Anda di halaman 1dari 37

KEPERAWATAN MENJELANG AJAL & PALIATIF

PATOFISIOLOGI PENYAKIT HIV & KANKER (METASTASE)

DOSEN PENGAMPUN : Ns.Diah Sulastri, S.Kep,M.K.M

DISUSUN OLEH

KELOMPOK 3 :

1. Ahmad Arif Saputra (205140091)


2. Dea Putri Aristia (205140089)
3. Rizky Ramanda Jangayo (205140088)
4. Sonia Zephanie Manullang (205140093)
5. Virginia Dwi Yanti (205140092)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

FAKULTAS KESEHATAN

UNIVERSITAS MITRA INDONESIA

2022/2023
1. Konsep Penyakit HIV/AIDS

A. Pengertian Penyakit HIV/AIDS

Salah satu virus yang menyerang sel darah putih yang bernama se

l CD4yaitu Human Immunodeficiency Virus (HIV), virus tersebut dapat

menyebabkan AIDS dalam rentang waktu tertentu dapat merusak sistem

kekebalan tubuh pada manusia. Infeksi oportunistik yang menyertai dap

at menjadi manifestasi klinis yang terlihat.Menurunnya imun tubuh terj

adi karena melemahnya kekebalan tubuh akibat infeksi HIV sehingga d

apat terjadi infeksi oportunistik (Sudikno, Bona Simanungkalit 2011).A

IDS (Aquared Immunodeficiency Syndrome)yang terjadi akibat efek da

ri perkembang biakan virus HIV dalam tubuh makhluk hidup, kondisi d

imana tubuh sudah diserang sepenuhnya/ sudah tidak mempunyai kekeb

alan tubuh lagi.Jadi ketika tubuh sakit tidak bisa sembuh dengan kekeba

lan sendiri.HIV hidup didalam darah dan cairan tubuh orang yang terinf

eksi.Cairan yang bisa mengeluarkan HIV itu dari cairan darah, dinding

anus, ASI, sperma dan cairan vagina termasuk darah menstruasi. Sedan

gkan penularan dapat terjadi melalui: hubungan sek bebas/seks yang tan

pa menggunakan pengaman dengan orang yang terinfeksi HIV, jarum s

untik atau tindik dan bisa melalui tato yang tidak steril dan dipakai seca

ra bergantian, dapat juga melalui transfusi darah yang mengandung v

irus HIV, ibu


penderita HIV positif saat proses persalinan atau melalui Air Susu Ibu

(ASI) yang diberikan (Jambak, Nur Ainun, Wiwit Febrina 2016).

B. Etiologi Penyakit HIV/AIDS

Melemahnya system imun akibat HIV menyebabkan timbulnya

gejala AIDS. HIV tergolong pada kelompok retrovirus dengan materi g

enetic dalam Rebonukleat Acid (RNA), menyebabkan AIDS dan menye

rang sel khususnya yang memiliki antigen permukaan CD4 terutama sel

limfosit T4 yang mempunyai peran penting dalam mengatur dan memp

ertahankan sistem kekebalan tubuh. Virus HIV juga bisa menginfeksi s

el monosit dan magrofag, sel lagerhands pada kulit, sel dendrit pada kel

enjar linfa, makrofag pada alveoli paru, sel retina, dan sel serviks uteri.

Lalu kemudian virus HIV akan masuk kedalam limfosit T4 dan mengga

ndakan dirinya selanjutnya akan menghancurkan sel limfosit itu sendiri.

Ketika sistem kekebalan tubuh yang tidak mempunyai kemampuan untu

k menyerang maka virus ini akan menyebabkan seseorang mengalami k

eganasan dan infeksi oportunistik (Suliso, 2006 dalam Fauzan 2015).

5 fase transmisiinfeksi HIV dan AIDS yaitu:

1. Window Periode/Periode Jendela

Kondisi dimana seseorang sudah terinfeksi HIV tapi tubuhny

a belum memproduksi antibodi HIV, jika dites HIV akan menunjuk

an non-reaktif/negative, tapi sebenarnya sudah terinfeksi, HIV ini ti

dak langsung memperlihatkan gejala tertentu, sebagian menunjuka

n gejala – gejala yang tidak khas seperti infeksi akut.


Sekitar 3 – 6 minggu setelah terkena virus HIV.Contoh : ruam, pusi

ng, demam, nyeri tenggorokan, tidak enak badan seperti orang flu b

iasa.

2. Stadium 1/Asimtomatik (Tanpa Gejala)

Disini antibody HIV sudah terbentuk artinya walaupun tidak

ada gejala HIV tapi jika di tes HIV hasilnya sudah positif/re-aktif at

au kadang hanya sedikit pembengkakan pada kelenjar getah bening.

Periode ini bisa bertahan berfariasi setiap orang ada yang 8-10 tahu

n, ada yang jauh lebih cepat berprogresif ada yang sampai 15 tahun.

Setelah di stadium 1 jika tidak ketahuan dan tidak dobati akan berla

njut ke HIV stadium 2.

3. Stadium 2: BB turun <10% + gejala penurunan system imun

Pada stadium ini mulai menunjukan beberapa gejala - gejala,

berat badan mulai turun tapi kurang dari 10% berat badan normal,

mulai muncul penyakit – penyakit seperti ada jamur di kuku, saria

wan yang tidak sembuh – sembuh dan berulang – ulang terjadi. G

ejala awal yang menunjukan system imun seseorang itu mulai men

urun tapi belum terlalu parah namun jika pada stadium ini belum

juga ketahuan dan belumdiobati maka akan lanjut ke stadium 3.

4. Stadium 3

BB turun >10%, diare >1 bulan, demam >1 bulan jadi seperti

demam yang tidak berhenti walaupun sedah diberikan obat penurun

panas setelah efeknya hilang dan muncul lagi, kandidiasis


oral/jamur dimulut bahkan sampai muncul gejala TB paru ini semu

a adalah penyakit disebabkan karena turunnya system pertahannan

tubuh/system imun. Kemudian jika tidak juga diobati maka akan m

enuju HIV stadium 4.

5. Stadium 4: HIV Wasting Syndrome-AIDS

Tahap ini sudah masuk pada AIDS gejala yang dialami sudah

semakin parah, badan sudah sangat kurus, kulit berjamur, mulut ber

jamur, kuku berjamur. Wasting syndrome artinya hanya tinggal kuli

t dan tulang.

C. Klasifikasi Penyakit HIV/AIDS

Human Immunodeviciency Virus (HIV) merupakan kelompok virus

RNA :

Family : retroviradae Su

b family : lantivirinae Ge

nus : lentivirus

Spesies : Human Immunodeficiency Virus 1 (HIV-1)

Human Immunodeficiency 2 (HIV-2)

HIV menunjukan banyak gambaran khas fisikokimia dan familinya

terdapat dua tipe yang berbeda dari virus AIDS manusia, yaitu HIV-1 d

an HIV-2.Kedua tipe dibedakan berdasarkan susunan genom dan hubun

gan filogenetik (evolusioner) dengan lentivirus primate lainnya. Perbed

aan juga terletak dari gen vpr, kemudian pada HIV – 2 terdapat gen vpx

yang merupakan homolog dari gen vpu pada HIV-1. Perbedaan


yang lain adalah HIV-2 progresifnya lebih lambat dan banyak m

eyerang susunan syaraf pusat Fauzan 2015.

D. Patofisiologi Penyakit HIV/AIDS

Apabila virus HIV masuk kedalam tubuh seseorang dan bagaim

ana caranya virus itu masuk kedalam tubuh sesorang, bisa melalui darah,

jadi bisa karena transfuse atau penggunaan jarum suntik yang bekas pa

kai yang bergantian misalnya dan tidak steril kemudian jarumnya bekas

dipakai orang yang terinfeksi HIV maka akan menular. Jadi menularnya

melalui kontak lewat darah/cairan bukan kontak fisik maka ketika suda

h tertular virus akan masuk kedalam system peredaran darah/tubuh sese

orang. Kemudian setelah virus masuk kedalam peredaran darah organ at

au target yang akan diserang pertama kali oleh virus ini adalah sel darah

putih manusia atau sel CD4 jadi sel darah putih itu ada limfosit, leukosi

t virus ini menyerang CD4 dari sel darah putih limfosit. Virus ini nanti a

kanbinding atau terikat. Jadi di CD4 diluar dari permukaan CD4 itu ada

reseptor dimana reseptor ini cocok dengan sereptor yang di miliki oleh

virus HIV jadi mereka bisa bergabung. Karena sudah tergabung maka v

irus ini akanbinding/terikat kemudian virus ini akan mengalami fusion s

etelah itu virus HIV akan masuk kedalam sel CD4. Jadi virus HIV itu h

anya memiliki RNA tidak mempunyai DNA agar virus HIV tetap bertah

an atau berkembang biak atau reprekasi virus HIV harus memiliki DNA

oleh karena itu HIV memanfaatkan enzim reverse trancriptase untuk m

embantu mensintesa DNA dari RNA. Lalu terbentuklah DNA dari vir

us HIV. Kemudian
DNA dari virus HIV akan memasuki nucleus dari sel CD4 dan akan ber

gabung disana, dan berintegrasi dengan DNA manusia tujuannya untuk

bereplekasi karena ketika sel CD4 bereplekasi otomatis dia akan ikut be

replikasi. Setelah itu virus HIV akan assembly atau menyusun virus bar

u kemudian setelah virus barunya tersusun dan protein – protein lainny

a maka virus HIV akan bereplekasi dan menyusun dirinya menjadi baka

l/diaimatur, virus ini non infeksius. Untuk proses pematangannya setela

h sel ini meninngalkan sel CD4. Selanjutnya akanmerilist protease sehi

ngga menjadi sel yang matur atau infeksius. Karena itu sel CD4 ini aka

n menjadi parameter ketika penegakan diagnose dari HIV disebabkan C

D4 adalah target dari HIV. (Martens.et al,2014, Kummar.et al,2015).

Dengan berbagai proses kematian limfost T yang terjadi penuru

nan jumlah lmfosit T CD4 serta dramatis dari normal yang berkisar 60

0-1200/mm3 menjadi 200/mm3 atau lebih rendah lagi, sehigga pada fase

awal jumlah virus akan meningkan lebih pesat hal ini diikuti oleh penur

unan dari jumlah sel CD4, kemudian muncul reaksi imunitas yang akan

menekan atau mengurangi virus HIV. Pada fase ini jumlah virus akan m

enurun dan diikuti dengan kenaikan dari jumlah sel CD4, pada fase ini

muncul gejala akut dan berlangsung dalam hitungan minggu sampai bul

an setelah pertama kali virus HIV masuk. Karena penekanan bersifat pa

rsial atau sebagian jumlah virus akan kembali meningkat secara perlaha

n yang diikuti dengan penurunan secara perlahan dari jumlah CD4, sela

ma jumlah CD4 lebih dari 400/500 maka


biasanya tidak ada gejala, fase ini dinamakan fase infeksi kronik. Apabi

la jumlah sel CD4 terus menurun maka pertahan tubuh akan sangat mel

emah sehingga muncul infeksi oportunistik, munculnya infeksi oportuni

stik ini berlangsung dalam periode tahunan dan jika sudah terjadi maka

dinamakan sebagai AIDS (Aquarid Immunodeficiency Sindrome) (Sterli

ng dan Chaisson, 2010).


E. Pathway

Hubungan seksual deng Transfusi Tertusuk jarum b Ibu hamil


an pasangan berganti – darah yang ekas penderita HIV menderita
ganti, terinfeksi
+ dengan yang tern Virus masuk dalam
HIV
feksi HIV. HIV
tubuh lewat lukabe
rdarah
Sperma terinfeksi masuk
kedalam tubuh pasanga virus HIV menyerang T-limfosit/ CD4+, sel saraf
n lewat membrane muk makrofag, dan monosit limfosit B
osavagina, anus yang le
cet/ luka Terjadi perubahan pada structural sel diatas akiba
t transkripsi RNA virus + DNA sel sehingga terbe
ntuknya provirus

Sel pejamu (T-limfosit, magrofag, monosit B) men


galami kelumpuhan

Defisiensi pe
Kurangnya Menurunnya system kekebalan tubuh
ngetahuan te pajanan in
ntang infeksi formasi Infeksi oportunistik (IO)

Sistem GIT Integumen Sistem r Sistem respirasi Sistem


eproduksi neurologi
Virus HIV
Herpes z PCP T
+ kuman Candidiasis
oster + h (pneumonia Kriptococus
salmonella,
erpes si pneumocytis)
clostridium
mpleks Ulkus Meningitis
, candidia
genital kriptokokus
Dermatitis
Nyeri
Menginvasim serebroika Penumpu
kan sekret Perubahan
ukosa saluran
status ment
cerna
Obstruksi al, kelemah
Ruam, difus, bersisik,
jalan an, pusing
Peningkatan folikulitas, kulitkerin
peristaltik g,
mengelupas eksema Bersihan
Kekurangan
Diarecaira Kerusakan jal Intoleransi
volume
an napas tid
n
in ak efektif
aktivitas
Sumber : Desmawati, 2013
F. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis infeksi HIV terdiri dari tiga fase tergantung p

erjalanan infeksi HIV itu sendiri, yaitu: Serokonversi, Penyakit HIV asi

mtomatik, Infeksi HIV simtomatik atau AIDS

1. Serokonversi

Pertama kali saat tubuh terinfeksi virus HIV misalnya setelah

melakukan hubungan seks dengan pekerja seks komersial yang me

nderita HIV dan beberapa minggu kemudian menderita penyakit ya

ng gejalanya mirip seperti flu masa ini disebut tahap serokonfersi.

Jadi gejalannya seperti tenggorokan sakit, demam, muncul ruam –

ruam kemerahan pada kulit, pembengkakan kelenjar, penurunan be

rat badan, diare, kelelahan, nyeri persendian, nyeri otot, biasanya g

ejala – gejala ini akan bertahan 1 minggu/2 bulan. Pada tahap ini di

mana tanda – tanda tubuh berusaha melawan infeksi HIV.

2. Penyakit HIV Asimtomatis

Tahap ke 2 ini adalah masa inkubasi/masa laten itu adalah wak

tu ketika gejala – gejala flu tadi mulai mereda dan tidak menimbul

kan gejala apapun pada tubuh. Dan pada waktu ini virus HIV akan

menyebar dan merusak system kekebalan tubuh seseorang. Pada ta

hap ini tubuh akan merasa sehat dan tidak akan memiliki masalah a

papun oleh karena itu tahap ini bisa berlangsung antara 1 tahun sa

mpai 10 tahun Nasrodin (2013).


3. Infeksi HIV Simtomatik atau AIDS.

Ketika system kekebalan tubuh sudah terserang sepenuhnya ol

eh virus HIV/hilangnya imunitas seluler yang menyebabkan hancur

nya limfosit T-hepar CD4+ dengan kondisi ini jelas karena seseora

ng sudah tidak punya kekebalan tubuh maka akan sangat rentan dan

sangat mudah sekali terkena penyakit apapun atau disebut infeksi o

portunistik dan sudah masuk pada tahap AIDS (Price & Wislon; A

meltzer & Bare, 2014)

Tabel 2.1 penyakit yang menandai HIV/AIDS


1. Kandidiasis : esophageal, trakeal, atau bronchial
2. Kriptokosis, ekstraulmoner
3. Kanker serviks, infasif
4. Kriptosporidosis, intestinal kronik (>1bulan)
5. Enselopati HIV
6. Herpes smpleks dengan ulkus mukokuteneus >1bulan, bronkilis, br
onchitis atau pneumonia
7. Hitoplasmosis : tersebar atau ekstrapulmoner
8. Isosporiasis, kronik >1bulan
9. Kaposi sarcoma
10. Limfoma : burkit, imunoblastik, khususnya di otak
11. Pneumonia pneumosistis carinii
12. Leokoense palopati multifocal
13. Bakteremia salmonella
14. Toksoplasmosis, serebral
15. Wasting syndrome HIV

Definisi ini mencerminkan peningkatan kecenderungan timbu

lnya masalah yang berkaitan dengan HIV yang menyertai rendahny

a jumlah sel CD4+ secara progresif. Setelah AIDS terjadi, maka sis

tem imun sudah sedemikian terkompensasi sehingga pasien tidak

mampu lagi mengontrol infeksi oleh patogen oportunis yang pada k

ondisi normal tidak berproliferasi, serta menjadi rentan terhadap ter

jadinya beberapa keganasan. Pasien dengan AIDS yang


tidak diobati rata-rata meninggal dalam jangka waktu satu hingga ti

ga tahun.Terapi yang telah tersedia saat ini telah memperbaiki prog

nosis pasien infeksi HIV secara signifikan (Price & Wislon, 2006;

Ameltzr & Bare, 2010).

G. Komplikasi

Menurut Budhy, 2017 komplikasi yang disebabkan karena infek

si HIV memperlemah system kekebalan tubuh, yang dapat menyebabka

n penderita banyak terserang infeksi dan juga kanker tertentu. Infeksi u

mum terjadi pada HIV/AIDS antara lain:

1. Tuberculosis (TB)

Tuberkulosi pada pasien HIV sering ditemukan. Jika dilihat

dari manifestasi klinis atau gejala maka sama antara pasien normal

dan penderita HIV namun perlu penekanan bahwah pada pasien HI

V seringkali tidak menemukan gejala batuk. Juga tidak ditemukan a

danya kuman BTA pada pasien – pasien yang HIV positif karena a

danya penekanan imun sehingga dengan CD4 yang rendah membua

t tubuh tidak mampu untuk membentuk adanya granuloma/ suatu pr

oses infeksi didalam paru yang kemudian tidak bermanifes dan tida

k menyebabkan adanya dahak. Namun penderita HIV yang yang m

emiliki kuman TB sangat berisiko sepuluh kali untuk terkena Tuber

culosis terutama pada pendrita HIV/AIDS yang memiliki sel CD4 d

ibawah 200.

2. Masalah di Otak
Pasien HIV seringkali mengalami masalah diotak. Masalah

diotak yang sering dijumpai pada pasien HIV dibagi menjadi 2 :

a. Infeksi Oportunistik di Otak

Disebabkan oleh berbagai macam kuman misalnya Toksop

lasma yaitu suatu parasit atau oleh jamur meningitis criptococus,

infeksi Tuberculosis (TB).

b. Dimensia HIV/lupa atau gangguan memori pada pasien HIV Di

sebabkan oleh proses infeksi HIV itu sendiri didalam

otak yang menimbulkan berbagai reaksi peradangan diotak sehi

ngga manifestasinya adalah pasien mengeluh sering lupa dan m

engalami kesulitan untuk melakukan ativitas harian akibat me

mori jangka pendeknya terganggu. Deminsia HIV merupakan s

uatu keadaan yang harus didiagnosis karena penyakit ini jika te

rjadi pada seorang pasien HIV dapat mengganggu pengobatan,

pasien akan lupa untuk minum obat.

3. Meningitis

Pasien dengan gejala meningitis paling sering dengan 4 tan

da dan keluhan nyeri kepala, panas badan, kemudian penurunan kes

adaran dan juga adanya kaku kuduk.

4. Hepatitis C

Pasien HIV dengan hepatitis C biasanya terjadi pada pasie

n HIV akibat Injection Drug User (IDU). Gejala awal yang dirasak

an yaitu mudah lelah, tidak nafsu makan dan bisa tibul mata yang k

uning lalu kemudian perut membuncit, kaki bengkak dan


gangguan kesadaran. Pasien HIV dengan hepatitis kemungkinan le

bih besar untuk terjadi penyakit kronik/hepatitis kronik jka tidak di

obati maka akan terjadi serosis hati, setelah itu bisa menjadi kanker

hati yang akan menimbulkan kematian.

5. Koinfeksi sifilis dan HIV

Biasanya terjadi pada pasien Male Sex Male (MSM) yang te

rinfeksi HIV, sifilis adalah suatu infeksi menular seksual yang dise

babkan oleh karena bakteri Treponemapalidum.Bakteri ini dapat m

eyerang sistemik, awalnya melakukan infeksi lokal pada tempat ko

ntak seksual bisa di oral, genetal ataupun di anus dan kemudian ber

kembang menimbulkan gejala ulkus kelamin. Koinfeksi HIV meny

ebabkan manifestasi klinis sifilis menjadi lebih berat yang disebut

Sifilis Maligna, meyebar luas ke seluruh badan sampai ke mukosa.

H. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan HIV

a. Skrining HIV

Untuk mengetahui tingkat resiko infeksi dan juga pola hidu

p kesehraian, apakah memang benar faktor resiko tinggi untuk

menderita penyakit HIV.

b. Tes Serologi/Tes Antibody

i. Rapid test

ii. Tes ELISA

c. Tes Konfirmasi
i. Wastern blot

ii. Indirect Fluorescent Antibody(IFA)

d. Deteksi Virus

i. Antigen P24

ii. Viral load/PCR

2. Pemeriksaan Infeksi Oportunistik

a. Hitung sel T CD4

Pemeriksaan sel CD4 ini dilakukan apabila pasien ada geja

la infeksi oportunistik, untuk melihat apakah pasien memerlukan

pencegahan kotrimoksasol.

b. Viral load (VL)

Di periksa setelah pasien minum obat ARV 6 bulan kemudi

an.Dan seharusnya viral load sudah tidak terdeteksi.Jika viral loa

d kurang dari 1000 sudah menunjukan pengobatan baik. Namun ji

ka viral load lebih dari 1000 maka harus dilakukan pengulangan l

agi apakah terjadi adanya resistensi obat. Viral load adalah jumla

h virus yang ada didalam darah.

I. Penatalaksanaan

1. Farmakologi

a. Terapi antiretroviral (ARV)

Terapi antiretroviral berfungsi untuk memperlama/ mengha

mbat perkembangan dari virus HIV sehingga perkembangan men

uju AIDS bisa dalam waktu lama. Pengobatan biasanya dimulai

ketika CD4 menurun , begitu seseorang start


melakukan pengobatan HIV menggunakan ARV maka penderita

harus meminum obat tersebut seumur hidup secara rutin dan jang

an sampai terlewat/putus obat tujuannya untuk menjaga jumlah ka

dar CD4 dalam tubuh dan mempertahankan kekebalan tubuh (Nu

rsalam & Ninuk, 2013).

b. Golongan Obat ARV

Menurut Desmawati, 2013 dijelaskan ada beberapa

golongan dari obat ARV antara lain yaitu:

i. Nucleoside Reverse Trancriptase Inhibitor (NRTI)

Jenis – jenis obat HIV berdasarkan nama generic:

1. Zidovudine

2. Didanosine

3. Zalzitabine

4. Stavudine

5. Lamivudne

6. Abacavir Tenofovir

ii. Nucleotide Reverse Transcriptase Inhibitor (NRTI) yang termas

uk golongan ini adalah Tenofir (TDF).

iii. Non-Nuleuside Reverse Transcriptase Inhibitor (NRTI) golong

an ini juga bekerja dengan menghambat proses perubahan RNA

menjadi DNA dengan mengikat reverse transcriptase sehingga

tidak berfungsi.

Golongan Non-nucleouside reverse transcriptase inhibit

or berdasarkan ama genetic:


1. Nevairavine

2. Delavirdine

3. Efavirenz

4. Protease inhibitor (PI)

Menghalangi kerja enzim protease yang berfungsi m

emotong DNA yang dibentuk oleh virus dengan ukuran ya

ng besar untuk memproduksi virus baru, contoh obat golo

ngan ini adalah :

a. Indinavir (IDV)

b. Nelvinavir (NFV)

c. Squinavir (SQV)

d. Ritonavir (RTV)

e. Amprenavir (APV)

f. Leponavir/ ritonavir (LPV/


R)

iv. Fusion Inhibitor

Menghambat menempelnya virus dengan sel lmfosit melal

ui sel CD4. Fusion inhibitor iniyang termasuk golongan ini ada

lah Enfuvirtide (T-20),

c. Vaksin dan Rekonstruksi Imun

Tantangan terapiutik untuk pengobatan AIDS tetap ada.Seja

k agen penyebab infeksi HV dan AIDS dapat diisolasi, pengemban

gan vaksin telah diteliti secara aktif. Upaya – upaya rekontruksi im

un juga sedang diteliti dengan agen tersebut seperti interferon. Pene

litian yang akan datang tidak di ragukan lagi untuk


menghasilkan obat – obat tambahan dan protocol tindakan terhadap

penyakit ini (Desmawati, 2013).

2. Terapi Non Farmakologi

a. Pemberian nutrisi

Defisiensi gizi pada pasien positif HIV biasanya dihubungk

an dengan adanya peningkatan kebutuhan karena adanya infeksi p

enyerta/infeksi oportunistik. Disaat adanya infeksi penyerta lainn

ya maka kebutuhan gizi tentunya akan meningkat. Jika peningkat

an kebutuhan gizi tdak di imbangi dengan konsumsi makanan yan

g di tambahkan atau gizi yang ditambah maka kekurangan gizi ak

an terus memburuk, akhirnya akan menghasilkan sebuah kondisi

yang tidak menguntungkan bagi dengan positif HIV. Yang harus

dilakukan adalah mengatasi kekurangan gizi ini :

i. Mengkonsumsi makanan dengan kepadatan gizi yang lebih ting

gi dari makan biasanya.

ii. Minuman yang di konsumsi upayakan adalah mi numan yang b

erenergi (Desmawati, 2013).

Selain mengkonsumsi jumlah nutrisi yang tinggi, penderita

HIV/AIDS juga harus mengkonsumsi suplementasi atau nutrisi ta

mbahan.Tujuan nutrisi agar tidak terjadi defisiensi vitamin dan mi

neral.

b. Aktivitas dan Olahraga


Olahraga yang dilakukan secara teratur sangat me

mbantu efeknya juga menyehatkan.Olahraga secara teratu

r menghasilkan perubahan pada jaringan, sel, dan protein

pada system imun.

2. Konsep Kanker Paru

A. Definisi
Kanker paru-paru adalah pertumbuhan sel kanker yang tidak terkendal
i dalam jaringan paru-paru dapat disebabkan oleh sejumlah karsinogen, lingku
ngan, terutama asap rokok ( Suryo,2010).
Kanker paru (bronchogeniccarcinoma) adalah penyakit yang ditandai dengan ti
dak terkendalinya pertumbuhan seldalam jaringan paru, terutama sel-sel yang
melapisi bagian pernapasan (AtiyehHashemi,dkk, 2013: 165)

Kanker Paru dalam arti luas adalah semua penyakit keganasan di paru,mencak
up keganasan yang berasal dari paru sendiri (primer) atau penyebaran(metastas
is) tumor dari organ lain. Definisi khusus untuk kanker paru primer yaknitumo
r ganas yang berasal dari epitel (jaringan sel) saluran napas atau bronkus.Sedan
gkan menurut National Cancer Institute, kanker paru adalah kanker yangterben
tuk pada jaringan di paru, biasanya di lapisan sel-sel saluran udara (Syahruddin,
2006).

B. Anatomi Fisiologi Paru

Paru merupakan organ yang elastis dan terletak di dalam rongga dada bagian
atas, bagian samping dibatasi oleh otot dan rusuk dan bagian bawah dibatasi
oleh diafragma yang berotot kuat. Paru terdiri dari dua bagian yang dipisahkan
oleh mediastinum yang berisi jantung dan pembuluh darah. Paru kanan
mempunyai tiga lobus yang dipisahkan oleh fissura obliqus dan horizontal,
sedangkan paru kiri hanya mempunyai dua lobus yang dipisahkan oleh fissura
obliqus. Setiap lobus paru memiliki bronkus lobusnya masing-masing. Paru
kanan mempunyai sepuluh segmen paru, sedangkan paru kiri mempunyai
sembilan segmen (Syaifuddin, 2011).

Paru diselubungi oleh lapisan yang mengandung kolagen dan jaringan elastis,
dikenal sebagai pleura visceralis. Sedangkan lapisan yang menyelubungi
rongga dada dikenal sebagai pleura parietalis. Di antara kedua pleura terdapat
cairan pleura yang berfungsi untuk memudahkan kedua permukaan pleura
bergerak selama bernafas dan untuk mencegah pemisahan thoraks dan paru.
Tekanan dalam rongga pleura lebih rendah dari tekanan atmosfer, sehingga
mencegah terjadinya kolaps paru. Selain itu rongga pleura juga berfungsi
menyelubungi struktur yang melewati hilus keluar masuk dari paru.

Paru dipersarafi oleh pleksus pulmonalis yang terletak di pangkal tiap paru.
Pleksus pulmonalis terdiri dari serabut simpatis (dari truncus simpaticus) dan
serabut parasimpatis (dari arteri vagus). Serabut eferen dari pleksus ini
mempersarafi otot-otot bronkus dan serabut aferen diterima dari membran
mukosa bronkioli dan alveoli (National Cancer Institute, 2015)

Paru-paru dan dinding dada adalah struktur yang elastis. Dalam keadaan
normal terdapat lapisan cairan tipis antara paru-paru dan dinding dada
sehingga paru-paru dengan mudah bergeser pada dinding dada. Tekanan pada
ruangan antara paru-paru dan dinding dada berada di bawah tekanan atmosfer.
Fungsi utama paru-paru yaitu untuk pertukaran gas antara darah dan atmosfer.
Pertukaran gas tersebut bertujuan untuk menyediakan oksigen bagi jaringan
dan mengeluarkan karbon dioksida. Kebutuhan oksigen dan karbon dioksida
terus berubah sesuai dengan tingkat aktivitas dan metabolisme seseorang tapi
pernafasan harus tetap dapat memelihara kandungan oksigen dan karbon
dioksida tersebut. Fungsi utama paru-paru yaitu untuk pertukaran gas antara
darah dan atmosfer. Pertukaran gas tersebut bertujuan untuk menyediakan
oksigen bagi jaringan (Guyton, 2007).

C. Etiologi
Seperti umumnya kanker yang lain, penyebab yang pasti dari kanker
paru belum diketahui, tapi merokok dan paparan atau inhalasi berkepanjangan
suatu zat yang bersifat karsinogenik merupakan faktor resiko utama. Beberapa
faktor risiko penyebab terjadinya kanker paru adalah (Stopler, 2010):
a. Merokok
Rokok merupakan faktor yang berperan paling penting yaitu 85% dari seluruh
kasus. Kejadian kanker paru pada perokok dipengaruhi oleh usia mulai
merokok, jumlah batang rokok yang diisap setiap hari, lamanya kebiasaan
merokok, dan lamanya berhenti merokok.

b. Perokok pasif

Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa pada orang-orang yang tidak


merokok, tetapi mengisap asap rokok dari orang lain, risiko menderita kanker
paru meningkat dua kali.

c. Polusi udara

Kematian akibat kanker paru juga berkaitan dengan polusi udara, tetapi
pengaruhnya kecil bila dibandingkan dengan merokok. Kematian akibat
kanker paru jumlahnya dua kali lebih banyak di daerah perkotaan
dibandingkan dengan daerah pedesaan.

d. Paparan zat karsinogen

Beberapa zat karsinogen seperti asbestos, uranium, radon, arsen, kromium,


nikel, polisiklik hidrokarbon, dan vinil klorida dapat menyebabkan kanker
paru. Risiko kanker paru di antara pekerja yang menangani asbes kira-kira
sepuluh kali lebih besar daripada masyarakat umum.

e. Genetik

Terdapat bukti bahwa anggota keluarga pasien kanker paru berisiko lebih besar
terkena penyakit ini. Penelitian sitogenik dan genetik molekuler
memperlihatkan bahwa mutasi pada protoonkogen dan gengen penekan tumor
memiliki arti penting dalam timbul dan berkembangnya kanker paru.

f. Penyakit paru

Penyakit paru seperti tuberkulosis dan penyakit paru obstruktif kronik juga
dapat menjadi risiko kanker paru. Seseorang dengan penyakit paru obstruktif
kronik berisiko empat sampai enam kali lebih besar terkena kanker paru.

g. Metastase dari organ lain

Kanker paru yang merupakan metastase dari organ lain adalah kanker paru
sekunder. Paru-paru menjadi tempat berakhirnya sel kanker yang ganas.
Meskipun stadium penyakitnya masih awal, seolah-olah pasien menderita
penyakit kanker paru stadium akhir. Di bagian organ paru, sel kanker terus
berkembang dan bisa mematikan sel imunologi. Artinya, sel kanker bersifat
imortal dan bisa menghancurkan sel yang sehat supaya tidak berfungsi. Paru-
paru itu adalah end organ bagi sel kanker atau tempat berakhirnya sel kanker,
yang sebelumnya dapat menyebar di area payudara, ovarium, usus, dan lain-
lain

D. Patofisiologi
Dari etiologi yang menyebabkan Ca paru ada 2 jenis yaitu primer dan
sekunder. Primer yaitu berasal dari merokok, asap pabrik, zat karsinogen, dll
dan sekunder berasal dari metastase organ lain, Etiologi primer menyerang
percabangan segmen/sub bronkus menyebabkan cilia hilang. Fungsi dari cilia
ini adalah menggerakkan lendir yang akan menangkap kotoran kecil agar
keluar dari paru-paru. Jika silia hilang maka akan terjadi deskuamasi sehingga
timbul pengendapan karsinogen. Dengan adanya pengendapan karsinogen
maka akan menimbulkan ulserasi bronkus dan menyebabkan metaplasia,
hyperplasia dan displasia yang selanjutnya akan menyebabkan Ca Paru
(Nurarif & Kusuma, 2015).Ca paru ada beberapa jenis yaitu karsinoma sel
skuamosa, adenokarsinoma, karsinoma sel bronkoalveolar, dan karsinoma sel
besar. Setiap lokasi memiliki tanda dan gejala khas masing masing. Pada
karsinoma sel skuamosa, karsinoma bronkus akan menjadi berkembang
sehingga batuk akan lebih sering terjadi yang akan menimbulkan iritasi,
ulserasi, dan pneumonia yang selanjutnya akan menimbulkan himoptosis.
Pada adenokarsinoma akan menyebabkan meningkatnya produksi mukus yang
dapat mengakibatkan penyumbatan jalan nafas. Sedangkan pada karsinoma
sel bronkoalveolar sel akan membesar dan cepat sekali bermetastase sehingga
menimbulkan obstruksi bronkus dengan gejala dispnea ringan.
Pada karsinoma sel besar akan terjadi penyebaran neoplastik ke mediastinum
sehingga timbul area pleuritik dan menyebabkan nyeri akut. Pada stadium
lanjut, penurunan berat badan biasanya menunjukkan adanya metastase,
khususnya pada hati. Kanker paru dapat bermetastase ke struktur–struktur
terdekat seperti kelenjar limfe, dinding esofagus, pericardium, otak, tulang
rangka (Nurarif & Kusuma, 2015).

Sedangkan pada Ca paru sekunder, paru-paru menjadi tempat berakhirnya sel


kanker yang ganas. Meskipun stadium penyakitnya masih awal, seolah-olah
pasien menderita penyakit kanker paru stadium akhir. Di bagian organ paru,
sel kanker terus berkembang dan bisa mematikan sel imunologi. Artinya, sel
kanker bersifat imortal dan bisa menghancurkan sel yang sehat supaya tidak
berfungsi. Paru-paru itu adalah end organ bagi sel kanker atau tempat
berakhirnya sel kanker, yang sebelumnya dapat menyebar di area payudara,
ovarium, usus, dan lain-lain (Stopler, 2010)
E. Pathway

F. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis Manifestasi klinis Ca Paru sesuai dengan lokasinya,
manifestasi klinis yang timbul adalah :
Adenokarsinoma Karsinoma Sel Karsinoma Sel Karsinoma Sel
Dan Bronkoalveolar Skuamosa kecil besar

Tanda dan Gejala Tanda dan Tanda dan Tanda dan Gejala
Gejala Gejala
1. Nafas dangkal 1. Batuk
1. Batuk 1. SIADH
2. Batuk berkepanjangan
( Syndrome of
2. Dyspnea
3. Penurunan nafsu Inappropriate 2. Nyeri dada
3. Nyeri dada Antidiuretic
makan saat
4. Atelektasis Hormone)
4. Trosseau menghirup
5. Pneumonia 2. Sindrom
Syndrome 3. Suara serak
postobstruktif chusing
4. Sesak napas
6. Mengi 3. Hiperkalsemia

7. Hemoptisis 4. Batuk

5. Stridor

6. Nafas dangkal

7. Sesak nafas

8. Anemia

G. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada kanker paru ini
adalah pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan laboratorium ditujukan untuk :
a. menilai seberapa jauh kerusakan yang ditimbulkan oleh kanker paru

b. kerusakan pada paru dapat dinilai dengan pemeriksaan faal paru atau
pemeriksaan analisis gas

c. menilai seberapa jauh kerusakan yang ditimbulkan oleh kanker paru pada
organ-organ lainnya

d. menilai seberapa jauh kerusakan yang ditimbulkan oleh kanker paru pada
jaringan tubuh baik oleh karena tumor primernya maupun oleh karena
metastasis.

Menurut Purba & Wibisono,2015 Beberapa pemeriksaan penunjang yang


dapat dilakukan adalah :
a. Radiologi

Pemeriksaan radiologi adalah pemeriksaan yang paling utama dipergunakan


untuk mendiagnosa kanker paru. Pemeriksaan yang biasa dilakukan adalah
Rongent Thorax, CT-Scan Thorax, dan pemeriksaan radiologi lainnya.
Pemeriksaan ini dilakukan untuk menentukan keganasan tumor dengan melihat
ukuran tumor, kelenjar getah bening, dan metastasis ke organ lain.

b. Sitologi Sputum

Merupakan metode pemeriksaan kanker paru yang mempunyai nilai diagnostik


yang tinggi dengan komplikasi yang rendah. Pemeriksaan dilakukan dengan
mempelajari sel pada jaringan. Pemeriksaan sitologi dapat menunjukkan
gambaran perubahan sel, baik pada stadium prakanker maupun kanker.
Pemeriksaan sputum adalah salah satu

teknik pemeriksaan yang dipakai untuk mendapatkan bahan sitologik.

c. Bronkoskopi

Setiap pasien yang dicurigai menderita tumor bronkus merupakan indikasi


untuk bronkoskopi. Dengan menggunakan bronkoskop fiber optik, perubahan
mikroskopik mukosa bronkus dapat dilihat berupa nodul atau gumpalan
daging. Bronkoskopi akan lebih mudah dilakukan pada tumor yang letaknya di
sentral. Tumor yang letaknya di perifer sulit dicapai oleh ujung bronkoskop.

d. Biopsi Transtorakal

Biopsi aspirasi jarum halus transtorakal banyak digunakan untuk mendiagnosis


tumor pada paru terutama yang terletak di perifer.

e. Torakoskopi

Torakoskopi adalah cara lain untuk mendapatkan bahan guna pemeriksaan


histopatologik untuk kanker paru. Torakoskopi adalah pemeriksaan dengan
alat torakoskop yang ditusukkan dari kulit dada ke dalam rongga dada untuk
melihat dan mengambil sebagian jaringan.

f. Transbroncial Needle Aspiration ( TBNA )

Teknik transbrocial needle aspiration (TBNA) bersifat minimal invasive,


pemeriksaan ini akan mengambil sampel jaringan melalui kulit dengan
menggunakan coring needle atau fine-bore needle. Transbroncial needle
aspiration (TTNA) adalah tindakan biopsi jaringan paru dan organ di
sekitarnya, yang biasa dilakukan untuk diagnosis kanker paru, lesi pleura, dan
tumor mediastinum.

g. Petanda Tumor
Petanda tumor seperti pemeriksaan laboratorium CEA, Cyrfra21-1 dan NSE

h. Pemeriksaan biologi molekuler

Pemeriksaan biologi molekuler telah semakin berkembang, cara yang paling


sederhana dapat menilai ekspresi beberapa gen atau produk gen yang terkait
dengan kanker paru, seperti protein p53, bcl2. Manfaat utama dari
pemeriksaan biologi molekuler adalah menentukan prognosis penyakit.

H. Penatalaksanaan
Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2017,
manajemen penatalaksanaan pada penyakit kanker paru dibagi berdasarkan
klasifikasinya. Pada kanker paru jenis karsinoma bukan sel kecil (KPKBSK),
terdiri dari berbagai jenis, antara lain adalah karsinoma sel skuamosa (KSS),
adenokarsinoma, karsinoma bukan sel kecil (KBSK) penatalaksanaannya
tergantung pada stadium penyakit, tampilan umum penderita, komorbiditas,
tujuan pengobatan, dan cost-effectiveness.
Modalitas penanganan yang tersedia adalah bedah, radiasi, dan kemoterapi.
Penatalaksanaan kanker paru karsinoma bukan sel kecil antara lain:

a. Bedah

Terapi utama untuk sebagian besar KPBSK, terutama stadium I-II dan stadium
IIIA yang masih dapat direseksi setelah kemoterapi neoadjuvan. Jenis
pembedahan yang dapat dilakukan adalah lobektomi, segmentektomi dan
reseksi sublobaris. Pasien dengan kardiovaskular atau kapasitas paru yang
lebih rendah, pembedahan segmentektomi dan reseksi sublobaris paru
dilakukan.

b. Radioterapi

Radioterapi dalam tatalaksana kanker paru Bukan Sel Kecil (KPKBSK) dapat
berperan di semua stadium KPKBSK sebagai terapi kuratif definitif, kuratif
neoajuvan atau ajuvan maupun paliatif. Radioterapi dapat diberikan pada
stadium I yang menolak dilakukan operasi setelah evaluasi bedah thoraks dan
pada stadium lokal lanjut (Stadium II dan III) konkuren dengan kemoterapi.
Pada pasien Stadium IIIA resektabel, kemoterapi pre operasi dan radiasi pasca
operasi merupakan pilihan. Pada pasien Stadium IV, radioterapi diberikan
sebagai paliatif atau pencegahan gejala (nyeri, perdarahan, obstruksi).

c. Kemoterapi

Kemoterapi dapat diberikan sebagai modalitas neoadjuvant pada stadium dini,


atau sebagai adjuvant pasca pembedahan. Terapi adjuvant dapat diberikan
pada KPKBSK stadium IIA, IIB dan IIIA. Pada KPKBSK stadium lanjut,
kemoterapi dapat diberikan dengan tujuan pengobatan jika tampilan umum
pasien baik.

Kemoterapi adalah sebagai terapi paliatif pada pasien dengan stadium lanjut.
Penatalaksanaan kanker paru karsinoma sel kecil (KPKSK) berbeda dengan
KPBSK, pasien dengan KPKSK, penatalaksanaan dilakukan berdasarkan
stadium, antara lain :

a. Stadium terbatas

Pilihan modalitas terapi pada stadium ini adalah kombinasi dari kemoterapi
berbasis-platinum dan terapi radiasi toraks. Kemoterapi dilakukan paling
banyak 4-6 siklus, dengan peningkatan toksisitas yang signifikan jika
diberikan lebih dari 6 siklus. Regimen terapi kombinasi yang memberikan
hasil paling baik adalah concurrent therapy, dengan terapi radiasi dimulai
dalam 30 hari setelah awal kemoterapi. Regimen kemoterapi yang tersedia
untuk stadium ini adalah EP, sisplatin/karboplatin dengan etoposid (pilihan
utama, sisplatin/karboplatin dengan irinotekan. Reseksi bedah dapat dilakukan
dengan kemoterapi adjuvant atau kombinasi kemoterapi dan radiasi terapi
adjuvant pada TNM stadium dini, dengan/tanpa pembesaran kelenjar getah
bening.

b. Stadium lanjut

Pilihan utama modalitas terapi stadium ini adalah kemoterapi kombinasi.


Regimen kemoterapi yang dapat digunakan pada stadium ini adalah:
sisplatin/karboplatin dengan etoposid (pilihan utama), atau
sisplatin/karboplatin dengan irinotekan. Pilihan lain adalah radiasi paliatif pada
lesi primer dan lesi metastasis.

2.1 Konsep Tata Laksana Paliatif Pada Pasien Kanker


A. Program Paliatif Pada Pasien Kanker Dewasa
Integrasi perawatan paliatif ke dalam penatalaksanaan kanker terpadu telah la
ma dianjurkan oleh Badan Kesehatan Dunia, WHO, seiring dengan terus meni
ngkatnya jumlah pasien kanker sebagai akibat dari meningkatnya usia harapan
hidup manusia.
Program paliatif merupakan pendekatan yang efektif bagi pasien yang penyaki
tnya tidak dapat disembuhkan untuk mengurangi penderitaan dan memperbaik
i kualitas hidup pasien dan keluarganya. Hai ini untuk mengantisipasi masalah
yang mungkin timbul dan meminimalkan dampak dari progresifitas penyakit s
ehingga pasien dapat berfungsi semaksimal mungkin sesuai dengan kondisiny
a sebelum akhirnya meninggal.
Pada pelayanan paliatif, pasien memiliki peran yang penting dalam membuat
keputusan yang akan diambil. Tujuan pelayanan paliatif bagi setiap pasien ber
beda dan dibuat dengan memperhatikan hal yang ingin dicapai oleh pasien bil
a memungkinkan, hal ini biasanya disampaikan dalam bentuk fungsi tubuh.
Secara umum pelayanan paliatif bertujuan untuk menghilangkan nyeri dan gej
ala lain, meningkatkan kualitas hidup, memberikan dukungan psikososial dan
spiritual serta memberikan dukungan kepada keluarga selama pasien sakit dan
selama masa dukacita. Implementasi program paliatif di masyarakat dan fasya
nkes adalah dengan memperhatikan prinsip mampu laksana, optimal, efektif, e
fisien dan menitikberatkan pada kebutuhan serta kenyamanan pasien pada stad
ium lanjut. Petugas kesehatan harus dapat merubah pola pikir dengan menged
epankan pendekatan pelayanan paliatif tanpa mengabaikan kuratif.

B. Komunikasi dan Aspek Non Medis


1. Komunikasi dan pembuatan keputusan
Komunikasi antara dokter dan petugas kesehatan lain dengan pasien dan k
eluarga serta antara pasien dan keluarga merupakan hal yang penting dala
m perawatan paliatif. Pasien adalah pribadi yang harus dihargai haknya un
tuk mengetahui atau tidak mengatahui kondisi penyakitnya. Pasien juga m
erupakan individu yang berhak menentukan tindakan yang akan dilakukan
terhadapnya jika pasien masih memilki kompetensi untuk membuat keput
usan. Pada fase akhir kehidupan banyak pasien yang tidak lagi mampu me
mbuat keputusan, sehingga pembicaraan tentang apa yang akan atau tidak
dilakukan sebaiknya diputuskan pada saat pasien masih memiliki kesadara
n penuh. Walaupun demikian keluarga tetap dapat dilibatkan dalam penga
mbilan keputusan. Dalam menyampaikan BERITA BURUK, hal hal berik
ut ini harus diperhati-kan: Apa, sejauh mana, kapan, dengan siapa dan bag
aimana cara menyampaikan berita tersebut. Dalam hal ini, dokter dan petu
gas kesehatan lain harus memperhatikan kultur yang dianut pasien dan kel
uarga.

2. Kualitas hidup
Meningkatnya kualitas hidup pasien kanker merupakan indikator keberhas
ilan pelayanan paliatif. Kualitas hidup pasien kanker diukur dengan Modif
ikasi dari Skala Mc Gill (10 indikator yang harus dinilai oleh pasien sendir
i), yaitu :
INDIKATOR NILAI 1-10
Secara fisik saya merasa... Sangat buruk,,,sangat baik
Saya tertekan atau cemas Selalu...tidak pernah
Saya sedih Selalu...tidak pernah
Dalam melihat ke depan Selalu takut...tidak takut
Keberadaan saya Tidak berarti tanpa tujuan...sangat b
erarti dan bertujuan
Dalam mencapai tujuan hidup Tidak mencapai tujuan...mencapai tu
juan
Saya... Tidak...sangat dapat mengontrol hid
up saya
Sebagai pribadi Tidak baik...sangat baik
Hari saya Sebagai beban...sebagai anugrah
Saya merasa... Tidak mendapat dukungan...mendap
at dukungan penuh

3. Aspek psikososial, spiritual dan kultural


a. ASPEK PSIKOSOSIAL
Manifestasi gangguan psikososial yang timbul dapat bermacam-maca
m seperti gangguan cemas, depresi, perubahan perilaku, gangguan pen
yesuaian dengan berbagai keluhan penyerta, sampai kondisi gangguan
jiwa berat. Gangguan psikososial penderita kanker mencakup aspek ya
ng sangat luas, baik yang bersumber pada kondisi penyakitnya, keprib
adian, latar belakang kehidupan penderita, keluarga, budaya, agama da
n sebagainya. Lakukan penilaian gangguan psikososial secara umum d
engan menggunakan cara-cara sederhana yang lebih mengandalkan ob
servasi terhadap beberapa hal :
1) Keadaan mental-emosional dan hubungan interpersonal (termasuk
hubungan dengan anggota keluarga dan orang lain)
2) Kemampuan fungsi sosial dalam kehidupan penderita sehari-hari
3) Kemampuan melakukan kegiatan yang bersifat rekreatif, hobbi
4) Penilaian terhadap faktor psikososial lain (finansial dan hubungan
antar anggota baik dalam keluarga maupun masyarakat, termasuk h
ubungan intim suami istri)

Tahapan psikologi pasien dalam menghadapi kondisi sakit menurut Eli


sabeth Kubler-Ross mempostulasikan lima tahap yang dilalui pasien d
alam menghadapi bayangan akan kematian, yang dapat bermanfaat unt
uk membantu memahami kondisi pasien dalam berbagai tahap tersebut,
yaitu:
1) Denial (penyangkalan)
2) Anger (marah)
3) Bargaining (tawar menawar)
4) Depresi
5) Acceptance (menerima)

b. ASPEK SPIRITUAL
1) Setiap manusia baik dia religius maupun tidak, mempunyai sisi spi
ritual yang unik bagi dirinya sendiri. Spiritual mengarah pada tujua
n dan arti keberadaan individu.
2) Diskusikan hal-hal berkaitan dengan spiritual yang dialami oleh pa
sien selama perawatan, terutama pada kasus yang berat/sta-dium la
njut. Masalahnya mungkin berkaitan dengan arti atau nilai-nilai ke
hidupan mereka, puas ataukah merasa bersalah dengan kehidupann
ya dimasa lalu, rasa marah atau merasa tidak adil, dan pertanyaan s
eputar penderitaan atau misteri kematian.
3) Pasien yang menganggap penyakitnya sebagai hukuman atau peng
hianatan memerlukan pendekatan spiritual yang lebih intens.

Pendampingan oleh relawan :


1) Perubahan perilaku pasien merupakan beban mental yang berat ba
gi keluarga, sehingga tidak jarang keluarga pasien juga ikut mende
rita baik psikis maupun fisiknya. Kelelahan dan rasa jenuh keluarg
a dalam merawat penderita bisa dibantu dengan pendampingan ole
h relawan.
2) Beri pemahaman aspek psikososial pada penderita dan keluar-ga se
lama dalam perawatan sebelum melakukan pendam-pingan
3) Asah kemampuan berkomunikasi dengan baik dan benar pada rela
wan dalam mendampingi penderita dan keluarganya.
4) Tunda pendampingan oleh relawan yang sedang memiliki masalah
dan bantu relawan tersebut untuk melakukan ”ventilasi” dengan a
man.
5) Memberikan perawatan dengan empati.
6) Untuk menjaga agar semangat relawan tetap stabil, maka secara be
rkala dianjurkan untuk merefleksikan tujuan semula yang mulia un
tuk menolong sesama agar tidak jenuh dan patah semangat.

c. ASPEK KULTURAL
1) Kultur sangat mempengaruhi sikap pasien terhadap penyakit, nyeri,
dan kematian.
2) Kurangnya perhatian terhadap latar belakang kultur mempengaruhi
penerimaan pasien terhadap penyakitnya. Komunikasi menggunak
an bahasa pasien sangat diperlukan.

4. Aspek nutrisi pada perawatan kanker dewasa


a. Terapi nutrisi pada pasein kanker yang sedang menjalani terapi
1) Kebutuhan kalori
2) Kebutuhan protein
3) Kebutuhan mikronutrien
4) Kebutuhan EPA
b. Terapi nutrisi pada pasien kanker terminal
Enteral nutrition dapat diberikan untuk mengurangi penurunan berat b
adan, selama diinginkan oleh pasien proses kematian belum mulai. Bil
a akhir kehidupan sudah sangat dekat, umumnya pasien hanya membut
uhkan sedikit makanan dan minuman untuk mengurangi lapar dan hau
s. Berikan minuman untuk mencegah dehidrasi. Pemberian cairan intra
vena juga dapat diberikan sebagai jalan untuk pemberian obat. Jika tid
ak tersedia akses intravena, dan pasien memerlukan cairan untuk menc
egah gejala akibat dehidrasi, cairan dapat diberikan melalui subku-tan
dengan junlah antara 500 ml -1000 ml, sesuai jumlah urine per 24 jam
ditambah EWL. Bila diperlukan nutrisi parenteral dapat diberikan pada
pasien kanker dengan penurunan berat badan dan penurunan asupan nu
trisi. (ESPEN 2009). Stadium terminal yang belum memasuki fase ter
minal yaitu jika nutrisi tidak dapat diberikan nutrisi melalui oral atau e
nteral.

C. Tata Laksana Gejala Fisik


1. Nyeri
Tata laksana nyeri:
Sesuai dengan penyebab yang ada dan prinsip tata laksana yang digunakan
di perawatan paliatif, modalitas yang dapat digunakan adalah sebagai beri
kut:
a. Medikamentosa : Analgetik: NSAID, Non opioid, Opioid; Adjuvant (k
ortikosteroid, antidepresan, anti epilepsi, relaksan otot, antispas modi
k)
b. Nonmedikamentosa
1) Fisik: kompres hangat, TENS
2) Interupsi terhadap mekanisme nyeri: anestesi, neurolisis dan neuro
surgery
3) Modifikasi lingkungan dan gaya hidup: hindari aktifitas yang mem
acu atau memperberat nyeri, immobilisasi bagian yang sakit denga
n alat, gunakan alat bantu untuk jalan atau kursi roda
4) Psikologis: penjelasan untuk mengurangi dampak psikologis
5) Relaksasi, cognitive-behavioural terapy, psychodynamic terapy
c. Lain-lain
Modifikasi terhadap proses patologi yang ada: diperlukan pada kondisi
darurat seperti patah tulang karena proses metastase, resiko patah tulan
g pada tulang penyang-ga tubuh, metastase ke otak, leptomeningeal ata
u epidural, obstruksi memerlukan radioterapi dan infeksi memerlukan
antibiotik.

Penggunaan analgetik dan obat adjuvant sangat penting. Digunakan pedo


man WHO STEP LADDER sebagai dasar pemberi-an obat (WHO Geneva,
1986 disesuaikan dengan obat yang tersedia di Indonesia).
Penatalaksanaan nyeri pada fase terminal dari stadium terminal (kematian
diperkirakan dalam hari atau minggu), adalah sebagai berikut :
a. Jangan kurangi dosis opioid semata mata karena penurunan tensi, respi
rasi atau kesadaran, namun pertahankan sampai mencapai kenyamanan
b. Perhatikan adanya neurotoksisitas karena opioid termasuk hyperalgesi
a
c. Bila pengurangan dosis diperlukan, kurangi 50% dosis 24 jam
d. Gantikan cara pemberian opioid bila diperlukan (oral, sk, iv, transderm
al) dengan dosis konversi
e. Bila terdapat refractory pain (nyeri alih), pertimbangkan sedasi.

2. Gangguan Sistem Pencernaan


Tata laksana:
a. Atasi dasar penyebab :
1) Review obat obat yang diberikan
2) Berikan obat untuk kandidiasis
b. Non-Medikamentosa: lakukan perawatan mulut seperti di bawah
c. Medikamentosa: Pilocarpin solution 1mg/1ml, 5 ml kumur 3 x sehari

3. Gangguan Sistem Pernafasan


Gangguan pernafasan merupakan salah satu keluhan yang sangat menggan
ggu pasien dan keluarganya. Prinsip penanganannya seperti keluhan yang
lain, yaitu mengatasi penyebabnya bila mungkin dan simtomatis untuk me
mberikan kenyamanan pasien dan mengurangi kecemasan keluarga

4. Fatigue/Kelemahan
Tata laksana:
a. Koreksi penyebab yang dapat dikoreksi: gangguan tidur, gangguan ele
ktrolit, dehidrasi, anemia, infeksi
b. Review penggunaan obat
c. Non medikamentosa : Olahraga, fisioterapi dan okupasional terapi aka
n menambah kebugaran, meningkatkan kualitas tidur, memperbaiki em
osi dan kualitas hidup.
d. Medikamentosa : dexametason 2 mg pagi hari. Bila dalam 5 hari tidak
menunjukkan perbaikan, hentikan

5. Gangguan Kulit
Tata laksana:
a. Atasi penyebabnya
b. Hentikan obat penyebab seperti rifampicin, benzodiazepin
c. Gunakan pelembab kulit
d. Jangan gunakan sabun mandi
e. Jaga kelembaban ruangan
f. Obat: antihistamin klorfeniramin 4 mg, cholesteramin 4 – 8 mg/hari

6. Gangguan Sistem Saluran Kemih


Penatalaksanaan sesuai penyebab yang ada. Jika perdarahan ringan, interv
ensi khusus sering tidak diperlukan. Pada perdarahan berat, kateter khusus
diperlukan untuk mengeluar-kan bekuan darah. Pencucian vesika urinaria
dilakukan secara kontinu.

7. Gangguan Hematologi, sistem saraf dan psikiatri


Sesuai penyebab yang ada

D. Tata Laksana Akhir Kehidupan


1. Persiapan Menjelang Akhir Kehidupan (Advanced Directive)
Intervensi :
a. Membantu tersedianya : caregiver, lingkungan yang aman, transportasi,
pendidikan bagi caregiver, dukungan bagi keluarga, finansial, respite
b. Melakukan asesmen
c. Melakukan diskusi dan dukungan
d. Mempersiapkan asesmen

2. Perawatan Terminal
PALLIATIVE SEDATION (Dilakukan oleh dokter anestesi atau dokter pa
liatif) :
a. Pastikan agitasi dan gelisah bukan karena: cemas, takut, reten-si urin, f
ecal impaction, ataupun drug withdrwal
b. Pastikan bahwa pasien memiliki gejala yang tidak dapat dikon-trol den
gan cara tata laksana sesuai pedoman oleh tenaga ahli paliatif
c. Pastikan bahwa pasien dalam kondisi menjelang ajal ( prognosis dibua
t oleh sekurang kurangnya 2 dokter yang menyatakan pasien akan men
inggal dalam hitungan jam atau hari)
d. Diskusikan kembali aspek etika pemberian sedasi pada pasien tsb, bah
wa tujuannya bukan menghilangkan nyawa/mengakhiri kehidupan
e. Dapatkan informed consent tentang sedasi dari pasien atau keluarga
f. Jelaskan bahwa sedasi adalah memberikan obat secara suntikan yang b
ersifat kontinyu yang akan membawa pasien pada kondisi tidak sadar
g. Jelaskan bahwa pemberian sedasi dibarengi dengan penghentian life pr
olonging therapies dan tidak dilakukannya CPR
Obat yang digunakan:
a. Clonazepam 0,5 mg, SC atau IV setiap 12 jam atau 1 – 2 mg/24 jam d
alam infus, titrasi
b. Midazolam 1 – 5 mg SK setiap 2 jam atau 30 mg/24 jam dalam infus, t
itrasi
c. Diazepam 5 – 10 mg IV atau 10 – 20 mg PR, titrasi
d. Lorazepam 1 – 2,5 mg SL setaip 2-4 jam, titrasi
e. Bila gagal: phenobarbitone 100 – 200mg SK tiap 4 – 8 jam titrasi dan
berikan dalm infus 24 jam

3. Perawatan Pada Saat Pasien Meninggal


Kualitas meninggal:
a. Nyeri dan gejala lain terkontrol dengan baik
b. Ditampat yang diinginkan pasien, berada di tengah keluarga, sesuai de
ngan kultur yang dianut dan sempat membuat WASIAT
c. Hubungan sosial yang baik dan rekonsiliasi, tidak ada masalah belum s
elesai
d. Secara spiritual siap: didoakan, tenang, telah dimaafkan dan memaafka
n, percaya dan siap memasuki kehidupan yang akan
e. Memiliki kesempatan untuk menyampaikan selamat tinggal
f. Keluarga mendapatkan dukungan yang diperlukan

Intervensi:
a. Lepas semua alat medis yang masih terpasang
b. Perlakukan jenazah sesuai agama dan kultur yang dianut
c. Berikan waktu privat untuk keluarga
d. Persiapkan bila ada wasiat untuk donor organ
e. Siapkan Surat kematian dan dokumen lain yang diperlukan untuk pem
akaman
f. Tawarkan panduan untuk proses masa duka cita yang normal
g. Dukungan masa dukacita: menyampaikan dukacita secara formal mela
lui lisan atau kartu
h. Siapkan atau menghadiri pertemuan keluarga setelah kematian untuk d
ebriefing
i. Identifikasi anggota keluarga yang memiliki masalah selama masa ber
eavement dan berikan dukungan yang diberikan
j. Diskusikan resiko kanker dan pencegahan yang dapat dilakukan

Dukungan untuk petugas kesehatan


a. Diskusi tentang masalah pribadi yang mempengaruhi dalam memberik
an perawatan bagi pasien
b. Ciptakan suasana aman dalam mendiskusikan kematian pasien
c. Beri kesempatan untuk refleksi diri dan mengenang pasien
d. Mereview melalui catatan medis masalah medis yang berhubungan de
ngan kematian
e. Diskusikan kualitas perawatan
f. Diskusikan respons keluarga terhadap kematian
g. Diskusikan respon petugas terhadap kematian
h. Lakukan ritual masa duka untuk petugas
i. Identifikasi petugas yang memiliki resiko terhadap masa duka cita ber
masalah

4. Perawatan Setelah Pasien Meninggal


Tujuan dukungan masa berkabung adalah:
a. Membantu agar keluarga bisa menerima kenyataan bahwa pasien telah
meninggal dan tidak akan kembali
b. Membantu agar keluarga mampu beradaptasi dengan situasi dan kondi
si baru
c. Membantu merubah lingkungan yang memungkinkan keluarga dapat
melanjutkan hidup tanpa pasien yang meninggal
d. Membantu keluarga agar mendapatkan kembali rasa percaya diri untuk
melanjutkan hidup
DAFTAR PUSTAKA

http://p2ptm.kemkes.go.id/uploads/VHcrbkVobjRzUDN3UCs4eUJ0dVBndz09/2017/
08/PETUNJUK_TEKNIS_PALIATIF_KANKER_PADA_DEWASA.pdf (diakse
s 12 September 2022)
https://web.rsparurotinsulu.org/wp-content/uploads/2021/02/PALIATIF-PD-CA-PAR
U.pdf (diakses 12 September 2022)
PENGARUH PERAWATAN PALIATIF TERHADAP PASIEN ...
https://ejournal.bsi.ac.id › article › download (diakses 12 September 2022)

Fadlun. 2010. Asuhan Kebidanan Patologis. Jakarta: Salemba Medika


http://repository.unimus.ac.id/1071/3/BAB%20II.pdf (diakses 26 Maret 2022)
https://repository.unair.ac.id/54259/19/FK_BID_41-16_San_i-min.pdf (diakses 26 M
aret 2022)
http://bppsdmk.kemkes.go.id/pusdiksdmk/wp-content/uploads/2017/08/Keperawatan-
Maternitas-Komprehensif.pdf?opwvc=1 (diakses 26 Maret 2022)
file:///C:/Users/ACER/Downloads/160-Article%20Text-5555-1-10-20210828.pdf (di
akses 26 Maret 2022)
http://repository.lppm.unila.ac.id/10413/1/dr%20Ratna%20DPS%20%28Buku%20Aj
ar%20Kehamilan%20dg%20dr%20Arif%29.pdf (diakses 26 Maret 2022)
http://repo.unand.ac.id/33995/1/Dengan%20EBM-Implementasi%20Dalam%20Masa
%20Kehamilan.pdf (diakses 26 Maret 2022)
http://bppsdmk.kemkes.go.id/pusdiksdmk/wp-content/uploads/2017/08/Asuhan-Kega
watdaruratan-Maternal-Neonatal-Komprehensif.pdf (diakses 26 Maret 2022)
http://ebook.poltekkestasikmalaya.ac.id/2020/11/21/kegawatdaruratan-obstetri/ https:
//drive.google.com/file/d/1qS3ybDXOLcAGI4tE1u4YHoQ0Bh_ln5TL/view (dia
kses 26 Maret 2022)
http://repo.unsrat.ac.id/1588/1/16._Clinical_Emergency_in_Obstetric.pdf (diakses 26
Maret 2022)
https://repository.unair.ac.id/105751/1/Kegawatdaruratan.pdf (diakses 26 Maret 202
2)
https://www.academia.edu/10800992/kegawatdaruratan_obstetri (diakses 27 Maret 2
022)
https://toaz.info/doc-view (diakses 27 Maret 2022)
https://lmsspada.kemdikbud.go.id/pluginfile.php/144401/mod_resource/content/1/Ke
pgadar%20maternitas_ns.%20mita.pdf (diakses 27 Maret 2022)
http://eprints.ums.ac.id/25812/20/NASKAH_PUBLIKASI.pdf (diakses 27 Maret 202
2)
http://erepo.unud.ac.id/id/eprint/14892/1/cef6d3bd93ca12a65667fb92685227db.pdf
(diakses 27 Maret 2022)
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 36
9/MENKES/SK/III/2007 tentang Standar Profesi Bidan Manuaba. 2010. Ilmu Keb
idanan, Penyakit Kandungan, dan KB. Jakarta: EGC

Notoatmodjo, Soekitjo. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cip


ta

Pantikawati, Ika. 2012. Asuhan Kebidanan I (Kehamilan). Yogyakarta: Nuha Medika

PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator


Diagnostik. Edisi 3. Jakarta: DPP PPNI
PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan. Edisi 2. Jakarta: DPP PPNI
PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan
Keperawatan. Edisi 2. Jakarta: DPP PPNI
Saifuddin. 2008. Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta: Yayasan Bin
a Pustaka

Soepardan, Suryani. 2007. Konsep Kebidanan. Jakarta : EGC

Sudarti. 2010. Buku Ajar Dokumentasi Kebidanan. Yogyakarta: Nuha Medika S


ujiyatini, dkk. 2010. Asuhan Patologi Kebidanan. Yogyakarta: Nuha Medik
a
. 2010. Asuhan Kebidanan Persalinan. Yogyakarta: Nuha Medika

Sulistiyowati, A. 2009. Asuhan Kebidanan pada Masa Kehamilan. Jakarta : Salemb


a Medika

Anda mungkin juga menyukai