Anda di halaman 1dari 21

Maniferstasi HIV Pada Anak

HIV  Human Immunodeficiency Virus  retrovirus

menyerang

menyerang sel darah putih

HIV AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome)


Tidak diobati
Pemeriksaan HIV  tes serologi dan virologi

HIV hanya dapat ditularkan melalui kegiatan tertentu  cairan tubuh, seperti air mani, cairan vagina,
cairan dubur (melalui kontak seksual dengan orang yang terinfeksi), dan darah

HIV  tanpa gejala  gejala awal : immunosupresi

Seseorang dengan sistem kekebalan yang kurang (immunodeficiency  rentan terhadap infeksi bakteri
atau virus. Infeksi ini dapat menjadi mengancam jiwa.

Penderita HIV akan sangat mudah terkena penyakit lain seperti TBC, kandidiasis, berbagai radang pada
kulit, paru, saluran pencernaan, otak dan kanker.
Kondisi terjadi ketika sel CD4 sudah benar-benar rusak sehingga kekebalan tubuh seseorang sangat
rentan sekali terjadi infeksi penyakit menular lain.

HIV  virus diploid berserat tunggal (single stranded)


berdiameter 100–120 nm,
memiliki enzim reverse transcriptase  mampu mengubah RNA menjadi DNA pada sel yang
terinfeksi  kemudian berintregarsi dengan DNA sel penjamu  selanjutnya dapat berproses
untuk replikasi.
menginfeksi sel T helper yang memiliki reseptor CD4 di permukaannya makrofag, sel dendritik,
organ limfoid

Fungsi penting sel T helper antara lain :


menghasilkan mediator kimia yang berperan sebagai stimulasi pertumbuhan dan pembentukan sel lain
dalam sistem imun dan pembentukan antibodi, sehingga penurunan sel CD4 menurunkan imunitas dan
menyebabkan penderita mudah terinfeksi patogen.
Periode sindrom HIV akut berkembang sekitar 3 – 6 minggu setelah terinfeksi, dihubungkan dengan
muatan virus yang tinggi di ikuti berkembangnya respons selular dan hormonal terhadap virus, setelah
itu penderita HIV mengalami periode klinis laten (asimtomatis) yang bertahan selama bertahun-tahun,
dimana terjadi penurunan sel T CD4 yang progresif dalam jaringan limfoid. Kemudian diikuti gejala
konstitusional serta tanda infeksi oportunistik atau neoplasma yang memasuki periode AIDS.

Etiologi
HIV pertama kali ditemukan tahun 1981 dan sejak 1983  menentukan asal virus

1999  menemukan asal mula HIV

HIV (golongan retrovirus)  menggunakan enzim reverse transcriptase untuk menggunakan RNA virus
untuk membentuk DNA yang dimasukkan ke dalam kromosom host / inang dan menjadi dasar terjadinya
replikasi HIV.

HIV memiliki kemampuan untuk menyerupai genetik sel-sel yang ditumpanginya sehingga dapat
mematikan sel-sel T4.

HIV diklsifiksikan menjadi :

 HIV-1
 HIV-2 : bersifat kurang pathogen hanya terlokalisasi di afrika barat

Perbedaan antara kedua jenis hiv ini terletak pada pathogenesis retroviral. bahwa perkembangan ke
defisiensi imun terjadi lebih lambat pada infeksi HIV-2 dibandingkan dengan HIV-1. Serta perbedaan
susunan genetik virus

Imunoassay adalah salah satu tes yang dapat membedakan kedua jenis virus tersebut dan dapat
membantu mengidentifikasi jenis infeksi HIV yang spesifik

HIV 1 HIV 2
Klasifikasi : utama (M) Subtype A, B
Subtipe A,B (paling dominan),C,D,H,I,J,K

Outlier (O)

Non M/O
Kurang progresif
Lebih progresif
Berkembang menjadi AIDS kecil kemungkinannya untuk berkembang
menjadi AIDS
penularan rendah
Patofisiologi
dimulai dari transmisi virus ke dalam tubuh

Pada individu dewasa, masa jendela infeksi HIV sekitar 3 bulan pertambahan replikasi
virus dan perjalanan penyakit, jumlah sel limfosit CD 4+ akan terus menurun

HIV  AIDS (5tahun – 10tahun)

Infeksi primer HIV : demam, nyeri kepala, faringitis, nyeri tenggorokan, limfadenopati, dan juga ruam
pada kulit  periode laten yang asimtomatis, tetapi pada fase inilah terjadi penurunan jumlah sel
limfosit CD4+ selama bertahun-tahun hingga terjadi manifestasi klinis AIDS akibat defisiensi imun tubuh
(infeksi oportunistik)

manifestasi klinis lain dapat timbul akibat reaksi autoimun, reaksi hipersensitivitas, dan potensi
keganasan. Sel T dan makrofag serta sel dendritic / langerhans (sel imun) adalah sel – sel yang terinfeksi
(HIV) dan terkonsentrasi dikelenjar limfe, limpa, dan sumsum tulang.

Jumlah sel T4 menurun, sistem imun seluler semakin lemah secara progresif  diikuti oleh
berkurangnya fungsi sel B dan makrofag dan menurunnya fungsi sel T penolong.
HIV bisa saja tidak memperlihatkan gejala apapun (asimptomatik) selama bertahun – tahun. Namun
selama kurun waktu tersebut (2 hingga 3 tahun setelah infeksi) jumlah sel T4 dapat berkurang dari
sekitar 1000 sel per ml darah sebelum infeksi mencapai sekitar 200 – 300 per ml darah. Sewaktu sel T4
mencapai kadar ini gejala-gejala infeksi mulai terlihat, seperti herpes zoster dan infeksi jamur
oportunistik.

Gejala Klinis
Awal blm ada gejala  Ketika infeksi semakin melemahkan sistem kekebalan  akan timbul tanda dan
gejala, seperti pembengkakan kelenjar getah bening, penurunan berat badan, demam, diare dan batuk.
Apabila tidak dilakukan pengobatan, seiring dengan waktu akan berkembang menjadi penyakit yang
lebih berat seperti tuberkulosis (TB), meningitis kriptokokus, infeksi bakteri berat, dan kanker seperti
limfoma dan sarkoma Kaposi.

Tahap2 ( berlaku untuk orang remaja dan dewasa berusia 15 tahun ke atas ):

a) Tahap 1 (asimtomatik)
limfadenopati generalisata persisten (limfadenopati pada setidaknya dua tempat tetapi
tidak termasuk inguinal, selama lebih dari 6 bulan) dikategorikan dalam stadium 1.
Kondisi ini dapat bertahan selama beberapa tahun.

b) Tahap 2 (tahap gejala ringan)


Temuan klinis yang termasuk dalam tahap 2 adalah :
- penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan kurang dari 10 persen dari total
berat badan
- infeksi saluran pernapasan berulang (seperti sinusitis, tonsilitis, bronkitis, otitis
media, dan faringitis)
- infeksi mukokutaneus minor (angular cheilitis, ulserasi oral berulang, erupsi pruritus
papular, dermatitis seboroik, dan infeksi jamur kuku)
- Infeksi herpers zoster dalam 5 tahun terakhir

c) Tahap 3 (tahap gejala sedang)


- penurunan berat badan lebih dari 10 persen dari total berat badan tanpa sebab yang
jelas
- diare berkepanjangan (lebih dari 1 bulan) yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya
- demam berkepanjangan (suhu >36,7°C, intermiten ataupun konstan) selama lebih
dari 1 bulan
- kandidiasis oral yang persisten
- Oral hairy leukoplakia
- tuberkulosis paru
- infeksi bakteri sistemik berat (pneumonia, empiema, piomiositis, meningitis, infeksi
tulang dan sendi, dan bakteremia)
- kondisi mukokutan (kandidiasis oral berulang, hairy leukoplakia, dan stomatitis
ulseratif nekrotikans akut, gingivitis, atau periodontitis)
- Anemia (Hb < 8 g/dL) tanpa sebab jelas, neutropenia (< 0,5×109 /L) tanpa sebab
jelas, atau trombositopenia kronis (< 50×109 /L) tanpa sebab yang jelas

d) Tahap 4 (tahap gejala parah).


- HIV wasting syndrome
- Pneumonia akibat pneumocystis carinii (PCP)
- Pneumonia bakterial berat rekuren
- Toksoplasmosis serebral
- Kriptosporodiosis dengan diare > 1 bulan
- Sitomegalovirus pada orang selain hati, limpa atau kelenjar getah bening
- Infeksi herpes simpleks mukokutan (> 1 bulan) atau visceral
- Leukoensefalopati multifocal progresif
- Mikosis endemic diseminata
- Kandidiasis esofagus, trakea, atau bronkus
- Mikobakteriosis atripik, diseminata atau paru
- Septicemia Salmonella non-tifoid yang bersifat rekuren
- Tuberculosis ekstrapulmonal
- Limfoma atau tumor padat terkait HIV: Sarkoma Kaposi, ensefalopati HIV,
kriptokokosis ekstrapulmoner termasuk meningitis, isosporiasis kronik, karsinoma
serviks invasive, leismaniasis atipik diseminata
- Nefropati terkait HIV simtomatis atau kardiomiopati terkait HIV simtomatis

Menurut CDC anak adalah berusia kurang dari 13 tahun.


Tes antibodi IgG anti-HIV standar tidak dapat digunakan sebagai pedoman untuk menunjukkan status
infeksi anak sebelum usia 18 bulan, jadi digunakan tes antigen virus.
penyakit stadium-3 atau stadium-4 klinis atau stadium klinis apa pun dengan jumlah CD4 lebih besar dari
350 per mm kubik
tahap 4 : inisiasi definitif terapi antiretroviral
tahap 3 : inisiasi terapi
tahap 1 & 2: penggunaan antiretroviral jika jumlah CD4 lebih besar dari 200 per mm kubik

DIAGNOSIS
Pemeriksaan laboratorium : serologi  mendeteksi adanya antibodi terhadap HIV dan pemeriksaan
untuk mendeteksi keberadaan virus HIV.
Deteksi adanya virus HIV dalam tubuh dapat dilakukan dengan isolasi dan biakan virus, deteksi antigen,
dan deteksi materi genetik dalam darah pasien. Hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan tes
terhadap antibodi HIV ini yaitu adanya window period ( waktu yang diperlukan sejak tubuh terinfeksi HIV
sampai mulai timbulnya antibodi (4-8 minggu setelah infeksi dan akan positif hasilnya bila dilakukan
tes ).
 hasil negative  ulang lagi 3 bulan kemudian bila dicurigai adanya risiko terinfeksi yang cukup tinggi
Pemeriksaan serologi
 Tes antibodi HIV dengan ELISA dan Western blot
Skrining Enzyme-Linked Immunosorbent Assays (ELISAs) yang dikonfirmasi dengan
Western blot (WB). Tes ELISA ini sangat sensitive, tapi memiliki positif palsu dan
negative palsu terutama pada masa windows period, tp tes ini sangat baik disbanding tes
yag lain, untk menghindari ini maka dikombinasikan dengan WB (krn memiliki spesifitas
yang lebih baik), atau dapat diulang dengan menggunakan uji aglutinasi sebelum
dikonfirmasi dengan WB

 Rapid test (tes cepat)


 Pemeriksaan Antigen P24
antigen p24 yang ditemukan pada serum, plasma, dan cairan serebrospinal
dapat positif hingga 45 hari setelah infeksi, sehingga pemeriksaan p24 hanya dianjurkan
sebagai pemeriksaan tambahan pada penderita risiko tinggi tertular HIV dengan hasil
pemeriksaan serologis negatif, dan tidak dianjurkan sebagai pemeriksaan awal yang
berdiri sendiri. Pemeriksaan antigen p24 juga dapat digunakan untuk menegakkan
diagnosis HIV pada bayi baru lahir dari ibu HIV positif. Sensitifitasnya bervariasi sesuai
umur dan kestabilan pada bayi berumur lebih dari 1 bulan

 Kultur HIV
dapat dikultur dari cairan plasma, serum, cairan serebrospinal, saliva, semen, lendir
serviks, serta ASI  Kultur HIV biasanya tumbuh dalam 21 hari ( skrg sudah jarang
digunakan)
digunakan tes ini apabila tes ELISA tdk dpt dilakukan krn sulitnya mengambil serum
drah dr intraven.
Kultus dr saliva dan urine dilihat antibody HIV terutama IgG

Pemeriksaan virologi
viral load  Jumlah HIV-RNA : pemeriksaan yang menggunakan teknologi PCR untuk mengetahui
jumlah HIV dalam darah  mengetahui dinamika HIV dalam tubuh
Penting  pemeriksaan serologis belum dapat memberikan hasil yang tepat (misalnya pada saat
window period atau bayi yang baru lahir dari Ibu yang diketahui mengidap HIV positif)
HIV-RNA dapat positif pada 11 hari setelah terinfeksi HIV sehingga menurunkan window period pada
skrining donor darah  juga merupakan alat penting dalam monitoring pengobatan ARV

HRV – RNA : Hasil negatif semu  karena penggunaan plasma heparin, variasi genomik HIV, kegagalan
primer / probe atau jumlah virus yang kurang dari batas minimal deteksi alat pemeriksaan
Hasil positif semu  terjadi terutama akibat kontaminasi bahan pemeriksaan

Tes Amplifikasi Asam Nukleat (NAT), juga digunakan untuk menunjukkan algoritma pengujian virologi
untuk pengurangan lebih lanjut dari window period dalam darah

HIV PADA ANAK


Lesi pada rongga mulut yang dapat ditemukan pada penderita HIV/AIDS :
 kandidiasis oral,
 hairy leukoplakia,
Jarang pada anak
 sarkoma Kaposi,
 eritema gingiva linier, periodontitis ulseratif nekrotikans, ulkus aftosa
Lesi lain yang dilaporkan dalam beberapa artikel :
 infeksi human papillomavirus,  karsinoma,
 hiperpigmentasi,  penicilliosis marneffei,
 cheilitis eksfoliatif,
 fibrosis submukosa oral,
 penyakit kelenjar ludah HIV,
 xerostomia, leukoplakia,  moluskum kontagiosum perioral,
 herpes zoster,  staphylococcus aureus infeksi,
 limfoma non-Hodgkin,  petechiae

Lesi oral mempengaruhi kualitas hidup pasien ini dan sangat terkait dengan kesehatan psikologis pasien
di masyarakat
Mekanisme pertahan tubuh terhadap virus
Kandidiasis dan necrotizing ulcerative gingivitis (NUG)  lesi oral >> ditemukan pada anak infeksi HIV.
Linear gingival erythema leukoplakia dan sarkoma kaposi merupakan indikator imunosupresi sedang
dan berat.
Pembesaran parotis, infeksi virus herpes simpleks dan stomatitis aphtosa rekuren tidak khusus
berhubungan dengan tingkat imunosupresi.
Penatalaksanaan yang terbaik  mempertimbangkan status imunologi melalui tindakan pencegahan
dan pemeriksaan gigi mulut secara rutin untuk mempertahankan kesehatan dan mencapai kualitas
hidup yang lebih baik.

Infeksi (HIV) pertama kali ditemukan pada anak tahun 1983 di Amerika Serikat berbeda dengan
infeksi virus HIV pada orang dewasa :
- cara penularan,
- pola serokonversi,
- riwayat perjalanan dan penyebaran penyakit,
- faktor resiko,
- metode diagnosis
- manifestasi oral.

Transmisi
Penularan HIV/AIDS dari ibu kepada bayi yang baru dilahirkannya (transmisi vertikal) dapat
terjadi melalui 3 cara yaitu:
1) melalui plasenta selama kehamilan
2) selama kelahiran bayi melalui jalan lahir
3) masa menyusui
94% dari infeksi HIV pada anak didapat secara perinatal, dan sekitar setengah dari infeksi ini
terjadi ketika bayi melalui jalan lahir

Diagnosa
mengikuti pedoman dari Kementrian Kesehatan untuk mendiagnosa HIV pd anak :
1. Uji Virologis
a. Uji virologis digunakan untuk menegakkan diagnosis klinik (biasanya setelah umur 6
minggu), dan harus memiliki sensitivitas minimal 98% dan spesifisitas 98% dengan
cara yang sama seperti uji serologis.
b. Uji virologis direkomendasikan untuk mendiagnosis anak berumur < 18 bulan.
c. Uji virologis yang dianjurkan: HIV DNA kualitatif menggunakan darah plasma
EDTA atau Dried Blood Spot (DBS), bila tidak tersedia HIV DNA dapat digunakan
HIV RNA kuantitatif (viral load, VL) mengunakan plasma EDTA.
d. Bayi yang diketahui terpajan HIV sejak lahir dianjurkan untuk diperiksa dengan uji
virologis pada umur 4 – 6 minggu atau waktu tercepat yang mampu laksana
sesudahnya.
e. Pada kasus bayi dengan pemeriksaan virologis pertama hasilnya positif maka terapi
ARV harus segera dimulai; pada saat yang sama dilakukan pengambilan sampel
darah kedua untuk pemeriksaan uji virologis kedua.
f. Hasil pemeriksaan virologis harus segera diberikan pada tempat pelayanan, maksimal
4 minggu sejak sampel darah diambil. Hasil positif harus segera diikuti dengan
inisiasi ARV.

2. Uji Serologis
a. Uji serologis yang digunakan harus memenuhi sensitivitas minimal 99% dan
spesifisitas minimal 98% dengan pengawasan kualitas prosedur dan standardisasi
kondisi laboratorium dengan strategi seperti pada pemeriksaan serologis dewasa.
Umur 18 bulan digunakan sebagai uji diagnostik konfirmasi
b. Anak umur < 18 bulan terpajan HIV yang tampak sehat dan belum dilakukan uji
virologis, dianjurkan untuk dilakukan uji serologis pada umur 9 bulan. Bila hasil uji
tersebut positif harus segera diikuti dengan pemeriksaan uji virologis untuk
mengidentifikasi kasus yang memerlukan terapi ARV. Jika uji serologis positif dan uji
virologis belum tersedia, perlu dilakukan pemantauan klinis ketat dan uji serologis
ulang pada usia 18 bulan.
c. Anak umur < 18 bulan dengan gejala dan tanda diduga disebabkan oleh infeksi HIV
harus menjalani uji serologis dan jika positif diikuti dengan uji virologis.
d. Pada anak umur< 18 bulan yang sakit dan diduga disebabkan oleh infeksi HIV tetapi
uji virologis tidak dapat dilakukan, diagnosis ditegakkan menggunakan diagnosis
presumtif.
e. Pada anak umur < 18 bulan yang masih mendapat ASI, prosedur diagnostik dilakukan
tanpa perlu menghentikan pemberian ASI.
f. Anak yang berumur > 18 bulan menjalani tes HIV sebagaimana yang dilakukan pada
orang dewasa.

Bila ada anak berumur < 18 bulan dan dicurigai terinfeksi HIV, tetapi alat laboratorium untuk PCR HIV
tidak tersedia, tenaga kesehatan diharapkan mampu menegakkan diagnosis dengan cara diagnosis
presumtif dengan melihat kriteria pada tabel 1.

Minimal satu kriteria sebagai berikut : Minimal dua kriteria sebagai berikut :
• PCP, meningitis kriptokokus, kandidiasis • Oral thrush
esophagus

• Toksoplasmosis • Pneumonia berat


• Malnutrisi berat yang tidak membaik • Sepsis berat
dengan pengobatan standar
• Kematian ibu yang berkaitan dengan HIV
atau penyakit HIV yang lanjut pada ibu

• CD4+ <20%

Tabel 1 Diagnosis Presumtif pada anak di bawah 18 bulan

Maret 1994 dan Mei 1995, The Collaborative Workgroup on The Oral Manifestations of Pediatric HIV
Infection bertemu dan membuat konsensus mengenai klasifikasi lesi oral pada anak-anak yang terinfeksi
HIV, dengan hasil sebagai berikut :
 Kelompok 1
* Kandidiasis (pseudomembranous, eritematosus, angular cheilitis).
* Infeksi virus Herpes Simpleks.
* Linear gingival erythema
* Pembengkakan Kelenjar parotis
* Stomatitis apthosus rekuren (minor, mayor, herpetiform)
 Kelompok 2  kadang2 dijumpai pada anak
* Infeksi bakteri pada mukosa mulut
* Penyakit periodontal (Necrotizing Ulcerative gingivitis, Necrotizing
* Ulcerative periodontitis, Necrotizing stomatitis)
* Dermatitis seborhoic
* Infeksi virus (cytomegalovirus, Human papilomavirus, Molluscum)
* Contagiosum, varicella zoster.
* Xerostomia

 Kelompok 3  jarang dijumpai pada anak


* Neoplasma (sarcoma Kaposi dan limfoma non-hodkin's)
* Oral leukoplasia
* Ulser yang berhubungan dengan tuberkolosis.

KRITERIA KLINIS

Berdasarkan CD4+

Manifestasi HIV pada rongga mulut


 Kandidiasis
Faktor utama etiologi jamur Candida albicans.
Menyajikan empat bentuk:
 kandidiasis pseudomembran  paling umum pada AIDS berat (plak berwarna
putih krem pada mukosa oral yang dapat dibersihkan, tetapi meninggalkan
permukaan mukosa yang merah dan berdarah / eritematus di bawahnya)  semua
mukosa mulut (paling sering lidah dan palatum lunak)

 kandidiasis hiperplastik,  sub tipe yang paling langka, tetapi dapat


menimbulkan bercak putih pada mukosa bukal, Perbedaannya dengan kandidiasis
pseudomembran yaitu ditandai dengan plak putih yang tidak dapat dibersihkan /
dihilangkan dengan usapan, sering terjadi pada mukosa bukal

 kandidiasis eritematosa,  dominan pada pasien HIV (muncul sebagai lesi


makula merah biasanya pada langit-langit dan dorsum lidah)

 cheilitis angular  semua jenis kandidiasis dapat diikuti dengan angular cheilitis
 fisur merah dan sakit pada sudut mulut, terutama pada penderita HIV positif

Pasien dapat menunjukkan satu atau kombinasi dari salah satu dari jenis kandidiasis
ini.

Terapi kandidiasis oral pada penderita HIV positif :


pemberian obat topical : nystatin atau amphotericin B
terapi sistemik : ketoconazole, fluconazole atau itraconazole  efektif tapi
perlu waspada agar tidak terjadi kekebalan diantara beberapa strain candida

 Infeksi Virus Herpes Simpleks


frekuensi dan gejala wabah HSV terkadang bisa berkembang lebih parah, menyebar dari
mulut atau alat kelamin ke jaringan yang lebih dalam di paru-paru atau otak.
Infeksi (HSV)  primer (herpes gingivostomatitis)
 sekunder (herpes labialis)
Infeksi HSV selama lebih dari 1 bulan  indikasi kondisi pasien AIDS
Infeksi HSV  membentuk sekelompok vesikel  terlokalisasi pada mukosa berkeratin
(palatum keras dan gingiva) dan batas vermillion bibir dan kulit perioral  Vesikel kemudian
pecah dan membentuk luka yang pada pasien terasa sangat sakit, tidak teratur, dan seringkali
terjadi penggabungan vesikel-vesikel tersebut menjadi ulkus yang lebih besar  menyebabkan
terganggunya proses pengunyahan dan penelanan yang akan mengakibatkan terjadinya
penurunan asupan oral dan dehidrasi.

Penggunaan terapi antiretroviral kombinasi (cART)  menurunkan kejadian HSV


simtomatik, hal itu tidak serta merta mengurangi pelepasan HIV orang HIV-positif
dengan infeksi HSV-2 aktif tiga sampai empat kali lebih mungkin menularkan HIV ke
pasangan seksualnya.
Demikian pula, orang HIV-negatif dengan infeksi HSV-2 aktif berada pada peningkatan
risiko tertular HIV. Ini bukan hanya karena luka terbuka memberikan akses yang lebih
mudah untuk HIV, tetapi karena HIV secara aktif mengikat makrofag yang ditemukan
dalam konsentrasi di tempat infeksi aktif dan HIV dapat dibawa melalui mukosa vagina
atau anus langsung ke dalam aliran darah.
Obat antivirus dapat digunakan untuk mengobati HSV, seringkali membutuhkan dosis
yang lebih tinggi untuk orang dengan HIV.
Obat-obatan dapat diberikan secara intermiten atau sebagai terapi supresif yang sedang
berlangsung bagi mereka dengan wabah yang lebih sering.
Tiga antivirus yang paling banyak digunakan untuk mengobati HSV
 Zovirax (asiklovir),
 Valtrex (valacyclovir),
 Famvir (famciclovir).

Obat antivirus topikal dapat digunakan untuk lesi herpes labial dan perioral, yang lebih efektif
jika dilakukan dalam tahap infeksi prodromal

Namun seringkali obat diberikan dalam bentuk pil oral, meskipun kasus yang parah dapat
diobati dengan asiklovir intravena  Sebagian besar efek samping obat dianggap ringan,
dengan sakit kepala, diare, mual, dan nyeri tubuh

 Citomegalo Virus (CMV)


CMV umum dijumpai 100% pada pria homoseksual HIV positif
10 % pada anak-anak pada AIDS
Virus ini mempunyai predileksi untuk jaringan kelenjar saliva dan dijumpai dalam saliva
pasien.
Perubahan peradangan meliputi pembengkakan kelenjar parotis unilateral dan bilateral
serta xerostomia.
Lesi oral tidak spesifik dan bisa terjadi pada semua mukosa.

 Linear gingival erythematous (HIV-G)


disebut juga  HIV gingivitis (HIV-G)
Dapat terjadi pada pasien yang mengalami penekanan system imun.
seiring berkembangnya waktu  berkembang menjadi Necrotizing Ulcerative Gingivitis.

Etiologi
Bakteri oportunistik yang biasa ada pada penderita AIDS:
Bacteriodes gingivalis,
Bacteriodes intermedius,
Actinomyces viscosus,
Fusobacterium nucleatum,
Actinobacillus actinomycetencomitans.

Manifestasi oral :
Keluhan rasa sakit pada daerah eritema yang memanjang berbentuk seperti pita yang
mengikuti kontur gingival sekitar 2-3mm dari free gingival margin.
Bercak eritema bergabung menjadi satu membentuk suatu zona eritema diffuse yang luas,
mulai dari margin gingiva sampai ke vestibulum.
HIV-G tidak berkaitan secara signifikan dengan akumulasi plak.
Perawatan:
 pasien diinstruksikan untuk melakukan Tindakan pembersihan gigi dan mulut
secara baik dan benar
 scaling dan polishing di daerah yang terkena penyakit dan irigasi subgingival
dengan chlorhexidine 0,12%
 berikan obat kumur Chlorhexidine 0,12% untuk digunakan di rumah
 pemberian antibiotik sistemik metronidazole 250mg, kombinasi dengan
amoxicillin 500mg (3x sehari)
 evaluasi pasien selama 2-3 minggu. Jadwalkan kontrol rutin berikutnya 2-3 bulan
sekali

 Necrotizing ulcerative gingivitis (NUG)


kelanjutan dari HIV-G dan dapat berkembang menjadi Necrotizing ulcerative
periodontitis (NUP)
Etiologi:
Infeksi bakteri oportunistik yang terjadi pada penderita AIDS.  Bacteria fusiform, Spirochaeta,
dan Candida.

Gejala klinis : inflamasi pada marginal gingiva, perdarahan, rasa sakit akut, nekrosis dan
ulserasi di daerah papilla interdental yang ditutupi oleh eksudat fibrin, dan terjadi
destruksi tulang di bagian interdental yang secara radiografis berbentuk seperti kawah
(crater-like). Gejala yang sering dikeluhkan pasien yaitu mudah berdarah saat menyikat
gigi, sakit, dan adanya halitosis.
Dasar perawatannya adalah sebagai berikut:
a. debridement dengan menggunakan cotton pellet yang dibasahi dengan larutan
hidrogen peroksida 3%
b. pasien control seminggu beberapa hari dan mengulangi debridement setiap kunjungan
c. pasien diberi instruksi untuk menghindari rokok, alkohol, dan makanan yang
berbumbu terlalu tajam
d. pemberian obat kumur chlorhexidine 0,12%
e. pemberian antibiotik amoxicillin yang dikombinasikan dengan metronidazole
f. evaluasi hasil perawatan setelah 1 bulan

 Necrotizing ulcerative periodontitis (NUP)


Sering ditemukan pada pasien AIDS dengan jumlah sel CD4 kurang dari 100mm3
Dapat terjadi pada beberapa gigi saja, tetapi pada kasus yang berat dapat mengenai
seluruh gigi yang ada di dalam rongga mulut.
Prevalensi NUP pada AIDS sebesar 5%.

Etiologi  bakteri oportunistik : Actinobacillus actinomycetemcomitans, Bacteriodes


forsithus, Porphyromonas gingivalis, Prevotella nintermedia, Wolinella recta.

Gejala klinis : adanya nekrosis yang terlihat jelas pada jaringan lunak yang disertai
dengan kerusakan yang sangat cepat pada ligamen periodontal dan tulang alveolar, tidak
terdapat poket, terjadi perdarahan spontan.
Sepintas NUP memiliki gambaran klinis seperti ANUG tetapi dengan rasa sakit yang
lebih hebat.
Tahap akhir NUP ditandai resesi gingival yang parah  destruksi tulang maksila dan
mandibula yang cepat dan nekrosis jaringan lunak. Gingiva berwarna merah menyala,
terjadi ulserasi yang meluas ke attached gingiva dan tulang di sekitarnya, gigi goyang.

Perawatan : scaling, root planning,


irigasi, pemberian antibiotik,
obat kumur, kontrol plak.
 Necrotizing stomatitis (HIV-NS)
Terlihat kerusakan jaringan yang parah dan timbulnya rasa sakit akut, dan terjadi pada
keadaan penekanan sel imun CD4 yang parah.
Awal dari HIV-NUP  bakteri penyebabnya sama,  Actinobacillus
actinomycetemcomitans, Bacteriodes forsithus, Porphyromonas gingivalis, Prevotella
nintermedia, Wolinella recta.

Manifestasi klinis : sulit dibedakan dengan HIV-NUP. HIV-NS umumnya terjadi


kerusakan tulang alveolar dan yang cepat dan terlokalisasi, sering ditemukan pada
mukosa palatal.
Perawatan HIV-NS pada dasarnya sama dengan perawatan HIV-NUG

 Recurrent Aphthous Ulcers


Sering terjadi pada anak anak yang teinfeksi HIV  khususnya disebabkan obat-obatan
seperti didanosine (ddl) yang dapat menginduksi terjadinya lesi.
Ditandai dengan ulser yang terasa sakit pada mukosa oral yang tidak berkeratin, seperti
mukosa labial dan bukal, langit-langit lunak, dan lidah bagian ventral.
Lesi aphthous berulang parah biasanya terjadi bila jumlah limfosit CD4 < 100 sel / uL
Bentuk stomatitis aftosa rekuren berdasarkan ukuran, jumlah, dan durasi lesi, yaitu:
1) Ulkus aphthous minor  ulcer kecil, diameter kurang dari 5mm,
ditutupi lapisan pseudomembran dan dikelilingi oleh halo
eritematous. Memiliki respon yang cepat terhadap terapi
steroid dan dapat sembuh spontan tanpa meninggalkan
jaringan parut
2) Ulkus aphthous mayor  ulkus lebih besar, diameter antara 1-2 cm, dan timbul
selama
beberapa minggu, terasa sakit dan mengganggu
pengunyahan, penelanan, dan bicara. Penyembuhan terjadi
sekitar 2-6 minggu.
3) Ulkus aphthous herpetiform  lesi kecil (1-2 mm) yang tersebar di langit-langit
lunak,
amandel, lidah, dan mukosa bukal.
Pengobatan  kontrol nyeri dan pencegahan superinfeksi.
Topikal dengan pasta triamcinolone 0,1%, bethametason fosfat,
fluocinonide 0,05%, dexamethasone elixir 0,5mg/ml.

 Xerostomia
Umumnya terjadi pembengkakan kelenjar saliva  parotis dan disertai dengan
xerostomia  Pembengkakan dapat unilateral ataupun bilateral.
Pembengkakan kelenjar saliva pada pasien anak ditandai dengan pembengkakan lambat
dan dapat menyebabkan asimetri wajah.
Ciri khas : mulut kering dan menurunnya kecepatan aliran saliva

Pasien mungkin tidak menyadari bahwa mereka mengalami xerostomia sampai beberapa
komplikasi muncul  tidak mengancam jiwa tetapi efeknya dapat berdampak negatif
pada kualitas hidup pasien  Proses penelanan dan pencernaan bisa sulit  Gigi palsu
lepasan tidak nyaman dipakai karena kurangnya saliva yang membantu menciptakan daya
rekat yang lebih baik.
Ditemukan pula  halitosis, rasa terbakar pada lidah, penyakit gusi, kandidiasis, dan bibir
pecah2 Saliva mengandung air, protein dan elektrolit yang melumasi mulut dan melindungi
mukosa dan gigi di dalam mulut. Saliva juga berfungsi sebagai antimikroba dan buffer pH di
mulut.

Xerostomia  menurunkan pH mulut  perkembangan plak dan karies gigi.


Perawatan paliatif : aturan umum untuk menghilangkan gejala.
Jika xerostomia disebabkan oleh pengobatan HIV, dokter dapat meresepkan terapi
alternatif. Minum obat pada waktu yang berbeda dalam sehari juga dapat membantu.
produk yang membantu mengurangi gejala xerostomia :
 saliva pengganti,
 mouth spray dan
 stimulasi saliva seperti permen karet,
 pemberian fluor untuk mengurangi resiko terjadinya karies,
 pemberian obat anti jamur apabila terdapat kandidiasis
 Sarkoma Kaposi (SK)
Kanker yang berhubungan  sarkoma Kaposi  sangat jarang terjadi pada anak
paling banyak pada pasien dengan Acquired immune deficiency syndrome (AIDS)
Penularan seksual menjadi faktor yang bertanggung jawab terhadap SK.
Kejadian terakhir menunjukkan bahwa SK berhubungan dengan infeksi virus herpes yang
dapat menyebar secara vertikal dan seksual.
Sebuah temuan baru mengarah pada pertumbuhan, isolasi, dan karakterisasi dari sebuah
virus herpes manusia baru yang sekarang dikenal dengan Kaposi’s sarcoma-associated
herpes virus (KSHV) atau Human herpesvirus type 8 (HHV-8) dari lesi SK.
Pengobatan : antiretroviral, kemoterapi, dan terapi radiasi.

SK pada paltum lunak & uvula

 Limfoma Non-Hodgkin (LNH)


Neoplasma primer yang berasal dari limfosit  bermanifestasi sebagai tumor padat pada
kelenjar getah bening, struktur orofaringeal, limpa, submukosa gastrointestinal, hati,
sumsum tulang dan paru-paru.
Terlepas dari sifat tumor, semua bentuk limfoma memiliki potensi untuk menyebar ke
jaringan sistem fagosit mononuclear  tahap yang lebih lanjut, keterlibatan darah
menciptakan gambaran yang mirip dengan leukemia.
Jenis epidemik adalah yang paling umum dan muncul secara klinis dengan lesi
merah/ungu, yang dapat mencapai permukaan mukosa, kelenjar getah bening, kelenjar
ludah, dan organ dalam.
Pasien dengan HIV berisiko tinggi mengembangkan NHL dan SK.
Terapi antiretroviral mengurangi kejadian NHL.
Terapi limfona non-hodgkin : kemoterapi, radioterapi, imunobiologi, transplantasi
sumsum tulang.

 Oral Hairy Leukoplakia (OHL)


Umum terjadi pada orang dewasa yang terinfeksi HIV
Merupakan lesi putih, tidak berbatas jelas, berkerut, menonjol pada tepi lateral lidah dan
berkaitan dengan virus Epstein Barr dan infeksi HIV
Lesi awal tampak sebagai plak vertikal, putih, besar, pada tepi lateral lidah, dan
umumnya bilateral  menutup permukaan ventral dan dorsal lidah, jarang terjadi pada
mukosa pipi dan palatum.
Umumnya tanpa gejala dan tidak dapat dihapus, tetapi mengganggu estetika.
Bukti histologi tampak tonjolan mirip rambut hiperkeratotik, kolisitosis, sedikit radang
dan infeksi candida  untuk meramalkan perkembangan AIDS.
Biasanya tidak memerlukan pengobatan apapun,  dalam kasus yang parah dianjurkan untuk
memberikan antiviral sistemik.
Ketika OHL dikaitkan dengan kandidiasis oral, manajemen terapi kandidiasis oral diperlukan

Peran Dokter Gigi Anak pada Anak dengan HIV/AIDS


Mengatur kunjungan awal ke dokter gigi pada anak yang terinfeksi HIV yaitu ketika
pasien berusia satu tahun.
Kunjungan awal ini  informasi preventif dan penuntun mengenai pemberian susu botol,
urutan erupsi gigi, dan oral hygiene pada
Pentingnya peran orang tua dalam menjaga OH anak sejak usia
yang masih sangat muda.

Sisa makanan dan obat-obatan pada jaringan mulut (mukosa, gingiva) serta gigi harus
dibersihkan oleh orang tua untuk anak yang belum memiliki kemampuan untuk membersihkan
gigi sendiri dan sedangkan bagi anak yang lebih tua harus dapat diberikan instruksi agar anak
sendiri dengan cara berkumur memakai air atau menyikat gigi.

Menurut American Association of Pediatric Dentistry (AAPD), tuntunan untuk dokter gigi anak
berupa strategi preventif kesehatan mulut bagi pasien anak dengan HIV antara lain yaitu
melakukan supervisi semua pemberian makanan dengan botol, managemen medikasi yang
kariogenik, melakukan sealant dan pemberian fluor secara sistemik dan topikal, managemen
nutrisi, pemasukan makanan berkabohidrat tinggi harus diawasi/ kurangi frekuensinya (jus)
serta bila diperlukan dapat dilakukan orthodontik agar gigi tidak berjejal dan meminimalkan
penumpukan plak

Anda mungkin juga menyukai