Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN

DENGAN HIV/AIDS

RUANG SAHADEWA RSUD SANJIWANI GIANYAR

DISUSUN OLEH :

NI KADEK DIAN INLAMSARI

(P07120319013)

PROFESI NERS

KEMENTERIAN KESEHATAN RI
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES DENPASAR
PROFESI KEPERAWATAN
TAHUN 2019
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN
DENGAN HIV/AIDS

KONSEP DASAR PENYAKIT


A. Pengertian
AIDS merupakan kumpulan gejala penyakit akibat menurunnya sistem
kekebalan tubuh oleh virus yang disebut HIV (Human Immunodeficiency
Virus). (Aziz Alimul Hidayat, 2006).
Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan sekumpulan
gejala penyakit yang menyebabkan kekebalan tubuh menurun, oleh karena
adanya Human Immunodeficiency Virus (HIV) di dalam darah. Human
Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang menyerang sel darah putih
manusia dan menyebabkan menurunnya kekebalan/daya tahan tubuh. Virus
HIV merupakan retrovirus yaitu virus yang mengubah asam ribonukleat
(RNA) menjadi asam deoksiribonukleat (DNA) setelah masuk ke dalam sel
pejamu. Dalam bentuknya yang asli, virus ini merupakan partikel yang inert,
tidak dapat berkembang atau melukai sampai ia masuk ke sel target. Sel target
virus ini terutama sel limfosit T, karena ia mempunyai reseptor untuk virus
HIV yang disebut CD-4. Di dalam sel limfosit T, virus dapat berkembang dan
seperti retrovirus yang lain, dapat tetap hidup lama dalam sel dengan keadaan
inaktif. Walaupun demikian virus dalam tubuh pengidap HIV selalu dianggap
infectious yang setiap saat dapat aktif dan dapat ditularkan selama hidup
penderita tersebut. (Ika Puspitasari, 2011)
Acquired Immune Deficiency syndrome (AIDS) merupakan kumpulan
gejala penyakit yang disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV).
Virus HIV ditemukan dalam cairan tubuh terutama pada darah, cairan sperma,
cairan vagina dan air susu ibu. Virus tersebut merusak kekebalan tubuh
manusia dan mengakibatkan turunnya atau hilangnya daya tahan tubuh
sehingga mudah terjangkit penyakit infeksi. (Nursalam, 2017)
Dari semua pengertian di atas dapat disimpulkan, AIDS adalah penyakit
yang disebabkan oleh virus HIV yang ditandai dengan syndrome menurunnya
sistem kekebalan tubuh, sehingga klien AIDS mudah diserang oleh infeksi
oportunistik dan kanker.

B. Etiologi
Penyebab adalah golongan virus retro yang disebut human
immunodeficiency virus (HIV). HIV pertama kali ditemukan pada tahun 1983
sebagai retrovirus dan disebut HIV-1. Pada tahun 1986 di Afrika ditemukan
lagi retrovirus baru yang diberi nama HIV-2. HIV-2 dianggap sebagai virus
kurang pathogen dibandingkaan dengan HIV-1. Maka untuk memudahkan
keduanya disebut HIV.
AIDS dapat menyerang semua golongan umur, termasuk bayi, pria
maupun wanita. Yang termasuk kelompok resiko tinggi adalah :
1. Lelaki homoseksual atau biseksual.
2. Orang yang ketagian obat intravena
3. Partner seks dari penderita AIDS
4. Penerima darah atau produk darah (transfusi)
5. Bayi dari ibu/bapak terinfeksi HIV.
6. Orang yang melakukan seks bebas tanpa memakai pelindung (kondom)
7. Pengguna jarum suntik secara bersama-sama (biasanya para pengguna
narkoba).

C. Patofisiologi
Sel T dan makrofag serta sel dendritik / langerhans (sel imun) adalah sel-sel
yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan terkonsentrasi
dikelenjar limfe, limpa dan sumsum tulang. Human Immunodeficiency Virus
(HIV) menginfeksi sel lewat pengikatan dengan protein perifer CD 4, dengan
bagian virus yang bersesuaian yaitu antigen grup 120. Pada saat sel T4 terinfeksi
dan ikut dalam respon imun, maka Human Immunodeficiency Virus (HIV)
menginfeksi sel lain dengan meningkatkan reproduksi dan banyaknya kematian
sel T4 yang juga dipengaruhi respon imun sel killer penjamu, dalam usaha
mengeliminasi virus dan sel yang terinfeksi.
Virus HIV dengan suatu enzim, reverse transkriptase, yang akan melakukan
pemograman ulang materi genetik dari sel T4 yang terinfeksi untuk membuat
double-stranded DNA. DNA ini akan disatukan kedalam nukleus sel T4 sebagai
sebuah provirus dan kemudian terjadi infeksi yang permanen. Enzim inilah yang
membuat sel T4 helper tidak dapat mengenali virus HIV sebagai antigen.
Sehingga keberadaan virus HIV didalam tubuh tidak dihancurkan oleh sel T4
helper. Kebalikannya, virus HIV yang menghancurkan sel T4 helper. Fungsi dari
sel T4 helper adalah mengenali antigen yang asing, mengaktifkan limfosit B yang
memproduksi antibodi, menstimulasi limfosit T sitotoksit, memproduksi limfokin,
dan mempertahankan tubuh terhadap infeksi parasit. Kalau fungsi sel T4 helper
terganggu, mikroorganisme yang biasanya tidak menimbulkan penyakit akan
memiliki kesempatan untuk menginvasi dan menyebabkan penyakit yang serius.
Menurunya jumlah sel T4, maka system imun seluler makin lemah secara
progresif. Diikuti berkurangnya fungsi sel B dan makrofag dan menurunnya
fungsi sel T penolong. Seseorang yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus
(HIV ) dapat tetap tidak memperlihatkan gejala (asimptomatik) selama bertahun-
tahun. Selama waktu ini, jumlah sel T4 dapat berkurang dari sekitar 1000 sel
perml darah sebelum infeksi mencapai sekitar 200-300 per ml darah, 2-3 tahun
setelah infeksi.
Sewaktu sel T4 mencapai kadar ini, gejala-gejala infeksi ( herpes zoster dan
jamur oportunistik) muncul, Jumlah T4 kemudian menurun akibat timbulnya
penyakit baru akan menyebabkan virus berproliferasi. Akhirnya terjadi infeksi
yang parah. Seorang didiagnosis mengidap AIDS apabila jumlah sel T4 jatuh
dibawah 200 sel per ml darah, atau apabila terjadi infeksi opurtunistik, kanker
atau dimensia AIDS.
D. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis AIDS menyebar luas dan pada dasarnya mengenai
setiap sistem organ. Tanda gejala secara klinis pada penderita AIDS sulit
untuk diidentifikasi. Hal ini disebabkan karena simptomasi yang ditujukan
pada umumnya adalah bermula dari gejala-gejala umum yang lazim didapati
pada berbagai penderita penyakit lain, namun secara umum tanda dan gejala
yang dapat diamati antara lain:
1. Rasa lelah dan lesu yang berkepanjangan
2. Berat badan menurun secara drastis lebih dari 10% tanpa alasan yang jelas
dalam 1 bulan.
3. Demam yang sering dan berkeringat diwaktu malam
4. Diare terus menerus dan kurang nafsu makan
5. Bercak-bercak putih di lidah dan di dalam mulut
6. Pembengkakan leher dan lipatan paha
7. Radang paru-paru
8. Kanker kulit
9. Sakit kepala
10. Sakit tenggorokan dengan faringitis
11. Eritema
Selain tanda gejala seperti diatas, adapun transmisi infeksi HIV dan AIDS
yang terdiri dari lima fase yaitu sebagai berikut.
1. Periode jendela. Lamanya 4 minggu sampai 6 bulan setelah infeksi. Tidak
ada gejala.
2. Fase infeksi HIV primer akut. Lamanya 1-2 minggu dengan gejala flu
likes illness.
3. Infeksi asimtomatik. Lamanya 1-15 atau lebih tahun dengan gejala tidak
ada.
4. Supresi imun simtomatik. Diatas 3 tahun dengan gejala demam, keringat
malam hari, B menurun, diare, neuropati, lemah, rash, limfadenopati, lesi
mulut.
5. AIDS. Lamanya bervariasi antara 1-5 tahun dari kondisi AIDS pertama
kali ditegakkan. Didapatkan infeksi oportunis berat dan tumor pada
berbagai system tubuh, dan manifestasi neurologist.
Menurut Mandal (2004), tanda dan gejala penyakit AIDS menyebar luas
dan pada dasarnya dapat mengenai semua sistem organ. Penyakit yang
berkaitan dengan infeksi HIV dan penyakit AIDS terjadi akibat infeksi dan
efek langsung HIV pada jaringan tubuh. Adanya HIV dalam tubuh seseorang
tidak dapat dilihat dari penampilan luar. Orang yang terinfeksi tidak akan
menunjukan gejala apapun dalam jangka waktu yang relatif lama (±7-10
tahun) setelah tertular HIV. Masa ini disebut masa laten. Orang tersebut masih
tetap sehat dan bisa bekerja sebagaimana biasanya walaupun darahnya
mengandung HIV. Masa inilah yang mengkhawatirkan bagi kesehatan
masyarakat, karena orang terinfeksi secara tidak disadari dapat menularkan
kepada yang lainnya. Dari masa laten kemudian masuk ke keadaan AIDS
dengan gejala sebagai berikut:
1. Gejala Mayor:
a. Berat badan menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan.
b. Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan
c. Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan
2. Gejala Minor:
a. Batuk menetap lebih dari 1 bulan
b. Adanya herpes zostermultisegmental dan herpes zoster berulang
c. Kandidias orofaringeal
d. Limfadenopati generalisata
e. Ruam
Menurut Anthony (Fauci dan Lane, 2008), gejala klinis HIV/AIDS dapat
dibagikan mengikut fasenya.
1. Fase akut
Sekitar 50-70% penderita HIV/AIDS mengalami fase ini sekitar 3-6
minggu selepas infeksi primer. Gejala-gejala yang biasanya timbul adalah
demam, faringitis, limpadenopati, sakit kepala, arthtalgia, letargi, malaise,
anorexia, penurunan berat badan, mual, muntah, diare, meningitis,
ensefalitis, periferal neuropati, myelopathy, mucocutaneous ulceration, dan
erythematous maculopapular rash. Gejala-gejala ini muncul bersama
dengan ledakan plasma viremia. Tetapi demam, ruam kulit, faringitis dan
mialgia jarang terjadi jika seseorang itu diinfeksi melalui jarum suntik
narkoba daripada kontak seksual. Selepas beberapa minggu gejala-gajala
ini akan hilang akibat respon sistem imun terhadap virus HIV. Sebanyak
70% dari penderita HIV akan mengalami limfadenopati dalam fase ini yang
akan sembuh sendiri.
2. Fase asimptomatik
Fase ini berlaku sekitar 10 tahun jika tidak diobati. Pada fase ini virus
HIV akan bereplikasi secara aktif dan progresif. Tingkat pengembangan
penyakit secara langsung berkorelasi dengan tingkat RNA virus HIV. Klien
dengan tingkat RNA virus HIV yang tinggi lebih cepat akan masuk ke fase
simptomatik daripada klien dengan tingkat RNA virus HIV yang rendah.
3. Fase simptomatik
Selama fase akhir dari HIV, yang terjadi sekitar 10 tahun atau lebih
setelah terinfeksi, gejala yang lebih berat mulai timbul dan infeksi tersebut
akan berakhir pada penyakit yang disebut AIDS.
Stadium perkembangan dari infeksi HIV menjadi AIDS terbagi menjadi
empat stadium.
1. Stadium satu
Infeksi dimulai dengan masuknya HIV dan diikuti terjadinya
perubahan serologis ketika antibodi terhadap virus tersebut berubah dari
negatif menjadi positif, rentan waktu sejak HIV masuk kedalam tubuh
sampai tes antibodi terhadap HIV menjadi positif yang disebut window
period yang lamanya antara satu sampai tiga bulan, bahkan ada yang
dapat berlangsung sampai enam bulan.
2. Stadium dua (asimptomatik/tanpa gejala)
Di dalam organ tubuh terdapat HIV tetapi tubuh tidak menunjukkan
gejala-gejala, keadaan ini dapat berlangsung selama 5 sampai 10 tahun.
Cairan tubuh klien HIV/AIDS yang tampak sehat ini sudah dapat
menularkan HIV kepada orang lain.
3. Stadium tiga
Terjadi pembesaran kelenjar limfe secara menetap dan merata, tidak
hanya muncul pada tempat saja dan gejala berlangsung lebih dari satu
bulan.
4. Stadium empat (AIDS)
Individu mengalami bermacam-macam penyakit (infeksi
oportunistik).
E. Komplikasi
1. Oral lesi
Karena kandidia, herpes simplek, sarcoma Kaposi, HPV oral, gingivitis,
peridonitis Human Immunodeficiency Virus (HIV), leukoplakia oral,
nutrisi, dehidrasi, penurunan berat badan, keletihan dan cacat.
a. Kandidiasis oral
Kandidiasis oral adalah suatu infeksi jamur, hampir terdapat secara
universal pada semua penderita AIDS serta keadaan yang berhubungan
dengan AIDS. Infeksi ini umumnya mendahului infeksi serius lainnya.
Kandidiasi oral ditandai oleh bercak-bercak putih seperti krim dalam
rongga mulut. Tanda –tanda dan gejala yang menyertai mencakup
keluhan menelan yang sulit serta nyeri dan rasa sakit di balik sternum
(nyeri retrosternal). Sebagian klien juga menderita lesi oral yang
mengalami ulserasi dan menjadi rentan terutama terhadap penyebaran
kandidiasis ke sistem tubuh yang lain.
b. Sarcoma Kaposi
Sarcoma Kaposi (dilafalkan KA- posheez), yaitu kelainaan malignitas
yang berkaitan dengan HIV yang sering ditemukan , merupakan
penyakit yang melibatkan lapisan endotil pembuluh darah dan limfe.
2. Neurologik
a. Kompleks dimensi AIDS karena serangan langsung HIV pada sel
saraf, berefek perubahan kepribadian, kerusakan, kemampuan motorik,
kelemahan, disfasia, dan isolasi sosial. Sebagian basar penderita mula-
mula mengeluh lambat berpikir atau sulit berkonsentrasi dan
memusatkan perhatian. Penyakit ini dapat menuju dimensia
sepenuhnya dengan kelumpuhan pada stadium akhir. Tidak semua
penderita mencapai stadium akhir ini.
b. Enselophaty akut karena reaksi terapeutik, hipoksia, hipoglikemia,
ketidakseimbangan elektrolit, meningitis/ ensefalitis. Dengan efek
sakit kepala, malaise, demam, paralise total/ parsial.
c. Ensefalopati HIV. Disebut pula sebagai kompleks demensia AIDS
(ADC; AIDS dementia complex), ensefalopati HIV terjadi sedikitnya
pada dua pertiga klien –klien AIDS. Keadaan ini berupa sindrom klinis
yang ditandai oleh penurunan progresif pada fungsi kognitif, perilaku
dan motorik. Tanda –tanda dan gejalanya dapat samar- samar serta
sulit dibedakan dengan kelelahan, depresi atau efek terapi yang
merugikan terhadap infeksi dan malignansi
d. Infark serebral kornea sifilis meningovaskuler, hipotensi sistemik, dan
menarik endokarditis.
e. Neuropati karena inflamasi demielinasi oleh serangan HIV dengan
disertai rasa nyeri serta patirasa pada akstremitas, kelemahan,
penurunan refleks tendon yang dalam, hipotensi orthostatik dan
impotensi.
3. Gastrointestinal
a. Diare karena bakteri dan virus, pertumbuhan cepat flora normal,
limpoma dan sarkoma Kaposi. Dengan efek penurunan berat badan,
anoreksia, demam, malabsorbsi, dan dehidrasi.
b. Hepatitis karena bakteri dan virus, limpoma, sarcoma kaposi, obat
illegal, alkoholik. Dengan anoreksia, mual muntah, nyeri abdomen,
ikterik, demam atritik.
c. Penyakit anorektal karena abses dan fistula, ulkus dan inflamasi
perianal yang sebagai infeksi, dengan efek inflamasi sulit dan sakit,
nyeri rectal, gatal-gatal dan diare.
4. Respirasi
Infeksi karena pneumocystic carinii, cytomegalovirus, virus influenza,
pneumococcus, dan strongyloidiasis dengan efek nafas pendek, batuk,
nyeri, hipoksia, keletihan gagal nafas.
5. Dermatologi
Lesi kulit stafilokokus: virus herpes simpleks dan zoster, dermatitis ,
reaksi otot, lesi scabies, dan dekopitus dengan efek nyeri, gatal, rasa
terbakar, infeksi sekunder dan sepsis.
6. Sensorik
a. Pandangan: Sarkoma kaposi pada konjungtiva berefek kebutaan.
b. 2.Pendengaran: otitis eksternal akut dan otitis media, kehilangan
pendengaran dengan efek nyeri.

F. Penatalaksanaan Medis
1. Non Farmakologi
a. Fisik
Aspek fisik pada PHIV ( klien terinfeksi HIV ) adalah pemenuhan
kebutuhan fisik sebagai akibat dari tanda dan gejala yang terjadi.
Aspek perawatan fisik meliputi :
1) Universal Precautions
Universal precautions adalah tindakan pengendalian infeksi
sederhana yang digunakan oleh seluruh petugas kesehatan, untuk
semua klien setiap saat, pada semua tempat pelayanan dalam rangka
mengurangi risiko penyebaran infeksi.
Selama sakit, penerapan universal precautions oleh perawat,
keluraga, dan klien sendiri sangat penting. Hal ini di tunjukkan
untuk mencegah terjadinya penularan virus HIV.
Prinsip-prinsip universal precautions meliputi:
a) Menghindari kontak langsung dengan cairan tubuh. Bila
mengenai cairan tubuh klien menggunakan alat pelindung,
seperti sarung tangan, masker, kacamata pelindung, penutup
kepala, apron dan sepatu boot. Penggunaan alat pelindung
disesuakan dengan jenis tindakan yang akan dilakukan.
b) Mencuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan,
termasuk setelah melepas sarung tangan.
c) Dekontaminasi cairan tubuh klien.
d) Memakai alat kedokteran sekali pakai atau mensterilisasi semua
alat kedokteran yang dipakai (tercemar).
e) Memelihara kebersihan tempat pelayanan kesehatan.
f) Membuang limbah yang tercemar berbagai cairan tubuh secara
benar dan aman.
2) Pemberian nutrisi
Klien dengan HIV/ AIDS sangat membutuhkan vitamin dan
mineral dalam jumlah yang lebih banyak dari yang biasanya
diperoleh dalam makanan sehari- hari. Sebagian besar ODHA akan
mengalami defisiensi vitamin sehingga memerlukan makanan
tambahan.
HIV menyebabkan hilangnya nafsu makan dan gangguan
penyerapan nutrient. Hal ini berhubungan dengan menurunnya atau
habisnya cadangan vitamin dan mineral dalam tubuh. Defisiensi
vitamin dan mineral pada ODHA dimulai sejak masih dalam
stadium dini. Walaupun jumlah makanan ODHA sudah cukup dan
berimbang seperti orang sehat, tetapi akan tetap terjadi defisiensi
vitamin dan mineral.
3) Aktivitas dan istirahat
a) Manfaat olah raga terhadap imunitas tubuh
Hamper semua organ merespons stress olahraga. Pada keadaan
akut, olah raga akan berefek buruk pada kesehatan, olahraga
yang dilakukan secara teratur menimbulkan adaptasi organ tubuh
yang berefek menyehatkan
b) Pengaruh latihan fisik terhadap tubuh
(1) Perubahan system tubuh
Olahraga meningkatkan cardiac output dari 5 i/menit
menjadi 20 1/menit pada orang dewasa sehat. Hal ini
menyebabkan peningkatan darah ke otot skelet dan jantung.
(2) Sistem pulmoner
Olahraga meningkatkan frekuensi nafas, meningkatkan
pertukaran gas serta pengangkutan oksigen, dan penggunaan
oksigen oleh otot.
(3) Metabolisme
Untuk melakukan olah raga, otot memerlukan energi.
Pada olah raga intensitas rendah sampai sedang, terjadi
pemecahan trigliserida dan jaringa adiposa menjadi glikogen
dan FFA (free fatty acid). Pada olahraga intensitas tinggi
kebutuhan energy meningkat, otot makin tergantung
glikogen sehingga metabolisme berubah dari metabolisme
aerob menjadi anaerob
b. Psikologis (strategi koping)
Mekanisme koping terbentuk melalui proses dan mengingat.
Belajar yang dimaksud adalah kemampuan menyesuaikan diri
(adaptasi) pada pengaruh internal dan eksterna
c. Sosial
Dukungan social sangat diperlukan PHIV yang kondisinya sudah
sangat parah. Individu yang termasuk dalamdan memberikan
dukungan social meliputi pasangan (suami/istri), orang tua, anak,
sanak keluarga, teman, tim kesehatan, atasan, dan konselor.
2. Farmakologis
Belum ada penyembuhan bagi AIDS, sehingga pencegahan infeksi HIV
perlu dilakukan. Pencegahan berarti tidak kontak dengan cairan tubuh
yang tercemar HIV.
a. Peran perawat dan pemberian ARV
1) Manfaat penggunaan obat dalam bentuk kombinasi adalah:
a) Memperoleh khasiat yang lebih lama untuk memperkecil
kemungkinan terjadinya resistensi.
b) Meningkatkan efektivitas dan lebih menekan aktivitas virus.
Bila timbul efek samping, bisa diganti dengan obat lainnya, dan
bila virus mulai rasisten terhadap obat yang sedang digunakan
bisa memakai kombinasi lain.
2) Efektivitas obat ARV kombinasi:
a) AVR kombinasi lebih efektif karena memiliki khasiat AVR
yang lebih tinggi dan menurunkan viral load lebih tinggi
dibandingkan dengan penggunaan satu jenis obat saja.
b) Kemungkinan terjadi resistensi virus kecil, akan tetapi bila
klien lupa minum dapat menimbulkan terjadinya resistensi.
c) Kombinasi menyebabkan dosis masing-masing obat lebih
kecil, sehingga kemungkinan efek samping lebih kecil.
b. Pengendalian Infeksi Oportunistik
Bertujuan menghilangkan, mengendalikan, dan pemulihan infeksi
opurtunistik, nasokomial, atau sepsis. Tidakan pengendalian infeksi
yang aman untuk mencegah kontaminasi bakteri dan komplikasi
penyebab sepsis harus dipertahankan bagi klien di lingkungan
perawatan kritis.
c. Terapi AZT (Azidotimidin)
Disetujui FDA (1987) untuk penggunaan obat antiviral AZT yang
efektif terhadap AIDS, obat ini menghambat replikasi antiviral Human
Immunodeficiency Virus (HIV) dengan menghambat enzim pembalik
traskriptase. AZT tersedia untuk klien AIDS yang jumlah sel T4 nya <
3. Sekarang, AZT tersedia untuk klien dengan Human
Immunodeficiency Virus (HIV) positif asimptomatik dan sel T4 > 500
mm3.
d. Terapi Antiviral Baru
Beberapa antiviral baru yang meningkatkan aktivitas sistem imun
dengan menghambat replikasi virus / memutuskan rantai reproduksi
virus pada prosesnya. Obat-obat ini adalah : didanosine, ribavirin,
diedoxycytidine, dan recombinant CD 4 dapat larut.
e. Vaksin dan Rekonstruksi Virus
Upaya rekonstruksi imun dan vaksin dengan agen tersebut seperti
interferon, maka perawat unit khusus perawatan kritis dapat
menggunakan keahlian dibidang proses keperawatan dan penelitian
untuk menunjang pemahaman dan keberhasilan terapi AIDS.
1) Pendidikan untuk menghindari alkohol dan obat terlarang, makan-
makanan sehat, hindari stress, gizi yang kurang, alkohol dan obat-
obatan yang mengganggu fungsi imun.
2) Menghindari infeksi lain, karena infeksi itu dapat mengaktifkan sel
T dan mempercepat reflikasi Human Immunodeficiency Virus
(HIV).
G. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan laboratorium digunakan untuk menegakkan diagnosa infeksi
HIV/AIDS berdasarkan tes yang dapat mendeteksi adanya antigen dan
antibodi HIV. Tes cepat (rapid) untuk HIV ada 3 antara lain :
1. Test ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay)
ELISA merupakan komponen integral dari laboratorium klinik.
Tingkat sensitifitas yang tinggi dan minimnya pengunaan radioisotop
menyebabkan tes ini luas digunakan untuk mendeteksi antigen dan
antibodi secara kualitatif dan kuantitatif. Jika digunakan dengan baik, tes
ini mempunyai sensitifitas > 98%. Dasar pemeriksaan ini adalah
mereaksikan antigen HIV dengan serum. Apabila di dalam serum terdapat
antibodi HIV, akan terjadi ikatan antigen-antibodi. Serum ditambahkan
anti IgG yang bertanda peroksidase. Terjadi ikatan antigen-antibodi
dengan anti IgG peroksidase. Peroksidase yang terikat akan memecah
substrat yang ditambah sehingga menghasilkan perubahan warna yang
akan dibaca dengan spektrofotometer. Jika terdeteksi antibodi virus di
dalam jumlah besar akan memperlihatkan warna yang lebih tua.
Bila tes antibodi berdasrkan ELISA digunakan untuk skrining
populasi dengan prevalensi infeksi HIV yang rendah (misalnya donor
darah), hasil yang positif dalam sampel serum harus dikonfirmasi dengan
tes ulang. Hal ini untuk mencegah hasil pemeriksaan yang positif palsu
atau negatif palsu. Oleh karena itu, pemeriksaan ELISA diulang dua kali,
dan jika menunjukkan hasil positif, dilakukan pemeriksaan yang lebih
spesifik untuk konfirmasi.
2. Tes Western Blot
Tes Western Blot merupakan cara pemeriksaan yang lebih spesifik,
dimana antibodi terhadap protein HIV dari berat molekul tertentu dapat
terdeteksi. Tes ini menggunakan kombinasi dari elektroforesis dan tes
ELISA sehingga dapat menentukan respon terhadap berbagi protein
spesifik.
Cara pemeriksaan, HIV yang telah dimurnikan kemudian
dielektroforesis dengan poliakrilamid. Hasil pemisahan berabagi antigen
HIV dipindahkan ke kertas nitoroselulosa yang kemudian dipotong
menjadi potongan-potongan kecil dan diinkubasi dengan serum yang
diperiksa. Adanya antigen HIV akan menghasilkan pita-pita pada berat
molekul yang sesuai.
Tes Western Blot paling sering digunakan untuk konfirmasi dari tes
skrining serologi reaktif untuk antibodi HIV. Tes ini dianggap positif
untuk HIV-1 bila mengandung pada pita-pita pada berta molekul yang
sesuai untuk protein inti virus (p24) atau glikoprotein selubung gp41,
gp120 atau gp160. kemampuan untuk mengenali reaktifitas spesifik
terhadap protein tertentu menyebabkan tes ini mempunyai tingkat
spesifitas yang tinggi.
3. PCR (Polymerase Chain Reaction)
Tes ini digunakan untuk mendeteksi materi genetic virus pada darah.
Pemeriksaan ini sangat akurat dan dapat mendeteksi infeksi virus HIV
secara dini. Tes PCR dapat mendeteksi virus 14 hari setelah infeksi.
Dalam penelitian infeksi HIV digunakan 2 bentuk PCR, yaitu PCR DNA
dan PCR RNA. PCR RNA telah digunakan, terutama untuk memantau
perubahan kadar genom HIV yang terdapat dalam plasma. Pengujian PCR
ini menggunakan metode enzimatik untuk mengaplifikasi RNA HIV
sehingga dengan cara hibridisasi dapat dideteksi. Tes berbasis molekuler
ini merupakan cara yang sangat sensitif.
Pengujian PCR DNA dikerjakan dengan mengadakan campuran
reaksi dalam tabung mikro yang kemudian diletakkan pada blok pemanas
yang telah diprogram pada temperature yang diinginkan. Pada dasarnya
target DNA diekstraksi dari spesimen dan secara spesifik membelah dalam
tabung sampai diperoleh jumlah yang cukup yang akan digunakan untuk
deteksi hibridisasi.
Diagnosis awal infeksi HIV pada bayi yang lahir dari ibu yang
terinfeksi HIV sulit dilakukan karena adanya antibodi maternal membuat
tes-tes serologik tidak bersifat informatif. Pengujian PCR dapat
memperkuat adanya genom HIV dalam serum atau sel sehingga
bermanfaat dalam diagnosis. Uji ini mempunyai sensitifitas 93,2% dan
spesifitas 94,9%.
Selain ada pemeriksaan diagnostik yang dilakukan secara cepat untuk
mengetahui apakah klien tersebut mengidap HIV atau tidak, masih ada cara
pemeriksaan lain untuk menunjang diagnosa nantinya yaitu dengan tes
gangguan system imun yang mana dapat dilakukan dengan cara :
1. Hematokrit
2. LED
3. CD4 limfosit : jumlah CD4 akan menurun kurang < 200, pemeriksaan ini
penting untuk merencanakan pemberian terapi ARV
4. Rasio CD4/CD limfosit
5. Serum mikroglobulin B2
6. Hemoglobulin
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
Hasil pengkajian dibagi menjadi dua antara lain data subyektif dan data
objektif. Data subyektif didapat melalui anamnesa ataupun aloanamnesa
kepada klien dan keluarga, sedangkan data obyektif didapat melalui
pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang.
1. Identitas klien (nama klien, usia, diagnosa medik, tanggal masuk, alamat,
suku, agama, pekerjaan, status perkawinan, status pendidikan)
2. Riwayat penyakit
a. Keluhan utama
b. Riwayat penyakit sekarang
c. Riwayat penyakit terdahulu
d. Riwayat kesehatan keluarga
e. Keluhan waktu di data
f. Pola fungsi kesehatan (riwayat bio-psiko-sosial-spiritual)
3. Pemeriksaan Fisik
Pengkajian klien meliputi evaluasi faktor-faktor fisik dan psikologis
secara luas. Banyak parameter dipertimbangkan dalam pengkajian
menyeluruh terhadap klien, dan berbagai masalah klien atau diagnosis
keperawatan dapat diantisipasi atau diidentifikasi dengan dibandingkan
pada data dasar.
a. Keadaaan umum klien.
b. Status Nutrisi dan Penggunaan Bahan Kimia
1) Mengukur tinggi dan berat badan
2) Mengukur lipat kulit trisep
3) Mengukur lingkar lengan atas
4) Mengkaji kadar protein darah dan keseimbangan nitrogen
5) Kadar elektrolit darah
6) Asupan makanan
Keadaan khusus :
1) Obesitas : jaringan lemak rentan terhadap infeksi, peningkatan
masalah teknik dan mekanik (resiko dehisens), dan nafas tidak
optimal.
2) Penggunaan obat dan alkohol : rentan terhadap cedera, malnutrisi,
dan tremens delirium. Klien pernah mengonsumsi narkotika.
3) Gejala : Tidak napsu makan, mual/muntah, perubahan kemampuan
mengenali makanan, disfagia, nyeri retrosternal saat menelan dan
penurunan BB yang progresif
4) Tanda : bising usus dapat hiperaktif, kurus, menurunnya lemak
subkutan/masa otot, turgor kulit buruk, lesi pada rongga mulut,
adanya selaput putih dan perubahan warna pada mulut. Kesehatan
gigi/gusi yang buruk, adanya gigi yang tanggal, dan edema (umum,
dependen)
c. Status Pernapasan
1) Kaji adanya dyspnea, takipnea, sianosis, SOB, menggunakan otot
bantu pernapasan, batuk produktif atau non produktif, distres
pernapasan, perubahan bunyi napas/bunyi napas adventisius,
sputum kuning (pada pneumonia yang menghasilkan sputum)
2) Latihan nafas dan penggunaan spirometer intensif
3) Pemeriksaan fungsi paru dan analisa gas darah (AGD)
4) Riwayat sesak nafas atau penyakit saluran pernafasan yang lain.
d. Status Kardiovaskuler
1) Kaji adanya takikardi, sianosis, hipotensi, hipoksia, edem perifer,
dizziness. 
2) Penyakit kardiovaskuler
3) Riwayat immobilisasi berkepanjangan
4) Kelebihan cairan/darah
5) Riwayat perdarahan.
e. Status Neurosensori
1) Kaji adanya angguan refleks pupil, nystagmus, vertigo,
ketidakseimbangan , kaku kuduk, kejang, paraplegia.
2) Gejala : pusing, sakit kepala, perubahan status mental,
berkurangnya kemampuan diri untuk mengatasi masalah, tidak
mampu mengingat dan konsentrasi menurun. Kerusakan sensasi
atau indera posisi dan getaran, kelemahan otot, tremor, perubahan
ketajaman penglihatan, kebas, kesemutan pada ekstrimitas (paling
awal pada kaki).
3) Tanda : perubahan status mental kacau mental sampai dimensia,
lupa konsentrasi buruk, kesadaran menurun, apatis, respon
melambat, ide paranoid, ansietas, harapan yang tidak realistis,
timbul reflak tidak normal, menurunnya kekuatan otot, gaya
berjalan ataksia, tremor, hemoragi retina dan eksudat, hemiparesis,
dan kejang.
f. Muskuloskletal
Kaji adanya focal motor deifisit, lemah, tidak mampu melakukan
ADL.
g. Fungsi Lambung, Hepatik, Ginjal, dan Intestin
1) Kelainan hepar
2) Riwayat penyakit hepar
3) Status asam basa dan metabolisme
4) Riwayat nefritis akut, insufisiensi renal akut.
5) GI : intake makan dan minum menurun, mual, muntah, BB
menurun, diare, inkontinensia, perut kram, hepatosplenomegali,
kuning.
6) GU : lesi atau eksudat pada genital,
h. Fungsi Endokrin
1) Riwayat penyakit diabetes
2) Kadar gula darah
3) Riwayat penggunaan kortikosteroid atau steroid (resiko insufisiensi
adrenal)
i. Fungsi Imunologi
1) Kaji adanya alergi
2) Riwayat transfusi darah
3) Riwayat asthma bronchial
4) Terapi kortikosteroid
5) Riwayat transplantasi ginjal
6) Terapi radiasi
7) Kemoterapi
8) Penyakit gangguan imunitas (aids, leukemia)
9) Suhu tubuh.
j. Sistem Integumen
1) Riwayat cara pemakaian dan jenis narkotik
2) Keluhan kering, gatal, rash atau lesi, turgor jelek, petekie positif,
terbakar, gatal, nyeri, tidak nyaman, paresthesia
3) Warna, kelembaban, tekstur, suhu, turgor kulit
4) Alergi obat dan plesterriwayat puasa lama, malnutrisi, dehidrasi,
fraktur mandibula, radiasi pada kepala, terapi obat, trauma
mekanik.
5) Perawatan mulut oleh pasien.
k. Eliminasi
1) Gejala : diare yang intermiten, terus menerus, disertai / tanpa kram
abdominal. Nyeri panggul, rasa terbakar saat miksi.
2) Tanda : feses encer disertai/tanpa mukus atau darah, diare pekat
yang sering, nyeri tekan abdominal, lesi atau abses rektal, perianal,
dan perubahan dalam jumlah, warna, dan karakteristik urin.
l. Terapi Medikasi yang Dikonsumsi
1) Obat Anti Retroviral (ARV)
2) Obat-obatan yang dijual bebas dan frekuensinya
3) Kortikosteroid adrenal : kolaps kardiovaskuler
4) Diuretik : depresi pernafasan berlebihan selama anesthesia
5) Fenotiasin : meningkatkan kerja hipotensif dari anesthesia
6) Antidepresan : inhibitor monoamine oksidase (mao)
meningkatkan efek hipotensif anesthesia
7) Tranquilizer : ansietas, ketegangan dan bahkan kejang
8) Insulin : interaksi insulin dan anestetik harus dipertimbangkan
9) Antibiotik : paralysis system pernafasan.
4. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan darah rutin (mengetahui adanya peningkatan leukosit
yang merupakan tanda adanya infeksi).
b. Tes Elisa
c. Western Blot
d. PCR
e. Pemeriksaan system imun.

B. Diagnosa Keperawatan
1. nyeri akut berhubungan dengan agens pencedera biologis
2. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan sekresi yang
tertahan
3. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hiperventilasi
4. Defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan mengabsorpsi
nutrient
5. Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan kelemahan otot pelvis
6. Hipovolemia berhubungan dengan keluarnya cairan aktif
7. Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit
8. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidaksesuaian kebutuhan
oksigen dengan suplai oksigen
DAFTAR PUSTAKA

Alimul, Aziz. 2006. Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta : Salemba Medika


Ardhiyanti, Y., Lusiana, N., Megasari, K. 2015. Bahan Ajar AIDS pada Asuhan
Kebidanan. Yogyakarta: Deepublish..
Kemenkes RI. 2016. Program Pengendalian HIV/AIDS dan PIMS di Fasilitas
Kesehatan Tingkat Pertama. (online)
http://siha.depkes.go.id/portal/files_upload/4__Pedoman_Fasyankes_Primer
_ok.pdf Diakses 2 September 2019 pukul 15.00 WITA.
Kemenkes RI. 2018. Penatalaksaan Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) untuk
Eliminasi HIV/AIDS Tahun 2030. (online)
http://siha.depkes.go.id/portal/files_upload/surat_edaran_test_and_treat.pdf
Diakses 2 September 2019 pukul 15.30 WITA.
Mansjoer, Arif, 2010. Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculaapius FKUI :
Jakarta.
Nursalam, dkk. 2017. Jurnal Keperawatan Edisi Bulan November. Surabaya :
Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga
Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI). 2016. Standar Diagnosis
Keperawatan Indonesia : Definisi dan Indikator Diagnostik Edisi 1. Jakarta
Selatan : DPP PPNI
Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI). 2018. Standar Intervensi
Keperawatan Indonesia : Definisi dan Tindakan Keperawatan Edisi 1
Cetakan II. Jakarta Selatan : DPP PPNI
Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI). 2019. Standar Luaran Keperawatan
Indonesia : Definisi dan Kriteria Hasil Keperawatan Edisi 1 Cetakan II.
Jakarta Selatan : DPP PPNI
Smeltzer , Suzanne C, 2013. Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah. EGC : Jakarta.
LEMBAR PENGESAHAN

Gianyar ………….. November 2019


Mengetahui
Pembimbing Klinik/ CI Mahasiswa

(…………......................……………………) (Ni Kadek Dian Inlamsari, S.Tr.Kep)


NIP: NIM: P07120319013

Clinical Teacher/CT

( Ners.I Made Sukarja, S.Kep. M.Kep)


NIP. 196812311992031020

Anda mungkin juga menyukai