksaan intensif sertai dengan
makan makanan untuk penderita hiv.

3. Fase Terakhir Hiv

Fase terakhir adalah fase AIDS. Masa ini terjadi, jika imun sudah tidak berfungsi
dengan baik. Sedangkan penderitanya rawan diserang penyakit auto imun maupun infeksi
oportunistik sekalipun kaliber ringan.

Jika sudah masuk fase terakhir, peluang pasien hidup lebih lama sangat kecil. Malah,
diserang penyakit ringan kaliber flu saja, stadium-nya bisa meningkat ke taraf kronis. Selain
itu, di fase ini pula, penyakit sudah kebal obat. Apalagi untuk AIDS, masih belum ditemukan
obat penawar yang tepat

2. Pathogenesis

Virus HIV masuk ke dalam tubuh manusia melalui perantara darah, semen dan
sekret vagina. Human Immunodeficiency Virus tergolong retrovirus yang mempunyai
materi genetik RNA yang mampu menginfeksi limfosit CD4 (Cluster Differential Four),
dengan melakukan perubahan sesuai dengan DNA inangnya. Virus HIV cenderung
menyerang jenis sel tertentu, yaitu sel-sel yang mempunyai antigen CD4 terutama
limfosit T4 yang memegang peranan penting dalam mengatur dan mempertahankan
sistem kekebalan tubuh. Virus juga dapat menginfeksi sel monosit makrofag, sel
Langerhans pada kulit, sel dendrit folikuler pada kelenjar limfe, makrofag pada alveoli
paru, sel retina, sel serviks uteri dan sel-sel mikroglia otak.
Virus yang masuk kedalam limfosit T4 selanjutnya mengadakan replikasi
sehingga menjadi banyak dan akhirnya menghancurkan sel limfosit itu sendiri.4 Kejadian
awal yang timbul setelah infeksi HIV disebut sindrom retroviral akut atau Acute
Retroviral Syndrome. Sindrom ini diikuti oleh penurunan jumlah CD4 dan peningkatan
kadar RNA HIV dalam plasma. CD4 secara perlahan akan menurun dalam beberapa
tahun dengan laju penurunan CD4 yang lebih cepat pada 1,5 – 2,5 tahun sebelum pasien
jatuh dalam keadaan AIDS. Viral load (jumlah virus HIV dalam darah) akan cepat
meningkat pada awal infeksi dan pada fase akhir penyakit akan ditemukan jumlah CD4 <
200/mm3 kemudian diikuti timbulnya infeksi oportunistik, berat badan turun secara cepat
dan muncul komplikasi neurulogis. Pada pasien tanpa pengobatan ARV, rata-rata
kemampuan bertahan setelah CD4 turun < 200/mm3 adalah 3,7 tahun.
Dalam folikel limfoid, virus terkonsentrasi dalam bentuk kompleks imun yang
diikat sel dentritik, destruksi sel CD4+ berjalan terus dalam kelenjar limfoid. Akhirnya
jumlah CD4+ dalam sirkulasi menurun. Dengan menurunnya jumlah sel CD4+ ,
penderita menunjukkan gejala klinis antibody HIV spesifik dengan sel T sitotoksin
menurun, sedang P24 meningkat. Perjalanan infeksi HIV ditandai oleh beberpa fase yang
berakhir dalam defisiensi imun. Aktifasi poliklonal Sel B menimbulkan
hipergamaglobulinemia, antibody yang menetralkan antigen gp120 diproduksi tetapi
tidak mencegah mutasi virus yang tinggi, terjadi abnormal fungsi Sel B, jumlah sel B
yang memproduksi antibody meningkat dan adanya hipergamaglobulinemi.

3. Transmisi

HIV dapat ditemukan di cairan tubuh manusia yang terinfeksi, seperti darah, air
mani, cairan vagina, serta ASI. Penularan HIV terjadi melalui beberapa hal, seperti
penetrasi seks, transfusi darah, jarum tato maupun jarum suntik yang terkontaminasi,
serta antara ibu dan anak selama kehamilan, persalinan, dan menyusui.

Meskipun HIV dapat ditularkan melalui penetrasi seks, risiko penularan HIV
berbeda berdasarkan penetasinya. Seks anal dilaporkan 10 kali lebih berisiko menularkan
HIV daripada seks vaginal dan oral. Sedangkan, kegiatan seks dengan mereka yang hidup
dengan HIV aman dilakukan ketika orang dengan virus HIV telah benar-benar
menjalankan terapi antiretroviral. Kegiatan seks juga lebih aman dilakukan dengan
menggunakan kondom.

Penularan lain terjadi karena penggunaan jarum suntik bekas atau jarum suntik
secara bersama-sama (sharing). HIV juga dapat menular melalui pisau cukur yang tidak
steril. Risiko penularan melalui jarum suntik maupun pisau cukur dapat diminimalkan
dengan selalu menggunakan jarum suntik maupun pisau cukur baru dan steril.

Sedangkan, penularan dari ibu ke anak dapat terjadi pada saat ibu hamil melalui
plasenta, saat melahirkan melalui kontak cairan ibu dan bayi, maupun saat menyusui
melalui ASI
Penularan :
- Hubungan sex dengan penderita HIV
- Pemakaian jarum suntik bergantian(pengguna narkoba, tindik, tato akupuntur)
- Ibu hamil positif HIV: saat mengandung, saat menyusui, dalam kandungan
- Transfuse darah dari penderita HIV
Resiko tinggi :
- Homoseksual, biseksual, heteroseksual
- Penggunaan narkoba suntik IDU
- Pasangan seks dengan resiko
- Ibu penederita HIV

Resiko rendah :
Pekerja kesehatan termasuk perawat dokter doktergigi dan pekerja laboratorium
Virus HIV tidak menular ;
Hidup serumah, bertetangga, bermasyarakat, saat berpegangan tangan, berciuman dan
bersinggungan.
4. Pemeriksaan

A. Enzyme Immuno Assay

Pemeriksaan (EIA) adalah jenis pemeriksaan penyaring yang efektif dan banyak
dipakai untuk mendeteksi antibodi anti HIV karena mempunyai sensitifitas tinggi Sebagai
bahan pemeriksaan dipakai darah, cairan rongga mulut, atau urin. Umumnya metode
EIA mendeteksi antibodi terhadap protein p6 dan gp 41 yang merupakan bagian virus
HIV. Hasil pemeriksaan dibandingkan dengan nilai yang didapat saat pemeriksaan
ELISA dilakukan.
Bila nilai sampel lebih kecil dari nilai cut off non reaktif, tetapi bila nilai sampel lebih
besar dari nilai cut offpemeriksaan diulang kembali (induplikat) dengan memakai sampel
yang baru. Jika hasil pemeriksaan ulangan tersebut lebih besar dari nilai cut off berarti
hasil pemeriksaan reaktif terhadap HIV. Bila nilai sampel mendekati nilai cut off
pemeriksaan ulang dilakukan 2-4 minggu kemudian, karena diharapkan dalam periode
tersebut antibodi yang terbentuk sudah dapat dideteksi. Setiap hasil pemeriksaan EIA
harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan WB karena lebih spesifik
B. Pemeriksaan WB (Western Blot)

Pemeriksaan WB merupakan metode konfirmasi yang telah banyak di pakai


setelah dilakukan pemeriksaan penyaring misalnya dengan EIA. Prinsip pemeriksaan nya
adalah reaksi antara antibodi anti HIV dengan antigen HIV

Protein yang berasal dari virus HIV didenaturasi dan selanjutnya dipisahkan
dengan metode menggunakan sodium dodecyl sulfate polyacrylamide gel (SDS-PAGE).
Protein dengan berat molekul besar akan bermigrasi lambat, sedangkan protein dengan
berat molekul ringan akan bermigrasi lebih cepat. Selanjutnya dari gel, protein ditransfer
ke membran nitroselulose dan direaksikan elektroforesis dengan dengan serum pasien.
Selanjutnya dilakukan dilakukan visualisasi hingga hasil WB terlihat sebagai pita.
Hasil dinyatakan positif bila terdapat pita sekurang-kurangnya dua dari antigen
berikut ini yaitu, inti (Gag) protein (p24). (env) glikoprotein (gp41) atau gp 120/160,
sedangkan hasilnya negatif bila tidak ditemukan pita.'5.10 Hasil pemeriksaan
meragukan bila ditemukan ada pita tetapi tidak memenuhi kriteria untuk disebut positif.
Menurut WHO bila hasil meragukan, dilakukan pemeriksaan ulang setelah dua minggu.
Bila hasil tetap negatif selama satu bulan berarti infeksi HIV dapat disingkirkan." US
Food and Drug Administration (FDA) menyetujui empat jenis pemeriksaan rapid test
yaitu OraQuick® Advance Rapid, RevealTM G-2 Rapid HIV-1 Antibody test, Uni-Gold
Recombigen, Multispot HIV- 1/HIV-2
C. Rapid Test
Rapid test untuk deteksi antibodi anti HIV telah banyak digunakan selama dekade
terakhir. Dasar rapid test adalah immunokromatografi untuk deteksi antibodi HIV-1 dan
antibodi HIV-2 secara kualitatif. Pemeriksaan di atas mudah dilakukan, tidak
memerlukan peralatan khusus serta tidak memerlukan tenaga terlatih. Hasilnya dapat
dibaca dalam waktu kurang dari 30 menit. Karena itu rapid test sangat berguna untuk
membantu menetapkan status medis pada orang yang diduga terinfeksi HIV sehingga
dapat mengurangi penularan infeksi karena hasil pemeriksaan diperoleh dalam waktu
yang singkat dan pasien dapat segera ditangani.

D. OraQuick Rapid HIV-1/2 Antibody Test

Spesimen klinik berupa darah vena, atau ujung jari dan cairan rongga mulut.
Darah dimasukan ke dalam tabung pengencer yang mengandung 1 ml larutan buffer lalu
dikocok hingga merata, kemudian dimasukkan alat penguji (strip/carik celup) ke dalam
tabung pengencer tersebut. Cairan oral diperoleh dengan usapan pada gusi luar atas dan
bawah, yang langsung dimasukan ke dalam tabung pengencer. Antibodi anti HIV pada
sampel akan mengikat reagen protein A koloid emas. Kompleks antibodi HIV-protein
koloid emas akan bereaksi dengan antigen di membran nitroselulosa yang mengandung
peptida sintetik gp 41 (HIV-1) dan gp 36 (HIV-2) yang sesuai dengan goat anti-human
IgG dan akan membentuk warna merah. Garis merah yang muncul di area kontrol
menandakan hasil yang reaktif. Hasil dibaca dalam waktu 20 sampai 40 menit.
Bila pembacaan kurang dari 20 menit (terhitung mulai carik celup dimasukan ke
dalam tabung pengencer) kemungkinan akan menghasilkan negatif palsu. Sebaliknya bila
pembacaan hasil lebih dari 40 menit akan memberikan hasil positif palsu. Bila tidak
timbul warna merah maka dapat disebut hasil non reaktif. Antibodi HIV-1 dan antibodi
HIV-2 tidak dapat dibedakan dengan pemeriksaan ini. Hasil pemeriksaan yang positif
lemah pada rapid test harus dipastikan dengan tes EIA atau Western Blot.
Biasanya bahan pemeriksaan yang berasal dari cairan oral tidak seakurat bahan
dari pemeriksaan darah. Pada laporan kasus didapatkan bayi berusia di bawah 18 bulan
yang diperiksa dengan rapid tes memberikan hasil negatif palsu. Hal itu mungkin
disebabkan tertekannya pembentukan antibodi bayi oleh antibodi IgG ibu dan akibat
imunosupressi.

E. Polymerase Chain Reaction (PCR)

Untuk diagnosis infeksi HIV selain deteksi antibodi juga dikembangkan deteksi
antigen diantaranya dengan mengukur viral load memakai metode polymerase chain
reaction (PCR) untuk mendeteksi asam nukleat virus HIV. Dilakukan biasanya pada bayi
di bawah usia 18 bulan karena pada usia kurang 18 bulan antibodi belum terbentuk.
Dengan pengukuran HIV RNA di dalam darah, dapat dinilai besarnya replikasi
virus. Tiap virus HIV membawa dua kopi RNA. Jika hasil pemeriksaan didapatkan
jumlah HIV RNA sebesar 20 000 kopi per ml maka berarti di dalam tiap mililiter darah
terdapat 10 000 partikel RNA virus dalam plasma yang dapat diukur secara kuantitatif
melalui beberapa cara misalnya polymerase chain reaction (PCR), branched-chain DNA
(b-DNA), dan nucleic acid sequence-based amplification (NASBA). Pengukuran HIV
RNA dengan Polymerase Chain Reaction (PCR) Saat ini pemeriksaan yang memiliki
sensitifitas tinggi adalah amplifikasi asam nukleat RNA HIV dalam plasma dengan cara
PCR.
Pemeriksaan tersebut didasarkan pada amplifikasi target menggunakan enzim
reverse transcriptase-polymerase chain reaction (RT-PCR) yang merubah RNA menjadi
DNA. Dengan metode ultrasensitif tersebut dapat di deteksi RNA HIV antara 50 - 75000
kopi/ml. Antikoagulan yang dipakai untuk pemeriksan tersebut adalah ethylene diamine
tetra acetate (EDTA) dan acid citrate dextrose (ACD). Pemeriksaan kuantitatif virus HIV
juga dapat dilakukan dengan metode hibridisasi b-DNA yang didasarkan pada amplifikasi
sinyal branched DNA. Pemeriksaan itu sensitifisitasnya tinggi dan dapat mendeteksi
hingga 50 kopi RNA/ml plasma.

F. Nucleic Sequence-based Acid Amplification (NASBA)

Pada pemeriksaan NASBA, dilakukan isolasi asam nukleat dengan cara lisis,
sehingga terjadi ikatan RNA virus dengan mikropartikel silicon dioxide (silica), diikuti
amplifikasi isotermal (target amplification) memakai reverse transcriptase, RNAase H,
dan T7 RNA polymerase. Sensitivitas pemeriksaan itu sekitar 40 RNA kopi/ml.
Antikoagulan yang dipakai adalah EDTA, ACD, dan heparin. Hasil pemeriksaan viral
load dikatakan bermakna bila didapatkan hasil tiga kali lebih tinggi atau lebih rendah dari
hasil pemeriksaan sebelumnya.
5. Gejala

Kebanyakan orang yang terinfeksi HIV tidak menyadari bahwa mereka telah
terinfeksi karena infeksi HIV menyebabkan melemahnya kekebalan tubuh secara
bertahap hingga menyebabkan AIDS.

Setelah terinfeksi, beberapa orang akan mengalami penyakit, seperti demam kelenjar
yang disertai ruam, nyeri sendi, dan pembesaran kelenjar getah bening. Akan tetapi,
beberapa orang yang terinfeksi tak memiliki gejala tertentu. Dengan demikian, satu-
satunya cara untuk mengetahui infeksi HIV adalah dengan tes HIV.

Kebanyakan orang yang terinfeksi HIV, bila tak tertangani, akan masuk ke fase
AIDS setelah delapan hingga 10 tahun. AIDS menunjukkan tahap infeksi HIV yang telah
akut.

Terdapat empat tahap infeksi HIV hingga teridentifikasi sebagai AIDS. Tahap
pertama merupakan infeksi HIV yang biasanya tak bergejala dan belum dikategorikan
sebagai AIDS. Tahap kedua berupa infeksi saluran pernapasan atas yang berulang. Tahap
ketiga, meliputi diare kronis yang tidak dapat dijelaskan selama lebih dari satu bulan,
infeksi bakteri yang parah, serta tuberkulosis paru-paru. Tahap keempat, meliputi infeksi
parasit di otak, trakea, paru-paru, serta kanker tulang.

6. Pencegahan
Penularan HIV melalui kegiatan seksual dapat dicegah dengan cara melakukan seks
dengan pasangan tetap yang tidak terinfeksi, seks tanpa penetrasi, konsisten
menggunakan kondom, melakukan seks dengan mereka yang pernah hidup dengan HIV
dan telah melakukan terapi antiretrovial dan tak terdeteksi viral load, hingga terapi post-
exposure preventive (PEP).

Di sisi lain, penularan HIV dapat diminimalkan dengan selalu menggunakan jarum
suntik baru dalam pengobatan serta memastikan darah atau produk darah dalam tranfusi
telah dites HIV. Pengurangan risiko penularan HIV bagi pengguna obat suntikan dapat
dilakukan dengan mengubah pengobatan menjadi oral, tak pernah menggunakan jarum
suntik bekas atau berbagi jarum suntik dengan orang lain, serta selalu mensterilkan
peralatan saat mempersiapkan obat.

Risiko penularan ibu hamil yang hidup dengan HIV kepada anaknya dapat dikurangi
dengan terapi antiretroviral selama hamil, melahirkan, dan menyusui. Departemen
Kesehatan RI menyarankan konsep “ABCDE” untuk menghindari penularan HIV, yang
terdiri dari abstinence, be faithfull, condom, drug no, dan education.
Abstinence berarti absen melakukan hubungan seks bagi yang belum menikah. Be
faithful berarti saling setia kepada satu pasangan seks, tidak berganti-ganti pasangan.
Condom berarti mencegah penularan HIV melalui hubungan seksual dengan
menggunakan kondom. Drug no berarti tidak menggunakan narkoba. Sedangkan,
education berarti memberikan pendidikan dan informasi yang benar mengenai HIV,
terkait cara penularan, pencegahan, serta pengobatannya.

7. Pengobatan

HIV tak dapat disembuhkan hingga saat ini. Akan tetapi, terdapat pengobatan infeksi
HIV yang efektif apabila dimulai dengan segera dan teratur minum obat antiretroviral.
Obat-obat antiretroviral digunakan untuk melawan infeksi HIV dengan menghalangi
reproduksi HIV di dalam tubuh agar tidak masuk ke dalam stadium AIDS.

Obat-obatan antiretrovial berfungsi dengan cara memperlambat penggandaan dan


penyebaran virus HIV di dalam tubuh dengan mengganggu proses replikasi dengan
berbagai cara.

Terdapat tiga kelompok obat antiretroviral. Pertama, penghambat transkriptase


balik nukleosida (nucleoside reverse transcriptase inhibitors). HIV membutuhkan enzin
yang disebut reverse transcriptase untuk menghasilkan salinan diri yang baru. Kelompok
obat ini menghambat reverse transcriptase dengan mencegah proses yang menggandakan
materi genetik virus.

Kedua, obat penghambat transkriptase balik nonnukleosida (non-nucleoside


reverse transcriptase inhibitors). Kelompok obat ini mengganggu replikasi HIV dengan
mengikat enzim reverse transcriptase itu sendiri. Dengan demikian, enzim dicegah untuk
bekerja dan menghentikan produksi partikel virus baru di sel yang diterinfeksi.

Ketiga, penghambat protease (protease inhibitor). Kelompok obat ini akan


mengganggu replikasi HIV dengan mengikat reverse preotease, yakni enzim pencernaan
yang dibutuhkan dalam replikasi HIV untuk menghasilkan partikel baru. Penghambat
protease mencegah pemecahan protein enzim tersebut sehingga memperlambat produksi
partikel virus baru.

Penggunaan ketiga kombinasi obat-obatan antiretroviral tersebut terbukti


mengurangi penyakit dan kematian terkait AIDS. Walaupun tak ada obat untuk AIDS,
kombinasi terapi antiretrovial memungkinkan mereka yang hidup dengan HIV dapat
hidup lebih lama, lebih sehat, dan lebih produktif karena berkurangnya jumlah HIV
dalam darah (viraemia) dan meningkatnya jumlah sel darah putih (sel CD-4 positif).

Terapi antiretroviral yang dilakukan secara efektif memungkinkan pencegahan


penularan HIV. Dengan demikian, mereka yang hidup dengan HIV dan menjalankan
terapi antiretroviral tak lagi akan menularkan HIV. Yang perlu diingat adalah bahwa
obat-obatan antiretroviral hanya dapat diberikan oleh tenaga kesehatan profesional.
REVERENSI

Ednyana Durman. 2021. Diagnosis Serologis Inveksi Humman Immunodeficiency Virus.


Dapartemen Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia. Diakses
pada 26 Maret 2021.

Yoveline A, Wahyuningsih R, Kumalawati Y, Sungkar S. Peran rapid oral HIV tes dalam
diagnosis infeksi HIV. Maj Kedokteran Indon. 2008. Diakses pada 26 Maret 2021.

Anda mungkin juga menyukai