Anda di halaman 1dari 15

BAB 2

2.1 Definisi
HIV merupakan singkatan dari Human Immunodeficiency Virus, sebuah virus
yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia, sedangkan AIDS singkatan dari
Acquired Immune Deficiency Syndrome, dimana virus ini akan muncul setelah virus HIV
menyerang sistem kekebalan tubuh seseorang 5 selama kurang lebih 5-10 tahun. Sistem
kekebalan tubuh menjadi lemah, sehingga satu atau lebih dari penyakit dapat timbul.
Karena lemahnya sistem kekebalan tubuh tadi, beberapa penyakit bisa menjadi lebih
berat dari biasanya (Muntamah, 2020).
HIV (Human Immunodeficiency Virus) merupakan retrovirus bersifat limfotropik
khas yang menginfeksi sel-sel dari sistem kekebalan tubuh, menghancurkan atau merusak
sel darah putih spesifik yang disebut limfosit Thelper atau limfosit pembawa faktor T4
(CD4). Virus ini diklasifikasikan dalam famili Retroviridae, subfamili Lentiviridae,
genus Lentivirus. Selama infeksi berlangsung, sistem kekebalan tubuh menjadi lemah dan
orang menjadi lebih rentan terhadap infeksi. Tingkat HIV dalam tubuh dan timbulnya
berbagai infeksi tertentu merupakan indikator bahwa infeksi HIV telah berkembang
menjadi AIDS (Acquired Imunnodeficiency Syndrome. AIDS merupakan kumpulan
gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat virus
HIV. Sebagian besar orang yang terkena HIV, bila tidak mendapat pengobatan, akan
menunjukkan tanda-tanda AIDS dalam waktu 8-10 tahun. AIDS diidentifikasi
berdasarkan beberapa infeksi tertentu yang dikelompokkan oleh Organisasi Kesehatan
Dunia (World Health Organization) menjadi 4 tahapan stadium klinis, dimana pada
stadium penyakit HIV yang paling terakhir (stadium IV) digunakan sebagai indikator
AIDS. Sebagian besar keadaan ini merupakan infeksi oportunistik yang diderita oleh
orang yang sehat, infeksi tersebut dapat diobati (Bahrudin, 2019).
HIV mempunyai banyak istilah dan singkatan yang pasti membingungkan pada
awal kita mengetahuinya. Satu singkatan yang akan sering muncul adalah Odha. Odha
adalah orang yang hidup dengan HIV. Maksudnya dengan ‘hidup dengan HIV’ adalah
bahwa seseorang terinfeksi virus tersebut, tetapi tidak pasti seseorang tersebut sakit, dan
sekarang ada harapan yang nyata bahwa penderita HIV tidak akan meninggal karena
infeksi HIV (Murni et al., 2016).

2.2 Etiologi
Menurut UNAIDS (2004) pada (Bahrudin, 2019), individu dapat tertular virus HIV
melalui 3 cara, yaitu:
a) Kontak seksual tanpa pelindung. 90% HIV banyak ditularkan akibat hubungan
seksual. Cairan tubuh yang paling banyak mengandung virus HIV adalam semen
(air mani) dan cairan vagina/serviks serta darah, cairan mani yang keluar melalui
penis pada laki-laki dan vagina pada perempuan sebagai perantara yang paling t
inggi menularkan penyakit HIV karena bagian penis dan vagina memiliki struktur
lapisan pitel skuamukosa tipis yang mudah ditembusi oleh kuman HIV sampai ke
dalam jaringan ikat yang kaya pembuluh darah
b) Darah yang terinfeksi pada transfusi darah atau melalui alat suntik, alat tusuk tato,
tindik, alat bedah, dokter gigi, alat cukur dan melukai luka halus di kulit, jalur
transplantasi alat tubuh.
c) Penularan dari ibu yang terinfeksi HIV kepada anaknya, selama kehamilan
melalui transplasenta, proses kelahiran atau pemberian ASI (Air Susu Ibu).

2.3 Manifestasi Klinis


Menurut (Murni et al., 2016) setelah kita terinfeksi, kita tidak langsung sakit. Kita
mengalami masa tanpa gejala khusus. Walaupun tetap ada virus di dalam tubuh kita, kita
tidak mempunyai masalah kesehatan akibat infeksi HIV, dan merasa baik-baik saja. Masa
tanpa gejala ini bisa bertahun-tahun lamanya. Karena tidak ada gejala penyakit pada
tahun-tahun awal terinfeksi HIV, sebagian besar Odha tidak tahu ada virus itu di dalam
tubuhnya. Hanya dengan tes darah dapat kita mengetahui dirinya terinfeksi HIV.
Menjalani cara hidup yang baik dan seimbang sangat bermanfaat bagi kesehatan dan
dapat memperpanjang masa tanpa gejala. Namun ada pula yang menyebutkan jika tanda
dan gejala klinis yang ditemukan pada penderita HIV umumnya sulit dibedakan karena
gejala klinis umum yang didapati bisa saja muncul pada penderita penyakit lainnya.
Tanda gejala tersebut diantaranya adalah:
a) Rasa lelah dan lesu
b) Berat badan menurun secara drastis
c) Demam yang sering dan berkeringat waktu malam
d) Mencret dan kurang nafsu makan
e) Bercak-bercak putih di lidah dan di dalam mulut
f) Pembengkakan leher dan lipatan paha
g) Radang paru
h) Kanker kulit
Gejala penyakit AIDS tersebut harus ditafsirkan dengan hati-hati, karena dapat
merupakan gejala penyakit lain yang banyak terdapat di Indonesia, misalnya gejala panas
dapat disebabkan penyakit tipus atau tuberkulosis paru. Bila terdapat beberapa gejala
bersama-sama pada seseorang dan ia mempunyai perilaku atau riwayat perilaku yang
mudah tertular AIDS, maka dianjurkan ia tes darah HIV.

2.4 Perjalanan Penyakit HIV


1. Transmisi virus
Proses ini terjadi 2-6 minggu setelah seseorang terinfeksi virus HIV.
2. Infeksi HIV primer (sindrom retroviral akut)
Sebagian besar pasien yang terinfeksi HIV akan menunjukkan gejala infeksi
seperti contohnya demam, nyeri otot, nyeri sendi dan rasa lemah. Selain itu akan
muncul kelainan mukokutan yaitu ruam kulit, dan ulkus di mulut. Kemudian
pembengkakan kelenjar limfa, gejala neurologi (nyeri kepala, nyeri belakang
kepala, fotophobia, dan depresi maupun gangguan saluran cerna (anoreksia,
nausea, diare, jamur dimulut). Gejala ini akan muncul 2-6 minggu dan akan
membaik dengan atau tanpa pengobatan.
3. Serokonversi
Pada tahap ini sering disebut tahap pertama gejala HIV, dimana gejala akan
muncul beberapa minggu setelah tubuh terinfeksi dengan menunjukkan gejala
seperti flu, sakit tenggorokan, diare, demam, muncul peradangan berwarna merah
disertai benjolan kecil disekitarnya, berat badan turun, dan badan terasa lelah.
Gejala ini akan berhenti dan infeksi HIV tidak menunjukan gejala apapun selama
beberapa tahun.
4. Infeksi kronik asimptomatik
Pada fase ini, seseorang yang terinfeksi HIV tidak menunjukkan gejala selama
rata-rata 8 tahun. Penderita akan tampak sehat, dapat melakukan aktiftas normal,
tetapi dapat menularkan penyakit HIV kepada orang lain.
5. Infeksi kronik simptomatik
Di fase ini, akan muncul gejala-gejala pendahuluan seperti demam, pembesaran
kelenjar limfa yang kemudian diikuti infeksi oportunistik. Dengan adanya infeksi
oportunistik maka perjalanan penyakit telah memasuki stadium AIDS. Fase
simptomatik berlangsung rata-rata 1,3 tahun yang berakhir dengan kematian.
6. AIDS (indikator sesuai dengan CDC 1993 atau jumlah CD4 kurang dari
200/mm3)
7. Infeksi HIV lanjut ditandai dengan jumlah CD4 kurang dari 50/mm3
Setelah terjadi infeksi HIV ada masa dimana pemeriksaan serologis antibodi HIV masih
menunjukkan hasil negatif, sementara virus sebenarnya telah ada dalam jumlah banyak.
Pada masa ini, yang disebut window periode (periode jendela), orang yang telah
terinfeksi ini sudah dapat menularkan kepada orang lain walaupun pemeriksaan antibodi
HIV hasilnya negatif. Fase ini berlangsung selama 3-12 minggu.

2.5 Patofisiologi
Penyakit AIDS disebabkan oleh Virus HIV. Masa inkubasi AIDS diperkirakan
antara 10 minggu sampai 10 tahun. Diperkirakan sekitar 50% orang yang terinfeksi HIV
akan menunjukan gejala AIDS dalam 5 tahun pertama, dan mencapai 70% dalam sepuluh
tahun akan mendapat AIDS. Berbeda dengan virus lain yang menyerang sel target dalam
waktu singkat, virus HIV menyerang sel target dalamjangka waktu lama. Supaya terjadi
infeksi, virus harus masuk ke dalam sel, dalam hal ini sel darah putih yang disebut
limfosit. Materi genetik virus dimasukkan ke dalam DNA sel yang terinfeksi. Di dalam
sel, virus berkembangbiak dan pada akhirnya menghancurkan sel serta melepaskan
partikel virus yang baru. Partikel virus yang baru kemudian menginfeksi limfosit lainnya
dan menghancurkannya.
Virus menempel pada limfosit yang memiliki suatu reseptor protein yang disebut
CD4, yang terdapat di selaput bagian luar. CD4 adalah sebuah marker atau penanda yang
berada di permukaan sel-sel darah putih manusia, terutama sel-sel limfosit.Sel-sel yang
memiliki reseptor CD4 biasanya disebut sel CD4+ atau limfosit T penolong. Limfosit T
penolong berfungsi mengaktifkan dan mengatur sel-sel lainnya pada sistem kekebalan
(misalnya limfosit B, makrofag dan limfosit T sitotoksik), yang kesemuanya membantu
menghancurkan sel-sel ganas dan organisme asing. Infeksi HIV menyebabkan hancurnya
limfosit T penolong, sehingga terjadi kelemahan sistem tubuh dalam melindungi dirinya
terhadap infeksi dan kanker.
Seseorang yang terinfeksi oleh HIV akan kehilangan limfosit T penolong melalui
3 tahap selama beberapa bulan atau tahun. Seseorang yang sehat memiliki limfosit CD4
sebanyak 800-1300 sel/mL darah. Pada beberapa bulan pertama setelah terinfeksi HIV,
jumlahnya menurun sebanyak 40-50%. Selama bulan-bulan ini penderita bisa menularkan
HIV kepada orang lain karena banyak partikel virus yang terdapat di dalam darah.
Meskipun tubuh berusaha melawan virus, tetapi tubuh tidak mampu meredakan infeksi.
Setelah sekitar 6 bulan, jumlah partikel virus di dalam darah mencapai kadar yang stabil,
yang berlainan pada setiap penderita. Perusakan sel CD4+ dan penularan penyakit kepada
orang lain terus berlanjut. Kadar partikel virus yang tinggi dan kadar limfosit CD4+ yang
rendah membantu dokter dalam menentukan orang-orang yang beresiko tinggi menderita
AIDS. 1-2 tahun sebelum terjadinya AIDS, jumlah limfosit CD4+ biasanya menurun
drastis. Jika kadarnya mencapai 200 sel/mL darah, maka penderita menjadi rentan
terhadap infeksi.
Infeksi HIV juga menyebabkan gangguan pada fungsi limfosit B (limfosit yang
menghasilkan antibodi) dan seringkali menyebabkan produksi antibodi yang berlebihan.
Antibodi ini terutama ditujukan untuk melawan HIV dan infeksi yang dialami penderita,
tetapi antibodi ini tidak banyak membantu dalam melawan berbagai infeksi oportunistik
pada AIDS. Pada saat yang bersamaan, penghancuran limfosit CD4+ oleh virus
menyebabkan berkurangnya kemampuan sistem kekebalan tubuh dalam mengenali
organisme dan sasaran baru yang harus diserang. Setelah virus HIVmasuk ke dalam
tubuh dibutuhkan waktu selama 3-6 bulan sebelum titer antibodi terhadap HIVpositif.
Fase ini disebut “periode jendela” (window period).
Setelah itu penyakit seakan berhenti berkembang selama lebih kurang 1-20 bulan,
namun apabila diperiksa titer antibodinya terhadap HIV tetap positif (fase ini disebut fase
laten) Beberapa tahun kemudian baru timbul gambaran klinik AIDS yang lengkap
(merupakan sindrom/kumpulan gejala). Perjalanan penyakit infeksi HIVsampai menjadi
AIDS membutuhkan waktu sedikitnya 26 bulan, bahkan ada yang lebih dari 10 tahun
setelah diketahui HIV positif (Bahrudin, 2019).
PATHWAY HIV/AIDS

Transmisi HIV ke dalam tubuh melalui


darah, ASI / cairan tubuh ibu yg
infeksius

Pengikatan gp120 HIV dengan reseptor


membran T Helper + CD4

Fusi / peleburan membran virus dengan


membran sel T Helper + CD4

Enzim reverse transcriptase


RNA HIV  cDNA

Enzim integrase
cDNA masuk ke inti sel T Helper

Transkripsi mRNA dan translasi


menghasilkan protein struktural virus

Enzim protease
Merangkai RNA virus dengan
protein-protein yang baru dibentuk,

Terbentuk virus - virus HIV yang baru


dalam tubuh
Risiko Penularan Infeksi Replikasi dan perkembangan HIV
dalam cairan tubuh

HIV menginfeksi sel - sel T Helper + CD4 yang lain HIV menyerang sel-sel dendritik
dan makrofag di jaringan limfoid

Aliran darah Reaksi inflamasi Kerusakan sel T Helper + CD4


membawa HIV dalam jumlah yang besar Pembengkakan kelenjar limfa
ke pembuluh
darah perifer Hipertermi Kegagalan stimulasi sel B
di usus Kerusakan
Produksi antibodi menurun
Interaksi Sosial
Gangguan
Risiko Tinggi
keseimbangan Penurunan imunitas tubuh
Infeksi
flora normal di
usus (E.coli)
Infeksi oral Respiratori Infeksi pada kulit
Penyerapan air (Candida
di usus
albicans) Pneumonia TB
terganggu Kandidiasi oral.
Intake  Pneumocystis
Diare Herpes zozter,
carinii
Metabolisme  herpes simpleks,
Kekurangan Ketidak Penumpukan sektret sarcoma Kaposi,
Volume Cairan Produksi
seimbangan energi  dermatitis
Tubuh
Nutrisi Obstruksi jalan nafas seboreika, dll
Kelemahan
Kurang dari Gangguan Nyeri
Kebutuhan Bersihan jalan nafas Integritas
Intoleransi Aktivitas
tidak efektif Kulit
Penurunan imunitas tubuh

Infeksi pada
neurologik

Ensefalopari
HIV

Perubahan
status mental,
sakit kepala,
perlambatan
psikomotorik,
serangan
kejang,Gangg
uan afektif

Risiko
cedera
2.6 Penatalaksanaan Medis dan Pemeriksaan Penunjang
1. Tes antibodi.
Tes ini bertujuan untuk mendeteksi antibodi yang dihasilan tubuh untuk melawan
infeksi HIV. Meski untuk mencapai hasil pemeriksaan yang akurat, memerlukan
waktu 3-12 mingu, hal ini bertujuan agar jumlah antibodi dalam tubuh cukup tinggi
untuk terdeteksi saat dilakukan pemeriksaan.
2. Tes antigen.
Tes ini bertujuan untuk mendeteksi p24, suatu protein yang menjadi bagian dari virus
HIV. Tes antigen dapat dilakukan 2-6 minggu setelah pasien terinfeksi. Apabila hasil
skrining menunjukka pasien terinfeksi HIV (HIV+), maka pasien harus menjalani tes
selanjutnya. Hal ini dilakukan, selain untuk memastikan hasil skrining, tes
selanjutnya dapat membantu dokter mengetahui tahap infeksi yang diderita, serta
untuk menentukan metode pengobatan yang tepat. Sama seperti skrining, tes ini
dilakukan dengan mengambil sampel darah pasien, untuk diteliti di laboratorium.
Beberapa tes tersebut, antara lain (20):
a) Hitung sel CD4
CD4 adalah bagian sel darah putih yang dihancurkan oleh HIV. Oleh karena
itu, semakin sedikit jumlah CD4, semakin besar pula kemungkinan seseorang
terserang AIDS. Pada kondisi bormal, jumlah CD4 berada dalam rentang 500-
1400 sel/mm3 darah. Infeksi HIV berkembang menjadi AIDS bila hasil hitung
CD4 di bawah 200 sel/mm3 darah.
b) Pemeriksaan viral load (HIV RNA)
Pemeriksaan viral load bertujuan untuk menghitung RNA, bagia dari virus
HIV yang berfungsi menggandakan diri. Jumlah RNA yang lebih dari 100.000
kopi per mm darah, menandakan infeksi HIV baru saja terjadi atau tidak
tertangani. Sedangkan jumlah RNA di bawah 10.000 kopi per mm darah,
mengindikasikan perkembangan virus yang tidak terlalu cepat, akan tetapi,
kondisi tersebut tetap saja dapat menyebabkan kerusakan perlahan pada
sistem kekebalan tubuh.
c) Tes resistensi (kekebalan) terhadap obat
Beberapa subtipe HIV diketahui kebal pada obat anti HIV. Melalui tes ini,
dokter dapat menentukan jenis obat anti HIVyang tepat bagi pasien
3. Pemeriksaan Fisik
a) Suhu
Demam umum muncul pada pasien yang terinfeksi HIV, bahkan meskipun
tidak muncul gejala yang lain. Demam bisa menjadi tanda-tanda berbagai
jenis penyakit yang disebabkan oleh infeksi tertentu atau kanker yang lebih
umum pada orang yang mmepunyai kekebalan rendah.
b) Berat
Pemeriksaan berat badan dilakukan pada setiap kunjungan. Kehilangan 10%
dari berat badan, merupakan akibat dari syndrome wasting yang merupakan
salah satu tanda-tanda HIV. Diperlukan tambahan gizi, apabila pasien telah
kehilangan berat badan.
c) Mata
Cytomegalovirus (CMV) retinithis adalah komplikasi umum AIDS. Hal ini
terjadi lebih sering pada orang yang memiliki CD4 kurang dari 100 sel
mikroliter (MCL). Termasuk gejala floathers, penglihatan kabur, atau
kehilangan penglihatan. Jika terdapat gejala rethinitis CMV diharuskan segera
memeriksakan diri ke dokter mata.
d) Mulut
Infeksi jamur mulut dan luka mulut lainnya sangat umum pada orang yang
terinfeksi HIV. Dokter akan melakukan pemeriksaan mulut pada setiap kali
kunjungan. Pemeriksaan gigi setidaknya 2 kali setahun.
e) Kelenjar getah bening
Pembesaran kelenjar getah bening tidak selalu disebabkan oleh HIV. Pada
pemeriksaan kelenjar getah bening yang membesar, atau jika ditemukan
ukuran yang berbeda, dokter akan melakukan pemeriksaan setiap pasien
berkunjung.
f) Perut
Pemeriksaan abdomen mungkin akan menunjukkan abdomen yang membesar
(hepatomegali) atau pembesaran limfa (splenomegali). Kondisi ini dapat
disebabkan oleh infeksi baru atau mungkin menunjukkan kanker. Dokter akan
melakukan pemeriksaan perut pada setiap pasien melakukan kunjungan ke
RS/puskesmas atau jika pasien mengalami gejala-gejala seperti nyeri perut
bagian kanan atau kiri atas.
g) Kulit
Kulit merupakan masalah umum untuk penderita HIV. Pemeriksaan yang
teratur dapat mengungkapkan kondisi yang dapat diobati mulai tingkat
keparahan dari dermatitis seboroik sampai sarkoma kaposi.
4. Pemberian ARV (Antiretroviral)
HIV/AIDS merupakan penyakit yang sampai saat ini belum dapat disembuhkan.
Pemberian terapi ARV hanya dapat menghambat replikasi virus dan memperpanjang
waktu hidup pasien HIV/AIDS. Saat ini skrining HIV perlu diperluas untuk
meminimalkan keterlambatan diagnosis. Keterlambatan diagnosis memberi
kontribusi.
Obat ARV umumnya dipakai dalam gabungan dengan tiga atau lebih ARV dari
lebih dari satu golongan. Hal ini disebut sebagai terapi kombinasi, atau ART. ART
bekerja jauh lebih baik daripada hanya satu ARV sendiri. Cara penggunaan obat ini
mencegah munculnya resistansi. Waktu HIV menggandakan diri, sebagian dari bibit
HIV baru dapat menjadi sedikit berbeda dengan aslinya. Jenis berbeda ini disebut
mutan. Kebanyakan mutan langsung mati, tetapi beberapa di antaranya terus
menggandakan diri, walaupun kita tetap memakai ART – mutan tersebut ternyata
kebal terhadap obat. Jika ini terjadi, obat tidak bekerja lagi. Hal ini disebut sebagai
‘mengembangkan resistansi’ terhadap obat tersebut. Jika hanya satu jenis ARV
dipakai, virus secara mudah mengembangkan resistansi terhadapnya. Oleh karena itu,
penggunaan hanya satu jenis ARV (yang disebut monoterapi) tidak dianjurkan. Tetapi
jika dua jenis obat dipakai, virus mutan harus unggul terhadap dua obat ini sekaligus.
Dan jika tiga jenis obat dipakai, kemungkinan munculnya mutan yang dapat sekaligus
unggul terhadap semuanya sangat kecil.
Penggunaan kombinasi tiga jenis ARV berarti membutuhkan jauh lebih lama
untuk mengembangkan resistansi. Untuk memulai terapi ARV, sebagian besar dokter
akan mempertimbangkan jumlah CD4, dan gejala yang kita alami. Menurut pedoman
WHO, ART sebaiknya dimulai sebelum CD4 turun di bawah 350, bila kita hamil, kita
alami TB aktif, kita membutuhkan terapi untuk virus hepatitis B (HBV), atau kita
mempunyai gejala penyakit terkait HIV yang sedang atau berat. Kriteria untuk mulai
ditentukan dalam Pedoman ART Kemenkes. Keputusan untuk memulai ART sangat
penting, dan sebaiknya dibahas dahulu dengan dokter ARV dipilih berdasarkan
resistansi HIV terhadap obat, kesehatan kita (misalnya, ada penyakit hati atau ginjal)
dan faktor pola hidup. Namun tidak semua ARV di atas tersedia di Indonesia,
sehingga pilihan berdasarkan Pedoman ART. Sementara paduan ART umumnya
ditahan dengan baik, setiap ARV, sama seperti semua obat lain, dapat menimbulkan
efek samping. Setiap orang berbeda, sehingga bersama dengan dokter, harus
memutuskan obat apa yang kita pilih.

2.7 Komplikasi HIV AIDS


Adapun komplikasi kien dengan HIV/AIDS antara lain :
a) Pneumonia pneumocystis (PCP)
b) Tuberculosis (TBC)
c) Esofagitis
d) Diare
e) Toksoplasmositis
f) Leukoensefalopati multifocal prigesif
g) Sarcoma Kaposi
h) Kanker getah bening
i) Kanker leher rahim (pada wanita yang terkena HIV)
Bahrudin. (2019). MODUL PEMBELAJARAN KEPERAWATAN HIV AIDS. Icme Press.
Gunung, I. K., Sumantera, I. G. M., Sawitri, A. A. S., & Wirawan, D. N. (2013). Buku Pegangan
Konselor HIV / AIDS. Macfarlane Burnet Institute for Medical Research and Public
Health Limited.
Muntamah, U. (2020). BUKU REFERENSI UNTUK PERAWAT “PEDOMAN PERAWATAN
PALIATIF PADA ORANG DENGAN HIV/AIDS (ODHA) DI RUMAH SAKIT” (Vol. 1).
Yuma Pustaka.
Murni, S., Green, C. W., Djauzi, dr. S., Setiyanto, A., & Okta, S. (2016). Hidup dengan HIV-
AIDS (Vol. 2). Yayasan Spiritia.

Anda mungkin juga menyukai