INDONESIA
Editor:
Githa Rahmayunita
Larisa Paramitha Wibawa
Novita Suprapto
UNIVERSITAS
INDONESIA
PENERAPAN DERMATOTERAPI
BERBASIS BUKTI
EDITOR:
G itha Rahmayun ita
La risa Para m itha W i bawa
Novita Su pra pto
ISBN 978-602-98468-8-1
ii
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
SAM BUTAN
KEPALA DEPARTEMEN
ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN FKUl-RSCM
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT karena berkah dan
rahmat-Nya sehingga Simposium dan Workshop Jakarta Dermatology
Meeting (JAKDER M ) 2017 dapat terselengga ra.
Perkembanga n i l m u dan praktik dermatologi dan venereologi
yang kian pesat dewasa ini membutu h ka n pen i ngkatan kemampuan
klinis untuk meningkatkan keterampilan diagnostik dan tata laksana. Oleh
karena itu, Departemen llmu Kesehatan Ku lit dan Kelamin (I KKK) Fakultas
Kedokteran Universitas lndonesia/RSUPN Dr. Cipto Mangun kusu mo
( FKU l/RSCM) bekerja sama dengan Perdoski cabang Jakarta memandang
perlu dilakukan simposiu m dan workshop "Pendekatan Diagnostik dan
Penera pan Dermatotera pi Berbasis Bukti." Selain menambah ilmu dan
wawasan, pelatihan kali ini juga menekankan pentingnya prinsip
evidence-based medicine dalam menanga ni masalah kesehatan kulit dan
kelamin, baik dalam diagnostik maupun terapi, sehi ngga pelayanan yang
diberikan kepada masyarakat dapat dipertanggungjawabkan secara
keilmuan. Oleh sebab itu, besar harapan kami pelatihan ini dapat
memberikan manfaat, dapat terlaksana secara berkesinambungan.
Tidak l u pa saya tu rut mengucapkan terima kasih kepada
sel u ruh pen u l is ya ng telah bersed ia berbagi i l m u mela l u i tu lisan
dalam buku ini, dan kepada tim editor ya ng te lah melua ngkan waktu
untuk menyusun buku. Semoga maka l a h i n i dapat menjadi pega ngan
bagi para peserta dalam menghadapi masa lah kesehatan kulit dan
kelamin dalam pra ktik seha ri-hari. Ke depan, besa r h a rapan saya agar
iii
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
pelatihan dan buku panduan sepe rti i n i dapat terus dihasilka n u ntuk
topik-topik dermatovenereologi yang menarik lainnya .
iv
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
SAMBUTAN
Salam,
v
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
SAM BUTAN
KETUA PANITIA SIMPOSIUM DAN WORKSHOP
JAKDERM 2017: PENDEKATAN DIAGNOSTIK DAN
PENERAPAN DERMATOTERAPI BERBASIS BUKTI
Puj i syu kur kita panjatka n kepada Allah SWT, ka rena atas berkat
ra h mat dan h idayat-Nya b u ku i n i dapat diselesaikan dengan baik. Buku
ini meru pakan kumpulan makalah lengkap ya ng ditu l is oleh pa ra
pembica ra Simposiu m dan Workshop J a kderm 2017: Pendekata n
Diagnostik dan Penerapan Dermatotera pi Berbasis B u kti ya ng
diseler:iggara kan pada tangga l 12-15 J a n u a ri 2017 di Jaka rta.
Seperti yang kita keta h u i bersa ma, seiring dengan ber
kemba ngnya teknologi, semakin banyak modal itas diagnostik dan
terapi dalam bidang kulit dan kel a m i n . Berbaga i jenis terapi
ditawa rkan kepada kha laya k u mum, baik ya ng sudah maupun yang
bel u m teruji seca ra klinis. Dalam penanganan masalah ku l it kini
d i kenal isti lah "de rmatotera pi", yaitu peru bahan pengobatan topikal
dari non-spesifi k dan empirik menjadi spesifi k dengan dasar ya ng
rasional, terki ni, dan berbasis bukt i .
Pemilihan terapi yang rasiona l dan berbasis bukti menjadi sangat
funda mental bagi seorang dokter dalam mem berikan tatalaksana
kepada pasien. Sehubunga n dengan hal tersebut, diharapkan dengan
mengi kuti Simposiu m dan Workshop Jakderm 2017 serta dengao___
membaca buku ini, para dokter dapat memperba harui baik ilmu
pengetahuan dan ketera mpilan, khususnya dalam menata laksana
pasien denga n masa lah kulit dan kela m i n . Dengan disusunnya buku ini,
diharapkan dapat membantu menyebarluaskan ilmu pengeta huan
kepada sel u ru h dokter di I ndonesia, sehi ngga dengan begitu kua litas
pelaya nan kepada pasien tentu dihara pkan menjadi lebih baik dan
paripurn a .
vi
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Akhir kata, terima kasih saya ucapkan kepada seluruh kontributor
dan kepada sel u ru h pihak ya ng telah memba ntu dalam proses
pembuatan buku i n i . Semoga buku i n i dapat bermanfaat bagi Tem a n
Sejawat seka l i a n .
Salam,
vii
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
KATA PENGANTAR
viii
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Akhi r kata kese m pu rnaan h anya m i l i k Allah SWT, t i m editor
mohon maaf bila terdapat kesa lahan d a l a m proses penyusunan buku
i n i . Ucapan terim a kasih ka m i h aturka n kepada para Pen u lis yang
bersed ia mem bagi i l m u nya mela l u i tulisan, serta berbagai pihak yang
telah memba ntu penyusu nan buku i n i . Semoga buku ini dapat
menjadi panduan pra ktis d a l a m menanga n i masa lah kesehatan kulit
dan kelam i n .
Tim Editor
ix
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
KONTRIBUTOR
x
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
dr. Euis Mutmainah, SpKK
Departemen l l m u Kesehatan Kulit dan Kela m i n
Faku ltas Kedoktera n U n iversitas Indonesia/
RS Persa habata n, J a ka rta
xi
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
dr. Mirawati Setyorini, SpKK
Departemen l l m u Kesehata n Kulit dan Kelamin
Fa kultas Kedoktera n·un iversitas Indonesia/
RSAB H ara pan Kita, J a ka rta
xii
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
dr. Selviyanti Padma, SpKK
Departemen l l m u Kesehatan Kulit dan Kela m i n
Faku ltas Kedoktera n U n iversitas I ndonesia/
RSU PN Dr. Cipto Mangunkusumo, J a karta
xiii
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
DAFTAR ISi
Kontributor .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . x
xiv
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Hemangioma l nfantil : Tata La ksana Terki n i ................................ 137
Nanny Shoraya
Sifilis: Apa kah Hanya Suatu Penya kit Kela min? ........ . . .......... . . ..... 194
Euis M utmainah
Tata laksa na Tumor Jinak Kulit .... . . . . ..... ....... . . . . . . . . . ...... . . . . ...... . .. . . . . 225
R. I nge Ade Krisanti
Manajemen Bedah pada Kan ker Kulit: Bedah Eksisi vs Bedah Mohs 270
Ad h i m u kti T. Sam purna, Amanda N Ward a n i
xv
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
VAKSIN HERPES ZOSTER
PENDAHULUAN
1
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Andina Bulan Sari
2
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Vaksin Herpes Zoster
3
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Andina Bulan Sari
Kelompok tertentu
4
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Vaksin Herpes Zoster
5
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Andina Bulan Sari
Heat-Inactivated Vaccine
Heat-inactivated vaccine atau Varivax (V2 12) da pat bergu na
pada resipien yang menjalani transplantasi sumsum tulang dan resipien
transpla ntasi sel hematopoietik. Stu d i fase I l l saat itu sedang menguji
keamanan dan efektivitas vaksin pada pasien dengan tumor solid dan
keganasan hematologi dalam jangka waktu 5 tahun. Diperkirakan,
penelitian a kan selesai Febru a ri 2017. 1'8' 10
DAFTAR PUSTAKA
1. Arnold N, Messaoudi I. Herpes zoster and the search for an effective vaccine.
Clin Exp lmm unol. 2016;25:82-92.
2. CDC. Prevention of herpes zoster recommendations of the advisory committee
on immun ization practices (ACIP}. M MW R . 2008;57:1-23.
3. Ansaldi F, Trucchi C, Alicino C, Paganino C. Real-world effectiveness and safety
of a live-attenuated herpes zoster vaccine: A comprehensive review. Adv Ther.
2016;33:1094-104.
4. Data Polikl i n i k llmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUPN Dr. Cipto
Mangu nkusumo tah u n 2013-2015. [unpublished materials]
5. Sundaru H, Kalista KF, Sejati A. Herpes zoster. Dalam: Djauzi S, Rengganis I,
Koesnoe S, Ahani AR, penyunting. Pedoman imunisasi pada orang dewasa tahun
2012. Jakarta : Sadan Penerbit Fakultas Kedokteran Un iversitas Indonesia; 2012: h.
195-8.
6
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Vaksin Herpes Zoster
6. Tseng H F, Smith N, Harpaz R, Bialek SR, Sy LS, Jacobsen SJ. Herpes zoster
vaccine in older ad ults and the risk of subsequent herpes zoster d isease. JAMA.
2011; 305(2): 160-6.
7. Langan SM, Smeeth L, Margolis DJ, Thomas SL. Herpes zoster vaccine
effectiveness against i ncident herpes zoster and post-herpetic neuralgia in an
older US population : A cohort study. PLOS medicine. 2013; 10(4): 1-11.
8. Schmader K. Herpes zoster. Clin Geriatr Med . 2016; 32: 539-53.
9. Cunningham AL, Lal H, Kovac M, Chlibek R, Hwang S-J, Diez-Domi ngo J, dkk.
Efficacy of the herpes zoster subunit vaccine in adults 70 years of age or older.
N Engl J Med. 2016; 375(11): 1019-3 1.
10. Reddy KP. Herpes zoster vaccine: Time for a boost. J Gen Intern Med. 2016 Oct 11.
DOI : 10.1007/S11606-016-3885-x.
7
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
DIAGNOSIS DAN TATA LAKSANA
ONIKOMIKOSIS BERBASIS BUKTI
Eliza Miranda
EPIDEM IOLOGI
Onikomikosis terjadi pada sekitar 3% populasi dewasa di lnggris. 5
Di d u n ia m ayoritas penyebab o n i ko m i kosis adalah dermatofita dan
ragi, sedangkan 10% penyebab o n i ko m i kosis merupakan KND. 6
La pora n data kunj u ngan pasien on i kom i kosis d i Divisi Mikologi
Poliklinik Kulit dan Kelamin RSU P Dr. Cipto Mangun kusumo selama
tahun 2014 menunj ukkan terdapat 205 kasus baru dari total kunjungan
1471 pasien baru dan 90% di antara nya disebabkan oleh kandida. 7
Golongan dermatofita yang banyak dilaporkan sebagai penyebab adalah
Trichophyton rubrum ( T. rubrum) dan T. mentagrophytes. 8
8
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Diagnosis dan Tata Laksana Onikomikosis Berbasis Bukti
ETIOLOGI
Prevalensi onikomikosis lebih tinggi dibandi ngkan dengan
penyakit kuku lainnya misalnya psoriasis, pada individu dengan keadaan
antara lain bertambahnya usia, menggunakan alas ka ki tertutup,
trauma kuku beru lang, h iperhid rosis, predisposisi genetik, ada nya
penyakit penyerta m isal nya dia betes, sirkulasi perifer bu ru k, i nfeksi
HIV, konsumsi obat i m u nosupresif, dan penya kit i m u noko mpromais
lain. 2 Sering pula terjadi pada perokok, pada orang ya ng meng
gunakan alas ka ki oklusif, d a n penggunaan tempat mandi bersa m a . 3'9
' 1: ..' .·
'•
KLASIFIKASI
Klasifikasi u m u m onikomikosis berdasa rkan ga m ba ra n kli n is
adalah: 1 (Tabel 1)
1. Onikomikosis subungual distal d a n late ra l (OSOL)
2. Onikomikosis su perfisial putih (OSP)
3 . Onikomikosis subu ngua l proksimal (OSP)
4. Onikomikosis endoniks (OE)
5 . Onikomikosis total d istropik (OTO)
9
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Eliza M i randa
10
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Diagnosis dan Tata Laksana Onikomikosis Berbasis Bukti
rusak atau mengalami trauma. Oleh karena itu, i nfeksi ini terkadang
hanya mengenai satu kuku yaitu kuku kaki terutama ibu jari yang paling
sering terinfeksi dibandingkan dengan kuku tangan. Agen penyebab
bervariasi berdasarkan letak geografis, namun Scopulariopsis brevicaulis
merupakan penyebab onikomikosis KN D tersering yang menginfeksi
kuku . Neoscytalidium dimidiatum (dahulu disebut Scytalidium
dimidiatum atau Hendersonula toru/oidea) ditemukan di daerah tropis.
Penyebab lain adalah Acremonium sp. , Aspergillus sp. , Fusarium sp. ,
d a n Onychoco/a canadensis. 1
c. Tinea unguium
OSDL merupakan bentuk kli n is i nfeksi kuku tersering ya ng
disebabkan oleh dermatofita (ti nea ungu i u m ) . Agen penyebab
tersering adalah T. rubrum. Kel a i n a n i n i mempunyai gam ba ran kl i n is
ya ng tidak da pat d i bedakan dengan K N D . Ti nea u ng u i u m pada jari
kaki biasa nya merupakan pen u l a ran d a ri tinea pedis, sedangkan
i nfeksi pada kuku tangan berasal dari tinea m a n u m, korporis, atau
kapitis. Ti nea u ngui u m lebih sering mengenai ku ku ka ki d i bandi ngkan
dengan kuku tangan, teruta ma j a ri pertama dan kelima yang m u ngkin
diseba bka n oleh faktor tra u ma yang sering terjadi d i daerah tersebut.
Tinea ungu i u m dapat mengenai lebih dari satu ku ku dan bah ka n
da pat mengenai semua kuku. 1
11
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
......
Tabel 1. Klasifikasi onikomikosis �
N •
;:;·
Ill
s:
Tipe onikomikosis Gambaran klinis Penyebab Pola infeksi Keterangan Ill
...,
:J
c..
Ill
Onikomikosis Dimulai pada bagian distal hiponikium dan menyebar Epidermophyton f/occosum lnvasi jamur melalui sela kuku di bagian Bentuk paling umum
subungual distal dan ke lempeng dan bantalan kuku; T. mentagraphytes lateral atau di bawah permukaan kuku
lateral (OSOL) debris; hiperkeratosis; T. rubrum
onikolisis; kuku menebal, terkelupas, distrofik, Fusarium sp.
berwarna kuning atau coklat kehitaman; Scopufariopsis brevicaulis
infeksi berjalan keproksimal, membentuk garis linear Neoscyta/idium sp.
atau "spikes" yang dapat menyulitkan terapi; dapat C. albicans
disertai paronikia Acremonium sp.
Aspergillus sp.
Onikomikosis Kuku tampak berwarna putih susu, terlekuk, T. saudanense Jamur menginvasi seluruh ketebalan kuku Jarang; dianggap
endoniks (OE) tidak terdapat hiperkeratosis dan onikolisis T. violoceum langsung dari bawah kulit tanpa menginfeksi sebagai subtipe OSOL
bantalan kuku
Onikomikosis Debris terakumulasi di bawah bagian proksimal kuku, T. rubrum Jamur menginvasi lipatan kuku proksimal dan Menunjukkan kondisi
subungual proksimal menyebabkan onikolisis dan warna keputihan, serta Aspergi/lus sp. kutikula; dapat berkembang dari paronikia imunosupresif ( misal
(OSP) menyebar ke bagian distal Fusarium sp. infeksi HIV)
C. albicans
Scopulariopsis brevicou/is
Onikomikosis Tampak bercakpowder-like pada garis tranversal di T. mentagrophytes Dapat timbul di Oulu dikenal dengan
superfisial (OS) permukaan kuku T. rubrum lempeng kuku superfisial atau muncul dari OSP, namun sebagian
Acremonium sp. bawah lipatan kuku; atau penetrasi dalam organisme
Fusarium sp. dari infeksi superfisial menghasilkan debris
Neoscytalidium sp. hitam
Aspergillus sp.
Onikomikosis total Kerusakan total pada kuku akibat infeksi lama; Biasanya oleh Candida sp Dapat berasal dari semua tipe onikomikosis, Biasanya pada
distropik (OTO) penebalan kuku dan struktur kuku hilang namun tersering akibat OSOL berat imunokompromais
•oikutip dengan modifikasi dari kepustakaan 1,10,11
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Langsung
Kultur
13
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Eliza M i randa
Histologi
14
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Diagnosis dan Tata Laksana Onikomikosis Berbasis Bukti
( KONCFLU ), serta KONC yang d iwa rnai denga n pewa rnaan chlorazol
black E ( KONCBE) m e n u nj u kka n m etode biopsi/PAS memberikan
sensitifitas tertinggi. 21
Diagnostik Molekular
Pemeriksaan dengan real time polymerase chain reaction ( PCR)
telah dikembangkan dan dapat mendeteksi sekaligus mengidentifikasi
dermatofita langsung pada sediaan ku ku, kulit dan ra m but dalam
wa ktu kurang dari 2 hari. Real time PCR men i ngkatka n ti ngkat d eteksi
dermatofita seca ra bermakna d i bandingkan dengan biakan, n a m u n
PCR tidak da pat membedakan agen penyebab dengan kontam i n a n
ata u jamur yang mati serta memerl u ka n peralata n la boratori u m
khusus d a n reagen ya ng m a h a l . 1 • 11
Anal isa restriction frogmen length polymorphism ya ng da pat
mengidentifikasi DNA ribosom j a m u r dan sangat m e m ba ntu u ntuk
menentukan a pa ka h penya kit d isebabkan oleh i nfeksi oleh j a m u r
ya ng sama atau oleh j a m u r l a i n saat pasien kurang berespons
terhadap tera p i . Teknik ini bel u m d ii m pl e mentasikan seca ra rutin
dalam pra ktik kl i n i k. 1 Teknik d iagnosti k l a i n nya yang masih dalam
penelitian a ntara lain flow cytometry, m i kroskop konfokal, dan
mi kroskop scanning electron.1
PENEGAKKAN DIAGNOSIS
15
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Eliza M i randa
dermatofita .
16
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Diagnosis dan Tata Laksana Onikomikosis Berbasis Bukti
TATA LAKSANA
17
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Eliza Miranda
Terapi Topikal
18
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
label 2. Rangkuman terapi onikomikosis pada orang dewasa •
Nama Obat Oasis dan lama terapi Angka kesembuhan Strength of recommendation,
Level of evidence* *
Topikal
Amorolfin lacquer 5% 1-2 kali/minggu selama 6-12 bulan 50% 0,3
(untuk OSOL)
Siklopiroksolamin lacquer 8% lka li/hari selama 24 mi nggu (kuku 34% (mikologis) 0,3
(untuk OSP, OSOL dan pasien tangan), 48 m i nggu (kuku kaki) 8% (klinis)
kontra indikasi terapi sistemik)
Tiokonazol solusio 28% 2 kali/hari sela m a 6- 12 bulan 22%(mikologis dan klinis) 0,3
Kombinasi
Tiokonazol solusio 28% Tiokonazol 28% 2 kali/hari dan 69% (mikologis dan klinis) D,3
dengan griseofulvin oral griseofulvin· 1 gr/hari selama 1 ta h u n
Amorolfine 5% lacquer Amorolfine 5 % lacquer 1 - 2 kal i/minggu D,3
dengan 2 d osis denyut d a n 2 dosis denyut itrakonazol oral
itrakonazol oral 400 mg/hari dalam 1 m inggu/bulan
( untuk onikom ikosis kandida
sedang-berat pada kuku
tangan d a n onikomikosis
berat pada kuku kaki
Terapi Fisik
PENUTU P
DAFTAR PUSTAKA
1. Ameen M, Lear JT, Madan V, Mohd M u stapa M F, Richardson M. British
Association of Dermatologists' guideli nes for the management of
onychomycosis 2014. Br Journal Dermatol . 2014; 171(5): 937-58.
2. Al levato MA. Diseases mim icking onychomycosis. Clin Dermatol . 2010; 28(2):
164-77.
3. Thomas J, Jacobson GA, Na rkowicz CK. Toenail onychomycosis: a n important
glonal disease burden. J Clin Pham Ther. 2010; 3 5 : 497-519.
4. Tan JS, Joseph WS. Common fu ngal infections of the feet in patients with
diabetes mel litus. Drugs Aging. 2004; 21: 101-12.
5. Roberts DT. Prevalence of dermatophyte onychomycosis in the U n ited
Kingdom: results of omn ibus survey. Br J Dermato l . 1992; 126(Suppl.39): 23-7.
6. Welsh 0, Vera-Cabrera L, Welsh E. Onychomycosis. Clin Dermatol . 2010; 28:
15 1-9.
21
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Eliza Miranda
7. Data kunj ungan Poli Kulit dan Kela min RSUPN Dr. Cipto Mangu nkusumo tahun
2014. [unpublished materials)
8. Bramono K, Budimulja U . Epidemiology of onychomycosis in Indonesia: Data
obtai ned from three individual studies. Jpn J Med Myco l . 2005; 46: 171-6.
9. Gu pta AK, Gupta MA, Summerbell R S . The epidemiology o f onychomycosis:
Possible role of smoking and peripheral arterial disease. J Eur Acad Dermatol
Venereol. 2000; 14(6): 466-69.
10. Gupta AK, Drummond-Main C, Cooper EA, Brintnell W, Piraccini BM, Tosti A.
Systematic review of non-dermatophyte mold onychomycosis: Diagnosis,
clin ical types, epidemiology, and treatment. J Am Acad Dermatol . 2012; 66(3) :
494-502.
11. Westerberg DP, Voyack MJ. Onychomycosis: Current trends in d iagnosis and
treatment. Ame Fam Phys. 2013; 88(11): 762-70.
12. Alberhasky RC. Laboratory diagnosis of onychomycosis. Clin Podiatr Med Surg
2004; 21(4): 565-78.
13. Shemer A. Davidovici B, Grunwald M H , Amichai B. Comparative study of nail
sampl ing tech niques in onychomycosis. J Dermatol . 2009; 36(7): 410-14.
14. Weinberg JM, Koestenblatt EK, Tutrone WD, Tishler H R, Najarian L. Comparison of
d iagnostic methods in the evaluation of onychomycosis. J Am Acad Dermatol .
2003; 49: 193-7.
15. Elewsky BE. Diagnostic techniq ues for confi rming onychomycosis. J Am Acad
Dermatol . 1996; 35(3): S6-59.
16. Barack 0, Asarch A, Horn T. PAS is optimal for diagnosimg onychomycosis. J
Cutan Pathol. 2010; 37: 1038-40.
17. Wilsmann-Theis D. Sareika F, Bieber T, Sch mid-Wendthener MH, Wenzel J.
New reasons for h istopathological nail clipping exami nation in the diagnosis
of onychomycosis. J E u r Acad Dermatol Venereol . 2011; 25(2): 235-37.
18. Liu H N , Lee DD, Wong CK. KONCPA: A new method for diagnosing Tinea
u ngu ium. Dermatol . 1993; 187(3): 166-8.
19. H aghani I , Shokohi T, Hajheidari Z, Khalilian A, Aghili SR. Comparison of
diagnostic methods in the evaluation of onychomycosis. Mycopathologia.
2013; 175: 315-21.
20. Kwon YH, Cho B K. The significance of KONCPA test in onychomycosis. Korean J
Dermatol . 1996; 34(4): 527-37.
21. Lawry MA, Haneke E, Strobeck K, M a rtin S, Zimmer B, Romano PS. Methods
for d iagnosing onychomycosis : A comparative study and review of the
literature. Arch Dermatol . 2000; 136: 1 112-6.
22. Walshe M M , English MP. Fungi in nails. Br J Dermato l . 1966; 78: 198-207.
23. Gu pta AK, Cooper EA, McDonnald P, Su mmerbell RC. Utility inocu lum
counting (Walshe and English Criteria) i n clinical d iagnosis of onychomycosis
caused by non-dermatophytic fila mentous fu ngi. J Clin M icrobiol . 2001; 39:
21 15-21.
22
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Diagnosis dan Tata Laksana Onikomikosis Berbasis Bukti
24. Gupta AK, Ryder J E, Johnson AM. Cumulative meta -a nalysis of systemic
a ntifungal agents for the treatment of onychomycosis. Br J Dermatol.
2004;150(3): 537-44.
25. Treatment guideli nes antifungal drugs. Treat Guide! Med Lett. 2009: 7( 88): 95-
102.
26. Chang CH, Young-Xu, Kurth T, Orav JE, Chan AK. The safety of oral a ntifungal
treatments for superficial dermatophytosis and onychomycosis: A
metaanalysis. Am J Med. 2007; 120(9): 791-8.
27. Gupta AK, Ski nner AR. Onychomycosis in children: a brief overview with
treatment strategies. Ped Dermatol . 2004; 21(1): 74-9.
28. Avner S, N i r N, Henri T. Combination of oral terbin afine and topical ciclopirox
compared to oral terbinafine for treatment of onychomycosis. J Dermatol
Treat. 2005; 16(5-6): 327-30.
29. Malay DS, Yi S, Borowsky P, Downey MS, M lodzienski AJ. Efficacy of
debridement alone versus debridement combined with topical a ntifungal
nail lacquer for the treatment of pedal onychomycosis: A randomized,
controlled trial. J Foot Ankle Surg. 2009; 48(3): 294-308.
30. Gupta AK, Simpson F . N ewly approved laser systems for onychomycosis. J Am
Podiatr Med Assoc. 2012;102(5):428-30.
31. Kimura U, Takeuchi K, Kinoshita A, Takamori K, Hiruma M, Suga Y. Treating
onychomycoses of the toena i l : Clinical efficacy of the sub-millisecond 1,064
nm Nd :YAG laser using a 5 mm spot diameter. J Drugs Dermatol. 2012; 11(4):
496-504.
23
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Eliza M i randa
Keteranga n :
Level of evidence
1 ++ Meta analisis dengan kualitas ti nggi, telaah sistematis studi
kontrol acak, dengan risiko bias re ndah
1+ Meta a n a lisis d i l a ksa nakan d engan baik, telaah sistematis studi
kontrol acak, dengan risiko bias rendah
1- Meta ana lisis, telaah sistematis stud i kontrol acak, dengan risiko
bias tinggi
2++ Telaah sistematis stud i kontrol acak bermutu ti nggi atau kohort
Kasus kontrol atau kohort berkualitas tinggi dengan risiko
confounding bias yang rendah d a n probabilitas hubungan kausal
ti nggi
2+ Kasus kontrol atau kohort yang d i la ksa nakan dengan baik atau
kohort de nga n risiko confounding bias yang rendah dan
proba bilitas h u bungan kausal seda11g
2- Kasus kontrol ata u kohort yang d enga n risiko confounding bias
yang ti nggi d a n tidak terdapat hubunga n ka usal
3 Studi non-ana l itik (misa l nya laporan kasus, seri a l kasus)
4 Pendapat a h li, konsensus
Strength of recommendation
A Sedi kitnya 1 meta a n a l isis, telaah sistematik atau studi kontrol
acak l++, d a n a p l i katif untuk popu lasi ta rget atau telaah
sistematik dari stu di kontrol acak atau stud i dengan level of
evidence 1 + yang a pl i katif untuk populasi ta rget dan
menunj u kkan konsistensi hasil
Evidence yang berasal dari telaah N I CE technology
B Stud i dengan level of evidence 2++ yang a pl ikatif u ntuk populasi
ta rget dan menunj u kka n konsistensi hasil ata u
Ekstra polasi evidence dari studi 1 ++ atau 1 +
C Studi dengan level of evidence 2+ yang apli katif u ntuk popu lasi
ta rget dan menunj u kkan konsistensi hasil atau
E kstra polasi evidence dari studi 2++
D Level of evidence 3 atau 4 atau ekstra polasi evidence dari studi 2+
atau konsensus form a l
D ( G P P ) : Good practice point ( G P P ) a d a l a h sebuah rekomendasi didasarkan
pada penga laman ke lompok pembuat guideline
24
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
KUSTA: KAPAN HARUS MERUJUK?
Melani Marissa-Wicaksono
PENDAHULUAN
25
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Melani Marissa-Wicaksono
pend u d u k dan angka pen e m u a n pasien baru sebesar 0,78 per 10.000
pend uduk. 3 Sampai dengan tah 1:1 n 2013, j u mlah tota l kasus kusta
baru di I ndonesia adalah 16.856, yaitu 0,67 per 10.000 penduduk. H a l
tersebut m e n u nj u kka n bahwa wal a u p u n terdapat penurunan j u m lah
kasus baru, tetapi jumlahnya cenderung menetap (statis) sejak
Indonesia di nyatakan sudah mencapai e l i m i nasi pada ta h u n 2000. 3
ETIOLOGI
Penyebab penyakit kusta adalah bakteri M. leprae, merupakan
basil tahan asam ( BTA), bersifat G ra m positif, berukuran 1 sampai 8
m i kron, biasa nya berkelompok atau tersebar satu-satu, menyuka i
lokasi tubuh yang relatif d i ngin, serta tidak dapat dibiakka n dalam
media a rtifisial (buata n ) . 1' 2 Masa belah diri M. leprae sangat lama j i ka
d i bandingka n dengan kuman lain, yaitu 12 sa m pa i 2 1 hari, seh i ngga
masa tunas ku m a n i n i menjadi sa ngat l a ma, yaitu mencapai 2 sa m pai
5 ta h u n . 2
PATOGEN ESIS
26
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Kusta: Kapan Harus Merujuk?
DIAGNOSIS
27
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Melani Marissa-Wicaksono
KLASIFIKASI
Terda pat 2 klasifi kasi yang paling sering d igu n a kan, ya itu :
1 . Klasifikasi WHO ya ng d igunakan untuk kepentingan terapi/tata
laksana sesua i WHO, 2 yaitu: pausibasiler (PB) dan multibasiler (MB).
Da pat dil i hat pada tabel 1 .
2 . Klasifikasi Ridley-Jopling2 ya itu : 2 tuberkuloid (TI), borderline
tuberculoid ( BT), midborder/ine ( BB), borderline lepromatous (BL),
lepromatosa ( LL). Dapat d i l i hat pada tabel 2 .
•
label 1. Klasifi kasi W H O ( 1995) berdasa rkan ga mba ra n kl i n is
Gambaran klinis Pausibasiler Multibasiler
Lesi kulit (makula datar, • 1-5 lesi • 5 lesi
papul yang meninggi, • H i popigmentasi/ • Distribusi lebih
nod us) eritema simetris
• Distri busi tidak simetris • Hila ngnya sensasi
• Hilangnya sensasi yang kurang jelas
jelas
Kerusa kan sa raf Hanya satu ca bang saraf Banyak ca bang saraf
(menyebabkan hilangnya
sensasi/kelemahan otot
yang d ipersarafi oleh
saraf yang terkena)
Ketera ngan : Semua pasien dengan BTA positif, apapun klasifikasi klin isnya, diobati
dengan M DT-M B
* Dikutip dari kepustakaan no. 11
28
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Tabel 2. Klasifikasi Ridley-Jopling {1962) berdasarkan gambaran klinis, bakterioskopis, histopatologis, dan
imunologis·
PEMERIKSAAN PENUNJANG
REAKSI KUSTA
Rea ksi kusta adalah suatu episode i nfla masi akut ata u subakut
yang didasari proses imunologik pada perjalanan penyakit kusta yang
kro n i k. Reaksi kusta d apat menyerang ku lit, saraf, mem bra n m u kosa,
dan organ lain nya. Pena nga nan rea ksi kusta yang tidak tepat dan
tidak adekuat dapat menyebabkan kecacatan, baik deformitas maupun
disabilitas. Terjadinya rea ksi meru pa ka n salah satu kara kteristik
penya kit kusta . Reaksi i n i da pat terjadi pada semua tipe kusta kecua l i
kusta t i p e indeterminate . 14
30
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Kusta: Kapan Harus Merujuk?
Terdapat tiga tipe rea ksi kusta, yaitu reaksi tipe 1 atau rea ksi
reversa l, reaksi tipe 2 atau eritema nodosum leposu m, d a n fenomena
Lucio. 1' 14' 15 Reaksi tipe 1 ditandai dengan episode meningkatnya
aktivitas inflamasi pada kulit dan/atau saraf pada pasien denga n tipe
borderline yang status imunologiknya tidak stabil (tipe BT, BB, BL).
Sedangkan reaksi tipe 2 atau ENL berhubungan dengan imunitas
humoral dengan terbentuknya kom pleks imun tanpa disertai perubahan
spektrum penyakit, biasa terjadi pada kusta tipe LL dan BL. Fenomena
Lucio merupakan suatu bentuk reaksi yang jarang terjadi, yang
ditemu kan pada pasien kusta Lucio. Sebagai tambahan, neuritis a kut
dapat terjadi secara terpisah atau merupakan bagia n dari reaksi kusta. 14
Reaksi kusta merupakan dasar terjadinya neuritis; d a n neuritis
merupakan gejala awal terjadinya deformitas, disabilitas, dan kecacatan
yang mengakibatkan terbentuknya stigma pada pasien kusta.
ldentifikasi dan tatalaksa na reaksi kusta sedini m ungkin merupakan h a l
ya ng sa ngat penting dilakuka n .
CACAT KUSTA
Kusta adalah penya kit yang memberi stigma yang sa ngat besar
pada masyarakat, sehingga pasien kusta menderita tidak hanya karena
penya kitnya saja, j uga d ij a u h i dan d i ku ci l ka n oleh m asya rakat. 1' 16 Hal
tersebut sebena rnya lebih banya k d isebabkan karena cacat tubuh
yang ta mpak menyera m ka n . Cacat tubuh tersebut sebenarnya d apat
dicega h apabila diagnosis dan penanganan penyakit d i l a kukan seca ra
dini. Demikian pula d i perlukan pengeta huan berbagai h a l ya ng dapat
men i m bu l ka n kecacatan d a n pencega han kecacata n, sehingga tidak
menimbu l ka n cacat tubuh ya ng tampak m enyeram ka n d a n dapat
berdampak stigmatisasi di li ngkungan sosia l . 16
Pembagian derajat cacat kusta dibutuhkan untuk menilai kondisi
disabil itas/deformitas pasien, ba i k u ntuk su rvei di lapa nga n m a u p u n
pada setting klinik. W H O pada tahun 1977 mengusulkan suatu pem
bagian derajat cacat kusta, namun pada klasifikasi tersebut derajat
masing-masing kela i n a n tidak tampak dengan jelas. 17 Pada tahun 1988,
WHO merevisi pembagian derajat kecacatan kusta tersebut, namun
fungsinya lebih untuk pencatatan statistik d a n buka n u ntuk mencatat
perbai kan kondisi pasien dari segi rehabi l itasi . 17 Pencatata n
31
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Melani Marissa-Wicaksono
32
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Kusta: Kapan Harus Merujuk?
•
Tabel 4. Multidrug therapy tipe pausibasiler
33
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Melani Marissa-Wicaksono
'
•
label 5. M DT tipe MB
34
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Kusta: Kapan Harus Merujuk?
35
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Melani Marissa-Wicaksono
36
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Kusta: Kapan Harus Merujuk?
37
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Melani Marissa-Wicaksono
U ntuk itu, seora ng dokter umum h a rus mengeta h u i indikasi ruj u kan
pada pasien kusta. Adapun i n d i kasi meruj u k pasien kusta adalah
sebaga i berikut:
• Diagnosis kusta ya ng meragukan (perlu pemeriksaan pen unjang
lanj utan, ya itu pemeriksaan ba kterioskopis, histopatologis, dan
atau serologis)
• Kusta rel a ps
• Kusta dengan masa l a h resistensi obat
• Reaksi alergi atau hipersensitivitas berat terhadap obat kusta
• Reaksi kusta ( reaksi reversa l dan reaksi tipe 2) berat dan berulang
• Cacat kusta yang memerl ukan intervensi komprehensif multidisiplin
DAFTAR PUSTAKA
1. Rea TH, Modlin RL. Leprosy. Da lam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest
BA, Paller AS, Leffell DJ, penyunting. Fitzpatrick's dermatology in general
medicine; edisi ke-7. New York: McGraw- H i l l ; 2008. h . 1786-96.
2. Amirudin M D, Hakim Z, Darwis E. Diagnosis penyakit kusta . Dalam: Dai li ES,
Menaldi SL, lsmiarto SP, N i lasari H, penyunting. Kusta ; edisi ke-2. Jakarta: Balai
Penerbit F K U I ; 2003. h . 12-32.
3. Pengendalian kusta nasional di Indonesia. Dal a m : Syswa nda, Menaldi SL,
penyunting. Pedoman nasional program pengendalian penyakit kusta : edisi ke-
1. Ja karta: Kementerian Kesehatan RI, Direktorat Jenderal Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingku ngan; 2015.h. 13-24.
38
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Kusta: Kapan Harus Merujuk?
39
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
PANDUAN MANAJEMEN PIODERMA
Mirawa�i Setyorini
PENDAHULUAN
Pioderma adalah penya kit kulit ya ng d isebabkan oleh Staphylo
coccus, Streptococcus, atau oleh ked ua-duanya . Sebenarnya i nfeksi
kulit selain d apat d iseba b ka n oleh ku m a n Gra m positif m isal nya pada
pioderma, d apat pula d isebabkan oleh kuman G ra m negatif, misal nya
Pseudomonas aeruginosa, Proteus vulgaris, Proteus mirabilis,
Escherichia coli, dan Klebsiel/a. 1 Bebera pa faktor predisposisi dika itkan
dengan penya kit i n i yaitu : 1-3
1. H igiene yang ku ra ng;
2. M e n u ru n nya daya tahan tubuh, m isalnya kekuranga n gizi, a nem ia,
penya kit kro n i k, neoplasma ganas, diabetes mell itus, dan terapi
glukokortikoid; dan
3 . Telah ada penyakit kulit lain yang menyebabkan kerusakan epidermis/
I u ka akan memudahka n terjadinya i nfeksi .
lmpetigo 1 '2
I m petigo adalah pioderma yang terbatas ha nya pada epidermis.
Bentu k ini terbagi menjadi 2 jenis yaitu :
1 . I m petigo krustosa (nonbulosa ) :
• K u m a n penyebabnya sebagian besa r adalah Streptococcus ft
hemolyticus (S. ft hemolyticus) u ntuk negara sedang berkembang,
n a m u n bisa j uga i nfeksi cam p u ran dengan Staphylococcus
aureus (S. aureus) terutam a d i negara ind ustri . Merupakan
bentuk klinis yang lebih sering terjadi d i bandingkan bentuk
bu losa, dan tanpa gejala u m u m .
• Gejala klinis: Kelainan berupa e ritema dan vesikel yang cepat
peca h menjadi krusta tebal kuni ng. Tem pat predi leksi di
sekitar lubang hid u ng dan m u lut.
40
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Panduan M anajemen Pioderma
2. I m petigo bulosa :
• Kuman penye babnya yaitu 5. aureus.
• Gejala klinis: lebih sering terjadi pada bayi, akan tampak eritema,
bula superfisial, bula h ipopion, dan kolaret eritematosa.
Predileksi tersering di a ksila, dada, dan punggung.
Folikulitis 1' 2
• Meru pa ka n penyakit radang fol i kel ra m but dengan etiologi 5.
aureus.
• Gejala kl inis: tampak papul, pustu l e ritematosa dengan ra m but d i
tenga h nya . Predileksi dapat terjadi d i tu ngka i bawa h, atas bibir,
dagu, ska lp, dan bokong.
Furunkel/Karbunkel 1· 2
• Ked ua penyakit i n i merupakan radang fol i kel ra m but dan
sekita rnya. J i ka j u m l a h lebih dari satu, d isebut furun ku losis.
Karbunkel ialah ku mpulan fu runkel denga n letak lesi lebih d a l a m .
Kuman penyebab penya kit i n i adalah 5. aureus.
• Gejala klinis: nodus e ritematosa dengan bent u k kerucut, d i
tengah nya terda pat pustul, da pat menjadi abses, dan mem ecah
membentuk fistel. Pada karbu n ke l sering d isertai d e m a m, malese
dan lesi ya ng nyeri . P redileksi nya yaitu a rea fri ksi, oklusi, dan
ba nya k berkeringat, m isal nya a ksila, wajah, leher, d a n bokong.
Ektima 1 · 2
• Ektima adalah u l kus su perfisial dengan krusta d i atasnya . Bentuk
ini dapat pula terjadi a kibat i mpetigo yang telah mencapai
dermis. Etiologi penyebabnya adalah 5. ft hemolyticus.
• Gejala klinis: krusta teba l berwa rna kuning ya ng lekat dan bila
dia ngkat a kan tampak u l kus d a ngka l . P red ileksi pada u m u m nya d i
a rea trauma, misal nya tu ngka i bawa h .
Pionikia 1
• Defi nisi pion i kia ya ituradang sekita r kuku ka rena 5. aureus
da n/atau 5. ft hemolyticus.
• Gejala klinis: u m u m nya kel a i n a n i n i didah u l u i tra u m a . Diawa l i
dengan i nfeksi pada l i pat ku ku, ya ng a ka n terl ihat tanda -tanda
41
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
M i rawati Setyorini
Ulkus Piogenik1
Defin isi penya kit i n i adalah i nfeksi yang d isebabkan kuman Gram
positif dengan gambara n kl i n is berupa u l kus dengan pus d i atasnya.
Hidraadenitis 1
• ' Penyakit hidradenitis adalah i nfeksi kelenjar apokrin, yang biasanya
' disebabkan oleh S. aureus. lnfeksi terjadi pada usia sesudah a kil balik
sampai dewasa muda. Hidradenitis sering d idahului oleh mikro
trauma, misalnya : banyak keringat, pemakaian deodorant, atau
pengguntingan/pencukuran rambut a ksila.
• Gejala klinis: terdapat gejala konstitusi, nodus dengan tanda radang
akut yang melunak menjadi abses, dan memecah membentuk fistel.
Penyakit ini memiliki predileksi di a ksila dan perineu m.
Erisipelas
• E risipelas meru pa ka n i nfeksi a kut epidermis dan dermis yang
biasa nya d isebabkan oleh Streptococcus.
• Gejala klinis: e ritem a wa rna mera h cerah dan berbatas tegas,
dengan tepi men inggi. Peradangan a kut yang dapat disertai gejala
konstitusi. Kondisi ini da pat d iserta i gam ba ran edema, vesikel,
d a n bula.
Selulitis
• Definisi penya kit i n i yaitu i nfeksi epidermis sampai subkutan oleh
Streptococcus grup A. Bila telah mengalami supurasi disebut dengan
Flegmon. 1 Kuman methicillin-resistant Staphylococcus aureus
(M RSA) umumnya jarang menyebabkan selulitis biasa, namun dapat
ditemukan bila ada cedera dalam, riwayat penggunaan obat suntik,
i nfeksi M RSA di tempat lain, atau terdapat lesi purulen yang jelas. 3
42
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Panduan Manajemen Pioderma
Kasus im petigo, ekti ma, karbu n kel, dan a bses sebai knya perlu
di lakukan pemeriksaan m i kroskopik dengan pemeri ksaan G ra m d a n
kultur-resistensi kuman dari p u s atau eksudat lesi u ntuk mengeta h u i
kuman penyebab, namun pengobatan empiris secara langsung juga
diperbolehkan pada kasus yang tipikal. Pada pemeriksaan mikroskopik
akan ditemu kan kuman kokus Gra m positif. Pemeriksaan h istopatologi k
u m u m nya tidak perlu dilakukan. 2• 3
Prinsip pengobatan pioderma dapat dilihat pada gambar 1.
Impetigo ringan-sedang dan folikulitis cukup ditangani dengan menjaga
higiene, pembersihan krusta, insisi/aspi rasi bula, dan pemberian
antibiotik topikal pada dasar lesi. 1'2 Obat yang dipakai adalah asam
fusidat, salap mupirosin, atau repamulin 2 kal i sehari selama 5 hari atau
sesuai klinis. Namun pada kasus yang ekstensif diperlukan antibioti k
sistemik. Terapi sistemik juga direkomendasikan pada saat terjadi
wabah sehingga bertujuan memutuskan transmisi i nfeksi segera . 2• 3
43
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
MANAG EM E NT OF
NONPURULENT PURU LENT
SSTls Furuncle I Carbuncle I Abscess
Necrotizing Infection /Cellulitis /Erysipelas
(Necrotizlng Infections)
DEFINED Rx
• Ceftarollne
45
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
M i rawati Setyorini
46
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Panduan Manajemen Pioderma
47
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Tabel 1. Daftar a ntibiotik d a n dosis sistem i k pioderma
+
PENYAKIT JENIS ANTIBIOTIK OOSIS OEWASA DOSIS ANAK
Impetigo Dikloksasi lin 4x250-SOO mg po * *
Sefaleksin 4x250 m g po * * 25-50 mg/kg/hari dibagi 3-4 dosis
Amoksisilin - asam 2x875/125 m g po' atau 4x250-500mg* 25 mg/kg/hari amoksisi lin dibagi
klavulanat 2 dosis
Azitromisin 500mg/hari, dilanjutkan lx250 mg
selama 4 hari
Eritromisin 4x250-500 mg po 40 mg/kg/hari d i bagi 3-4 dosis
Klindamisin 4x3Q0-400 mg po 20 mg/kg/hari dibagi 3 dosis
Methicillin Oksasilin 1-2 g/4 jam IV 100-150 mg/kg/hari dibagi 4 dosis
susceptible s. Sefazolin l g/8jam IV 50 mg/kg/hari d i bagi 3 d osis
aureus-skin and Klindamisin 600 mg/8 jam IV atau 25-40 mg/kg/hari dibagi 3 dosis IV atau 25-
soft tissue 4X3oo-450 mg po 30 mg/kg/hari dibagi 3 dosis po
infections(MSSA Dikloksasilin 4x500 mg po 25-50 mg/kg/hari dibagi 4 dosis
SSTI) Sefaleksin 4x500 mg po 25-50 mg/kg/hari dibagi 4 dosis
Doksisi klin/minosiklin 2x100 mg po Tidak untuk usia <8 tahun
Kotrimoksazol 2x160/800mg po 8-12 mg/kg (berdasarkan trimetoprim)
dibagi 4 dosis IV
Atau 2 dosis po
Methici/lin Vankomisin 30 mg/kg/hari dibagi 2 dosis IV 40 mg/kg/hari dibagi 4 dosis
resistant S. aureus
slcin and soft tissue Linezolid 600 mg/12 jam IV atau 2x600 mg po 10 mg/kg/12 jam IV atau po untuk anak <12
infections MRSA tahun
* Dikutip d a ri lcepustakaan no_ 2 _ * * =terapi lini pertama, IV=intravena, po= per oraL #Dikutip dari kepustakaan no_ 3
hari c::
QJ
'
3QJ
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
M irawati Setyorini
DAFTAR PUSTAKA
1. Djuanda A. Pioderma. Da lam: Menaldi SLSW, Bramono K, lndriatmi W,
penyunting. l l m u penyakit kulit dan· kelamin. Edisi ke-7. Ja karta : Balai Penerbit
FKUI; 2015.h.71-77.
2. Craft N . Su perficial cutaneous i nfections and pyodermas. Dalam: Wolff K,
Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel l DJ, penyunting.
Fitzpatrick's dermatology in general medicine. Edisi ke-8. New York: Mc.Graw
H i l l; 2012: 2128-47.
3 . Stevens DL, Bisno AL, Chambers H F, Dellinger EP, Goldstein EJC, Gorbach SL, dkk.
Practice guidelines for the diagnosis and management of skin and soft issue
infections: 2014 update by the Infectious Disease Society of America. Clin Infect
Dis. 2014;59(2):e10-52.
50
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
TATA LAKSANA DERMATITIS ATOPIK
BERDASARKAN PATOGENESIS
Endi N ovianto
EPIDEMIOLOGI
PATOGENESIS
51
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Endi Novianto
52
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Tata Laksana Dermatitis Atopik Berdasarkan Patogenesis
53
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Endi Novianto
54
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Tata Laksana Dermatitis Atopik Berdasarkan Patogenesis
55
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Endi Novianto
56
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Tata Laksana Dermatitis Atopik Berdasarkan Patogenesis
57
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Endi Novianto
Lima pilar dalam tata laksana dermatitis atopik meliputi: edu kasi
dan pemberdayaan pasien dan orang terdekat; sekolah atau kegiatan
pendidikan untuk e ksim; penghindara n dan modifikasi faktor pencetus
mengembalikan dan merawat sawar kul it yang optimal; mengh ilangkan
lesi ku l it merada ng; serta mengh i l a ngka n siklus gatal ga ruk. 15
Emolien
58
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Tata Laksana Dermatitis Atopik Berdasarkan Patogenesis
Kortikosteroid Topikal
Kompres Basah
59
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Endi Novianto
Antibiotik
Antihistamin H l
Fototerapi
lmunosupresan Sistemik
60
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Tata Laksana Dermatitis Atopik Berdasarkan Patogenesis
61
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Endi Novianto
DAFTAR PUSTAKA
1. Dhar S. Atopic dermatitis. Da lam: Shaik WA, penyunting. Principles and
practice of tropical allergy and asthma. Edisi ke-1. M u mbai: Vikas Medical
Publisher; 2006. h. 479-510.
2. Kay J, Gawkrodger DJ, Mortimer MJ, Ja ron AG. The prevalence of childhood
atopic eczema in a general population. J Am Acad Dermatol . 1994;30(1):35-9.
3. Eichenfield LF, Tom WL, Cha mlin SL, Feld man SR, Han ifin JM, Simpson E L, dkk.
Guidelines of care for the management of atopic dermatitis. J Am Acad
Dermatol . 2014;70(2 ) :338-5 1 .
4. Kabashima K. N e w concept o f t h e pathogenesis o f atopic dermatitis: Interplay
among the barrier, a l lergy, and pruritus as a trin ity. J of Dermatol Sci. 2013
Apr;70( 1):3-11.
5. Leung DYM, Guttan-Yassky E. Dechipering the complexities of atopic
dermatitis: Sh ifting parad igms in treatment approaches. J Allergy Clin
lmmunol. 2014; 134:769-79.
6. Simpson E L, Bieber T, Eckert L, Wu R, Ardeleanu M, Graham N M H , dkk. Patient
burden of moderate to severe atopic dermatitis (AD) : Insights from a phase 2b
clinical trial of d u pi l u mab in adu lts. J Am Acad Dermatol . 2016;74:491-8.
7. Kawakami T, Ando T, Kimura M, Wi lson BS, Kawa kami Y. Mast cells in atopic
dermatitis. Curr Opin lmmunol. 2009;21(6):666-78.
8. Brown M. I L-4 production by T cel ls: You need a l ittle to get a lot. J lmmunol.
2008; 181 :2941-2.
9. Brandt E B, Sivaprasad U. Th2 cytokines and atopic dermatitis. J Clin Cell
lmmunol. 2011;10:1-15.
10. Hanifin JM, Rajka G. Diagnostic features of atopic dermatitis. Acta Dermatovener.
1980;92:44-7.
11. Leung DYM . Atopic dermatitis: New insights and opportunities for therapeutic
intervention . J Allergy Clin l m munol. 2000;105:860-76.
12. Leung, DYM, Bogu niewicz M, Howell M D, Nomura I, Hamid QA. New insights
into atopic dermatitis. J Clin I nvest. 2004; 113 :651-7.
13. Kulthanan K, Boocha ngkool K, Tuchinda P, Chularojanamontri L. Clinical
features of the extrinsic and intrinsic types of adu lt-onset atopic dermatitis.
Asia Pac Allergy. 201 1;1: 80-6.
14. Kunz B, Oranje AP, Lebreze L, Stalder J F, Ring J, Taieb A. Clinical validation and
guidelines for the SCORAD index: Consensus report of The European Task Force On
Atopic Dermatitis. Dermatology. 1997; 195:10-9.
15. Rubel D, Thirumoorthy T, Soe baryo RW, Weng SCK, Ga briel TM, Vil lafuerte LL,
dkk. Consensus guideli nes for the management of atopic dermatitis: An Asia
Pacific perspective. J Dermato l. 2013;40: 160-71.
16. Van Velsen SGA, Haeck I M, Bruijnzeel-Koomen CAFM, De Bru in-Weller MS.
Fi rst experience with eneteric-coated mycophenolate sod ium (Myfortic®) in
severe reca lcitrant adult atopic dermatitis: An open label study. Br J Dermatol.
2009; 160:687-9 1.
62
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Tata Laksana Dermatitis Atopik Berdasarkan Patogenesis
63
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
ERUPSI AKI BAT OBAT: BAGAIMANA MEMBEDAKAN
DENGAN PENYAKIT KULIT LAIN
PENDAHU LUAN
Kemajuan bidang diagnostik, terapi kedokteran, serta polimedikasi
guna memperpanjang masa h i d u p manusia telah memberi dampak
terhad a p peni ngkatan pajanan obat dan prod u k diagnostik sehingga
rea ksi simpang obat (RSO) menjad i lebih besar. RSO seringka l i
melibatka n kulit m u l a i dari ta mpilan klinis yang ringan h ingga berat,
b a h ka n menga ncam j iwa . 1 Kondisi tersebut tak j a rang mengecoh
para kl i n isi ya ng berujung pada diagnosis dan tata laksana yang tidak
tepat serta men i ngkatka n risiko mortalitas.
Sebaga i p ra ktisi kesehatan, membedakan ti pe RSO yang terjadi
sa ngat penting dalam tata laksana pasien. Berdasa rka n definisi World
Health Organization (WHO), RSO adalah rea ksi yang tidak diharapkan
pada pem beri a n obat dosis normal ya ng digunaka n oleh pasien.
Terdapat dua jenis RSO, yaitu reaksi tipe A, yang dapat diprediksi karena
sifat farmako logik obatnya, dan reaksi tipe B, yaitu reaksi yang tidak
dapat diprediksi (20-25%) sifat farma kologik obatnya. Reaksi tipe B
da pat terjadi pada populasi tertentu dalam bentuk id iosin krasi dan
reaksi h ipersensitivitas. RSO disebut sebaga i erupsi obat alergik (EOA),
apabila diperantarai oleh reaksi imunologis atau hipersensitivitas
dengan m a n ifestasi klinis ya ng sangat bervariasi. 2-4 Sem ua ti pe hi per
sensitivitas berdasarkan kriteria Coom bs dan Gel da pat diinduksi oleh
o bat, n a m u n ti pe 1 dan 4 meru pa ka n tipe h ipersensitivitas paling
sering dij u m pa i . 4
EOA dapat bersifat ringan maupun berat, meski patomekanisme
belum sepenuhnya dipahami. Perkem bangan ilmu pengetahuan
beberapa ta h u n tera kh i r telah m e n u njukan ba hwa rea ksi obat da pat
d i bedakan berdasarkan ta m p i lan klinis dan pera n su bseptibilitas
genetik pada beberapa jenis obat. 5 Walaupun manifestasi EOA seringkali
ringan dan tidak mengancam nyawa, identifi kasi kondisi pasien dan
64
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Erupsi Akibat Obat: Baga i mana Membedakan dengan Penyakit Kulit Lain
obat penyebab tetap harus dilaku kan. Eliminasi obat meru pakan kunci
utama tata laksana dan pencegahan EOA yang berat. 6 Berdasarkan hal
tersebut dihara pka n sem u a p ra ktisi medis h a rus m a m p u mengena l i
tanda dan gejala reaksi simpang obat sehingga da pat memberikan
tata laksana dini secara adekuat.
PENDEKATAN DIAGNOSIS
65
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Wiindy Keumala Budianti
66
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Erupsi Akibat Obat: Baga imana Membedakan dengan Penyakit Kulit Lain
67
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Wiindy Keumala Budianti
68
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Erupsi Akibat Obat: Bagaimana Membedakan dengan Penyakit Kulit Lain
69
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Wiindy Keumala Budianti
70
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Erupsi Akibat Obat: Bagaimana Membedakan dengan Penyakit Kulit Lain
71
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Wiindy Keumala Budianti
72
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Tabel 1. Berbagai erupsi obat yang menyerupai dermatosis lai n *
Presentasi klinis Pola dan distribusi lesi kulit Keterlibatan Obat penyebab
m u kosa
Psoriasiformis Plak eritematosa disertai skua ma kering, lebar Tidak ada I FN-a, anti-TNF-a, efalizumab, litium, fl-blocker, antikonvulsan,
berwarna keperakan, pustular hingga eritroderma, metfo rmin, terbinafin, kaptopril, digoksin
m
pada batang tubuh d an ekstremitas kuinidin, emas, anti-TN Fa, imatinib
.....
c
-0
Vaskulitis Papul purpurik, urtikaria, bula hemoragik, ulkus, Tidak ada Semua kelas farmakologik.
nodus, sindrom Raynaud, nekrosis pada jari. • ANCA positif: propiltiourasil, hidralazin, allopurinol, minosiklin, \!?.
penisilinamin, fenitoin. )>
�
ANCA negatif: rGM-CSF, isotretinoln, metotreksat, anti-TNF-a
0-
"'
Lupus-like eruption Gejala menyerupai SLE, vaskulitis, purpura, SCLE, CCLE. Ada SLE: hidralazin, prokainamin, I N H, metildopa, klorpromazin, .....
kunidin, minosiklin
• SCLE: penghambat kalsium, ACE -inhibitor, tiazid, terbinafin,
lansoprazol, pantoprazol, anti-TNFa
CCLE: fluorourasil, anti-TNFa
Kelainan bulosa Bula kendur pada dada Ada/Tidak Obat golongan tiol: penisilinamin, kaptopril, enalapril
pemfigus Obat non-tiol: piroksikam, penisilin, rifampisin, propranolol,
imiquimod.
Pemfigoid bulosa Bula tegang, diseminata Ada/Tidak Furosemid, amoksisilin, ampisilin, penisilinamin, sefaleksin, fenacetin,
fl-blocker, kaptopril
Pseudoporfiria Kulit menjadi lebih rentan dan mudah terbentuk bula Tidak ada OAINS, misalnya naproksen, ketoprofen, asam mefenamat. Antibiotik:
pada area pajanan UV tetrasiklin, ampisilin, sulbaktam, sefepim, vorikonazol, furosem id, H CT,
amiodaron, 5-fluorourasil, siklosporin, levonorgestrel, derivat vitamin
A, etinil-estradiol
Erupsi akneiformis Erupsi folikular monomorfik pada wajah dan batang Tidak a da Kortikosteroid, androgen, litium, haloperidol, isoniazid, fenitoin,
tubuh tetrasiklin, vitamin Bl , 66, 612, azatioprin, siklosporin, sirolimus, iodida
bromida, EGFR i nh ibitors
Dermatitis Papul/plak, lesi an u lar eritematosa-violaseus Tidak ada Penghambat kalsium, ACE -inhibitor, penurun lipid, fl-blocker,
granulomatosa antihistamin, antikonvulsan, antidepresan, metotreksat, anti-TNFa.
interstisial
Pseudolimfoma Papul atau nodus eritematosa-violaseus, mycosis Tidak ada Antikonvulsan, antipsikotik, ACE-inhibitor, penghambat kalsium,
fungoides like eruption antihistamin, antidepresan
Keterangan: ANCA= anti-neutrophif cytoplasmic antibody; CCLE= chronic cutaneous lupus erythematosus; EGFR= epidermaf growth factor receptor; HCT= hydrochforthiaz;de; IFN= interferon; I N H =
lsoniazld: OAINS= obat antl-lnflamasl nonsteroid; rGM-CSF= recombinant granulocyte-macrophoge colony-stimulating foctar; SLE= systemic lupus erythematasus; SCLE= subocute cutaneous lupus
erythematosus; TNF= tumor necrosis /actor ACE=angiotensin converting enzyme *Dikutip dari kepustakaan no. 22
74
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Erupsi Akibat Obat: Baga imana Membedakan dengan Penyakit Kulit Lain
75
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Wiindy Keumala Budia nti
PENUTU P
DAFTAR PUSTAKA
1. Shear N H, Knowles SR. Cutaneous d rug reactions to d rugs. Dalam: Golds mith
LA, Katz SI, Gilchrest BA, Pa ller AS, Leffel ! DJ, Wolff K, penyunting. Fitzpatrick's
dermatology in general medicine. New York: McGraw-Hill; 2012. h. 449-57.
2. Warrington R, Silviu-Dan. Drug a l lergy. Allergy, asth ma, & clin ical immunology
2011 Vol 7 {Su ppl l}:SlO: h . 1-8.
3. Mockenhaupt M . Epidemiology of cutaneous adverse d rug reactions. Dalam:
French LE, penyunting. Adverse cuta neous d rug eruptions. Zurich-Switzerland:
Karger; 2012. h . 1-17.
4. Hausmann 0, Schnyder B, Pichler WJ. Etiology and pathogenesis of adverse
d rug reactions. Dalam: French LE, penyunting. Adverse cutaneous d rug
eruptions. Zu rich-Switzerl a n d : Karger; 2012. h.32-46.
5 . Pirmohamed M . Genetics a n d t h e potential for pred ictive tests in adverse drug
reactions. Dal a m : French LE, penyunti ng. Adverse cuta neous d rug eruptions.
Zurich-Switzerlan d : Karger; 2012. h. 18-3 1 .
6. Harr T, French LE. Stevens-Joh nson synd rome and toxic epidermal necrolysys.
Dalam: F rench LE, penyunting. Adverse cuta neous d rug eruptions. Zurich
Switzerla n d : Karger; 2012. h. 149-66.
7 . Harr T . Diagnostic a pproach t o d rug a l lergy. Dalam: French LE, penyunting.
Adverse cutaneous d rug eruptions. Zu rich-Switzerland: Ka rger; 2012. h.47-57.
8. Budianti, WK. Erupsi obat alergik. Dal a m : Menaldi SL, Bramono K, lndriatmi W,
penyunting. llmu penyakit ku lit dan kelamin, edisi ke-7. Jakarta : Balai Penerbit
F K U I ; 2015. h. 190-5.
9. Shiohara T, Kano Y, Takahashi R, Ishida T, Mizukawa Y. Drug-induced
hypersensitivity synd rome: Recent adva nces in the diagnosis, pathogenesis
and management. Da lam: French LE. Adverse cutaneous d rug eruptions.
Zurich-Switzerl a n d : Karger; 2012. h . 122-36.
10. Lerch M. Drug-induced angioedema. Dalam: French LE, penyunting. Adverse
cutaneous drug eruptions. Zurich-Switzerland: Karger; 2012. h.98-105.
76
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Erupsi Akibat Obat: Bagaimana Membedakan dengan Penyakit Kulit Lain
77
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
PSORIASIS PADA ANAK
PENDAHULUAN
EPIDEMIOLOGI
Prevalensi psoriasis di dunia diperkirakan sebesar 4% dengan kisaran
0-8,5% bergantung pada populasi ya ng diteliti . Pada anak diperkirakan
preva lensinya sebesar 0, 71% ya ng terus meningkat hi ngga 1,2% pada
usia 18 tahun. l nsidensnya secara tetap meni ngkat sebanya k 2 kal i lipat
sejak tahun 1970. Sebanyak 1/3 pasien menderita psoriasis sejak masa
anak-a nak dengan median usia 10,6 tahun pada saat didiagnosis. Tidak
ada perbedaan antara laki-laki dan perem puan. 1 - 3 Namun bebera pa
penelitian mela porka n psoriasis sedikit lebih seri ng ditem ukan pada
perem puan denga n rerata usia awita n 8-11 ta hun. 2
Terdapat 2 tipe psoriasis berdasarkan awitannya, yaitu tipe I (awitan
usia 15-40 tahun) yang ditemukan pada lebih dari 75% kasus, biasanya
berhubungan dengan riwayat psoriasis pada keluarga dan berkaitan
denga n H LA Cw6; dan tipe I I yang timbul setelah usia 40 ta hun. 4
Di Departemen l l mu Kesehata n Kulit dan Kelamin Rumah Sakit dr.
Cipto Mangunkusumo pada ta hun 2015 didapatka n 89 kasus baru
psoriasis denga n 16% di a ntara nya adalah anak-anak. 5 Silverberg dkk.
melaporka n dari 181 pasien psoriasis ya ng berusia 5-17 tahun, seba nyak
56,9% menderita psoriasis berat dan riwayat keluarga dida patkan pada
51,4% pasien. 6 Di Australia seba nya k 71% dan di Amerika sebanyak
5 1,4% anak dengan psoriasis memil iki riwayat psoriasis pada first degree
family. 2
78
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Psoriasis pada Anak
ETIOPATOGENESIS
79
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Githa Rahmayunita
80
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Psoriasis pada Anak
Daerah lipatan yang dapat terkena misalnya aksila, inguinal, perineum, dan
umbilikus. 7 Morfologi lesi di daerah fleksural agak berbeda dengan psoriasis
plak karena dapat ditemukan maserasi dan sedikit skuama karena
kelembapa n. 1•2
Psoriasis pada daerah popok yang hanya terjadi pada bayi. Gambaran
klinis berupa plak eritematosa merah cerah sirkumskrip yang dapat
mengalami maserasi . Daerah inguinal biasanya terkena. Hal ini yang
membedakannya dengan dermatitis popok. Psoriasis di daerah popok
sering kali sulit diobati dan mengalami resolusi saat masa toilet training. 1'2
Dilaporkan sebanyak 26% pasien memiliki riwayat psoriasis di daerah
popok. 2
Psoriasis pustulosa ditemukan pada 1,0-5,4% anak dengan psoriasis. 2
Manifestasi klinis berupa pustul steril superfisial dengan dasar eritematosa,
baik lokal (akrodermatitis kontinua Hallopeau) maupun generalisata (tipe
von Zumbusch) . Pada psoriasis pustulosa generalisata biasanya terda pat
keluhan nyeri dengan demam dan malaise. 1•2 Dalam beberapa hari, pustul
akan mengalami resolusi dan meninggalkan skuama kuning kecoklatan
yang selanjutnya mengalami deskuamasi dalam 1-2 minggu. Fase mereda
dan kemudian kemba li mengalami eksaserbasi merupakan karakteristik
psoriasis pustu losa dan lesi krusta ya ng mengalami eksfol iasi dapat
bersamaan dengan timbulnya pustul baru. 7 Walaupun psoriasis pustulosa
lebih sering pada dewasa, konfigu rasi pustul anular lebih sering dilihat
pada anak dibanding dewasa. 1' 2 Berbeda denga n dewasa, psoriasis
pustulosa sering merupakan manifestasi pertama pada bayi dan anak. 7
Eritroderma psoriatika merupakan varian yang jarang ditemukan
pada anak. Kelainan ini ditandai dengan eritema pada lebih dari 90%
luas perm ukaan tubuh. Skuama dapat hanya minimal. Pasien biasa nya
mengeluhkan menggigi l dan demam. 1' 2 Kondisi ini dapat menga ncam
jiwa karena hipotermia, hipoalbu minemia, dan gagal jantung. 2
Psoriasis kuku lebih jarang ditemukan pada anak, namun dapat
ditemukan pada sekitar 40% pasien anak dengan psoriasis. Kelainan kuku
yang dapat dilihat antara lain pitting, kuku menjadi kasar (trachyonichia),
onikolisis, oil spots, dan hiperkeratosis subu ngua l . Kelai nan ini dapat
mendahul ui, berbarengan, atau setelah awitan lesi kulit psoriasis. 1' 2
Psoriasis tidak jarang da pat pula mengenai mem bran mukosa mulut dan
lidah berupa geographic tongue. 7
81
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Githa Rahmayunita
82
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Psoriasis pada Anak
KOMORBIDITAS
83
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Githa Rahmayunita
84
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Psoriasis pada Anak
DIAGNOSIS
85
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Githa Rahmayunita
TATA LAKSANA
86
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Psoriasis pada Anak
87
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Githa Rahmayunita
Fototerapi
Fototera pi dilaporkan efektif untuk psoriasis yang luas, psoriasis tipe
plak, gutata, atau psoriasis pustulosa yang refrakter, atau pasien yang
tidak dapat mendapatkan terapi sistemik untuk psoriasis derajat sedang
hi ngga berat. Beberapa jenis fototera pi adalah broad band (BB) UVB
(280-320 nm), N B UVB (311-313 nm), dan UVA (320-400 nm). Fototerapi
menghambat sintesis DNA, proliferasi keratinosit, serta menginduksi
apoptosis limfosit T dan produksi mediator anti inflamasi. NB UVB kurang
eritemogenik dibanding BB UVB dan saat ini NB UVB dianggap sebagai
fototerapi lini perta ma untuk anak ka rena efektif dan memiliki efek
samping yang lebih ringan. Efek samping ja ngka pendek yang da pat
88
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Psoriasis pada Anak
timbul antara lain kulit keri ng, gatal, eritema, lepuh, dan aktivasi vi rus
herpes. Contoh efek samping ja ngka panjang adalah penuaan kulit
prematur dan ka rsinogenesis yang belum pernah d ilaporkan pada anak.
Efek kumulatif fototerapi UVB dan paparan kronik sinar matahari
dikaitka n dengan ka nker kulit. Sehingga tindak lanjut jangka panjang
untuk psoriasis pada anak yang diberikan fototerapi perlu dilakukan
untuk mengetahui kea manan fototerapi. 2 Berada dalam chamber UV
kurang sesuai untuk anak keci l atau bayi ka rena dapat menimbul kan
kegelisahan. 2' 3 Selain itu frekuensi fototerapi terkadang menjadi
masa lah untuk orang tua. Kombinasi psora len dengan UVA (PUVA)
merupakan kontraindikasi untuk anak kurang dari 12 ta hun karena efek
sampingnya yang berupa mual, muntah, sakit kepala, toksisitas okular
dan hepar, fotosensitivitas yang membutuhkan fotoproteksi selama 24
jam, serta risiko terbakar dan ka nker kulit dalam jangka panjang. Namun
PUVA topikal masih dapat diberikan pada anak. 3
Terapi Sistemik
Tidak adanya tera pi yang disetujui secara resmi, sangat terbatasnya data
berbasis bukti penelitian randomized controlled trial (RCT), dan tidak
adanya pedoman yang menjadi standar, menyebabkan tata laksana
psoriasis pada anak hi ngga saat ini masih berdasarkan laporan kasus,
pedoman untuk dewasa, penda pat para ahli, dan pengalaman peng
gunaan obat pada anak untuk penyakit lain dari bidang ilmu reumatologi,
gastroenterologi, dan onkologi. Sebagian besar obat masih diberikan
secara off label. Berdasarkan hal tersebut pemberiannya dibatasi pada
psoriasis yang rekalsitran, derajat sedang sampai berat, dan adanya
artritis psoriatika. 2'3 Asitretin, metotreksat, dan siklosporin dianggap
sebagai terapi lini pertama untuk psoriasis pada anak dengan efikasi yang
baik dan tidak ba nyak menimbulkan efek sampi ng. 3
a. Metotreksat
Metotreksat (Mn<) adalah antimetabolit yang memiliki efek antimitotik,
antikemotaktik, dan antiinflamasi. 3'7 Mn< telah disetujui diberikan untuk
psoriasis derajat berat pada dewasa. Sedangkan pada anak, MTX
disetujui untuk pengobatan juv�nile idiopathic arthritis (JIA),
inflammatory bowel disease (IBD), dan beberapa keganasan. Berbasis
bukti yang ada, MTX dia nggap sebagai terapi sistemik pilihan untuk anak
89
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Githa Rahmayunita
90
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Psoriasis pada Anak
tekanan ".darah dan fungsi .:ginjal. Risiko jangka panjang keganasan kulit
non melanoma juga telah dilaporkan. 2 ·
c. Retinoid ;, f
aktivitas imunomodulator dan 'anti inflamasi. 2'3'9 Obat ini dapat diberikan
terutama untuk psoriasis pustulosa, eritroderma, dan psoriasis tipe plak
yang berat pada anak. Saat ini ya ng lebih banyak digunakan adalah
asitretin yaitu metabolit etretinat. Dosis yang dapat diberikan adalah
0,5-1 mg/kgBB/hari. Efek samping golongan retinoid berupa keilitis,
xerosis, epistaksis, kerapuhan kulit, kerontokan rambut, dan toksisitas
okular. Pemantauan laboratorium diperlukan untuk mengeta hui
peningkatan fungsi hepar dan trigliserida. Penggunaan retinoid
jangka panjang dapat menyebabkan hiperostosis skeleta l, penutupan
epifisis secara prematur, dan penurunan kepadatan tulang. Karena
efek teratogenik, obat ini harus hati-hati bila diberikan kepada
remaja putri . Keha milan harus ditunda sampai 3 tahun setelah obat
dihenti kan. 2' 3'9 Secara umum asitretin da pat ditoleransi dengan baik
dengan efek samping minimal. Golongan retinoid tidak mem iliki efek
imunosupresif, sehingga menjadi pi lihan utama pada anak. 3' 10
d. Ester asam fumarat
Obat ini memiliki efek im unomodulator dan digunakan untuk psoriasis
tipe plak derajat sedang sampai berat pada pasien dewasa. Namun
obat ini tidak tersedia di Indonesia. Data penggunaan obat ini pada anak
masih terbatas. Efek samping yang dilaporkan adalah flushing, keluhan
gastrointestinal, eosinofilia, dan peningkatan enzim transaminase serta
kreatinin. Obat ini dapat dipertimbangkan diberikan pada anak jika MTX
tidak efektif atau terdapat kontraindikasi pemberian MTX. 2
e. Agen biologik
Target kerja agen biologik adalah mediator spesifik kaskade inflamasi
dalam psoriasis, 3 termasuk TN F-a dan I L-12/23. Hingga saat ini pedoman
internasional pemakaian agen biologik pada anak belum ada. Selain itu
agen biologik juga belum disetujui un.tuk terapi psoriasis pada anak. Efek
samping yang dapat terjadi adalah infeksi oportunistik, reaktivasi
tuberkulosis, dan keganasan. 2 Terdapat 3 macam inhibitor TN F-a yang
91
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Githa Rahmayunita
telah disetujui untuk diberikan pada anak, yaitu etanercept untuk anak
berusia 2 tahun atau lebih dengan J IA, infliximab untuk anak berusia
lebi h dari 6 tahun dengan penyakit Crohn, dan adalimumab untuk anak
berusia lebih dari 4 tahun dengan J IA. Karena efektivitas dan profil
keamanannya, etanercept dapat dipertimbangkan sebagai terapi lini
pertama untuk psoriasis tipe plak sedang hingga berat atau psoriasis
yang refrakter pada anak.9 Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk
mengetahui efikasi dan keamanan obat-obat ini pada psoriasis pada
anak. 2
Level of evidence terapi psoriasis pada anak dapat dilihat pada
tabel 3.
92
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Psoriasis pada Anak
PROGNOSIS
PEN UTUP
DAFTAR PUSTAKA
1. Tol lefson M M . Diagnosis and management of psoriasis in childre n . Pediatr Clin
N Am. 2014;61:261-77.
2. Bronkers I M GJ, Paller AS, van Geel MJ, van de Kerkhof PCM, Seyger M M B.
Psoriasis in children and adolescents: Diagnosis, management a n d
comorbidities. Pediatr Drugs. 2015; 17:373-84.
3. Napolitano M, Megna M, Ba lato A, Ayala F, Lembo S, Villan A, d kk. Systemic
treatment of pediatric psoriasis: A- review. Dermatol Ther ( H eidelb).
2016;6: 125-42.
93
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Githa Rahmayunita
94
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
DERMATITIS SEBOROIK:
MANIFESTASI KUNIS INFANTIL VS DEWASA
Triana Agustin
EPIDEMIOLOG I
95
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Triana Agustin
ETIOPATOG ENESIS
96
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Dermatitis Seboroik: Manifestasi Klinis l nfantil vs Dewasa
97
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Triana Agustin
98
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Dermatitis Seboroik: Manifestasi Klinis l nfantil vs Dewasa
99
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Triana Agustin
100
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Dermatitis Seboroik: Manifestasi Klinis l nfantil vs Dewasa
ketom be hanya mengena i kulit kepala berupa skuama d ise rtai rasa
gata l, sedangkan pada OS sel a i n ska l p lesi j uga dapat terda pat pada
a rea seboroik lainnya m isal nya wajah, retroaurikular, dan dada atas
dengan man ifestasi skuama, pru ritus, dan eritematosa . Skuama pada
DS dan ketombe berwa rna putih-ke k u n i ngan, dapat bermi nya k, atau
kering. 8 Lesi DS pada ska l p da pat meluas ke dahi membentu k batas
eritematosa dengan skuama ya ng disebut corona seborrheica. 2
Lesi DS pada area badan terdapat dua bentuk yaitu bentu k
petaloid dan pytiriasiform. 6' 12 Bentuk petaloid, merupakan bentuk
tersering, dimulai dari papul folikular dan perifol ikular berwarna merah
coklat dengan skuama bermi nya k di atasnya, berkonfluensi menjadi
plak menyerupai bentu k flower petals atau meda li. P redileksi pada
dada anterior dan interskapula. Bentuk pityriasiform berupa lesi
makula dan plak tipis generalisata mengikuti garis ku l it menyerupai
piti riasis rosea, ta n pa herald patch. 2' 12 Gamba ra n klinis lain ya ng sering
timbul yaitu blefaritis, berupa krusta kun ing madu sepanjang tepi
kelopa k mata . DS dapat menyebabkan e ritroderma. 2'6' 12 Komplikasi DS
lai nnya ya ng cukup seri ng adalah i nfeksi sekunder bakteri m a u p u n
j a m u r . Pada keadaan tersebut biasa nya l e s i l e b i h eritematosa d a n
eksudatif. 8
OS merupa kan salah manifestasi kul it yang timbul paling dini pada
pasien HIV-AI DS. 6 DS pada pasien H IV-AIDS mempu nya i m a nifestasi
kli n is yang lebih luas dan berat serta refra kte r terhadap pengobatan
sta ndar. 5' 6'8' 9' 12 Eru psi inisial berupa butterfly rash menyerupai lesi
SLE. Lesi DS biasa nya t i m b u l pada kadar C D4 a ntara 200-500 sel/m m 3
dan ha nya sedi kit kasus DS pada H I V dengan C D4+ �500/m m 3 .
Penurunan kadar CD 4+ seringka l i berh u b u ngan dengan perburukan
lesi DS. 6 Gambaran h istopatologi OS pada pasien H IV-A I DS j uga
berbeda, ya kni gambaran pa ra ke ratosis, nekrosis, l i mfosit, dan
leu kositosis fokal lebih banyak dibandingkan dengan OS pada pasien
ya ng seronegatif H IV. 6'9
101
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Triana Agustin
102
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Dermatitis Seboroik: Manifestasi Klinis l nfantil vs Dewasa
103
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Triana Agustin
104
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Dermatitis Seboroik: Manifestasi Klinis l nfantil vs Dewasa
bawah lebih sesuai untuk DA. 6' 8' 10' 11 Lesi pada kulit kepala pada DA
berupa skuama kering. 6' 10 Pemeri ksaan lgE total dan lgE RAST terhadap
putih telur, susu, atau kedelai dapat membantu membedakan OS dan
DA. Beberapa penulis menyata kan bahwa OS infa ntil meru pakan varian
DA, sedangkan beberapa lainnya mengatakan entitas yang berbeda. 6
H istiositosis sel La ngerha ns m enyeru pai OS ka rena d istribusi
ya ng sama yaitu pada ku l it kepala, retroaurikular, dan a rea popok.
Lesi penya kit ini kadang menyerupai OS berupa lesi lesi eritematosa
dengan skuama dan krusta, n a m u n terdapatnya lesi purpura dan
ptekiae merupakan tanda khas u ntuk histiositosis sel Langerhans. 3'6' 10' 11
Sela i n itu lesi h istiositosis sel La ngerhans dapat mengenai a rea tubuh
lain dengan morfologi yang lebih bervariasi berupa papul eritematosa,
vesikel, dan nodus. 10 Biopsi kulit dianj u rkan a pabila terdapat diagnosis
banding h istiositosis sel La ngerha ns sehingga tata l a ksana menjadi
tepat. 3' 6' 10 Ti nea ka pitis pad a neonatus da pat menyerupai cradle-cap,
namun ti nea kapitis pada usia tersebut sa ngat ja ra ng, dapat
di bedakan dengan pemeriksan KOH . 3 Lesi OS ya ng luas dengan lesi
pada telapak tangan dan kaki dise rta i pruritus yang berat menyerupai
ska bies. 6
TATA LAKSANA
105
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Triana Agustin
PROG NOSIS
106
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Dermatitis Seboroik: Manifestasi Klinis l nfantil vs Dewasa
P rognosis baik pada OS infa ntil karena swasi rna dalam 10-14
hari, jarang terjadi rekure nsi d i bandingkan dengan OS pada pasien
dewasa ya ng bersifat kron is-residif. Pasien dengan OS i nfa ntil tidak
terbu kti a ka n lebih sering menga l a m i OS saat remaja dan dewasa,
sehi ngga tidak menjadi fa ktor pred isposisi . 3 ' 6' 10' 11
PENUTU P
DAFTAR PUSTAKA
1. Dessinioti C, Katsam bas A. Seborrheic dermatitis: Etiology, risk factors, and
treatments: Facts and controversies. J Clin Dermatol. 2013;31:343-5 1.
2. Makos ZB, Kralj M, Basta-J uz basic A, J u kic I L. Seborrheic dermatitis: An
update. Acta Dermatove nereol Croat. 2012;20(2) :98-104.
3. Gelmetti CM, Grimalt R. I nfa nti l e seborrhoeic dermatitis. Dalam: I rvine
AD, Hoeger PH, Ya n AC, penyu nting. Ha rper's textbook of ped iatric
dermatology. Edisi ke-3. Oxford : Blackwe l l ; 20 1 1 . h . 3 5 . 1-8.
4. Cheong WK, Yeung CK, Torseka r RG, Suh DH, U ngpakorn R, Widaty S,
dkk. Treatment of seborrhoeic dermatitis i n Asia: A consensus guide.
Skin Appendage Disord. 2015; 1 : 187-96.
5 . Vera ldi S , Raia D D, Barba rfeschi M . Etiopathogenesis. Da l a m : M icali G,
Vera ldi S, Cheong WK, Suh DH, penyunting. Seborrheic de rmatitis. Edisi
ke- 1. I n d i a : Macmillan; 2015. h . 15-7.
6. Collins CD, H ivnor C. Seborrheic d ermatitis. Da l a m : Goldsmith LA, Katz
SI, Gilch rest BA, Pal ler AS, Leffe l DJ, Wolff K, penyunti ng. Fitzpatrick's
dermatology i n general medicine. Ed isi ke-8. Palatino: McG raw-Hill;
2012. h. 259-66.
7 . Clark GW, Pope SM, J a boori KA. Diagnosis a n d treatment o f seborrheic
dermatitis. Am Fam Physicia n . 2015;91(3): 185-90.
107
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Triana Agustin
108
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
PENGGUNAAN ASAM TRANEKSAMAT
DALAM TATA LAKSANA MELASMA
R. Amanda Su mantri
PENDAHULUAN
109
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
R. Amanda Sumantri
DEFIN ISI
EPIDEMIOLOGI
1 10
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Penggunaan Asam Traneksamat dalam Tata Laksana Melasma
ETIOPATOGE N ESIS
111
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
R. Amanda Sumantri
menu run regulasinya pada lesi melasma . Hal ini mencetuskan stimulasi
mela nogenesis dan meningkatnya transfer melanin dari mela nosit ke
keratinosit. 16
Proses biologis yang paling terpengaruh dengan adanya melasma
adalah metabolisme lipid. 15 Gen metabolisme lipid, misalnya peroxisome
proliferator-activated receptor alpha (PPAR), arachidonate 15-
lipoxygenase, P PAR gamm a coactivator 1 alpha, type B (ALXO 15 B),
diacylglycerol o-acyltransferase 2-like 3 ditemukan menurun regulasinya.
Hal i n i disebabka n oleh paja nan kro n i k sinar UV. Perubahan lain ya ng
ta mpak pada ku lit melasma adalah penipisan epidermis. Penipisan
epidermis dita mbah dengan gangguan si ntesis lipid menyebabkan
gangguan i ntegritas stratu m korneu m dan pem u l i han sawar ku l it
yang l a m bat pada kulit dengan melasma. 17
Hubu ngan langsung anta ra melasma dan faktor hormonal belum
diketahui secara pasti. Horman yang banya k dihubungkan dengan
kejadian melasma adalah estrogen dan progesteron. Kehamilan,
kontrasepsi hormonal, dan terapi sulih hormon adalah faktor pemicu
tersering.8'9 Horman estrogen bekerja pada reseptor di inti sel melanosit,
sehingga meningkatkan ekspresi reseptor melanokortin tipe 1 dan gen
PDZKl yang menyebabka n peningkatan transkripsi tirosinase. 9 Ortonne
dkk. 18 pada ta h u n 2009 menemuka n 81 dari 324 wa n ita (25%)
melasma mela porkan periode wa ktu m u nculnya melasma sesuai
dengan penggu naan kontrasepsi hormonal.
Faktor risiko l a i n melasma adalah ganggua n t i roid, obat-obata n
fototoksik, dan kosmetik. 8 H iperpigmentasi menyerupai melasma terjadi
pada 10% pasien yang mendapatkan fenitoin . O bat ini memiliki efek
langsung pada melanosit dan menyebabkan penyebaran granul melanin
serta mem icu pigmentasi pada la pisan basal epidermis. Pigmentasi
a ka n menghilang d a l a m beberapa bulan setelah obat dihentikan. 12
Beberapa bahan kimia misalnya a rsen, zat besi, tembaga, bismut, perak,
serta obat-obatan antimalaria, tetrasiklin, sulfonilurea, dan a m iodaron
j uga da pat meni ngkatka n h i perpigmentasi pada kulit melalui deposit
pada lapisa n permukaan serta stimulasi melanogenesis. 9
Selain patogenesis di atas, terdapat teori baru yang meng
h u b u ngkan a ntara pajanan sinar UV dengan meni ngkatnya si ntesis
a ktivator plasmi nogen sehi ngga meni ngkatka n aktivitas plasmin pada
1 12
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Penggunaan Asam Traneksamat dalam Tata Laksana Melasma
GAMBARAN KUNIS
1 13
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
R. Amanda Sumantri
1 14
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Penggunaan Asam Traneksamat dalam Tata Laksana Melasma
TATA LAKSANA
Tersedia beberapa metode tata laksana melasma, n a m u n
penyakit ini bersifat kro n i k residif. T i p e ku l it gela p (tipe kulit
Fitzpatrick IV-VI ) termasuk ya ng sangat sulit u ntuk d itera pi mengingat
bersa rnya risiko kejadian h iperpigmentasi pasca infla masi ( H P I ) .
H i ngga saat i n i bel u m ditemukan terapi tu nggal ya ng efektif untuk
segala jenis kasus melasma, sehi ngga d i pe rl u ka n tera pi kombinasi
terutama u ntuk kasus sulit. Tata l a ksana melasma terd i ri atas peng
h i ndaran fa ktor pencetus, perl i n d u ngan terhadap sinar matahari,
bahan pemutih kulit, peeling ki miawi, laser, serta tera p i o ra l . Faktor
pencetus yang perlu d i h i ndari berupa penggunaan kontrasepsi
hormonal dan pajanan sinar UV, hal i n i penting untuk menghindari
eksaserbasi melasma . 10
Fotoproteksi
115
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
R. Amanda Sumantri
Terapi Topikal
116
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Penggunaan Asam Traneksamat dalam Tata Laksana Melasma
lntervensi
Terapi Sistemik
Asam traneksamat
AT ata u asam trans-4-a m i nometilsi kloheksana ka rboksilat
meru pakan i n h i bitor plasmin ya ng da pat m encega h pigmentasi ya ng
disebabkan oleh pajanan sinar UV. AT mencega h pengi katan
plasminogen pada kerati nosit, ya ng kem udian a kan men u ru n ka n
117
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
R. Amanda Sumantri
1 18
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Penggunaan Asam Traneksamat dalam Tata Laksana Melasma
PENUTU P
Tata laksana melasma telah lama menjadi tantangan, ba ik bagi
pasien maupun dokter ya ng menanga n i . Sehingga sela l u d i butu h ka n
penemuan baru d a l a m hal terapi tersebut. Menghi ndari paparan
sinar mata hari dan pencetus lain merupaka n hal terpenting dalam
pencegahan. H i ngga saat i n i, penggunaan tera pi topikal kom binasi
masih merupa kan pilihan utama, salah satu nya penggunaan
hidrokuinon yang masih superior, khususnya u ntuk melasma superfisial.
Sejumlah penelitian telah dilaporkan keberhasilan penggunaan laser QS
1 19
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
R. Amanda Sumantri
DAFTAR PUSTAKA
1. Grimes PE. Melasma. Etiologic and thera peutic considerations. Arch
Dermatol. 1995 ; 1 3 1 : 1453-7.
2. G rimes PE. Management of hyperpigmentation in darker racial ethnic groups.
Semi n Cutan Med Surg. 2009; 28:77-85.
3. Gupta AK, Gover M D, Nouri K, Taylor S. Treatment of melasma: A review of
clin ical tria ls. J Am Acad Dermato l . 2006;55: 1048-65.
4. Sanchez N P, Pathak MA, Sato S, Fitzpatrick TB, Sanchez J L, Mihm MC Jr.
Melasma: A clinical, light microscopic, u ltrastructural, and
immunofluorescence study. J Am Acad Dermatol. 1981;4:698-710.
5. Aamir S, N aseem R. Oral tra nexamic acid i n treatment of melasma in Pakistani
population: A pilot study. J Pak Assoc Derma. 2014;24(3):198-203.
6. Maeda K, Tomitab Y. M echanism of the inhi bitory effect of tranexamic acid on
melanogenesis in cultured h u man melanocytes in the presence of
keratinocyteconditioned med i u m . J Health Sci. 2007;53:389-96.
7. Maeda K, Naga numa M. To pical trans-4-a minomethylcyclohexanecarboxylic
acid prevents ultraviolet radiation-ind uced pigmentation. J Photochem
Photobiol. 1998;47: 136-41.
8. Sheth VM, Pandya AG. Melasma : A com prehensive update Pa rt I . J Am Acad
Dermatol. 2011;65 :689-97.
9. Handel AC, M iot LDB, Miot HIA. Melasma: A clinical a nd epidemiological
review. An Bras Dermatol. 2013;89(5):77 1-82.
10. Rodrigues M, Pandya AG. Melasma: Clinical d iagnosis and management
options. Austra las J Dermatol . 2015;56(3 ) : 15 1-63.
11. Goldstein BG, Goldstein AO, Callender VD. Melasma : UpToDate; 2015 [updated
Jan 23, 2014; cited Dec 2 1, 2016) .
12. Sarkar R, Arora P, Garg VK, Sontha l ia S, Gokhale N. Melasma u pdate. Indian
Dermatol Online J . 2014;5 (4):426-35.
13. Departemen llmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Faku ltas Kedokteran
Un iversitas indonesia-Rumah Sakit Umum Pusat Nasional d r. Cipto
Mangunkusumo Jakarta. 2014. La poran kunjungan pasien Poliklinik Kulit dan
Kela min Divisi Dermatologi Kosmeti k. [unpublished materials]
120
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Penggunaan Asam Traneksamat dalam Tata Laksana Melasma
14. Mahmoud BH, Ruvolo E, Hexsel CL, Liu Y, Owen M R, Kollias N, d kk. I mpact of
long-wavelength UVA and visible light on melanocompetent skin. J Invest
Dermatol . 2010; 130:2092-7.
15. Kang HY, Suzuki I, Lee DJ, Ha J, Reiniche P, Aubert J, dkk. Transcriptional
profi ling shows altered expression of wnt pathway-a nd lipid meta bolism
related genes as well as melanogenesis-related genes in melasma. J Invest
Dermatol . 2011; 131: 1692-700.
16. Kim N H, Lee CH, Lee AV. H 19 RNA down regu lation stimu lated mela nogenesis in
melasma. Pigment Cell Melanoma Res. 2010;23:84-92.
17. Lee DJ, Lee J, Ha J, Park KC, O rton ne J P, Kang HY. Defective barrier function in
melasma skin. J Eur Acad Dermatol Venereo l . 2012;26: 1533-7.
18. Ortonne P, Arellano I, Berneburg M, Cestari T, Chan H, G rimes P. A global
su rvey of the role of ultraviolet radiation and hormonal influences in the
development of melasma. J Eur Acad Dermatol Venereol. 2009;2 3 : 1254-62.
19. Tse T, Hui E. Tranexa mic acid : An important adjuvant in the treatment of
melasma. J Cosmet Dermatol . 2014; 12(1):57-66.
20. Karn D, KC S, Amatya A, Razou ria E, Timalsina M. Oral tranexa mic acid for the
treatment of melasma. Kath mandu Univ Med J ( K U M J ) . 2012; 10(40):40-3.
21. Grimes PE, Yamada N, Bhawan J. Light microscopic, immunohistochemical, and
ultrastructural alterations in patients with melasma. Am J Dermatopathol.
2005;27(2) :96-101.
22. Pandya AG, Berneburg M, Ortonne J -P, Picardo M. Guidelines for clinical trials
in melasma. Br J Dermatol . 2007; 156(Su ppl. 1):2 1-8.
23. Pandya AG, Hynan LS, Shore R, Ri ley FC, Guevara I L, Grimes P. Reliability
assessment and validation of the M elasma Area and Severity Index ( MASI) and
a new modified MASI scoring method. J Am Acad Dermatol. 201 1;64:78--83.
24. Information and operating instructions for the multi probe adapter M PA and its
probes. Da lam: G M B H CE, penyunting. M PA General English; 2007.
25. Baquie M, Kasraee M. Discri mi nation between cutaneous pigmentation and
erythema : Compa rison of the skin colorimeters Dermacatch and Mexa rheter.
Skin Res Technol. 2014;20(2);218-27.
26. Kang HY, Bahadoran P, Suzuki I, Zugaj D, Khemis A, Passeron T. In vivo
reflectance confocal microscopy detects pigmentary changes in melasma at a
cel lular level reso lution. Exp Dermatol. 2010; 19:228-33.
27. Na JI, Choi SY, Yang SH, Choi H R, Kang HY, Park K-C. Effect of tranexa mic acid
on melasma: A clin ical trial with histologica l evaluation. J Eur Acad Dermatol
Venereol. 2013;27:1035-9.
28. Balkrishnan R, McMichael AJ, Camacho FT, Saltzberg F, Housman TS, G rummer
S, d kk. Development and validation of a health-related quality of life
instrument for women with melasma. Br J Dermatol. 2003; 149:572-7.
29. Sehgal VN, Verma P, Srivastava G, Ashok K A, Verma S. Melasma: Treatment
strategy. J Cosmet Laser Ther. 2011;13 : 265-79.
121
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
R. Amanda Sumantri
122
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
TATA LAKSANA AKNE VULGARIS
Lili Legiawati
PENDAH ULUAN
ETIOPATOGENESIS
123
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Lili Legiawati
I Androgens
��Se yte��_,
oc� 1 �1 ��K_e_ra_t_ln_o_c�
l l
'-- _
_ b� yte�---'
l
Colonization with
Inflammation
124
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Tata Laksana Akne Vulgaris
4. Proses i nflamasi
Pasien seringka l i berobat untuk AV bila l esi inflamasi m u ncu l . Lesi
i n i dapat berupa papul, pustu l, atau nodus. Pada lesi inflamasi yang
125
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Lili Legiawati
-'-
Sebaceous cells
1=1 1 . Sebum
'
2. Fatty acids
t
P acnes
' I
I 1"':1':!ory
• Sebum accumulates
• Follicle enlarges
I Mlcrocomedo] ••• •
..�
1 mm une
/
• Keratinous material
Reactions
builds up
l c:o l -
• Hyperproliferation
• Keratohyaline granules 1'
•
• Disturbed desquamation
Follicular keratinocyte
Gambar 2. P rogresivitas lesi pada acne vulga ris*
* Dikutip sesuai asli nya d a ri kepustakaan no.3
DIAGNOSIS
Diagnosis AV dapat d itega kka n secara klin is, ya kni berupa lesi
eru psi kronis polimorfi k berbentu k komedo yang selanj utnya menjadi
pa p u l, pustul, nodus, ata u kista d i tempat p red ileksi. Bila sudah
membaik, sisa lesi da pat beru pa hi perpigmentasi dan parut pasca
akne. 2 Pada anamnesis u m u m nya lesi tidak gatal atau sed ikit gata l .
U ntuk menunjang diagnosis tersebut dapat dilaku kan ekstra ksi sebum
dari komedo ata u papul u ntuk membuktikan adanya seb u m . 2
Pemeriksaan laboratoris bukan merupakan standar pada pe
negakan diagnosis, namun diperlukan pada penelitian etiopatogenesis
AV. Pemeriksaan h istopatologis d iperl u kan untuk kasus dengan
ga mbara n k l i n is tidak khas. 2
G RADASI
126
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Tata Laksana Akne Vulgaris
127
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Lili Legiawati
a. Perawata n ku lit
Pasien AV cenderung membersihkan wajah secara berlebihan untuk
mengura ngi sebu m, tetapi hal tersebut tidak terbu kti ma nfaatnya .
M e m bersi h ka n wajah seca ra kasar dan scrubbing da pat memicu
i nflamasi, AV serta m enyeba bkan kerusakan fisik fol i kel ra mbut. 2
Agen pelembab da pat bermanfaat pada pasien dengan kulit kering
atau iritasi a kibat terapi topikal. Sebai knya dipilih produ k perawatan
wajah d a n kosmetik nonko medogenik. 2
b. Diet
Hubungan antara diet dan AV masih menjadi kontroversi. Studi
berbasis populasi terbaru menyimpulkan bahwa : (1) terdapat hubungan
antara asupan susu sapi dan produ knya dengan prevalensi dan tingkat
keparahan AV; (2) terdapat hubungan antara diet indeks glikemik tinggi
dengan durasi AV yang memanjang, diet indeks glikemik rendah dapat
memperbaiki AV karena dipikirkan berpengaruh pada perubahan
komposisi trigliserida pada asam lemak di perm u kaan kulit; (3) tidak ada
korelasi antara asupan garam dan yodium dengan AV; dan (4) peran
omega-3, asam lemak, a ntioksidan, zink, vitam i n A, dan serat pada AV
masih i n konkl usif.4 Algoritme terapi a kne menurut Global Alliance dapat
dilihat pada gambar 3 .
Global A l l i a nce Acne Treatment Algorithm
··- ·····
••• •
Alternativeslor
femalesll.41
128
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Tata Laksana Akne Vulgaris
Terapi Topikal
1. Reti noid
Penggunaan retinoid, baik topikal maupun oral, pada AV menunjuk
kan hasil yang baik. Penggunaan retinoid topikal, baik secara tunggal
maupun dalam kombinasi dengan obat lain, menjadi terapi l i n i pertama
u ntuk AV derajat ringan-sedang. 2
Mekanisme kerja retinoid topikal a d a l a h melalui pengikatan dan
a ktivasi reseptor asam reti noat ( RAR), kemudian menga ktivasi
transkripsi gen spesifik, menyebabkan respons biologis. 1 Efek yang
diti mbu l kan, antara lain menorma l ka n deskuamasi dengan mem
pengaruh i turnover folikular epitelial dan maturasi keratinosit.
Bebera pa retinoid topikal, m isal nya adapalene, j uga m e m i l i ki efek
anti-inflamasi melalui modulasi respons i m un, mediator i nflamasi,
dan migrasi sel-sel i nflamatorik. Oleh karena reti noid mengha m bat
pembentukan m ikrokom edo, pembentukan lesi non-inflamasi, dan lesi
inflamasi. Retinoid j uga da pat meni ngkatka n penetrasi bahan-bahan
lain, termasuk bahan-ba h a n a ntibakteri m isal nya benzoil peroksida
dan anti bioti k topi ka l . 1 Efek s i m pang ya ng da pat terjadi a ntara lain,
eksaserbasi pada awal terapi, dermatitis konta k i ritan, serta
eksaserbasi pasca-retinoid. 6
2 . Asam salisi lat
Asam salisilat telah digu nakan sebagai tera pi AV sejak lama
meskipun penelitian mengena i efektivitas dan kea manan nya tidak
banyak. 7 Asa m salisi lat merupaka n asam �-hidroksi ya ng bersifat
komedolitik dan da pat memperba i ki deskuamasi fol i ke l . 1 Efek
komedolitik asam salisi lat tidak sebaik retinoid topikal dan biasa
digu nakan pada pasien yang tidak dapat mentoleransi retinoid
topika l . 7 Efek samping yang m u ngki n terjadi adalah i ritasi ringan. 1
3 . Anti mi kroba
Pemilihan antimikroba topikal atau sistemik dilakukan berdasarkan
adanya serta keparahan lesi i nflamasi.
a. Anti biotik topikal
l ndikasi uta ma a nti biotik siste m i k adalah AV i nflamasi seda ng
berat. Antibiotik topikal dan benzoil peroksida diind ikasikan
untuk AV inflamasi ringan-sedang. 2 Antibiotik topikal mengu rangi
129
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Lili Legiawati
130
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Tata Laksana Akne Vulgaris
Terapi Sistemik
a . Antibiotik sistem i k
Anti biotik sistem i k merupaka n p i l i h a n uta m a AV derajat sedang
sampai berat dan kasus yang tidak responsif terhadap terapi topikal. 7
Mekanisme kerja antibiotik oral adalah dengan mengurangi ju mlah P.
acnes dan Staphylococcus epidermidis. Selain mengu ra ngi j u mlah
ba kteri, antibiot i k j uga m e m i l i ki sifat anti-i nfla masi, yaitu meng
hambat kemotaktik neutrofil, produ ksi sitokin, dan kerja makrofag. 3
Eritromisin dan tetrasiklin oral sudah terbukti efektivitas dan
kea manannya, teta p i penggunaan eritro m isin di batasi u ntuk pasien
yang tidak da pat menggu n a ka n tetrasi klin, yaitu wa n ita h a m i l dan
anak berusia kurang dari 8 ta h u n, karena risiko terjad i nya resistensi
cukup besar. 3 . 7
Trimetoprim/sulfametoksazol d a pat dipikirkan sebagai l i n i ketiga,
tetapi penggu naannya terbatas untuk akne resisten tetrasiklin dan
eritromisi n . Tetrasikl in gene rasi ked ua, misalnya m i n osiklin, doksisiklin,
131
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Lili Legiawati
132
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Tata Laksana Akne Vulgaris
Terapi Adjuvan
a . Ekstraksi komedo
Tindakan ini penting dalam tata laksana akne komedonal. Anestesi
topikal dapat digunakan sebelum ekstraksi komedo tertutup. Hasil
tindakan ini ditingkatkan dengan penggunaan retinoid topikal u nt u k
mencegah terbentu knya lesi baru dan mempermudah kelua rnya
komedo. Keterampilan dalam melaku kan ekstraksi komedo diperlukan.
Komedo terbuka da pat d i ke l ua rka n dengan mudah, yaitu mela l u i
peneka nan d i sekita r cel a h folikular. Komedo tertutup m u ngki n
mem butuhkan i nsisi dengan jarum ata u ska l pel kecil . Keterbatasa n
tindakan ini adalah ekstraksi tida k kompl it, refilling, dan risi ko
kerusakan jaringa n . 3
b. Bedah kimia
Bedah kimia su perfisial digunakan sebagai terapi adjuvan AV. Bedah
kimia berguna untuk memperbaiki permu kaan kulit yang mengalami
jaringan ikat dan h iperpigmentasi pasca-akne. Tindakan ini bertujuan
untuk menghilangkan stratum korneum dan meningkatkan turnover
fisiologis sel. 10 Zat-zat yang dapat digunakan untuk bedah kimia a ntara
lain adalah asam a-hydroxy (asa m gli kolat), asam salisilat, dan asam
trikloroasetat. 3
Pada suatu studi yang dilakukan di Jepang terhadap 26 pasien
dengan AV derajat sedang, bedah kimia dengan asam glikolat 40%
selama 5 ka li dengan interval 2 minggu menunju kkan penurunan j u m l a h
lesi AV yang bermakna, baik untuk lesi i nfla masi m a u p u n n o n
inflamasi . Asa m glikolat j uga d itoleransi baik d a n dia nggap a m a n
untuk pasien Asia. 10 Penelitian B u rns d kk. 11 terhadap 1 9 pasien
dengan tipe ku l it Fitzpatrick IV, V, dan VI ya ng d i l a kukan bedah kimia
dengan asam glikolat memperbaiki h i perpigmentasi pasca-inflamasi,
133
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Lili Legiawati
134
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Tata Laksana Akne Vulgaris
PENUTU P
AV merupakan masalah kesehatan yang kerap d ij u mpai pada
pra ktik sehari-hari dan da pat sering m enyebabkan penurunan kualitas
hidup pasien. Patogenesis AV melibatkan interaksi dari 4 faktor, yaitu
peningkata n produ ksi sebum, h i perkornifikasi d u ktus pilosebasea,
kolonisasi dan a ktivitas P. acnes, serta p roses i nfla masi. Pemahaman
yang baik mengenai patogenesis AV diperlukan dalam tata laksana AV.
Saat ini, berbagai modalitas terapi telah dikemba ngkan u nt u k tata
laksana AV dan pem ilihannya harus berhati-hati serta berbasis b u kti
untuk mencapai hasil yang opti m a l .
DAFTAR PUSTAKA
1. Zaenglein AL, Graber EM, Thiboutot O M . Acne vulgaris and acneiformis
eruptions. Dal a m : Goldsmith LA, Katz SI, Gilch rest BA, Paller AS, Leffel l DJ,
Wolff K, penyunting. Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine. Edisi ke-8.
New York: McGraw-H ill; 2012: h. 897-917.
2. Wasitaatmadja SM, Arimuko A, Norawati L, Bernadette I, Legiawati L (Eds).
Pedoman tata laksana akne di Indonesia. Edisi 2. Jakarta: Centra Communications;
2016.
3. Gollnick H, Cunliffe W. Management of acne: A report from a Global Alliance to
improve outcomes in acne. J Am Acad Dermatol. 2003;49: 1-38.
4. Bowe Wp, Joshi SS, Shalita AR. Diet and acne. J Am Acad Dermato l .
2010;63 ( 1 ) : 124-4 1.
5. Ingram J R, Grind lay DJ, Williams HC. Management of acne vulga ris: An
evidence-based update. Clin Exp Dermato l . 2010;35(4):351-4.
135
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Lili Legiawati
6. Layton AM. A review on the treatment of acne vulga ris. J Clin Pract.
2006;60:64-72.
7. Strauss JS, Krowchuk DP, Leyden JJ, Lucky AW, Shalita AR, Siegfried EC, d kk.
Guidelines of care for acne vulgaris ma nagement. J Am Acad Dermatol.
2007;56(4):65 1-63.
8. Guay DR. Topical clindamycin in the management of acne vu lgaris. Expert Opin
Pharmacother. 2007;8(15):2625-64.
9. Kircik LH . Efficacy and safety of azelaic acid (AzA) gel 15% in the treatment of
post-inflammatory hyperpigmentation and acne: A 16-weeks, baseline
controlled study. J Drugs Dermatol. 2011;10(6):586-90.
10. Kaminaka C, Uede M, Matsu naka H, Furukawa F, Yama moto Y. Clin ical
evaluation of glycolic acid chemical peeling in patients with acne vulgaris: A
ra ndomized, double-blind, placebo-controlled, split-face comparative study.
•
Dermatol Surg. 2014;40:314-22.
11. Burns RL, Prevost-Blank PL, Lawry MA, Lawry TB, Faria DT, Fivenson DP.
Glycolic acid peels for postinflammatory hyperpigmentation in black patients a
compa rative study. Dermatol Surg. 1997;23:171-4.
12. Pierard-Frachi mont C, Paq uet P, Pierard GE. New a pproaches in l ight/laser
therapies and photodynamic treatment of acne. Expert Opin Pharmacother.
201 1;12:493-501.
13. Ham ilton FL, Car J, Lyons C, Car M, Layton A, Majeed A. Laser and other light
therapies for the treatment of acne vu lgaris: Systematic review. Br J Dermatol.
2009; 160: 1273-85.
14. Wang XL, Wang HW, Zhang LL, Guo MX, H uang Z. Topical ALA PDT for the
treatment of severe acne vu lgaris. Photodiagnosis Photodyn Ther. 2010;7:33-8.
15. Hcedersdal M, Togsverd-Bo K, Wulf HC. Evidence-based review of lasers, light
sources and photodyna mic therapy in the treatment of acne vulgaris. J Eur
Acad Dermatol Venereol. 2008;22: 267-78.
136
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
HEMANGIOMA INFANTIL: TATA LAKSANA TERKINI
Nanny Shoraya
PENDAH ULUAN
137
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Nanny Shoraya
EPIDEMIOLOG I
H I d itemukan sekitar 2%-12% pada masa i nfantil. 4 Meskipun data
insidens yang sesungguhnya pada bayi baru lahir masih belum jelas
dika renakan lesi HI bel u m m u ncu l saat bayi d i p u l a ngkan d a ri Rumah
Sakit ( RS) serta ada nya i n konsistensi nomen klatur sebe l u m adanya
klasifikasi ISSVA ya ng telah d iteri m a luas. 3' 11 Penelitian yang
mengi kutsertakan 600 wa n ita h a m i l ya ng d i i kuti h i ngga mel a h i rkan
mela porkan i nsidens HI secara keseluruhan sebesa r 4,5% dan h ingga
9,8% pada bayi prematur. 12 Pada penelitian lain d itemukan insidens
HI a kan men ingkat seiring men u ru n nya usia keh a m i l a n dan berat
l a h i r. Stu d i tersebut menemuka n i nsidens sebesa r 23% pada bayi
d engan berat lahir <1000 gr, d a n 1-4% pada bayi cukup b u l a n . 11
ETIOPATOGEN ESIS
138
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Hemangioma l nfantil: Tata Laksana Terkini
DIAGNOSIS
A. Manifestasi klinis
Lesi preku rsor HI dapat mulai tampak pada 50% bayi baru
lahir, berupa a rea telangiektasia, pucat, ekimosis dan bahkan
u lserasi . 3 Morfologi lesi H I da pat dijelaskan mela l u i 2 konsep, yaitu :
1 . Kedalaman, keterlibatan pada dermis, jaringan lemak, dan
jaringan lunak. Hal ini da pat membantu menegakkan diagnosis
dan prediksi timbu lnya deform itas ata u lesi residu.
2 . Distribusi lesi HI pada permukaan tubuh terhadap lokasi anatomi
di bawa hnya mem berikan i nformasi p rognosis mengenai
kemungkinan kebutuhan untuk mendapat terapi dan komplikasi
yang da pat timbu l . 4
139
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Nanny Shoraya
B. Pemeriksaa n penunjang
Pada sebagian besa r kasus H I, penegakkan diagnosis da pat
d i l a kukan mela l u i a n a m n esis d a n pemeriksaan fisik yang baik.
Pemeriksaan pen u nja ng, m isal nya pemeri ksaan radiologi, seca ra
u m u m tida k rutin dilaku kan, namun pemeriksaan radiologi misalnya
ultrasonography (USG) Doppler, computer tomography (CT) scan,
140
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Hemangioma l nfantil: Tata Laksana Terkini
KOMPLIKASI
141
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Nanny Shoraya
142
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Hemangioma lnfantil: Tata Laksana Terkini
TATA LAKSANA
Perkembangan pengetahuan mengenai HI telah banya k meng
alami kemaj uan, sa lah satu diantaranya mengenai pilihan tata laksana.
Sejak hasil laporan penggunaan propranolol sebagai terapi dalam HI
pada bayi diterbitkan di dalam j u rnal New England Journal of Medicine
tahun 2008, terdapat pergeseran pengobatan menggunakan beta
bloker sebagai terapi standar pada H I . Pasien HI saat ini lebih ba nya k
memiliki pilihan pengobata n dibandingka n satu dekade sebe l u m nya .
Beri kut adalah pilihan pengobatan pada H I :
l . Active non-intervention
Merupakan "terapi" yang tepat pada sebagian besar kasus H I,
mengingat siklus perkembangannya yang akan mengalami involusi
spontan dan bertahap seiring waktu. lstilah active non-intervention
memiliki implikasi bahwa dokter yang menangani kasus ini sebaiknya
memberikan edukasi mengenai perjalanan penyakit, pilihan terapi dan
indikasinya, memberikan duku ngan emosional, serta langkah-langkah
antisipasi bila terdapat keluhan lesi H I . Dokumentasi serial cukup penting
dilaku kan untuk memperlihatkan p roses i nvolusi spontan lesi H I kepada
orangtua pasien. Selain itu terdapat sumber informasi lebih lanj ut
mengenai H I yang dapat d i a kses mela l u i : Hemangioma Investigator
Group (www.hemangiomaeducation.org), Vascular Birthmark Foundation
(www.birthmark.org), atau National Organization of Vascular Anomalies
4
(www.novanews.org) .
143
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Nanny Shoraya
2. Kortikosteroid oral
Sebelum adanya laporan penggunaan beta bloker pada pasien HI,
kortikosteroid oral meru pa kan pilihan utama pengobatan H I yang
mengalami komplikasi atau berpotensi menimbulkan disfigurement
sejak tah u n 1960-a n . 4' 6'8 Mekan isme kerja belum d i keta h u i pasti,
diduga kortikosteroid memiliki efek biologik pada lesi H I yaitu berupa
up-regulation mitokondria sitokrom b, clusterin/ApoJ (petanda
apoptosis) dan/atau i nterleukin 6. 14 Kortikosteroid oral efektif saat fase
proliferatif dengan dosis prednison atau prednisolon yang diberikan
adalah 2-4 mg/kgBB/hari.4 Pasien yang diberikan dosis predn isolon 3
mg/kgBB/ha ri ditem u kan lebih efektif daripada dosis 2 mg/kgBB/hari. 15
Durasi pemberian kortikosteroid dapat beberapa bulan kemudian di
turu n kan bertahap untuk menghindari efek rebound. Bila dituru n ka n
terlalu . cepat pada fase prol iferatif m a ka dapat t i m b u l rebound
growth d a n supresi adrenal. 4' 8
Efek samping yang ditimbulkan pada penggunaan kortikosteroid oral
pada bayi dengan H I dapat berupa insomnia, irritability, fussiness,
h ipertensi, kadar kortisol pagi yang abnormal, cushingoid facies, iritasi
lambung, infeksi kandida pada area popok, dan gangguan
pertumbuhan. 4' 16' 17 Terda pat laporan kasus i nfeksi Pneumocystis carinii
pneumonia (PCP) pada pasien H I yang mendapat terapi kortikosteroid
untuk H I saluran nafas. 18 Beberapa ahli merekomendasikan
penggu naan p rofi l a ksis ora l tri metoprim/ su lfa metoksazol selama
pem berian tera pi kort i kosteroid untuk pencega han PCP. 4' 18
Pada penelitian N ieuwe n h u i s d kk. 19 ditem u ka n bahwa korti ko
steroid oral efektif d a n a m a n pada pemberian jangka pendek untuk
HI sebagai a lternatif bila p ropranolol tidak d a pat diberikan atau tidak
berespons baik. Pada pemberian korti kosteroid oral ja ngka panjang
i nterm itten d a n dosis tinggi (3 mg/kgBB/hari) dengan dosis kumu latif
yang rendah, d i l a porkan efektif dan tidak dite m u ka n efek samping
ya ng berat.
3. Kortikosteroid intralesional dan topikal
Kortikosteroid i ntra lesion a l da pat d igunaka n u ntuk lesi HI
superfisial, ukuran kecil, dan lokalisata . Triamsi nolon asetonid 10
mg/m l d a pat d igunaka n dengan 3-6 i njeksi yang d i u lang dalam 2-4
144
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Hemangioma l nfantil: Tata Laksana Terkini
mi nggu dan dosis tidak melebihi 3-5 mg/kgBB/tera pi. Sebanya k 85%
lesi HI menga l a m i red u ksi vol u m e sebesar 50%. Penggunaan
korti kosteroid i ntralesional pada a rea okular sebai knya sa ngat hati
hati karena efek samping yang dapat timbul berupa oklusi a rteri retina,
nekrosis kelopak mata, atrofi kul it, dan supresi adrenal. 8•20
Korti kosteroid topikal superpoten da pat d iberikan pada lesi H I
su perfisial berupa makula, plak tipis, lesi berisiko u lserasi, d a n lesi
perioku lar berukuran kecil. 4' 8' 21' 22 G a rzon d kk. 22 mela porkan
penggunaan kortikosteroid topikal pada lesi HI su perfisial, dalam, dan
campuran dengan hasil sebanya k 74% pasien H I memberikan respons
baik, yang didefinisikan sebagai penurunan pertum buhan, lesi mengecil,
mendatar, dan warna semakin memudar.
145
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Nanny Shoraya
bradikardia, kondisi blok jantung lebih besar d ari ti ngkat pertama, gagal
jantung, asma b ro n ki a l, d a n hipersensitif terhadap propra nolol
h i d roklorid a . Sehi ngga sebel u m pemberian propra nolol dianj urkan
u ntuk melakuka n a n a m nesis dan pemeri ksaan j antu ng dan paru. 23
Konsensus grup merekomedasikan pemberian propranolol
dengan dosis 1-3 mg/kgBB/hari dan sebagian besar menyara n kan
pemberian 2 mg/kgBB/hari d i bagi dalam 3 dosis dengan jara k minimal
pem berian obat 6 ja m . Pemberian dengan dosis rendah dahulu
kem u d i a n d i n a i kkan secara bertah a p d i rekomendasikan mengingat
peningkatan dosis bertahap diperlukan dalam pemberian propranolol
dan seri ngkali HI memberika n respons yang cukup cepat pada dosis
yang rendah. 23 Propranolol tersedia dalam bentuk propranolol
hidro klorida oral solusio (20 mg/5 ml d a n 40 mg/5 m l ) dan bentuk
tablet 10 mg. 23 Efek samping yang paling sering timbul antara lain
adalah h ipotensi asim ptomatik, gangguan paru (bronkokonstriksi,
bronkiolitis, wheezing, pulmonary obstruction, episode apneu),
hipoglikemia, bradikardia asimptomatik, perubahan pola tidur
(gangguan tidur, insomnia, mimpi buruk, lelah), somnolen, diare,
refl u ks gastroi ntestinal, d a n e kstrem itas dingin. 23• 25• 26
146
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Hemangioma l nfantil : Tata Laksana Terkini
6. Vincristine
Vincristine adalah i n h ibitor m itosis sel d a n pembentukan
mikrotubular, memiliki efek anti-angiogenesis, dan induksi a poptosis
tumor dan sel endotel seh i ngga diduga m e m i l i ki peranan dalam
tera pi HI. Sebel u mnya obat i n i d igunaka n pada kasus H I yang resisten
atau dengan kontrai n d i kasi pem berian korti kosteroid. Setelah
propra nolol ba nyak d igu n a ka n sebaga i tera p i sta ndar, penggunaan
vincristine m u la i menuru n . Vincristine d iberika n secara i ntravena
(central venous line) denga n dosis 0,005-1,5 mg/m 2, 1 kal i sem inggu
dengan total pemberian 3-4 kali dan i nterval 1-3 m i nggu . Efek samping
yang dapat timbul neu rotoksisitas, leukopenia, dan a ne m i a . a
7. Interferon-a
I nterferon-a pada bebera pa laporan kasus d item u ka n efektif
u ntuk lesi HI yang menga nca m j iwa . Efek sa m p i ng ya ng d a pat timbul
adalah neurotoksisitas i revers i bel, demam, mala ise, neutropen ia, dan
ga ngguan enzim hat i . Obat i n i tidak d irekomendasikan u ntuk
d i berikan pada bayi berusia ku rang 1 tahun, namun d a pat d i berikan
pada bayi berusia lebih d a ri 1 tahun dengan lesi HI menga nca m j iwa
dan tidak berespons dengan pilihan tera p i lain. M ekanisme kerja
diduga melal u i efek a nti-angiogenesis d a n i n h i bisi basic fibroblast
growth factor. a
Penggunaan pulse dye laser ( POL) pada lesi H I fase pro l iferasi
masih kontrove rsia l . Mod a l itas i n i d apat d igunaka n pada lesi H I
residual, teruta ma telangiektasia d a n e ritem a pasca-involusi. POL
efektif d igunaka n pada lesi u l serasi, terutama m e n u ru nkan nyeri, dan
memperpendek waktu reepitelisasi. Efek sam ping POL termasuk, skar,
atrofi kulit, h ipopigmentasi, d a n u lserasi. a
9. lmiquimod
Terdapat studi kasus tentang penggu naan krim i m i q ui mod 5%
u ntuk lesi HI dengan hasil efektif u ntuk lesi HI su perfisial tan pa
147
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Nanny Shoraya
PENUTU P
DAFTAR PUSTAKA
1. Haggstrom AN, Frieden IJ . Hemangioma : Past, present, and future. J Am Acad
Dermatol. 2004; 5 1(Suppl 1) :550-52.
2. Brukcner AL, Frieden IJ. I nfa ntile hemangioma J Am Acad Dermatol. 2006;
55 :671-82.
3. Puttgen KB. Diagnosis and management of infantile hemangiomas. Pediatr
Clin N Am. 2014; 61 :383-402 .
4. Paller AS, Mancini AJ . Vascular disorders of infancy and child hood. Dalam:
H u rwitz clinical pediatric dermatology. A textbook of skin disorders of
child hood and adolescence. Edisi ke 5. Edinburg: Elsevier; 2016. h. 279-91.
148
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Hemangioma lnfantil: Tata Laksana Terkini
5. Mathes E F, Frieden IJ . Vascular tu mors. Dala m : Goldsm ith LA, Katz SI,
Gi lch rest, Paller AS, Leffel l DJ, Wolff K. Fitzpatrick's d ermatology in general
medicine. Ed isi ke 8. N ew York: McGrawHill; 2012. h . 2361-74.
6. Bruckner AL, Frieden IJ. Infantile haema ngiomas and other vascu lar tu 1X1ours.
Dalam: l rvie A, Hoeger P, Ya n A. Harper's textbook of pediatric dermatology.
Ed isi ke 3. West Sussex:Willey-Blackwell; 2011. h. 1 1 3 . 1- 1 13 . 19.
7. Diana IA. Anoma l i vasku lar dan tumor vaskular. Dalam: Boediardja SA, Diana
IA, Danarti R, Sugito TL, Agustin T, Rah mayunita G . Aplikasi praktis: Diagnosis
dan tata la ksana dermatologi anak. Edisi Ke-1. Ja karta : KSDAI; 2016. h. 275-86.
8. Kwon EKM, Seefeldt M, Drolet BA. I nfa ntile h ema ngioma : An update. Am J
Clin Dermatol. 2013; 4 : 1 1 1-23.
9. Leaute-Labreze C , Du mas d e la Roque E , H u biche T, Bora levi F , Tha mbo J B,
Taieb A. Propranolol for severe hemangioma of infancy. N Engl J Med .
2008; 358(24): 2649-5 1.
10. Chakkittakandinyil A, Philips R, Frieden IJ, Siegfried E, Corrales I L, Lam J, dkk.
Timolol Maleate 0,5% or 0,1% Gel Forming Solution for Infantile Hemangiomas: A
Retrospective, Multicentre, Cohort Study. Pediatr Dermatol. 2012;29{1): 28-31.
11. Goelz R, Poets CF. Incidence and treatment of infantile hemangioma in
preterm infants. Arch Dis Child Feta l N eonata l . 2015; 100: F85-9 1.
12. Kanada KN, Merin M R, Munden A, dkk. A prospective study of cutaneous
fi ndi ngs in newborns in the U n ited States: Correlation with race, eth n icity, and
gestational status using u pdated classification and nomenclatu re. J Pediatr.
2012; 161(2) :240-5.
13. Kutz AM, Aranibar L, Lobos N, Wortsman X. Color Doppler Ultrasound Follow
Up of Infa ntile Hema ngiomas and Peripheral Vascu la rity i n Patients Treated
with Propranolol. Pediatr Dermatol 2015; 32(4): 468-75.
14. Hasan Q, Tan ST, Xu B, Davis PF. Effects of five commonly used gl ucocorticoids
on hemangioma in vitro. Clin Exp Pharmacol Physiol . 2003;30: 140-4.
15. Bennet M L, Fleischer AB, Cha mlin SL, Frieden IJ. Ora l corticosteroid use is
effective for cutaneous hemangioma. Arch Dermato l . 2001;137:1208- 13.
16. Goerge ME, Sharma V, Jacobson J, Simon S, Nopper AJ . Adverse effects of
systemic gl ucocorticosteroid therapy in infants with hemangioma. Arch
Dermatol. 2004; 140:963-9.
17. Boon LM, MacDonald OM, Mu lliken JB. Complications of systemic corticosteroid
therapy for problematic hemangioma. Plast Reconstr Surg. 1999;104: 1616-23.
18. Aviles R, Boyce TG, Thompson OM. Pneumocystis carinii pneumonia in a 3-
month-old infant receiving high-dose corticosteroid thera py for airway
hemangioma. Mayo Clin Proc. 2004;79:243-5.
19. Nieuwanh uis K, de Laat PCJ, Janmoha med SR, Madern GC, Oranje AP. I nfa ntile
Hemangioma : Treatment with short course systemic corticosteroid therapy as
an alternative for propranolol. Pediatr Dermatol. 2013;30( 1 ) : 64-70.
20. Chen MT, Yeong E K, Horng SY. lntra lesional corticosteroid thera py in
proliferating head and neck hemangiomas: A review of 155 cases. J Ped iatr
Surg. 2000;35:420-3
149
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Nanny Shoraya
21. Cruz OA, Zarnegar SR, Myers SE. Treatment of periocular capillary hemangioma
with topical clobetasol propionate. Ophtalmology. 1995;102:2012-5.
22. Garzon MC, Lucky AW, Hawrot A, Frieden IJ. U ltrapotent topical corticosteroid
treatment of hema ngioma of i nfancy. J Am Acad Dermatol . 2005;52:281-6.
23. Drolet BA, Frommelt PC, Chamlin SL, H aggstrom A, Bauman N M, Chiu YE.
In itiation and use of propranolol for infantile hemangioma: Report of a
consensus conference. Pediatrics. 2013; 131(1): 128-40.
24. Saint-Jean M, Leaute-Labreze C, Hautier JM, Bodak N, Ha mel-Teillac D,
Bessaguet I K, d kk. J Am Acad Derm. 2011;64:827-32.
25. Marqueling AL, Oza V, Frieden IJ, Puttgen KB. Propranolol and infantile hemangioma
four years later: a systemimatic review. Pediatr Dermatol. 2013;30(2):182-91.
26. De Graaf M, Breur J M PJ, Raphael M F, Vos M, Breugmen C, Pasmans SGMA.
Adverse effects of propra nolol when used in treatment of hemangiomas: A
case series of 28 infants. J Am Acad Dermatol. 2011;65:320-7.
27. Chan H, McKay C, Adams, S, Wargon 0. RCT of timolol maleate gel for superficial
infantile hemangiomas in 5-to24-weeks-olds. Pediatrics. 2013;131:e1739-46.
28. Castelo-Soccio L. Experience with topical timolol maleate for the treatment of
ulcerated i nfantile hemangioma ( I H ) . J Am Acad Dermatol . 2016;74(3):567-70.
29. Ho NTC, La nsang P, Pope E. Topical imiquimod in the treatment of infa ntile
hemangiomas: A retrospective study. J Am Acad Dermatol . 2007;56(1) :63-8.
150
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
TERAPI FAKTOR PERTUMBUHAN AUTOLOG
PADA ULKUS KRONIK
Adi Satriyo
PENDAHULUAN
151
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Adi Satriyo
152
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Terapi Faktor Pertumbuhan Autolog pada Ulkus Kronik
153
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Adi Satriyo
ka li; d a n (3) terda pat risiko dermatitis kontak serta rea ksi a le rgik
karena ada nya zat kimia tambahan ya ng d igunaka n . 14
Sementara itu, F KT adalah konsentrat trombosit di dalam suatu
biomatriks fibrin autolog. 9' 15 FKT merupakan suatu matriks yang berisi
berbagai elemen selular dan molekular seh ingga proses penyembuhan
Iuka dapat berlangsung optimal. 16 Terdapat beberapa istilah lain untuk
F KT, a ntara lain leucopatch; platelet-rich fibrin matrix; dan platelet
rich fibrin membrane. 14' 17 F KT d a pat d iangga p sebagai konsentrat
trombosit gene rasi kedua yang diciptakan u ntuk mengatasi keter
batasan P KT. Matriks fi brin sebagai bahan pem bawa konsentrat
trom bosit a ka n mengikat fa ktor pertu m b u h a n seh i ngga faktor per
tumbuhan a kan dilepaskan secara perlahan dalam jangka waktu lama.
Di sepanjang matriks fi brin juga terda pat deposit gl i kosa minoglikan
(hepari n d a n asam h i a l u ronat) ya ng m e m i l i ki afin itas kuat terhadap
fa ktor peru m b u h a n . Terikatnya faktor pertumbuhan pada fi brin juga
a ka n m e l i n d u nginya d a ri degradasi. 15' 18 He d kk. 19 menemuka n ba hwa
kadar TGF-13 yang d ilepaska n F KT pada hari ke-7 dan ke-14 lebih tinggi
j i ka dibandingkan h a ri pertama, d a n m u l a i menurun sesudahnya .
Kada r TG F-13 ya ng d i lepaskan P KT paling ti nggi pada h a ri perta ma dan
m e n u ru n d rastis sesudah nya serta lebih rendah seca ra signifika n jika
dibandingkan dengan kad a r TGF-13 pada F KT. F KT h i ngga hari ke-14
masih da pat mem icu p rolife rasi d a n diferensiasi osteoblas dengan
m a ksimal, sedangkan PKT tidak.
FKT dapat dibuat dengan berbagai metode, sa lah satunya metode
Chou kro u n d kk. 20 ya ng berkem ba ng pesat sejak ta h u n 2001. Hal ini
dise ba bkan oleh p roses pengolah a n yang mudah d a n si ngkat ( 15-30
men it) ka rena hanya menga lami satu ka li sentrifugasi, da pat
menggunaka n mesin sentrifugasi b iasa, dan tidak mem butuhkan zat
kimia ta mbahan sebagai a ntikoagulan ata u a ktivator trombosit
sehi ngga tidak m e n i m b u lka n rea ksi i ritasi atau alergik. 14' 15' 21
154
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Terapi Faktor Pertumbuhan Autolog pada U l kus Kronik
satu fase penyembuhan luka .4 Hal ini bisa disebabkan oleh rendahnya
kadar berbaga i faktor pert u m b u h a n yang d isekresikan tro mbosit. 1' 24
Studi eksperimental menunjukkan bahwa keadaan tersebut disebabkan
oleh penurunan si ntesis, peni ngkatan degradasi, d a n inaktivasi fa ktor
pertumbuhan, sehingga pem berian P KT d i h a ra pka n da pat memper
baiki masalah tersebut. 25 Faktor pertumbuhan dalam PKT juga berfungsi
sebagai mediator intera ksi sel -sel dan sel-matriks yang memicu proli
ferasi sel punca dan mesenkimal di daerah Iuka sehingga berma nfaat
u ntuk menimbulka n jaringan gra nulasi pada fase awa l penyem buhan
I u ka kro n i k. 11
Crovetti dkk. 25 mela porka n efektivitas tera pi topikal konsentrat
trombosit dalam bentuk gel pada 24 kasus ulkus kronik dengan berbagai
etiologi misalnya dia betes melitus, tra u ma, neuropati, i nsufisiensi
vaskular, h ingga vasku l itis. Seba nyak sem bilan pasien m enga lami re
epitelisasi sempu rna, selebihnya menga l a m i pengurangan ukura n
I u ka > 50% u ku ra n I u ka sebe l u m pengobata n . Sebuah uj i kli n is acak
terkontrol ya ng d i la ku ka n Knighton d kk. 26 j uga mendapatka n has ii
81% subjek ya ng mendapatka n PKT m engalami re-epitelisasi sempurna
di bandi ngka n dengan kelompok kontrol ya ng hanya 15%. La m a rawat
inap pasien u l kus kron ik yang d itera p i dengan P KT j uga lebih si ngkat
dibandingka n dengan kontrol (3 1,5 hari vs. 52,5 hari). 27 Penelitian
prospektif oleh Knighton dkk. 28 terhadap 49 pasien u lkus kronik dengan
berbagai etiologi dan lokasi j uga m e n u nj u kka n efe ktivitas P KT. Rerata
waktu yang diperlu kan u ntuk menca pa i re-epitelisasi sempurna adalah
10,6±6, 1 m i nggu dan tidak berga ntung pada u sia pasien, d u rasi
terjadi nya u l kus, ataupun lokasi a nato m i k u l kus. O'Co n n e l l d kk. 4
meneliti efek pem berian konsentrat trombosit terhadap 2 1 pasien
ul kus kronik di tu ngkai bawa h (12 pasien u l kus venosum dan 9 pasien
ul kus non-venos u m ) ya ng tidak berespons dengan pengo batan
konvensional. Kesembuhan sempurna dialami seba nya k 66,7% pasien
ul kus venosum dan 44% pasien u lkus n on-venosum selama 12 m i nggu
perawatan . P KT j uga dapat dikombinasikan dengan tandur kulit u ntuk
mengatasi u l kus kro n i k yang besar. 29
Studi kohort retrospektif M a rgoli s d kk. 30 m e n u nj u kka n bahwa
u lkus dia betikum yang d itera p i dengan konsentrat trom bosit (dengan
ata u tanpa kontrol ) memiliki peluang sem b u h 14%-59% lebih besar
155
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Adi Satriyo
jika diobati dengan pena mbahan konsentrat trom bosit. Hasil tersebut
d i d u kung dengan telaah sistematik pada berbagai uj i klinis acak
terkontrol oleh Villela dan Sa ntos 31 ya ng menyi m p u l kan ba hwa PKT
mempercepat penyembuhan u l kus dia beti ku m . Penelitian p rospektif
Atri d kk. 32 j uga m e n u nj u kka n efektivitas PKT u ntuk men i m b u l kan re
epitelisasi pada u l kus dia beti ku m d a n u l kus venosum { 100% pada
kelompok studi vs. 11% pada kelompok kontrol). Driver dkk. 33 melakukan
i ntervensi uj i klinis terkontrol m u ltisentra u ntuk mengevaluasi
efektivitas P KT terhada p u l kus pasien D M tipe 1 dan 2 . Studi tersebut
menemuka n a ngka kese m b u h a n lebih tinggi pada kelompok studi
dibandingkan dengan kontrol (68,4% vs. 42,9%) dan waktu penyem
buhan j uga lebih singkat pada kelompok studi d iba ndingkan dengan
kelompok kontrol (42,9 hari vs. 47,4 hari).
Meski p u n tela h ba nya k penelitian ya ng mendukung efektivitas
PKT pada tata laksana ulkus, meta-analisis yang dilakukan oleh
Martinez-Zapata dkk. 34 mengatakan bahwa banya k penelitian tersebut
meru pa kan studi penda h u l u a n (preliminary study) yang memiliki
kua l itas yang kurang baik m e n u rut kaidah evidence-based medicine
dan ha nya beberapa saja ya ng merupakan uji klinis terkontrol . Meta
ana l isis tersebut menyi m p u l ka n P KT m u ngkin da pat dimanfaatkan
u ntuk tata l a ksana u l kus dia betikum kron i k, n a m u n masih di perl u kan
berbagai uj i klinis terkontrol dengan kualitas lebih ba i k u ntuk melihat
efektivitas P KT pada tata laksa na u l kus kro n i k denga n etiologi lain.
Sementara u ntuk penggu naan konsetrat F KT, beberapa la poran
seri kasus (case series) telah mema parka n tenta ng efektivitas agen
tersebut pada u l kus kro n i k dengan berbaga i etiologi yang tidak
sembuh dengan pengo bata n konvension a l . Steenvoorde dkk. 23 men
da patka n ang ka kesem b u h a n 62% dengan rerata masa pengobatan
4,2 m i nggu dan tidak menemukan efek sa mping apapun penggunaan
F KT. Jorgensen d kk. 17 j uga meneliti efektivitas pemberian konsentrat
F KT tiap m i nggu sela ma enam m i nggu pada 15 pasien u l kus kronik
dan menda patka n rerata pengeci lan I u ka sebesa r 64, 7% dengan
4
em pat I u ka ( 3 1%) sem b u h sempurna. Selain itu, O'Connell d kk. juga
menemukan efektivitas konsentrat F KT untuk mempercepat
penyembuhan ul kus kronik non-venosu m pada tu ngka i bawah dengan
angka kesem b u h a n sebesar 3 1% dengan rerata masa pengobatan 7, 1
156
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Terapi Fa ktor Pertumbuhan Autolog pada Ulkus Kronik
REAKSI SIMPANG
157
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Adi Satriyo
rasa terbakar selama 3 menit sesudah injeksi, dan dermatitis kontak. 33'39
Reaksi i ritasi tersebut tidak dijumpa i pada FKT karena dibuat dari darah
pasien send i ri dan tidak d iberikan zat kimia tambahan apapun. 14• 15• 21
Terda pat kekhawatira n bahwa faktor pertumbuhan a kan
berinteraksi dengan p romoter pertumbuhan sel tumor dan memicu
terjadinya keganasan pada pasien ya ng memiliki faktor risiko. Namun,
faktor pertumbuhan tidak bersifat karsi nogenik karena sem ua faktor
pertumbuhan ha nya memicu ekspresi gen normal . Selain itu, faktor
pertumbuhan hanya beke rja pada membra n sel dan tidak pernah
memasuki inti sel . 42-45 Sampai saat ini tidak pernah dilaporkan
terjadinya jaringan pa rut h ipertrofi k ataupun neoplasia pada pasien
yang menda patkan tera p i faktor pertumbuhan autolog. 43•44
PENUTUP
PKT dan FKT adalah sediaan yang dibuat dengan metode
sederhana, efektif, relatif m u rah, dan a m a n u ntuk menda patkan
berbagai fa ktor pert u m b u h a n a utolog. 6 M a nfaat penggu naan PKT
untuk penyembuhan I u ka telah diperlihatkan oleh berbagai penelitian in
vitro, laporan kasus, uji klinis terkontrol, hingga telaah sistematik sesuai
kaidah evidence-based medicine sehingga penggunaannya sebagai
terapi tambahan proses penyembuhan Iuka kronik diabetes melitus
dapat d i pe rti m ba ngka n . Meskip u n demikian, masih d iperlukan uji
klinis dengan desai n yang lebih ba i k dan sa m pel lebih besa r u ntuk
m e m b u ktikan ma nfaat P KT d a n F KT u ntuk u l kus jenis l a i n . 1• 34•41
Sa mpai saat i n i belu m ada kesepakatan mengenai metode ata u
p rotokol yang dapat menghasilkan konsentrat trombosit autolog dengan
kua l itas paling baik. Meski p u n ada kepusta kaa n yang mela porkan
konsentrasi optim a l tro mbosit dalam suatu sediaan adalah 4-5 ka l i di
atas n i l a i normal, teta p i konsentrasi ideal trom bosit dan fa ktor
pert u m b u h a n sed iaan P KT atau pu n F KT belum ditentu ka n seca ra
seraga m dan masih menu nggu hasil penelitian sela nj utnya . 6• 34.42•46
158
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Terapi Faktor Pertumbuhan Autolog pada Ulkus Kronik
DAFTAR PUSTAKA
1. Eppley B, Pietrzak WS, Blanton M. Platelet-rich plasma: A review of biology and
applications in plastic surgery. Plast Reconstr Surg. 2006; 118(6) : 147-59.
2. Shai A, Maibach HI. N atural course of wound healing versus impai red healing in
chronic skin ulcers. Da lam: Wound healing and u lcer of the skin. Berl i n :
Springer; 2005. h .7-17.
3. Shai A, Maibach HI. G rowth Factors. Da lam: Wound healing and ulcer of the
skin. Berlin: Springer; 2005. h. 185-92.
4. O'Connell SM, lmpeduglia T, Hessler K, Wang XJ, Carroll RJ, Dardik H. Autologous
platelet-rich fibrin matrix as cell therapy in the healing of chronic lower
extremity ulcers. Wound Repair Regen. 2008; 16(6):749-56.
5. Ranzato E, Patrone M, Mazzucco L, Burlando B, P latelet lysate stimulates
wound repair of H aCaT keratinocytes. Br J Dermatol. 2008; 159(3):537-45. Epub
2008 J u l 4.
6. Cole B, Seroyer S, Filardo G, Bajaj S, Fortier L. Platelet rich plasma: Where a re we
now and where are we going? Sports Health: A M u ltidisci plinary Approach.
2010;2(3):610.
7. International Society of Hair Restoration Su rgery. Platelet-rich plasma in hair
tra nsplantation. 2009. (Disitasi 18 Oktober 2016). Tersedia di
http://www.ishrs.org/articles/platelet-rich-plasma-in-hair
transplantation.htm.
8. Prakash S, Thakur A. Platelet concentrates: Past, present and future. J
Maxillofac Oral Surg. 2011; 10( 1 ):45-9. Epub 2011 Feb 25.
9. Dan ielsen PL. Platelet-rich fi brin i n h u man acute wound models (Tesis).
Copenhagen: Facu lty of Health Sciences University of Copenhagen; 2008.
10. Ramali LM. Wound healing process. Dalam: Gunawan H, Dwiyana RF,
penyunting. Mu ltidisciplinary approach to skin u lcer 2012. Bandung:
Departemen IKKK FKUN PAD; 2012.h .2-13.
11. Cervelli V, Gentile P, Grimaldi M . Regenerative surgery: Use of fat grafting
combined with platelet-rich plasma for chronic lower extremity ulcers.
Aesthetic Plast Surg. 2009;33(3):340-5. Epub 2009 Jan 21.
12. Wirawan R, Shodri. Uji ketelitian dan nilai ruju ka n agregasi trombosit dengan
agonist ADP pada orang Indonesia dewasa d i Jakarta menggunakan
agregometer chronolog model 490. Jakarta: Balai Penerbit; 2008.
13. Pietrzak WS, Eppley BL Platelet-rich plasma: Biology and new technology. J
Craniofac Surg. 2005; 16(6): 1043-54.
14. Dohan Ehrenfest DM, Rasm usson L, Albrektsson T. Classification of platelet
concentrates: From pure platelet-rich plasma ( P-PRP) to leucocyte- and
platelet-rich fibrin ( L-PRF). Trends Biotechnol. 2009;27(3): 158-67. Epub 2009
Jan 31.
15. Holtzclaw D, Toffler M, Toscano N, Corso M D, Eh renfest DD. Introd ucing
Choukroun's platelet rich fibrin to the reconstruction surgery milieu. J IACD.
2009; 1(6):21-32.
159
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Adi Satriyo
16. Chou kroun J, Diss A, Simon pieri A, Girard MO, Schoeffler C, Dohan SL, dkk.
Platelet-rich fi brin (PRF): A second-generation platelet concentrate. Part IV:
Clin ical effects on tissue heal ing. Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radial
Endod. 2006; 101(3):e56-60.
17. J orgensen B, Karlsmark T, Vogensen H, Haase L, Lundqu ist R. A pilot study to
evaluate the safety and clinical performance of leucopatch, an autologous,
additive-free, platelet-rich fi brin for the treatment of recalcitrant chronic
wounds. I nt J Low Extrem Wounds. 2011; 10(4):218-23. Epub 201 1 Okt 18.
18. Doha n DM, Chou kroun J, Diss A, Doha n SL, Dohan AJ, Mou hyi J, d kk. Platelet
rich fibrin (PRF): a second-generation platelet concentrate. Part I I : platelet
related biologic features. Oral Surg Oral Med Ora l Pathol Oral Radial Endod.
2006; 101(3):e45-50. Epub 2006 Jan 10.
19. He L, Lin Y, H u X, Zhang Y, Wu H . A comparative study of platelet-rich fibrin
(PRF) and platelet-rich plasma (PRP) on the effect of proliferation and
differentiation of rat osteoblast in vitro. Oral Surg Oral M ed Oral Pathol Oral
Radial Endod. 2009;108( 5 ) : 707-13.
20. Choukroun J, Dohan DM, Diss A, Dohan SL, Dohan AJ, Mouhyi J, d kk. Platelet
rich fi brin (prf) : A second generation platelet concentrate. Part I: tech nological
concepts and evolution. Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radial Endod.
2006; 101(3):e37-44. Epub 2006 Jan 19.
21. Anilkumar K, Geetha A, Umasud hakar, Ramakrishnan T, Vijayalaksh mi R,
Pameela E. Platelet-rich fibri n : A novel root coverage approach. J Indian Soc
Periodontal. 2009;13(1 ) :50-4.
22. Budimulja U. Morfologi dan cara membuat diagnosis. Da lam: Dj uanda A,
Hamzah M, Aisah S, penyu nti ng. llmu penyakit kulit dan kela min. Edisi ke-5.
Ja karta: Balai Penerbit FKUI; 2007.h.34-42.
23. Steernvoorde P, va n Doorn LP, Naves C, Oskam J . Use of autologous platelet
rich fibrin on hard-to-heal wounds. J Wound Care. 2008; 17(2):63.
24. Ra nzato E, Patrone M, Mazzucco L, Burlando B. Platelet lysate sti mulates
wound repa ir of HaCaT keratinocytes. Br J Dermatol. 2008; 159(3) : 537-45.
25. Crovetti G, Martinelli G, I ssi M, Barone M, Gu izzardi M, Campanati B, dkk.
Platelet gel for healing cuta neous chronic wounds. Transfus Apher Sci. 2004;
30(2): 145-5 1 .
26. Knighton DR, Ciresi K , Fiegel VD, Schumerth 5, Butler E , Cerra F. Stimulation of
repa ir in chronic, nonhealing, cutanous ulcers using thrombocyte-derived
wou nd healing formula. Surg Gynecol Obstet. 1990; 170( 1): 56-60.
27. Mazzuca L, Med ici D, Serra M, Pan izza R, Rivara G, Orecchia S, d kk. The use of
autologous platelet gel to treat difficu lt-to-heal wounds: A pilot study.
Transfusion. 2004; 44(7): 1013-18.
28. Knighton DR, Ci resi KF, Fiegel VD, Austi n LL, Butler E L. Classification and
treatment of chronic nonhealing wounds: Successful treatment with
autologous platelet-derived wound healing factors (PDWHF). Ann Surg. 1986;
204(3 ) : 322-330.
160
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Terapi Faktor Pertumbuhan Autolog pada Ulkus Kronik
29. Chen TM, Tsai JC, Burnout T. A novel technique combining platelet gel, skin
graft, and fibrin glue for healing reca lcitra nt lower extremity ulcers. Dermatol
Surg. 2010; 36(4) : 453-60.
30. Margolis DJ, Kantor J, Santana J, Strom BL, Berl in JA. Effectiveness of platelet
releasate for the treatment of dia betic neuropathic foot ulcers. Diabetes Care.
2001; 24( 3 ) : 483-8.
31. Villela DL, Santos VLG. Evidence on the use of platelet-rich plasma for diabetic
ulcer: A systematic review. Growth Factors. 2010; 28(2): 1 1 1-16.
32. Atri SC, Misra J, Bisht D, Misra K. Use of homologous platelet factors in achieving
total healing of recalcitrant skin u lcers. Surgery. 1990; 108(3): 508-12.
33. Driver VR, Hanft J, Fylling CP, Beriou J M . A prospective, randomized, controlled trial
of autologous platelet-rich plasma gel for the treatment of diabetic foot ulcers.
Ostomy Wound Manage. 2006; 52(6): 68-70, 72, 74.
34. Martinez-Zapata MJ, Marti-Carvajal AJ, Sola I, Exposito JA, Bolibar I, Rodriquez
L, dkk. Autologous platelet-rich plasma for treating chronic wou nds. Cochra ne
Database Syst Rev. 2016 May 2 5 ; ( 5 ) :CD006899.
35. O'Connell SM, Hessler K, Da rdik H. Cascade autologous system platelet-rich
fibrin matrix in the treatment of chronic leg ulcers. Adv Wound Care (New
Rochelle). 2012 Feb; 1 ( 1) : 52-55.
36. Weibrich G, Kleis WKG, Hafner G, Hitzler WE. Growth factor levels in platelet
rich plasma and correlations with donor age, sex, and platelet count. J
Craniomaxillofac Surg. 2002; 30(2): 97-102.
37. Yilmaz S, Cakar G, lpci SD, Kuru B, Yildirim B. Regenerative treatment with platelet
rich plasma combined with a bovine-derived xenograft in smokers and non-smokers:
12-month clinical and radiographic results. J Clin Periodontal. 2010; 37(2): 80-87.
38. Kariyazono H, Naka m u ra K, Arima J, Ayukawa 0, Onimaru S, Masuda H, dkk.
Eva luation of anti-platelet aggregatory effects of aspirin, cilostazol, and
ramatroban on platelet-rich plasma and whole blood. Blood Coagul
Fibrinolysis. 2004 ; 1 5 ( 2 ) : 157-67.
39. Redaelli A, Romano D, Marciano A. Face and neck revita lization using platelet
rich plasma (PRP): clin ical outcome in a series of 2 3 consecutively treated
patients. J Drugs Dermatol . 2010; 9 ( 5 ) : 466-72.
40. Panonsih RN, N u rhayati, Wirohad idjojo YW. Terapi parut atrofik varisela
dengan platelet-rich plasma. Disampaikan pada Pertemuan l l miah Ta hunan
PERDOSKI XI. Bali. 7-8 Mei 20 10.
41. Foster TE, Puskas BL, Mandelbaum BR, Gerhardt M B, Rodeo SA. Platelet-rich plasma:
From basic sience to clinical applications. Am J Sports Med. 2009; 37(1 1): 2259-72.
42. Marx RE. Platelet-rich plasma (PRP): What is PRP and what is not PRP. I m plant
Dent. 2001; 10(4) : 225-8 .
43. Nisbet QH, Nisbet C, Yarim M , Ozak A . The efficacy o f platelet-rich plasma gel and
topical estrad iol alone or in combination on healing of full-thickness wounds. 2009.
(disitasi 18 Oktober 2016). Tersedia dari: http://www.woundsresearch.com/
content/the-efficacy-platelet-rich-plasma-gel-and-topical-estradiol-alone-or
combination-healing-fulj.
161
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Adi Satriyo
44. Cosmetic and beauty news: PRP fact or fiction? 2009. (disitasi 18 oktober
2016). Tersedia dari: http://www. bolandcell .co.za/COSMETIC-PRP-2010.html.
45. Marx RE. Platelet-rich plasma: Evidence to support its use. J Oral Maxillofac
Surg. 2004; 62(8): 489-96.
46. Giusti I, Rughetti A, D'Ascenzo S, Milimaggi D, Pavan A, Dell' Orso L, dkk.
Identification of an optimal concentration of platelet gel for promoting
angiogenesis in huma n endothelial cel ls. Transfusion. 2009; 49(4): 771-8.
162
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
TATA LAKSANA ULKUS DEKUBITUS
Rinadewi Astrining ru m
PENDAH ULUAN
Ulkus deku bitus atau ulku s akibat tekanan (pressure ulcers) adalah
cedera pada ku lit dan jaringan di bawah nya, biasa nya terjadi d i atas
penonjolan tulang, sebagai a ki bat dari tekanan atau tekanan yang
dikombinasi dengan geseran dan/atau gesekan . 1 lstilah dekubitus
berasal dari bahasa Latin decumbere yang berarti berba ring. 2
Terminologi u l kus dekubitus, ulkus akibat tekanan (pressure ulcers) dan
Iuka baring (bedsores) sering d isamakan, namun karena tekanan
merupakan faktor patofisiologi utama, u lkus akibat tekanan meru pa kan
istilah yang pa ling tepat. Penggunaan istilah u l ku s d ekubitus maupun
Iuka baring mengga m ba rkan bahwa lesi hanya terjadi pada pasien yang
berbaring, padahal beberapa I u ka kulit yang berat aki bat tekanan dapat
terjadi karena pasien berada dalam posisi d u d u k yang terlalu lama. 3
U l ku s dekubitus merupakan anca m a n bagi kesehatan pasien
dengan mobilitas ya ng terbatas. Walaupun 70% u l ku s terjadi pada
pasien berusia d i atas 65 ta h u n, pasien usia lebih m u da dengan
kerusakan neurologis ata u sa kit berat juga rentan terjadi u l kus.
Preva lensi berkisar a ntara 4,7 sampai 32, 1% pada perawatan rumah
sakit d a n pada perawata n rumah berkisar a ntara 8,5 sampai 22%. 4
Sebagian besar u l ku s terjadi pada tubuh bagian bawah, ya kni 65%
pada daerah pelvis d a n 30% pada e kstrem itas bawa h . 5
ETIOPATOG ENESIS
Etiologi
Terdapat empat faktor utama yang berperan pada pembentukan
ulkus, yakni tekanan, geseran (shearing forces), gesekan, dan kelembapan
(moisture).5 Ulkus dekubitus dapat disebabkan oleh tekanan terus
meneru s dengan kekuata n ti nggi d a l a m wa ktu singkat atau kekuata n
lebih rendah n a m u n dalam waktu lebih lama, sehi ngga a l iran d a ra h
ka piler terham bat, d a n men u ru n ka n s u p l a i oksigen, serta n utrisi ke
163
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Rinadewi Astriningrum
4
jaringa n . La m a dan besa rnya tekanan merupaka n hal yang penting
dalam pem bentukan u l kus. Perba ika n j a ringan da pat terjadi jika
teka n a n d i h i l a ngkan secara teratu r. 5
Patogenesis
Teka na n atau kekuatan per u n it a rea merupakan fa ktor penting
dalam pembentukan u l kus dekubitus. Tekanan eksternal yang lebih
tinggi d i band ingka n dengan tekanan h i d rostatik kapiler a rteri sebesar
32 m m Hg d a pat mengga nggu sirkulasi dan oksigenasi, sehingga
terjadi iskemia lokal dan ke rusa kan jaringan. 6 Bila pasien dalam posisi
berbari ng, teka n a n sebesa r 150 m m H g dapat terjadi teruta ma pada
penonjolan tulang. Tekan a n sebesar itu cukup u ntuk menuru n kan
teka n a n oksigen transkutan sampai mendekati nol. Pada pasien yang
berada dalam posisi duduk, teka nan ya ng di hasilka n pada daerah di
bawa h tuberositas ischiadica d a pat mencapai 300 m m Hg atau lebih,
bila d u d u k pada permukaan yang rata dan keras. 3 ' 5
Cedera akibat tekanan bermula pada jaringan yang terletak
dalam, kem u d i a n menyebar ke permukaan ku l it. Seri ngka l i kerusakan
hanya terjadi pada jaringan ya ng terletak dalam, yakni pada sambunga n
tulang-otot, yang tidak tampak pada permukaan kulit. Bila tekanan
dilepaskan a kan terjadi respons normal berupa hiperemia. Namun bila
tekanan menetap, iskemia yang terjadi akan menyebabkan pem
bengka kan endotel dan kebocoran pembuluh darah. Bersama dengan
bocornya plasma ke jari ngan i nterstisial, kondisi ini menyebabkan
perdarahan dan menghasilkan eritema nonblanchable pada kulit. Pada
binatang percobaan yang mengalami bakterem ia, ditemukan deposit
bakteri pada lokasi trauma tekanan yang menimbulkan proses supurasi
yang dalam. Hal ini menjelaskan terjadinya ulkus dekubitus dengan kulit
normal namun terdapat sinus dra inase. Aku m ulasi cairan edema, darah,
dan sel i nflamasi secara progresif menyebabkan kematian sel otot,
jaringan subkutan, dan terakhir jari ngan epidermis. 3•6
Geseran (shearing force) terjadi a kibat pergera ka n tulang dan
j a ri ngan su bkutan terhadap kulit yang relatif tidak bergerak. Conteh
gesera n adalah saat pasien dalam posisi supinasi dan bagian atas
tem pat tid u r d i n a i kkan sebesar 30°, kemudian bada n pasien bergeser
ke a rah ka udal dengan kulit daerah sakrum ya ng tetap menempel
164
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Tata Laksana Ulkus Dekubitus
FAKTOR RISIKO
165
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Rinadewi Astriningrum
Tabel 1. National Pressure Ulcer Advisory Panel staging system for pressure
ulcers *
Stage Description
Suspected deep- Purple or maroon localized area of discolored, intact skin or blood.filled blister caused by damage to underlying
tissue injury soft tissue from pressure or shear; the disroloration may be preceded by tissue that is painful, firm, must,.,., boggy,
or warmer or oooler compared with adjacent tissue
Intact skin wi1h nonblanchable redll<!'s of a localized area, usually over a bony prominence; dark pigmented skin
may not have visible blanching, and the affected area may differ from the surrounding area; the affected tissue
may be painful, firm, soft, or warmer or oooler compared with adjaCPnt tissue
Partia�thickness loss of dermis appearing as a shallow, open ulcer with a red-pink wound bed, without slough;
may also appear as an intact or open/ruptured serufl>.filled blister; this stage should not be used to describe skin
tears, tape burns. perinea! dermatitis, macerafons. or excoriations
Ill Full-thickness tissue loss; subcutaneous fat may be visible, but bone, tendon, or muscle is not e>pased; slough may
be present, but does not obscure the depth of tissue loss; may include undermining and tunneling•
IV Full-thickness tissue loss with exposed bone, tendon, or muscle; slough or eschar may be present on some pans of
the wound bed; often includes undermining and tunneling•
Un stageable Full-thickness tissue loss with the base of the ulcer covered by slough (yellow, tan, gray, green, or brown) or eschar
(tan, brown, or black) in the wound bed
•-The depth at a stage Ill Of IVpres5Ure ulcer var/Es by anatomk locar/on. &>cause l!le brl<lge of l1le nose, ear, ocdput, and malleo/us do not have
sutxuraneous t:lsw� ulcer.; Oil tllese areas can be sfl;iJk:JN. In mntrast areas of slgnltlcanr adlposlry can deVelop exrremety deep srage Illor N ulcers.
In srage IVulcers, ellpOSed bone or tendon ts >is/Illeor directly palpable.
166
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Tata Laksana U lkus Dekubitus
PENILAIAN KUNIS
TATA LAKSANA
Tata laksana ulkus dekubitus mencakup pencegahan, perawatan,
dan terapi, termasuk terapi medika mentosa, non-medika mentosa,
tindakan khusus (debridement dan pembedahan), serta terapi adjuvan .
Terdapat keterangan strength of evidence (SoE) dan strength of
recommendation (SoR) pada poin tata laksana dalam maka lah ini yang
mengacu pada pedoman pencegahan dan tata laksana u lkus dekubitus
yang dibuat oleh European Pressure Ulcer Advisory Panel, National
Pressure Ulcer Advisory Panel, dan Pan Pacific Pressure Injury Alliance. 10
(Lampiran 1)
167
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Rinadewi Astrin ingrum
PENCE GAHAN
Strategi pencegah a n u l kus dekubitus mencakup menilai risiko,
mengura ngi teka nan, menilai status n utrisi, mengh indari bed rest
berlebihan dan posisi d u d u k terl a l u lama, serta menjaga i ntegritas
kulit dengan perawata n ya ng tepat. 8
1. Menilai risiko
Menilai risiko diawali dengan mengidentifikasi faktor risiko dan
inspeksi kulit (SoE: C, SoR: A). Perawat sebai knya diberi edukasi
tentang cara menilai kulit, termasuk menilai eritema, edema, dan
indurasi kulit, serta pentingnya pencegahan risi ko (SoE: B, SoR: A). 10
Pasien sebaiknya sering diamati untuk pencegahan dan untuk
mengidentifikasi u l kus pada derajat awa l . Skala pen ilaian risiko
a kan meni ngkatkan kewaspadaan, n a m u n kema mpuan untuk
m e m p red i ksi terjadi nya u l ku s terbatas, dan saat ini belum terbu kti
4
d a pat mencega h u l kus.
2 . Mengura ngi tekanan
Tindakan mengu rangi efek tekanan, gesekan, dan geseran
meru pakan tindakan pencega han pertama pada pasien denga n risiko
ulkus dekubitus. Metode ya ng paling umum dianjurkan adalah
mengubah posisi pasien, baik untuk pasien dengan risiko ulkus
deku bitus atau pasien ya ng telah terdapat ulkus deku bitus, kecuali
bila terdapat kontra i nd i kasi (SoE: A, SoR: A). 10 I nterva l optimal
mengubah posisi u ntuk pencegahan u l kus belum diketahui secara
pasti. US Agency for Health Care Policy and Research me
rekomendasikan untuk mengubah posisi pasien sedikitnya tiap dua
jam u ntuk individu berisiko tinggi terjadi ulkus dekubitus. Dalam
keadaan terbatasnya perawat, mengubah posisi pasien sulit untuk
dilakuka n . Oleh ka rena itu beberapa alat penurun tekanan telah
4
dikembangkan. '8 Defloor11 melakukan penelitian randomized clinical
trial { RCT) pada 838 pasien risiko ti nggi ya ng d i rawat d i rumah.
Jadwal mengubah posisi setiap e m pat jam di kom binasi denga n
penggu naan matras viskoe lastis bermakna menuru n ka n angka
kejadian u l kus deku bitus, d i band i ngka n dengan jadwal mengubah
168
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Tata Laksana Ulkus Dekubitus
169
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Rinadewi Astriningrum
berbentuk donat, d a n saru ng tangan yang d i isi air sebai knya tidak
d igunaka n untuk alas tum it (Sof: C, SoR: A). 10
U nt u k m e m i n i m a l isasi geseran, kepala tem pat tid u r sebaiknya
tidak d i n a i kka n melebihi 30° dan sedapat m u ngkin dalam posisi
ketinggia n paling rendah yang d i perl u ka n u ntuk mencega h
kom p l i kasi, m isal nya aspirasi atau perburukan gejala gagal jantung
kongestif (Sof: C, SoR: B). 4' 10
3. Nutrisi
Status n utrisi dapat mem penga ruh i i nsidens, p rogresivitas,
d a n perburuka n u l kus dekubitus. Skrin i ng n utrisi meru pa kan
eval uasi umum pasien dengan u l kus dekubitus. Pasien maln utrisi
d i a nj u rka n u ntuk konsultasi gizi dan eva l uasi ca ra menelan. Pada
tabel 2 d i perli hatkan petanda u ntuk identifikasi m a l n utrisi protein
ka lori. 4' 8
170
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Tata Laksana Ulkus Dekubitus
lemak, dan 50% ka rboh idrat d ita mbah dengan 1,8mg zink serta 15
mg vita m i n C da pat mencega h terjadinya u l kus deku bitus. Telaah
sistematik yang d ilaku ka n oleh Langer 15 menyi m p u l ka n ba hwa
pemberian suplemen n utrisi dua ka li sehari d apat m e n u ru n ka n risiko
terjadi nya u l kus dekubitus.
Selain pen i la i a n risi ko, pengurangan teka nan, d a n penilaian
n utrisi u ntuk pencega han u l kus deku bitus, terd a pat rekomendasi
tambahan untuk pencega han, berupa i ntervensi beri kut ya ng dibuat
oleh N PUAP bersama dengan European Pressure Ulcer Advisory Panel
( E PUAP) dan Pan Pacific Pressure Injury Alliance: 10
1. Dalam memilih support surfaces yang berkonta k langsung dengan
kulit, pertimbangkan a lat yang memiliki tambahan pengontrol suhu
dan kelembapan, sehingga microclimate (suh u dan kelembapan) kulit
pasien terkontrol {Sof: C, SoR : B).
2. Hindari penggunaan alat pemanas, misalnya botol air hangat, heating
pads, bed warmers, berkontak langsung dengan kulit, atau a rea yang
sudah terdapat ulkus dekubitus. Panas a kan meningkatkan laju
metabolik, berkeringat lebih banyak, dan men urunkan toleransi
jari nga n kulit terhadap tekanan {Sof: C, SoR: B).
3. Pertimbangkan penggunaan wound dressing yang terbuat dari
polyurethane foam untuk pencegahan ulkus dekubitus pada a rea
penonjolan tulang. Pemilihan dressings sebaiknya dipertimbangka n :
kemampuan wound dressings dalam menjaga microclimate, ke
mudahan dalam mengaplikasikan maupun melepas wound dressing,
kemudahan untuk tetap menilai kul it, dan kesesuaian u ku ran
wound dressing (Sof: B, SoR: B).
4. Pemakaian bahan ka in ya ng halus seperti sutera lebih baik d i
bandi ngka n dega n ba han katu n a t a u ca m p u ra n kat u n d a l a m
mengura ngi gesera n dan geseka n (Sof: B , SoR: B).
5 . Sti m u lasi elektrik otot pada a rea t u b u h ya ng berisiko t i m b u l u l kus
deku bitus d i rekomendasikan pada pasien dengan cedera tu lang
belakang. Sti mulasi elektri k tersebut mengi n d u ks i kontraksi otot
tetanik interm iten ya ng da pat mengura ngi risiko terjadi nya u l kus
dekubitus {Sof: C, SoR : C).
171
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Rinadewi Astriningrum
PERAWATAN
TERA Pl
172
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
M a nagement of Pressure U lcers
A clean ulcer, without cellulltls A clean ulcer, with cellulltls Necrotic tissue
i
(stage I l l or IV ulcer)
I I
i i i i Perform deb rid eme nt
� i
Stage I Stage II Stage Ill, no Stage IV, no Local Infection Systemic
Sharp, if a dvancing
necrotic tissue necrotic tissue infection or
cellulitls or sepsis
Is present
advancing
Apply Apply moist cellulltls
Autolytlc, enzymatic,
protective dressing, such Apply m oist to absorbent dressing,
or mechanical if
i
dressings, as a transparent such as a hydrogel, foam. or a lginate;
nonurgent
as n eeded film; cleanse consider surgical consultation, as
the wound needed; cleanse the wound (Initially
i
and at each dressing stage)
Apply moist to
absorbent d ressing;
cleanse the wound
No Improvement -- ..
-i
� Toplcal antibiotics; apply
after 14 days moist to absorbent dressing;
i
cleanse the wound
i
cellulltis or sepsis present
Terapi Medikamentosa
174
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Tata Laksana Ulkus Dekubitus
Terapi Non-medikamentosa
175
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Rinadewi Astriningrum
176
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Tata Laksana Ulkus Dekubitus
Tindakan Khusus
1 . Debridement
Debridement merupaka n pem bersihan m ateri nonviable
( nekroti k), benda asi ng, m a u p u n jaringan ya ng sulit menyembuh
pada l u ka . 19 J a ri ngan nekrotik m e n i ngkatka n pert u m b u h a n bakteri
_
dan mengganggu p roses penyembuhan I u ka, sehi nggga harus
dilaku kan debridement sampai eskar terangkat dan ta mpak
jari ngan gra n u lasi. M etode debridement d isesuaikan dengan
keadaan I u ka, kapa bilitas dokter, dan keadaan pasien seca ra
kese l u ruhan. M etode debridement m encaku p seca ra taj a m/pisau,
meka n i k, enzimatik, dan autolitik. 4' 13
Debridement tajam dapat menggunakan skal pel, gunting steril,
atau laser untuk menyingkirkan jari ngan nekrotik dari Iuka . Cara
debridemet ini dapat dilakukan di ruang rawat pasien, namun
debridement untuk jaringan nekrotik yang luas harus dilaku kan di
meja operasi. lndikasi surgical debridement adalah bila terdapat
jaringan nekrotik yang luas serta ingin mencapai hasil yang cepat dan
efektif. Selain itu, juga bila terjadi infeksi atau untuk mengangkat
177
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Rinadewi Astriningrum
eskar yang tebal dan luas (SoE: C, SoR: A). 1° Kontraindikasi adalah bila
terdapat keterbatasan keahlian untuk metode ini, gangguan
vaskularisasi u lkus, dan ketiadaan antibiotik sistemik pada keadaan
sepsis. Kontraindikasi relatif adalah bila terdapat kelainan
4
perdarahan ata u pasien sedang menda pat terapi a ntikoagu lan. ' 13
Debridement seca ra meka n i k mencakup wet-to-dry dressings,
hid roterapi, dan irigasi I u ka . Wet-to-dry dressings dilakukan dengan
cara melembabkan kai n kassa ( kompres) dengan larutan normal
salin yang d iletakkan pada I u ka, kem ud ian kassa dibiarkan
mengering. J a ringan non-vital akan terangkat bila kompres diganti.
N a m u n wet to dry dressings menggunakan kassa sebaiknya
d i h inda ri, oleh karena merepotka n, m enyebabkan nyeri saat kassa
yang kering diangkat, dan desikasi jari ngan ya ng viable apabila
terlalu kering (5of: C, SoR: C). 10 Hidrotera pi denga n berendam pada
kolam a rus berteka nan rendah maupun tinggi efektif menyingkirkan
jaringa n nekrotik, n a m u n tida k dianju rkan dilaku ka n rutin oleh
karena adanya risi ko kontam inasi ((5of: C, SoR: C). 10 l rigasi u l kus
yang efektif da pat dilaku ka n denga n memberikan tekanan yang
berkisa r 4-15 psi ke I u ka dengan menggu nakan syringe 30 ml dan
kateter 18-ga uge ya ng d iisi dengan cai ra n salin (5of: C, SoR: C).
Tekanan i rigasi di bawa h 4 psi tidak efektif membersihkan Iuka,
sedangka n tekanan di atas 15 psi a ka n menyebabkan trauma dan
4
bakteri masuk ke dalam jaringan. • 10' 13' 19 Debridement secara
enzimatik dilakukan dengan aplikasi enzim eksogen pada permukaan
u lkus u ntuk m engangkat jaringan nekrosis. Metode ini relatif cukup
a m a n dan efektif. Zat yang d igunakan sebagian besar menga ndung
papain atau kolagenase. Kolagenase mendegradasi kolagen dan
elastin n a m u n tidak mendegradasi fib ri n . Papain yang dikombinasi
dengan u rea akan mencairka n fi brin dan mendenaturasi kolagen.
Kedua zat i n i diaplikasikan ha nya pada jaringan nonviable pada I u ka,
dan sebai knya tidak dioleskan pada kulit normal di sekitarnya. 19
Debridement ca ra ini berguna pada perawatan jangka panjang
pasien yang tidak dapat m entoleransi surgical debridement, namun
cara tersebut mem butuhkan wakt u yang lama dan sebai knya tidak
d i l a ku ka n bila terdapat i nfeksi. 4' 13
178
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Tata Laksana Ulkus Dekubitus
2. Tindakan bedah
Ti ndakan bedah pada u l kus dekubitus merupakan tinda kan
invasif pilihan terakhir u ntuk I u ka yang refrakter dengan perawatan
konvensional atau bila terdapat indikasi perl u nya penutupan I u ka
ya ng cepat. Ti ndakan bedah dapat diperti m bangkan pada u l kus
dekubitus dengan kom plikasi sel u l itis yang meluas disertai sepsis,
ulkus dengan undermining, sin us, dan/atau terdapat jaringan
nekrotik luas yang sulit dia ngkat dengan metode debridement non
bedah (SoE: C, SoR: A). 10 Pemilihan tindakan bedah j uga disesuaikan
dengan keadaan fisik dan status mental pasien. 20 Walaupun lebih
dari 70% u lkus derajat I I sembuh setelah tera pi adekuat selama 6
bulan, hanya 50% ulkus derajat I l l dan 30% persen ul kus derajat IV
sembuh dalam periode tersebut. Konsu ltasi bedah diperlukan u ntuk
pasien dengan ulkus derajat I l l ata u IV ya ng bersih namun tidak
responsif dengan perawata n I u ka yang optimal atau bila kua litas
h idup pasien dapat meningkat dengan penutupan I u ka yang cepat
(SoE: C, SoR: A). 10 Tera pi bedah mencakup direct closure, skin
grafting, dan flaps. N a m u n saat i n i randomized controlled trials
terapi bedah sa ngat kura ng dan a ngka rekurensi tinggi. 3' 13' 21
TERAPI ADJUVAN
179
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Rinadewi Astriningrum
180
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Tata Laksana Ulkus Dekubitus
181
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Rinadewi Astrin i ngrum
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
1. National Pressure Ulcer Advisory Panel. U pdated staging system. [tanggal
sitasi: 11 M a ret 2016). Tersedia pada: http://www.npuap.org/pr2 . htm.
2. Revis DR. Decu bitus u lcers. e-medicine. 2008. [tanggal sitasi: 19 April 2016) .
Tersedia pada: http://e-medicine. medscape.com/article/190115.
3. Allman RM, Pressure u lcers. Dalam: H azzard WR, Blass J P, Halter J B,
penyunting. Principles of geriatric medicine and gerontology. Edisi ke-5. New
York: McGraw Hill; 2003. h . 1563-9.
4. Bl uestein D, Javaheri A. Pressure ulcers: Prevention, eval uation, and
ma nagement. Am Fam Physician. 2008;78(10) : 1 186-94.
5. Powers JG, Odo LM, Phil lips TJ . Decubitus ( pressure) ulcers. Dalam: Wolff K,
Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, penyunting.
Fitzpatrick's dermatology in general medicine. Edisi ke-8. New York: McGraw
Hill;2012. h . 11 2 1-9.
6. Silverthorn DU. Human physiology a n integrated approach. Edisi ke-2. San
Francisco: Benjamin Cummings; 2001.h.459.
182
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Tata Laksana Ulkus Dekubitus
183
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Rinadewi Astriningrum
184
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Tata Laksana Ulkus Dekubitus
Level 2 Randomized trial(s) with Individual high quality {cross A prospective cohort study.
uncertain results and moderate sectional) studies according to
to high risk of error. the qual ity assessment tools with
consistently applied reference
standard and blinding among
consecutive persons.
Level l Non randomized trial(s) with Non-consecutive studies, or studies Analysis of prognostic
concurrent or contemporaneous without consistently applied factors amongst persons i n a
controls. reference standards. single arm of a randomized
controlled trial.
Level 4 Non randomized trial(s) with Case-control studies, or poor/ non- Case-series or case-control
historical controls. independent reference standard. studies, or poor qual ity
prognostic cohort study,
retrospective cohort study.
Level 5 Case series with no controls. Mechanism-based reasoning, study Not applicable.
Specify number of subjects. of diag nostic yield (no reference
standard).
185
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
PEMILIHAN LESI DAN TEKNIK BIOPSI PADA LUKA
Selviyanti Padma
DEFINISI
Luka d id efi n isikan sebagai gangguan konti n uitas struktur kul it.
Lu ka d i bagi menjadi I u ka a kut d a n kro n is. Luka a kut mela l u i proses
penyembuhan sesuai u rutan wa ktu fisiologis penyembuhan � 2 1
hari. 1 Sementa ra, I u ka kronis gaga l mela l u i p roses tersebut seh i ngga
i ntegritas a nato m i d a n fungsi jari ngan tidak tercapai. 2
ETIOPATOGENESIS
186
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Pemilihan Lesi dan Teknik Biopsi pada Luka
Sistemik Lokal
• Umur • Penyakit vasku lar (vena dan a rteri)
• Mal nutrisi • Neuropati atau teka nan
• Obat-obatan ( korti kosteroid • l nfeksi
dan imunosu presa n) • J a ringan nekrosis pada dasar I u ka
• Obesitas atau tega ngan I u ka yang berlebi h
• Penyakit kronis (gagal jantu ng, • Lingkungan lokal yang tidak ba i k
penyakit a utoimun, h i poksia, ( prod u k topikal atau dressing yang
penyakit endokrin, penya kit tidak tepat, derm atitis kontak, dan
vasku l a r, dia betes, kan ker, dan I u ka yang terlalu basah atau
im unosu presi) terl a l u keri ng)
*Dikutip dengan modifikasi dari kepustakaan no.3
EVALUASI LU KA
187
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Selviyanti Padma
Evaluation of Non
incisional biopsy
Gambar 1. Alur eva luasi Iuka kronis setelah mendapat riwayat penyakit
sekara ng, riwayat pengobatan, keadaan u m u m dan pemeriksaan fisik.
* Dikutip sesuai asli nya dari kepusta kaan no. 3
188
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Pemilihan Lesi dan Teknik Biopsi pada Luka
189
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
...... Vl
(I)
l..O label 1. Pengambilan jaringan dan teknik bedah yang dil akukan pada lesi kulit*
<
0 .;::·
Penya kit QJ
::l
Waktu Pengambilan Lokasi Metode Biopsi
Acrodermatitis chronica atrophicam �
-0
Stadium lanjut Tengah lesi dan jaringan kulit Dua punch.
QJ
a.
normal sekitarnya Alternatif: biopsi insisi meliputi kulit normal dan bagian atroflk
n Passini-Pierini
Atrophodena Stadium lanjut Regio tengah atrofik dan kulit Dua punch. 3
normal sekitarnya Alternatif: biopsi insisi meliputi kulit normal dan bagian atroflk
QJ
Eritema multiforme Lesi target Satu dari daerah tengah yang Punch
gelapfkehitaman; satu dari tepi
eritematosa
Eritema nodosum dan semua panikulitis Lesi aktif, minggu pertama Tengah lnsisi dalam meluas ke subkutis, dengan kultur jaringan
BP: Bullous pemphigoid; Pl/: Pemphigus vulgaris; DH: Dermatitis herpetiformis; PCT: Porphyria cutanea tarda; EBA: Epidermolisis bull-Osa acquisita; SSJ: Steven johnson's syndrome;
TEN: Toxic epidermal necrolysis; SSSS: Staphyloccal scalded skin syndrome.
* Dikutip dari kepustakaan no. 4 dan 6 "Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Lanjutan Tabel 1. Pengambilan jaringan dan teknik bedah yang dilakukan pada lesi kulit*
Nephrogenic /ibrosing dermopathy Plak sklerotik Area berindurasi atau plak sklerotik Dua punch 5 mm. Lesi punch dibagi dua. Satu untuk
dan kulit tampak normal pemeriksaan patologis dan satu dengan kulit normal untuk
identifikasi gandolinium (bila tersedia)
PlfVA 2·3 minggu Papul nekrotik Punch
Pioderma gangrenosurn Lesi kecil, awal non-ulseratif Seluruh lesi Eksisi dengan kultur jaringan
dan penyakit ul5eratif
lb?lapsing po/ychondritis Lesi ulseratif Ulkus dengan tepi Punch 5 mm dengan kultur
Lesi aktif Telinga Punch sampai pinna, diikuti dengan penjahitan kulit pada
kedua sisi lebih dipilih dibandingkan wedge biopsy
Nasofaring Biopsi oleh dr. THT
Slderomiksederna Kulit sklerotik Papul berbintik·bintik Punch
Urtikaria dan urticaria/vasculitis Aktif tiga hari Lesi Punch
Vakulitis, pembuluh darah kecil Minggu pertama Purpura yang menimbulfteraba Punch dalam. insisi atau eksisi
(palpable)
Vaslrulitis, vena atau arteri Minggu pertama Tengah lesi lnsisi dalam
sedang/besar
Vaslrulitis, livedo Kapan saja Tengah (cincin non-livid atau Punch dalam atau insisi
eritematosa)
Penyakit vesikobulosa (BP, PV, DH, Lesi awal (bila mungkin • Vesikel kecil intak Shove atau insisi
linear ICA, PCT, EBA, dll.) <12jam) • Perilesi � 1 cm dari tepi
vesikel/bula (imunofluoresensi)
SSJ/TEN/SSSS Lesi awal Vesikel/kulit deskuamasi Shave
BP: Bullous pemphigoid; PV: Pemphigus vulgaris; OH: Dermatitis herpetiformis; PCT: Porphyriil rutanea tarda; EBA: Epidermolisis bullosa acquisita; SSJ: Steven johnson's syndrome;
TEN: Toxic epidermal neaolysis; SSSS: Staphyloccal scalded skin syndrome.
• Dikutip dari kepustakaan no. 4 dan 6
PENUTUP
192
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Pemilihan Lesi dan Teknik Biopsi pada Luka
DAFTAR PUSTAKA
1. Luttrell T . H ealing response in acute a n d chronic wounds. Da lam: H a m m RL,
penyunting. Text and atlas of wou nd diagnosis and treatment. New York: Mc
Graw H i l l ; 2015. h . 15-67.
2. Lazarus GS. Definitions and guidelines for assessment of wounds and
evaluation of healing. Arch Dermatol . 1994; 130(4):489-93.
3. Morton LM, Phillips TJ. Wound healing and treating wounds: Differential diagnosis
and evaluation of chronic wounds. J Am Acad Dermatol. 2016;74:589-605.
4. Sina B, Kao GF, Deng AC, Gaspa ri AA. Skin biopsy for inflammatory and
common neoplastic skin d iseases and optimum time, best location and
preferred tech niques: A critical review. J Cutan Pathol. 2009:36: 505-10.
5. Nischal U, Nichal KC, Khopkar U. Tech niques of skin biopsy and practical
consideration. J Cutan Aesthet Surg. 2008; 1(2):107 -11.
6. Elston DM, Stratman EJ, Miller DJ, Skin biopsy. Biopsy issues in specific
diseases. J Am Acad Dermatol . 2016;74: 1-16.
7. Senet P, Combemale P, Debure C, Baudot N, Machet L, Aout M, dkk. Malignancy
and chronic leg ulcers: The value of systematic wound biopsies: A prospective,
multicenter, cross-sectional study. Arch Dermatol. 2012;148(6) :704-8.
8. Sabin SR, Goldstein G, Rosenthal HG, Haynes KK. Aggressive squamous cel l
carcinoma originating as a M a rjolin's ulcer. Dermatol Surg. 2004;30(2):229-30.
9. Hwang Kun, Han JY, Lee SI. M u ltiple ma lignant melanomas at d ifferent burn
scar areas: A case report. Dermatol Surg. 2004;30:562-65.
10. Combemale P, Bousq uet M, Kanitakis J, Bernard P. Ma lignant transformation
of leg ulcers: A retrospective study of 85 cases. J Eur Acad Dermatol Venereo l .
2007;21 :935-41.
11. Alavi A, Niakosari F, Sibbald RG. When and how to perform a biopsy on a
chronic wou nd. Adv Skin Wound Care. 2010; 23:132-40.
193
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
SIFILIS: APAKAH HANYA SUATU PENYAKIT KELAMIN?
Euis Mutmainnah
PENDAHU LUAN
EPIDEMIOLOGI
194
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Sifilis: Apakah Hanya Suatu Penyakit Kelamin?
ternyata cukup berva riasi. Preva lensi sifi lis d itemukan cenderu ng
meni ngkat pada lela ki ya ng berh u bu ngan seksual denga n lelaki l a i n
( LSL), ya kn i sebesar 1 1,3% p a d a tah u n 2013, apabila d i band ingkan
dengan hasil survei sebelu mnya pada tah u n 2009 ya ng hanya sebesar
8%. 6
Saat i n i sifi lis telah berke m bang d a ri I MS menjadi masal a h
tra nsmisi ibu k e janin ya ng men i ngkatka n komplikasi keh a m i l a n d a n
kejadian sifilis kongenita l . Centers for Disease Control a n d Prevention
(CDC) Amerika Serikat mela porkan ada nya peningkata n kasus sifi lis
pada wa n ita dari tah u n 2013 h ingga 2014 sebesa r 22,7%. Semakin
tingginya kasus sifi lis pada wa n ita akan meningkatka n kasus sifilis
kongen ita l pada bayi, ya kni sebesa r 37% kasus d a ri tahun 2012 ke
2014. 2 Data WHO di Indonesia ta h u n 2013 m e n u nj u kka n bahwa
pelapora n kasus sifilis ya ng terdeteksi pada pemeriksaa n a ntenatal
hanya sebesar 1%. 7 l b u h a m i l dengan sifilis d i n i yang tidak d iobati
memiliki risiko kematian j a n i n dan neonatus masing-masing sebesa r
25% dan 14%, serta angka kematian perinatal sebesa r 40%. 8
PATOGENESIS
Sifilis adalah penyakit i nfeksi bersifat kronis dan sistemik yang di
9
sebabkan oleh Treponema pal/idum subspesies pallidum ( T. pallidum).
Patogen tersebut termasuk ke dalam kelompok bakteri berbentuk
spiral atau Spirochaetaceae, serta berkaitan dengan Treponema
patogen lain yang menjadi penyebab penyakit nonvenereal.
Bakteri T. palfidum masuk ke dalam tubuh manusia mela l u i per
mukaan atau mu kosa kulit yang mengalami abrasi. 10 Organisme ini m e
masu ki jaringan dan a liran darah dalam waktu singkat, kem ungkinan
melewati taut antara sel -sel endotel. Selama infe ksi ba kteri a kut, sel
yang perta ma menginfi ltrasi lokasi infe ksi ialah leukosit poli morfo
n u klear ( P M N ) . 10 Leu kosit P M N sela njutnya a ka n d igantikan oleh
l imfosit yang mensekresikan l i mfokin sehi ngga menarik dan meng
aktivasi makrofag. 11 Pajanan terhadap T. pallidum secara terus menerus
akan menstimulasi sel l imfosit B, 10 sedangkan sel plasma ya ng d itemu
kan pada infiltrat, menunj u kkan respons h um ora l yang menga l a m i
elisitasi, dan selanj utnya membentuk a ntibodi terhadap T. pallidum. 11
195
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Euis Mutmainnah
!
Exposure
Primary incubc1tron
1 0- 90 davs from e11 posure
j
Primary syphilis ---�--- Early neurosyph11is
CNS invasion �---- ,------.,
{25°tJ 60"oJ
Chancre formation
nJect·u...�
Secondary incubation
4 10 weeks a11cr
v1a se> al tr appearance ol chancre
motner-t -chrld Recurrence
Iransmrss10'r (24°0)
Secondary syphilis --._..._/ Asymptomattc Symptornatrc
l
f5'-',,,}
\ic•11ng1t·s
Crarna neuritis
Ot1J;a1 1nvci·veme
1�--Early latent syphilrs
r�1
MemrgovascL.lar
_..
(Asyrn<JtornalicJ disease
<I year post1nfecl1on
�--
l
Late latent syphilis
tAsyrnpto1na11cJ
>I year pos11nlcc11on
Terliary syphilis
j l
Terttary syph1l1s
'
Gambar 1. Perjalanan alami sifilis yang tidak d iobati
* Dikutip dari kepustakaan no.11
196
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Sifilis: Apakah Hanya Suatu Penyakit Kelamin?
Sifilis Primer
Sekitar sepertiga individu normal ya ng konta k dengan lesi sifilis
dini a ka n terinfeksi. Periode i n ku basi sifilis kisaran 10-90 h a ri ( rata
rata 3 m i nggu) sebelum timbul lesi primer di lokasi penetrasi
Treponema. Lesi awa l berupa makula merah redu p ya ng berkembang
menjadi papul, kemudian mengalami u l kus atau u l serasi di bagian
tengah . U l kus ini berbentuk bulat atau ova l, berdia meter sekita r 1
cm, berbatas tegas, tepi rata, dengan i n d u rasi keras ata u kenya l . J i ka
tidak ada tra u ma atau i nfeksi sekunder, u l kus tidak terasa nyeri.
Dasar u l kus bersih dan berwa rna mera h kecoklata n, serta dapat j uga
ditemukan krusta kekuningan ata u ja ringan nekroti k kea bua n . 11
Ul kus genital berukuran 1-2 cm yang tidak nyeri merupaka n petunj u k
penti ng d a l a m a na m n esis perjalanan i nfeksi sifi l is. 14
Lokasi ulkus sifilis primer tersering adalah di a rea genital, perinea!,
atau anal. Meskipun demikian, u l kus dapat ditemukan pada setiap
bagian tubuh bergantung pada cara hubungan seksual yang dilakuka n .
Sebagian besa r ulkus pada pria terdapat di pen is, d a n pada wanita d i
labia, fourchette, atau serviks. 14 J i ka tidak diterapi, ulkus dapat menetap
1-6 minggu. Akan tetapi, bila segera diobati ulkus akan mengalami
resolusi dalam 1-2 minggu dan menyembuh tan pa jaringan parut. 11
Ulkus yang bersifat m u ltipel, lebih dalam, lebih besa r, dan suka r sembuh
umumnya dijumpa i pada pasien sifilis dengan ko-infeksi H IV. 14• 15
Sifilis Sekunder
Erupsi lesi sifilis sekunder umumnya terjadi 3-12 minggu setelah
timbul lesi primer, namun dapat beberapa bulan setelah nya atau
sebaliknya timbul sebelum lesi primer menghilang. 11 Sifilis sekunder
terjadi karena penyebaran hematogen dan l i mfogen T. pallidum. 16
Meskipun ja ra ng, man ifestasi kl i n is da pat d iserta i gejala prodromal,
misal nya mala ise, nafsu m a ka n men u ru n, demam, nyeri kepala, ka ku
197
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Euis Mutmainnah
leher, la krimasi, mia lgia, a rtra lgia, pilek, h ingga depresi. Aka n tetapi,
sebagia n besa r pasien hanya menga la m i eru psi di kul it. 11
Lebih dari 95% erupsi sifilis sekunder berupa makular, makulo
papular, papular, atau a n u l a r. Eru psi nod ular dan pustu lar jarang
ditemuka n . Lesi vesikobulosa umumnya terlihat pada sifilis kongenital.
Erupsi seringkali berpola simetris dan dapat polimorfik. Sebagian kecil
kasus sifilis sekunder disertai pruritus. Tahap sekunder ini umumnya
a ka n membaik d a l a m 4-12 m i nggu . Pasien i m u nokom promais dapat
menga l a m i ga m ba ra n sifilis m a l igna, ya itu papulopustul dan nodus
generalisata ya ng menjadi nekroti k, beru lserasi, dan dilapisi oleh
krusta rupioid menyeru pai kulit kera ng. 11' 17
Sifilis Laten
Sifilis Tersier
Sifi lis yang tidak d itata laksana akan berkembang menjadi sifilis
tersier pada sepertiga kasus. M a n ifestasi klinis uta ma tahap ini
terbagi atas sifi lis j i n a k l a nj ut, sifi l is ka rdi ovasku lar, dan neurosifilis. 18
Sifilis jinak lanjut meliputi semua manifestasi si mtomatik sifilis setelah
tahap sekunder yang tida k melibatkan kardiovaskular ataupun sistem
saraf. Lesi pada sifilis ini timbul a kibat respons inflamasi yang di
perantarai sel terhadap sejumlah kecil Treponema di jaringan. Organ
yang sering terlibat ialah kulit (70 %), membran m ukosa ( 10,3 %), dan
tulang (9,6 %). Lesi kulit terbagi atas tiga tipe, yaitu nodus granulo
matosa, plak granulomatosa psoriasiformis, dan guma. 19
198
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Sifilis: Apakah Hanya Suatu Penyakit Kelamin?
199
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Euis Mutmai nnah
TATA LAKSANA
200
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Sifilis: Apakah Hanya Suatu Penya kit Kelamin?
201
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Euis Mutmainnah
Regimen rekomendasi :
•!• Benzilpenisilin benzatin (nama lai n : penisilin G benzatin, benzatin
IU, i njeksi i ntra musku l a r, setiap hari selama 10 hari beru ruta n .
Regimen a lternatif u nt u k pasien alergi penisilin dan tida k hamil
•!• Doksisikl i n oral 2 x 100 mg selama 14 hari, ata u
• Sifilis laten lanjut (durasi i nfeksi lebih dari 2 tahun tanpa gejala klinis)
Regimen rekomendasi
•!• Benzilpenisi l i n benzatin 2,4 juta IU, i njeksi i ntra m usku lar, sekali
Regimen a lternatif
•!• Benzil penisilin proka i n, 1,2 j uta IU, i njeksi i ntra musku lar, setiap
Catatan:
Kasus sifi l is tersier dengan temuan negatif pada CSS (gu mma dan
sifilis kardiovaskula r), sesuai rekomendasi CDC tahun 2015, diberikan
tera pi benzilpe n isi l i n benzati n 2,4 j uta I U, i njeksi i ntra musku lar,
seka l i setiap m inggu selama 3 m inggu beru rutan . 27
202
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Sifilis: Apakah Hanya Suatu Penyakit Kelamin?
• Neurosifilis
Regimen rekomendasi
•:• Benzilpenisilin dalam a kuades (nama lain: potasium benzilpenisilin,
Catatan:
Sistem sa raf pusat dapat terli bat dalam setiap sta d i u m sifi l is.
Gejala klinis keterlibatan neurologis mengi n d i kasikan pemeri ksaan
CSS. Pemeriksaan CSS juga d isara n ka n u nt u k semua pasien dengan
durasi lebih dari 2 tah u n, ata u tidak d i keta h u i d u rasinya, u ntuk
mendeteksi neurosifi l is asimtomatik.
Sifilis kongenital
• Sifilis kongenital awal ( h i ngga usia 2 tah u n ) d a n bayi dengan CSS
abnormal
Regimen rekomendasi
•:• Benzilpen isil i n dalam a kuades 100.000-150.000 I U/kg/hari,
diberikan dosis 50.000 I U/kg/ka li setiap 12 jam, selama 7 hari
pertama kehidupan dan selanjutnya setiap 8 jam h ingga usia 10
hari, atau
•:• Benzi l penisilin proka i n 50.000 I U/kg, i njeksi i ntra m usku lar, dosis
203
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Euis Mutmainnah
Catatan:
Ant i m ikroba selain pen isilin ( misalnya eritromisi n ) tidak
d i re komendasika n u ntuk sifilis kongen ital, kecuali pada kasus
a lergi penisi l i n . Tetrasiklin tidak boleh d iberikan pada a nak.
204
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Sifilis: Apakah Hanya Suatu Penyakit Kelamin?
Tabet 2. Terapi sifi lis primer, seku nder, dan laten awa l *
Berdasarkan pedoman Centers for Disease Control and Prevention, Amerika Serikat
dan International Union against Sexually Transmitted Infection, E ropa.
(Level of
Obat Dos is Durasi
Evidence
Pen isi lin Benzatin 2,4 j uta u n it, IM Dosis tu ngga l lb
Pen isi l i n Proka i n 600.000 u n it/hari, I M 10-14 h a ri llb
Doksisiklin 1 x 200 mg, per oral 14 h a ri 111
Tetrasiklin 4 x 500 mg, per oral 14 h a ri 111
Eritromisin 4 x 500 mg, per oral 14 h a ri IV
Azitromisin 2 g, per oral Dosis tu nggal lb
Seftriakson 500 mg/hari, I M 10 h a ri lb
I M : intramuskular
* Dikutip dari kepustakaan no. 26.
205
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Euis M utmainnah
Obat Level of
Dosis Durasi
Evidence
Penisilin 12-24 juta un it/hari, 18-21 hari 111
Krista fin 3-4 j uta un it/4 jam IV 10-14 hari
Penisilin 1,2-2,4 juta unit/hari, 10-17 hari lib
Proka i n I M , d a n probenesid 10-14 hari
4 x 500 mg, per o ra l
Doksisiklin 2 x 200 mg, per ora l 28 hari IV
IV: intravena, I M : intra m uskular
* Dikutip dari kepustakaan no. 26.
PEMERIKSAAN LANJUTAN
206
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Sifilis: Apakah Hanya Suatu Penyakit Kelamin?
usia kehamilan, j i ka tidak alergi terhadap pen isilin, maka harus diterapi
denga n penisilin sesuai dosis yang direkomendasikan bagi pasien tidak
hamil. 13 Usaha u ntuk mencegah keterlibatan dan kematian janin harus
difokuskan secara optimal di usia gestasi sed i n i m ungkin . 23
Pada ta h u n 2007, W H O menge m u kakan strategi u nt u k meng
eliminasi sifilis konge n ita l secara globa l . Strategi nya berdasa r pada
empat pilar, yaitu (1) memastikan komitmen politik dan kebijakan yang
mendukung; (2) meningkatkan akses dan kualitas pelayanan kesehatan
maternal dan perinatal; (3) penapisan dan terapi perempuan hamil dan
pasangannya; dan (4) membangun sistem surveilans, pengawasan, dan
evaluasi.30
Di Indonesia, program pencegahan MTCT sifilis sudah dilaksana
kan seiring dengan program pencegahan H IV. Program tersebut dapat
dilaksanakan di selu ru h fasilitas pelaya nan kesehatan, bai k strata primer
hingga ruju kan, dengan cara memaksimalkan kesempatan tes HIV dan
sifilis bagi perempuan usia reproduksi, ibu hamil, dan pasangannya
melalui penyediaan uji diagnostik cepat HIV dan sifilis, serta
memperkuat jejaring rujukan layanan. Penapisan I MS dan uji diagnosti k
sifilis disara n kan sebagai bagian dari paket perawatan antenatal terpadu
mulai dari kunjungan pertama h ingga persalinan. Program ini perlu
partisipasi laki-laki sebagai pasangan dalam mendukung keberhasilan . 31
Perkembangan penelitian dalam kontrol sifilis lainnya ialah usaha
produksi vaksi n sifilis. Satu studi menggunakan gamma-irradiated T.
pallidum dengan dosis i ntravena multipel menunjukkan proteksi
sempurna terhadap infeksi pada kel i nci. Hal tersebut masih memerlukan
studi lanjutan hingga akhirnya dapat diterapkan kepada manusia. 12
PENUTU P
207
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Euis Mutmai nnah
DAFTAR PUSTAKA
1. Goh BT. Syphilis in adult. Sex Tra nsm Infect. 2005;81:448-52.
2. National Centre for HIV/AIDS, Viral Hepatitis, STD, and TB Prevention CDC.
Changing the story of syphilis [situs internet]. 2016 [disitasi pada tanggal 13
November 2016). Dapat diunduh di https://www.cdc. gov/std/products/success/
changing-the-story-of-syphilis-success-story-508c.pdf.
3. World Health Orga nization. Global prevalence and incidence of selected
curable sexua lly transmitted infection : Overview and estimates. Geneva :
World Health Organ ization; 2001.
4. Hook EW, Peeling RW. Syphilis control-a continuing chal lenge. N Eng J Med.
2004;351(2): 122-4.
5. French P. Syphilis. BMJ. 2007;334:143-7.
6. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Komisi Penanggu langan AI DS,
Family Health International-Program Aksi Stop AIDS. Surveilans terpadu
biologis perilaku (STBP) pada kelompok berisiko tinggi tahun 2013 [situs
internet]. 2014 [disitasi pada tanggal 13 November 2016). Dapat diunduh di
http://www.slideshare. net/ditkeswa/finalstbp-totald raft13-januari1.
7. World Health Organization. Sexually transmitted infections: percentage of antenatal
care attendees for syphilis latest reported since 2005 [situs internet]. 2014 [disitasi
pada tanggal 13 November 2016). Dapat diunduh di http://gamapserver.who.int/
gho/interactive_charts/sti/anc_syphilis_ positive/atlas. html.
8. Kementerian Kesehatan Repu blik Indonesia, Direktorat Jen deral Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan . Pedoman Nasional Penanganan lnfeksi
Menular Seksual 2011. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI; 201 1.h.4-74.
9. H uta pea NO. Sifilis. Da l a m : Daili SF, Makes WIB, Zubier F, penyunting. lnfeksi
Menular Seksual. Edisi ke-4, cetakan ke-1. Jaka rta: Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Un iversitas Indonesia; 2009. h. 84-102.
10. Sanchez MR. Syphilis. Dalam : Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS,
Leffel DJ, penyunting. Fitzpatrick's dermatology in general medicine. Edisi ke-7.
New York: McGraw-Hill Companies; 2008. h. 1955-77.
11. Ho EL, Lukehart SA. Syphilis: Using modern approaches to understand an old
d isease. J Clin I nvest. 2011;121(12) :4584-4592.
12. World Health Orga n ization. Treatment of specific infections. Dalam: Guideli nes
for the management of sexually transmitted infections. 2003. h. 39-46.
13. Sparling PF, Swartz M N , M usher DM, Healy BP. Clinical man ifestations of
syphilis. Dalam: H ol mes KK, M ard h P, Sparling PF, Lemon SM, Sta mm WE, Piot
P, dkk, Penyunting. Sexually tra nsmitted diseases. Edisi ke-4. New York:
McGraw-Hill; 2008. h. 660-88.
208
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Sifilis: Apakah Hanya Suatu Penyakit Kelamin?
14. Karp G, Schlaeffer F, Jotkowitz A, Riesen berg K. Syphilis and HIV co-infection.
Eur J Internal Med. 2009;20:9-13.
15. Zetola N M, Klausner JD. Syphilis and H IV infection: An u pdate. Clin Infect Dis.
2007;44: 1222-8.
16. Karu mundi U R, Augenbra u n M . Syphilis and H IV: A dangerous duo ( report). Exp
Rev Anti-infect Ther. 2005;3(5) :825-7.
17. Tucker JD, Shah S, Jarell AD, Tsai KY, Zembowicz A, Kroshinsky D. Lues maligna
in early HIV infection case report and review of the literature. Sex Transm Dis.
2009; 36(8):5 12-4.
18. Ghanem KG. Neurosyph ilis: a h istorical perspective and review. CNS Neurosci
Ther. 2010; 16:e 157-68.
19. Revathi TN, Bhat S, Asha GS. Benign nodular tertiary syphilis: A rare presenting
manifestation of HIV infection. Dermatol Online J. 2011; 17(2):5.
20. World Health Organization. Eliminating congenital syphilis [situs internet]. 2016
[disitasi pada tanggal 13 November 2016]. Dapat diunduh di
http://www.who.int/reproductivehealth/topics/rtis/syphilis/en/.
21. Saloojee H. The prevention and management of congenital syphilis: an overview
and recommendations. Bull World Health Organ. 2004;82:424-30.
22. Berman SM. Materna l syphilis: patophysiology and treatment. Bull World
Health Organ . 2004;82:433-8.
23. Woods CR. Syph ilis in children : congenital and acquired. Seminars i n Ped Infect
Dis. 2005; 16(4) :245-57.
24. Mattei PL, Beachkofsky TM, Gilson RT, Wisco OJ . Syphilis: a reemerging
infection. Am Fam Physician. 2012;86(5) :433-40.
25. Tucker JD, Bu J, Brown LB, Yin Y-P, Chen X-S, Cohen MS. Accelerating
worldwide syphilis screening through ra pid testing: a syste matic review. Lancet
Infect Dis. 2010; 10:381-6.
26. Pastuszczak M, Wojas-Pelc A. Current sta nda rds for daignosis and treatment of
syph ilis: selection of some practical issues, based on the European (I USTI) and
U.S. (CDC) guidelines. Postep Derm Alergol 2013; 30(4) :203-10.
27. Centers for Disease Control and Prevention. Syphilis. Dalam: 2015 Sexually
Transmitted Disease Treatment Guidelines [situs internet]. 2015 [disitasi pada 14
November 2016]. Dapat diunduh di http://www.cdc.gov/std/tg2015/ syphilis. html.
28. Bai ZG, Yang KH, Liu YL, dkk. Azithromycin vs. benzathine penicillin G for early syphilis:
A meta-analysis of randomized clinical trials. Int J STD AIDS 2008; 19:2 17-21.
29. Ghanem KG, Workowski KA. Ma nagement of adult syphilis. Clin Infect Dis.
2011;53(suppl 3) :S110-28.
30. World Hea lth Orga nization, Department of Reproductive Health and Research.
The global elimi nation of congenital syphilis: rationa le and strategy for acti on.
WHO: 2007. h . l-48.
31. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman Nasional Pencegahan penularan
HIV dari lbu ke Anak. 2011 [disitasi pada tanggal 13 November 2016]. Dapat
diunduh di http://www.indonesian-publichealth .com/kebijakan-program-pmtct/.
209
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
KUTIL ANOGENITAL: TATA LAKSANA KOMPREHENSIF
H anny Nilasari
PENDAHULUAN
2 10
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Kutil Anogenita l : Tata laksana Komprehensiif
PENDEKATAN KUNIS
211
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Hanny Nilasari
TATA LAKSANA
Seperti d isebutka n sebelu m nya, tidak ada satu pun tata laksana
tu nggal dalam menanga n i kasus KA. E radikasi ata u red u ksi ukuran
kutil merupa ka n tujuan utam a dalam penanganannya . Strategi umum
penanganan adalah dengan menghilangkan massa kutil semaksimal
m u ngkin h i ngga semua lesi m engh ilang dan sistem i m u n itas tubuh
da pat mengendalikan rep l i kasi virus. Kendati demikian, tidak bera rti
h i l a ngnya lesi a ka n m e n u ru n ka n a ngka i nfeksi ka rena adanya sifat
latensi virus. 7-9
Meskipun terapi standar u ntuk kutil kelamin dapat menghilangkan
sebagian kutil, keu nggulan modalitas pengobatan tunggal belum
terbukti. Tidak setiap modalitas ideal u ntuk semua individu dan semua
jenis kutil.9 Banyak faktor yang memengaruh i pengobatan infeksi ini
termasuk ukuran, morfologi, j u mlah, serta bentu k lesi. Perhitungan
biaya, efek sa m p ing, ka ra kte ristik, preferensi pasien, dan tera pi
sebe l u mnya juga haru s d i pe rtimbangka n . 9- 11
Edukasi pada pasien tenta ng sifat virus dan cara pen u l a ran
sa ngat penting d iberika n . Keteraturan kontrol d a n pengobatan juga
perlu disampaikan, teruta m a kepada pasien i m u nokompromais
ba hwa tata l a ksana perlu d iberikan dalam d u rasi lebih panjang
d i bandingka n popu lasi sehat. Diperl u ka n pemeri ksaan tambahan
lanjut setelah erad i kasi seluruh kutil gen ita l karena apabila i nfeksi i n i
t i d a k seluruh nya bersih, i nfeksi dapat berula ng, ba h ka n dapat
berke m bang menjadi lesi p ra ka n ker pada servi ks, vu lva, vagina, anus,
pen is, atau m u l ut. 9' 12' 13
2 12
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Kutil Anogenital : Tata Laksana Komprehensiif
lmiquimod
Interferon Alfa
Podofilotoksin
2 13
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Hanny Nilasari
Tinktura Podofilin
2 14
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Kutil Anogenital: Tata Laksana Komprehensiif
c. Laser C02
Metode i n i d i la ku ka n oleh dokter d a n diperl u ka n ketera m p i l a n
khusus ( Rekomendasi I la, level of evidence B). 17' 18 Terapi laser
d i re komendasikan u ntuk lesi d i a nogen ital, vagina, dan serviks,
serta utamanya u ntuk l esi beru kuran besar. Angka efi kasi
215
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Hanny Nilasari
2 16
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Kutil Anogenital: Tata Laksana Komprehensiif
PENUTU P
DAFTAR PUSTAKA
1. Villiers EM, Fauquet C, Broker TR, Bernard H U, Hausen HZ. Classification of
papil lomaviruses. Virology. 2004;324 : 1 7-27.
2. Myers ER, McCrory DC, Nanda K, Bastian L, Matchar DB. Mathematical model
for the natural history of h u ma n papil lomavirus infection and cervical
carcinogenesis. Am J Epidemiol. 2000; 1 5 1 : 1 158-71.
3. Cogliano V, Baan R, Straif K, Grosse Y, Secretan B, El G hissassi F, dkk.
Carcinogenicity of h u man papillomavi ruses. La ncet Oncology. 2005;6:204.
4. Jemal A, Simard EP, Darell C, Noone AM, Ma rkowitz LE, Kohler B, dkk. Annual
report to the nation on the status of cancer, 1975-2009, featu ring the burden
and trends in human papil lomavirus ( H PV)-associated cancers and H PV
vacci nation coverage levels. J Natl Cancer Inst. 2013;105: 175-201.
5. Holmes King k, Mardh PA, Sparling FP, Lemon SM, Stam WE, Piot Peter,
Wasserheit JW, penyunting. Sexually transmitted intestinal syndromes. Da lam:
Sexually tra nsm itted diseases, edisi ke-4. N ew York: Mc Graw-H i l l ; 2008.
h . 1296-97.
6. Freedberg I M, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, Kazt SI, penyu nti ng.
Wartz. Da lam: Fitzpatrick's dermatology in general medici ne, edisi ke-6. New
York: McGraw-H ill; 2012. h . 2 120-30.
7. Handsfield H H . Viral sexually transm itted disease. Da lam: Color atlas and
synopsis of sexually transmitted diseases, Edisi ke-3. N ew York: McGraw-Hill;
2001. h . 133-48.
8. Gilson R, Nathan M, Sonnex C, Lazaro N, Keirs T. Clinical effectiveness group
BASH H : UK national guidelines on the ma nagement of anogenital wart: 2015.
9. Von Krogh G, Lacey C, Gross G, Barrasso R, Schneider A. E u ropean cou rse on
HPV associated pathology: Guidelines for primary care physicians for the
diagnosis and ma nagement of anogenital warts. Sex Tra nsm I nfect. 2000
Jun;76 (3): 162-8.
2 17
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Hanny N ilasari
218
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
SKABIES: PRURITUS, DERMATITIS PASCATERAPI,
DAN KONTROVERSI KORTIKOSTEROID
Rahadi Rihatmadja
"... at the battle of Toulon, Napoleon caught another malady - "the itch"
known in French as "La Gale". He caught scabies from a wounded gunner
whom he tried to help. He had lifted the wounded man to safety, but failed
to see that the man was covered with scabies. Being covered himself with
perspiration, Napoleon contracted the scabies.. . We do know that [he]
suffered from intermittent skin eruptions during his lifetime. "
Peter Friedman; Another Napoleonic Mystery -- Napoleon 's Death1
PENDAHULUAN
2 19
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Rahadi Rihatmadja
220
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Skabies: Pruritus, Dermatitis Pascaterapi, dan Kontroversi Kortikosteroid
221
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Rahadi Rihatmadja
222
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Skabies: Pruritus, Dermatitis Pascaterapi, dan Kontroversi Kortikosteroid
PENUTU P
223
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Rahadi Rihatmadja
DAFTAR PUSTAKA
1. Friedman P. Another Napoleonic Mystery - Napoleon's Death . Napoleon .org
The History Website of The Foundation Napoleon. [diakses tanggal 1
November 2016]. Tersedia d i : https://www. napoleon.org/en/h istory-of-the
two-empires/articles/another-napoleonic-mystery-napoleons-death/.
2. Ramos-e-Silva M. Giova n Cosimo Bonomo (1663-1696): Discoverer of the
etiology of sca bies. I nternational Journal of Dermatology 1998;37(8): 625-30.
3. Hay RJ, Steer AC, Engelman D, Walton SF. Scabies in the developing world - its
prevalence, complications, and management. Clin Microbiol I nfect. 2012;18:313-23
4. Monroe J. Debunking the myths surrounding scabies. [diakses tanggal 2 November
2016]. Tersedia di: http://www.clinicaladvisor.com/features/debunking-the
myths-su rrounding-scabies/article/161840/2/.
5. Joh nston G, Sladden M . Scabies, d iagnosis and treatment. BMJ 2005;
331(7517): 619-22.
6. Ba rry M. Scabies. Medscape. [diakses tangga l 6 November 2016). Tersed ia di:
emedicine. medscape.com/article/1109204-overview#a l .
7. Mancini AJ , Frieden IJ, Paller AS. I nfantile acropustulosis revisited: history of
scabies and response to topical corticosteroids. Pediat Dermatol. 1998;15:337-41
8. Walton SF. The immunology and suscepti bil ity and resistance to scabies.
Australasian l m m u noparasitology 2010;38:532-40.
9. Hengge U R, Cu rrie BJ, Jager G, Lupi 0, Schwa rtz RA. Scabies: A ubiquitous
neglected skin disease. La ncet I nfect Dis. 2006;6:769-79.
10. Shinkai K, Rosenbach M, Ahronowitz I, Harp J, Wintroub BU, Berger TG.
Therapeutic strategies in dermatology. [diakses tanggal 6 November 2016].
Tersedia di: https://www.dermlOl.com/therapeutic/sca bies-2/principles-of
management-of-sca bies/.
11. Scabies. American Osteopathic Col lege of Dermatology. [diakses tanggal 8
November 2016]. Tersedia d i : www.aocd .org/?page=Sca bies.
12. Guideline for Management of Scabies. [diakses tanggal 8 November 2016].
Tersedia di: http://ww. moh .gov.my/index.php/file_manager/dl_item/.
13. Sa ndre M, Ralevski F, Rau N . An elderly long-term care resident with crusted
sca bies. Can J I nfect Dis Med Microbio l . 2015;26( 1 ) : 39-40.
14. Binic I, Jankovic A, Jova novic D, Lj ubenovic M. Crusted ( Norwegian) scabies
following systemic a n d topical corticosteroids. J Kor Med Sci . 2010; 25: 188-91
15. Das A, Bar C, Patra A. Norwegian sca bies: A rare case of erythroderma. Indian
Dermatol Online J . 2015;6:52-4.
16. Sca bies: Freq uently asked questions. Centers for Disease Control and
Prevention . [dia kses 15 November 2016] . Tersedia di:
http ://www.cdc.gov/parasites/sea bies/gen_i nfo/faqs. htm I.
17. 99 greatest quotes by Napoleon Bonaparte. [diakses tanggal 25 Desember 2016]
tersedia di: www.quotesigma.com/99-greatest-quotes-by-napoleon-bonaparte/.
2 24
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
TATA LAKSANA TUMOR JINAK KULIT
PENDAHULUAN
225
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Inge Ade Krisanti
MODALITAS TERAPI
1. Bedah listrik
Bed a h l istrik ata u electrosurgery merupakan prosed ur yang
mema nfaatkan daya tahan ja ringan terhadap arus l istrik bola k-ba lik
frekuensi tinggi sehingga m a m p u yang menyebabkan kerusa kan
j a ri ngan a ki bat panas. 2
Alat bedah listrik m enyediaka n fasilitas yang memu ngkinkan
u ntuk meningkatkan Ampere dan frekuensi, j uga melaku ka n modifikasi
bentuk gelombang yang sesuai denga n indikasi klinis. Spark-gap unit
paling banyak digunakan u ntuk elektrodesikasi, elektrofulgurasi, dan
elektrokoagulasi, sedangkan vacuum-tube units digunakan untuk
elektroseksi. Bentuk gelombang output keduanya dapat dimodifikasi
denga n mengatur oscillating units. 3
Efek terapi yang dihasi l ka n pada tindakan bedah listrik bervariasi
mulai dari deh idrasi jaringan superfisia l (pada elektrodesikasi dan
elektrofulgurasi), koagulasi jaringan yang lebih dalam, h ingga memotong
jaringan (elekroseksi).2'3 (Tabel 1) lndikasi bedah listrik adalah: memotong
Janngan, vaporasi fragmen Janngan, mengontrol perdarahan,
merusak/destruski jaringan, mengencangkan ku l it, matriksektomi
ku ku, serta epilasi. 4
Tidak ada kontra i ndikasi absolut untuk tindakan bedah listrik,
namun terdapat beberapa kondisi pasien yang perlu diwaspadai terkait
kontraindikasi relatif: pengguna pacemaker, pengangkatan lesi suspek
nevus displastik atau melanoma maligna; karsinoma sel basal ( KSB)
tipe morfea; dia meter lebih 2 cm ata u di area H pada wajah;
226
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Tata Laksana Tumor Jinak Kulit
karsinoma sel skuamosa ( KSS) lebih dari 7-8 m m ; atau di a rea non-sun
exposed dan m u kosa bibir; pasien i m u nokompromais; d ia betes; atau
gangguan vaskular. 4
227
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Inge Ade Krisanti
228
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
label 2. Kisaran power setting yang direkomendasikan pada unit radiofrequency surgery (Elmann8 surgitron8 FFPF EMC)*
OJ
Coag=coagulation. Cut=cutting �
N ::><:
N *Dikutip dari kepustakaan no. 5 c:
l.D ;::;:
Prosedur
Setiap unit bedah l istrik da pat memil i ki perbedaan, sehingga
d i perlukan pengaturan yang berbeda pada setiap model� prosedu r,
l esi, dan ka rakteristik pasien. Rekomendasi power setting d igunakan
sebaga i pan d u a n awa l . Prinsip dasar pengatu ran power output, yaitu
sel a l u d i m u l a i denga n power rendah sela njutnya da pat disesua i ka n
h ingga tuj ua n tercapai . Ablasi/destruksi j a ri ngan dita ndai dengan
terbentuknya gelembung kea buan. Koagulasi membutuhkan power
lebih tinggi dari a b lasi. 5
Anestesi loka l dibutuh ka n sebelum tindakan bedah listrik kecuali
u ntuk lesi telangiektasia, skin tag, dan a ngioma berukuran kecil. l njeksi
lidokain 1-2% dengan epinefrin dapat mengurangi nyeri saat tindakan.
Sebel u m m e m u l a i ti ndakan bedah listri k, tentuka n mode dan
power. Pastikan grounding plates sudah terletak pada posisi yang
tepat. Pilih elektroda yang akan d igu n a ka n, pasang pada hand piece.
Pastikan pedal sudah terletak d i lokasi ya ng terja ngkau dan nyaman.
Ketika dipilih cutting mode, elektroda a kan memotong secara
kontinu. J i ka terdapat hambatan, eek u lang pemilihan mode, lembabkan
jari ngan, perlambat gerakan, pastikan elekroda bersih dari sisa jari ngan
yang mene mpel, dan perbai ki letak grounding plate sebe l u m me
nai kkan power. Power yang terl a l u kuat d itandai dengan pijara n a pi,
ada nya asap dan j aringan menjadi h ita m. J ika hal tersebut terjadi,
t u ru n ka n power. Power ya ng tepat m e m pe rlihatka n jari nga n terli hat
tetap normal d a n tidak berdara h .
Untuk fulgurasi d a n koagulasi, atur posisi elektroda d a n jaringan
agar tetap terdapat jarak. ldealnya, terlihat perubahan jaringan menjadi
keabuan atau terbentu k light charring. Untuk mendapat hasil optimal
pada power rendah, usap j a ringan dengan kasa lembap. 5
2. Bedah beku
230
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Tata Laksana Tumor Jinak Kulit
Selain akibat terbentu knya krista l es, kerusakan sel j uga d ipicu
oleh terjadinya trom bosis vaskul a r selama pembekuan {freezing) d a n
stasis setelah menca i r (thawing). Peru bah a n pada pem b u l u h darah
tersebut mengakibatkan terjadinya nekrosis iskemik.
Waktu freezing yang cepat ( 100-260°C per menit) dapat
menyebabkan kematian sel lebih banyak. Ketika sel membeku dengan
cepat, terjadi pembentukan kristal es i ntrasel yang memicu kerusakan
organel yang dapat menyebabkan destrukturisasi sel secara i reversibe l .
Semakin besar kristal e s yang terbentu k, m a k i n banya k kerusa ka n
yang terjadi, ba h ka n dapat menyeba nkan ruptur membra n sel . 6 J i ka
sel membeku secara lambat, sitoplasma menjadi hipertonik dan sulit
untuk membeku sehingga terbentuk kristal es ekstrasel yang lebih banyak
dibanding intrasel. Dengan demikian, sel sulit mengalami kematian.6
Waktu thawing ya ng l a m bat ( l0°C per menit) berh ubu ngan
dengan rekristalisasi dan menambah kematian sel. J u m lah air di
intrasel bertambah, dan transfer elektrolit secara cepat menyebabkan
kerusa kan protei n lebih lanj ut. Siklus freeze-thaw u l a ng da pat
meningkatka n tra u ma pada jaringa n . Pada lesi kega nasan d ibutuh ka n
siklus freeze-thaw multiple. 6, 7
231
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Inge Ade Krisanti
lndikasi
Bed a h beku efektif u nt u k tera pi tumor j i na k, pramal igna,
m a u p u n m a ligna . Pada lesi m a ligna, bedah beku ha nya dilakukan
u ntuk l esi tumor yang berbatas tegas dengan diam eter kurang dari 2
cm, usia tua, tida k m e m u ngki n ka n d i la ku ka n terapi beda h, maupun
u nt u k tuj u a n mered u ksi u ku ra n tumor pada pasien yang menja lani
tera pi pa l iatif. 6
Berbagai lesi tumor j i n a k yang merupakan indikasi bedah beku
yaitu akne vulgaris (cystic), h i perplasia a ngiol i mfoid a ngiokeratoma,
angioma, chondrodermaitis nodularis chronicus helicis, dermatofibroma,
disseminated superficial actinic porokeratosis, nevus epidermal,
gra n uloma fasiale, granuloma fissu ratum, hemangioma, hidraden itis
supurativa, keloid, leish maniasis, lentigo, liken planus tipe hipertrofik,
liken sklerosus et atrofikus, l imfositoma kutis, moluskum kontagiosum,
mucocele, kista myxoid, nevus flameus, porokeratosis Mibelli, poro-
232
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Tata Laksana Tumor Jinak Kulit
Kontraindikasi
Persiapan Pra-Tindakan
Da pat d i la ku ka n dengan tujuan untuk mem perkeci l u ku ra n lesi
ata u meni piska n jari nga n u ntuk men i ngkatka n efek pem beku a n .
Dapat dilaku kan dengan berbaga i cara berga ntung j e n i s lesi, m isal nya
pemberian keratol itik, retinoid topikal, 5 fluoro u rasil topikal,
i m i q u i mod, gel d i klofenak 3%, kom pres kasa basah, mengi kis, ata u
debulking dengan kom bi nasi elektrokauter, d a n sebaga i nya . 7 Ta bel 4
men u nj u kka n daftar rekomendasi waktu bekuan d a n margin lesi
pada tata laksana berbaga i tumor j i n a k menggu n a ka n metode open
spray dengan n itrogen cai r. Freeze time average d igunaka n sebagai
patoka n awal terapi bedah beku. 7
233
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
I nge Ade Krisanti
Teknis Pelaksanaan
1 . Tekni k dipstick
Tekn i k i n i menggu nakan a p l i kator kapas ata u loga m . Dibutuh kan
apli kasi beru lang u ntuk m encapa i suhu yang d i i nginka n . Freezing
menyebar seca ra l a m bat. Ca ra i n i da pat d igu naka n u ntuk lesi
epidermal j i n a k beru kura n kecil, m i sa l nya veruka, lentigo sim pleks,
dan lentigo sola ris. Ca ra ini tida k tepat u nt u k kela inan maligna. 6' 7
234
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Tata Laksana Tumor Jinak Kulit
2 . Spray terbu ka
Cara yang paling banyak digunakan saat ini, liquid nitrogen ditampung
dalam handheld unit, kriogen d isem p rotkan kel u a r mela l u i tip khusus.
Posisi ideal cara spray terbuka adalah jara k tip terhadap lesi 1-2 cm,
dengan sudut 90°, handheld unit digenggam vertikal. Metode ini
umumnya dilakukan untuk tata laksana keratosis seboroik, akne kisti k,
keratosis a ktinik, veruka, keilitis a ktinik, karsinoma sel skuamosa in situ
(penyakit Bowen), karsinoma sel skuamosa, dan karsinoma sel basal. 6-8
Ca ra spray terbuka j uga dapat d i lakuka n dengan menggu n a ka n
cone. Penggunaan neoprene cone ditujukan agar kriogen hanya ber
konta k dengan area spesifik. Terdapat berbagai ukuran diameter cone,
baik sisi lingkaran cone yang akan berkonta k dengan kulit, maupun
dinding cone. Cone dipilih sesuai dengan u ku ran lesi dan besarnya margin
yang dikehendaki. 7 Freezing yang tepat tercapai ketika penyebaran lateral
freezing terl i hat melampaui d i n d i ng cone. Cara i n i tepat d igu n a ka n
pada lesi yang berbentuk bu lat ata up u n terleta k di a rea sensitif. 6-8
3 . Tekni k tertutup
Disebut juga dengan teknik cryoprobe atau terapi kontak. Handheld
unit dihubungkan dengan cryoprobe mela lui selang. Probe terbuat dari
logam, dengan beragam bentuk . Cara ini digunakan terutama untuk lesi
maligna, selain itu dapat j uga digunaka n untuk terapi venous lake,
hemangioma, dermatofibroma, kista mixoid, hiperplasia sebasea, dan
gra n u loma a n u la re. 6-8
235
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Inge Ade Krisanti
Perawatan Pasca-Tindaka n
Selama tindakan bedah beku, rasa nyeri pada umumnya minimal,
rasa nyeri paling buruk dirasakan saat thawing d i bandingkan freezing.
Area yang lebih nyeri antara lain dahi, telapak kaki, periu ngual, telinga,
kelopak m ata, bibir, dan membra n m u kosa . Anestesi lokal kadang
dibutuhkan sebelu m insersi jaru m thermocouple. Respons pascatindakan
u m u m nya beru pa nyeri, edema, dan eritema. Bula dan krusta j uga
terkadang timbu l . Setelah tindaka n pada ma lignansi yang dalam
da pat terjadi eskar. Skar atrofik dan h i popigmentasi terutama pada
pasien berku l it gelap da pat terjadi sementara ata u p u n menetap.
Waktu penyembuhan u m u m nya berkisa r 2-5 minggu seperti pada
tindakan bedah l a i n nya, fa ktor usia, komorbiditas ( misalnya dia betes
melitus), lokasi (misalnya tungkai bawah) dapat memperpanjang waktu
penye m b u h a n .
Perawatan pasca-tindakan termasuk menca ku p h a l - h a l beri kut
i n i m a n d i setiap h a ri dengan m enggu n a kan a i r dan sabun, proteksi
a rea I u ka . J i ka terbentuk krusta ta mbahka n hidrogen peroksida. J i ka
terbentu k bula tega ng laku ka n d ra i nase dengan menggunakan jarum
steril dan biarkan atap bula tetap i ntak. Pada u m u m nya pemberian
paraseta mol cukup u ntuk mengontrol rasa nyeri . 6. 7
Komplikasi
236
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Tata Laksana Tumor Jinak Kulit
237
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Inge Ade Krisanti
4. Eksisi elips
238
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Tata Laksana Tumor Jinak Kulit
Secara garis besar e ksisi elips meli puti langka h-langkah berikut: 11
1. Planning dan designing eksisi;
2. Tindakan a nestesi;
3. Persiapan ruangan, pasien, dan a lat;
4. Melaku kan sayata n ;
5. Hemostasis;
6. Undermining; dan
7. Penutupan I u ka (repair).
239
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Inge Ade Krisanti
3 kal i d i a m eter lesi. Pada lesi denga n kulit dengan tarikan yang kuat,
baik di atas sen d i m a u p u n kulit pada perm u kaan cembung, panjang
sayata n lebih d a ri 3 kali dia meter lesi. Buat gambar elips dengan
marking pen . 11
2. Tindakan anestesi
Tuj u a n nya adalah u ntuk mengura ngi rasa nyeri dan a nsietas pasien.
l njeksi anestesi loka l menggunakan lidokain 1% dan epinefrin, meliputi
sel uruh lesi elips termasuk area undermining. Dosis maksimal lidokain
1% ( 10 mg/m l) dengan epi nefrin adalah 7 mg/kgBB/ha ri . 10· 11 · Area
sekita r penyuntikan dicu bit saat d i l a ku ka n insersi jaru m . U ntuk
penyuntikan awal d i p i l i h jaru m 30 Gauge u ntuk a rea lebih sensitif,
j a ru m 27 Gauge dapat digunaka n d i daera h kurang sensitif lainnya.
La kukan i njeksi perlahan u ntuk mengura ngi rasa nyeri. U ntuk lesi
kecil, i njeksi a n estesia cukup d i l a k u ka n dengan satu ka l i i nsersi .
Seda ngka n u ntuk lesi besar, insersi awal d i l a ku ka n d i lokasi ya ng akan
d i l a ku ka n undermining cukup j a u h d a ri lesi, sela nj utnya dilaku kan
penyuntikan serial dengan a ra h menyeru pai kipas, h ingga seluruh
a rea tera nestesi . Tu nggu 10 menit sebe l u m melaku kan sayatan,
u ntuk m emperoleh efek epinefrin, sehi ngga perdarahan m i nimal. 11
240
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Tata Laksana Tumor Jinak Kulit
4. Melakukan sayatan
Ya kinka n a nestesi sudah bekerja pada saat sayata n a ka n d i m u la i .
Skalpel d i pega ng seperti pensi l . S u d ut e l i ps disayat dengan ujung
ska lpel, sedangkan bagian perut skalpel yang tajam menyayat sebagian
besar lain dari elips. Lakukan sayatan dengan posisi tegak lurus terhada p
permukaan kulit. Gun a ka n tangan non-domi n a n u nt u k membantu
fiksasi. La kuka n insisi langsung menembus dermis bagian bawa h
hi ngga lemak subkuta n . Buat sayata n sedem i ki a n ru pa h i ngga
memperoleh ketebalan rata. Pada jari ngan yang akan d i kirim ke
laboratorium patologi anatomi, laku kan penandaan dengan membuat
jahitan tungga l pada salah satu sudut elips u nt u k m e m ba ntu o rientasi
lokasi jari nga n . 11
241
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Inge Ade Krisanti
5. Hemostasis
Setelah l esi e l i ps diangkat, d i l a ku ka n h emostasis menggu nakan
elektrokoagulasi. Terda pat berbagai teknik elektrokoagu lasi : 10' 11
• Elektroda berkonta k la ngs u ng dengan lokasi perdara h a n .
perd a ra h a n .
• K l e m bipolar khusus u nt u k menjepit su m ber perd a rahan, diaktivasi
6. Undermining
Undermining d i kerj a ka n u nt u k meningkatka n mobilisasi jaringan
sehi ngga I u ka da pat tertutup dengan baik. Lu ka berukura n keci l tidak
membutu h ka n undermining. U nt u k mengeta h u i ba hwa suatu defek
mem butu hkan undermining, d i l a kukan pemerikaan dengan cara
menarik ked u a tepi I u ka kea ra h sa ling berlawa nan menggunakan skin
hook. Semakin terlihat ta hanan, undermining sema kin dibutuhkan.
Undermining m i n i m a l dilakukan pada pasien yang menggunakan
a ntikoagulan untuk mencega h terjadi nya hematoma.
Undermining dilaku ka n dengan menggunaka n gunting i ris di bawah
tepi I u ka sayata n . Undermining dilaku kan secara tumpul dengan
242
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Tata Laksana Tumor Jinak Kulit
Perawatan pasca-tindaka n
Edukasi tertulis mel iputi cara merawat Iuka, penggantia n dressing,
mengatasi rasa nyeri, serta komplikasi perdarahan dan infeksi. Pasien
d i perbolehka n mandi guyu r setelah 24 jam. Tidak d i perbolehka n
mandi rendam h i ngga jahitan diangkat. Pengangkata n ja h ita n pada
I u ka waja h da pat d i l a k u ka n pada hari ke-5 sampai ke-7, I u ka pada
batang tubuh pada hari ke-7 h i ngga ke-10, seda ngkan I u ka pada
ekstremitas baru bisa dia ngkat pada h a ri ke 10 h ingga 14. 11
243
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Inge Ade Krisanti
5. Laser ablatif
244
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Tata Laksana Tumor Jinak Kulit
nonsteroid
*Dikutip dari kepustakaan no. 14
Prosed u r pasca-tindaka n :
• Perawatan I u ka terbuka 4-7 h a ri
• Pasca-epitel isasi 3 m i nggu
Pemanta u a n :
Kontrol pada fase I u ka terb u ka h a ri ke-1 d a n ke-2, d i l a nj utka n h a ri ke-
7, selanjutnya 1 bulan dan 3 bulan setelah tindaka n . 13
245
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Inge Ade Krisanti
6. Laser non-ablatif
246
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Tata Laksana Tumor J inak Kulit
PENUTU P
Telah diba has berbagai moda l itas terapi u ntuk tata l a ksana
tumor jinak kulit. Beberapa modalitas dapat menjadi pilihan pada tata
laksana suatu tumor jinak, sebaliknya suatu tindakan medis dapat
digunakan untuk tata laksana berbagai tumor jinak. Pengetahuan klinis
mengenai tumor jinak dan keteram pilan, serta pemilihan prosedu r
med i s ya ng tepat sa ngat menentukan keberhasilan terapi .
DAFTAR PUSTAKA
1. Daniel LS, Robert F, Rebbeca S, Richard PU. Procedures to treat benign
condition. Dalam: Richard PU, John LP, Daniel LS, Rebecca S, penyunting.
Dermatologic and cosmetic procedures in office practice. Philadelphia: Elsevier
Sau nders; 2012. h .404-26.
2. Oliver JW, Paula SV. Electrosurgery. Dalam: Alison TV, Cristie TA, Christine PL,
penyunting. Requ isities in dermatology. Dermatologic su rgery, edisi ke-1.
Edinburg: E lsevier Saunders; 2009. h . 101-5.
3. Mariwalla, Leffel DJ . Dalam: ASDS: Primer in dermatologic su rgery: study
companion. American Society for Dermatologic Su rgery; 2009. h .47-54.
4. Richard PU, John LP. E lectrosu rgery. Dalam: Richard PU, John LP, Daniel LS,
Rebecca S, penyunting. Dermatologic and cosmetic procedures in office
practice. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2012. h . 157-81.
5. Sonal C, Michael PM, Susana LK. E lectrosu rgery. Da lam: Keyvan N, penyunting.
Dermatologic surgery step by step. London: Kiley Blackwell; 2013. h .30-4.
6. Richard PU, Daniel LS. Cryosurgery. Dalam: Richard PU, John LP, Dan iel LS,
Rebecca S, penyunting. Dermatologic and cosmetic procedu res in office
practice. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2012. h . 182-98.
7. Leonid BT, Philip LB. cryosurgery. I n : Alison TV, Cristie TA, Christine PL,
penyunting. Req uisities in dermatology. Dermatologic surgery, edisi ke-1.
Edinburg: E lseviere Sau nders; 2009. h . 107-115.
247
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
I nge Ade Krisanti
248
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Tata Laksana Tumor Jinak Kulit
-
c
c "' ....
Benign lesions 0
0 "ti Ii Ill -
· .e- cu c ::c ·.:;
13
:I
·.:;
u c � 0 Ill Ill
0 cu .. "' cu E
� 1111 ... cu
"' - QI
·;;; c ::c
"' .. Ii
I
cu Ill
u Ill
... cu
:I u -' 0
..
... 0 0
.. > z
cu .. ... Ill VI ·a Ill
.. ..
cu
"'
.. ... u ..c 0 ...
:I u cu Ill
cu cu VI I- -= "' -'
u w Ill
w -'
Acne 0 N N N N O(AS) p 0 0 N
Acrocordon p N 0 0 p N N N N 0
Angiokeratoma p 0 p p p 0 N N p N
Angioma (cherry) 0 0 p p 0 N N N p N
Angioma (spider) N N p N N N N N p N
Chondrodermatitis 0 0 0 0 0 p N 0 N 0
nodular helicis
Condyloma acuminata p 0 0 p 0 0 p 0 N p
Cutaneous horn N N N 0 p p N N N N
Dermatofibroma 0 N N N 0 p N N N N
Dermatosis papulosa nigra p 0 0 0 0 N N N N 0
Digital mucous cyst p N N N p p N 0 N N
Granuloma annulare 0 N N N N N N p N N
Hemangiomas 0 0 N N 0 0 N N p N
Hypertrophic scar p N N N 0 0 0 p p N
Keloid p N N N 0 0 0 p 0 N
Lentigenes p N N N 0 N 0 N p N
Lichen planus 0 N N N N N p 0 N 0
Milia 0 N N N N P(AS) 0 N N 0
Moluscum contagiosum p p N N 0 0 p N 0 N
Mucocele 0 N 0 0 p p N 0 N N
Neurofibroma N N 0 0 p p N N N 0
Nevi N N N 0 p p N N N N
Pearly penile papules p N N 0 0 N N N N 0
Pilomatricoma N N N N N p N N N N
Prurigo nodularis p N N N 0 0 p p N N
Pyogenic granuloma 0 p p p p p N N N N
N= not recommended, O=optional, P= preferred. AS=acne surgery,
electrodestruction=ED& C.
Curretage mengangkat jaringan dengan alat curett
*Dikutip dari kepusta kaan no. 1
249
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
I nge Ade Krisanti
Lanjutan Lampiran 1. Tindakan/tera pi yang da pat di lakukan pada lesi kulit jinak*
-
c ·.o:;
"' "'
Benign lesions 0 c
0 "'C IQ -
·.o:; a. QI :a +:;
QI u '+; c "'
lllO ::::J u ·c: c: 0 I "'
0 "' ... "' QI E c
>
... .... QI
"' - Ill
"iii :a
"'
:t: "' ... IQ QI 0
u QI QI u .... z ...
... 0
...
0
... >
"'
::::J
"' ...
::::J ....
Ill ·a ...
QI
"'
u u t: .&; 0 .... QI
"' "'
QI QI Ill .... .: "' ....
w w ....
Sebaceous hyperplasia 0 0 p 0 p 0 0 N p 0
Seborheic keratosis p 0 0 0 0 0 N N N 0
Skin tags p N 0 0 p 0 N N N 0
Stucco keratoses p 0 0 0 0 0 N N N 0
Syringoma 0 N p p 0 0 N N N p
Telangiectasia N N p N N N N N p N
Trichoepithelioma N 0 N N p p N N N 0
Port wine stain 0 N N N N N N N p N
Venous lake p N 0 0 N 0 N N p N
Verruca vulgaris p 0 0 0 0 0 p 0 N N
Verruca flat p 0 0 0 0 N p N N 0
Verruca plantar p 0 0 0 0 0 p 0 N p
Xanthelasma 0 0 0 0 0 0 N N N p
N= not recommended, O=optional, P= preferred. AS=acne surgery,
electrodestruction=ED&C.
Curretage menga ngkat jaringan dengan a lat curett
* Dikutip dari kepusta kaan no. 1
250
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
MANAJEMEN TERKINI PRAKANKER
SEL KERATINOSIT KULIT
PENDAH ULUAN
KERATOSIS AKTIN I K
251
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Larisa Paramitha Wibawa
saat i n i tergolong karsi noma in situ ka rsi noma sel skua mosa ( KSS) . 5
Dalam perjalana n nya, KA memiliki rerata risi ko progresi menjadi KSS
sebesar 8%, 6 namun memiliki kem u ngkinan regresi spontan sebesar
85% (95% Cl, 72-96%). 7 Penyakit i n i merupakan prediktor u ntuk
terjadinya KSS (RR 15,4; 95% Cl 8,3-28,8), karsinoma sel basal ( KSB) (RR
3,9; 95% Cl 3,0-5, 1), serta melanoma (RR 1,9; 95% Cl 1,4-2,5). 8 Selain
radiasi UV, i nfeksi human papilloma virus ( H PV) diduga berperan
dalam sebagian patogenesis KA. 9 Faktor risiko penyakit ini antara lain
popu lasi geriatri, la ki-laki, berkulit putih, bera mbut pira ng, bermata
bi ru/hijau, dengan i m u nosupresi, riwayat pra ka n ker dan keganasan
kulit sebelumnya, memil i ki sindrom genetik tertentu (xeroderma
pigmentosum, sindrom Bloom, dan sindrom Rothmu nd-Thompson).4
Lesi KA dapat ditemukan pada daerah yang sering terpajan sinar
matahari contohnya kepala, leher, dada atas, dorsa l lengan dan tangan,
serta bibir bawah. Terdapat keluhan gatal, nyeri, panas, mudah berdarah,
atau timbul krusta . Gamba ra n klinis KA terd i ri atas ba nyak tipe, di
a ntara nya :
1. Eritematosa
Papul hingga plak eritematosa mendata r disertai skuama kasar, yang
lebih jelas bila diraba dibanding dilih�t. 4 Pada pera baan akan terasa
seperti kertas a mplas. 10 Bila lesi cukup luas sering menyerupai
dermatitis. 4
2. H ipertrofik
Papul h ingga plak tebal bisa sewarna kulit, kea bu-abuan, putih,
eritematosa dengan skuama kasar kering. Lesi ini sering sulit
dibedakan secara klinis dengan KSS sehingga sering diperlukan
biopsi kulit. 4
3. Kornu kutaneum/cutaneous horn
Papul meru ncing menyerupai tanduk dengan ketinggian lebih besar
daripada diameter lesi. Dasar lesi dapat eritematosa atau sewarna
kulit. Tipe klinis ini sering menyerupai keratosis seboroik dan veruka
vulgaris filiformis. 4
4. Keilitis aktinik
Akt i n i k kei l itis ditem u ka n pada bibir bawah dengan gambaran
kl i n is ta mpak h i perem is, kering, terkel u pas, kadang d isertai erosi
252
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Manajemen Terkini Prakanker Sel Keratinosit Kulit
atau fisura. Garis batas bibir tampak tidak tegas d isertai hiperkeratosis
dan leukoplakia foka l . 4
5. KA pigmented
Maku l a h i ngga papul datar berwa rna hiperpigmentasi coklat ke
abu-abuan, reticulated, teraba kasa r ata u hiperkeratotik, kad a ng
disertai e ritema. 11
253
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Larisa Paramitha Wibawa
254
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Manajemen Terkini Prakanker Sel Keratinosit Kulit
255
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Larisa Paramitha Wibawa
PENYAKIT BOWEN
Penyakit Bowen { PB) atau KSS in situ pada kulit merupa kan
penyakit neoplasia sel keratinosit terbatas pada epidermis yang
dihubungkan dengan pajanan sinar ultraviolet, arsenik, radiasi pengion,
dan i nfeksi H PV.4'26 PB pada lokasi di daerah yang jarang terpajan sinar
matahari (non-sun exposed area) dihubungkan dengan infeksi HPV dan
pajanan arsenik. 27 Penyakit ini banyak ditem u kan pada populasi kulit
putih, geriatri (meningkat pada dekade ke-6), 28 dan imunokompromais
a kibat obat-obatan . 29 PB cenderu ng persisten atau progresif,
kemungkinan menjadi KSS invasif sebesar 3-5%. 30
Penyakit ini tidak dipenga ruhi jenis kelamin tertentu. Pada laki-laki
lebih sering ditemukan pada daerah kepala hingga leher, sedangkan
pada perempuan lebih sering pada ekstemitas. 28' 31 Lesi PB tersering
ditemukan berturut-turut yaitu pada daerah kepala dan leher;
ekstremitas bawah dan atas; serta badan . 28'31 Lesi umumnya ditemukan
soliter, namun dapat pula ditemukan multipel. 31 Gamba ran klinis terbagi
menjadi bebera pa tipe, ya itu : 4• 32
1. Eritematosa
Tipe eritematosa merupakan tipe tersering, berbentuk plak eritematosa
sirkumskrip h ingga iregular, disertai skuama kasar, krusta kekuningan,
yang membesar perlahan. Sepintas dapat menyerupai plak psoriasis
atau dermatitis, namun pada PB a kan refrakter terhadap terapi
kortikosteroid. Beberapa diagnosis banding lainnya untuk tipe ini antara
lain KSB superfisial, keratosis seboroik teriritasi, dan KSS invasif. 4
2. Hiperkeratotik/verukosa
Tipe i n i tam pak berupa plak e ritematosa tertutup h i perkeratosis atau
perm u kaan nya verukosa sehingga menyerupai veruka vulgaris,
keratosis seboroik, diskoid lupus e ritematosus, liken planus h ipertrofik,
dan KSS i nvasif. 4
256
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Manajemen Terkini Prakanker Sel Keratinosit Kulit
3. Pigmented
PB pigmented akan ta m pa k plak eritematosa d isertai h i perpigmentasi
kecoklata n difus pada sebagian ata u seluruh perm u kaan lesi, dapat
disertai skuama ata u h i pe rkeratosis foka l . M e m i l i ki d iagnosis banding
ya itu pigmented KA, liken p/anus-like keratosis, melanoma, dan
bowenoid papu losis. 4' 33
4. lntertriginosa
Gambaran tipe ini yaitu plak eritematosa madidans menyerupai
dermatitis. Diagnosis bandingnya antara lain dermatitis seboroik, psoriasis
i nversa, ka nd idosis intertriginosa, penya kit Paget, dan penya kit
Hailey-Hai ley. 4
5. Subungual/periungual
Va rian i n i memiliki ga m ba ra n plak tipis eritematosa di sekita r m a rgin
kutikula ku ku, disertai skuama, da pat d ite m u ka n e rosi dan krusta
kekuninga n . Kuku dapat terli bat d a n menga l a m i peruba han berupa
longitudinal melanoni kia, nail bed hyperkeratosis, destru ksi kuku, dan
on ikol isis. Diagnosis banding kondisi ini yaitu nail matrix nevus,
melanoma maligna, i nfeksi j a m u r atau H PV, dan karsi noma sel
skuamosa. 4' 34
Pemeriksaan pen u njang ya ng da pat membantu penega kka n
diagnosis PB yaitu pemeri ksaan dermoskopi dan histopatologi.
Pemeriksaan dermoskopi dapat mempertajam kem ungkinan diagnosis
serta menentu kan lokasi lesi untuk dilakukan biopsi. Pemeri ksaa n i n i
juga da pat membantu eva l uasi keberhasilan terapi. 35 Ga m ba ra n khas
yang dapat ditem u kan pada pemeri ksaan dermoskopi adalah dotted
dan glomerular vessels ya ng berkelompok dan foka l d isertai surface
scales putih atau kekuningan, pada red-yellowish background. 36 Pada
PB pigmented ga mbara n d ermoskopi dapat d item u ka n brown-gray
dots dengan distribusi l inear atau foka l . 33 Pada pemeri ksaan dermoskopi
lesi PB, bila ditemukan multipel atypical (polymorphous) vessel dan
struktur white circle maka perlu dicu rigai adanya kem ungkinan
perubahan menjadi KSS i nvasif. 36
Pemeriksaan histopatologi pada PB akan d ite m u ka n sel
keratinosit atipik d isertai m itosis a bnormal dan d iskeratosis pada
sel u ruh la pisan epidermis. Sel tersebut meme n u h i/pro m i nen di
257
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Larisa Paramitha Wibawa
258
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Manajemen Terkini Prakanker Sel Keratinosit Kulit
259
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Larisa Paramitha Wibawa
PENUTU P
DAFTAR PUSTAKA
1. Lomas A, Leonardi-Bee J, Bath-Hexta l l F. A systematic review of worldwide
incidence of non melanoma skin ca ncer. Br J Dermatol. 2012; 166: 1069-80.
2. Sng J, Koh D, Siong WC, Choo TB. Skin cancer trends among Asians living in
Singapore from 1968 to 2006. J Am Acad Dermato.l 2009;61(3):426-32.
3. Agbai O N , Buster K , Sachez M, Hernandez C, Kundu RV, Chiu M, dkk. Skin
ca ncer and photoprotection in people of color: A review and recommendations
for physicians and the public. J Am Acad Dermatol. 2014;70(4) :748-61.
4. Du ncan KO, Geisse J K, Leffel DJ . Epithelial precancerous lessions. Dalam:
Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel l DJ, Wolff K, penyunting.
Fitzpatrick's dermatology in genera l medicine. Ed isi ke-8. New York: McGraw
H i l l Compan ies; 2012.h. 1261-70.
5. Werner RN, Stockfleth E , Connolly SM, Correia 0, Erdmann R, Foley P, dkk.
Evidence-and consensus-based (S3) guidelines for the treatment of actinic
keratosis-lnternasional League of Dermatologica l Societies i n cooperation with
the E u ropean Dermatology Forum-short version. J Eur Acad Dermatol
Venereol . 2015;29 :2069-79.
6. Glogau R. The risk of progression to invasive disease. J Am Acad Dermatol.
2000;42 : 2 3-4.
7. Frost C, Williams G, Green A. High i ncidence and regression rates of solar
keratoses in a q ueensland c.ommunity. J I nvest Dermatol . 2000; 115:273-7.
8. Armstrong BK, Kricker A. The epidemiology of UV induced skin cancer. J
Photochem Photobiol B. 2001;63 :8-18.
9. Viarisio D, Mueller-Decker K, Kloz U, Aengeneyndt B, Kopp-Sch neider A, Grone
HJ d kk. E6 and E7 from beta H PV38 cooperate with ultraviolet light in the
development of actinic keratosis-like lesions and squamous cell carcinoma in
mice. PLoS Pathog. 2011; 7 : e1002 125.
260
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Manajemen Terkini Prakanker Sel Keratinosit Kulit
10. Gupta AK, Paquet M, Villanueva E, Brintnell W. Interventions for actinic keratoses.
Cochrane Database of Systematic Reviews 2012, Issue 12. Art. No.: CD004415.
11. Ferrandiz C, Fonseca-Capdevila E, Ga rcia-Diez A, Guillen-Barona C, Belinchon
Romero I, Redondo-Bel lon P, dkk. Spanish adaptation of E u ropean guidli nes for
the eva luation and treatment of actinic keratosis. Actas Dermosifiliogr.
2014; 105(4):378-93.
12. Berhane T, Hal liday GM, Cooke B, Ba rnetson RSC. I nflammation is associated
with progression of actinic keratoses to squamous cell carcinomas in h u mans.
Br J Dermatol. 2002; 146:810-5.
13. Za laudek I, Ferrara G, Leinweber B, Mercogliano A, D' Ambrosio A, Argenziano
G. Pitfalls in the clin ical and dermoscopic d iagnosis of pigmented actinic
keratosis. J Am Acad Dermato l 2005;53: 1071-4.
14. Bowling J. Diagnostic dermoscopy: The illustrated guide. UK: Wiley-Blackwell 2012
15. Zalaudek I, Cameron A, Rosendahl C. Actinic keratosis, Bowen's disease,
keratoacanthoma, and squamous cell carcinoma. Dalam: Marghoob AA, Malvehy J,
Braun R P. Atlas of dermoscopy, 2nd Edition. USA: CRC Press Book; 2012.h.48-57.
16. Ka<;:ar N, San Ii B, Zalaudek I, Yildiz N, Ergin S. Dermatoscopy for monitoring treatment
of actinic keratosis with imiquimod. Clin. Exp. Dermatol. 2012;37(5):567-9.
17. Roewert-Huber J, Stockfleth E, Kerl H. Pathology and pathobiology of actinic (solar)
keratosis - an update. Br J Dermatol 2007; 157(Suppl. 2):18-20.
18. Rowert-Hu ber J, Patel MJ, Forsch ner T, U l rich C, Eberle J, Kerl H, dkk. Actinic
keratosis is an early in situ squamous cel l carci noma: A proposal for
reclassification. Br J Dermatol . 2007;156 (Suppl. 3 ) : 8-12.
19. Ulrich C, Jurgensen JS, Degen A, Hackethal M, Ulrich M, Patel MJ, dkk. Prevention of
non-melanoma skin cancer in organ transplant patients by regular use of a sun
screen: a 24 months, prospective, case-control study.Br J Dermatol. 2009;161:78-84.
20. van der Pols JC, Williams G M, Pandeya N, Logan V, G reen AC. Prolonged
prevention of squa mous cell carci noma of the skin by regu lar sunscreen use.
Cancer Epidemiol Biomark Prev. 2006; 15:2546-8.
21. Thompson SC, Jolley D, Ma rks R. Reduction of solar keratosis by regular
sunscreen use. N Engl J Med. 1993;329 : 1 147-5 1.
22. Darlington S, Williams G, N eale R, Frost C, Green A. A randomized controlled
trial to assess sunscreen appl ication and beta carotene supplementation in the
prevention of solar keratoses. Arch Dermatol . 2003;139:45 1-5.
23. McNamara I R, Muir J, Galbraith AJ. Acitretin for prophylaxis of cutaneous
malignancies after cardiac transplantation. J Heart Lung Transplant. 2002;21:1201-5
24. Thorne EG. Long-term clinical experience with a topical reti noid. Br J Dermatol.
1992; 127(supp 41):3 1-36.
25. Bercovitch L. Topical chemotherapy of actinic keratoses of the upper extremity
with treti noin and 5-fluorouraci l : A double-blind control led study. Br J
Dermatol . 1987; 116:549-52.
26. Harwood CA, Surentheran T, McGregor JM, Spink PJ, Leigh I M, Breuer J, dkk.
Human papi llomavirus infection and non-melanoma skin cancer in immuno
suppressed and immu nocompetent individuals. J Med Viral. 2000;61:289-97.
261
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Larisa Paramitha Wibawa
27. Morton CA, Birnie AJ, Eedy DJ . British Association Of Dermatologists' guidelines
for the management of squamous cell carcinoma in situ ( Bowen's disease)
2014. Br J Dermatol. 2014; 170:245-60.
28. Kossard S, Rosen R. Cutaneous Bowen's disease: An analysis of 1001 cases
according to age, sex, and site. J Am Acad Dermatol. 1992;27:406-10.
29. Moloney FJ, Comber H, O' Lorca in P, O' Kelly P, Conlon PJ, Murphy GM. A
population-based study of skin cancer incidence and preva lence in renal
tra nsplant recipients. Br J Dermatol. 2006; 154:498-504.
30. Kao GF. Carcinoma arising in Bowen's disease. Arch Dermatol. 1986;122(10):1124--6.
31. H ansen J, Drake AL, Wa lling HW. Bowen's disease: A four year retrospective
review of epidemiology and treatment at a u n iversity center. Dermatol Surg
2008; 34:878-83.
32. Bath-Hexta l l FJ, Matin RN, Wilkinson D, Leonardi-Bee J. Interventions for
cutaneous Bowen's disease. Cochrane Database of Systematic Reviews 2013,
Issue 6. Art. No.: CD007281.
33. Cameron A, Cliff Rosendahl C, Tschandl P, Riedl E, Kittler H . Dermatoscopy of
pigmented Bowen's disease. J Am Acad Dermatol. 2010;62:597-604.
34. Ohishi K, Nakamura Y, Ohishi Y, Yokomizo E, Ohara K, Takasaki M, dkk. Bowen's
disease of the nail apparatus and association with various high-risk human
papillomavirus types. J Dermatol Sci . 2011;63:62-72.
35. Hu SC, Chiu HH, Chen GS, Ke CL, Cheng ST. Dermoscopy as a diagnostic and
follow-up tool for pigmented Bowen's disease on acral region. Dermatol Surg.
2008;34(9):1248-53.
36. La llas A, Argenziano A, Zendri E, Mosca rella E, Longo C, G renzi L, dkk. Update
on non-melanoma skin cancer and the value of dermoscopy in its diagnosis
and treatment mon itoring. Expert Rev Antica ncer Ther. 2013; 13(5) :541-58.
37. Stevens DM, Kpof AW, Gladstein A, Bart RS. Treatment of Bowen's disease
with granz rays. Int J Dermato l . 1977;16:329-39.
38. Tantikun N. Treatment of Bowen's d isease of the digit with carbon dioxide
laser. J Am Acad Dermatol . 2000;43: 1080-3.
39. Gordon KB, Garden JM, Robi nson JK. Bowen's disease of the distal digit.
Outcome of treatment with carbon dioxide laser vaporization. Dermatol Surg.
1996;22 :273-8.
40. Leibovitch I, H u i lgol SC, Selva D, Richards S, Paver R. Cutaneous squamous
carcinoma in situ ( Bowen's disease): Treatment with Mohs microgra phic
surgery. J Am Acad Dermatol. 2005;S2 :997-1002.
41. Cox N H , Dyson P. Wound healing on the lower leg after radiotherapy or
cryotherapy of Bowen's disease and other malignant skin lesions. Br J
Dermatol . 1995;133:60-5.
42. Ramra kha-Jones VS, H erd R M . Treating Bowen's d isease: A cost-minimization
study. Br J Dermatol . 2003 ; 148 :1167-72.
43. Jaeger AB, Gramkow A, Hjalgrim H, Mel bye M, Frisch M . Bowen disease and
risk of su bsequent ma lignant neoplasm : A population -based cohort study of
1 147 pasien. Arch Dermatol. 1999; 135:790-3.
262
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Manajemen Terkini Prakanker Sel Keratinosit Kulit
Anamnesis
Keluhan dan popuiasi
Pemeriksaan klinis
Gambaran tipe klinis penyakit
Diagnosis
keratosis aktinik
Singkirkan kemungkinan
karsinoma sel skuamosa atau
Rekurensl
.____
L
___,!
Persistensi
�-�
diagnosis lain
263
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Larisa Paramitha Wibawa
Lam pira n 2.
LOE Definisi
Systematic review of RCT (randomized controlled trial)
Individual RCT with narrow confidence interval
2 Systematic review of cohort studies
Individual cohort study
"Outcomes" research, ecological studies
3 Systematic review of case-control studies
Individual case-control study
4 Case-series (and poor quality cohort and case-control studies *)
5 Expert opinion without explicit critical appraisal, or based on
physiology, bench research or 'Jirst principles"
*By poor quality cohort study we mean one that failed to clearly define comparison
groups and/or failed to measure exposures and outcomes in the same (preferably
blinded}, objective way in both exposed and non-exposed individuals and/or failed
to carry out a sufficciently long and complete follow up of patients.
*By poor quality case-control study we mean one that failed to clearly define
comparisons groups and/or failed to measure exposures and outcomes in the
sampe (preferably blinded}, objective way in both cases and controls and/or failed
to identify or approriately control known confounders.
SOR Definisi
A Strongly supports a recommendation for use
B Moderately supports a recommendation for use
C Marginally supports a recommendation for use
D Supports a recommendation against use
2 64
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
BIOLOGI KANKER DAN TERAPI TARGET
Aida SD H oemardani
PENDAHULUAN
Kanker merupakan penya kit yang diseba bka n oleh rusa knya
mekanisme dasa r perilaku sel, khususnya mekan isme pertumbuhan
dan diferensiasi sel. Apa bila sel tumbuh dan berdiferensiasi, ada u nsur
genetik ya ng diaktifkan (switch on) dan yang lain tidak diaktifkan
(switch off) . Gen-gen inilah ya ng termasuk dalam sistem regulasi ya ng
merupakan sistem utama berlangsungnya faa l sel - sel normal. Dalam
perkembangannya, sel berdiferensasi dan membentuk berbagai jenis
jaringan dengan fungsi yang berbeda-beda. Pada keadaan normal
pertumbuhan sel diatur secara ketat oleh sistem regulasi untuk
memenuhi kebutuhan orga n isme. Dalam keadaan sistem regulasi
terga nggu, maka sel-sel ka n ker tumbuh secara otonom yang tidak
terkendali, mengi nvasi jari ngan organ di sekitarnya seh i ngga fungsi
organ tersebut terga nggu. Tra nsformasi sel normal menjadi sel
ka n ker terjadi sebagai a ki bat terga nggu nya sistem regu lasi d i atas,
yang bera kibat sel-sel ka n ke r m a m p u membelah d i ri menjadi lebih
banya k, bahkan h i ngga berj uta-juta sel d a n tidak menghas i l ka n
pertu mbuhan sel-sel progen itor norm a l . ltulah ciri utama sel ka n ker. 1
Aga r memahami biologi sel ka n ke r diperl u ka n pengetah u a n
tenta ng kem a m puan t u m o r u ntuk t u m b u h d a n bermetastasis seca ra
multistep carcinogenesis ya ng disarikan dalam delapan kem a m puan
fungsional sel ka n ke r (hallmark of cancers/ciri khas sel ka n ker). 2
Seca ra u m u m kemampuan sel ka n ke r kulit mempu nyai mekanisme
yang sama dengan sel ka n ke r ya ng lain, wa l a u p u n fa ktor
risi ko/etiologi da pat berbeda . Tu lisa n ini d i m a ksudka n u nt u k
menera ngka n biologi sel ka n ke r dan h u bu ngan nya dengan terapi
target pada kanker ku l it.
265
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Aida SD Hoemardani
266
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Biologi Kanker dan Terapi Target
6. Menginduksi angiogenesis
Seperti jaringan normal, tumor membutuh kan makanan dan oksigen,
serta mengeluarkan sisa-sisa metabolisme dan karbondioksida .
Contoh nya VEGF dan trombospodin-1. 1-4
Ciri khas sel kan ker adalah kemampuannya untuk bertahan hidup,
berproliferasi tidak terkendali, dan berd isemi nasi ata u kemampuan
metastasis jauh. Kemampuan tersebut d isebabkan ada nya dua
karakteristik yang memu ngki n ka n yaitu m utasi dan instabilitas genom
serta tumor-promoting inflammation. 2
267
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Aida SD Hoemardani
TERAPI TARGET
Tera pi target terhadap ciri khas ka n ke r ya it u :
1 . I nh i b itor on kogen i k kinase u n t u k m engatasi perta hanan si nyal
p roliferasi kan ker. M isal nya i n hi bitor B-Raf pada melanoma
5
maligna. 2 '
2 . Reaktivator p53 u ntuk m engatasi pengh indaran supresor
pertu m b u h a n kan ker. 2
3 . Aktivator i m u n itas u ntuk melawan pengh indara n destru ksi i m u n
ka n ker. M isal nya CTLA4 dan a nti-PDl pada melanoma maligna. 2'6
4. I n h i bitor telomerase dalam hal m engatas i kemampuan replikasi
immortal kan ker. 2
5 . Agen ya ng mengh a m bat tumor promoting inflammation. 2
6 . I n h ibitor HG F/c-Met u nt u k m engantisipasi i nvasi dan
m etastasis. 2
7 . I n h i b itor sinya l VEGF u ntuk melawa n i n d u ksi a ngiogenesis.
M isal nya bevacizu m a b pada melanoma ma lign a . 2• 7
8. Inhibitor PARP untuk menanggulangi instabilitas genom dan mutasi. 2
9 . Proapoptotic BH3 mimetics dalam menanga n i penola kan
kematian sel ata u penurunan kemampuan a potosis. M isalnya
i mi q u i mod topikal pada karsi noma sel basal su perfisia l . 2' 8
10. I n h i bitor gl i kolisis aerobik u nt u k mengham bat deregulasi energi
s e l u ler. 2
268
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Biologi Kanker dan Terapi Target
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
1. Kresno SB. Biologi sel kan ker. Dalam: l lmu dasar onko logi . Edisi ke-3. Jaka rta :
Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Un iversitas Indonesia; 2012. h . 1-35
2. Hanahan D, Weinberg RA. H a l l marks of cancer: An organ izing principle for
cancer medicine. Dalam: De Vita VT, Lawrence TS, Rosenberg SA, editor. Cancer
of the skin. Edisi ke 10. Wolters Kl uwers: 2016. h .24-46
3. Hanahan D, Weinberg R. The hallmarks of cancer. Cel l . 2000:100: 5 7-70
4. Hanahan D, Wei nberg R. Hall marks of cancer: The next generation. Cel l . 2011;
144: 646-74.
5. Long GV, Stroyakovsky D, Gogas H, Levchencho E, de Braud F, Larkin J, d kk.
Combined BRAF and MEK inhibition versus B RAF inhi bition alone in melanoma .
N Engl J Med. 2014;371: 1877-88.
6. Robert C, Schachter K, Long GV, Arrance A, G rob JJ, Mortier L, dkk.
Pembrolizumab versus ipilimumab in advanced melanoma. N Engl J Med.
2015 :372:2521-32.
7. Hodi FS, Lawrence D, Lezca no C, Wu Xinqi, Zhou Jun, Sasada T, d kk.
Bevacizumab plus ipilimumab in patients with metastatic melanoma. Cancer
lmmunol Res. 2014;2 :632-42.
8. Rational Assessment of Drugs and Research ( RADAR). lmiquimod cream (Aldara)
for superficial basal cell carcinoma. Tersedia pad a : https://www.nps.org.au.
Diunduh tanggal 5 Jan uari 2017.
269
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
MANAJEMEN BEDAH PADA KANKER KULIT:
BEDAH EKSISI VS BEDAH MOHS
PENDAHU LUAN
Tumor kulit pada prinsipnya da pat berasa l dari berbagai la pisan
ku lit, d a ri epidermis h ingga su bkutis. Berdasa rka n sifatnya, tumor
kulit da pat di bagi menjadi tumor j i n a k dan tumor ganas ( k� n ker). 1
Jenis ka n ker kulit ya ng pa l i ng ba nya k d itemukan ya kni ka rsinoma sel
basal ( KSB) dan karsinoma sel skua mosa ( KSS). Ked ua nya memi liki
predileksi pada a rea yang terpajan sinar mataha ri, m isalnya pada
a rea wajah dan leher. 2'3
Terdapat moda l itas yang da pat d igu nakan dalam tata laksana
ka n ke r ku l it. Moda l itas yang paling sering, a ntara lain bedah eksisi;
elektrodesi kasi d a n ku retase; bedah beku; terapi rad iasi; kemoterapi;
serta bedah m i krografik M ohs. 1 -3 Perti m ba nga n dalam memilih
modalitas terapi sa ngat d i pengaruhi oleh tiga fa ktor utama, ya itu
fa ktor sarana prasara na, fa ktor pasien, dan j uga fa ktor penya kit yang
da pat dil i h at pada tabel 1 . 4
Bedah kulit sa mpai saat ini, meru pa kan moda litas yang lebih
superior dibandingkan dengan radioterapi dan bedah beku karena
memiliki angka kesembuhan yang lebih baik, angka kegagalan yang lebih
rendah, serta seca ra kosmetik m e m i l i ki hasil ya ng lebih baik. 1,4
Terdapat dua m etode bed a h ku lit yang paling sering d igunaka n saat
i n i a ntara l a i n : (1) bedah e ksisi, yaitu suatu m etode pengangkatan
ja ringan tumor secara e kstensif bersa ma dengan jaringan sehat
d isekita r tumor untuk mendapatkan batas ja ringan bebas tumor dan
( 2 ) bedah mi krografi k Mohs, yaitu metode penga ngkatan jaringan
tumor dengan tekn i k ku retase dan eksisi de nga n meminimalkan
pengangkata n jari ngan u ntuk tuj u a n preservasi jari nga n sehat. 1'4
270
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Manajemen Bedah pada Kanker Kulit: Bedah Eksisi vs Bedah Mohs
BEDAH EKSISI
Bedah eksisi merupakan terapi dasar bedah kulit. Bedah eksisi
dilaku kan untuk indikasi pemeriksaan h istopatologis maupun sebagai
terapi bedah pengangkatan lesi ku lit jinak ataupun ganas. 1 Teknik
pengangkatan lesi menggunaka n teknik elips untuk mendapatkan
sampel h istopatologis serta mendapatkan diagnosis definitif, serta
pengangkatan lesi secara kompl it. Meskipun begitu, terdapat beberapa
tantangan dalam melaku kan bedah e ksisi, antara lain : ( 1 ) pertimbangan
luasnya eksisi untuk menghasi lkan batas lesi bebas tumor, dan (2) hasil
akhir Iuka bekas eksisi, bai k secara kosmetik maupun fungsional. 1
271
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Adhimukti T Sampurna, Amanda N Wardani
Salah satu pilihan modalitas tata laksana kan ke r kulit yaitu bedah
eksisi dengan evaluasi batas lesi pasca-operasi. Sebelu m nya telah
dilaporka n bahwa pasien yang diterapi dengan bedah eksisi 98%
mengalami 5 tah u n bebas tumor (5 years survival rate). 1
National Comprehensive Cancer Network (NCCN ) dalam pedoman
tata laksana KSB menjelaskan secara rind mengenai batas pengangkatan
lesi tumor. 5 Untuk lesi KSB ya ng berbatas tegas dengan ukuran diameter
� 2 cm, maka batas eksisi harus dibuat 4 mm dari batas klinis lesi.
Pendekatan serupa berlaku untuk lesi KSB primer dengan risiko rendah
yang terletak pada a rea batang tubuh dan e kstremitas. Sedangkan
untuk lesi KSB risi ko tinggi, NCCN merekomendasi kan bedah eksisi
disertai pemeriksaan batas lesi i ntraoperatif. Apa bila karena satu dan
lain hal terdapat keterbatasan untuk melakukan pemeriksaan batas lesi
i ntraoperatif, maka batas penga ngkatan lesi harus dibuat lebih
luas/lebar dari pada ya ng direkomendasikan untuk lesi KSB risi ko
rendah. 5 Sebelumnya juga telah dipapa rkan aturan umum mengenai
batas eksisi pada jenis lesi ku l it lainnya (Tabel 2). 1
label 2. Batas eksisi tumor ku l it*
272
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Manajemen Bedah pada Kanker Kulit: Bedah Eksisi vs Bedah Mohs
273
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Adhimukti T Sampurna, Ama nda N Wardani
((
b
Gambar 2. Eksisi S-plasty*
* Dikutip dari kepusta kaan no.1
b
274
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Manajemen Bedah pada Kanker Kulit: Bedah Eksisi vs Bedah Mohs
*
label 3. Estimasi wa ktu lepas j a h itan sesuai lokasi I u ka
275
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Adhimukti T Sampurna, Amanda N Wardani
276
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Manajemen Bedah pada Kanker Kulit: Bedah Eksisi vs Bedah Mohs
277
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Adhimukti T Sampurna, Amanda N Wardani
2. Eksisi lesi
Sebelu m melakukan e ksisi lesi, biasa nya dilakukan prosedur
debulking atau kuretase dengan tujuan untuk dapat melihat batas lesi
dengan jelas. Selanjutnya, e ksisi lesi tumor dilakukan menggunakan
skalpel dengan kem i ringa n 30°-45°. 9 (Ga mbar S)
3. Orientasi jaringan
Pada tahap i n i d i l a kukan pemotonga n (grossing) dan pewa rnaan
(chromacoding) spesimen j a ringan tumor ya ng telah dieksisi.
Pewarnaan dapat dilakukan menggunaka n dua tinta pewarna atau lebih
dan pemotongan spesi men menjadi dua potongan atau lebih untuk
dapat memuda h kan tissue processing. Lokasi, bentuk, u ku ran dan
orientasi jaringan kemudian dipindahkan ke peta Mohs. 9 (Ga m bar 6)
A B
278
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Manajemen Bedah pada Kanker Kulit: Bedah Eksisi vs Bedah Mohs
4. Tissue processing
Spesi men jaringan tumor kem u d i a n d i p roses dengan cryostat
untuk menghasi l ka n slide m i kroskopi k potong beku, d a n sela nj utnya
dilakukan pewarnaan dengan haematoxylin-eosin ( H E ) .9· 13 (Gam ba r 7 )
5. Evaluasi histopatologis
Slide yang telah dila ku kan pewarnaan HE kemudian diperiksa di
bawah mikroskop untuk melihat sisa sel kan ker pada batas lesi. Apabila
masih terdapat sel kan ker yang belum terangkat sempurna, maka diberi
tanda pada kartu peta Mohs yang d ibuat pada tahap orientasi jaringan
dan prosedur bedah Mohs dapat dilakukan kembali dimula i dari langkah
pertama sam pai seluruh batas lesi bebas sel kan ker. 9• 13
Setelah batas lesi dipastikan bebas sel kan ker, selanjutnya dilakuka n
penutupan defek denga n penutupan primer (primary closure), flap,
graft, atau penutupan tertunda (delayed closure) . Kom p l i kasi bedah
Mohs dikatakan cukup jarang terjadi, di a ntara nya yaitu skar,
hematoma, dan edema jaringa n . l nfeksi pasca-bedah Mohs dilaporkan
hanya sekita r 1-2% kasus, denga n faktor risi ko i nfeksi berupa
perdarahan masif dan h ematom pasca-bedah M ohs. 9 (Ga mbar 8)
279
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Adhimukti T Sampurna, Amanda N Wardani
280
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Tabel 5. Studi bedah Mohs vs bedah eksisi sebagai terapi kanker kulit
�:
V>
PENUTU P
282
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Manajemen Bedah pada Kanker Kulit: Bedah Eksisi vs Bedah Mohs
DAFTAR PUSTAKA
1. Poblete-Lopez C. Basic excisional su rgery. Da lam: Vidi mos AT, Ammirati CT,
Poblete-Lopez C, penyunting. Dermatologic su rgery. Edisi ke-1. Ohio: Elsevier;
2009. h. 123-37.
2. Rubin Al, Chen EH, Ratner D. Curent concept: Basal-cell carcinoma. N Eng J
Med. 2005;353: 1162-9.
3. Kallini JR, Hamed N, Khachemoune A. Squamous cell ca rcinoma of the skin:
epidemiology, classification, management, and novel trends. Int J Dermatol .
2015;54(2 ): 130-40.
4. Cockerell CJ, Tran KT, Carucci J, Tierney E, Lang P, Maize Sr JC, Rigel DS. Basal
cel l carci noma. Dalam: Rigel DS, Robinson J K, Ross M, Friedman RJ, Cockerell
CJ, Lim HW, Stockfleth E, Kirkwood J M, penyunti ng. Cancer of the skin, Edisi
ke-2: Elsevier Inc; 2011. h. 99 - 123.
5. National Comprehensive Cancer Network. N CCN Clinica l Practice Guidelines in
Oncology ( NCCN Gu idelines): Basal cell skin ca ncer. N ational Comprehensive
Cancer Network. 2017;Version 1 .2017.
6. American Medical Association. Mohs microgra phic surgery. CPT Assistant
2006; 16: 1-7.
7. Greenway HT, Maggio KL, La ne R. Mohs micrographic surgery and cuta neous
oncology. Da lam: Robinson J K, H a n ke CW, Siegel DM, Fratila A, penyunting.
Surgery of the skin, edisi ke-2 : Elsevier Saunders; 2010. h. 711-31.
8. Upjohn E, Taylor RS. Mohs surgery. Da lam: Rigel DS, penyunting. Cancer of
the skin, edisi ke-2: Elsevier I nc; 2011. h. 5 15-25.
9. Woodhouse JG, Vidi mos AT. Mohs microgra phic surgery. Dalam: Vidimos AT,
Ammirati CT, Poblete-Lopez C, penyunting. Dermatologic su rgery, Edisi ke-1:
Elsevier; 2009. h. 199-206.
10. Smeets NWJ, Krekels GAM, Ostertag J U, Essers BAB, Dirksen CD, N ieman
F H M,dkk. Surgical excision vs Mohs' microgra phic surgery for basal cel l
carcinoma of the face: Randomised control led tria l . Lancet. 2004;364:1766-
72.
11. Essers BAB, Di rksen CD, N ieman F H M, Smeets NWJ, Krekels GAM, Prins M H,
dkk. Cost-effectiveness of Mohs micrographic surgery vs surgical excision for
basa l cell carci noma of the face. Arch Dermatol . 2006; 142: 187-94.
12. Bialy TL, Whalen J, Veledar E, Lafreniere D, Spiro J, Chartier T, dkk. Mohs
micrographic surgery vs traditional surgical excision: A cost comparison
analysis. Arch Dermatol. 2004; 140:736-42.
13. Levy RM, Hanke CW. Mohs microgra phic surgery: Facts and controversies.
Clin Dermatol . 2010;28:269-74.
14. Connoly SM, Baker DR, Coldi ron BM, Fazio MJ, Storrs PA, Vidimos AT, dkk.
AAD/ACMS/ASDSA/ASMS 2012 appropriate use criteria for Mohs micrographic
surgery: A report of the American Academy of Dermatology, American College of
Mohs Surgery, American Society for Dermatologic Surgery Association, and the
American Society for Mohs Su rgery. J Am Acad Dermatol . 2012;67(4):531-50.
283
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Adhimukti T Sampurna, Amanda N Wardani
15. Kaplan AL, Weitzul SB, Taylor RS. Longitudinal dimunition of tumor size for
basal cell carcinoma suggests sh ifting referral patterns for Mohs surgery.
Dermatol Surg. 2008 Jan; 34( 1 ) : 15-9.
16. Zbar RI, Canady JW. N onmelanoma facial skin malignancy. Plast Reconstr
Su rg. 2008 Jan;121{1 Suppl): l-9.
17. Viola KV, Jhaveri M B, Soulos PR, Turner R B, Tolpi nrud WL, Doshi D, dkk . Mohs
microgra phic su rgery and surgical excision for nonmelanoma skin cancer
treatment in the medicare popu lation. Arch Dermato l . 2012; 148(4):473-7.
18. Tromovitch TA, Stegman SJ . Microscopic-controlled excision of cutaneous
tu mors: Chemosu rgery, fresh tissue tech niq ue. Cancer. 1978;41:653-8.
19. U pjohn E, Taylor RS. Mohs su rgery. Dal a m : Rigel DS, penyunting. Cancer of
the skin, Edisi ke-2. Elsevier Saunder; 2011.h.5 15-25.
20. Lee KK, Thomas VD, Swanson NA. Mohs micrographic surgery. Dalam: Wolf K,
Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, penyunting. Fitzpatrick's
dermatology in general medicine. Edisi ke-7. McGraw-Hill;2008. h.2315-19.
21. Tildsley J, Diaper C, Herd R. Mohs surgery vs primary excision for eyelid BCCs.
Orbit. 2010;29(3) : 141-6.
22. Wain RAJ, Tehra n i H. Reconstructive outcomes of Mohs surgery compa red
with conventional excision: A 13-month prospective study. J Plast Reconstr
Aesthet Surg. 2015;68:946-52.
284
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
STEM CELL DALAM BIDANG DERMATOLOGI
PENDAHULUAN
KLASIFIKASI
285
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Sondang MH Aemilia Pandjaitan Sirait
Stem Celb
Abilil)' IO difltmllialt Ci\t riw 10 l etna la)tn AhUlly 10 dlfltn•tUlalt lnlo F.,. ctfl ly(1<
inlo ali 1)11ft of ctll; I. E<todmn many,rrb1tdttll l)'pn
t.C.Z)lOlt II. M..00.nn
Ill. Endodtm
286
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Stem Cel l dalam Bidang Dermatologi
287
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Sondang MH Aemilia Pandjaitan Sirait
sumsum tulang.
Sumsum tulang d a h u l u dianggap sebaga i sumber sel punca
ya ng uta ma. N a m u n seka ra ng, d i keta h u i sel pu nca asal lemak
memiliki plastisitas dan j u m l a h ya ng lebih banyak, maka penggunaan
sel punca asal lemak (adipose derived stem cells/ASCs) sema kin
populer. Dita mbah keu ntungan j u m l a h lemak adi posa yang banyak
dan mudah didapat dengan prosed u r m i n i m a l i nvasif. Lemak tersebut
j uga da pat diproses dengan sentrifugasi dan penambahan enzim
kolagenase untuk mendapatka n pellet yang melekat pada dasar
tabung yang d isebut stromal vascular fraction (SVF). Saat ini j uga
d i ke m bangka n berbaga i metode non-enzimatik untuk mengekstra ksi
SVF. 4 Perbedaan uta ma a ntara SVF dengan ASCs adalah kadar CD45 +
yang ti nggi dalam SVF d a n kada r rendah atau bahkan tidak terdeteksi
dalam ASCs. 5 Potensi lain penggunaan sel punca ya ng berasa l dari
kulit d a n adi posa adalah bila ada terorisme nuklir dan ga ngguan
sumsum tulang akibat obat-obata n/radiologi, maka reservoir sel
punca tetap ada pada kulit dan lemak bawah kulit. 3
Sta ndarisasi sel punca dalam translational medicine
d iteta pkan oleh International Federation for Adipose Therapeutics
and Science ( I FATS) d a n International Society for Cellular Therapy
( ISCT) yaitu h a rus m e m i l i ki via bilitas sel > 70% u ntuk SVF d a n > 90%
untuk ASCs. Selain itu frekuensi progen itor stromal yang dianalisis
dengan fibroblast colony forming unit assay (CFU-F) d i h a rapkan > 1%
pada SVF dan > 5% pada ASCs. Karakteristik profil penanda pri mer
SVF u ntu k sel stromal j uga diteta pkan h a rus mencakup: CD 13, CD29,
CD44, CD73, C D90 positif (> 40%), and C D34 positif (> 20%), tetapi
CD31 (< 20%) dan C D45 negatif (<SO) . Seba li knya ASCs harus positif
terhadap CD13, CD29, CD44,CD73, CD90, dan CDlOS (> 80%), serta
negatif terhadap CD31, CD45, and CD235a (< 2%). 5
SCAFFOLD/CONDUIT
288
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Stem Cel l dalam Bidang Dermatologi
289
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Sondang MH Aemilia Pandjaitan Sirait
a kibat radiasi, fistula, dan lain-lai n . Sel punca juga memiliki kemampuan
imunosupresi, dan pada penyakit graft versus host penggunaannya
memberi hasil sangat bai k hingga follow up 40 bulan. Epidermolisis
bulosa diobati dengan sel punca autologous yang telah direkayasa
genetik memberikan hasil baik, walaupun baru secara lokal. ASCs dan
SVF yang ditambahkan pada fat graft juga memberikan hasil graft lebih
baik dan bertahan lama . ASCs/SVF enriched fat transfer telah digunakan
pada kasus jaringan parut, skleroderma, hemifasial atrofi, sindroma
Parry Romberg, augmentasi payudara, augmentasi wajah pada aging
skin, dan berbagai kondisi hilangnya jaringan. Sel punca memiliki sifat
homing ke daerah yang mengalami kerusa kan, bah kan neural stem cells
dan BMSCs homing ke daerah kan ker. Saat ini sedang d i kembangkan
M SCs ya ng d i re kayasa genetik u nt u k m engobati berbagai jenis
ka n ker. 3
Penggunaan jaringan lemak bawah kul it, yang di dalamnya
terkandung sel p u nca, dapat dengan ca ra mengaplikasikan lemak
seca ra la ngsung dengan d isuntikka n . Da pat pula dengan
menggu n a ka n SVF yang diekstra ksi dari lemak adi posa dengan
metode enzimat i k dan non-enzimatik. SVF j uga dapat dibiakka n di
laboratoriu m yang sesuai dengan sya rat good manufacturing process
{ G M P ) d a n menghasi l ka n ASCs dalam j u mlah yang sangat banyak. J uga
dapat dengan hanya menggunakan media pembiakannya yang
mengandung banyak growth factors. Semua metode ini dapat dipakai
secara terapetik dalam bidang dermatologi, misalnya untuk tata laksana
Iuka kronik, dapat dengan menggunakan lemak yang disuntikkan di
dasar Iuka, SVF/ASCs/sekret hasil dari sel punca (growth factors) yang
disuntikkan, ditempelka n dengan scaffold tertentu atau dioleskan
langsung pada I u ka .
Transplantasi sel punca memiliki cara kerja utama melalui
mekanisme para krin, karena adanya sekret sel yang berfungsi
angiogenik. Sekresi ASCs yang secara bermakna membantu
angiogenesis a ntara lain adalah vascular endothelial growth factor
(VEGF), hepatocyte growth factor (HG F), stromal derived factor-1
(SDF-1), d a n transforming growth factor- � {TG F-�). 7 Sela i n itu, ASCs
mensekresikan berbagai faktor pert u m b u h a n l a i n nya dalam kadar
ya ng ti nggi, di a ntara nya epidermal growth factor ( EG F), basic
290
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Stem Cell dalam Bidang Dermatologi
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
1. Singh RK, Gaikwad SM, Chatterjee S, Ray P. Stem cells: The holy grail of
regenerative medicine. Da lam: Cai W, penyunting. Engineering in tra nslational
medici ne. London: Spri nger-Verlag. 2014; h . 19-20.
2. Eridani S. Stem cell a p lication: An overview. Dala m : Sh iffma n MA, Giuseppe A,
Bassetto F. Stem cells in aesthetic procedures. Berlin Heidelberg: Spri nger
Verlag; 2014.h . 3-17.
3. Sell heyer K, Krahl D. Skin mesenchymal stem cel ls: Prospects for cli nical
dermatology. J Am Acad Dermatol 2010;63 :859-65.
291
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Sondang MH Aemilia Pandjaitan Sirait
4. Stocchero IN, Stocchero GF. Isolation of stem cells from human adi pose tissue:
Tech nique, problems,and pearls. Dalam: Adipose stem cells and regenerative
medicine. Berlin Heidelberg: Spri nger. 201 1, h. 13-18.
5. Bourin P, Bunnel BA, Casteilla L, Dominici M, Katz AJ, March KL, dkk. Stromal cells
from the adipose tissue-derived stroma l vascular fraction and culture expanded
adipose tissue-derived stromal/stem cells: A joint statement of the International
Federation for Adipose Therapeutics (I FATS) and Science and the International
Society for Cellular Therapy (ISCT). Cytotherapy. 2013;15(6) :641-8.
6. Gentile P, Scioli M G, Bielli A, Orlandi A, Cervelli V. Concise review: The use of
adipose-derived stromal vascu lar fraction cel ls and platelet rich plasma in
regenerative plastic surgery. Stem Cell, Traslational and Clinical Research.
2016; h. 1-18. DOI : 10. 1002/stem. 2498. [Epub ahead of print]
7. Aktan TM, Daman S, Cihanti m u r B. Cellular a n d molecu lar aspects of adi pose
tissue. Dalam: l l lous VG, Sterodimas A, penyunting. Adipose stem cells and
regenerative medicine. Berlin: Springer Verlag; 201 1 . h . l-13.
8. Oberbauer E, Steffenhagen C, Wurzer C, Gabriel C, Redl H, Wolbank S.
Enzymatic and non-enzymatic isolation systems for adipose tissue-derived
cells: Current state of the a rt. Cell Regen (Lond). 2015 Sep 30;4:7.
9. Riordan N H , lchim TE, M i n WP, Wang H, Solano F, Lara F, dkk. Non -expanded
adipose stromal vascu lar fraction cell therapy for mu ltiple sclerosis. J
Tra nslational M ed icine. 2009;7:29.
292
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
:,
Gerreti
M E LAS O L
Kri m Tab i r Su rya
Su n Cream
//Sebelum Beraktivitas, �
Gerretl
Gunakan Melasol..."
���,:�L I
Tabir surya spectrum luas SPF 20/ PA++
I
Sun C1<"""
Krim mudah discrap, tekstur tidak berminyak
""'"'', .... .
Melembabkan, dapat digunakan sebagai dasar "make up"
Nila! SPF & PA Meiasol Suncream telah di venfikasi d1 Oepartement fll'l1\akologl & Terap/ FKUI Jakarta
yang mengaw pada metoOe pengukuran nila1 Sunscreen USA.