A. DEFINISI Sindrom immunodeficiency yang didapat (AIDS, Acquired Immunodeficiency Syndrome) diartikan dari bentuk yang paling berat dari keadaan sakit terus menerus yang berkaitan dengan infeksi HIV. HIV diketahui sebagai HTLV III (Human T-Cell Lymphatropic Virus type III) dan virus yang berkaitan dengan limfadenopati (LAV, lymphadenopathy associated virus). (Brunner & Suddarth, 2001) Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan sekumpulan gejala penyakit yang menyebabkan kekebalan tubuh menurun, oleh karena adanya Human Immunodeficiency Virus (HIV) di dalam darah. Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang menyerang sel darah putih manusia dan menyebabkan menurunnya kekebalan/daya tahan tubuh. ( Doenges, 2000 ). AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) adalah sindroma yang menunjukkan defisiensi imun seluler pada seseorang tanpa adanya penyebab yang diketahui untuk dapat menerangkan terjadinya defisiensi tersebut seperti keganasan, obat-obat supresi imun, penyakit infeksi yang sudah dikenal dan sebagainya. (Rampengan dan Laurentz,2007)
B. ETIOLOGI Penyebab AIDS adalah sejenis virus yang tergolong Retrovirus yang disebut Human Immunodeficiency Virus (HIV). Dalam bentuknya yang asli merupakan partikel yang inert, tidak dapat berkembang atau melukai sampai ia masuk ke sel target. Sel target virus ini terutama sel Lymfosit T, karena ia mempunyai reseptor untuk virus HIV yang disebut CD-4. Didalam sel Lymfosit T, virus dapat berkembang dan seperti retrovirus yang lain, dapat tetap hidup lama dalam sel dengan keadaan inaktif. Walaupun demikian virus dalam tubuh pengidap HIV selalu dianggap infectious yang setiap saat dapat aktif dan dapat ditularkan selama hidup penderita tersebut. Virus HIV hidup dalam darah, saliva, semen, air mata dan mudah mati diluar tubuh. HIV dapat juga ditemukan dalam sel monosit, makrotag dan sel glia jaringan otak. Transmisi infeksi HIV dan AIDS terdiri dari lima fase yaitu : 1. Periode jendela Lamanya 4 minggu sampai 6 bulan setelah infeksi dan tidak ada gejala. 2. Fase infeksi HIV primer akut. Lamanya 1-2 minggu dengan gejala flu likes illness. 3. Infeksi asimtomatik. Lamanya 1-15 atau lebih tahun dengan gejala tidak ada. 4. Supresi imun simtomatik. Diatas 3 tahun dengan gejala demam, keringat malam hari, B menurun, diare, neuropati, lemah, rash, limfadenopati, lesi mulut. 5. AIDS. Lamanya bervariasi antara 1-5 tahun dari kondisi AIDS pertama kali ditegakkan. Didapatkan infeksi oportunis berat dan tumor pada berbagai system tubuh, dan manifestasi neurologist. (Nursalam, 2007) C. KLASIFIKASI TAHAPAN INFEKSI Stadium perkembangan dari infeksi HIV menjadi AIDS terbagi menjadi empat stadium. 1. Stadium satu Infeksi dimulai dengan masuknya HIV dan diikuti terjadinya perubahan serologis ketika antibodi terhadap virus tersebut berubah dari negatif menjadi positif, rentan waktu sejak HIV masuk kedalam tubuh sampai tes antibodi terhadap HIV menjadi positif yang disebut window period yang lamanya antara satu sampai tiga bulan, bahkan ada yang dapat berlangsung sampai enam bulan. 2. Stadium dua (asimptomatik/tanpa gejala) Di dalam organ tubuh terdapat HIV tetapi tubuh tidak menunjukkan gejala-gejala, keadaan ini dapat berlangsung selama 5 sampai 10 tahun. Cairan tubuh pasien HIV/AIDS yang tampak sehat ini sudah dapat menularkan HIV kepada orang lain. 3. Stadium tiga Terjadi pembesaran kelenjar limfe secara menetap dan merata, tidak hanya muncul pada tempat saja dan gejala berlangsung lebih dari satu bulan. 4. Stadium empat (AIDS) Individu mengalami bermacam-macam penyakit (infeksi oportunistik).
Berkurangnya jumlah sel limfosit T CD4+ merupakan salah satu cara mengidentifikasi perjalanan klinik infeksi HIV. Klasifikasi tahapan infeksi HIV menurut Centers for Disease Control (CDC) USA 1986 sebagai berikut: 1. Kelompok infeksi akut: (CD4: 700- 1000) Gejala infeksi akut biasanya timbul sesudah masa inkubasi selama 1-3 bulan. Gejala yang timbul umumnya seperti influenza, demam, artralgia, malaise, anoreksia, gejala pada kulit seperti urtikaria dan bercak-bercak merah, gejala syaraf (sakit kepala, radikulopati, gangguan kognitif dan efektif), gangguan GI (nausea, vomit, diare, kandidiasis orofaringis) pada vase ini virus sangat menular karena terjadi viremia. 2. Kelompok infeksi kronis asimtomatik: (CD4 >500/ml) Terjadi setelah infeksi akut, sekitar 5 tahun setelah terinfeksi, keadan pasien tampak baik padahal sebenarnya terjadi replikasi virus secara lambat di dalam tubuh. Penderita ditandai dengan limfadenopati generalisata persisten (LPG). Terjadi penurunan jumlah CD4+ sebagai petunjuk menurunnya kekebalan tubuh penderita, namun jumlahnya masih dalam batas 500/ml. Pada fase ini secara sporadis muncul penyakit autoimun, misalnya idiopathic thrombocytopenia.
3. Kelompok infeksi kronik simptomatik Fase ini dimulai setelah 5 tahun terkena HIV. Dibedakan menjadi: a. Penurunan imunitas sedang : CD4 200-500 Pada fase ini terjadi reaktivasi penyakit ringan seperti, reaktivasi herpes zooster/ herpes simpleks. Adanya penyakit kulit, kandidiasis oral, timbulnya ARC (AIDS Related Complex) yang ditandai dengan paling sedikit 2 gejala berikut : 1) Demam yang berlangsung > 3 bulan 2) Penurunan berat badan > 10% 3) Limfadenopati selama > 3 bulan 4) Diare 5) Kelelahan dan keringat malam dengan ditambah paling sedikit ada 2 kelainan lab, yaitu: - T4 < 200, ratio T4/T8 <1,0 - Leukotrombositopenia dan anemi - Peningkatan serum imunoglobulin - Penurunan blastogenesis sel limfosit b. Penurunan imunitas berat: CD4 < 200 Pada fase ini terjadi infeksi opportunistik berat yang mengancam jiwa, pneumocystitis carinii, toxoplasma, Cryptococcus, tuberkulosa, Cytomegalo virus, dan keganasan ( sarkoma kaposi, limfoma, ensefalopati dll), merupakan fase viremia yang kedua, dan tubuh sudah kehilangan kekebalan tubuhnya. (Brunner dan Suddart, 2001)
D. MANIFESTASI KLINIS Gambaran klinis infeksi HIV pada dasarnya disebabkan oleh HIV itu sendiri (sindrom retroviral akut demensia HIV), infeksi oportunistik, atau kanker yang terkait AIDS. Manifestasi klinis yang tampak dibagi menjadi 2, yaitu: 1. Manifestasi Klinis Mayor a. Demam berkepanjangan lebih dari 3 bulan b. Diare kronis lebih dari satu bulan berulang maupun terus-menerus c. Penurunan berat badan lebih dari 10% dalam 1 bulan d. Penurunan kesadaran dan adanya gangguan neurologis. e. Demensia / HIV Ensefalipati. 2. Manifestasi Klinis Minor a. Batuk kronis selama lebih dari satu bulan b. Infeksi pada mulut dan jamur disebabkan karena jamur Candida Albicans c. Dermatitis generalis d. Pembengkakan kelenjar getah bening yang menetap di seluruh tubuh e. Munculnya Herpes zoster berulang dan bercak-bercak gatal di seluruh tubuh. f. Retinitis Cytomegalovirus
E. PATOFISIOLOGI HIV masuk kedalam darah dan mendekati sel Thelper dengan melekatkan dirinya pada protein CD4. Sekali ia berada di dalam, materi viral (jumlah virus dalam tubuh penderita) turunan yang disebut RNA (ribonucleic acid) berubah menjadi viral DNA (deoxyribonucleic acid) dengan suatu enzim yang disebut reverse transcriptase. Viral DNA tersebut menjadi bagian dari DNA manusia, yang mana menghasilkan lebih banyak sel jenisnya. Siklus replikasi HIV dibatasi dalam stadium ini, sampai sel yang terinfeksi diaktifkan. Aktivasi sel yang terinfeksi dapat dilaksanakan oleh antigen, mitogen, sitokin (TNF alfa atau interleukin 1) atau produk gen virus seperti sitomegalovirus (CMV; Cytomegalovirus), virus Epstein-Barr, herpes simplex, dan hepatitis. Sebagai akibatnya, pada saat sel T4 yang terinfeksi diaktifkan, replikasi serta pembentukan tunas HIV akan terjadi dan sel T4 akan dihancurkan. HIV yang baru dibentuk ini kemudian dilepas ke dalam plasma darah dan menginfeksi sel-sel CD4+ lainnya. Infeksi monosit dan makrofag tampaknya berlangsung secara persisten dan tidak mengakibatkan kematian sel yang bermakna, tetapi sel-sel ini menjadi reservoir bagi HIV sehingga virus tersebut dapat tersembunyi dari sistem imun dan terangkut ke seluruh tubuh untuk menginfeksi pelbagai jaringan tubuh. Sebagian besar jaringan ini dapat mengandung molekul CD4+ atau memiliki kemampuan untuk memproduksinya. Replikasi virus akan berlangsung terus menerus sepanjang perjalanan infeksi HIV. Hal ini adalah sebuah proses yang sedikit demi sedikit akhirnya merusak sistem kekebalan tubuh dan meninggalkan tubuh menjadi mudah diserang oleh infeksi dan penyakitpenyakit yang lain. Dibutuhkan waktu untuk menularkan virus tersebut dari orang ke orang. Respons tubuh secara alamiah terhadap suatu infeksi adalah untuk melawan selsel yang terinfeksi dan mengantikan selsel yang telah hilang. Respons tersebut mendorong virus untuk menghasilkan kembali dirinya. Jumlah normal dari selsel CD4+T pada seseorang yang sehat adalah 8001200 sel/ml kubik darah. Ketika seorang pengidap HIV yang selsel CD4+ T terhitung dibawah 200, sehingga menjadi semakin mudah diserang oleh infeksiinfeksi oportunistik. Infeksiinfeksi oportunistik adalah infeksiinfeksi yang timbul ketika sistem kekebalan tertekan. Pada seseorang dengan sistem kekebalan yang sehat infeksiinfeksi tersebut tidak biasanya mengancam hidup mereka tetapi bagi seorang pengidap HIV hal tersebut dapat menjadi fatal. (Sylvia Price, 1995)
F. PATHWAYS Terlampir
G. CARA PENULARAN HIV terdapat dalam darah dan cairan tubuh seseorang yang tertular. Penderita kadang belum merasakan keluhan dan gejalanya. HIV dapat ditularkan hanya : 1. Bila kontak langsung dengan darah atau cairan tubuh. 2. Makin besar jumlah virusnya makin berat infeksinya. 3. Jumlah virus yang banyak terdapat dalam : o Cairan darah, sperma o Cairan vagina/serviks o Otak Jumlah virus dalam jumlah sedikit terdapat dalam : o Urin o Saliva, keringat o ASI Ada tiga cara penularan HIV : 1. Hubungan seksual Vaginal, oral, anal, mempunyai factor resiko sekitar 80-90 % sedunia. 2. Kontak langsung dengan jarum suntik Transfuse darah yang tercemar HIV (90%) Terpapar mukosa yang mengandung HIV, resiko penularan 0,0051% Pemakaian jarum suntik bersama-sama Melalui kecelakaan kerja : tertusuk jarum, resiko penularan 0,03 % 3. Secara vertikal dari ibu hamil pengidap HIV terhadap bayi atau anak dalam kandungan Sejak hamil Saat atau setelah melahirkan, resiko penularan 50% Melalui ASI, resiko sekitar 14 %
Kelompok resiko terinfeksi : Pria dengan aktif seksual : biseksual atau homoseksual dengan banyak pasangan. Pasangan heteroseksual dengan pasien infeksi HIV Drug users : intravena. Pasien hemophilia atau pasien yang memerlukan transfuse darah. Bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi HIV. (Nursalam, 2007)
H. KOMPLIKASI 1. Oral Lesi Karena kandidia, herpes simplek, sarcoma Kaposi, HPV oral, gingivitis, peridonitis Human Immunodeficiency Virus (HIV), leukoplakia oral,nutrisi,dehidrasi,penurunan berat badan, keletihan dan cacat. 2. Neurologik a. Kompleks dimensia AIDS karena serangan langsung Human Immunodeficiency Virus (HIV) pada sel saraf, berefek perubahan kepribadian, kerusakan kemampuan motorik, kelemahan, disfasia, dan isolasi social. b. Enselophaty akut, karena reaksi terapeutik, hipoksia, hipoglikemia, ketidakseimbangan elektrolit, meningitis / ensefalitis. Dengan efek : sakit kepala, malaise, demam, paralise, total / parsial. c. Infark serebral kornea sifilis meningovaskuler,hipotensi sistemik, dan maranik endokarditis. d. Neuropati karena imflamasi demielinasi oleh serangan Human Immunodeficienci Virus (HIV) 3. Gastrointestinal a. Diare karena bakteri dan virus, pertumbuhan cepat flora normal, limpoma, dan sarcoma Kaposi. Dengan efek, penurunan berat badan,anoreksia,demam,malabsorbsi, dan dehidrasi. b. Hepatitis karena bakteri dan virus, limpoma,sarcoma Kaposi, obat illegal, alkoholik. Dengan anoreksia, mual muntah, nyeri abdomen, ikterik,demam atritis. c. Penyakit Anorektal karena abses dan fistula, ulkus dan inflamasi perianal yang sebagai akibat infeksi, dengan efek inflamasi sulit dan sakit, nyeri rectal, gatal-gatal dan siare. 4. Respirasi Infeksi karena Pneumocystic Carinii, cytomegalovirus, virus influenza, pneumococcus, dan strongyloides dengan efek nafas pendek, batuk, nyeri, hipoksia, keletihan, gagal nafas. 5. Dermatologik Lesi kulit stafilokokus : virus herpes simpleks dan zoster, dermatitis karena xerosis, reaksi otot, lesi scabies/tuma, dan dekobitus dengan efek nyeri,gatal,rasa terbakar,infeksi skunder dan sepsis. 6. Sensorik a. Pandangan : Sarkoma Kaposi pada konjungtiva berefek kebutaan b. Pendengaran : otitis eksternal akut dan otitis media, kehilangan pendengaran dengan efek nyeri.
I. PEMERIKSAAN PENUNJANG 1. Tes untuk diagnosa infeksi HIV : a. ELISA ELISA merupakan komponen integral dari laboratorium klinik. Tingkat sensitifitas yang tinggi dan minimnya pengunaan radioisotop menyebabkan tes ini luas digunakan untuk mendeteksi antigen dan antibodi secara kualitatif dan kuantitatif. Jika digunakan dengan baik, tes ini mempunyai sensitifitas > 98%. Dasar pemeriksaan ini adalah mereaksikan antigen HIV dengan serum. Apabila di dalam serum terdapat antibodi HIV, akan terjadi ikatan antigen-antibodi. Serum ditambahkan anti IgG yang bertanda peroksidase. Terjadi ikatan antigen-antibodi dengan anti IgG peroksidase. Peroksidase yang terikat akan memecah substrat yang ditambah sehingga menghasilkan perubahan warna yang akan dibaca dengan spektrofotometer. Jika terdeteksi antibodi virus di dalam jumlah besar akan memperlihatkan warna yang lebih tua. b. Western blot Tes Western Blot merupakan cara pemeriksaan yang lebih spesifik, dimana antibodi terhadap protein HIV dari berat molekul tertentu dapat terdeteksi. Tes ini menggunakan kombinasi dari elektroforesis dan tes ELISA sehingga dapat menentukan respon terhadap berbagi protein spesifik. c. P24 antigen test d. Kultur HIV 2. Tes untuk deteksi gangguan system imun. a. Hematokrit. b. LED c. CD4 limfosit d. Rasio CD4/CD limfosit e. Serum mikroglobulin B2 f. Hemoglobulin
J. PENATALAKSANAAN MEDIS Penatalaksanaan infeksi AIDS meliputi penatalaksanaan medik, psikologis dan social. Penatalaksanaannya meliputi : 1. Pengobatan Suportif Tujuan pengobatan ini ialah untuk meningkatkan keadaan umum pasien. Pengobatan nin terdiri atas pemberian gizi yang sesuai, obat sistemik, serta vitamin. Disamping itu perlu diupayakan dukungan psikososial agar pasien dapat melakukan aktivitas seperti semula. Pengobatan ini meliputi : a. Nutrisi dan vitamin yang cukup b. Bekerja c. Pandangan hidup yang positif d. Hobi e. Dukungan psikologis f. Dukungan social. House (2002) membedakan empat jenis dimensi dukungan social : 1) Dukungan Emosional Mencakup ungkapan empati, kepedulian dan perhatian terhadap pasien dengan HIV AIDS yang bersangkutan 2) Dukungan Penghargaan Terjadi lewat ungkapan hormat / penghargaan positif untuk orang lain itu, dorongan maju atau persetujuan dengan gagasan atau perasaan individu dan perbandingan positif orang itu dengan orang lain 3) Dukungan Instrumental Mencakup bantuan langsung misalnya orang memberi pinjaman uang, kepada penderita HIV AIDS yang membutuhkan untuk pengobatannya 4) Dukungan Informatif Mencakup pemberian nasehat, petunjuk, sarana. 2. Obat-obatan Antiretroviral Obatobatan Antiretroviral (ARV) bukanlah suatu pengobatan untuk HIV/AIDS tetapi cukup memperpanjang hidup dari mereka yang mengidap HIV. Pada tempat yang kurang baik pengaturannya permulaan dari pengobatan ARV biasanya secara medis direkomendasikan ketika jumlah sel CD4 dari orangyang mengidap HIV/AIDS adalah 200 atau lebih rendah. Untuk lebih efektif, maka suatu kombinasi dari tiga atau lebih ARV dikonsumsi, secara umum ini adalah mengenai terapi Antiretroviral yang sangat aktif (HAART). Kombinasi dari ARV berikut ini dapat mengunakan: a. Nucleoside Analogue Reverse Transcriptase Inhibitors (NRTI'), mentargetkan pencegahan protein reverse transcriptase HIV dalam mencegah perpindahan dari viral RNA menjadi viral DNA (contohnya AZT, ddl, ddC & 3TC). b. Nonnucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NNRTI's) memperlambat reproduksi dari HIV dengan bercampur dengan reverse transcriptase, suatu enzim viral yang penting. Enzim tersebut sangat esensial untuk HIV dalam memasukan materi turunan kedalam selsel. Obatobatan NNRTI termasuk: Nevirapine, delavirdine (Rescripta), efavirenza (Sustiva). c. Protease Inhibitors (PI) mengtargetkan protein protease HIV dan menahannya sehingga suatu virus baru tidak dapat berkumpul pada sel tuan rumah dan dilepaskan. 3. Pencegahan perpindahan dari ibu ke anak (PMTCT): seorang wanita yang mengidap HIV(+) dapat menularkan HIV kepada bayinya selama masa kehamilan, persalinan dan masa menyusui. Dalam ketidakhadiran dari intervensi pencegahan, kemungkinan bahwa bayi dari seorang wanita yang mengidap HIV(+) akan terinfeksi kirakira 25%35%. Dua pilihan pengobatan tersedia untuk mengurangi penularan HIV/AIDS dari ibu ke anak. Obatobatan tersebut adalah: a. Ziduvidine (AZT) dapat diberikan sebagai suatu rangkaian panjang dari 14 28 minggu selama masa kehamilan. Studi menunjukkan bahwa hal ini menurunkan angka penularan mendekati 67%. Suatu rangkaian pendek dimulai pada kehamilan terlambat sekitar 36 minggu menjadi 50% penurunan. Suatu rangkaian pendek dimulai pada masa persalinan sekitas 38%. Beberapa studi telah menyelidiki pengunaan dari Ziduvidine (AZT) dalam kombinasi dengan Lamivudine (3TC) b. Nevirapine: diberikan dalam dosis tunggal kepada ibu dalam masa persalinan dan satu dosis tunggal kepada bayi pada sekitar 23 hari. Diperkirakan bahwa dosis tersebut dapat menurunkan penularan HIV sekitar 47%. Nevirapine hanya digunakan pada ibu dengan membawa satu tablet kerumah ketika masa persalinan tiba, sementara bayi tersebut harus diberikan satu dosis dalam 3 hari. 4. Postexposure prophylaxis (PEP) adalah sebuah program dari beberapa obat antiviral, yang dikonsumsi beberapa kali setiap harinya, paling kurang 30 hari, untuk mencegah seseorang menjadi terinfeksi dengan HIV sesudah terinfeksi, baik melalui serangan seksual maupun terinfeksi occupational. 5. Vaksin terhadap HIV dapat diberikan pada individu yang tidak terinfeksi untuk mencegah baik infeksi maupun penyakit. Dipertimbangkan pula kemungkinan pemberian vaksin HIV terapeutik, dimana seseorang yang terinfeksi HIV akan diberi pengobatan untuk mendorong respon imun anti HIV, menurunkan jumlah sel-sel yang terinfeksi virus, atau menunda onset AIDS. Namun perkembangan vaksin sulit karena HIV cepat bermutasi, tidak diekspresi pada semua sel yang terinfeksi dan tidak tersingkirkan secara sempurna oleh respon imun inang setelah infeksi primer. 6. Pengendalian Infeksi Opurtunistik Bertujuan menghilangkan, mengendalikan, dan pemulihan infeksi opurtunistik, nasokomial, atau sepsis. Tindakan pengendalian infeksi yang aman untuk mencegah kontaminasi bakteri dan komplikasi penyebab sepsis harus dipertahankan bagi pasien di lingkungan perawatan kritis. (Nursalam, 2007)
K. KONSEP DASAR KEPERAWATAN 1. Pengkajian Pengkajian keperawatan mencakup pengenalan factor resiko yang potensial, termasuk praktik seksual yang beresiko dan penggunaan obat bius IV. Diantaranya : a. Status nutrisi dinilai dengan menanyakan riwayat diet dan mengenali faktor- faktor yang dapat mengganggu asupan oral seperti anoreksia, mual, vomitus, nyeri oral atau kesulitan menelan. Disamping itu, kemampuan pasien untuk membeli dan mempersiapkan makanan harus dinilai. Penimbangan, berat badan, pengukuran antopometri, pemeriksaan kadar BUN (bloood urea nitrogen), protein serum, albumin dan transferin. b. Kulit dan membran mukosa diinspeksi untuk menemukan tanda-tanda lesi, ulserasi atau infeksi. Rongga mulut diperiksa untuk memantau gejala kemerahan, ulserasi dan adanya bercak-bercak putih seperti krim yang menunjukkan kandidiasis. Daerah perianal harus diperiksa untuk menemukan ekskoriasi dan infeksi pada pasien dengan diare yang profus. Pemeriksaan kultur luka dapat dimintakan untuk mengidentifikasi mikroorganisme yang infeksius. c. Status respiratorius dinilai lewat pemantauan pasien untuk mendeteksi gejala batuk, produksi sputum, napas yang pendek, ortopnea, takipnea dan nyeri dada. Keberadaan suara pernafasan dan sifatnya juga harus diperiksa. Ukuran fungsi paru yang lain mencakup hasil foto ronsen thoraks, hasil pemeriksaan gas darah arteri dan hasil tes faal paru. d. Status neurologis ditentukan dengan menilai tingkat kesadaran pasien, orientasinya terhadap orang, tampat serta waktu dan ingatan yang hilang. Pasien juga dinilai untuk mendeteksi gangguan sensorik (perubahan visual, sakit kepala, patirasa dan parestesia pada ekstremitas) serta gangguan motorik (perubahan gaya jalan, paresis atau paralisis) dan serangkaian kejang. e. Status eliminasi dinilai dengan adanya diare yang intermiten, terus menerus, disertai/tanpa kram abdominal, nyeri panggul, rasa terbakar saat miksi, feses encer disertai/tanpa mukus atau darah, diare pekat yang sering, nyeri tekan abdominal, lesi atau abses rektal, perianal, dan perubahan dalam jumlah, warna, dan karakteristik urin f. Status cairan dan elektrolit dinilai dengan memeriksa kulit serta membran mukosa untuk menentukan turgor dan kekeringannya. Peningkatan rasa haus, penurunan haluaran urine, tekanan darah yang rendah dan penurunan tekanan sistolik antara 10 dan 15 mmHg dengan disertai kenaikan frekuensi denyut nadi ketika pasien duduk, denyut nadi yang lemah serta cepat dan berat jenis urine sebesar 1,025 atau lebih menunjukkan dehidrasi. Gangguan keseimbangan elektrolit seperti penurunan kadar natrium, kalium, kalsium, magnesium dan klorida dalam serum secara khas akan terjadi karena diare hebat. Pemeriksaan pasien juga dilakukan untuk menilai tanda-tanda dan gejala deplesi elektrolit; tanda-tanda ini mencakup penurunan status mental, kedutan otot vomitus, dan pernapasan yang dangkal. g. Seksualitas klien perlu dikaji terkait riwayat perilaku berisiko tinggi yaitu hubungan seksual dengan pasangan positif HIV, pasangan seksual multipel, aktivitas seksual yang tidak terlindung, dan seks anal. Menurunnya libido, terlalu sakit untuk melakukan hubungan seksual, dan penggunaan kondom yang tidak konsisten. Menggunakan pil KB yang meningkatkan kerentanan terhadap virus pada wanita yang diperkirakan dapat terpajan karena peningkatan kekeringan vagina. h. Tingkat pengetahuan pasien tentang penyakitnya dan cara-cara penularan penyakit harus dievaluasi. Disamping itu, tingkat pengetahuan keluarga dan sahabat perlu dinilai. Reaksi psikologis pasien terhadap diagnosis penyakit AIDS merupakan informasi penting yang harus digali. Reaksi dapat bervariasi antara pasien yang satu dengan yang lainnya dan dapat mencakup penolakan, amarah, rasa takut, rasa malu, menarik diri dari pergaulan sosial dan depresi. Pemahaman tentang cara pasien menghadapi sakitnya dan riwayat stress utama yang pernah dialami sebelumnya kerapkali bermanfaat. Sumber-sumber yang dimiliki pasien untuk memberikan dukungan kepadanya juga harus diidentifikasi. (House dalam Depkes 2002)
2. Diagnosa Keperawatan Rencana keperawatan didasarkan kepada diagnosa yang tegakkan pada masing- masing klien. Berikut adalah beberapa diagnosa yang mungkin terjadi pada klien HIV-AIDS (Doenges, 2000): a. Kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan infeksi HIV, ekskoriasi dan diare. b. Diare yang berhubungan dengan kuman patogen usus dan atau infeksi HIV c. Risiko terhadap infeksi yang berhubungan dengan imunodefisiensi. d. Kurang pengetahuan yang berhubungan dengan cara-cara mencegah penularan HIV dan perawatan mandiri. e. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan penurunan asupan oral.
3. Intervensi a. Kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan infeksi HIV, ekskoriasi dan diare. Tujuan : integritas kulit baik Kriteria hasil: Klien mampu menunjukkan kemajuan pada penyembuhan luka atau lesi dan menunjukkan tingah laku atau teknik dalam mencegah kerusakan kulit. Intervensi: 1) Kaji kulit setiap hari. 2) Pertahankan hygiene kulit. 3) Pertahankan lingkungan sekitar klien bersih dan kering. 4) Dorong untuk ambulasi atau turun dari tempat tidur jika memungkinkan. 5) Tutupi luka yang terbuka dengan pembalut yang steril atau barier. 6) Kolaborasi dengan dokter pemberian obat-obatan topika/sistemik sesuai indikasi.
b. Diare yang berhubungan dengan kuman patogen usus dan atau infeksi HIV Tujuan : Mendapatkan kembali kebiasaan defekasi yang lazim Intervensi : 1) Kaji kebiasaan defekasi normal pasien 2) Kaji terhadap diare : sering, feses encer, nyeri atau kram abdomen, volume feses cair dan faktor pemberat dan penghilang 3) Dapatkan kultur feses dan berikan therapi antimikroba sesuai ketentuan 4) Lakukan tindakan untuk mengurang pembatasan sesuai ketentuan dokter : 5) Pertahankan pembatasan makanan dan cairan sesuai ketentuan dokter 6) Hindari merokok 7) Hindari iritan usu seperti makanan berlemak atau gorengan, sayuran mentah dan kacang-kacangan 8) Berikan makan sedikit dan sering 9) Kolaborasikan dalam pemberian antispasmodik antikolinergis atau obat sesuai ketentuan 10) Pertahankan masukan cairan sedikitnya 3 L kecuali dikontraindikasikan
c. Risiko terhadap infeksi yang berhubungan dengan imunodefisiensi. Tujuan: mengurangi resiko terjadinya infeksi. Kriteria hasil: 1) Daya tahan tubuh meningkat. 2) Infeksi berkurang. Intervensi: 1) Pantau adanya infeksi : demam, mengigil, diaforesis, batuk, nafas pendek, nyeri oral atau nyeri menelan. 2) Ajarkan pasien atau pemberi perawatan tentang perlunya melaporkan kemungkinan infeksi. 3) Pantau jumlah sel darah putih dan diferensial 4) Pantau tanda-tanda vital termasuk suhu. 5) Awasi pembuangan jarum suntik dan mata pisau secara ketat dengan menggunakan wadah tersendiri. 6) Kolaborasi dengan dokter pemberian antibiotik atau agen antimikroba, misal : trimetroprim (bactrim atau septra), nistasin, pentamidin atau retrovir.
d. Kurang pengetahuan yang berhubungan dengan cara-cara mencegah penularan HIV dan perawatan mandiri. Tujuan : peningkatan pengetahuan mengenai cara pencegahan penularan penyakit Intervensi : 1) Tentukan pemahaman saat ini dan persepsi terhadap diagnosa 2) Kaji kemampuan emosional untuk mengasimilasikan informasi dan memahami instruksi. 3) Berikan informasi yang realitas dan optimistis selama setiap kontak dengan pasien 4) Rencanakan pertemuan-pertemuan yang singkat untuk memberikan informasi tambahanberikan nformasi mengenai perubahan gaya hidup yang sesuai dan faktor-faktor yang membantu mempertahankan kesehatan
e. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan penurunan asupan oral. Tujuan: kebutuhan nutrisi terpenuhi Kriteria hasil: 1) Adanya peningkatan berat badan 2) Berat-badan ideal sesuai dengan tinggi badan. 3) Mampu mengidentifikasi kebutuhan nutrisi. Intervensi : 1) Kaji terhadap malnutrisi dengan mengukur tinggi dan berat badan, usia, protein serum, albumin dll. 2) Dapatkan riwayat diet, termasuk makanan uang disukai dan tidak disukai serta intoleransi makanan 3) Kaji faktor-faktor yang mempengaruhi masukan oral 4) Konsul dengan ahli diet untuk menentukan kebutuhan nutrisi pasien 5) Dorong pasien untuk istirahat sebelum makan 6) Rencanakan makan sehingga jadwal makan tidak terjadi segera setelah prosedur yang menimbulkan nyeri atau tidak enak 7) Instruksikan pasien tentang cara untuk memberi suplemen nutrisi : mengkonsumsi makanan kaya protein 8) Konsultasi dengan dokter tentang makanan pengganti (nutrisi enteral atau parenteral) 9) Dorong pasien untuk makan dengan pengunjung atau orang lain bila mungkin. (Doengoes, Marylinn. E, 2000)
4. Evaluasi a. Integritas kulit baik. b. Kebiasaan defekasi klien terpenuhi secara wajar. c. Tidak terjadi infeksi d. Klien mengetahui cara pencegahan dan penularan HIV-AIDS e. Kebutuhan nutrisi terpenuhi
5. Discharge Planning a. Berikan pendidikan kesehatan kepada keluarga dan pasien tentang bahaya penularan dan perawatan pasien. b. Anjurkan bagi klien atau keluarga yang terinfeksi untuk tidak mendonorkan darahnya, organ, atau cairan semen dan mengubah kebiasaan seksual guna mencegah terjadinya penularan. c. Jangan menggunakan jarum suntik, pisau cukur, sikat gigi, atau barang-barang yang terkontaminasi darah, bersama dengan orang lain. d. Anjurkan keluarga untuk ikut serta dalam memberikan dukungan kepada penderita. e. Berikan asupan nutrisi dan tambahan suplemen untuk menjaga daya tahan tubuh.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kesehatan. 2002. Pedoman Pengembangan Perawatan, Dukungan, dan Pengobatan Bagi ODHA. Jakarta Doengoes, Marylinn. E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta: EGC Nursalam. 2007. Asuhan Keperawatan Pada Klien Terinfeksi HIV-AIDS. Jakarta: Salemba Medika. Price, Sylvia. A. 1995. Patofisiolog: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 4 buku II. Jakarta: EGC Smeltzer, Suzanne. C, Bare, Brenda. G. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddarth Edisi 8 Vol. 3. Jakarta: EGC