Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang

menyebabkan penyakit AIDS yang termasuk kelompok retrovirus dimana

virus yang secara progresif merusak sel-sel darah putih yang disebut Limfosit

(sel T CD4+) yang tugasnya menjaga sistem kekebalan tubuh.Epidemi

HIV/AIDS menjadi masalah dan tantangan serius terhadap kesehatan

masyarakat di dunia, baik di negara maju maupun di negara berkembang.

HIV (Human Immunodeficiency Virus) dan AIDS (Acquired Immune

Deficiency Syndrome) terus menjadi isu kesehatan masyarakat global utama

yang telah menewaskan lebih dari 35 juta orang dari total jumlah penduduk

dunia sekitar 7,6 miliar. Secara nasional jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS

sampai dengan 31 Desember 2018 adalah 441.347 yang terdiri atas 327.282

HIV dan 114.065 AIDS dengan 16.473 kematian. Menurut laporan

"Perkembangan HIV/AIDS dan lnfeksi Menular Seksual (IMS) Triwulan IV

tahun 2018" yang dikeluarkan oleh Ditjen Pencegahan dan Pengendalian

Penyakit (P2P), Kemenkes RI, tanggal 28 Februari 2019 jumlah kumulatif

kasus HIV/AIDS Provinsi Banten sampai dengan 31 Desember 2018

mencapai 11.238 yang terdiri atas 8.249 HIV dan 2.989 AIDS dengan 268

kematian.Jumlah kasus kumulatif itu menempatkan Banten pada peringkat

ke-9 dari 34 provinsi secara nasional. Adapun Kabupaten tangerang mencapai

1
2

499 penderita HIV/AIDS dengan jumlah kematian 18 orang, sementara itu di

Kecamatan Pasar Kemis mencapai 29 penderita HIV/AIDS dan yang

meninggal sebanyak 1 orang.

Adapun faktor-faktor yang memengaruhi kemauan seseorang untuk

tes HIV yaitu adanya motivasi dari orang itu untuk memelakukan VCT,

keterpaparan informasi dan adanya dukungan dari lingkungan dan keluarga.

Hasil penelitian Wulansari ditemukan adanya hubungan antara persepsi

kontrol diri dalam upaya pencegahan dengan dorongan (motivasi) untuk

memanfaatkan layanan VCT. Adanya motivasi yang kuat dari dalam diri

dalam upaya pencegahan HIV akan lebih bersikap positif sehingga

menimbulkan perubahan perilaku yang positif untuk memanfaatkan layanan

VCT

Sementara, untuk kasus penyebaran utama HIV /AIDS di Kabupaten

Tangerang adalah melalui hubungan seksual yang sering berganti pasangan

tanpa alat pengaman. Penderita bukan sebatas perempuan pekerja seks atau

laki-laki pekerja seks, melainkan mereka yang berstatus buruh pabrik, ibu

rumah tangga, nelayan bahkan anak-anak. Aparat dinas kesehatan kabupaten

Tangerang mengakui, jumlah penderita HIV/AIDS terbanyak di kecamatan

Pasar Kemis karena merabaknya waria dan prostitusi liar.

Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk membahas

mengenai Pentingnya VCT Mobile dan Keberadaan Klinik Rafflesia Untuk

Penderita ODHA.
3

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah dalam

makalah ini adalah fungsi VCT dan peranan Klinik Rafflesia Bagi Penderita

ODHA.

1.3 Tujuan Penelitian

Mengetahui Peran dan Fungsi VCT serta Klinik Rafflesia Bagi Penderita

ODHA di Puskesmas Pasar Kemis.


4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Upaya Pencegahan Penularan HIV

2.1.1 PengertianHIV

HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang secara

progresif merusak sel-sel darah putih yang disebut Limfosit (sel

TCD4+) yang tugasnya menjaga sistem kekebalan tubuh sehingga

sistem kekebalannya rusak. Orang yang terkena virus ini akan

menjadirentan terhadap infeksi. Meskipun kedokteran telah dapat

memperlambat lajuperkembangan virus ini, namun penyakit ini belum

benar-benar bisa disembuhkan.Saat ini yang ada hanyalah menolong

penderita untuk mempertahankan tingkatkesehatan tubuhnya.

Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang

menyebabkanpenyakit AIDS yang termasuk kelompok retrovirus. AIDS

adalah singkatan dari Acquired Immune Deficiency Syndrome.

“Acquired”artinya tidak diturunkan, tetapi didapat; “Immune” adalah

sistem daya tangkal ataukekebalan tubuh terhadap penyakit;

“Deficiency” artinya tidak cukup atau kurang;dan “Syndrome” adalah

kumpulan tanda dan gejala penyakit. AIDS adalah bentuklanjut dari

infeksi HIV, yang merupakan kumpulan gejala menurunnya

sistemkekebalan tubuh. Infeksi HIV berjalan sangat progresif merusak

sistem kekebalantubuh, sehingga penderita tidak dapat menahan


5

serangan infeksi jamur, bakteri atauvirus. Kebanyakan orang dengan

HIV akan meninggal dalam beberapa tahun setelahtanda pertama AIDS

muncul bila tidak ada pelayanan dan terapi yang diberikan

2.1.2 Tanda dan Gejala HIV

Orang yang terinfeksi HIV dapat tetap tanpa gejala dan tanda

(asimtomatik)untuk jangka waktu cukup panjang bahkan sampai 10

tahun atau lebih, namun orangtersebut dapat menularkan infeksinya

kepada orang lain. Kita hanya dapatmengetahui bahwa orang tersebut

terinfeksi HIV dari pemeriksaan laboratoriumantibodi HIV serum.

Sesudah jangka waktu tertentu, yang bervariasi dari orang keorang,

virus memperbanyak diri secara cepat dan diikuti dengan perusakan

sellimfosit T CD4 dan sel kekebalan lainnya sehingga terjadilah gejala

berkurangnyadaya tahan tubuh yang progresif. Progresivitas tergantung

pada beberapa faktorseperti: usia kurang dari 5 tahun atau di atas 40

tahun, infeksi lainnya, dan faktorgenetik.

Gejala orang yang terinfeksi HIV menjadi AIDS bisa dilihat dari

2 gejalayaitu gejala mayor (umum terjadi) dan gejala minor (tidak

umum terjadi):

1. Gejala Mayor

a. Berat badan menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan.

b. Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan.

c. Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan.


6

d. Penurunan kesadaran dan gangguan neurologis.

e. Demensia/HIV ensefalopati.

2. Gejala Minor

a. Batuk menetap lebih dari 1 bulan.

b. Dermatitis generalisata.

c. Adanya herpes zostermultisegmental dan herpes zoster

berulang.

d. Herpes simpleks kronis progresif.

e. Limfadenopati generalisata.

f. Infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita.

g. Retinitis virus sitomegalo.

h. Berat badan menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan.

Manifestasi klinis HIV/AIDS pada penderita dewasa

berdasarkan stadium klinis yang disertai skala fungsional dan

kalisifikasi klinis, yaitu:

1. Stadium klinis I: pada skala I memperlihatkan kondisi asimtomatis,

dimana klien tetap melakukan aktivitas secara normal maupun

disertai adanya limfadenopati presistent generalisata.

2. Stadium klinis II: pada skala II memperlihatkan kondisi

asimtomatis, dimana klien tetap melakukan aktivitas normal tetapi

disertai adanya penurunan berat badan <10% dari berat badan

sebelumnya, manifestasi mukokotaneius minor (dermatitis

seborhhoic, prurigo, infeksi jamur pada kuku, ulserasi mukosa


7

oralberulang, cheilitis angularis), herpes zoster dalam 5 tahun

terakhir, dan ISPA berulang.

3. Stadium III: pada skala III memperlihatkan adanya kelemahan,

berbaring di tempat tidur <50% sehari dalam 1 bulan terakhir

disertai penurunan berat badan >10%, diare kronis dengan

penyebab tidak jelas >1 bulan, demam dengan penyebab yang tidak

jelas (intermitent atau tetap) >1 bulan, kandidiasis oral, oral hairy

leukoplakia, TB pulmoner dalam satu tahun terakhir, dan infeksi

bacterial berat (misal: pneumonia, piomiostitis).

4. Stadium klinis IV: pada skala IV memperlihatkan kondisi yang

sangat lemah, selalu berada ditempat tidur > 50% setiap hari dalam

bulan-bulan terakhir disertai HIV wasting syndrome (sesuai yang

ditetapkan CDC), peneumocystis carinii pneumonia (PCP),

encephalitis toksoplasmosis, diare karena cryptosporidiosis >1

bulan, cryptococcosis ekstrapulmoner, infeksi virus sitomegalo,

infeksi herpes simpleks >1 bulan, berbagai infeksi jamur berat

(histoplasma, coccoidioidomycosis), kandidiasis esophagus,

trachea atau bronkus, mikobakteriosis atypical, salmonelosis non

tifoid disertai eptikemia, TB ekstrapulmoner, limfoma maligna,

sarcoma Kaposi’s ensefalopati HIV.

2.1.3 Perjalanan Infeksi HIV

Sesudah HIV memasuki tubuh seseorang, maka tubuh akan

terinfeksi danvirus mulai mereplikasi diri dalam sel orang tersebut


8

(terutama sel limfosit T CD4dan makrofag). Virus HIV akan

mempengaruhi sistem kekebalan tubuh denganmenghasilkan antibodi

untuk HIV. Masa antara masuknya infeksi dan terbentuknyaantibodi

yang dapat dideteksi melalui pemeriksaan laboratorium adalah selama

2-12minggu dan disebut masa jendela (window period). Selama masa

jendela, pasiensangat infeksius, mudah menularkan kepada orang lain,

meski hasil pemeriksaanlaboratoriumnya masih negatif. Hampir 30-

50% orang mengalami masa infeksi akutpada masa infeksius ini,

dimana gejala dan tanda yang biasanya timbul adalah:demam,

pembesaran kelenjar getah bening, keringat malam, ruam kulit, sakit

kepaladan batuk.

Infeksi, penyakit, dan keganasan dapat terjadi pada individu

yang terinfeksiHIV. Penyakit yang berkaitan dengan menurunnya daya

tahan tubuh pada orang yangterinfeksi HIV, misalnya infeksi

tuberkulosis (TB), herpes zoster (HSV), oral hairycell leukoplakia

(OHL), oral candidiasis (OC), papular pruritic eruption

(PPE),Pneumocystis carinii pneumonia (PCP), cryptococcal meningitis

(CM), retinitisCytomegalovirus(CMV), dan Mycobacterium avium

(MAC)

Waktu antara HIV masuk ke dalam tubuh sampai gejala pertama

AIDSdisebut juga masa inkubasi HIV adalah bervariasi antara setengah

tahun sampai lebihdari tujuh tahun. HIV (antigen) hanya dapat

dideteksi dalam waktu singkat kira-kirasetengah bulan sampai dengan


9

2,5 bulan sesudah HIV masuk tubuh. Untuk membantumenegakkan

diagnosis pemeriksaan mencari KOV tidak dianjurkan karena

mahal,memakan waktu lama dan hanya dapat ditemukan dalam waktu

terbatas. Tubuhmemerlukan waktu untuk dapat menghasilkan antibodi.

Waktu ini rata-rata 2 bulan,ini berarti bahwa seseorang dengan infeksi

HIV dalam 2 bulan pertama diagnosisnyabelum dapat ditegakkan

dengan pemeriksaan laboratorium berdasarkan penentuanantibodi.

Lama waktu 2 bulan ini disebut Window Period.

2.1.4 Penularan HIV

Human Immunodeficiency Virus(HIV) dapat masuk ke tubuh

melalui tiga cara, yaitu melalui:

1. Hubungan seksual

Penularan melalui hubungan seksual adalah cara yang

paling dominan dari semuacara penularan. Penularan melalui

hubungan seksual dapat terjadi selama sanggama laki-laki dengan

perempuan atau laki-laki dengan laki-laki. Sanggamaberarti kontak

seksual dengan penetrasi vaginal, anal, atau oral antara

duaindividu. Risiko tertinggi adalah penetrasi vaginal atau anal

yang tak terlindungdari individu yang terinfeksi HIV. Kontak

seksual oral langsung (mulut ke penisatau mulut ke vagina)

termasuk dalam kategori risiko rendah tertular HIV.Tingkatan

risiko tergantung pada jumlah virus yang ke luar dan masuk ke


10

dalamtubuh seseorang, seperti pada luka sayat/gores dalam mulut,

perdarahan gusi danatau penyakit gigi mulut atau pada alat genital.

2. Pajanan oleh darah, produk darah, atau organ dan jaringan yang

terinfeksi

Penularan dari darah dapat terjadi jika darah donor tidak

ditapis (uji saring) untukpemeriksaan HIV, penggunaan ulang

jarum dan semprit suntikan ataupenggunaan alat medik lainnya

yang dapat menembus kulit. Kejadian di atas dapatterjadi pada

semua pelayanan kesehatan, seperti rumah sakit,

poliklinik,pengobatan tradisional melalui alat penusuk/jarum, juga

pada pengguna napzasuntik (penasun). Pajanan HIV pada organ

dapat juga terjadi pada prosestransplantasi jaringan/organ di

fasilitas pelayanan kesehatan.

3. Penularan dari ibu ke anak

Lebih dari 90% anak yang terinfeksi HIV didapat dari

ibunya. Virus dapatditularkan dari ibu yang terinfeksi HIV kepada

anaknya selama hamil, saatpersalinan dan menyusui. Tanpa

pengobatan yang tepat dan dini, setengah darianak yang terinfeksi

tersebut akan meninggal sebelum ulang tahun kedua.

2.1.5 Komplikasi

Komplikasi dari penyakit HIV/AIDS menyerang paling banyak

pada bagian tubuh seperti:

1. Oral lesi
11

Lesi ini disebabkan karena jamur kandidia, herpes

simpleks, sarcoma kaposi, HPV oral, gingivitis, periodonitis HIV,

leukoplakia oral, penurunan berat badan, keletihan, dan cacat.

2. Neurologik

Pada neurologik, virus ini dapat menyebabkan kompleks

dimensia AIDS karena serangan langsung HIV pada sel saraf,

berefek perubahan kepribadian, kerusakan kemampuan motorik,

kelemahan, disfagia, dan isolasi sosial. Enselopaty akut karena

reaksi terapeutik, hipoksia, hipoglikemia, ketidakseimbangan

elektrolit, meningitis atau ensepalitis. Efek yang terjadi yaitu sakit

kepala, malaise demam, paralise, total/parsial, infrak serebral

kornea sifilis meningovaskuler, hipotensi sistemik, dan maranik

endokarditis.

3. Gastrointestinal

Pada gastrointestinal dapat menyebabkan beberapa hal

seperti: diare karena bakteri dan virus, pertumbuhan cepat flora

normal, limpoma, dan sarcoma kaposi. Efek yang terjadi yaitu

penurunan berat badan, anoreksia, demam, malabsorbsi, dan

dehidrasi. Hepatitis karena bakteri dan virus, limpoma, sarcoma

kaposi, obat illegal, alkoholik, anoreksia, mual, muntah, nyeri

abdomen, ikterik, demam atritis. Penyakit anorektal karena abses

dan fistula, ulkus dan inflamasi perianal yang sebagai akibat infeksi
12

dengan efek inflamasi sulit dan sakit, nyeri rectal, gatal-gatal dan

diare.

4. Respirasi

Infeksi karena pneumocitis, carinii, cytomegalovirus, virus

influenza, pneumococcus, dan strongyloides dengan efek nafas

pendek, batuk, nyeri, hipoksia, keletihan, dan gagal nafas.

5. Dermatologik

Lesi kulit stafilokukus, virus herpes simpleks dan zoster,

dermatitis karena xerosis, reaksi otot, lesi scabies/tuma, dan

dekubitus dengan efek nyeri, gatal, rasa terbakar, infeksi sekunder

dan sepsis.

6. Sensorik

Pada bagian sensorik virus menyebabkan pandangan pada

sarcoma kaposis pada konjuntiva berefek kebutaan. Pendengaran

pada otitis eksternal dan otitis media, kehilangan pendengaran

dengan efek nyeri.

2.1.6 Pencegahan HIV

1. Pencegahan Primer

Pencegahan tingkat pertama ini merupakan upaya agar

orang sehat tetap sehatatau mencegah orang sehat menjadi sakit.

Pencegahan primer merupakan hal yangpaling penting, terutama

dalam hal merubah perilaku. Beberapa hal yang perludiperhatikan

antara lain:
13

a. Pencegahan dilakukan dengan tindakan seks yang aman

dengan pendekatan“ABC” yaitu Abstinence, artinya absen seks

ataupun tidak melakukan hubunganseks bagi orang yang

belum menikah merupakan metode paling aman

untukmencegah penularan penyakit menular seksual HIV

melalui hubungan seksual.Jika tidak memungkinkan pilihan

kedua adalah Be Faithful, artinya tidakberganti-ganti pasangan.

Jika kedua hal tersebut tidak memungkinkan juga, makapilihan

berikutnya adalah penggunaan kondom secara konsisten (Use

Condom).Pencegahan ini menggunakan konsep ABCDE yakni:

A (Abstinence) yakni tidak melakukan hubungan seksual bagi

yang belummenikah.

B (Be faithful) yakni bersikap setia kepada satu pasangan

seksual.

C (Condom) yakni menggunakan kondom pada saat hubungan

seksual.

D (Drug no) yakni tidak menggunakan narkoba.

E (Equipment) yakni menggunakan peralatan yang bersih,

steril, sekali pakaidan tidak bergantian.

b. Berhenti menjadi pengguna NAPZA terutama narkotika

suntikan, ataumengusahakan agar selalu menggunakan jarum

suntik yang steril serta tidakmenggunakannya secara bersama-

sama.
14

c. Sarana pelayanan kesehatan harus dipahami dan diterapkan

kewaspadaanuniversal (universal precaution) untuk

mengurangi risiko penularan HIV melaluidarah. Kewaspadaan

universal ini meliputi cuci tangan dengan sabun dan

airmengalir sebelum dan sesudah melakukan tindakan

perawatan, penggunaan alatpelindung yang sesuai untuk setiap

tindakan, pengelolaan alat kesehatan bekaspakai dengan

melakukan dekontaminasi, desinfeksi dan sterilisasi dengan

benar.

d. Pencegahan penyebaran melalui darah dan donor darah

dilakukan denganskrining adanya antibodi HIV, demikian pula

semua organ yang didonorkan,serta menghindari transfusi,

suntikan, jahitan dan tindakan invasif lainnya yangkurang

perlu.

e. WHO mencanangkan empat strategi untuk mencegah

penularan vertikal dari ibukepada anak yaitu dengan cara

mencegah jangan sampai wanita terinfeksi HIVdan AIDS.

Apabila sudah terinfeksi HIV dan AIDS mengusahakan supaya

tidakterjadi kehamilan. Bila sudah hamil dilakukan

pencegahan supaya tidak menulardari ibu kepada bayinya dan

bila sudah terinfeksi diberikan dukungan sertaperawatan bagi

ODHA dan keluarganya.

2. Pencegahan Sekunder
15

Infeksi HIV menyebabkan menurunnya sistem imun secara

progresif sehinggamuncul berbagai infeksi oportunistik yang

akhirnya dapat berakhir pada kematian.Sementara itu, hingga saat

ini belum ditemukan obat maupun vaksin yang efektif,sehingga

pengobatan HIV dan AIDS dapat dibagi dalam tiga kelompok

sebagaiberikut:

a. Pengobatan suportif yaitu pengobatan untuk meningkatkan

keadaan umumpenderita. Pengobatan ini terdiri dari pemberian

gizi yang baik, obat simptomatikdan pemberian vitamin.

b. Pengobatan infeksi oportunistik merupakan pengobatan untuk

mengatasi berbagaipenyakit infeksi dan kanker yang menyertai

infeksi HIV dan AIDS. Penangananterhadap infeksi

oportunistik ini disesuaikan dengan jenis

mikroorganismepenyebabnya dan diberikan terus menerus.

c. Pengobatan antiretroviral (ARV) yang bekerja langsung

menghambat kinerjaenzim protease yang terbukti bermanfaat

memperbaiki kualitas hidup, menjadikaninfeksi oportunistik

menjadi jarang dan lebih mudah diatasi sehingga

menekanmorbiditas dan mortalitas dini. Tetapi ARV belum

dapat menyembuhkan pasienHIV dan AIDS ataupun

membunuh HIV.

3. Pencegahan Tersier
16

Orang yang didiagnosa HIV biasanya banyak menerima

diskriminasi saatmembutuhkan pengobatan HIV ataupun bantuan

dari fasilitas rehabilitasi obat, selainitu juga dapat mendatangkan

trauma emosi yang mendalam bagi keluarganya. ODHAperlu

diberikan dukungan berupa dukungan psikososial agar penderita

dapatmelakukan aktivitas seperti semula/seoptimal mungkin. Untuk

mencegah semakinmeningkatnya angka kejadian Penyakit Menular

Seksual HIV dan AIDS, maka perludilakukan beberapa

pencegahan, yaitu:

a. Memutuskan rantai penularan infeksi PMS.

b. Mencegah berkembangnya PMS serta komplikasinya.

c. Tidak melakukan hubungan seksual dengan berganti-ganti

pasangan.

d. Menggunakan kondom saat berhubungan seksual.

Ada beberapa program yang dianjurkan oleh Badan Kesehatan

Dunia (WHO)dan telah diterapkan di beberapa negara untuk

dilaksanakan secara bersama-sama,yaitu:

1. Pendidikan kesehatan reproduksi untuk remaja dan dewasa muda.

2. Program penyuluhan sebaya untuk berbagai kelompok sasaran

(peer groupeducation).

3. Program kerjasama dengan media cetak dan elektronik.

4. Paket pencegahan komprehensif untuk pecandu narkotika.

5. Program pendidikan agama.


17

6. Program promosi kondom di lokalisasi pelacuran dan panti pijat.

7. Pelatihan ketrampilan hidup.

8. Program pengadaan tempat-tempat untuk test HIV dan konseling.

9. Dukungan untuk anak jalanan dan pengentasan prostitusi anak.

10. Program pencegahan dengan pengobatan, perawatan dan dukungan

untuk ODHA.

11. Program pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak dengan

pemberian obatAZT.

Upaya mengurangi resiko penularan dari ibu ke bayi maka

penanganan pencegahan infeksi bayi yang lahir dari ibu terinfeksi HIV

sebaiknya dimulai sejak saat bayi di dalam kandungan. Ibu yang sudah

diketahui terinfeksi HIV sebelum hamil, perlu dilakukan pemeriksaan

untuk mengetahui jumlah virus di dalam plasma, jumlah sel T CD4+,

dan genotype virus. Juga perlu diketahui, apakah ibu tersebut sudah

mendapat anti retrovirus (ARV) atau belum. Data tersebut kemudian

dapat digunakan sebagai bahan informasi kepada ibu tentang resiko

penularan terhadap pasangan seks, bayi, serta cara pencegahannya.

2.1.7 Peran Petugas Kesehatan dalam Layanan Tes HIV

Layanan Tes HIV atas Inisiatif Pemberi Pelayanan Kesehatan

dan Konseling(TIPK) atau Voluntary Counseling Test (VCT)

merupakan kebijakan pemerintah untuk dilaksanakan di layanan

kesehatansehingga semua petugas kesehatan harus menganjurkan tes

HIV setidaknya pada ibuhamil, pasien TB, pasien yang menunjukkan


18

gejala dan tanda klinis diduga terinfeksi,pasien dari kelompok berisiko

(penasun, PSK-pekerja seks komersial, LSL–lelakiseks dengan lelaki),

pasien IMS dan seluruh pasangan seksualnya. Pelaksanaan tesHIV

perlu disesuaikan dengan prinsip bahwa pasien sudah mendapatkan

informasiyang cukup dan menyetujui untuk tes HIV dan semua pihak

menjaga kerahasiaan.

Konseling dan Testing Sukarela yang dikenal sebagai VCT

(Voluntary Conseling and Testing) adalah proses konseling pra testing,

konseling post testing, dan testing HIV secara sukarela yang bersifat

rahasia dan secara lebih dini membantu orang mengetahui status HIV

yang penting untuk pencegahan dan perawatannya. Program VCT dapat

dilakukan berdasarkan kebutuhan klien dengan memberikan layanan

dini dan memadai baik kepada mereka dengan HIV positif maupun

negatif. Layanan ini termasuk pencegahan primer melalui konseling dan

KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) seperti pemahaman HIV,

pencegahan penularan dari ibu ke anak (Prevention of Mother To Child

Transmission – PMTCT) dan akses terapi infeksi oportunistik, seperti

tuberkulosis (TBC) dan infeksi menular seksual.

Menurut pedoman VCT, prinsip pelayanan konseling VCT

adalah

1. Sukarela dalam melaksanakan testing HIV

Pemeriksaan HIV hanya dilaksanakan atas dasar kerelaan

klien, tanpa paksaan dan tanpa tekanan. Keputusan untuk


19

dilakukannya testing terletak ditangan klien, kecuali testing HIV

pada darah donor di unit transfusi dan transplantasi jaringan, organ

tubuh dan sel. Testing dalam VCT bersifat sukarela sehingga tidak

direkomendasikan untuk testing wajib pada pasangan yang akan

menikah, pekerja seksual,penasun, rekrutmen pegawai/tenaga kerja

Indonesia, dan asuransi kesehatan.

2. Saling mempercayai dan terjamin konfidensialitas

Layanan harus bersifat profesional, menghargai hak dan

martabat semua klien. Semua informasi yang disampaikan klien

harus dijaga kerahasiaanya oleh konselor dan petugas kesehatan,

tidak diperkenankan didiskusikan di luar konteks kunjungan klien.

Semuainformasi tertulis harus disimpan dalam tempat yang tidak

dapat dijangkau oleh mereka yang tidak berhak. Untuk penanganan

kasus klien selanjutnya dengan seijin klien, informasi kasus dari

klien dapat diketahui.

3. Mempertahankan hubungan relasi konselor-klien yang efektif

Konselor mendukung klien untuk kembali mengambil hasil

testing dan mengikuti pertemuan konseling pasca testing untuk

mengurangi perilaku beresiko. Dalam VCT dibicarakan juga respon

dan perasaan klien dalam menerima hasil testing dan tahapan

penerimaan hasil testing positif.

4. Testing merupakan salah satu komponen dari VCT


20

WHO dan Departeman Kesehatan RI telah memberikan

pedoman yang dapat digunakan untuk melakukan testing HIV.

Penerimaan hasil testing senantiasa diikuti oleh konseling pasca

testing oleh konselor yang sama atau konselor lainnya yang

disetujui oleh klien.

Terkait dengan PPIA layanan konseling atas inistiatif (VCT)

petugas ini dilakukandalam pemeriksaan Ante Natal Care (ANC),

dengan kegiatan:

1. Informasi pra tes (termasuk penawaran tes) dan tes HIV bagi ibu

hamilKegiatan ini dilakukan sebelum tes bagi ibu hamil yang

belum mengetahui statusHIV-nya. Kegiatan ini dilakukan pada saat

pemeriksaan ANC pertama sampaimenjelang persalinan. Melalui

informasi diharapkan ibu hamil dapat memahamimanfaat tes bagi

dirinya serta janin yang dikandungnya dan

mengurangikecemasannya sehingga ibu dapat memutuskan apakah

akan melakukan tes atautidak. Pendekatan yang dilakukan dalam

TIPK adalah pendekatan Option Out.

2. Konseling dan Tes HIV bagi pasangannyaSecara ideal konseling

dan tes HIV juga dilakukan kepada pasangan ibu hamilyang

melakukan pemeriksaan.

3. Konseling pasca testing. Setelah menerima hasil tes, baik bagi ibu

hamil dan pasangannya yangmendapatkan hasil positif maupun

negatif harus mendapatkan konseling pascatesting.


21

Penanggungjawab kegiatan: Direktorat Kesehatan Ibu dan Subdit

AIDS.

Peran petugas kesehatan dapat dibagi atas

1. Peran petugas kesehatan sebagai motivator

Motivator adalahorang (perangsang) yang menyebabkan

timbulnya motivasi pada orang lain untukmelaksanakan sesuatu;

pendorong; penggerak.

2. Peran petugas kesehatan sebagai edukator

Peran petugas kesehatan dalam memberikan informasi juga

sangat berpengaruhbagi ibu hamil dalam menjalani tes HIV. Peran

seperti memberikan penyuluhanatau pembagian brosur-brosur atau

selebaran mengenai apa manfaat tes HIV danapa akibat bila

ternyata ibu hamil mengidap HIV terutama bagi janin

yangdikandungnya akan sangat berperan bagi ibu hamil Besarnya

peran petugaskesehatan akan sangat membantu ibu dalam

mewujudkan kemauannya menjalanites HIV.

3. Peran petugas kesehatan sebagai fasilitator

Peran lain petugas kesehatan adalah memfasilitasi (sebagai

orang yangmenyediakan fasilitas), memberi semua kebutuhan ibu

saat menjalani tes HIV.Petugas kesehatan harus membuka layanan

konsultasi di fasilitas kesehatanseperti puskesmas atau

menyediakan sarana informasi seperti poster, brosurataupun

selebaran yang berguna bagi ibu hamil dalam memberikan


22

pengetahuanmengenai HIV dan tes HIV. Jika hal ini sudah

dipenuhi, maka kemauan ibu hamilmenjalani tes HIV akan

terwujud.

Sebagai seorang konseling dalam melakukan prosedurnya harus

melalui beberapa tahapan, baik itu pretest maupun posttest yang

dijelaskan sebagai beriktu:

1. Tahapan konseling pretestantara lain adalah:

a. Mengemukakan alasan test,

b. Pengetahuan tentang HIV & manfaat testing,

c. Perbaikan kesalahpahaman tentang HIV / AIDS,

d. Penilaian pribadi resiko penularan HIV,

e. Informasi tentang test HIV,

f. Diskusi tentang kemungkinan hasil yang keluar,

g. Kapasitas menghadapi hasil / dampak hasil,

h. Kebutuhan dan dukungan potensialrencana pengurangan resiko

pribadi,

i. Pemahaman tentang pentingnya test ulang,

j. Memberi waktu untuk mempertimbangkan,

k. Pengambilan keputusan setelah diberi informasi,

l. Membuat rencana tindak lanjut,

m. Memfasilitasi dan penandatanganan Informed Consent.

2. Tahapan konseling pasca test meliputi:


23

a. Dokter & konselor mengetahui hasil untuk membantu diagnosa

dan dukungan lebih lanjut,

b. Hasil diberikan dalam amplop tertutup,

c. Hasil disampaikan dengan jelas dan sederhana,

d. Beri waktu untuk bereaksi,

e. Cek pemahaman hasil test,

f. Diskusi makna hasil test.

2.1.8 Pemeriksaan diagnostic

Membantu menegakkan diagnosa infeksi HIV/AIDS harus

berdasarkan pemeriksaan laboratorium dan pembagian gejala klinis

baik mayor maupun minor. Dinyatakan positif mengidap HIV/AIDS

apabila pemeriksaan tes HIV enzyme linked immunosorbent assay

(ELISA) dari metode yang berbeda menunjukkan hasil reaktif dan telah

dikonfirmasi dengan pemeriksaan western bolt serta didapatkan dua

gejala mayor dan satu gejala minor.

Diagnosa HIV pada umumnya baru dapat ditegakkan pada

stadium lanjut dan merupakan masalah yang paling sering di bidang

klinik. Untuk mengubah hal ini perlu ditingkatkan kepedulian terhadap

infeksi HIV, perluasan fasilitas diagnosis serta diterapkanya PITC

(Provider Treatment and Conceling).

Beberapa pemeriksaan laboratorium yang umum digunakan

dalam menegakkan infeksi HIV, yaitu:

1. ELISA
24

Merupakan pemeriksaan serologi standart/uji penapsian

terhadap antibodi HIV. Sensitivitasnya tinggi yaitu sebesar 98,1-

100%. Biasanya tes ini memberikan hasil positif 2-3 bulan setelah

infeksi. Metode ini paling banyak digunakan untuk penapisan

spesimen dalam jumlah besar seperti pada donor darah dengan

prevalensi infeksi HIV yang rendah.

2. Western Bolt

Merupakan tes konfirmasi uji pemastian terhadap

komponen protein HIV. Spesifitasnya tinggi yaitu sebesar 99,6-

100%. Pemeriksaanya cukup sulit, mahal, dan membutuhkan waktu

sekitar 24 jam.

3. Rapid Test

Rapid test relatif direkomendasikan terhadap diagnosa

konvensional seperti ELISA sejak cara itu lebih cepat (di bawah 30

menit) dan sederhana untuk melakukan. Hal ini memungkinkan

penyediaan lebih cepat dari hasil uji dan kesempatan langung untuk

konseling pasca uji dan rujukan ke layanan terkait lainnya.

Pemeriksaan dilakukan dengan sedikit atau tanpa

peralatanlaboratorium dan reagen, dan sangat bermanfaat dalam

rangkaian terbatas sumber daya dan kurang menuntut secara teknis.

Penilaian Rapid test menunjukkan bahwa Rapid test dapat memiliki

sensitifitas dan spesifitas hingga 100%, mirip dengan kinerja

ELISA. Keuntungan utama dari Rapid test HIV adalah waktu yang
25

singkat untuk melakukan pengujian dan kemungkinan memperoleh

hasil tes HIV dalam beberapa menit dari koleksi spesimen-

spesimen. Hal ini dapat menyebabkan tingkat yang lebih tinggi

untuk mereka menerima hasil tes dan selanjudnya mereka masuk

ke konseling pasca tes, pengobatan dan program perawatan

Seperti bentuk lain dari tes HIV, inform consent harus

diperoleh dari individu dan kerahasiaan hasil tes harus dijaga.

Selain itu, penting untuk memilih Rapid test yang dapat diandalkan

yang tersedia dari berbagai produsen. Dengan teliti memilih Rapid

test yang terbukti berkualitas tinggi, dikombinasikan dengan

pemilihan strategi pengujian yang sesuai algoritma, akan mencapai

akurasi yang dapat setinggi penggunaan kombinasi ELISA dan

Western blot. Salah satu jenis Rapid test yang banyak digunakan

adalah alat diagnostik berupa stik untuk mendeteksi keberadaan

antigen atau pun antibodi dalam sampel berupa darah, plasma atau

serum. Stik tes ini mirip dengan stik kehamilan yang menggunakan

prinsip imunokromatografi yang telah banyak digunakan dan

beredar dimasyarakat.Uji ini sederhana dapat dikerjakan

menggunakan darah atau cairan mulut dan berdasarkan atas prinsip

aglutinasi partikel atau reaksi immunodot dengan teknik

Immunochromatographic (juga dikenal sebagai lateral aliran) .


BAB III

PEMBAHASAN

1.1. Pembahasan

HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang secara

progresif merusak sel-sel darah putih yang disebut Limfosit (sel

TCD4+) yang tugasnya menjaga sistem kekebalan tubuh sehingga

sistem kekebalannya rusak. Orang yang terkena virus ini akan menjadi

rentan terhadap infeksi.

Layanan Tes HIV atas Inisiatif Pemberi Pelayanan Kesehatan dan

Konseling(TIPK) atau Voluntary Counseling Test (VCT) ditujukan

untuk pasien ibu hamil, pasien TB, pasien yang menunjukkan gejala

dan tanda klinis diduga terinfeksi, pasien dari kelompok berisiko

(penasun, PSK-pekerja seks komersial, LSL–lelakiseks dengan lelaki),

pasien IMS dan seluruh pasangan seksualnya.

Program VCT dapat dilakukan berdasarkan kebutuhan klien

dengan memberikan layanan dini dan memadai baik kepada mereka

dengan HIV positif maupun negatif. Layanan ini termasuk

pencegahan primer melalui konseling dan KIE (komunikasi, informasi

dan edukasi) seperti pemahaman HIV, pencegahan penularan dari ibu

ke anak (Prevention of Mother To Child Transmission – PMTCT) dan

akses terapi infeksi oportunistik, seperti tuberkulosis (TBC) dan

infeksi menular seksual.

26
27

Dengan adanya VCT mobile dapat memudahkan para pasien untuk

mendapatkan informasi mengenai HIV, karena dalam VCT selain

dilakukannya tes HIV dengan metode Rapid Test, juga dilakukan

konseling bagi para pasien. Baik yang dinyatakan positif maupun

negatif. sehingga pasien merasa diperhatikan, tidak dikucilkan.

Bahkan mereka mendapatkan ilmu baru, apa yang harus mereka ketika

dinyatakan positif. Mereka juga merasa memiliki teman berbagi ketika

mereka memiliki masalah, karena di Klinik Rafflesia ini kita

membebaskan pasien untuk bercerita sesuka hatinya, tentu dalam

konteks yang sewajarnya.

Dengan adanya Klinik Rafflesia ini kami berharap para pasien

tidak perlu takut dan khawatir untuk memeriksa kesehatannya jikalau

merasakan gejala penyakit HIV.


28

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang secara

progresif merusak sel-sel darah putih yang disebut Limfosit (sel

TCD4+) yang tugasnya menjaga sistem kekebalan tubuh sehingga

sistem kekebalannya rusak.

Penderita yang positif HIV kebanyakan malu untuk terbuka

mengenai masalah yang menimpanya, sehingga mereka merasa hidup

mereka sudah tidak berguna karena dikucilkan oleh orang disekitarnya.

Untuk itu puskesmas hadir dengan Klinik Rafflesia yang akan

memberikan dorongan dan motivasi kepada ODHA agar tetap semangat

dalam menjalani hidupnya.

4.2. Saran

Saran penulis pada makalah ini adalah:

1. Jangan menjauhi atau mengucilkan ODHA, tetapi jauhi

penyebabnya

2. Terbuka kepada petugas kesehatan agar mendapat dorongan

dan motivasi untuk ke depannya

3. Jangan takut untuk memeriksakan kesehatan Anda jika

Anda merasakan gejala penyakit HIV


29

DAFTAR PUSTAKA

Anastasya, S. Determinan Penggunaan Pelayanan Voluntary Counseling And


Testing (VCT) oleh Ibu Rumah Tangga Berisiko Tinggi HIV Positif.Jurnal
Keperawatan Poltekes Kemenkes. Jakarta: Kemenkes RI. 2015.

Departemen Kesehatan RI. Modul Pelatihan Pemcegahan Penularan HIV/AIDS


dari Ibu ke Bayi (PMTCT). Jakarta: Depkes RI.2014.

Dinas Kesehatan Kabupaten Tangerang. Data Jumlah HIV AIDS Kabupaten


Tangerang. Tangerang. 2019.

Kemenkes RI. Pedoman Pelaksanaan Pencegahan Penularan HIV dan Sifilis dari
Ibu ke Anak bagi Tenaga Kesehatan. Jakarta: Kemenkes RI.2015.

Pinem, S. Kesehatan Reproduksi dan Kontrasepsi. Jakarta: Trans Info.2016.

WHO. HIV To be Continue A Major Global Public Health Issue. 2017.


http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs360/en/, Diakses tanggal 15
November 2019.

Wulansari. Faktor – Faktor yang Berhubungan dengan Niat Ibu Hamil untuk
Memanfaatkan Layanan VCT (Voluntary Counseling and Testing) di Wilayah
Kerja Puskesmas Ciputat Tahun Kota Tangerang Selatan Provinsi
Banten.Skripsi. Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.2014.
30

LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai