Anda di halaman 1dari 12

ESSAY

MASALAH KESEHATAN REPRODUKSI DAN SEKSUAL


“HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome”

Disusun Oleh:
Widiya Sriwinarni (2221A0032)

PROGRAM STUDI ALIH JENJANG S1 KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS FAKAR
IIK STRADA INDONESIA
2023

1. Pengertian
HIV ( ) adalah virus pada manusia yang
menyerang sistem kekebalan tubuh manusia yang dalam jangka waktu yang relatif
lama dapat menyebabkan AIDS. Sedangkan AIDS sendiri adalah suatu sindroma
penyakit yang muncul secara kompleks dalam waktu relatif lama karena penurunan
sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh infeksi HIV.
(AIDS) adalah sekumpulan gejala penyakit karena menurunnya
sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh infeksi HIV.
(CDC) merekomendasikan bahwa diagnosa AIDS ditujukan pada orang yang
mengalami infeksi opportunistik, dimana orang tersebut mengalami penurunan sistem
imun yang mendasar (sel T berjumlah 200 atau kurang) dan memiliki antibodi positif
terhadap HIV. Kondisi lain yang sering digambarkan meliputi kondisi demensia
progresif, “ ”, atau (pada pasien berusia lebih dari 60
tahun), kanker-kanker khusus lainnya yaitu kanker serviks invasif atau diseminasi dari
penyakit yang umumnya mengalami lokalisasi misalnya, TB ( ). (Doenges,
2000).
(AIDS) merupakan kumpulan gejala
penyakit yang disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV). Virus HIV
ditemukan dalam cairan tubuh terutama pada darah, cairan sperma, cairan vagina dan
air susu ibu. Virus tersebut merusak kekebalan tubuh manusia dan mengakibatkan
turunnya atau hilangnya daya tahan tubuh sehingga mudah terjangkit penyakit infeksi.
(Nursalam, 2007)
2. Etiologi
AIDS adalah gejala dari penyakit yang mungkin terjadi saat system imun dilemahkan
oleh virus HIV. Penyakit AIDS disebabkan oleh Human Immunedeficiency Virus (HIV),
yang mana HIV tergolong ke dalam kelompok retrovirus dengan materi genetik dalam
asam ribonukleat (RNA), menyebabkan AIDS dapat membinasakan sel T-penolong
(T4), yang memegang peranan utama dalam sistem imun. Sebagai akibatnya, hidup
penderita AIDS terancam infeksi yang tak terkira banyaknya yang sebenarnya tidak
berbahaya, jika tidak terinfeksi HIV (Daili, 2005)
Transmisi infeksi HIV dan AIDS terdiri dari lima fase yaitu :
a. Periode jendela. Lamanya 4 minggu sampai 6 bulan setelah infeksi. Tidak ada
gejala.
b. Fase infeksi HIV primer akut. Lamanya 1-2 minggu dengan gejala flu likes illness.
c. Infeksi asimtomatik. Lamanya 1-15 atau lebih tahun dengan gejala tidak ada.
d. Supresi imun simtomatik. Diatas 3 tahun dengan gejala demam, keringat malam
hari, BB menurun, diare, neuropati, lemah, rash, limfadenopati, lesi mulut.
e. AIDS. Lamanya bervariasi antara 1-5 tahun dari kondisi AIDS pertama kali
ditegakkan. Didapatkan infeksi oportunis berat dan tumor pada berbagai system
tubuh, dan manifestasi neurologist.
AIDS dapat menyerang semua golongan umur, termasuk bayi, pria maupun
wanita. Yang termasuk kelompok resiko tinggi adalah :
a. Lelaki homoseksual atau biseks.
b. Orang yang ketagian obat intravena
c. Partner seks dari penderita AIDS
d. Penerima darah atau produk darah (transfusi).
e. Bayi dari ibu/bapak terinfeksi.

3. Epidemiologi HIV/AIDS
Infeksi HIV/AIDS saat ini juga telah mengenai semua golongan masyarakat, baik
kelompok risiko tinggi maupun masyarakat umum. Jika pada awalnya, sebagian besar
ODHA berasal dari kelompok homoseksual maka kini telah terjadi pergeseran dimana
persentase penularan secara heteroseksual dan pengguna narkotika semakin
meningkat (Djoerban dan Djauzi , 2007). Jumlah orang yang terinfeksi HIV/AIDS di
dunia pada tahun 2008 diperkirakan sebanyak 33,4 juta orang. Sebagian besar (31,3
juta) adalah orang dewasa dan 2,1 juta anak di bawah 15 tahun (Narain, 2004). Saat
ini AIDS adalah penyebab kematian utama di Afrika sub Sahara, dimana paling banyak
terdapat penderita HIV positif di dunia (26,4 juta orang yang hidup dengan HIV/AIDS),
diikuti oleh Asia dan Asia Tenggara dimana terdapat 6,4 juta orang yang terinfeksi.
Lebih dari 25 juta orang telah meninggal sejak adanya endemi HIV/AIDS (Narain,
2004). Sampai dengan akhir Maret 2005, tercatat 6.789 kasus HIV/AIDS yang
dilaporkan. Jumlah itu tentu masih sangat jauh dari jumlah sebenarnya. Departemen
Kesehatan RI pada tahun 2002 memperkirakan jumlah penduduk Indonesia yang
terinfeksi HIV adalah antara 90.000 sampai 130.000 orang (Djoerban, Djauzi , 2007) .

4. Patofisiologi
Virus masuk ke dalam tubuh manusia terutama melalui perantara darah, semen
dan secret Vagina. Sebagaian besar ( 75% ) penularan terjadi melalui hubungan
seksual.
HIV tergolong retrovirus yang mempunyai materi genetic RNA. Bilaman virus masuk
kedalam tubuh penderita ( sel hospes ), maka RNA virus diubah menjadi
oleh ensim reverse transcryptase yang dimiliki oleh HIV. DNA pro-virus tersebut
kemudian diintegrasikan kedalam sel hospes dan selanjutnya diprogramkan untuk
membentuk gen virus. HIV cenderung menyerang jenis sel tertentu, yaitu sel-sel yang
mempunyai antigen pembukaan CD4, terutama sekali limfosit T4 yang memegang
peranan penting dalam mengatur dan mempertahankan system kekebalan tubuh.
Selain tifosit T4,virus juga dapat menginfeksi sel monosit makrofag, sel Langerhans
pada kulit, sel dendrit folikuler pada kelenjar limfe, makrofag pada alveoli paru, sel
retina, sel serviks uteri dan sel-sel mikroglia otak Virus yng masuk kedalam limfosit T4
selanjutnya mengadakan replikasi sehingga menjadi banyak dan akhirnya
menghancurkan sel limfosit itu sendiri. Kejadian awal yang timbul setelah infeksi HIV
disebut sindrom retroviral akut atau Sindrom ini diikuti oleh
penurunan CD4 ( ) dan peningkatan kadar RNA Nu-HIV dalam
plasma. CD4 secara perlahan akan menurun dalam beberapa tahun dengan laju
penurunan CD4 yang lebih cepat pada 1,5 – 2,5 tahun sebelum pasien jatuh dalam
keadaan AIDS. Viral load ( jumlah virus HIV dalam darah ) akan cepat meningkat pada
awal infeksi dan kemudian turun pada suatu level titik tertentu maka viral load secara
perlahan meningkat. Pada fase akhir penyakit akan ditemukan jumlah CD4 <
200/mm3 kemudian diikuti timbulnya infeksi oportunistik, berat badan turun secara
cepat dan muncul komplikasi neurulogis. Pada pasien tanpa pengobatan ARV rata –
rata kemampuan bertahan setelah CD4 turun < 200/mm3 adalah 3,7 tahun. (DEPKES
RI,2003).

5. Stadium Penyakit
Menurut Nursalam (2007) pembagian stadium HIV menjadi AIDS ada empat stadium
yaitu
a. Stadium pertama HIV
Infeksi dimulai dengan masuknya HIV dan diikuti terjadinya perubahan serologi
ketika antibodi terhadap virus tersebut berubah dari negatif menjadi positif.
Rentan waktu sejak HIV masuk ke dalam tubuh sampai tes antibodi terhadap
HIV menjadi positif disebut Lama satu sampai tiga
bulan, bahkan ada yang berlangsung sampai enam bulan.
b. Stadium kedua asimtomatik ( tanpa gejala )
Asimtomatik berarti bahwa didalam organ tubuh tidak menunjukkan gejala -
gejala. Keadaan ini dapat berlangsung selama 5 – 10 tahun. Pasien yang tampak
sehat ini sudah dapat menularkan HIV kepada orang lain.
c. Stadium ketiga pembesaran kelenjar limfe
Pembesaran kelenjar limfe secara menetapdan merata (
tidak hanya muncul pada satu tempat saja, dan berlangsung
selama satu bulan.

d. Stadium keempat AIDS.


Keadaan inidisertai adanya bermacam – macam penyakit antara lain penyakit
saraf, infeksi sekunder dan lain – lain.

6. Manifestasi Klinis
Menurut Mandal (2004) tanda dan gejala penyakit AIDS menyebar luas dan pada
dasarnya dapat mengenai semua sistem organ. Penyakit yang berkaitan dengan
infeksi HIV dan penyakit AIDS terjadi akibat infeksi dan efek langsung HIV pada
jaringan tubuh. Adanya HIV dalam tubuh seseorang tidak dapat dilihat dari
penampilan luar. Orang yang terinfeksi tidak akan menunjukan gejala apapun dalam
jangka waktu yang relatif lama (±7-10 tahun) setelah tertular HIV. Masa ini disebut
masa . Orang tersebut masih tetap sehat dan bisa bekerja sebagaimana biasanya
walaupun darahnya mengandung HIV. Masa inilah yang mengkhawatirkan bagi
kesehatan masyarakat, karena orang terinfeksi secara tidak disadari dapat
menularkan kepada yang lainnya. Dari masa laten kemudian masuk ke keadaan AIDS
dengan gejala sebagai berikut:
Gejala Mayor:
a. Berat badan menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan
b. Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan
c. Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan
Gejala Minor:
a. Batuk menetap lebih dari 1 bulan
b. Adanya herpes zostermultisegmental dan herpes zoster berulang
c. Kandidias orofaringeal
d. Limfadenopati generalisata
e. Ruam
Menurut Anthony (Fauci dan Lane, 2008), gejala klinis HIV/AIDS dapat dibagikan
mengikut fasenya.
1. Fase akut
Sekitar 50-70% penderita HIV/AIDS mengalami fase ini sekitar 3-6 minggu selepas
infeksi primer. Gejala-gejala yang biasanya timbul adalah demam, faringitis,
limpadenopati, sakit kepala, arthtalgia, letargi, malaise, anorexia, penurunan berat
badan, mual, muntah, diare, meningitis, ensefalitis, periferal neuropati, myelopathy,
dan . Gejala-gejala ini
muncul bersama dengan ledakan plasma viremia. Tetapi demam, ruam kulit, faringitis
dan mialgia jarang terjadi jika seseorang itu diinfeksi melalui jarum suntik narkoba
daripada kontak seksual. Selepas beberapa minggu gejala-gajala ini akan hilang
akibat respon sistem imun terhadap virus HIV. Sebanyak 70% dari penderita HIV akan
mengalami limfadenopati dalam fase ini yang akan sembuh sendiri.
2. Fase asimptomatik
Fase ini berlaku sekitar 10 tahun jika tidak diobati. Pada fase ini virus HIV akan
bereplikasi secara aktif dan progresif. Tingkat pengembangan penyakit secara
langsung berkorelasi dengan tingkat RNA virus HIV. Pasien dengan tingkat RNA virus
HIV yang tinggi lebih cepat akan masuk ke fase simptomatik daripada pasien dengan
tingkat RNA virus HIV yang rendah.
3. Fase simptomatik
Selama fase akhir dari HIV, yang terjadi sekitar 10 tahun atau lebih setelah terinfeksi,
gejala yang lebih berat mulai timbul dan infeksi tersebut akan berakhir pada penyakit
yang disebut AIDS.

7. Pencegahan Penularan
Dengan mengetahui cara penularan HIV, maka akan lebih mudah melakukan
langkah-langkah pencegahannya. Secara mudah, pencegahan HIV dapat dilakukan
dengan rumusan ABCDE yaitu:
a. A= tidak melakukan hubungan seksual atau tidak melakukan
hubungan seksual sebelum menikah
b. B = , setia pada satu pasangan, atau menghindari berganti-ganti
pasangan seksual
c. C = , bagi yang beresiko dianjurkan selalu menggunakan kondom secara
benar selama berhubungan seksual
d. D = , jangan menggunakan obat (Narkoba) suntik dengan jarum
tidak steril atau digunakan secara bergantian
e. E = , pendidikan dan penyuluhan kesehatan tentang hal-hal yang
berkaitan dengan HIV/AIDS
8. Pemeriksaan Diagnostik
Pada daerah di mana tersedia laboratorium pemeriksaan anti-HIV, penegakan
diagnosis dilakukan melalui pemeriksaan serum atau cairan tubuh lain (
) penderita.

1. ELISA
ELISA digunakan untuk menemukan antibodi (Baratawidjaja). Kelebihan teknik
ELISA yaitu sensitifitas yang tinggi yaitu 98,1 %-100% (Kresno). Biasanya
memberikan hasil positif 2-3 bulan setelah infeksi. Tes ELISA telah
menggunakan antigen recombinan, yang sangat spesifik terhadap dan
(Hanum, 2009).
2. Western Blot
Western blot biasanya digunakan untuk menentukan kadar relatif dari suatu
protein dalam suatu campuran berbagai jenis protein atau molekul lain. Biasanya
protein HIV yang digunakan dalam campuran adalah jenis antigen yang
mempunyai makna klinik, seperti dan (Kresno, 2001). Western blot
mempunyai spesifisitas tinggi yaitu 99,6% - 100%. Namun pemeriksaan cukup
sulit, mahal membutuhkan waktu sekitar 24 jam (Hanum, 2009).
3. PCR
Kegunaan PCR yakni sebagai tes HIV pada bayi, pada saat zat antibodi maternal
masih ada pada bayi dan menghambat pemeriksaan secara serologis maupun
status infeksi individu yang seronegatif pada kelompok risiko tinggi dan sebagai
tes konfirmasi untuk HIV-2 sebab sensitivitas ELISA rendah untuk HIV-2 (Kresno,
2001). Pemeriksaan CD4 dilakukan dengan melakukan yaitu
dengan dan . Prinsip dan
( FAST) adalah menggabungkan kemampuan alat
untuk mengidentifasi karakteristik permukaan setiap sel dengan kemampuan
memisahkan sel-sel yang berada dalam suatu suspensi menurut karakteristik
masing-masing secara otomatis melalui suatu celah, yang ditembus oleh
seberkas sinar laser. Setiap sel yang melewati berkas sinar laser menimbulkan
sinyal elektronik yang dicatat oleh instrumen sebagai karakteristik sel
bersangkutan. Setiap karakteristik molekul pada permukaan sel manapun yang
terdapat di dalam sel dapat diidentifikasi dengan menggunakan satu atau lebih
probe yang sesuai. Dengan demikian, alat itu dapat mengidentifikasi setiap jenis
dan aktivitas sel dan menghitung jumlah masing-masing dalam suatu populasi
campuran (Kresno, 2001).

9. Program Pemerintah Indonesia dalam Pengendalian HIV/AIDS


Pemerintah memiliki Rencana Aksi Nasional Pengendalian HIV dan AIDS Bidang
Kesehatan 2015-2019 merupakan penjabaran dari Rencana Strategis Kementerian
Kesehatan 2015 – 2019 dan merupakan kelanjutan dari rencana pengendalian
penyakit HIV dan AIDS sebelumnya yang telah berakhir pada tahun 2014. Rencana
aksi ini berisi upaya pengendalian yang dijabarkan dalam bentuk strategi, kegiatan,
indikator dan target sampai dengan kerangka pendanaan yang bertujuan untuk
menghentikan epidemi AIDS di Indonesia pada tahun 2030 sesuai dengan situasi
epidemi di setiap wilayah serta kondisi sumber daya yang tersedia. Rencana aksi ini
menjadi dasar dalam penyelenggaraan program pengendalian HIV dan AIDS untuk
digunakan sebagai acuan seluruh pemangku kepentingan jajaran kesehatan baik di
Pusat maupun Daerah termasuk dukungan lintas sektor pemerintah maupun swasta
serta dunia usaha:
a. Meningkatkan cakupan layanan HIV-AIDS dan IMS melalui LKB:
1)Peningkatan Konseling dan Tes HIV,
2)Peningkatan Cakupan dan Retensi Pengobatan ARV,
3)Pengendalian Infeksi Menular Seksual (IMS) dan Kesehatan Reproduksi
(Kespro),
4)Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA),
5)Kolaborasi TB-HIV,
6)Pengembangan Laboratorium HIV dan IMS,
7)Program Pengurangan Dampak Buruk Napza (PDBN),
8)Kewaspadaan Standar,
9)Peningkatan Promosi Pencegahan HIV dan IMS,
10)Meningkatkan Pengamanan Darah Donor dan Produk Darah Lain.
b. Penguatan Sistem Kesehatan Nasional dalam pelaksanaan Layanan
Komprehensif Berkesinambungan (LKB) HIV-AIDS dan IMS:
1)Memperkuat Sistem Pembiayaan Program
2)Penguatan Manajemen Program
3)Pengembangan Sumber Daya Manusia
4)Penguatan Sistem Informasi Strategis dan Monitoring dan Evaluasi
5)Penguatan Tata Kelola Logistik program HIV-AIDS dan IMS
6)Memperkuat Jejaring Kerja dan Meningkatkan Partisipasi Masyarakat
Sebagaimana yang telah disebutkan di atas, Strategi Pemerintah dalam Program
Pengendalian HIV-AIDS dan PIMS dijabarkan sebagaimana berikut
a. Meningkatkan penemuan kasus HIV secara dini:
1) Daerah dengan epidemi meluas seperti Papua dan Papua Barat, penawaran
tes HIV perlu dilakukan kepada semua pasien yangdatang ke layanan
kesehatan baik rawat jalan atau rawat inap serta semua populasi kunci
setiap 6 bulan sekali.
2) Daerah dengan epidemi terkonsentrasi maka penawaran tes HIV rutin
dilakukan pada ibu hamil, pasien TB, pasien hepatitis, warga binaan
pemasyarakatan (WBP), pasien IMS, pasangan tetapataupun tidak tetap
PENDERITA HIV/AIDS dan populasi kunci seperti WPS, waria, LSL dan
penasun.
3) Kabupaten/kota dapatmenetapkan situasi epidemi di daerahnyadan
melakukan intervensi sesuai penetapan tersebut, melakukan monitoring dan
evaluasi serta surveilans berkala.
4) Memperluas akses layanan KTHIV dengan cara menjadikan tesHIV sebagai
standar pelayanan di seluruh fasilitas Kesehatan (FASKES) pemerintah
sesuai status epidemi dari tiapkabupaten/kota.
5) Dalam hal tidak ada tenaga medis dan/atau teknisi laboratoriumyang terlatih,
maka bidan atau perawat terlatih dapat melakukantes HIV. Memperluas dan
melakukan layanan KTHIV sampai ketingkat Puskemas.
6) Bekerja sama dengan populasi kunci, komunitas dan masyarakat umum
untuk meningkatkan kegiatan penjangkauan danmemberikan edukasi
tentang manfaat tes HIV dan terapi ARV.
7) Bekerja sama dengan komunitas untuk meningkatkan upayapencegahan
melalui layanan PIMS dan PTRM.
b. Meningkatkan cakupan pemberian dan retensi terapi ARV, serta perawatan kronis:
1) Menggunakan rejimen pengobatan ARV kombinasi dosis tetap (KDT-Fixed
Dose Combination-FDC), di dalam satu tablet mengandung tiga obat. Satu
tablet setiap hari pada jam yangsama, hal ini mempermudah pasien supaya
patuh dan tidak lupamenelan obat.
2) Inisiasi ARV pada fasyankes seperti puskesmas.
3) Memulai pengobatan ARV sesegera mungkin berapapun jumlah CD4 dan
apapun stadium klinisnya pada:
i. Kelompok populasi kunci, yaitu : pekerja seks, lelaki seks lelaki, pengguna
napza suntik, dan waria, dengan atau tanpa IMS lain.
ii. Populasi khusus, seperti: wanita hamil dengan HIV, pasien koinfeksi
TB-HIV, pasien ko-infeksi Hepatitis-HIV (Hepatitis B dan C), PENDERITA
HIV/AIDS yang pasangannya HIV negatif (pasangan sero-diskor), dan
bayi/anak dengan HIV (usia < 5 tahun).
iii. Semua orang yang terinfeksi HIV di daerah dengan epidemi meluas.
4) Mempertahankan kepatuhan pengobatan ARV dan pemakaian kondom
konsisten melalui kondom sebagai bagian dari paket pengobatan.
5) Memberikan konseling kepatuhan minum obat ARV
c. Memperluas akses pemeriksaan CD4 dan viral load (VL) termasuk early infant
diagnosis (EID), hingga ke layanan sekunder terdekat untuk meningkatkan jumlah
Penderita HIV/AIDS yang masuk dan tetap dalam perawatan dan pengobatan ARV
sesegera mungkin, melalui sistem rujukan pasien ataupun rujukan spesimen
pemeriksaan.
d. Peningkatan kualitas layanan fasyankes dengan melakukan mentoring klinis yang
dilakukan oleh rumah sakit atau FKTP.
e. Mengadvokasi pemerintah lokal untuk mengurangi beban biaya terkait layanan tes
dan pengobatan HIV-AIDS.
Pasal 5 Permenkes No. 21 tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS
menjelaskan tentang Strategi yang dipergunakan dalam melakukan kegiatan
Penanggulangan HIV dan AIDS meliputi:
1) Meningkatkan pemberdayaan masyarakat dalam penanggulangan HIV dan AIDS
melalui kerjasama nasional, regional, dan global dalam aspek legal, organisasi,
pembiayaan, fasilitas pelayanan kesehatan dan sumber daya manusia;
2) Memprioritaskan komitmen nasional dan internasional;
3) Meningkatkan advokasi, sosialisasi, dan mengembangkan kapasitas;
4) Meningkatkan upaya penanggulangan HIV dan AIDS yang merata, terjangkau,
bermutu, dan berkeadilan serta berbasis bukti, dengan mengutamakan pada
upaya preventif dan promotif;
5) Meningkatkan jangkauan pelayanan pada kelompok masyarakat berisiko tinggi,
daerah tertinggal, terpencil, perbatasan dan kepulauan serta bermasalah
kesehatan;
6) Meningkatkan pembiayaan penanggulangan HIV dan AIDS;
7) Meningkatkan pengembangan dan pemberdayaan sumber daya manusia yang
merata dan bermutu dalam penanggulangan HIV dan AIDS;
8) Meningkatkan ketersediaan, dan keterjangkauan pengobatan, pemeriksaan
penunjang HIV dan AIDS serta menjamin keamanan, kemanfaatan, dan mutu
sediaan obat dan bahan/alat yang diperlukan dalam penanggulangan HIV dan
AIDS; dan
9) Meningkatkan manajemen penanggulangan HIV dan AIDS yang akuntabel,
transparan, berdayaguna dan berhasil guna.

DAFTAR PUSTAKA

Aris Prio Agus Santoso, dan Erna Chotidjah Suhatmi,


UNIFIKASI: Jurnal
Ilmu Hukum Vol. 8, No. 1, 2021.
Aris Prio Agus Santoso, dkk.
, Jurnal Ilmu Sosial dan Pendidikan
(JISIP), Vol. 7 No. 3 Juli 2023.
Aris Prio Agus Santoso, dkk. “
, Jurnal Delima Harapan, Vol. 9, No. 1, 2022.
Gunawan Widjaja, dan Andina Rahmayani, "
”, Cross-Border, Vol. 2, No. 2,
2019.
Kemenkes RI, 2015, Pedoman Manajemen Program Pencegahan Penularan HIV dan
Sifilis dari Ibu ke Anak, Jakarta: Kemenkes RI.
Nasrin Kodim, dan Desy Hiryani, Kesmas: Jurnal
Kesehatan Masyarakat Nasional (National Public Health Journal), Vol. 5, No.
4, 2011.
Ninuk Dian K, S.Kep.Ners, Dr. Nursalam, M.Nurs (Hons). 2002.
Jakarta Salemba Medika.
Nursalam, dkk. 2007. Surabaya; Fakultas
keperawatan Universitas Airlangga.
Rahmat Hidayat, dkk.
Jurnal Keperawatan Ide,
Volume 2, Issue 01, January 2023.
Sukatemin, Edison Kabak dan Syaifoel Hardy.

, Jurnal Ilmu Kesehatan, Vol. 8, Issue 1, March 2023, p.


187–194.

Anda mungkin juga menyukai