Anda di halaman 1dari 310

UNrYERSITAS

INDONESIA

Ytrifu1. flrohifRr, ?wfi(ia

PENDEKATAN DIAGNOSTIK DAN


PENERAPAN DERMATOTERAPI
BERBASIS BUKTI

Editor:
Githa Rahmayunita
Larisa Paramitha Wibawa
Novita Suprapto

Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit & Kelamin Indonesia


dr. Lili Legiawati, Sp.KK (Kl
SIP. 01.01.0.11.0723/56009/07.2022

UNIVERSITAS
INDONESIA

PENDEKATAN DIAGNOSTIK DAN

PENERAPAN DERMATOTERAPI

BERBASIS BUKTI

EDITOR:
G itha Rahmayun ita
La risa Para m itha W i bawa
Novita Su pra pto

Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit & Kelamin Indonesia

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Hak Cipta Dilindungi Oleh Undang-Undang

D i larang mem perbanya k, menceta k, dan menerbitka n sebagian


ata u p u n seluru h isi buku i n i dengan ca ra dan dalam bentuk apapun
j uga ta n pa seizin editor dan penerbit.

Diterbitkan pertama kali oleh :


Departemen l l m u Kesehatan Kulit dan Kel a m i n FKUl-RSCM

Penerbitan buku ini dikelola oleh:


Perh i m p u n a n Dokter Spesialis Ku l it dan Kel a m i n Indonesia
Jaka rta, 2017

lsi d i l u a r ta nggu ng jawab penerbit dan perceta kan

ISBN 978-602-98468-8-1

ii
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
SAM BUTAN
KEPALA DEPARTEMEN
ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN FKUl-RSCM

Assalamualaikum Wa rah matu l la h i Waba ra katuh

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT karena berkah dan
rahmat-Nya sehingga Simposium dan Workshop Jakarta Dermatology
Meeting (JAKDER M ) 2017 dapat terselengga ra.
Perkembanga n i l m u dan praktik dermatologi dan venereologi
yang kian pesat dewasa ini membutu h ka n pen i ngkatan kemampuan
klinis untuk meningkatkan keterampilan diagnostik dan tata laksana. Oleh
karena itu, Departemen llmu Kesehatan Ku lit dan Kelamin (I KKK) Fakultas
Kedokteran Universitas lndonesia/RSUPN Dr. Cipto Mangun kusu mo
( FKU l/RSCM) bekerja sama dengan Perdoski cabang Jakarta memandang
perlu dilakukan simposiu m dan workshop "Pendekatan Diagnostik dan
Penera pan Dermatotera pi Berbasis Bukti." Selain menambah ilmu dan
wawasan, pelatihan kali ini juga menekankan pentingnya prinsip
evidence-based medicine dalam menanga ni masalah kesehatan kulit dan
kelamin, baik dalam diagnostik maupun terapi, sehi ngga pelayanan yang
diberikan kepada masyarakat dapat dipertanggungjawabkan secara
keilmuan. Oleh sebab itu, besar harapan kami pelatihan ini dapat
memberikan manfaat, dapat terlaksana secara berkesinambungan.
Tidak l u pa saya tu rut mengucapkan terima kasih kepada
sel u ruh pen u l is ya ng telah bersed ia berbagi i l m u mela l u i tu lisan
dalam buku ini, dan kepada tim editor ya ng te lah melua ngkan waktu
untuk menyusun buku. Semoga maka l a h i n i dapat menjadi pega ngan
bagi para peserta dalam menghadapi masa lah kesehatan kulit dan
kelamin dalam pra ktik seha ri-hari. Ke depan, besa r h a rapan saya agar

iii
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
pelatihan dan buku panduan sepe rti i n i dapat terus dihasilka n u ntuk
topik-topik dermatovenereologi yang menarik lainnya .

Wassa l a m m ua l a i k u m Wara h matu llahi Wabarakat u h

Ketua Departemen I KKK


FKU l-RSCM

d r. Lili Legiawati, SpKK( K), FINSDV, FAADV

iv
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
SAMBUTAN

KETUA PERDOSKI CABANG JAKARTA

Atas nama seluruh anggota Perh i m p u n a n Dokter Spesialis Kulit


dan Kela min ( PERDOSKI) ca bang Ja ka rta perke n a n ka n saya
mengucapkan sal a m dan selamat atas partisipasi sejawat seka l i a n
pada aca ra Simposi u m dan Workshop Jakderm 2 0 1 7 i n i .
Acara ini merupaka n proyek rutin berka la perhimpunan kita
bekerjasama dengan Departemen llmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
Fakultas Kedokteran U niversitas I ndonesia dan RSUPN Dr. Cipto
Mangunkusumo, sebagai u paya memenu h i kewajiba n kita u ntuk selal u
mempertahankan, menambah pengetahuan, dan meningkatkan m utu
kita sebagai dokter dalam rangka memberi ka n pelayanan medis
kepada masyarakat. Sim posi u m dan workshop kal i ini bertujuan u ntuk
meningkatka n pengetahuan m etode d iagnostik terkin i dan pemilihan
modalitas dermatoterapi yang rasional dan berbasis bukti, sebagai
konsekuensi dari pesatnya perke m bangan teknologi khususnya d i
bidang pelaya nan ku lit dan kel a m i n .
Selanj utnya besar harapan kam i agar sejawat sekalian men­
dapatkan bekal acuan dalam pemilihan modalitas diagnosti k maupun
terapi secara rasional dan berbasis bukti, sehingga dapat meningkatkan
kualitas pelayanan profesi yang optimal dan komprehensif, dalam
rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat Indonesia.

Salam,

Ketua P E R DOSKI Cabang J a ka rta

dr. I Ketut Suka rata, SpKK, FINSDV, FAADV

v
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
SAM BUTAN
KETUA PANITIA SIMPOSIUM DAN WORKSHOP
JAKDERM 2017: PENDEKATAN DIAGNOSTIK DAN
PENERAPAN DERMATOTERAPI BERBASIS BUKTI

Assa lamu'alaikum Wara h matu l l a h i Wabara katuh

Salam seja htera bagi Teman Sejawat seka l ian,

Puj i syu kur kita panjatka n kepada Allah SWT, ka rena atas berkat
ra h mat dan h idayat-Nya b u ku i n i dapat diselesaikan dengan baik. Buku
ini meru pakan kumpulan makalah lengkap ya ng ditu l is oleh pa ra
pembica ra Simposiu m dan Workshop J a kderm 2017: Pendekata n
Diagnostik dan Penerapan Dermatotera pi Berbasis B u kti ya ng
diseler:iggara kan pada tangga l 12-15 J a n u a ri 2017 di Jaka rta.
Seperti yang kita keta h u i bersa ma, seiring dengan ber­
kemba ngnya teknologi, semakin banyak modal itas diagnostik dan
terapi dalam bidang kulit dan kel a m i n . Berbaga i jenis terapi
ditawa rkan kepada kha laya k u mum, baik ya ng sudah maupun yang
bel u m teruji seca ra klinis. Dalam penanganan masalah ku l it kini
d i kenal isti lah "de rmatotera pi", yaitu peru bahan pengobatan topikal
dari non-spesifi k dan empirik menjadi spesifi k dengan dasar ya ng
rasional, terki ni, dan berbasis bukt i .
Pemilihan terapi yang rasiona l dan berbasis bukti menjadi sangat
funda mental bagi seorang dokter dalam mem berikan tatalaksana
kepada pasien. Sehubunga n dengan hal tersebut, diharapkan dengan
mengi kuti Simposiu m dan Workshop Jakderm 2017 serta dengao___
membaca buku ini, para dokter dapat memperba harui baik ilmu
pengetahuan dan ketera mpilan, khususnya dalam menata laksana
pasien denga n masa lah kulit dan kela m i n . Dengan disusunnya buku ini,
diharapkan dapat membantu menyebarluaskan ilmu pengeta huan
kepada sel u ru h dokter di I ndonesia, sehi ngga dengan begitu kua litas
pelaya nan kepada pasien tentu dihara pkan menjadi lebih baik dan
paripurn a .

vi
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Akhir kata, terima kasih saya ucapkan kepada seluruh kontributor
dan kepada sel u ru h pihak ya ng telah memba ntu dalam proses
pembuatan buku i n i . Semoga buku i n i dapat bermanfaat bagi Tem a n
Sejawat seka l i a n .

Wassalammualaikum Wara h matu llahi Wabara katu h

Salam,

d r. Adh i m u kti T. Sam p u rna, SpKK

vii
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
KATA PENGANTAR

Assa lamu'a l a i ku m Wara hmatu l l a h i Wabarakatuh

Puj i syukur kehadirat Allah SWT atas l i m pahan ra h mat dan


ka runia-Nya sehingga buku ini d apat hadir sebagai pega ngan peserta
d a l a m mengi kuti Si mposiu m d a n Workshop Jakarta Dermatology
Meeting (JAK D E R M ) 2017 yang d iadaka n ta nggal 12-15 J a n u a ri 2017.
Simposiu m ini rencananya a kan rutin diselenggarakan oleh Departemen
l l m u Kesehatan Kulit dan Kel a m i n FKU l-RSCM bekerja sama dengan
P E R DOSKI Cabang Jakarta. Pendekata n Diagnostik dan Penerapan
Derm atotera pi Berbasis B u kti pun d i p i l i h sebaga i tema dari JAKDERM
2017.
Di era Jaminan Kesehatan Nasional saat ini, para praktisi kesehatan
ditu ntut aga r mampu mengelola masa lah kesehatan, termasu k bidang
dermatologi dan venereologi, secara efektif dan efisien, baik pada
layanan primer, sekunder, hingga tersier. Masalah kulit dan kelamin
harus dideteksi secara dini dan mendapat terapi yang sesuai d i ti ngkat
layanan primer; sementara layanan sekunder dan tersier juga harus
meningkatkan kualitasnya karena kasus rujuka n telah tersa ring dan
relatif lebih sulit. Oleh seba b itu, diperl u kan bekal pelatihan
berkesin a mbungan sesuai perkemba ngan i l m u kedokteran terki n i .
Sesuai tema yang diangkat, buku ini membahas tenta ng
berbagai masalah kesehatan kulit d a n kela m i n ya ng kerap dijumpai
sesuai kaidah kedokteran berbasis b u kti (evidence-based medicine) .
Beberapa topik penting seputar penya kit i nfeksi pada kulit dan
kela m i n kembali d isaj i ka n, n a m u n dengan pembaharuan tata laksa na
terkin i . Penyakit i nfla masi non-infeksi m isal nya dermatitis atopik,
psoriasis, erupsi obat pada ku l it, d a n dermatitis seboroik j uga akan
d i bahas guna menunjang pra kti k klinis sehari -hari. Tak ha nya itu,
m a kalah mengenai terapi m utakh i r pada kela i n a n kosmetik dan
vasku lar, serta tumor kulit dalam buku ini diharapkan mampu
menambah ilmu d a n wawasan pa ra peserta khususnya bagi dokter
dan dokter spesialis ku lit dan kel a m i n di I ndonesia.

viii
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Akhi r kata kese m pu rnaan h anya m i l i k Allah SWT, t i m editor
mohon maaf bila terdapat kesa lahan d a l a m proses penyusunan buku
i n i . Ucapan terim a kasih ka m i h aturka n kepada para Pen u lis yang
bersed ia mem bagi i l m u nya mela l u i tulisan, serta berbagai pihak yang
telah memba ntu penyusu nan buku i n i . Semoga buku ini dapat
menjadi panduan pra ktis d a l a m menanga n i masa lah kesehatan kulit
dan kelam i n .

Wassa l a m m ualaikum Wara h m atullahi Wabara katuh

Tim Editor

ix
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
KONTRIBUTOR

dr. Andina Bulan Sari, SpKK


Depa rtemen l l m u Kesehatan Kulit dan Kela min
Fa ku ltas Kedoktera n U n iversitas Indonesia/
RSUPN D r. Cipto M a ngunkusumo, J a ka rta

dr. Adi Satriyo, SpKK


Departemen l l m u Kesehatan Kulit dan Kela m i n
Faku ltas Kedokteran U niversitas Indonesia/
RSUP Persa ha batan, J akarta

dr. Adhimukti T. Sampurna, SpKK


Departemen l l m u Kesehatan Kulit dan Kelam i n
Fakultas Kedoktera n U n iversitas Indonesia/
RSU PN Dr. Ci pto M a ngunkusu mo, Jakarta

Dr. dr. Aida SD. Hoemardani, SpKK(K), FINSDV, FAADV


Departemen l l m u Kesehatan Ku lit dan Kel a m i n
Fa ku ltas Kedoktera n U n iversitas I ndonesia/
RSK Dharm ais, J a ka rta

dr. Eliza Miranda, SpKK, FINSDV


Departemen l l m u Kesehatan Kulit dan Kela m i n
Faku ltas Kedokteran U n iversitas Indonesia/
RSU PN Dr. Cipto Mangu n kusumo, J a ka rta

dr. Endi Novianto, SpKK, FI NSDV


Departemen l l m u Kesehatan Kulit dan Kela m i n
Fakultas Kedoktera n U n iversitas Indonesia/
RSUPN Dr. Cipto M angunkusumo, Ja karta

x
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
dr. Euis Mutmainah, SpKK
Departemen l l m u Kesehatan Kulit dan Kela m i n
Faku ltas Kedoktera n U n iversitas Indonesia/
RS Persa habata n, J a ka rta

dr. G itha Rahmayunita, SpKK, FINSDV


Departemen l l m u Kesehatan Ku l it dan Kela m i n
Fakultas Kedoktera n U n iversitas Indonesia/
RSU PN Dr. Cipto Mangunkusu mo, J a karta

dr. Hanny N ilasari SpKK(K), FINSDV, FAADV


Departemen l l m u Kesehatan Kulit d a n Kel a m i n
Fakultas Kedokteran U n iversitas I ndonesia/
RSU PN Dr. Cipto M a ngunkusumo, J a ka rta

dr. Larisa Paramitha Wibawa, SpKK


Depart_e men l l m u Kesehata n Ku l it dan Kela m i n
Faku ltas Kedoktera n U n iversitas I nd onesia/
RSUPN Dr. Cipto M a ngunkusu mo, J a ka rta

dr. Lili Legiawati, SpKK(K), FINSDV, FAADV


Departemen l l m u Kesehatan Ku l it da n Kela m i n
Fakultas Kedoktera n U n iversitas I ndonesia/
RSU PN Dr. Cipto M a ngunkusu mo, J a ka rta

dr. Melani Marissa-Wicaksono, SpKK


Departemen l l m u Kesehatan Kulit dan Kel a m i n
Faku ltas Kedoktera n U n iversitas Indonesia/
RSU PN Dr. Cipto M a ngunkusumo, J a ka rta

xi
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
dr. Mirawati Setyorini, SpKK
Departemen l l m u Kesehata n Kulit dan Kelamin
Fa kultas Kedoktera n·un iversitas Indonesia/
RSAB H ara pan Kita, J a ka rta

dr. Nanny Shoraya, SpKK


Departemen l l m u Kesehatan Kulit dan Kela min
Fakultas Kedoktera n U n iversitas Indonesia/
RSAB Harapan Kita, J a ka rta

dr. Rahadi Rihatmadja, SpKK, FINSDV, FAADV


Departemen l l m u Kesehata n Kulit dan Kela m i n
Fakultas Kedoktera n U n iversitas I ndonesia/
RSU P N Dr. Cipto M a ngu n kusu mo, J a ka rta

dr. R. Amanda Sumantri, SpKK


Departemen l l m u Kesehata n Kulit dan Kelam i n
Faku ltas Kedoktera n U n iversitas Indonesia/
RSU PN Dr. Cipto M a ngunkusumo, J a ka rta

dr. Rinadewi Astriningrum, SpKK


Departemen l l m u Kesehatan Kulit dan Kela m i n
Faku ltas Kedoktera n U n iversitas Indonesia/
RSU P N Dr. Cipto M a ngunkusumo, J a ka rta

dr. Roro Inge Ade Krisanti, SpKK, FINSDV, FAADV


Departemen l l mu Kesehatan Kulit dan Kela m i n
Fa ku ltas Kedoktera n U n iversitas I ndonesia/
RSU P N Dr. Cipto M a ngu n kusu mo, J a ka rta

xii
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
dr. Selviyanti Padma, SpKK
Departemen l l m u Kesehatan Kulit dan Kela m i n
Faku ltas Kedoktera n U n iversitas I ndonesia/
RSU PN Dr. Cipto Mangunkusumo, J a karta

dr. Sondang MHA Pandjaitan Sirait, SpKK(K), M.Epid, FINSDV, FAADV


Departemen l l m u Kesehatari Kulit dan Kelamin
Faku ltas Kedoktera n U n iversitas Indonesia/
RSU P N Dr. Cipto M a ngu n kusu mo, Jakarta

dr. Triana Agustin, SpKK, FINSDV


Departemen llmu Kesehatan Ku l it d a n Kela m i n
Fakultas Kedoktera n U n iversitas I ndonesia/
RSU PN Dr. Cipto M a ngunkusu mo, J a ka rta

dr. Windy Keumala Budianti, SpKK


Departemen l l m u Kesehatan Kulit dan Kel a m i n
Faku ltas Kedoktera n U n iversitas Indonesia/
RSUPN Dr. Cipto M a ngunkusumo, J a ka rta

xiii
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
DAFTAR ISi

Sambutan Kepala Depa rtemen FKUl-RSCM iii

Sam buta n Ketua Cabang P E R DOSKI Cabang J a ka rta . . . . . . . . . . . . . . . . . . . v

Sam buta n Ketua Ketua Pa n itia Sim posiu m d a n Workshop . . . . . . . . . vi


Kata Penganta r . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . viii

Kontributor .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . x

Va ksi n H erpes Zoster 1


Andina B u l a n Sari

Diagnosis dan Tata La ksana O n i ko m i kosis Berbasis B u kti 8


E l iza M i ra nda

Kusta : Kapan H arus Meruj u k? 25


M e l a n i M arrisa-Wicaksono
Panduan M a n ajemen Pioderma 40
M i rawati Setyorini

Tata Laksa na Dermatitis Atopik Berdasarkan Patogenesis 51


E n d i Novianto

Eru psi Akibat Obat: Baga i m a n a M e m bedakan dengan Penya kit


Ku lit La i n . . . . . . . ... .. .. . .. . . . . . . . ... . . .. . .. .. .. . .. .. . . . . . .. . . . . . . . . . .. . . . . . . . .. .. .. .. .. . . . .. .. . 64
Windy Keumala-Budianti

Psoriasis pada Anak 78


Githa Rahmayun ita

Derm atitis Seboroik: M a nifestasi Klinis lnfa ntil vs Dewasa 95


Triana Agustin

Penggunaan Asam Traneksa mat dalam Tata La ksana Melasma . . 109


R. Amanda Sumantri
Tata La ksa na Akne Vu lgaris . . . . . . . . .. . . . . . .. . . . . . .. .. .. .. .. . .. .. .. .. .. .. . . .. . . .. .. . . 123
Lili Legiawati

xiv
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Hemangioma l nfantil : Tata La ksana Terki n i ................................ 137
Nanny Shoraya

Tera pi Faktor Pertumbuhan Autolog u ntuk U l kus Kro n i k ........... 151


Adi Satriyo
Tata Laksana U l kus Dekubitus .................. ................................... 163
Ri nadewi Astri n i ngrum

Pemilihan lesi dan Tekn ik Biopsi pada U l ku s . . . . .. . . . . . . . . . . . .... ......... 186


Selviyanti Padma

Sifilis: Apa kah Hanya Suatu Penya kit Kela min? ........ . . .......... . . ..... 194
Euis M utmainah

Kutil Anogenita l : Tata Laksana Komprehensif ..... . . ....................... 2 10


H a n ny Ni lasari

Skabies: Pruritus, Dermatitis Pascaterapi, d a n Kontroversi


kotrikosteroid .............................................................................. 219
Rahadi Rihatmadja

Tata laksa na Tumor Jinak Kulit .... . . . . ..... ....... . . . . . . . . . ...... . . . . ...... . .. . . . . 225
R. I nge Ade Krisanti

Ma najemen Terki n i Praka n ke r Sel Keratinosit Kulit ....... . . . . . ......... 251


La risa Para m itha Wi bawa
Biologi Kan ker d a n Tera pi Ta rget . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ...................... 265
Aida SD. Hoemardani

Manajemen Bedah pada Kan ker Kulit: Bedah Eksisi vs Bedah Mohs 270
Ad h i m u kti T. Sam purna, Amanda N Ward a n i

Stem cell d a l a m Bidang Dermatologi 285


Sondang M HA Pa ndjaitan Si ra it

xv
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
VAKSIN HERPES ZOSTER

Andina Bul an Sari

PENDAHULUAN

Varicel/a-zoster virus (VZV) merupakan virus DNA yang termasuk


dalam famili herpesviridae, subfa m ili a/phaherpesvirinae. Penyakit ini
didahului oleh infeksi primer VZV pada kulit, kem udian virus menetap
ata u dorman di ganglia dorsa lis ata u ga nglia sensorik sa raf kra n i a l . 1 -3
Namun VZV dalam bentuk laten tetap dapat mengalami reaktivasi dan
membentuk virion i ntak d i neuron sensorik yang terlibat. Virion tersebut
akan berjalan anterograde dari ganglia sensorik menuju ke saraf kulit
terminal, yang kemudian menginfeksi dan bereplikasi di sel keratinosit
dan epitel, serta menyebabkan polikariositik. Ketika reaktivasi terjadi,
dapat timbul lesi erupsi vesikular yang biasanya disertai rasa nyeri pada
lokasi dermatomal tertentu yang disebut herpes zoster ( HZ). 1
lnsidens HZ per tahun kurang lebih sama di berbagai negara,
berkisar antara 3-5 per 1000 populasi di Ameri ka Utara, Eropa, dan Asia
Pasifik. Di seluruh negara, HZ menunjukkan pola epidemiologik yang
serupa, yaitu peningkatan insidens pada usia �SO tahun, kemudian
meningkat menjadi 8-12 kasus per 1000 populasi pada usia �80 tahun.
Sekitar 50% individu usia �85 ta h u n akan menga l a m i HZ. 1' 3 Pada
ta hun 2013-2015 insidens HZ d i Polikl i n i k l l m u Kesehatan Kulit dan
Kelamin RS Cipto M a ngunkusumo J a karta adalah 134 pasien dari
53.098 total kunj u nga n (0,25%). 4
Bel u m di ketah u i dengan j elas fa ktor-faktor ya ng da pat men­
cetuskan reaktivasi VZV. Salah satu fa ktor ya ng diduga terkait adalah
pen urunan i m u n itas seluler. l n d ividu dengan pen u ru n a n i m u n itas
selu ler, m isal nya usia lanj ut, kega nasan, d a n pasien human immuno­
deficiency virus ( H IV) berisiko lebih ti nggi menderita HZ. 5 Risiko HZ
dan komplikasinya juga ditemukan lebih tinggi pada penyakit autoimun,
contohnya artritis reu matoid, lupus erjtematosus sistemi k, dan penyakit
Cro h n . Hal i n i disebabkan oleh proses patologis m a u p u n efek terapi
imu nosupresa n ya ng mereka dapatka n . 3

1
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Andina Bulan Sari

Herpes zoster umumnya membaik tanpa komplikasi. Kendati


demikian, sekitar 25% pasien HZ dapat mengalami komplikasi yang
dapat bera kibat fatal. Salah satu -komplikasi tersering yaitu neuralgia
pascaherpetik (NPH) dengan i nsidens sebesar 19%. 1 lnsidens NPH juga
meningkat dengan berta mbahnya usia, yaitu berkisar antara 5-30%
pada populasi dewasa, bah kan mencapai 25-50% pada kelompok usia ;:::
50 ta h u n . 3
Patogenesis N P H bel u m sepe n u h nya d i keta h u i . D iperki ra kan
pada N P H terjadi degenerasi a ksonal d a n badan sel, atrofi badan sel
kornu dorsalis, pembentukan ska r di a kar ganglion dorsalis, dan hilang­
nya inervasi epidermal di lokasi yang terinfeksi. Kerusakan neuronal
tersebut mungkin d isebabkan oleh repl i kasi virus. Durasi nyeri yang
d igu n a ka n u ntuk m e m bedakan N P H i n konsisten, yaitu mulai dari
hila ngnya rash sampai periode ;:::3 0 hari sampai 6 bulan. N P H send iri
da pat berta han m i ngguan sam pa i bulanan, bah ka n beberapa kasus
N P H d i la po rkan menetap h ingga tah u n a n . 2
HZ dan N P H sangat mempengaruhi kualitas hidup pasien.
Neura lgia pascaherpetik akan mempengaruhi aspek fisis, psikologis,
fu ngsional, dan sosial h i ngga menyeba bkan ga ngguan a ktivitas
sehari-hari. H erpes zoster d a n N P H sampai saat i n i belum dapat
d itata laksa na seca ra memu aska n dengan modalitas terapi yang ada.
Bah ka n pena nganan HZ dan N P H berat sering mem butuh ka n sumber
daya pelayanan kesehata n ya ng e kstensif, m u l a i dari terapi konsultasi
spesialis, diagnostik, dan rawat inap. 3
Oleh sebab itu, pencegahan HZ dan sekuelenya menjadi penting,
terutam a pada kelom pok usia tua karena tingginya i nsidens HZ dan
NPH pada usia tersebut. Sela i n itu, populasi usia lanjut lebih sul it
menolera nsi obat d a n prose d u r tera pi N P H . 2• 6

VAKSI N HERPES ZOSTER

Live Attenuated Vaccine

Food and Drug Administration (FDA) Amerika Serikat menyetujui


vaksi n Zostavax® u nt u k pencegah a n HZ pada usia ;:::50 tahun pada
bulan Mei 2006. Zostavax® disetujui setelah selesainya Shingles
Prevention Study (SPS), yaitu uji klinis acak tersamar ganda (randomized

2
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Vaksin Herpes Zoster

double-blinded placebo-controlled clinical trial), ya ng melibatkan 38.546


populasi usia �60 ta h u n . Hasil SPS m e n u nj u kkan ba hwa Zostavax®
menuru n ka n i nsidens HZ sebesa r 5 1,3% d a n i nsidens N P H sebesa r
66,5% pada subyek �60 tahun. Pada tahun 2011, FDA telah
menyarankan penggunaan Zostavax® pada kelompok usia �SO ta h u n,
meski pun hal tersebut bel u m menjadi reko mendasi resmi Advisory
Committee on Immunization Practices (AC I P ) . 3 • 5•6
lmunitas spesifik VZV terukur meningkat 6 minggu setelah
va ksinasi . Respons i m u n seluler tertinggi dida patka n pada kelompok
usia 60-69 ta h u n . Subyek pada kelompok usia 50-59 ta h u n j uga
memberikan respons i m u n selu ler ya ng sama dengan kelompok usia
60-69 ta h u n . 2 Efektivitas ja ngka panjang va ksin ini menurun menjadi
2 1, 1% u ntuk HZ dan 35,4% u nt u k NPH d a l a m waktu 7 - 10 ta h u n . 6•7

Komposisi, dosis, dan cara pemberian vaksin

Vaksin Zostavax® meru paka n suatu preparat li pofi l i k strain


Oka/Merck live attenuated VZV, ya kni strain seru pa yang digu n a kan
pada sediaan varisela (Va rivax ® ) . Setiap 0,65 m l dosis menga n d u ng
minimal 19.400 P F U (plaque-forming units) VZV strain O ka/Merck
keti ka disimpan pada s u h u ruangan selama 30 menit. Vaksin HZ sama
denga n vaksin varisela, ha nya saja potensi m i n i m a l nya 14 ka l i li pat
dibandingka n potensi va ksin va risela. Vaksin HZ d i berikan sebagai
dosis tunggal sebanya k 0,65 m l secara su bkuta n di regio deltoid
lengan atas dan tidak memerl u ka n dosis u l a ng. 1
Secara u m u m, pem berian bersam a a n pada sebagian besa r
vaksin live attenuated dan inactivated tidak menyebabka n ga ngguan
respons imun ata u p u n meni ngkatka n angka kejadian efek sam pi ng.
Oleh karena itu, va ksi n HZ da pat d iberikan bersa m a va ksi n l a i n pada
saat yang sama tetapi harus d iberikan pada lokasi a natomis ya ng
berbeda . Apa bila pemberian bersa maan tidak d i m u ngki n kan, maka
vaksin HZ dapat d iberika n kapan saja sebe l u m atau sesudah va ksin
inactivated, dengan jara k m i n i ma l 4 minggu sebe l u m ata u sesudah
vaksin live attenuated. 2

3
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Andina Bulan Sari

Kontraindikasi pemberian vaksi n HZ


Vaksin HZ dikontraindi kasi kan pada seseorang yang memiliki
riwayat alergi terhadap kom ponen vaksin, termasuk gelati n dan
neomisin. Manifestasi alergi neomisin biasanya adalah dermatitis
kontak yang merupakan respons imun tipe lambat. Namun, riwayat
dermatitis kontak terhadap neomisin buka n l a h kontra indikasi
mendapatka n vaksin HZ. 1
Pasien i m unokompromais, ya itu pasien leuke mia, limfoma, atau
keganasan sumsum tu lang maupun sistem limfatik boleh diberikan
va ksin apabila penya kitnya sudah rem isi dan tidak mendapatkan
radiotera pi maupun kemoterapi selama 3 bulan. Penderita acquired
immune deficiency syndrome (AI DS) denga n kadar CD4 � 200/mm 3
ata u l imfosit total � 15% tidak boleh diberikan vaksin . Demikian halnya
dengan pasien yang sedang mendapatkan terapi imu nosupresan,
misal nya kortikosteroid dosis tinggi (� 20 mg/hari pred nison) sela ma �
2 m i nggu, juga tidak d iperbolehka n . Vaksin baru dapat diberikan 1
bulan setel a h tera pi berhenti. 1
Pasien dengan gangguan atau imunodefisiensi selu ler nonspesifik
tidak boleh diberikan vaksin, sedangkan pasien dengan gangguan
i m u n itas hu m era l tetap d a pat diberikan va ksi n HZ. Pasien yang akan
mendapatka n tra nspla ntasi stem cell hematopoietik dapat diberikan
vaksin 24 bulan setelah transplantasi. Pasien yang mendapatka n agen
i m u nomediator rekombinan man usia dan i m u nomodu lator, terutama
a nti-TN F, tidak boleh diberikan vaksin. 1

Kelompok tertentu

Pasien dengan riwayat HZ tetap dapat diberikan va ksi n . Hal ini


d isebabkan karena HZ dapat berulang sekalipun pada pasien imuno­
kompeten . Pasien yang akan mendapatkan terapi imunosupresan da pat
diberikan vaksin saat i m u n itas masih baik, yaitu paling tidak 14 hari
sebe l u m d i m u la i nya terapi i m unosupresan . Wa laupun bebera pa a h li
lain menyatakan sebaiknya diberikan 1 bulan sebelumnya . Pasien yang
mendapatkan terapi antivirus (asiklovir, famsiklovir, dan valasiklovir)
jangka panjang sebaiknya dihentikan paling tidak 24 jam sebelum pem­
berian vaksin HZ dan tida k boleh digunakan 14 hari setelah vaksinasi. 1

4
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Vaksin Herpes Zoster

Pasien yang menerima prod u k dara h da pat d iberikan va ksi n


kapan saja, b a i k sebelum, saat, m a u p u n sesudah mendapatkan produ k
darah atau produ k dara h l a i n ya ng menga n d u ng antibod i . l bu
menyusui dapat d i berikan vaksin HZ karena vaksi n hidup tidak
d isekresikan di a i r susu ibu. Pada keh a milan, vaksin H Z tidak boleh
d i berikan karena efek vaksin pada fetus tidak d i ketah u i d a n setelah
vaksin tidak d i perboleh ka n hamil d a l a m 4 m inggu ke depa n . N a m u n
target usia vaksi n sangatlah jarang pada kelompok tersebut mengingat
vaksin HZ direkomendasikan u ntuk i ndividu � 60 tah u n . 1
Centers for Disease Control and Prevention (CDC) merekomen­
dasikan individu ya ng baru d ivaksin u ntuk menghindari kontak dengan
pasien berisiko tinggi mendapatkan kom plikasi varisela, misa l nya
imunokompromais. DNA virus yang i nfeksi us ditemuka n di sa liva pada
individu ya ng diberika n va ksin HZ sam pa i 4 minggu pascava ksin . 1
Keamanan dan efek samping vaksin
Efek samping pada lokasi i njeksi adalah e ritema, nyeri, bengka k,
teraba hangat, dan pruritus. Efek sa mping lainnya adalah sakit kepala. 1

Inactivated Adjuvanted Subunit Vaccine


Strategi potensial lainnya untuk menghasi l ka n vaksin yang lebih
efektif adalah menghasilkan subunit vaksi n yang mengekspresikan
protein imu nogenik VZV. Subunit va ksi n tersebut dapat memprovokasi
respons imun yang kuat, namun tetap aman u ntuk individu dengan
kontraindikasi pemberian vaksi n live attenuated. Dua dosis subunit
vaksin yang diproduksi oleh Glaxo Smith Kline menggunaka n ajuvan
rekombinan glikoprotein E (O RF68) m e m i l i ki i m u n ogen itas d a n
efektivitas yang bai k tanpa meli hat u s i a . Saat i n i, va ksin tersebut
sudah mencapai stud i fase I l l dengan total subyek 15.411 (8.926
kelompok va ksin vs 4.466 kelompok plasebo). Dalam follow up
sela ma 3,2 tah u n vaksin menunj u kkan efektivitas 97,2% pada tiga
kelompok usia (50-59, 60-69, � 70 ta h u n ) . 1 ' 8
Meskipun begitu, sebanya k 81,5% resipien merasaka n nyeri
pada lokasi i njeksi dan 66% menga l a m i reaksi siste m i k ringan sa m pai
seda ng, yang paling sering m isal nya m ia lgia. Efek sa mping lain yang
ditemukan ada lah sa kit kepala dan lelah. G l i koprotei n E digu n a ka n

5
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Andina Bulan Sari

sebaga i subunit va ksi n ka rena merupakan glikoprotei n virus paling


banyak yang meningkatka n respons sel T CD4+ spesifik. Adjuvan yang
digunakan adalah AS01, suatu liposome-based adjuvant system yang
mengandung 3-0-desacyl-4' -monophosporyl dan saponin-QS21, bekerja
dengan menga ktivasi toll-like receptor (TLR}-4 pathway, dan
menstim ulasi respons antibodi serta Th l. Tiga dosis vaksin dianggap
aman dan imunogenik pada pasien transplantasi sel hematopoietik
sampai 1 ta h u n d a n pasien HIV sampai 18 bulan. 1' 8
Penelitian lain d i la kukan pada kelompok usia yang lebih spesifik
(subyek � 70 ta h u n ) yaitu denga n nama l a i n Zoster Efficacy Study in
adults 70 years of age or older (ZOE-70). Studi tersebut menunjukka n
a ngka efektivitas sebesa r 9 1,3%, d a n didapatkan bahwa efektivitas
tidak menu ru n dengan meningkatnya usia . Selain itu, efektivitas untuk
mencegah N P H did a patka n sebesar 88,8%.9

Heat-Inactivated Vaccine
Heat-inactivated vaccine atau Varivax (V2 12) da pat bergu na
pada resipien yang menjalani transplantasi sumsum tulang dan resipien
transpla ntasi sel hematopoietik. Stu d i fase I l l saat itu sedang menguji
keamanan dan efektivitas vaksin pada pasien dengan tumor solid dan
keganasan hematologi dalam jangka waktu 5 tahun. Diperkirakan,
penelitian a kan selesai Febru a ri 2017. 1'8' 10

DAFTAR PUSTAKA
1. Arnold N, Messaoudi I. Herpes zoster and the search for an effective vaccine.
Clin Exp lmm unol. 2016;25:82-92.
2. CDC. Prevention of herpes zoster recommendations of the advisory committee
on immun ization practices (ACIP}. M MW R . 2008;57:1-23.
3. Ansaldi F, Trucchi C, Alicino C, Paganino C. Real-world effectiveness and safety
of a live-attenuated herpes zoster vaccine: A comprehensive review. Adv Ther.
2016;33:1094-104.
4. Data Polikl i n i k llmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUPN Dr. Cipto
Mangu nkusumo tah u n 2013-2015. [unpublished materials]
5. Sundaru H, Kalista KF, Sejati A. Herpes zoster. Dalam: Djauzi S, Rengganis I,
Koesnoe S, Ahani AR, penyunting. Pedoman imunisasi pada orang dewasa tahun
2012. Jakarta : Sadan Penerbit Fakultas Kedokteran Un iversitas Indonesia; 2012: h.
195-8.

6
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Vaksin Herpes Zoster

6. Tseng H F, Smith N, Harpaz R, Bialek SR, Sy LS, Jacobsen SJ. Herpes zoster
vaccine in older ad ults and the risk of subsequent herpes zoster d isease. JAMA.
2011; 305(2): 160-6.
7. Langan SM, Smeeth L, Margolis DJ, Thomas SL. Herpes zoster vaccine
effectiveness against i ncident herpes zoster and post-herpetic neuralgia in an
older US population : A cohort study. PLOS medicine. 2013; 10(4): 1-11.
8. Schmader K. Herpes zoster. Clin Geriatr Med . 2016; 32: 539-53.
9. Cunningham AL, Lal H, Kovac M, Chlibek R, Hwang S-J, Diez-Domi ngo J, dkk.
Efficacy of the herpes zoster subunit vaccine in adults 70 years of age or older.
N Engl J Med. 2016; 375(11): 1019-3 1.
10. Reddy KP. Herpes zoster vaccine: Time for a boost. J Gen Intern Med. 2016 Oct 11.
DOI : 10.1007/S11606-016-3885-x.

7
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
DIAGNOSIS DAN TATA LAKSANA
ONIKOMIKOSIS BERBASIS BUKTI

Eliza Miranda

Onikomikosis adalah istilah umum untuk mendeskripsikan penyakit


akibat infeksi jamur pada kuku . Beberapa penyebab onikomikosis antara
lain dermatofita, kapang non-dermatofita (KND), dan Candida sp. 1
Beberapa keadaan distrofi kuku yang bukan disebabkan oleh i nfeksi
j a m u r n a m u n menyerupai o n i ko m i kosis di a ntara nya adalah trauma
kronik, psoriasis, onikolisis, onikogrifosis, melanoma maligna subungual,
dan l i ken pla nus. 1•
2

Onikomikosis dapat menimbulkan masalah rasa tidak nyaman,


tidak percaya diri, kesu litan menggunakan alas kaki dan berjalan, serta
masalah kosmetik. Kuku yang terinfeksi mempunyai potensi menyebar
ke kaki, tangan, dan Ii pat pa ha. l nfeksi jamur, terutama yang disebabkan
dermatofita, sangat menular dan dapat ditularkan ke anggota keluarga
lain apabila tida k diterapi. Onikomikosis dapat menyebabkan gangguan
integritas kulit serta menjadi tempat masuk bakteri yang dapat
berke m bang menjadi ulkus pada ka ki, osteomielitis, sel u l itis, dan
gangren teruta ma pada pasien diabetes. 3.4

EPIDEM IOLOGI
Onikomikosis terjadi pada sekitar 3% populasi dewasa di lnggris. 5
Di d u n ia m ayoritas penyebab o n i ko m i kosis adalah dermatofita dan
ragi, sedangkan 10% penyebab o n i ko m i kosis merupakan KND. 6
La pora n data kunj u ngan pasien on i kom i kosis d i Divisi Mikologi
Poliklinik Kulit dan Kelamin RSU P Dr. Cipto Mangun kusumo selama
tahun 2014 menunj ukkan terdapat 205 kasus baru dari total kunjungan
1471 pasien baru dan 90% di antara nya disebabkan oleh kandida. 7
Golongan dermatofita yang banyak dilaporkan sebagai penyebab adalah
Trichophyton rubrum ( T. rubrum) dan T. mentagrophytes. 8

8
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Diagnosis dan Tata Laksana Onikomikosis Berbasis Bukti

ETIOLOGI
Prevalensi onikomikosis lebih tinggi dibandi ngkan dengan
penyakit kuku lainnya misalnya psoriasis, pada individu dengan keadaan
antara lain bertambahnya usia, menggunakan alas ka ki tertutup,
trauma kuku beru lang, h iperhid rosis, predisposisi genetik, ada nya
penyakit penyerta m isal nya dia betes, sirkulasi perifer bu ru k, i nfeksi
HIV, konsumsi obat i m u nosupresif, dan penya kit i m u noko mpromais
lain. 2 Sering pula terjadi pada perokok, pada orang ya ng meng­
gunakan alas ka ki oklusif, d a n penggunaan tempat mandi bersa m a . 3'9
' 1: ..' .·
'•

KLASIFIKASI
Klasifikasi u m u m onikomikosis berdasa rkan ga m ba ra n kli n is
adalah: 1 (Tabel 1)
1. Onikomikosis subungual distal d a n late ra l (OSOL)
2. Onikomikosis su perfisial putih (OSP)
3 . Onikomikosis subu ngua l proksimal (OSP)
4. Onikomikosis endoniks (OE)
5 . Onikomikosis total d istropik (OTO)

Klasifikasi oniko m i kosis berdasa rka n agen penyebab adala h :


a . Onikomikosis kandida
Tiga bentuk gambaran klinis i nfeksi yaitu paronikia kandida
(infeksi pada lipat kuku), infeksi kuku dista l dan lateral, serta distrofi
total. Kandidosis pada kuku biasa nya dimula i dari lempeng kuku
proksimal dan terdapat i nfeksi pada lipat ku ku. Tidak seperti i nfeksi
dermatofita, pada onikomikosis kandida terdapat nyeri pada penekanan
dan pergerakan pada kuku . Kuku tangan hampir selalu terlibat,
sedangkan 80 % infeksi dermatofita mengenai kuku kaki. l nfeksi sering
terjadi pada individu yang peke rjaan nya terpajan a i r seca ra beru lang
pada tanga n dan ku ku yang teri nfeksi cenderung pada tangan ya ng
dominan. Keterli batan jari keem pat dan kelima lebih j a ra ng
dibandi ngka n dengan ibu j a ri d a n j a ri telunj u k. Spesies penyeba b
onikomikosis ka ndida yang paling sering adalah Candida albicans dan
Candida parapsilosis. 1 l nfeksi kuku akibat Candida da pat timbul
melalui satu dari em pat ca ra, ya itu : 1

9
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Eliza M i randa

• Paronikia kroni k dengan distrofi kuku seku nder


Pa ro n i ki a biasanya timbul pada i n d ividu dengan pekerjaan wet
work dan pa�a a n a k ya ng m e nghisap ibu jari. Pembengkakan lipat
posterior ku ku terjadi sekunder a kibat terendam a i r dalam waktu
lama ya ng menyebabkan kutikula terlepas dari lempeng kuku.
; ...
Selanj utnya mikroorgan isme contoh nya j a m u r d a n bakteri masuk
ke dalam ruang subkutikula yang menga ki batka n kutikula terlepas
lebih j a u h lagi. l nfeksi dan i nflamasi pada matriks ku ku bera kibat
terjadinya distrofi kuku proks i m a l .
• l nfeksi kuku d ista l
O n i ko mi kosis ka ndida secara klinis suka r d i bedakan dengan OSOL
yang d isebabkan dermatofita. N a m u n keterlibata n kuku ta ngan,
hiperkeratosis su bu ngual ya ng sedi kit atau tidak ada, serta tingkat
kerusakan kuku yang cenderung lebih ringan dapat memba ntu
d iagnosis o n i ko m i kosis ya ng d isebabka n kandida.
• Kandidosis m u kokutan kronis
Kelainan i n i mempunyai etiologi m ultifaktorial yang menyebabka n
penurunan sistem i m u n itas seluler. Penyakit i n i j a ra ng ditemukan
dan merupakan bent u k ka nd idosis berat yang d itandai dengan
i nfeksi kro n i k pada ku l it, ku ku, skal p, serta m u kosa . Pada kasus
ya ng berat, kuku da pat menebal seluruh nya .
• Kandidosis sekunder
Terjadi sekunder a ki bat kelai n a n kuku ya ng telah ada, m isalnya
ya ng tersering adalah psoriasis.

b. Onikomikosis kapang non-dermatofita


l nfeksi KND dilaporkan terjadi pada semua golongan usia, tetapi
paling sering ditemukan pada golongan usia lebih tua. Pria lebih sering
terinfeksi dibandingkan denga n wanita dan ku ku kaki lebih sering
terlibat dibandingkan dengan kuku tangan . Berbeda dengan
dermatofita, KN D (kecual i Neoscytalidium sp.) tidak bersifat keratolitik
dan biasa nya hanya dianggap sebagai organisme penyerta dan bukan
patogen primer. Kelainan ini sering meru paka n kontaminan sementara
dan tidak ditem u kan elemen jamur pada pemeriksaan mikroskopis
langsung potongan dan kerokan kuku. Selain Neoscytalidium sp., KND
timbul sebagai i nfeksi sekunder pada kuku yang sebelumnya sudah

10
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Diagnosis dan Tata Laksana Onikomikosis Berbasis Bukti

rusak atau mengalami trauma. Oleh karena itu, i nfeksi ini terkadang
hanya mengenai satu kuku yaitu kuku kaki terutama ibu jari yang paling
sering terinfeksi dibandingkan dengan kuku tangan. Agen penyebab
bervariasi berdasarkan letak geografis, namun Scopulariopsis brevicaulis
merupakan penyebab onikomikosis KN D tersering yang menginfeksi
kuku . Neoscytalidium dimidiatum (dahulu disebut Scytalidium
dimidiatum atau Hendersonula toru/oidea) ditemukan di daerah tropis.
Penyebab lain adalah Acremonium sp. , Aspergillus sp. , Fusarium sp. ,
d a n Onychoco/a canadensis. 1

c. Tinea unguium
OSDL merupakan bentuk kli n is i nfeksi kuku tersering ya ng
disebabkan oleh dermatofita (ti nea ungu i u m ) . Agen penyebab
tersering adalah T. rubrum. Kel a i n a n i n i mempunyai gam ba ran kl i n is
ya ng tidak da pat d i bedakan dengan K N D . Ti nea u ng u i u m pada jari
kaki biasa nya merupakan pen u l a ran d a ri tinea pedis, sedangkan
i nfeksi pada kuku tangan berasal dari tinea m a n u m, korporis, atau
kapitis. Ti nea u ngui u m lebih sering mengenai ku ku ka ki d i bandi ngkan
dengan kuku tangan, teruta ma j a ri pertama dan kelima yang m u ngkin
diseba bka n oleh faktor tra u ma yang sering terjadi d i daerah tersebut.
Tinea ungu i u m dapat mengenai lebih dari satu ku ku dan bah ka n
da pat mengenai semua kuku. 1

11
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
......
Tabel 1. Klasifikasi onikomikosis �
N •
;:;·
Ill

s:
Tipe onikomikosis Gambaran klinis Penyebab Pola infeksi Keterangan Ill
...,

:J
c..
Ill
Onikomikosis Dimulai pada bagian distal hiponikium dan menyebar Epidermophyton f/occosum lnvasi jamur melalui sela kuku di bagian Bentuk paling umum
subungual distal dan ke lempeng dan bantalan kuku; T. mentagraphytes lateral atau di bawah permukaan kuku
lateral (OSOL) debris; hiperkeratosis; T. rubrum
onikolisis; kuku menebal, terkelupas, distrofik, Fusarium sp.
berwarna kuning atau coklat kehitaman; Scopufariopsis brevicaulis
infeksi berjalan keproksimal, membentuk garis linear Neoscyta/idium sp.
atau "spikes" yang dapat menyulitkan terapi; dapat C. albicans
disertai paronikia Acremonium sp.
Aspergillus sp.
Onikomikosis Kuku tampak berwarna putih susu, terlekuk, T. saudanense Jamur menginvasi seluruh ketebalan kuku Jarang; dianggap
endoniks (OE) tidak terdapat hiperkeratosis dan onikolisis T. violoceum langsung dari bawah kulit tanpa menginfeksi sebagai subtipe OSOL
bantalan kuku
Onikomikosis Debris terakumulasi di bawah bagian proksimal kuku, T. rubrum Jamur menginvasi lipatan kuku proksimal dan Menunjukkan kondisi
subungual proksimal menyebabkan onikolisis dan warna keputihan, serta Aspergi/lus sp. kutikula; dapat berkembang dari paronikia imunosupresif ( misal
(OSP) menyebar ke bagian distal Fusarium sp. infeksi HIV)
C. albicans
Scopulariopsis brevicou/is

Onikomikosis Tampak bercakpowder-like pada garis tranversal di T. mentagrophytes Dapat timbul di Oulu dikenal dengan
superfisial (OS) permukaan kuku T. rubrum lempeng kuku superfisial atau muncul dari OSP, namun sebagian
Acremonium sp. bawah lipatan kuku; atau penetrasi dalam organisme
Fusarium sp. dari infeksi superfisial menghasilkan debris
Neoscytalidium sp. hitam
Aspergillus sp.
Onikomikosis total Kerusakan total pada kuku akibat infeksi lama; Biasanya oleh Candida sp Dapat berasal dari semua tipe onikomikosis, Biasanya pada
distropik (OTO) penebalan kuku dan struktur kuku hilang namun tersering akibat OSOL berat imunokompromais
•oikutip dengan modifikasi dari kepustakaan 1,10,11

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Diagnosis dan Tata Laksana Onikomikosis Berbasis Bukti

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Langsung

Diagnosis yang a ku rat sangat penting dalam kesuksesan tera p i .


Pemeriksaan langsung dilaku kan dengan analisa la boratorium potongan
kuku dan debris subungual kuku yang terinfeksi. Sediaan dikumpulkan
setelah sebelumnya ku ku dibersihkan dengan alkohol 70% untuk
mencegah kontaminasi. Spesimen ku ku diperoleh denga n menggunakan
potong kuku steril dan skalpel tumpul u ntuk debris subungual m a u p u n
dari kerokan perm ukaan kuku. 12 Keakurata n d iagnosti k meni ngkat
bila sed iaan d idapat dengan menggun a ka n bor kuku atau d i a m b i l dari
kuku yang paling proksimal pada OSDL. 13 Pada pasien yang d icurigai
OSP, debris d i ku m p u l kan dari keroka n bagian su perfisial lempeng
kuku proksimal. Setelah spesimen didapatkan, dilaku kan pemeriksaan
dengan larutan KOH 10-30% menggunaka n mikroskop cahaya .
Memanaskan preparat atau menamba h kan cai ran dimetilsulfoksida
40% a kan mempercepat l isisnya keratin sehingga elemen jamur lebih
jelas terlihat. Pewarnaan calcoflour white (CFW) akan mengikat selulosa
dan kitin j a m u r sehi ngga berpendar pada m i kroskop fluoresens ya ng
akan meningkatka n visual isasi komponen j a m u r. CFW sa ngat sensitif
dan spesifi k terhadap dermatofita . 14

Kultur

U ntuk mengidentifi kasi orga nisme penyebab, d i l a ku ka n peme­


riksaan biaka n di la boratoriu m . Oleh ka rena o n i ko m i kosis dapat
disebabka n oleh 3 golongan j a m u r yaitu dermatofita, KN D, dan
ka ndida, maka sebai knya d igunaka n d u a m aca m media kultur, yaitu
agar Sabouraud dextrose dengan klo ra mfe n i kol untuk mencega h
konta mi nasi bakteri dan agar Sabourraud dextrose yang d itambahkan
klora mfenikol dan sikloheksimid untuk mencegah jamur konta m i n a n
(Mycosel, Mycobiotic). l n ku basi d i l a ku ka n pada temperatur ka m a r
selama 1 4 hari. 15

13
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Eliza M i randa

Histologi

Pemeriksaan h istopatologi dengan periodic acid-schiff staining


(PAS) lebih sensitif dalam pe negakkan diagnosis onikomikosis
dibandingkan dengan pemeri ksaa n mikroskopik la ngsung atau biakan. 16
Kombinasi pewarnaan PAS dengan biakan meni ngkatkan sensitifitas
menjadi 96%. 17 Weinberg dkk. 14 membandingkan 4 metode diagnostik
onikomikosis antara lain pemeriksaan KOH, kultur, biopsi dengan
pewarnaan PAS (biopsi/PAS), dan CFW. Sensitivitas masing-masing
tekni k secara berturutan adalah KOH 80%, biopsi/PAS 92%, dan kultur
59%. Kom bi nasi KOH dan biopsi/PAS lebih sensitif dibandingkan
dengan kultur (p < 0,00002). Spesifisitas m etode diagnostik adalah
KOH 72%, biopsi/PAS 72%, d a n kultur 82%. Nilai prediksi positif yang
d i h itung u ntuk berbagai teknik ya ng berbeda tersebut adalah KOH
88%, biopsi/PAS 89,7%, dan kultur 90%, sedangkan nilai prediksi
negatif adalah KOH 58%, biopsi/PAS 77%, dan kultur 43%. Oleh karena
itu disimpulkan bahwa biopsi/PAS m erupakan metode yang paling
sensitif dalam mendiagnosis onikomikosis, mempunyai nilai prediksi
negatif yang tinggi, serta diindikasikan bila metode diagnostik lainnya
memberikan hasil negatif, namun kecurigaan tinggi.
Sela i n itu terdapat metode KOH-treated nail clipping stained
with periodic acid-Schiff ( KON CPA) yaitu sa m pel kuku yang digunting,
d i ha ncu rkan, dica m p u r dengan la ruta n KOH, dan d i pa naskan pada
tem peratur 56°C untuk melunakkan kuku, kemudian disentrifugasi serta
diwarnai dengan PAS. 18 Beberapa studi melaporka n hasil uji diagnostik
menggunakan metode KONCPA merupakan tes yang sederhana,
mudah, dan cepat (hasil didapat dalam 2-3 jam) untuk menegakkan
diagnosis onikomikosis. Hal ini disebabkan karena metode KONCPA
lebih baik dalam mengidentifikasi h ifa serta mempunyai sensitivitas dan
nilai prediksi negatif yang tinggi dibandingkan dengan pemeri ksaan KOH
konvensional, h istopatologi, CFW, dan kultur. 19•20 M etode ini terutama
diindikasikan untuk kasus dengan pemeriksaan KOH dan kultur negatif. 20
Studi potong lintang oleh Lawry yang membandi ngkan sensitivitas
beberapa metode diagnostik onikomikosis antara lain biopsi/PAS,
pemeri ksaan KOH, kultur, KONCPA, sediaan kuku yang dilarutkan
denga n KOH dan disentrifugasi serta dilakukan pewarnaan CFW

14
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Diagnosis dan Tata Laksana Onikomikosis Berbasis Bukti

( KONCFLU ), serta KONC yang d iwa rnai denga n pewa rnaan chlorazol
black E ( KONCBE) m e n u nj u kka n m etode biopsi/PAS memberikan
sensitifitas tertinggi. 21

Diagnostik Molekular
Pemeriksaan dengan real time polymerase chain reaction ( PCR)
telah dikembangkan dan dapat mendeteksi sekaligus mengidentifikasi
dermatofita langsung pada sediaan ku ku, kulit dan ra m but dalam
wa ktu kurang dari 2 hari. Real time PCR men i ngkatka n ti ngkat d eteksi
dermatofita seca ra bermakna d i bandingkan dengan biakan, n a m u n
PCR tidak da pat membedakan agen penyebab dengan kontam i n a n
ata u jamur yang mati serta memerl u ka n peralata n la boratori u m
khusus d a n reagen ya ng m a h a l . 1 • 11
Anal isa restriction frogmen length polymorphism ya ng da pat
mengidentifikasi DNA ribosom j a m u r dan sangat m e m ba ntu u ntuk
menentukan a pa ka h penya kit d isebabkan oleh i nfeksi oleh j a m u r
ya ng sama atau oleh j a m u r l a i n saat pasien kurang berespons
terhadap tera p i . Teknik ini bel u m d ii m pl e mentasikan seca ra rutin
dalam pra ktik kl i n i k. 1 Teknik d iagnosti k l a i n nya yang masih dalam
penelitian a ntara lain flow cytometry, m i kroskop konfokal, dan
mi kroskop scanning electron.1

PENEGAKKAN DIAGNOSIS

Penega kka n d iagnosis onikomikosis ya ng tepat sangat penting


karena pengobatan a ntij a m u r oral memerl u ka n wa ktu lama yang
memungkin ka n timbulnya efek sam p i ng. Keberhasilan tera pi sangat
berga ntung pada identifikasi agen penyeba b o n i ko m i kosis. 15
Dah u l u penega kkan d iagnosis penyeba b o n i ko m i kosis K N D
pada ku ltur didasarkan pad a kriteria Walshe d a n English, 2 2 yaitu bi la
pada kultur dite m u ka n :
1 . Dermatofita, maka dermatofita dia nggap sebaga i penyebab.
2. Kapang nondermatofita atau ragi, maka dianggap sebagai penyebab
bila pada pemeriksaan langsung . d itemukan elemen jamur yang
sesuai.

15
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Eliza M i randa

3. Kapang nondermatofita sebaga i penyebab bila d itemu ka n paling


tidak sedi kitnya 5 inoku l u m dari 20 inokula tanpa d item u kannya
I,

dermatofita .

M etode ya ng d i ke m u ka ka n oleh Walshe dan English i n i adalah


m etode ya ng bertuj u a n u ntuk m e m bedakan jamur konta m i n a n dari
orga n isme patogen dalam satu ka li pemeriksaa n . Kriteria Walshe dan
English menduga bahwa spesies yang tumbuh pada biakan ku ku
berjumlah paling sedikit 5 dari 20 inokulum adalah patogen sebenarnya,
asal kan filamen yang sesuai juga terlihat pada pemeriksaan
m ikroskopik la ngsung serta tidak ada pertu mbuhan dermatofita . 10
Saat ini, kriteria tersebut dianggap mempunyai kelemahan karena
KND sering meru pakan kontaminan pada kuku maupun laboratorium.
Selain itu, KND sering tidak konsisten terisolasi pada kultur, sehinga
untuk menjamin konsistensinya dibutuhka n penga mbilan sampel kultu r
berulang yang dapat dilakukan dengan berbaga i metode, yaitu seca ra
serial dengan interva l setiap 1-2 m inggu dan jumlah pengu langan
sa m pel sed i kitnya 2 ata u 3 u ntuk membuktikan ba hwa KND tersebut
benar-benar merupakan penyeba b. 1 Penga m bilan sa m pel beru lang
i n i lebih d i rekomendasikan oleh G u pta d kk. 23 terlebih ketika mereka
mengu ngka pkan kelemahan perhitungan j u mlah inokulum ya ng
d iisolasi mela l u i publikasi studi nya pada tah u n 200 1 . Perhitu nga n
j u mlah inoku l u m oleh kriteria Walshe dan English hanya da pat
mempred i ksi o n i ko m i kosis KN D seca ra tepat sebesa r 23,2%.

Onikomikosis Kapang Non-Dermatofita

Terdapat 6 kriteria u ntuk menega kka n d iagnosis on ikomikosis


K N D, di a ntara nya adalah mela l u i pemeri ksaan mi kroskopik dengan
larutan KOH, isolasi pada bia ka n, biaka n u la ng, penghitu ngan
i n o k u l u m, tida k d item u ka n nya isolat dermatofita pada biaka n jamur,
dan pemeriksaan h istologi. Sebagian besa r studi me ngaj u ka n paling
tidak d item u ka n 3 dari 6 kriteria di atas u ntuk mendiagnosis
o n i komikosis K N D . 1 U ntuk mengkonfi rmasi diagnosis on ikomikosis
KND berdasa rka n ta m p i l a n klinis dan pemeriksaan mi kroskopik
langsung ya ng positif, hampir sela l u d ibutuh ka n demonstrasi atas
viabilitas j a m u r mela l u i kultur. Koloni ya ng di hasi l ka n diidentifi kasi

16
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Diagnosis dan Tata Laksana Onikomikosis Berbasis Bukti

secara m ikroskopik d a n ma kroskopik. Wal a u p u n pemeri ksaan bia ka n


j a m u r men unj u kka n viabilitas d a n mem u ngki n ka n identifikasi j a m u r
ya ng d i isolasi, n a m u n mem butuhkan wa ktu la ma, a ngka negatif pa lsu
ti nggi, dan tidak dapat membedakan penyeba b dasar ( patogen)
denga n konta m i n a n . 10 Pemeriksaan h istologi dapat menjadi m etode
alternatif u ntuk mendiagnosis, bila pemeri ksaa n m i kroskopik dengan
KOH dan biakan memberikan hasil negatif. 14

TATA LAKSANA

Beberapa fa ktor ya ng mem penga ru h i respons terapi pada


on ikomikosis, antara l a i n : 11
• Masalah d iagnostik
l nfeksi kuku terjadi bersam a a n dengan kelainan kuku yang lain,
misal nya psoriasis.
• Masalah agen penyebab
Agen penyeba b yang resisten terhadap obat antija m u r tertentu.
• Kondisi ku ku ya ng sulit ditera pi
Beberapa kond isi ya ng da pat menyeba bkan kesulitan dalam
tera pi, a nta ra l a i n adalah dermatofitoma (massa h ifa dan keratin
yang nekrotik di bawa h lempeng kuku), keterlibata n kuku bagian
lateral, infeksi mengena i lebih dari 50% luas perm u kaan kuku,
"spikes" yang meluas dari bagian distal ke proksimal ku ku, dan
hiperkeratosis subungual lebih tebal d a ri 2 m m .
• Kondisi pasien
Beberapa kondisi pasien berikut yang dapat menyebabkan kesulitan
dalam terapi antara lain adalah usia tua, diabetes melitus, keadaan
i m u nosu presif, d a n gangguan sirkulasi perifer.
• Masalah kepatu han m i n u m obat
Te rminasi d i n i terapi, dosis yang salah, dan lupa m i n u m obat dapat
menyebabkan kegaga lan terapi.

Defi nisi kesembuhan seca ra klinis adalah membaiknya ta mpilan ku ku


yaitu ta mpilan normal pada 80- 100% ku ku, sedangkan kesembuhan
tota l adalah telah terca pai nya kesembuhan seca ra m i kologis dan
klinis. 11 Tabel 2 m e n u nj u kkan berbagai terapi o n i ko m i kosis pada

17
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Eliza Miranda

o ra ng dewasa beserta d osis, a ngka keberhasilan, dan level of


evidence- strength of recommendation.

Terapi Sistemik dengan Golongan Azol Dan Alilamin Oral


Sebuah studi m eta-ana lisis oleh G u pta d kk. 24 mengenai tera pi
o n i ko m i kosis m e n u nj u kkan tingkat kesembuhan m i kologis sebesa r
76% dengan penggunaan terbinafi n, 63% dengan itrakonazol dosis
denyut, 59% dengan itra konazol dosis konti nyu, dan 48% denga n
fl u konazo l . Rerata a ngka kese m b u h a n klinis 66% pada terbinafin,
70% pada itrakonazol dosis denyut, 70% pada itrakonazol dosis
kontinyu, dan 41% pada flu konazol. 25 Sebuah meta-a nalisis
menyi m p u l ka n bahwa risiko pen i ngkatan kad a r transa m i nase pada
pasien i m u nokompeten ya ng menerima obat antijam u r ora l sebesar
2% d a n risiko peningkata n ya ng mem butu h kan termi nasi terapi
ha nya sebesa r 1%. 26 Wa laupun terapi ora l pada anak belum disetujui,
namun tera pi i n i tela h d igu n a ka n pada anak dengan hasil yang bai k. 27

Terapi Topikal

Siklopiroksola m i n da pat j uga d igu n a ka n u ntuk tera pi kom bi nasi


dengan obat oral u nt u k men i ngkatka n efektifitas. Pada satu studi
kompa ratif, kom bi nasi siklopirokso l a m i n dan terbinafin oral memiliki
a ngka kesem b u h a n m i koti k sebesar 88% dan angka kesembuhan
total 68%, sedangka n terbi nafin saja m e m i l i ki a ngka kesembuhan
m i kologis sebesar 65% dan a ngka kesembuhan total sebesa r 50%. 28

18
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
label 2. Rangkuman terapi onikomikosis pada orang dewasa •

Nama Obat Oasis dan lama terapi Angka kesembuhan Strength of recommendation,
Level of evidence* *
Topikal
Amorolfin lacquer 5% 1-2 kali/minggu selama 6-12 bulan 50% 0,3
(untuk OSOL)
Siklopiroksolamin lacquer 8% lka li/hari selama 24 mi nggu (kuku 34% (mikologis) 0,3
(untuk OSP, OSOL dan pasien tangan), 48 m i nggu (kuku kaki) 8% (klinis)
kontra indikasi terapi sistemik)
Tiokonazol solusio 28% 2 kali/hari sela m a 6- 12 bulan 22%(mikologis dan klinis) 0,3

Efinakonazol 10% 1 kali/hari selama 48 minggu 50% (mikologis) 0,3


15% (mikologis & klinis)
Sistemik
Terbinafin 250 mg/hari selama 6 minggu (kuku 46% (mi kologis) A, l+
(lini pertama untuk ta ngan), 12-16 minggu (kuku kaki)
onikomikosis dermatofita)
ltrakonazol 200 mg/hari selama 1 2 m i nggu, ata u 13% (mikologis) A, 1+
dosis denyut 400 mg/hari dalam 1
m i nggu/bulan
2 dosis denyut u ntuk kuku tangan, 3 dosis
denyut untuk kuku kaki
Flukonazol (alternatif pada 150-450 mg/minggu selama 3 bulan Kuku tangan B,2++
pasien yang tidak dapat (kuku tangan) paling sedikit 6 bulan (kuku 89%-100% (m ikologis )
mentoleransi terbinafin atau kaki) 76-90% (klin is)
itrakonazol) Kuku kaki
47%-62% (mikologis)
28-36% (klinis)

* d i kutip d a ri kepustakaan no. 10. • *Ii hatscanned


"Only lam pi ran
for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
!::!:!
Lanjutan Tabel 2. Rangku man tera p i oniko m i kosis ;:::;·
OJ
Nama Obat Dosis dan lama terapi Angka kesembuhan Strength of recommendation, �
::;·
Level of evidence• • OJ
:J :
c..
Griseofulvin 500-1000 mg/hari selama 6-9 bulan Kuku kaki C,2+ OJ
( kuku tangan ), 12-18 bulan ( kuku kaki) 30-40% (mikologis)

Kombinasi
Tiokonazol solusio 28% Tiokonazol 28% 2 kali/hari dan 69% (mikologis dan klinis) D,3
dengan griseofulvin oral griseofulvin· 1 gr/hari selama 1 ta h u n
Amorolfine 5% lacquer Amorolfine 5 % lacquer 1 - 2 kal i/minggu D,3
dengan 2 d osis denyut d a n 2 dosis denyut itrakonazol oral
itrakonazol oral 400 mg/hari dalam 1 m inggu/bulan
( untuk onikom ikosis kandida
sedang-berat pada kuku
tangan d a n onikomikosis
berat pada kuku kaki

Amorolfine 5% lacquer Amorolfine 5% lacquer 1 kali/minggu D,3


dengan terbinafin oral sela m a 12 bulan dan terbinafin oral
250mg/ha ri sela m a 3 bulan
Terapi lainnya
Bedah avulsi kuku Tidak direkomendasikan, 1-
Photodynamic therapy ( PDT) 44,3% pada 12 bulan D,3
Laser LED diode infrared 870 nm Belum direkomendasikan
Laser diode 930 nm, dan laser
neodymium-doped yttrium aluminium
garnet 1064-nm
*dikutip dari kepusta kaan no. 10. * * li hat lam piran

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Diagnosis dan Tata Laksana Onikomikosis Berbasis Bukti

Terapi Fisik

Pemotongan kuku dan debridement sering dilaku kan bersamaan


dengan pengobatan lain. Pada suatu studi, kombinasi debridement
dengan siklopiroksolamin memberikan angka kesembuhan mikologis
sebesar 77%. Angka ini lebih tinggi jika dibandi ngkan dengan
siklopiroksolamin saja. 29 Beberapa terapi laser telah disetujui oleh Food
and Drug Administration untuk pengobatan onikomikosis. 3° Kimura
dkk. 31 melaku kan studi menggunakan laser Nd :YAG 1064 n m denga n
spot size 5 mm u ntuk terapi onikomikosis terhadap 3 7 kuku sebanya k 1-
3 tiga kali terapi yang diberikan dalam i nterval 4-8 minggu . Pada m inggu
ke-16 didapatkan sebesar 6 1% sembuh total, perbaikan klinis yang
bermakna sebesar 19%, dan 11 % perbaikan klinis sedang.

PENUTU P

Berbagai penelitian dilaku kan untuk membandingkan metode


pemeriksaan penunjang terbaik yang sebaiknya dipilih u ntuk memba ntu
dalam penega kkan diagnosis onikomikosis. Diagnosis yang tepat,
pengurangan faktor risiko, pemilihan agen terapi yang sesuai dengan
tipe onikomikosis dan agen penyebabnya, serta berdasarkan level of
evidence dan rekomendasi yang tertinggi akan menghasilka n ke­
sembuhan total (seca ra klinis d a n m i kologis) dalam ja ngka waktu
yang diharapka n .

DAFTAR PUSTAKA
1. Ameen M, Lear JT, Madan V, Mohd M u stapa M F, Richardson M. British
Association of Dermatologists' guideli nes for the management of
onychomycosis 2014. Br Journal Dermatol . 2014; 171(5): 937-58.
2. Al levato MA. Diseases mim icking onychomycosis. Clin Dermatol . 2010; 28(2):
164-77.
3. Thomas J, Jacobson GA, Na rkowicz CK. Toenail onychomycosis: a n important
glonal disease burden. J Clin Pham Ther. 2010; 3 5 : 497-519.
4. Tan JS, Joseph WS. Common fu ngal infections of the feet in patients with
diabetes mel litus. Drugs Aging. 2004; 21: 101-12.
5. Roberts DT. Prevalence of dermatophyte onychomycosis in the U n ited
Kingdom: results of omn ibus survey. Br J Dermato l . 1992; 126(Suppl.39): 23-7.
6. Welsh 0, Vera-Cabrera L, Welsh E. Onychomycosis. Clin Dermatol . 2010; 28:
15 1-9.

21
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Eliza Miranda

7. Data kunj ungan Poli Kulit dan Kela min RSUPN Dr. Cipto Mangu nkusumo tahun
2014. [unpublished materials)
8. Bramono K, Budimulja U . Epidemiology of onychomycosis in Indonesia: Data
obtai ned from three individual studies. Jpn J Med Myco l . 2005; 46: 171-6.
9. Gu pta AK, Gupta MA, Summerbell R S . The epidemiology o f onychomycosis:
Possible role of smoking and peripheral arterial disease. J Eur Acad Dermatol
Venereol. 2000; 14(6): 466-69.
10. Gupta AK, Drummond-Main C, Cooper EA, Brintnell W, Piraccini BM, Tosti A.
Systematic review of non-dermatophyte mold onychomycosis: Diagnosis,
clin ical types, epidemiology, and treatment. J Am Acad Dermatol . 2012; 66(3) :
494-502.
11. Westerberg DP, Voyack MJ. Onychomycosis: Current trends in d iagnosis and
treatment. Ame Fam Phys. 2013; 88(11): 762-70.
12. Alberhasky RC. Laboratory diagnosis of onychomycosis. Clin Podiatr Med Surg
2004; 21(4): 565-78.
13. Shemer A. Davidovici B, Grunwald M H , Amichai B. Comparative study of nail
sampl ing tech niques in onychomycosis. J Dermatol . 2009; 36(7): 410-14.
14. Weinberg JM, Koestenblatt EK, Tutrone WD, Tishler H R, Najarian L. Comparison of
d iagnostic methods in the evaluation of onychomycosis. J Am Acad Dermatol .
2003; 49: 193-7.
15. Elewsky BE. Diagnostic techniq ues for confi rming onychomycosis. J Am Acad
Dermatol . 1996; 35(3): S6-59.
16. Barack 0, Asarch A, Horn T. PAS is optimal for diagnosimg onychomycosis. J
Cutan Pathol. 2010; 37: 1038-40.
17. Wilsmann-Theis D. Sareika F, Bieber T, Sch mid-Wendthener MH, Wenzel J.
New reasons for h istopathological nail clipping exami nation in the diagnosis
of onychomycosis. J E u r Acad Dermatol Venereol . 2011; 25(2): 235-37.
18. Liu H N , Lee DD, Wong CK. KONCPA: A new method for diagnosing Tinea
u ngu ium. Dermatol . 1993; 187(3): 166-8.
19. H aghani I , Shokohi T, Hajheidari Z, Khalilian A, Aghili SR. Comparison of
diagnostic methods in the evaluation of onychomycosis. Mycopathologia.
2013; 175: 315-21.
20. Kwon YH, Cho B K. The significance of KONCPA test in onychomycosis. Korean J
Dermatol . 1996; 34(4): 527-37.
21. Lawry MA, Haneke E, Strobeck K, M a rtin S, Zimmer B, Romano PS. Methods
for d iagnosing onychomycosis : A comparative study and review of the
literature. Arch Dermatol . 2000; 136: 1 112-6.
22. Walshe M M , English MP. Fungi in nails. Br J Dermato l . 1966; 78: 198-207.
23. Gu pta AK, Cooper EA, McDonnald P, Su mmerbell RC. Utility inocu lum
counting (Walshe and English Criteria) i n clinical d iagnosis of onychomycosis
caused by non-dermatophytic fila mentous fu ngi. J Clin M icrobiol . 2001; 39:
21 15-21.

22
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Diagnosis dan Tata Laksana Onikomikosis Berbasis Bukti

24. Gupta AK, Ryder J E, Johnson AM. Cumulative meta -a nalysis of systemic
a ntifungal agents for the treatment of onychomycosis. Br J Dermatol.
2004;150(3): 537-44.
25. Treatment guideli nes antifungal drugs. Treat Guide! Med Lett. 2009: 7( 88): 95-
102.
26. Chang CH, Young-Xu, Kurth T, Orav JE, Chan AK. The safety of oral a ntifungal
treatments for superficial dermatophytosis and onychomycosis: A
metaanalysis. Am J Med. 2007; 120(9): 791-8.
27. Gupta AK, Ski nner AR. Onychomycosis in children: a brief overview with
treatment strategies. Ped Dermatol . 2004; 21(1): 74-9.
28. Avner S, N i r N, Henri T. Combination of oral terbin afine and topical ciclopirox
compared to oral terbinafine for treatment of onychomycosis. J Dermatol
Treat. 2005; 16(5-6): 327-30.
29. Malay DS, Yi S, Borowsky P, Downey MS, M lodzienski AJ. Efficacy of
debridement alone versus debridement combined with topical a ntifungal
nail lacquer for the treatment of pedal onychomycosis: A randomized,
controlled trial. J Foot Ankle Surg. 2009; 48(3): 294-308.
30. Gupta AK, Simpson F . N ewly approved laser systems for onychomycosis. J Am
Podiatr Med Assoc. 2012;102(5):428-30.
31. Kimura U, Takeuchi K, Kinoshita A, Takamori K, Hiruma M, Suga Y. Treating
onychomycoses of the toena i l : Clinical efficacy of the sub-millisecond 1,064
nm Nd :YAG laser using a 5 mm spot diameter. J Drugs Dermatol. 2012; 11(4):
496-504.

23
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Eliza M i randa

Lampiran 1: Ketera ngan Ta bel 1

Keteranga n :
Level of evidence
1 ++ Meta analisis dengan kualitas ti nggi, telaah sistematis studi
kontrol acak, dengan risiko bias re ndah
1+ Meta a n a lisis d i l a ksa nakan d engan baik, telaah sistematis studi
kontrol acak, dengan risiko bias rendah
1- Meta ana lisis, telaah sistematis stud i kontrol acak, dengan risiko
bias tinggi
2++ Telaah sistematis stud i kontrol acak bermutu ti nggi atau kohort
Kasus kontrol atau kohort berkualitas tinggi dengan risiko
confounding bias yang rendah d a n probabilitas hubungan kausal
ti nggi
2+ Kasus kontrol atau kohort yang d i la ksa nakan dengan baik atau
kohort de nga n risiko confounding bias yang rendah dan
proba bilitas h u bungan kausal seda11g
2- Kasus kontrol ata u kohort yang d enga n risiko confounding bias
yang ti nggi d a n tidak terdapat hubunga n ka usal
3 Studi non-ana l itik (misa l nya laporan kasus, seri a l kasus)
4 Pendapat a h li, konsensus

Strength of recommendation
A Sedi kitnya 1 meta a n a l isis, telaah sistematik atau studi kontrol
acak l++, d a n a p l i katif untuk popu lasi ta rget atau telaah
sistematik dari stu di kontrol acak atau stud i dengan level of
evidence 1 + yang a pl i katif untuk populasi ta rget dan
menunj u kkan konsistensi hasil
Evidence yang berasal dari telaah N I CE technology
B Stud i dengan level of evidence 2++ yang a pl ikatif u ntuk populasi
ta rget dan menunj u kka n konsistensi hasil ata u
Ekstra polasi evidence dari studi 1 ++ atau 1 +
C Studi dengan level of evidence 2+ yang apli katif u ntuk popu lasi
ta rget dan menunj u kkan konsistensi hasil atau
E kstra polasi evidence dari studi 2++
D Level of evidence 3 atau 4 atau ekstra polasi evidence dari studi 2+
atau konsensus form a l
D ( G P P ) : Good practice point ( G P P ) a d a l a h sebuah rekomendasi didasarkan
pada penga laman ke lompok pembuat guideline

24
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
KUSTA: KAPAN HARUS MERUJUK?

Melani Marissa-Wicaksono

PENDAHULUAN

Kusta merupakan penyakit i nfeksi gra n ulomatosa kro n i k yang


disebabkan oleh ba kteri Mycobacterium leprae (M. leprae) yang
bersifat obl igat i ntraseluler dengan afi n itas utam a saraf perifer,
kemudian selanjutnya da pat menyerang ku lit, m u kosa m u l ut, tra ktus
respiratorius bagian atas, sistem reti kuloendotelial, mata, otot,
tulang, dan testis, kecuali susunan saraf pusat. 1' 2 Sampai saat i n i,
kusta masih meru pakan masa lah kesehatan utam a ya ng mengenai
jutaan orang di sel u ru h d u n ia, sehingga mengakibatka n ti ngginya
beba n yang harus ditanggu ng. l nsidens kusta di d u n ia adalah 500.000
kasus setiap tah u n nya . 3 Penya kit i n i tersebar di sel uruh dunia dengan
preva lensi yang berbeda-beda antara satu negara denga n negara
ya ng lain, mayoritas kasus d itemukan di negara berkemba ng, yaitu
I nd ia, Brazil, I ndonesia, Bangladesh, Kongo, dan Nepa l . 3
Sampai saat ini, kusta masih merupakan sa lah satu masa lah
kesehatan masyarakat di I ndonesia. Dalam 14 tah u n terakhir (2000-
2013), situasi penya kit kusta di Indonesia tidak mengal a m i banyak
peruba han. Untuk itu, pemerintah I ndonesia, mela l u i Kementerian
Kesehata n D i re ktorat Jenderal P2 M L menetapkan target nasional
Eli m i nasi Kusta 2019, yaitu : 3
1. Elimi nasi ti ngkat nasional denga n p reva lensi < 1/10.000 pendud u k
terca pai tahun 2000
2. Elim inasi tingkat provi nsi; sudah mencapai 20 provinsi ( masih ada
14 provinsi yang bel u m e l i m i nasi )
3. Angka cacat tingkat 2 pada kasus baru < 1/1 juta penduduk di tahun
2020

El i m i nasi terca pai bila j u m l a h pasien kusta kura ng dari 1 per


10.000 penduduk. N a m u n sampai akhir ta h u n 2013, masih ada 14
dari 34 propi nsi yang bel u m mencapai tingkat elimi nasi kusta . 4 Ta h u n
2007 di Indonesia didapatkan prevalensi kusta sebesar 1,05 per 10.000

25
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Melani Marissa-Wicaksono

pend u d u k dan angka pen e m u a n pasien baru sebesar 0,78 per 10.000
pend uduk. 3 Sampai dengan tah 1:1 n 2013, j u mlah tota l kasus kusta
baru di I ndonesia adalah 16.856, yaitu 0,67 per 10.000 penduduk. H a l
tersebut m e n u nj u kka n bahwa wal a u p u n terdapat penurunan j u m lah
kasus baru, tetapi jumlahnya cenderung menetap (statis) sejak
Indonesia di nyatakan sudah mencapai e l i m i nasi pada ta h u n 2000. 3

ETIOLOGI
Penyebab penyakit kusta adalah bakteri M. leprae, merupakan
basil tahan asam ( BTA), bersifat G ra m positif, berukuran 1 sampai 8
m i kron, biasa nya berkelompok atau tersebar satu-satu, menyuka i
lokasi tubuh yang relatif d i ngin, serta tidak dapat dibiakka n dalam
media a rtifisial (buata n ) . 1' 2 Masa belah diri M. leprae sangat lama j i ka
d i bandingka n dengan kuman lain, yaitu 12 sa m pa i 2 1 hari, seh i ngga
masa tunas ku m a n i n i menjadi sa ngat l a ma, yaitu mencapai 2 sa m pai
5 ta h u n . 2

PATOGEN ESIS

Walaupun cara masuk M. /eprae ke dalam tubuh manusia masih


bel u m d i ketah u i secara pasti, n a m u n beberapa penel itian
memperlihatkan bahwa cara tersering adalah melalui kulit yang tidak
intak pada bagian tubuh bersu hu rendah dan juga mela l u i m u kosa
nasal. Terdapat beberapa faktor yang memengaruhi seseorang
terinfeksi kusta, yaitu faktor i m u n itas seseora ng, kemampuan hidup
M. leprae yang memerl u ka n suhu tubuh ya ng lebih rendah, waktu
regenerasi yang lama, serta sifat kuman yang avi rulen dan nontoksik. 2
M. leprae adalah ba kteri yang bersifat obligat i ntraseluler yang
teda pat di dalam sel ma krofag di sekitar pem b u l u h darah superfisial
dermis atau sel Schwann jaringan saraf. 2'5'6 Bila M. leprae masuk ke
dalam tubuh, selanjutnya tubuh a kan mengekspresi kan makrofag (dari
monosit di darah, sel mononuklear, dan h istiosit) untuk melakukan
fungsi fagositosis. 2 l nfiltrasi kuman pada kulit a kan menyebabkan
terjadinya lesi yang dapat disertai perubahan pigmentasi pada ku l it. Bila

26
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Kusta: Kapan Harus Merujuk?

infiltrasi kuman terjadi pada serabut saraf, a kan menyebabkan kerusakan


sa raf sensoris, motoris, dan otonom. 7
Sel Schwan n adalah sel ta rget u ntuk pertu m b u h a n M. leprae, d i
samping itu s e l Schwa n n j uga berfungsi sebaga i demiel i n isasi d a n
hanya sedikit berperan sebagai fagositosis, sehingga bila terjadi
gangguan imunitas tubuh di dalam sel Schwan n, basil akan bermigrasi
dan menjadi aktif. Akibatnya, aktivitas regenerasi sel saraf akan ber­
kurang dan terjadi kerusa ka n saraf ya ng progresif dan berkelanj utan . 1
Pada kusta tipe tuberkuloid (TI), kemampuan fungsi sistem
imunitas seluler baik, sehingga makrofag mampu menghancu rkan kuman.
Namun setelah semua kuman difagositosis, makrofag akan berubah
menjadi sel epiteloid yang tidak bergerak a ktif dan kadang bersatu
membentu k sel datia Langhans. Bila i nfeksi tidak segera d iatasi, a ka n
terjadi reaksi berlebihan d a n massa epiteloid akan menimbulka n
kerusakan saraf d a n jaringan di sekita rnya . Pada kusta tipe lepromatosa
(LL) terjadi kelumpuhan sistem imunitas seluler, denga n demikian
makrofag tidak mampu menghancurkan kuman sehingga kuman dapat
bermultiplikasi dengan bebas, yang kemudian a kan merusa k jaringa n . 1

DIAGNOSIS

Diagnosis ditegakkan terutama berdasarkan anamnesis dan


gambaran klin is, juga pemeri ksaan penunjang bakterioskopis, h isto­
patologis, dan serologis. M e n u rut ih W H O Expert Committee on
Leprosy tahun 1997, diagnosis kusta ditega kkan berdasarkan pada
penemuan tanda kardinal, yaitu bila ditemukan 1 dari 3 tanda kardinal
sebagai berikut: 2'8'9
1 . Lesi kulit h i popigmentasi ata u kemera h a n d isertai h i la ngnya sensi­
bil itas ya ng jelas. 2' 7' 8 Lesi kulit da pat soliter ata u m u ltipel, hipo­
pigmentasi atau kemerahan jika dibandi ngkan denga n kulit di
sekitarnya. Bentuk lesi yang ditemukan dapat bervariasi, namun lesi
yang sering adalah maku la, pa pul, atau n od u l . 2'8 Lesi ku l it sering
disertai dengan h i l a ngnya sensibil itas, ya ng merupa kan suatu
ga mba ra n yang khas pada kusta, 8 baik terhadap suhu, raba, dan
nyeri. 2 H i la ngnya sensi bilitas ini dapat terjadi ha nya pada
10
modal itas tertentu saja (incomplete loss of sensibility) .

27
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Melani Marissa-Wicaksono

2. Keterlibatan saraf tepi, d itandai dengan penebalan/pembesaran


saraf dan hilangnya sensasi. 2 .7 · 8 Kerusakan sa raf pada kusta biasa
d isertai dengan h i l angnya sensasi pada ku lit, atau kelemahan otot
ya ng d i i nervasi oleh saraf tersebut. 8 Pem besara n atau peneba lan
sa raf perifer biasa nya terjadi setelah timbul nya lesi ku lit. 7
3 . Dite m u ka n nya BTA pada pemeriksaan sed iaan slit skin smear
(ke roka n j a ri nga n ku l it). 2 ' 7'8 Basil ya ng d item u ka n pada kerokan
tersebut dengan pewarnaan yang sesuai a ka n berbentuk bata ng
d a n berwa rna mera h . 8

KLASIFIKASI

Terda pat 2 klasifi kasi yang paling sering d igu n a kan, ya itu :
1 . Klasifikasi WHO ya ng d igunakan untuk kepentingan terapi/tata
laksana sesua i WHO, 2 yaitu: pausibasiler (PB) dan multibasiler (MB).
Da pat dil i hat pada tabel 1 .
2 . Klasifikasi Ridley-Jopling2 ya itu : 2 tuberkuloid (TI), borderline
tuberculoid ( BT), midborder/ine ( BB), borderline lepromatous (BL),
lepromatosa ( LL). Dapat d i l i hat pada tabel 2 .

label 1. Klasifi kasi W H O ( 1995) berdasa rkan ga mba ra n kl i n is
Gambaran klinis Pausibasiler Multibasiler
Lesi kulit (makula datar, • 1-5 lesi • 5 lesi
papul yang meninggi, • H i popigmentasi/ • Distribusi lebih
nod us) eritema simetris
• Distri busi tidak simetris • Hila ngnya sensasi
• Hilangnya sensasi yang kurang jelas
jelas
Kerusa kan sa raf Hanya satu ca bang saraf Banyak ca bang saraf
(menyebabkan hilangnya
sensasi/kelemahan otot
yang d ipersarafi oleh
saraf yang terkena)
Ketera ngan : Semua pasien dengan BTA positif, apapun klasifikasi klin isnya, diobati
dengan M DT-M B
* Dikutip dari kepustakaan no. 11

28
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Tabel 2. Klasifikasi Ridley-Jopling {1962) berdasarkan gambaran klinis, bakterioskopis, histopatologis, dan
imunologis·

BORDERUNE MID BORDERLINE BORDERLINE INDETERMINATE


SIFAT LEPROMATOSA (U.) TUBERKUlOID (TT)
LEPROMATOSA (Bl) (BB) TUBERKUlOID (BT) (I)
Plak, domMboped Makuia dibatasi Malc:ula saja,
Lfti: Malcula, infiltrat
Malc:ula, plak, papul (kubah), pullCMd- infiltrat, infiltrat Malc:ula dibmsi Hanya makula
a.ntuk difus, papul, nodus
out saja infiltrat
Sukar dihitung.
rida k terhitung, Dapat dihitung. Beberapa atau satu Satu, dapat Satu atau
Jurntah masih ada kulit
tidak ada kulit sehat kulit sehat jelas ada dengan satelit beberapa beberapa
sehat
DistrillUli Simetris Hampir simetris Asimetris Masih asimetris Asimetris Variasi
Agak kasar, agak Halus, agak
Permukaan Halus berkilat Halus berkilat Kering bersisik Kering bersisik
berkilat berkilat
Dapat jelas atau
llatm rtdak jelas Apk jelas Agak jelas Jelas Jelas
dapat tidak jelas
Tidak ada sampai Tidak ada sampai
Anestesia Tidak jelas Lebih jelas Jelas Jelas
tidakjelas tidak jelas
ITA: Negatif atau hanya Hampir selalu
Banyak (ada globus) Banyak Agak banyalc: Biasanya negatif
;><;
c
Lai kult 1+ negatif
"'
wm r+
Banyak (ada globus) Biasanya negatif Negatif OJ
hidunc ;><;
OJ
"C
OJ
Dapat positif
Tes l.epromin Negatif Negatif Biasanya negatif Positif lemah Positif ku at {3+) :)
lemah atau ne1atif
I
OJ
...,
001kutip dengan modlflltasl darl kepustakaan no.2 c
"'


£.
N c
:><"
lO ·v

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Melani Marissa-Wicaksono

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Diagnosis kusta biasa nya dapat dibuat berdasa rkan pemeriksaan


kl i n is seca ra teliti dan pemeriksaan bakterioskopis. Pada sebagian
kecil kasus, bila d iagnosis masih meragukan, d iperlukan pemeriksaan
histopatologis u ntuk menegakkan diagnosis. 2 pemeriksaa n h isto­
patologis pada kusta biasa nya dilaku kan u ntuk memastika n ga mbaran
klin is, misa l nya pada kusta indeterminate, ata u u ntuk menentuka n
klasifikasi. Pada u m u m nya dilakukan pewa rnaan hematoxyllin-eosin
dan pewa rnaan ta han asam Fite Faraco untuk menca ri BTA. 11
Karena M. leprae tidak da pat dibia kka n pada media a rtifisial/
buata n, dan juga kegaga lan pada isolasi kuman, mengaki batkan
d iagnosis serologis merupa ka n a lternatif ya ng paling d i h a rapkan.
Perhatian terhadap serod iagnosis ini semakin men i ngkat dengan
d i kemba ngka n nya tes serologis yang didasa rkan pada antigen spesifik
M. leprae ya ng determi n a n . 2 Pemeri ksaan serologis kusta didasa rkan
atas terbentu knya antibodi pada tubuh seseorang yang terinfeksi M.
/eprae. Bebera pa jenis pemeriksaan serologis kusta yang banyak
dipaka i, a ntara lain uji Mycobacterium /eprae particle agglutination,
enzyme linked immunosorbent assay, dan M. leprae dipstick. 12
Pemeriksaan biomolekuler u nt u k mendeteksi M. leprae dalam
j a ri ngan ata u sediaan hapus j uga mulai berke m ba ng. Novia nto dkk. 13
pada tah u n 2008 mela kukan penelitian u ntuk mendeteksi DNA M.
leprae pada perm u kaan lesi kulit pasien kusta M B yang bel u m
mendapat pengobatan, didapatka n hasil positif sebesa r 82,1% pada
subyek denga n kusta tipe LL d a n BL.

REAKSI KUSTA
Rea ksi kusta adalah suatu episode i nfla masi akut ata u subakut
yang didasari proses imunologik pada perjalanan penyakit kusta yang
kro n i k. Reaksi kusta d apat menyerang ku lit, saraf, mem bra n m u kosa,
dan organ lain nya. Pena nga nan rea ksi kusta yang tidak tepat dan
tidak adekuat dapat menyebabkan kecacatan, baik deformitas maupun
disabilitas. Terjadinya rea ksi meru pa ka n salah satu kara kteristik
penya kit kusta . Reaksi i n i da pat terjadi pada semua tipe kusta kecua l i
kusta t i p e indeterminate . 14

30
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Kusta: Kapan Harus Merujuk?

Terdapat tiga tipe rea ksi kusta, yaitu reaksi tipe 1 atau rea ksi
reversa l, reaksi tipe 2 atau eritema nodosum leposu m, d a n fenomena
Lucio. 1' 14' 15 Reaksi tipe 1 ditandai dengan episode meningkatnya
aktivitas inflamasi pada kulit dan/atau saraf pada pasien denga n tipe
borderline yang status imunologiknya tidak stabil (tipe BT, BB, BL).
Sedangkan reaksi tipe 2 atau ENL berhubungan dengan imunitas
humoral dengan terbentuknya kom pleks imun tanpa disertai perubahan
spektrum penyakit, biasa terjadi pada kusta tipe LL dan BL. Fenomena
Lucio merupakan suatu bentuk reaksi yang jarang terjadi, yang
ditemu kan pada pasien kusta Lucio. Sebagai tambahan, neuritis a kut
dapat terjadi secara terpisah atau merupakan bagia n dari reaksi kusta. 14
Reaksi kusta merupakan dasar terjadinya neuritis; d a n neuritis
merupakan gejala awal terjadinya deformitas, disabilitas, dan kecacatan
yang mengakibatkan terbentuknya stigma pada pasien kusta.
ldentifikasi dan tatalaksa na reaksi kusta sedini m ungkin merupakan h a l
ya ng sa ngat penting dilakuka n .

CACAT KUSTA

Kusta adalah penya kit yang memberi stigma yang sa ngat besar
pada masyarakat, sehingga pasien kusta menderita tidak hanya karena
penya kitnya saja, j uga d ij a u h i dan d i ku ci l ka n oleh m asya rakat. 1' 16 Hal
tersebut sebena rnya lebih banya k d isebabkan karena cacat tubuh
yang ta mpak menyera m ka n . Cacat tubuh tersebut sebenarnya d apat
dicega h apabila diagnosis dan penanganan penyakit d i l a kukan seca ra
dini. Demikian pula d i perlukan pengeta huan berbagai h a l ya ng dapat
men i m bu l ka n kecacatan d a n pencega han kecacata n, sehingga tidak
menimbu l ka n cacat tubuh ya ng tampak m enyeram ka n d a n dapat
berdampak stigmatisasi di li ngkungan sosia l . 16
Pembagian derajat cacat kusta dibutuhkan untuk menilai kondisi
disabil itas/deformitas pasien, ba i k u ntuk su rvei di lapa nga n m a u p u n
pada setting klinik. W H O pada tahun 1977 mengusulkan suatu pem­
bagian derajat cacat kusta, namun pada klasifikasi tersebut derajat
masing-masing kela i n a n tidak tampak dengan jelas. 17 Pada tahun 1988,
WHO merevisi pembagian derajat kecacatan kusta tersebut, namun
fungsinya lebih untuk pencatatan statistik d a n buka n u ntuk mencatat
perbai kan kondisi pasien dari segi rehabi l itasi . 17 Pencatata n

31
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Melani Marissa-Wicaksono

sederhana d iperl u ka n untuk dapat mengidentifikasi masalah dengan


cepat d a n menentukan tata l a ksa na yang sesua i secara sistematis.
Skema derajat cacat kusta ya ng telah d i mod ifikasi dan dapat dilihat
pada Tabel 3. Pada tabel tersebut penge rtian cacat kusta ya itu bila
mengenai m ata, tangan, d a n ka ki ya ng merupakan o rgan vita l pada
m a n usia. Anestesia dan u l kus termasu k cacat derajat 1 dan 2 yang
dapat ditangani oleh ahli fisioterapi serta personel lain yang berperan
dalam penanganan kusta. Sedangkan cacat derajat 3 mencakup paralisis
yang penanganannya harus dengan pem bedahan, sehingga harus
cepat d i ruju k ke fasi l itas kesehatan dengan layanan bedah . Cacat
derajat 4 m engacu pada m utilasi luas yang memerl u ka n perhatian
tim rehabilitasi. 17

Tabel 3. Derajat cacat kusta *


Derajat Tangan Kaki Mata
1 Anestesia Anestesia Konju ngtivitis
2 U l kus dan I u ka d a n/atau U l kus Panda nga n
resorpsi ringan neu rotrofik ka bur dan/
da n/atau claw atau inflamasi
toes bola mata
3 Beberapa j a ri clawing yang Drop foot Lagoftalmos
masih mobile da n/atau ibu
j a ri paralisis d a n/ata u wrist
drop
4 Sendi j a ri kaku d a n/atau Kontrakt u r Ke hilangan
resorpsi beberapa j a ri dan/atau pengl ihatan
resorpsi ka ki berat atau
berat kebutaan
* Dikutip dengan mod ifikasi dari kepusta kaan no.17

Tuj uan program pencega h a n cacat kusta a d a l a h : 16' 17


1. Mencegah timbulnya cacat (disabilitas atau deformitas) pada saat
diagnosis kusta ditegakkan dan diobati. Untuk tujuan ini diagnosis dini
dan terapi yang rasional perlu ditegakkan dengan cepat dan tepat,
2. Mencega h perburukan disabilitas/deformitas yang sudah ada,
3. Menjaga agar cacat tidak ka m b u h sebagai u paya pencegahan
terjadi nya transisi dari disa b i l itas ke handicap, da pat dilaku ka n
dengan penyul u han, adaptasi sosia l, dan latih a n .

32
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Kusta: Kapan Harus Merujuk?

Untuk mencapai tujuan i n i, tata laksana harus diberi ka n sejak


dini secara adekuat. Diperl u kan ketelitian dalam mengenali tanda awa l
kerusakan saraf dan kelainan mata aga r terapi pengobata n su portif
dan preventif yang sesuai dapat d i berika n . 17 Pencegahan cacat kusta
ini jauh lebih baik dan lebih ekonomis dari pada penanggulangannya.
Pencegahan harus dilakukan baik oleh petugas kesehatan, maupun
oleh pasien sendiri . 16

STRATEGI TATA LAKSANA

Tata laksana kusta meliputi pemberian multidrug therapy ( M DT)


rifampisin, dapson (DDS), dengan/tanpa klofazi m i n . Untuk kepentingan
terapi, WHO membuat klasifikasi 2 tipe kusta yaitu pausibasiler ( P B)
(Tabel 4) dan m u ltibasi ler ( M B) . (Ta bel 5 )


Tabel 4. Multidrug therapy tipe pausibasiler

Jenis obat <lO thn 10-lS thn >15 thn Keterangan


Rifampisin 300 mg/bulan 4SO mg/bulan 600 mg/bulan Minum di depan
petugas

Dapson 2S mg/bulan SO mg/bulan 100 mg/bulan Minum di depan


petugas

2S mg/hari SO mg/hari 100 mg/hari Minum di rumah


Lama pengobatan: diberikan sebanyak 6 dosis yang diselesaikan dalam 6-9 bulan
*Dikutip dari kepustakaan no.8

33
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Melani Marissa-Wicaksono

'

label 5. M DT tipe MB

Jenis obat <lO thn 10-15 thn >15 thn Keterangan


Rifampisin , 300 mg/bulan 4SO mg/bulan 600 mg/bulan Minum di depan
petugas
Dapson 2S mg/bulan 50 mg/bulan 100 mg/bulan Minum di depan
petugas
25 mg/hari 50mg/hari 100 mg/hari Minum di rumah
Klofazimin 100 mg/bulan lSO mg/bulan 300 mg/bulan Minum di depan
(Lampren) petugas
SO mg/2x SO mg/setiap 50 mg/hari Minum di rumah
seminggu 2 hari
Lama pengobatan: diberikan sebanyak 12 dosis yang diselesaikan dalam 12-18 bulan
* Dikutip dari kepustakaan no. 8

Pengobatan Kusta dengan Situasi Khusus

Pada situasi khusus, saat rejimen M DT-WHO tidak dapat diberikan


u nt u k a lasan tertentu, WHO Expert Committee pada tahun 1997
menyepa kati rejimen u ntuk situasi khusus, ya itu : 8
a . Pasien yang tidak da pat mengkonsumsi rifa m pisin
Pada kondisi alergi obat, pasien dengan penyakit penyerta hepatitis
kronis, atau terinfeksi kuman yang resisten dengan rifa mpisin.
Pengobatan dapat dilihat pada tabel 6.
label 6. Rejimen untuk pasien yang tidak dapat konsumsi rifampisin •

Lama pengobatan Jenis obat Dos is


6 bulan pertama Klofazimin SO mg/hari
Ditambah 2 dari 3
obat berikut:
Oflo ksasin 400 mg/hari
M i nosiklin 100 mg/hari
Kla ritromisin SOO mg/hari
Dilanj utkan 18 bulan Klofazimin SO mg/hari
Denga n Oflo ksasin 400 mg/hari
ATAU
M i nosikl i n 100 mg/hari
* Dikutip dari kepustakaan no.9

34
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Kusta: Kapan Harus Merujuk?

b. Pasien yang menolak klofazi m i n


Bila pasien menolak konsumsi klofazimin, maka klofazimin dalam
MDT-MB 12 bulan dapat diganti dengan ofloksasi n 400 mg/hari atau
m inosiklin 100 mg/hari sela m a 12 bulan, atau rifa m pisin 600
mg/bulan, ofloksasin 400 mg/b u l a n d a n m i nosikl i n 100 mg/bulan
( RO M ) selama 24 b u l a n .

c . Pasien yang t i d a k da pat mengkonsumsi da pson


Bila dapson menyebabkan terjadinya efek simpa ng berat, m isal nya
sindrom da pson (sindrom hipersensitivitas obat), obat ini harus
segera d ihentika n . Tidak ada modifikasi lain untuk pasien M B,
sehingga M DT teta p d i l a njutkan tanpa da pson selama 12 b u l a n .
Sedangkan u nt u k pasien P B, da pson d iganti dengan klofazi m i n
dengan dosis sama dengan M DT tipe M B se lama 6 b u l a n .

Pengobatan Kusta Selama Kehamilan d a n Menyusui


Kusta seringka l i menga l a m i e ksaserbasi pada masa keh a m i lan,
oleh karena itu M DT h a rus tetap d iberi ka n . M e n u rut WHO, obat­
obatan M DT standar a m a n d i pa ka i selama masa keh a m i l a n dan
menyusui ba i k u ntuk ibu d a n bayinya . Tida k d iperl u ka n perubahan
dosis pada M DT. Obat da pat m e l a l u i air susu ibu dalam j u m lah keci l,
bel u m ada la poran menge n a i efek simpa ng obat pada bayi kecu a l i
pewa rnaan ku l it aki bat klofazi m i n . 8

Pengobatan Kusta pada Pasien yang Tuberkulosis (TB)


Bila pada saat ya ng sama pasien kusta j uga menderita TB a ktif,
pengobatan h a rus d ituj u ka n u ntuk ked u a penyakit. Obat a nti TB
teta p d i berikan bersamaan dengan pengobatan M DT u nt u k kusta .
Dosis rifa mpisin d i berikan sesu a i dengan dosis terapi TB (setiap h a ri),
dan bila pengobatan TB sudah selesai (6 ata u 9 b u l a n ), dosis
rifa m pisin kembali mengikuti dosis tera pi kusta ( lx/b u l a n ) . 8

Pengobatan Kusta pada Pasien H IV


Ma najemen pengobata n pasien kusta yang disertai i nfeksi H I V
sama dengan menajemen u ntu k penderita non-H IV. 8

35
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Melani Marissa-Wicaksono

Pengobatan Reaksi Kusta


Reaksi kusta tidak dapat d ip red i ksi dan d icega h, tetapi terdapat
beberapa langkah ya ng dapat d i l a kukan aga r kecacata n tidak terjadi
lebih lanj ut, ya itu d iagnosis dan memberikan terapi rea ksi kusta
sed i n i m u ngki n . La ngkah-langkah tersebut adalah: 18
1 . M e m ba ngun kerj asama ya ng ba i k dengan pelayanan kesehatan
primer/perifer dengan melatih stafnya u nt u k da pat mengenali
tanda d a n gejala reaksi kusta seca ra d i n i, sehingga dapat meruj u k
pasien dengan kecu rigaa n reaksi kusta k e pelaya nan kesehatan
yang lebih ti nggi u ntuk d id iagnosis dan d itata l a ksana dengan baik.
2. Memberikan i nformasi kepada pasien dan keluarga mengenai
pentingnya keteraturan pengobatan penyakit kusta dan pasien harus
menyelesaikan pengobatan nya sesuai dengan waktu yang telah
ditentukan .
3 . M em berikan ed u kasi kepada pasien dan kel u a rga mengenai tanda
dan gejala awa l reaksi kusta dan neuritis dan memi nta mereka
u ntuk segera melaporkan ke petugas kesehatan bila pasien
menga l a m i hal tersebut.
4. Ta nda dan gejala awal sugestif rea ksi kusta :
• l nflamasi ku l it (eritema, nyeri, panas, edema) pada lesi kusta
ya ng sudah ada sebe l u mnya
• Benjol a n ( nodus) ya ng terasa nyeri di kulit (biasa nya di wajah
dan paha)
• Sensasi baal d a n kesem utan pada e kstre mitas
• Hilangnya sensasi, kelemahan, dan paralisis otot-otot ekstremitas
• Refle ks ked i p h i lang ata u tidak teratur
• Kelopak mata menutup tidak sem pu rna
• Mata merah
• Gangguan pengli hatan
• Luka ya ng tidak nyeri
• Kulit kering dan pecah-peca h
5 . Pasien dengan risi ko ti nggi menga l a m i rea ksi kusta harus diperiksa
seca ra berka la, m i n i mal sebulan seka l i .
6. Memulai tera pi reaksi sed i n i m u ngki n .

36
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Kusta: Kapan Harus Merujuk?

Kortikosteroid ( prednisolon) masih meru pakan terapi, utama dan


terapi pilihan pada tatalaksana awal reaksi kusta. M ekanisme kerja
kortikosteroid yaitu melalui ikatan denga n reseptor glukokortikoid (GR)
pada sitoplasma sel. Ketika berada dalam n ukleus, kom pleks G R-steroid
reseptor membentuk dimer dan berikata n dengan gen ya ng peka
terhadap steroid yang d iken a l dengan nama glucocorticoid response
element (GRE). Aktivasi GRE akan menghasilka n med iator a nti­
i nfla masi, m isalnya annexin-1, MAP kinase phosphatase-1, 1-kBa, d a n
leu kosit protease i n h i b itor. 19

Dosis dan d u rasi terapi prednisolon


WHO tah u n 1998 merekomendasikan suatu regi men sta ndar tera pi
RR dengan pemberian p red n isolon selama 12 m i nggu. 8 (Ta bel 7)

label 7. Regimen sta ndar pemberian ora l p redn isolon u nt u k reaksi


tipe 1 WHO ( 1998)*
Dosis Minggu terapi
40 mg/hari M i nggu 1 dan 2
30 mg/hari M i nggu 3 d a n 4
20 mg/hari M i nggu 5 dan 6
15 mg/hari M i nggu 7 dan 8
10 mg/hari M i nggu 9 dan 10
5 mg/hari M i nggu 11 dan 12
*Dikuti p dengan modifikasi dari kepustakaan no.8

Dengan pemberian dosis sta ndar W H O, kese m b u h a n da pat tidak


terca pai dan sering terjadi rekurensi. D u rasi pemberian steroid ya ng
lebih lama da pat memberikan perba i ka n ya ng lebih bai k dan
bertahan lebih lama. 8

KAPAN HARUS M ERUJUK


Sesuai dengan Standar Kompetensi Dokter I ndonesia (SKO i ) yang
disusun oleh Konsil Kedokteran Indonesia tahun 2012, standar kompe­
tensi penya kit kusta bagi l u l usan dokter u m u m adalah 4A yaitu
_

mampu mend iagnosis, mela kukan penata laksanaan secara m a n d i ri


dan tuntas. U ntuk penyakit kusta dengan rea ksi tingkat

37
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Melani Marissa-Wicaksono

kom petensinya adalah 3A, yaitu m a m p u mendiagnosis, mela kukan


penata laksanaan awal, d a n meruj u k pada kondisi bukan gawat
darurat. Sehi ngga dokter di pelaya nan primer dihara pka n mampu : 20
• membuat d iagnosis klinis d a n memberikan terapi pendah u luan
pada keadaan yang buka n gawat d a ru rat;
• menentukan ruj u ka n yang pa l i ng tepat bagi pena nganan pasien
selanj utnya; dan
• menindaklanj uti sesudah kem ba l i dari ruj u kan

U ntuk itu, seora ng dokter umum h a rus mengeta h u i indikasi ruj u kan
pada pasien kusta. Adapun i n d i kasi meruj u k pasien kusta adalah
sebaga i berikut:
• Diagnosis kusta ya ng meragukan (perlu pemeriksaan pen unjang
lanj utan, ya itu pemeriksaan ba kterioskopis, histopatologis, dan
atau serologis)
• Kusta rel a ps
• Kusta dengan masa l a h resistensi obat
• Reaksi alergi atau hipersensitivitas berat terhadap obat kusta
• Reaksi kusta ( reaksi reversa l dan reaksi tipe 2) berat dan berulang
• Cacat kusta yang memerl ukan intervensi komprehensif multidisiplin

Saat ini, tenga h d isusun pedoman panduan klinis kusta oleh


perh i m p u n a n dokter spesialis ku lit d a n kela m i n I ndonesia ( PERDOSKI )
u ntuk selanj utnya d i pe rgu n a ka n sebagai pedoman diagnosis, tata
laksana, dan a l u r ruj u ka n pasien kusta .

DAFTAR PUSTAKA
1. Rea TH, Modlin RL. Leprosy. Da lam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest
BA, Paller AS, Leffell DJ, penyunting. Fitzpatrick's dermatology in general
medicine; edisi ke-7. New York: McGraw- H i l l ; 2008. h . 1786-96.
2. Amirudin M D, Hakim Z, Darwis E. Diagnosis penyakit kusta . Dalam: Dai li ES,
Menaldi SL, lsmiarto SP, N i lasari H, penyunting. Kusta ; edisi ke-2. Jakarta: Balai
Penerbit F K U I ; 2003. h . 12-32.
3. Pengendalian kusta nasional di Indonesia. Dal a m : Syswa nda, Menaldi SL,
penyunting. Pedoman nasional program pengendalian penyakit kusta : edisi ke-
1. Ja karta: Kementerian Kesehatan RI, Direktorat Jenderal Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingku ngan; 2015.h. 13-24.

38
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Kusta: Kapan Harus Merujuk?

4. Rachmat H. Program pemberantasan penyakit kusta di Indonesia. Dalam: Da ili


ES, Menaldi SL, lsmiarto SP, N i lasari H , penyunting. Kusta; edisi ke-2. Ja karta :
Balai Penerbit FKUI; 2003.h. 1-11.
5. Jacobson R R, Krahenbuhi J L. Leprosy. La ncet 1999; 3 5 3 : 655-60.
6. Greenwood D, Slack RCB, Peutherer JF. Medical Mycrobiology. A guide to
microbial infection: Pathogenesis, immunity, laboratory d iagnosis, and control.
Edisi ke-15. New York: Churchill Livingstone; 1997. h . 209-13.
7. Moschella S. An u pdate on the diagnosis and treatment of leprosy. J Am Acad
Dermatol 2004; 5 1 : 417-26.
8. WHO Model Prescribing I nformation. Drug used in leprosy. Geneva: WHO,
1997.
9. WHO expert committee on leprosy; ih report. WHO techn ical report series;
874. Geneva : WHO, 1998 : h. 1-48.
10. Srinivasan H. Prevention of disabilities in patients with leprosy: A practical
guide. Geneva : WHO, 1993.
11. WHO. A guide to eliminating leprosy as a public h ealth problem. Edisi ke-1.
Geneva: 1995.
12. Agusni I, Menaldi SL. Beberapa prosedur diagnosis baru pada pasien kusta .
Dalam: Daili ES, Menaldi SL, lsmiarto SP, N ilasari H, penyunting. Kusta; edisi ke-
2. Jakarta: Balai Penerbit FKU I ; 2003 . h . 59-65.
13. Novianto E. Proporsi kepositivan PCR DNA Mycobacteriu m leprae pada
permukaan lesi kulit pasien kusta multibasilar yang belum menda pat
pengobatan dan hubu ngannya dengan kepositivan basil tahan asam pada
beberapa struktur kulit di bawa h nya. Tesis. Jaka rta : U n iversitas Indonesia,
2008.
14. Kar H K, Sharma P. Leprosy reaction. Dalam: Kar H K, Kumar B, penyunting. IAL
textbook of leprosy. Edisi ke· 1. New Del h i : Jaypee Brothers Medical Publishers
(P) Ltd; 2010. h. 269-89.
15. Bjune G. Reactions in leprosy. Leprosy Rev. 1983 J u n;Spec N o :61-7.
16. Wisnu I M, Hadilu kito G. Pencegahan cacat kusta . Da lam: Daili ES, Menaldi SL,
lsmiarto SP, Ni lasari H, penyunting. Kusta . Edisi ke-2, Jakarta: Balai Penerbit
FKUI; 2003, h.83-93.
17. Ma laviya G N . Deformity/d isa bility prevention. Da l a m : Kar H K, Kumar B. IAL
Textbook of leprosy. New Del h i : Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd;
2010.h.447-67.
18. Kar H K, Sharma P. Ma nagement of leprosy reaction. Dal a m : Kar H K, Kumar B,
penyunting. IAL Textbook of Leprosy. Edisi ke-1. New Del h i : Jaypee Brothers
Medical Publ ishers (P) Ltd; 2010.h . 386-99.
19. Walker SL, Lockwood DNJ. Leprosy type 1 (reversa l) reactions and their
management. Leprosy Rev. 2008;79:372-86.
20. Standar Kompetensi Dokter Indonesia. Konsil Kedokteran Indonesia, 2012.

39
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
PANDUAN MANAJEMEN PIODERMA

Mirawa�i Setyorini

PENDAHULUAN
Pioderma adalah penya kit kulit ya ng d isebabkan oleh Staphylo­
coccus, Streptococcus, atau oleh ked ua-duanya . Sebenarnya i nfeksi
kulit selain d apat d iseba b ka n oleh ku m a n Gra m positif m isal nya pada
pioderma, d apat pula d isebabkan oleh kuman G ra m negatif, misal nya
Pseudomonas aeruginosa, Proteus vulgaris, Proteus mirabilis,
Escherichia coli, dan Klebsiel/a. 1 Bebera pa faktor predisposisi dika itkan
dengan penya kit i n i yaitu : 1-3
1. H igiene yang ku ra ng;
2. M e n u ru n nya daya tahan tubuh, m isalnya kekuranga n gizi, a nem ia,
penya kit kro n i k, neoplasma ganas, diabetes mell itus, dan terapi
glukokortikoid; dan
3 . Telah ada penyakit kulit lain yang menyebabkan kerusakan epidermis/
I u ka akan memudahka n terjadinya i nfeksi .

BENTU K KUNIS PIODERMA

lmpetigo 1 '2
I m petigo adalah pioderma yang terbatas ha nya pada epidermis.
Bentu k ini terbagi menjadi 2 jenis yaitu :
1 . I m petigo krustosa (nonbulosa ) :
• K u m a n penyebabnya sebagian besa r adalah Streptococcus ft
hemolyticus (S. ft hemolyticus) u ntuk negara sedang berkembang,
n a m u n bisa j uga i nfeksi cam p u ran dengan Staphylococcus
aureus (S. aureus) terutam a d i negara ind ustri . Merupakan
bentuk klinis yang lebih sering terjadi d i bandingkan bentuk
bu losa, dan tanpa gejala u m u m .
• Gejala klinis: Kelainan berupa e ritema dan vesikel yang cepat
peca h menjadi krusta tebal kuni ng. Tem pat predi leksi di
sekitar lubang hid u ng dan m u lut.

40
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Panduan M anajemen Pioderma

2. I m petigo bulosa :
• Kuman penye babnya yaitu 5. aureus.
• Gejala klinis: lebih sering terjadi pada bayi, akan tampak eritema,
bula superfisial, bula h ipopion, dan kolaret eritematosa.
Predileksi tersering di a ksila, dada, dan punggung.

Folikulitis 1' 2
• Meru pa ka n penyakit radang fol i kel ra m but dengan etiologi 5.
aureus.
• Gejala kl inis: tampak papul, pustu l e ritematosa dengan ra m but d i
tenga h nya . Predileksi dapat terjadi d i tu ngka i bawa h, atas bibir,
dagu, ska lp, dan bokong.

Furunkel/Karbunkel 1· 2
• Ked ua penyakit i n i merupakan radang fol i kel ra m but dan
sekita rnya. J i ka j u m l a h lebih dari satu, d isebut furun ku losis.
Karbunkel ialah ku mpulan fu runkel denga n letak lesi lebih d a l a m .
Kuman penyebab penya kit i n i adalah 5. aureus.
• Gejala klinis: nodus e ritematosa dengan bent u k kerucut, d i
tengah nya terda pat pustul, da pat menjadi abses, dan mem ecah
membentuk fistel. Pada karbu n ke l sering d isertai d e m a m, malese
dan lesi ya ng nyeri . P redileksi nya yaitu a rea fri ksi, oklusi, dan
ba nya k berkeringat, m isal nya a ksila, wajah, leher, d a n bokong.

Ektima 1 · 2
• Ektima adalah u l kus su perfisial dengan krusta d i atasnya . Bentuk
ini dapat pula terjadi a kibat i mpetigo yang telah mencapai
dermis. Etiologi penyebabnya adalah 5. ft hemolyticus.
• Gejala klinis: krusta teba l berwa rna kuning ya ng lekat dan bila
dia ngkat a kan tampak u l kus d a ngka l . P red ileksi pada u m u m nya d i
a rea trauma, misal nya tu ngka i bawa h .

Pionikia 1
• Defi nisi pion i kia ya ituradang sekita r kuku ka rena 5. aureus
da n/atau 5. ft hemolyticus.
• Gejala klinis: u m u m nya kel a i n a n i n i didah u l u i tra u m a . Diawa l i
dengan i nfeksi pada l i pat ku ku, ya ng a ka n terl ihat tanda -tanda

41
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
M i rawati Setyorini

rada ng, kem u d i a n d apat menjalar ke m atriks dan l e m peng kuku,


serta terbentuk a bses subungu a l .

Ulkus Piogenik1
Defin isi penya kit i n i adalah i nfeksi yang d isebabkan kuman Gram
positif dengan gambara n kl i n is berupa u l kus dengan pus d i atasnya.

Abses Multipel Kelenjar Keringat 1


• Abses m u ltipel kelenjar keringat adalah i nfeksi S. aureus pada
kelenj a r keringat.
• Gejala klinis: nodus e ritematosa atau a bses m u ltipel tak nyeri,
berbentuk kubah, dan lama memeca h . Lokasi d itempat ba nyak
keringat.

Hidraadenitis 1
• ' Penyakit hidradenitis adalah i nfeksi kelenjar apokrin, yang biasanya
' disebabkan oleh S. aureus. lnfeksi terjadi pada usia sesudah a kil balik
sampai dewasa muda. Hidradenitis sering d idahului oleh mikro­
trauma, misalnya : banyak keringat, pemakaian deodorant, atau
pengguntingan/pencukuran rambut a ksila.
• Gejala klinis: terdapat gejala konstitusi, nodus dengan tanda radang
akut yang melunak menjadi abses, dan memecah membentuk fistel.
Penyakit ini memiliki predileksi di a ksila dan perineu m.
Erisipelas
• E risipelas meru pa ka n i nfeksi a kut epidermis dan dermis yang
biasa nya d isebabkan oleh Streptococcus.
• Gejala klinis: e ritem a wa rna mera h cerah dan berbatas tegas,
dengan tepi men inggi. Peradangan a kut yang dapat disertai gejala
konstitusi. Kondisi ini da pat d iserta i gam ba ran edema, vesikel,
d a n bula.
Selulitis
• Definisi penya kit i n i yaitu i nfeksi epidermis sampai subkutan oleh
Streptococcus grup A. Bila telah mengalami supurasi disebut dengan
Flegmon. 1 Kuman methicillin-resistant Staphylococcus aureus
(M RSA) umumnya jarang menyebabkan selulitis biasa, namun dapat
ditemukan bila ada cedera dalam, riwayat penggunaan obat suntik,
i nfeksi M RSA di tempat lain, atau terdapat lesi purulen yang jelas. 3

42
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Panduan Manajemen Pioderma

Kasus sel u l itis tu ngkai, dapat rekuren pada 8-20%. Fa ktor


pred isposisi rekurensi tersebut adalah antara lain l i mfedema,
insufisiensi vena, riwayat cedera/pembedahan di a rea tersebut,
tinea pedis, a bnormalitas sela jari ka ki, obesitas, merokok,
penderita kan ke r, d a n tuna wism a . 3
• Gejala klinis yang tampak adalah indurasi eritematosa dengan
edema yang nyeri dan berbatas tidak tegas. Bagian tengah selulitis
bisa terjadi bula epidermis ataupun nekrosis. Selain itu juga
ditemukan tanda konstitusi dan pembesaran kelenjar getah bening. 2

TATA LAKSANA PIODERMA

Kasus im petigo, ekti ma, karbu n kel, dan a bses sebai knya perlu
di lakukan pemeriksaan m i kroskopik dengan pemeri ksaan G ra m d a n
kultur-resistensi kuman dari p u s atau eksudat lesi u ntuk mengeta h u i
kuman penyebab, namun pengobatan empiris secara langsung juga
diperbolehkan pada kasus yang tipikal. Pada pemeriksaan mikroskopik
akan ditemu kan kuman kokus Gra m positif. Pemeriksaan h istopatologi k
u m u m nya tidak perlu dilakukan. 2• 3
Prinsip pengobatan pioderma dapat dilihat pada gambar 1.
Impetigo ringan-sedang dan folikulitis cukup ditangani dengan menjaga
higiene, pembersihan krusta, insisi/aspi rasi bula, dan pemberian
antibiotik topikal pada dasar lesi. 1'2 Obat yang dipakai adalah asam
fusidat, salap mupirosin, atau repamulin 2 kal i sehari selama 5 hari atau
sesuai klinis. Namun pada kasus yang ekstensif diperlukan antibioti k
sistemik. Terapi sistemik juga direkomendasikan pada saat terjadi
wabah sehingga bertujuan memutuskan transmisi i nfeksi segera . 2• 3

43
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
MANAG EM E NT OF
NONPURULENT PURU LENT
SSTls Furuncle I Carbuncle I Abscess
Necrotizing Infection /Cellulitis /Erysipelas

> EMERGENT SURGICAL INTRAVENOUS Rx ORAL Rx l & D I & D l & D


INSPECTION I DEBRIDEMENT • Penicillin or • Penicillin VK or C & S C & S
� Rule out necrolizing process • Ceftriaxone or • Cephalosporin or
> EMPIRIC Rx • Cefazol i n or • Dicloxacillin or
• Vanoomycin PLUS • Clindarnycin • Clindamycin
PiperacillinlTazobactam
EMPIRIC Rx1
• Vanoomycin or EMPIRIC Rx
• Daptomycln or • TMP/SMX or
• Linezolid or
C & S
• Doxycycline
• Televancin or

(Necrotizlng Infections)
DEFINED Rx
• Ceftarollne

Monomlcroblal St:1eptocxx:cus DEFINED Rx


DEFINED Rx
pyogenes MRSA
• Penicillin PLUS Cllndarnycin MRSA
Clost:ridial
• TMP/SMX
sp. • See Empiric
MSSA
• Penicillin PLUS Clindarnycin MSSA • Dicloxacillin or
Vi brio vulnificus • Nafcillin or
• Doxycycline PLUS Certazidime • Cefazolin or
• Cephalexin

Ae romona s h)drophi la • Clindarnycin


• Doxycycline PLUS Ciprofloxacin
l'blymlcroblal 1Since d a ptomyci n and televancin are not a pproved for use in children,
• Vancomycln PLUS vancomycin i s recommended; clinda mycin may be used if c l i n da myc i n
Piperacillin!Tazobactam resista nce is <10-15% at the institution.

Gambar 1. Algoritma terapi pioderma berdasarkan Infectious Disease Society of America.


Keteranga n : Mi/d/ringan: tanpa tanda sistemik. Mo derate/sedang: disertai tanda sistemik. Severe/berat: gagal terapi inisial, tanda sistemik
berat {SIRS), i m unokompromais, tanda i nfeksi lebih dalam, tanda hipotensi, gaga I organ. M RSA= methicillin-resistant Staphylococcus aureus;
MSSA= methicillin-susceptible Staphylococcus aureus; Rx= treatment; TM P/SMX= trimethoprim-sulfamethoxazo/e, C & S= culture &
sensitivity; I & D= incision & drainage.
* Diambil dari kepustakaan no. 3.
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Panduan Manajemen Pioderma

Kasus e ktima u m u m nya perlu diobati dengan a ntibioti k


sistemik. 3 Antibiotik siste m i k u nt u k e ktima atau i m petigo d iberikan
selama 5-7 hari terhadap S. aureus dan j uga Streptococcus. Fol ikulitis
luas, ka rbu n kel dan fu ru n kel besa r d itera pi siste m i k yang serupa.
Bakteri S. aureus pada i m petigo dan e kti m a u m u m nya methicilin­
susceptible, sehingga l i n i pertama da pat d i berikan di kloksasi l i n,
a moksisilin-asam klavu lanat, ata u sefa leksin (Ta bel 1). Obat oral lain
ya ng bisa d i pakai adalah azitro m isin, eritro m isin, atau kl indamisin. 2' 3
N a m u n bila d a ri hasil ku ltu r i m petigo dan e ktima tersebut
hanya ditemu ka n Streptococcus, m a ka a ntibioti k yang d iberikan
adalah penisilin dan d i berikan sa mpai 10 hari. Sebagian kasus (sekita r
20%) Streptococcus mulai resisten terhadap eritro m isin, keadaan i n i
dapat ditemukan di J epang dan F i n l a n d i a . N a m u n bila d item u ka n
M RSA, maka obat yang sesuai adalah doksisi kl in, klindamisin, ata u
kotrimoksazol (trimetoprim-sulfamethoksazol ) doksisikl in, minosiklin,
dan tetrasi klin. 2 ' 3
Pada kasus karbun kel, a bses, furun kel besar, dan hidradenitis
su purativa harus dilaku kan tindakan i nsisi dan drainase (Gambar 1). 1'3
Saat tindakan drainase dapat terjadi autoinokulasi sehingga disarankan
untuk menutup daerah sekita r lesi untuk mencegah perluasan lesi . 2
Namun bila abses atau hidradenitis belum melunak, diberikan kompres
terbuka dahulu. 1 Abses juga perlu dilaku kan pemeriksaa n kultur kuman
sejak awa l . Pada kasus a bses ringan, a ntibiotik siste m i k tidak h a rus
diberika n . 3 Pada kasus a bses reku ren pada lokasi ya ng terdahulu,
maka perlu d ica ri fa ktor predisposisi loka l, seperti kista, h id radenitis,
ata u benda asi ng. Bila a bses beru lang terjadi sej a k masa ka n a k­
ka nak, maka perlu di periksa ada tida knya kelainan neutrofi l . 3
Antibiotik sistem i k terhadap S. aureus d i berikan bila ditem ukan
abses dengan terdapat gejala sistem i k berat/systemic inflammation
response syndrome (SIRS), misa l nya demam > 38 °C, atau suhu < 36°C,
takikardia > 90 kali/menit, taki pnea > 24 kali/menit, leu kositosis
>12.000 sel/u l ata u < 400 sel/u l. Antibiotik sistem i k juga d i berikan
pada abses m ultipel, sering reku ren, pasien usia lanjut, dan bila
tindakan insisi-d rai nase kura ng efektif. Antibiotik terhadap M RSA
diberikan pada kasus ka rbu n kel atau a bses ya ng tidak memba i k

45
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
M i rawati Setyorini

setel a h d iberikan pengobatan siste m i k i n isial, daya tahan tubuh yang


sa ngat buruk d a n h i potensi. 3
Kasus pionikia d itanga n i dengan kompres la rutan antisepti k dan
di berikan obat a ntibiotik sistem i k. J i ka terjadi a bses, dilaku ka n insisi
dan d r51 inase. Bila terda pat a bses subu ngual, dapat dilakukan
tindaka n e kstra ksi kuku. 1• 2
Pada kasus eripsipelas dan selulitis yang khas dan tanpa disertai
tanda sistemik (selulitis ringan ), pasien cukup diberikan antibiotik oral
yang sensitif terhadap streptokokus, yaitu penisilin dan derivatnya,
sefalosporin, d i kloksasi lin, sefaleksin, ataupun klindamisin. Bila ada
tanda/kecurigaan i nfeksi M RSA, bisa diberikan klindamisin,
kotrimoksazol, atau doksisi klin . 3
O rga n yang terkena sel u l itis sebai knya dielevasi aga r terjadi
d ra i n ase edema dan m ateri rad a n g d i a rea tersebut. Selain itu,
faktor predisposisi juga harus diobati, misal nya edema atau penyakit
k u l it yang mend asarinya . Pada sel u l itis tu ngkai b awah, sela-se la
j a ri h a rus d i p e r i ksa d a n d iobati b i l a terda pat lesi fisu ra, skuama,
d a n maserasi. Bersihkan kolonisasi kuman patogen untuk mencegah
ke ka m b u h a n . 1' 3 Sel u l itis perlu d i ko m p res terbuka denga n l a ruta n
a ntiseptik. Gej a l a edema d a pat d i berikan d i u ret i ka . B i l a d ite m u ka n
s u p u rasi, m a ka d i la kukan i nsisi. 1
Bila ada tanda sistemik (selulitis sedang/moderate) perlu di­
berikan terapi antibiotik sistemik intravena, yaitu penisilin, seftriakson,
sefazolin, atau klindamisin. Namun beberapa klinisi menyara n kan u ntuk
m e m i l i h a nti biotik ya ng sensitif j uga terhadap 5. aureus. La ma tera pi
sel u l itis nonko m p l i kata adalah 5 h a ri, n a m u n dapat diperpanjang bila
i nfeksi bel u m membaik. Pasien sel u l itis ya ng perlu rawat inap adalah
pasien dengan sel u l itis berat, i munoko m p roma is, dan ada nya
kesulitan pengobata n m a n d i ri . 3
Pasien selu litis berat ya ng berh ubu ngan dengan tra u m a dalam,
i nfeksi M RSA di tempat lain, kolon isasi M RSA pada nasal,
penggunaan obat suntik, atau SI RS, maka pasien h a rus rawat inap
dan dilakukan pemeriksaan ada tida knya p roses nekrosis sehingga
da pat menentu ka n perlu tida knya tindakan bedah/debridement.
Selain itu, pasien tersebut perlu d i l a k u ka n pemeriksaan kultur dan
resistensi d a ri lesi. Ma najemen awal d i berikan tera p i empiris dengan

46
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Panduan Manajemen Pioderma

va n komisin ditambah piperacillin-tazobactam ata u i m i penem/


meropenem yang efektif untuk Streptococcus dan M RSA, dan
selanjutnya terapi disesuaikan dengan hasil kultur dan resistensi kuman. 3
Pada beberapa kasus teruta m a pada pasien ya ng menga l a m i 3-
4 episode sel u l itis per ta h u n, da pat di pertimba ngka n pem berian obat
profilaksis berupa obat penisi lin atau eritromisin 2 ka l i sehari selama
faktor predisposisi masih menga nca m terjadi i nfeksi rekuren. 3

47
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Tabel 1. Daftar a ntibiotik d a n dosis sistem i k pioderma
+
PENYAKIT JENIS ANTIBIOTIK OOSIS OEWASA DOSIS ANAK
Impetigo Dikloksasi lin 4x250-SOO mg po * *
Sefaleksin 4x250 m g po * * 25-50 mg/kg/hari dibagi 3-4 dosis
Amoksisilin - asam 2x875/125 m g po' atau 4x250-500mg* 25 mg/kg/hari amoksisi lin dibagi
klavulanat 2 dosis
Azitromisin 500mg/hari, dilanjutkan lx250 mg
selama 4 hari
Eritromisin 4x250-500 mg po 40 mg/kg/hari d i bagi 3-4 dosis
Klindamisin 4x3Q0-400 mg po 20 mg/kg/hari dibagi 3 dosis
Methicillin­ Oksasilin 1-2 g/4 jam IV 100-150 mg/kg/hari dibagi 4 dosis
susceptible s. Sefazolin l g/8jam IV 50 mg/kg/hari d i bagi 3 d osis
aureus-skin and Klindamisin 600 mg/8 jam IV atau 25-40 mg/kg/hari dibagi 3 dosis IV atau 25-
soft tissue 4X3oo-450 mg po 30 mg/kg/hari dibagi 3 dosis po
infections(MSSA Dikloksasilin 4x500 mg po 25-50 mg/kg/hari dibagi 4 dosis
SSTI) Sefaleksin 4x500 mg po 25-50 mg/kg/hari dibagi 4 dosis
Doksisi klin/minosiklin 2x100 mg po Tidak untuk usia <8 tahun
Kotrimoksazol 2x160/800mg po 8-12 mg/kg (berdasarkan trimetoprim)
dibagi 4 dosis IV
Atau 2 dosis po
Methici/lin­ Vankomisin 30 mg/kg/hari dibagi 2 dosis IV 40 mg/kg/hari dibagi 4 dosis
resistant S. aureus­
slcin and soft tissue Linezolid 600 mg/12 jam IV atau 2x600 mg po 10 mg/kg/12 jam IV atau po untuk anak <12
infections MRSA tahun

* Dikutip d a ri lcepustakaan no_ 2 _ * * =terapi lini pertama, IV=intravena, po= per oraL #Dikutip dari kepustakaan no_ 3

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Lanjutan label 1. Daftar antibiotik dan dosis sistem i k

PENYAIITT JENIS ANTIBIOTIK OOSIS DEWASA DOSIS ANAK


SSTI Klindamisin 600 mg/8 jam IV atau 25-40 mg/kg/hari dibagi 3 dosis IV atau 30-
4x30Cl-450 mg po 40 mg/kg/hari dibagi 3 dosis po
Daptomycin 4 mg/kg/24 jam IV
Ceftaroline 2x600 mg lV
Ooksisi kl in/mi nos iklin 2x100 mg po Tidak untuk anak usia <8 tahun
Kotrimoksazol 2x 160/800 mg po 8-12 mg/kg/hari (berdasarkan trimetoprim)
dibagi 4 dosi.s IV atau 2 dosis po
lnfeksi kulit Penisilin 2-4 juta unit/4-{i jam IV 60.000-100.000unit/kg/kali tiap 6 jam
streptococcus
Klindamisin 6oo-900mg/8 jam IV 10-13 mg/kg/kal i tiap 8 jam IV
Nafcillin 1-2 g/4-{i jam IV 50 mg/kg/kal i tiap 6 jam
Cefazolin l g/8 jam IV 33 mg/kg/kali tiap 8 jam IV
Penisilin V potassium 4x250-SOO mg po
Sefaleksin 4x500 mg po
"
Azitromisin 1 hari 500 mg, dilanjutkan lx250 mg 4 QJ
-. ::> :J
c..
-.

hari c::
QJ
'

Eritromisin 4x250-500mg 40 mg/kg/hari dibagi 3-4 dosis :J


s::
* Di kutip dari kepusta kaan no.2. **= terapi l i n i perta ma, IV= intravena, po= per oral. #Dikutip dari kepustakaan no. 3 QJ
:J
QJ
(D"
3
rt>
:J
"
Ci'
c..
rt>

3QJ
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
M irawati Setyorini

DAFTAR PUSTAKA
1. Djuanda A. Pioderma. Da lam: Menaldi SLSW, Bramono K, lndriatmi W,
penyunting. l l m u penyakit kulit dan· kelamin. Edisi ke-7. Ja karta : Balai Penerbit
FKUI; 2015.h.71-77.
2. Craft N . Su perficial cutaneous i nfections and pyodermas. Dalam: Wolff K,
Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel l DJ, penyunting.
Fitzpatrick's dermatology in general medicine. Edisi ke-8. New York: Mc.Graw­
H i l l; 2012: 2128-47.
3 . Stevens DL, Bisno AL, Chambers H F, Dellinger EP, Goldstein EJC, Gorbach SL, dkk.
Practice guidelines for the diagnosis and management of skin and soft issue
infections: 2014 update by the Infectious Disease Society of America. Clin Infect
Dis. 2014;59(2):e10-52.

50
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
TATA LAKSANA DERMATITIS ATOPIK
BERDASARKAN PATOGENESIS

Endi N ovianto

EPIDEMIOLOGI

Dermatitis atopik ( DA) merupakan penyakit inflamasi kulit kronik


yang disertai keluhan gatal dan berhubungan dengan riwayat atopi
pribadi dan keluarga yaitu asma, rin itis alergika, dan konj ungtivitis
alergika. 1 Pada anak di negara maju prevalensi DA diperkirakan mencapai
sekitar 20% dan pada dewasa sekitar 2-3%. 2'3 Terdapat dua tipe
dermatitis atopik berdasa rkan adanya peningkatan kadar imunoglobulin
E ( lgE) dalam seru m . Ti pe e kstri nsik meru pa ka n ti pe DA ya ng d isertai
peningkata n kadar lgE, tipe ini lebih ba nya k d item ukan sekita r 70-
80% pasie n . 1, 4' 5 DA tipe i nstri nsik tidak d isertai peningkatan kadar lgE,
saat ini diduga d icetuska n rea ksi yang d i perantarai oleh sel T
penolong 1 (Th l). 4

PATOGENESIS

Patogenesis DA merupa ka n i ntera ksi ya ng kompleks a ntara


pengaruh genetik, kerusakan sawar kulit, gangguan kesei m bangan
sistem imun, tekanan psikologis, dan faktor lingkungan. 1,4' 5 Penurunan
genetik DA belu m sepenuhnya dimengerti. Riwayat atopi pada keluarga
da pat d i pe roleh sekitar 43-73% kasus DA. Pasien tanpa riwayat atop i
pada keluarga biasanya memiliki tingkat keparahan yang lebih rendah.
Penelitian pada orang kembar menunjukkan DA dapat ditemukan
bersamaan pada 85% kembar monozigot dan 20% kembar dizigot. Bila
salah satu ata u kedua orang tua m e m i l i ki dermatitis atopik m a ka
kem u ngki nan a n a k DA meningkat 3,4 ka l i l ipat. 6 Beberapa gen yang
diketa h u i berh u b u ngan dengan p rod u ksi lgE ada pada kromosom
l l q 13 D11S97. Berbagai gen ya ng terlibat dalam DA terd i ri atas 2
kelas. Kelas 1 adalah gen predispos1si atopi d a n respons lgE seca ra
u m u m, seda ngka n kelas 2 adalah gen ya ng mempenga ru h i respons

51
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Endi Novianto

lgE spesifik. Bebera p,a kromosom yang d i keta h u i berhubungan


dengan DA adalah kro�osom 5, 6, 7, 12, 13, 14, dan 16. 1
Sawar kulit berfungsi untuk melindungi kulit terhadap lingkunga n
luar dan mencegah kekeringan . Sawar kulit pada manusia terdiri atas
stratu m korneum dan tight junction (TJ ). 4' 5 Beberapa faktor ya ng
did uga dapat menyebabkan ku l it kering adalah men u ru nnya seram id,
perubahan pH, e kspresi berlebihan enzim protease (kalikrei n dan
kimase), dan defek fi lagri n . 4 Salah satu ka ra kteristi k DA adalah ku l it
kering pada lesi m a u p u n pada ku l it ya ng ta mpak normal. Kekeringan
ku l it pada DA seba nding dengan peni ngkatan transepidermal water
loss (TEWL) yang menu njuka n bahwa sawar kulit terganggu. Sejak
dahulu gangguan sawar kulit diduga sebagai penyebab terjadinya lesi
DA.4'5 Sebagai akibat terganggunya sawar kulit, zat asing dari luar seperti
alergen, bakteri, dan virus dapat mudah masu k ke dalam kulit.4
Ketidaknormalan stratu m korneum pada DA berhubungan dengan
m utasi pada gen ya ng mengkode filagrin ( FLG) . Kehilangan fu ngsi gen
F LG menga kibatka n t i m b u l nya DA. Prote i n F LG terletak pada stratum
gra n u losu m d i epidermis. Profi lagrin merupakan komponen utama
granul keratohialin. Seiring terjadinya diferensiasi epidermis, profilagrin
akan menga l a m i defosforilasi d a n dibelah menjadi 10-12 molekul FLG
kem u d i a n a ka n beragregrasi m e m bentuk matriks protein lemak yang
padat. M olekul F LG d i u ra i lebih jauh menjadi natural moisturizing
factor ( N M F) oleh enzim caspase14, peptidylarginine deiminase, ata u
bleomycin hydrolase. N M F sangat penting untuk menjaga kelembapan
dan derajat keasaman kulit. M utasi gen FLG terjadi pada DA ekstrinsik,
tidak pada instrinsik, sehi ngga gangguan sawa r ku l it lebih m u ngki n
terjadi pada DA ekstri nsik. 4
DA ekstri nsik adalah penya kit ya ng d i perantarai Th2 dengan
ka ra kteristik pen i ngkata n produ ksi lgE, eosi nofi l ia, a ktivasi sel mast,
serta peni ngkata n i nterleu ki n ( I L)-4 d a n I L-13. 4'5' 7 Peni ngkatan I L-4
a kan m e m icu pembentukan lgGl dan lgE oleh sel B. 8 Kerati nosit
man usia yang sedang berd iferensiasi bila terpajan dengan I L-4 dan I L-
13 a ka n men u ru n ka n e kspresi fi lagrin sehingga kadar F LG pada DA
rendah wa l a u p u n ta n pa m utasi gen FLG. Keadaan i n i menunj u kkan
respons perada ngan pada DA a kan mengi n d u ksi ga ngguan sawa r
kulit . 4 Peradangan ya ng t i m b u l akan menyebabkan rasa gatal yang

52
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Tata Laksana Dermatitis Atopik Berdasarkan Patogenesis

memicu ·g a rukan dan garukan ya ng timbul a ka n membuat kerusakan


sawa r ku l it lebih banyak serta memperkuat peradangan sel a njutnya . 4
Alergen konvensional pada DA adalah p rotein, yaitu suatu
molekul yang lebih besar d a ri h a pten. Sel La ngerhans (SL) adalah sel
dendritik yang berpera n dalam terbentu knya DA. Alergen ya ng sering
menjadi pencetus pada DA adalah tungau debu rumah. Pajanan
berulang antigen protein, yang memiliki a ktivitas protease di antaranya
tungau debu rumah, a kan meningkatkan e kspresi thymic stromal
lymphopoietin (TSLP) pada epidermis. Peningkatan TSLP akibat kerusakan
stratu m korneum akan memicu sel dendritik kulit ( DC) u ntuk meng­
induksi respons Th2. Hal ini dibuktikan dari kerusakan sawa r kulit
mencit yang diinduksi tape stripping a ka n meningkatkan m RNA
kemokin Th2 (CCL17 dan CCL22 ) dan kemoatra ktan eosinofil (CCL 5 ) .
Kerusakan sawar kulit ya ng diaki batkan o l e h ga rukan m a u p u n m utasi
F LG a kan mendukung berkem ba ngnya sel T ke a ra h Th2 dan
kemu ngki nan paja nan a ntigen e kste rna l ke dalam kulit. 4•9
DA ya ng telah berlanj ut menjad i kro n i k menga l a m i perubahan
fenotip dari Th2 menjadi Thl, tetapi tidak diketahui secara pasti
bagaimana mekanisme ini terjadi.5 Keadaan dominasi Th2 a kan
menghambat produ ksi peptida antimi kroba di kulit dan merupakan
predisposisi terjadinya i nfeksi. Sa lah satu dugaan penyebab terjadinya
perubahan Th2 menjadi Th l pada fase kronik yaitu adanya i nfeksi oleh
Staphylococcus aureus. Selain itu, kolonisasi oleh bakteri tersebut juga
akan meningkatka n i nfla masi dan menga ki batka n ganggua n sawa r
ku l it menjadi lebi h berat. 4
Berbeda dengan DA ekstri nsik, seca ra i m u n ologi DA i ntrinsik
ditandai dengan peni ngkata n sitokin Th l yaitu i nterferon ( I F N )-y,
pen uruna n sitokin Th2 ya itu I L-4, I L-5, dan I L-13, serta kadar serum
lgE normal. Berdasarkan hal tersebut diduga ba hwa DA i ntri nsik
bukan disensitisasi oleh alergen protein tetap i oleh alergen logam
ya ng tidak disertai pembentukan lgE. 4• 5
Sel Th17 sudah d i keta h u i pera n nya pada beberapa penyakit
autoi m u n yaitu sklerosis m u ltipel, a rtritis rematoid, inflammatory
bowel disease, dan psoriasis. Peran · sel Th17 dalam patogenesis DA
mulai d i perhatika n . Telah d i b u ktikan terd a pat peni ngkatan sel Th17
dan I L-17 di lesi ku l it dan darah pasien DA. Sel Th17 memp rod u ksi

53
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Endi Novianto

sitokin pro-i nflamasi di a ntaranya adalah I L-17A, I L-17F, I L-22, dan I L-


26. I L-17A dan I L-17F mengi n d u ksi p rod u ksi CXCL-1, I L-8, CCL-4, I L-1�,
dan I L-6 dari sel eosinofi l . Histam i n meni ngkatka n efek I L-17 pada
kerati nosit u ntuk memproduksi sitokin med iator i nfla masi dengan
ada nya sitokin proinflomasi lain melal u i reseptor H l . I L-17A juga a kan
mengurangi ekspresi FLG ya ng a ka n menyeba bkan ga ngguan
pembentukan sawa r ku lit. Sela i n Th 17, sel T22 yang mem produ ksi I L-
22 j uga dite m u ka n men ingkat pada ku lit pasien DA, teruta ma pada
DA berat. I L-22 mengi nduksi p roliferasi epiderm is, terjadi a ka ntosis
dan h i pogra n u losis. T22 teruta ma dite m u kan pada DA kro n i k. 4
Gatal yang ti mbul pada pasien DA merupakan sensasi tidak
m enyenangkan dan menimbulkan keinginan u ntuk menggaruk. Sensasi
gatal dapat diinduksi oleh berbagai mediator. Pada DA mediator ya ng
d iduga berperan adalah h istamin yang dihasi l kan oleh sel mast; nerve
growth factor (NGF) dan semaphorin 3A yang dihasilkan oleh
kerati nosit; a rtemi n dari fibroblas; su bsta nsi P oleh sera but sa raf; dan
I L-31 dari sel Th2. 4' 5' 7

MAN I FESTASI KUNIS DAN DIAGNOSIS

Tida k adanya pemeri ksaan laboratoriu m yang dapat memastikan


DA mem persu l it diagnosisnya . Hanifi n dan Rajka pada ta hun 1980
mem buat pendekata n sistematik beru pa kumpulan gejala dan
m a n ifestasi klinis m a u p u n laboratori u m u ntu k mend iagnosis DA yang
terdi ri atas 4 kriteria m ayor dan 23 kriteria m inor. Diagnosis DA da pat
ditega kka n bila didapatka n m i n i ma l 3 kriteria mayor dan 3 kriteria
m i nor. 1 • 10

Kriteria mayor terdiri atas: 10


1 . Gata l : diagnosis DA tidak da pat di buat ta n pa keluhan gata l,
kem u ngki nan kelainan kulit ya ng ditemukan sebagian besa r
dise ba bka n oleh ka rena garuka n .
2 . Morfologi d a n distribusi ya ng khas: l i ke n ifikasi fleksural pada
dewasa, keterli bata n wajah dan ekstensor pada bayi dan anak.
Perlu d i i ngat bahwa morfologi penya kit kulit lain misalnya
n e u rodermatitis j uga dapat berupa l i ken ifi kasi.

54
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Tata Laksana Dermatitis Atopik Berdasarkan Patogenesis

3. Dermatitis yang berifat kron i k ata u ka m b u h beru l a ng: DA d a pat


berla ngsu ng kron i k, ka m b u h setiap m i nggu, atau beberapa tahun
setelah rem isi sem pu rna.
4. Riwayat atopi (asma, ri n itis alergika, d ermatitis atopik)
A. Pada pasien: man ifestasi alergi pada sa l u ra n napas d item ukan
pada sekitar 50% pasien, berva riasi a ntar kelompok usia.
B. Pada keluarga : sekitar 70% pasien DA menyadari bahwa anggota
keluarganya memiliki satu atau lebih manifestasi atopi.

Kriteria minor terdiri atas: 10


1. Xerosis: ku l it kering generalisata sangat mendukung d iagnosis
DA. Keadaan ini dapat hilang timbul tergantung keparahan penyakit
dan d a pat mengh ilang pada fase remisi.
2 . l ktiosis: da pat d itemu ka n pada 2-6% DA dan bila terdapat
bersamaan dengan h i perl i near palmaris, keratosis pilaris, dan
xerosis maka h u bu ngan nya menjad i lebih tinggi . Ta nda atop i k
ditemukan pada 50% pasien dengan i ktiosis.
3 . Reaktivitas uji kulit tipe cepat (tipe I): 80% pasien dengan DA
bereaksi dengan antigen uji kulit tipe I . Tes ini tidak spesifik, ke­
gunaan tergantung dari kualitas antigen, konsentrasi, dan standarisasi
yang baik.
4. Peni ngkata n seru m lgE: merupaka n penanda ya ng tidak s pesifi k,
da pat d item u ka n pada penya kit lain. Kadar yang ti nggi (>2000
unit/ml) dapat sangat mendukung diagnosis DA, tetapi konsentrasi
lgE dapat normal pada 20% pasien.
5 . Awita n usia d i n i : wa laupun tidak spesifi k, n a m u n da pat menolong
untuk menega kka n atau menyingkirkan d iagnosis DA. Sekita r
90% awita n DA d i m u la i sebe l u m usia 5 tah u n dan awita n d ewasa
selalu men i m b u l ka n kecu riga a n a ka n kebena ra n diagnosis.
6. Kecenderungan u ntuk menga l a m i i nfeksi kulit/ga ngguan i m u n itas
sel u ler: wa l a u p u n m ayoritas pasien DA tidak bermasa l a h dengan
infeksi, tetapi erupsi beru !ang herpes s i m pleks ata u kutil dapat
mendukung diagnosis. lnfeksi stafilokokus superfisial yang mem basah
ata u pustu lar seri ng dite m u ka n . H a l tersebut menggam barka n
adanya penurunan sistem i m u n itas sel u ler serta ga ngguan
kemotaksis monosit dan sel polimorfon u klear.

55
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Endi Novianto

7. Kecenderu ngan terjadi dermatitis tangan dan ka ki. yang tidak


spesifik: dermatitis tanga n terjadi pada 70% pasien DA dan
sepertiga kasus DA lesi d i m u la i dari tangan . Keadaan kulit ya ng
keri ng, merada ng, dan berskuama teruta ma pada pergela ngan
dan punggung tangan dapat merupaka n DA.
8. Eksim p a d a puting susu : wa l a u p u n t i d a k sering terjadi, bila satu
ata u ked u a puting susu terjadi eksim yang membasah, fisu ra,
atau l i ken ifikasi merupaka n tanda ya ng spesifi k u ntuk DA.
9. Keilitis: Deskuamasi kro n i k bibir atas adalah tanda yang sa ngat
spesifi k pada DA, teta p i pasien DA lebih sering mengalami pada
bibir atas dan bawah, juga sekitar bibir. Variasi ya ng cukup ekstrim
dari keilitis adalah furowed mouth syndrome yang juga sering terjadi
bersamaan dengan scrotal tongue yang disebabkan karena
bernapas melalui mulut pada pasien dengan rinitis alergika kronik.
10. Konj u ngtivitis berulang: masa l a h i n i biasa nya bersa maa n denga n
ri n itis alergika n a m u n dapat j uga berd i ri sendiri. Keadaan yang
lebih berat dapat menyebabkan terjadinya ektropion. Konjungtivitis
vernal yang m e n i m b u l ka n papu l-pa p u l h a l us pada kelopak mata
bagian dalam dapat menyebabkan ketidaknyamanan pada kornea.
11. Lipatan di bawah mata Dennie-Morga n : penyebab pasti timbulnya
belum d i keta h u i, berupa l i pata n tu nggal d i bawah mata ya ng
didapatka n pada 70% pasien DA. Dua l i pata n meru pa kan tanda
ya ng lebih spesifi k, tetapi ha nya ditem u ka n pada sebagian kecil
pasien DA.
12. Keratokonus: sudah jarang ditemukan dan tidak spesifik untuk DA.
13. Katara k subka psular anterior: katarak yang timbul secara spontan,
bilateral pada lensa a nterior cukup sp2sifi k u ntuk DA. Kelainan ini
da pat timbul pada dekade kedua atau sete lah nya, ditem u kan
pada sekita r 16% pasien DA, teruta ma yang berat.
14. Warna gelap sekita r m ata : seri ng disebut allergic shiners,
didapatka n pada sebagian besar pasien DA.
15. Pucat dan kemera h a n pada waja h : keadaan paradoks ini dapat
timbul bersa maan pada pasien DA.
16. Pitiriasis a l b a : h ipopigmentasi ringan pasca-i nfla masi, biasanya
terjadi pada pasien dengan kulit gelap pada lokasi ya ng terpajan

56
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Tata Laksana Dermatitis Atopik Berdasarkan Patogenesis

mata hari . Keadaan i n i juga d apat d itemu ka n pada pasien yang


tidak memiliki atopi.
17. Lipatan leher a nterior: l i pata n horiso nta l pada leher, tidak
spesifik tetapi d itemu ka n pada sebagian besa r pasien DA.
18. Gatal saat berkeri ngat: ini merupakan gejala u n iversa l pasien DA,
da pat dicetuska n oleh a ktivitas, panas, emosi, serta penggunaan
pakaian ya ng okl usif atau penggunaan salep.
19. Tidak tahan terhadap wool d a n bahan pela rut lemak: sering
ditem u kan, kem u ngkinan d isebabkan ka rena turu n nya a m bang
rangsang gatal terhadap bahan i rita n pada kulit atopik.
20. Aksentuasi perifol ikular: mem berikan ga m baran kulit ya ng tidak
m u l us, lebih jelas pada pasien dengan ku l it gelap, patognomonik
untuk DA.
21. l ntoleran terhadap maka n a n : rea ksi ku l it terhadap maka n a n
biasanya ditemukan p a d a a n a k-a n a k dengan DA, sebagian besa r
akan mengh i l a ng denga n berta mbah nya usia. Kelainan dapat
berupa urtikaria konta k terhadap terhadap tel u r, i kan, dan bahan
lain.
22. Kekambuhan dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan emosi : pasien
DA biasanya dapat menggam barkan hubungan keka m bu han
dengan peru bahan l i ngkungan atau fa ktor emosio n a l .
23. Dermografisme putih dan delayed blanch: goresan p a d a kulit
pasien DA a ka n men i m b u l ka n garis putih b u kan triple respons
seperti pada orang norm a l . Demikian j uga bila d i l a k u ka n i njeksi
meta kol i n pada kulit pasien DA a ka n membuat blanching,
berbeda dengan orang normal ya ng akan t i m b u l kemera h a n .
Reaksi ini tidak spesifi k dan da pat timbul pada dermatitis l a i n .
Lesi D A a kut ditandai denga n gatal ya ng hebat, pap u l
eritematosa, e kskoriasi, d a n eksudasi, sedangkan p a d a lesi kronik
terdapat l i ken ifi kasi, keri ng, d a n papul fi brotik. 11' 12 Ku lthanan d kk. 13
pada tahun 2011 melaku ka n penelitian u ntuk mencari perbedaan
man ifestasi klinis DA tipe e kstrinsik dengan tipe i ntrinsik. Diantara
hasil penelitian tersebut dida patka n ba hwa pada DA tipe e kstri nsik
lebih sering terjadi l i ken ifikasi ata u eksematisasi fleksu ra l dan pada
tipe intrinsik lebih sering terjadi keterlibatan sel a i n fleksural, lesi
n u mu l a r, dan fol i ku la r.

57
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Endi Novianto

SCORING A TOPIC DERMA TIT/S

U ntuk mengukur derajat _DA terd apat beberapa ca ra, yang


sering d igunaka n adalah Eczema Area and Severity Index ( EAS I ) dan
Scoring Atopic Dermatitis (SCORAD). Pada EASI tidak memperhitungkan
gejala subyektif, sedangkan SCORAD memasukkan keluhan subyektif
pasien DA. Pen i l a i a n SCORAD meli puti luas lesi, i ntensitas lesi, dan
gejala su byektif. Luas lesi d i h itung dengan persentase O - 100%. Pada
bagian i ntensitas d i n i la i eritema, edema/papulasi, membasa h/krusta,
ekskoriasi, likenifi kasi, dan derajat kekeringan, masing masing mem­
punyai skala 0 - 3, rentang nilai i ntensitas 0 - 18. Gejala subyektif gatal
pada siang hari dan gangguan tidur masing-masing diukur dengan visual
analog scale (VAS) denga n skala 0 - 10. Masing-masing komponen a kan
mempunya i n i la i d a n d i masu kkan ke dalam rumus u ntuk dihitung
nilai akhirnya (SCORAD= luas lesi/5 + i ntensitas x 3,5 + subjektif). Nilai
maksimal SCORAD adalah 103, bila tidak mengi kutkan gejala subyektif
m a ka n i l a i m a ksimal 83. l ndeks SCORAD masih menjadi baku emas
dalam uji klinis DA sampai saat i n i . Berdasa rkan SCORAD, keparahan
DA d i kategorikan sebagai ringan bila nilainya 1 - 14, sed a ng bila 15 -
39, d a n berat bila 40 - 103. 14

PEDOMAN TATA LAKSANA DERMATITIS ATOPIK SAAT I N I

Lima pilar dalam tata laksana dermatitis atopik meliputi: edu kasi
dan pemberdayaan pasien dan orang terdekat; sekolah atau kegiatan
pendidikan untuk e ksim; penghindara n dan modifikasi faktor pencetus­
mengembalikan dan merawat sawar kul it yang optimal; mengh ilangkan
lesi ku l it merada ng; serta mengh i l a ngka n siklus gatal ga ruk. 15

Emolien

Penggunaan emolien merupakan bagian yang penting dalam


tata l aksa na dermatitis atopik. E molien h arus digu n a ka n 2-3 ka l i ata u
lebih per hari keti ka ku l it menjadi kering, tergantung cuaca dan peng­
gunaan pendi ngi n udara . J u m l a h emolien ya ng d igunaka n berkisar
a ntara 100-200 g/minggu pada a n a k dan 200-300 g/mi nggu u ntuk
dewasa . Emolien d iberikan saat DA ka mbuh, bersa maan denga n obat

58
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Tata Laksana Dermatitis Atopik Berdasarkan Patogenesis

antiinflamasi topikal, d a n sebagai tera pi rumata n . Penggunaan


emolien yang tepat adalah saat kulit masih lemba b segera setelah
mandi. Pasien DA d isara n ka n untuk tidak menggunakan pembersih
yang bersifat irita n . 3 ' 15

Kortikosteroid Topikal

Kortikosteroid topikal efektif dan a m a n bila d igu n a ka n seca ra


tepat dan dalam pengawasan dokter. J u m l a h yang d ioleskan harus
diaja rkan kepada pasien dan cara pakai tertulis di label obat.
Kortikosteroid topikal juga dapat digunakan untuk rumatan dengan cara
mengoleskan ha nya ke daerah yang meradang 2 kal i dalam seminggu
atau hanya pada akhir minggu. Khusus u ntuk daerah fleksural dan wajah
digunakan potensi medium dengan lama pemberian 5-7 hari kemudian
diganti dengan potensi lemah atau kalsineurin inhibitor. l nfeksi bukan
merupakan kontraindikasi penggunaan kortikosteroid topikal, tetapi
i nfeksi teta p h a rus ditera p i . Pemilihan potensi dan lama nya tera pi
dengan korti kosteroid topika l h a rus berdasa rka n pen i l a i a n klinis
mengenai derajat penyakit, lokasi, kron isitas, dan usia pasien. 5' 15

Penghambat Kalsineurin Topikal

Pengham bat ka lsineurin topikal digu n a ka n sebaga i tera pi l i n i


ked ua pada DA ata u pada keadaan terd a pat kontra i n d i kasi terhadap
penggunaan kortikosteroid topika l . Obat ini sebaiknya tidak digunakan
seca ra oklusi ka rena dapat men i ngkatka n a bsorpsi mel a l u i ku l it dan
dapat terjadi imunosupresi. Takrolimus, salah satu bentu k penghambat
ka lsineu rin topikal da pat d igunaka n sebaga i terapi p rofi la ksis pada
DA. Obat ini juga dapat digunakan ja ngka panjang pada pasien dengan
DA kronik. 3 '5' 15

Kompres Basah

Kom pres basa h digu n a ka n pada keka m b u h a n DA yang berat.


Kompres da pat d i berikan seca ra lokal ata u sel u ru h tubuh dengan
kombinasi korti kosteroid topi ka l . Orang tua dan perawat h a rus
diberikan edukasi mengenai tekn i k, keuntu ngan, d a n bahaya terapi

59
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Endi Novianto

i n i . Perlu pemantauan ketat kasus untuk tiap kasus u ntuk mendeteksi


ada nya i nfeksi . 15

Antibiotik

H a rus d icuriga i ada nya i nfeksi pada pasien dengan dermatitis


ya ng membasah, foli k u l itis, tanda i nfeksi lain, atau ya ng tidak respons
terhadap terapi topi ka l l i n i perta m a . Anti bitik topikal d igunaka n
u ntuk i nfeksi loka l . Antibiotik sistem i k teruta ma u ntuk stafilokokus,
d iberikan selama 1 minggu sesuai dengan respons kl i n is. 15

Antihistamin H l

Pem berian a nti h ista m i n H l d apat bermanfaat pada pasien DA


ya ng d isertai dermografisme, rinitis alergika, dan bronkial asma.
Antih ista m i n sedatif ja ngka pendek dapat d igu naka n u ntuk DA yang
gata l d a n menggangu tidur. 15

Fototerapi

U ltraviolet B da pat d igu n a ka n sebaga i tera pi ru matan, DA


kro n i k, d a n reka lsitra n dengan usia pasien di atas 12 ta h u n . Belum
d i keta h u i dosis d a n rejimen ya ng optimal dalam terapi DA. Perlu
kehati-hatian pada tipe ku l it yang lebih tera ng dan riwayat kega nasan
kulit pada diri send i ri m a u p u n kel uarga. 5• 15

lmunosupresan Sistemik

Karena belu m terdapatnya uji klinis yang baik dan potensi


toksisitas organ, terapi sitemik dengan obat-obat imunosupresan hanya
d igunakan pada kasus DA ya ng berat d a n tidak berespons atau gaga l
dengan terapi lain. 15' 17 Bila digunakan harus diusahakan waktu pem­
berian singkat dan dosis serendah mungkin yang masih dapat
mengontrol DA. Kortikosteroid sistemik intravena dan intramuskular
harus d i h i ndari pada tera pi DA. 15
Sebuah telaah sistematik tahun 2014 terhadap efikasi dan ke­
amanan terapi sistemik pada pengobatan DA sedang-berat
menyara n kan si klosporin sebaga i l i n i perta ma u ntuk terapi jangka
pendek. Sedangkan azatioprin sebaga i l i n i kedua dan metotreksat

60
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Tata Laksana Dermatitis Atopik Berdasarkan Patogenesis

sebaga i lini ketiga . Obat i m u n osu presan l a i n ya itu m i kofenolat,


montelukas, i m u noglo b u l i n i ntravena, dan korti kosteroid sistemi k
belum da pat direkomendasikan ka rena b u kti yang masih terbatas. 18
Berdasarkan pedoman Asia Pasifi k tatal a ksana DA, d osis siklosporin
yang digunakan u ntuk tera pi DA adalah 3-5 mg/kgBB/hari, azatioprin
1,5-2,5 mg/kgBB/h a ri, mofeti l m i kofenolat 2 g/ha ri, dan m etotreksat
10-22,5 mg/mi nggu. 15
Meta-analisis ya ng dilaku ka n Sch i mtt d kk. 19 terhadap 12
penelitian yang memenuhi kriteria menyi m p u l ka n bahwa siklosporin
konsisten menu ru n kan keparahan DA. Pemberian siklosporin selama 2
minggu dengan dosis � 3 mg/kgB B mengura ngi keparahan DA sebesar
22%, dengan dosis ;.: 4 mg/kgBB mengura ngi keparahan sebesar 40%.
Meta-analisis ini belum dapat menyimpulkan efektivitas dan keamanan
penggunaan siklosporin jangka panjang untuk pengobatan DA.
Penelitian Haeck dkk. 20 membandingka n si klosporin 5
mg/kgBB/ha ri dan sod i u m m ikofe nolat 1440 mg/ha ri u ntuk
pengobatan DA. Kedua obat memiliki efektifitas yang sama, tetapi
siklosporin lebih cepat untuk mengurangi keparahan DA, sedangkan
terapi dengan sodium mikofenolat menyebabkan remisi klinis lebih
panjang dari siklosporin.
Penelitian tah u n 2015 terhadap 334 pasien didapatka n peng­
gunaan si klosporin pada 80% pasien, mofetil m i kofenolat dan
turunan nya 31%, azatiopri n 14%, m etotreksat 1 1%, korti kosteroid
sistemik 7%, dan takro l i m u s siste m i k 5%. Alasan penghentian obat­
obatan siste m i k tersebut adalah terkontrol nya DA (6-29%), ketidak­
efektivan ( 15-65%), dan efek sam ping yang m uncul (5-56%) . 21
Saat ini sudah dilaku kan uji klinis fase 2 dupiluma b, anti-reseptor
I L-4, untuk pengobata n DA. Hasil ya ng d icapa i di nyatakan sebanding
dengan si klosporin dengan kea manan ya ng lebih baik. Keberhasi lan
dupilumab u ntuk mengobati DA seca ra klinis j uga d i d u kung b u kti
pengurangan a ktivitas Th2 secara moleku l a r. 22' 23

61
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Endi Novianto

DAFTAR PUSTAKA
1. Dhar S. Atopic dermatitis. Da lam: Shaik WA, penyunting. Principles and
practice of tropical allergy and asthma. Edisi ke-1. M u mbai: Vikas Medical
Publisher; 2006. h. 479-510.
2. Kay J, Gawkrodger DJ, Mortimer MJ, Ja ron AG. The prevalence of childhood
atopic eczema in a general population. J Am Acad Dermatol . 1994;30(1):35-9.
3. Eichenfield LF, Tom WL, Cha mlin SL, Feld man SR, Han ifin JM, Simpson E L, dkk.
Guidelines of care for the management of atopic dermatitis. J Am Acad
Dermatol . 2014;70(2 ) :338-5 1 .
4. Kabashima K. N e w concept o f t h e pathogenesis o f atopic dermatitis: Interplay
among the barrier, a l lergy, and pruritus as a trin ity. J of Dermatol Sci. 2013
Apr;70( 1):3-11.
5. Leung DYM, Guttan-Yassky E. Dechipering the complexities of atopic
dermatitis: Sh ifting parad igms in treatment approaches. J Allergy Clin
lmmunol. 2014; 134:769-79.
6. Simpson E L, Bieber T, Eckert L, Wu R, Ardeleanu M, Graham N M H , dkk. Patient
burden of moderate to severe atopic dermatitis (AD) : Insights from a phase 2b
clinical trial of d u pi l u mab in adu lts. J Am Acad Dermatol . 2016;74:491-8.
7. Kawakami T, Ando T, Kimura M, Wi lson BS, Kawa kami Y. Mast cells in atopic
dermatitis. Curr Opin lmmunol. 2009;21(6):666-78.
8. Brown M. I L-4 production by T cel ls: You need a l ittle to get a lot. J lmmunol.
2008; 181 :2941-2.
9. Brandt E B, Sivaprasad U. Th2 cytokines and atopic dermatitis. J Clin Cell
lmmunol. 2011;10:1-15.
10. Hanifin JM, Rajka G. Diagnostic features of atopic dermatitis. Acta Dermatovener.
1980;92:44-7.
11. Leung DYM . Atopic dermatitis: New insights and opportunities for therapeutic
intervention . J Allergy Clin l m munol. 2000;105:860-76.
12. Leung, DYM, Bogu niewicz M, Howell M D, Nomura I, Hamid QA. New insights
into atopic dermatitis. J Clin I nvest. 2004; 113 :651-7.
13. Kulthanan K, Boocha ngkool K, Tuchinda P, Chularojanamontri L. Clinical
features of the extrinsic and intrinsic types of adu lt-onset atopic dermatitis.
Asia Pac Allergy. 201 1;1: 80-6.
14. Kunz B, Oranje AP, Lebreze L, Stalder J F, Ring J, Taieb A. Clinical validation and
guidelines for the SCORAD index: Consensus report of The European Task Force On
Atopic Dermatitis. Dermatology. 1997; 195:10-9.
15. Rubel D, Thirumoorthy T, Soe baryo RW, Weng SCK, Ga briel TM, Vil lafuerte LL,
dkk. Consensus guideli nes for the management of atopic dermatitis: An Asia­
Pacific perspective. J Dermato l. 2013;40: 160-71.
16. Van Velsen SGA, Haeck I M, Bruijnzeel-Koomen CAFM, De Bru in-Weller MS.
Fi rst experience with eneteric-coated mycophenolate sod ium (Myfortic®) in
severe reca lcitrant adult atopic dermatitis: An open label study. Br J Dermatol.
2009; 160:687-9 1.

62
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Tata Laksana Dermatitis Atopik Berdasarkan Patogenesis

17. Kavanaugh A, Broide DH. lmmunomodulators. Dalam: Adkinson Jr N F, Bochner BS,


Busse WW, Holgate ST, Lemanske Jr R, Simons FER, penyunting. Middleton's
allergy. Edisi ke-7. Philadelphia: Elsevier Inc; 2009. h. 1643-56.
18. Roekevish E, Spuls Pl, Kuester D, Limpens J, Schmitt J. Efficacy and safety of
systemic treatments for moderate to severe atopic dermatitis: A systematic
review. J Allergy Cl in l m munol. 2014; 133 :429-38.
19. Schmitt J, Schmitt N, M a u rer M . Cyclosporin i n the treatment of patients with
atopic eczema - A systematic review and meta-analysis. J Eur Acad Dermatol .
2007; 2 1 :606- 19.
20. Haeck IM, Knol MJ, Berge OT, Velsen SGA, Bruin-Wel ler MS, Bruij nzeel-Koomen
CAFM. Enteric-coated mycophenolate sod ium versus cyclosporin A as long­
term treatment in adult patients with severe atopic dermatitis: A random ized
controlled trial. J Am Acad Dermatol. 2011;64: 1074-84.
21. Ga rritsen FM, Roekevisch E, Scaft JVD, Deinum J, Spuls Pl, Brui n-Weller MS.
Ten year experience with oral immunosu pressive treatment in ad ult patients
with atopic dermatitis in two academic centres. J E u r Acad Dermatol .
2015;29: 1905-12.
22. Tsianakas A, Stander S. Dupilumab: A mi lestone in the treatment of atopic
dermatitis. Lancet. 2015;387 :4-5.
23. Hamilton JD, Suarez M, Dhingra N, Cardinale I, Li X, Kostic A, dkk. Dupilumab
improves the molecular signature in skin of patients with moderate-to-severe
atopic dermatitis. J Allergy Clin lmmunol. 2014; 134:1293-300.

63
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
ERUPSI AKI BAT OBAT: BAGAIMANA MEMBEDAKAN
DENGAN PENYAKIT KULIT LAIN

Windy Keu mala Budianti

PENDAHU LUAN
Kemajuan bidang diagnostik, terapi kedokteran, serta polimedikasi
guna memperpanjang masa h i d u p manusia telah memberi dampak
terhad a p peni ngkatan pajanan obat dan prod u k diagnostik sehingga
rea ksi simpang obat (RSO) menjad i lebih besar. RSO seringka l i
melibatka n kulit m u l a i dari ta mpilan klinis yang ringan h ingga berat,
b a h ka n menga ncam j iwa . 1 Kondisi tersebut tak j a rang mengecoh
para kl i n isi ya ng berujung pada diagnosis dan tata laksana yang tidak
tepat serta men i ngkatka n risiko mortalitas.
Sebaga i p ra ktisi kesehatan, membedakan ti pe RSO yang terjadi
sa ngat penting dalam tata laksana pasien. Berdasa rka n definisi World
Health Organization (WHO), RSO adalah rea ksi yang tidak diharapkan
pada pem beri a n obat dosis normal ya ng digunaka n oleh pasien.
Terdapat dua jenis RSO, yaitu reaksi tipe A, yang dapat diprediksi karena
sifat farmako logik obatnya, dan reaksi tipe B, yaitu reaksi yang tidak
dapat diprediksi (20-25%) sifat farma kologik obatnya. Reaksi tipe B
da pat terjadi pada populasi tertentu dalam bentuk id iosin krasi dan
reaksi h ipersensitivitas. RSO disebut sebaga i erupsi obat alergik (EOA),
apabila diperantarai oleh reaksi imunologis atau hipersensitivitas
dengan m a n ifestasi klinis ya ng sangat bervariasi. 2-4 Sem ua ti pe hi per­
sensitivitas berdasarkan kriteria Coom bs dan Gel da pat diinduksi oleh
o bat, n a m u n ti pe 1 dan 4 meru pa ka n tipe h ipersensitivitas paling
sering dij u m pa i . 4
EOA dapat bersifat ringan maupun berat, meski patomekanisme
belum sepenuhnya dipahami. Perkem bangan ilmu pengetahuan
beberapa ta h u n tera kh i r telah m e n u njukan ba hwa rea ksi obat da pat
d i bedakan berdasarkan ta m p i lan klinis dan pera n su bseptibilitas
genetik pada beberapa jenis obat. 5 Walaupun manifestasi EOA seringkali
ringan dan tidak mengancam nyawa, identifi kasi kondisi pasien dan

64
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Erupsi Akibat Obat: Baga i mana Membedakan dengan Penyakit Kulit Lain

obat penyebab tetap harus dilaku kan. Eliminasi obat meru pakan kunci
utama tata laksana dan pencegahan EOA yang berat. 6 Berdasarkan hal
tersebut dihara pka n sem u a p ra ktisi medis h a rus m a m p u mengena l i
tanda dan gejala reaksi simpang obat sehingga da pat memberikan
tata laksana dini secara adekuat.

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Tujuan penega kan d iagnosis tidak ha nya untuk mengidentifikasi


obat penyebab saat kejadian, tetapi juga berdam pa k pada pencegahan
episode RSO berikutnya oleh o bat penyebab dan o bat yang bereaksi
silang. Langka h paling penting adalah m e m bangun kecu rigaan
kem u ngki nan RSO dan menyingki rka n kemungkinan penyebab l a i n . 7
RSO sering menyerupai kelainan kulit l a i n, seh i ngga setiap d item u ka n
kecu rigaan RSO, penting u ntuk memiki rka n diagnosis banding lain
guna mencegah kesalahan d iagnosis.
Pendekata n yang paling ba i k adalah mela l u i a n a mnesis yang
tel iti dan sistematis serta pemeriksaan fisis mel a l u i pendekatan
morfologi lesi . 1'4 Hal ya ng sering menjad i tantangan a pabila pasien
menda patkan medikasi lebih dari satu jenis obat sehingga langka h
ya ng penting d i pe rhatikan oleh klinisi adalah sebaga i berikut: 1' 7 ' 8
1. Mengu m pu l ka n data klinis secara sistematis dan teliti mengenai :
a . Riwayat RSO pada pasien dengan tanda dan gejala klinisnya;
b. Riwayat stigmata atopi pada pasien dan kel u a rga;
c. Data med i kasi pasien ya ng d i konsu msi seca ra oral, intravena,
dan topika l . Janga n menga baikan pengunaan obat herba l/j a m u
ata u suplemen . Buatlah peta kro nologis sej a k o b a t d i m u l a i
dan di hentika n, frekuensi, serta peni ngkata n dosis;
d . Riwayat paja nan obat yang d icuriga i ata u obat ya ng da pat
berea ksi silang;
e. Kronologis rea ksi obat: tanda dan gejala pada kul it, serta
keterlibata n organ; d a n
f. Hasil la boratorium sesuai i n d i kasi .
2 . Obat penyebab ya ng d icu rigai m e njadi lebih sem pit dengan fokus
terhadap:

65
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Wiindy Keumala Budianti

a. H u b u ngan tempora l anta ra awal dan a khir konsumsi obat


denga n awitan timbul erupsi pada kulit. Obat yang dikonsumsi
dalam 6-8 minggu seca ra bertu ruta n merupakan obat ya ng
d icu riga i sebaga i penyeba b; dan
b. Lesi dominan, tanda dan gejala klinis yang timbul, serta mem­
perhatikan kem u ngkinan reaksi hipersensitivitas ata u buka n .
3 . M empertim bangkan h a l berikut:
a . Farma ko-epidemiologi k obat yang d igunaka n . Urutkan d i mulai
d a ri obat ya ng paling berpotensi menyeba bkan alergi ber­
dasarkan data publikasi;
b. Predisposisi genetik pasien terhadap obat penyebab dan penyakit
penyerta yang dapat menjadi predisposisi RSO, misalnya kond isi
imunokompromais yang memengaruhi ta mpilan klinis RSO; dan
c. Pajanan pada pekerjaan atau l i ngku ngan yang da pat men­
cetuskan RSO, m isal nya paja nan u ltraviolet ( UV) dan bahan
fotosensitif.

Selain fa ktor farma kogenetik, bebera pa kelom pok individu


tertentu di keta h u i lebih berisi ko mengalami RSO. Berdasarkan data
epidemiologis, pere m puan dilaporkan lebih sering mengalami a lergi
obat dibandingkan laki-la ki, meski belum diketahui jelas hubungannya .
Kelompok usia lanjut juga mempunyai risiko lebih tinggi dibandingkan
usia lain. Pasien dengan i nfeksi vi rus, m isal nya human herpesvirus-6
( H HV-6), H HV-7, dan human immunodeficiency virus ( H IV) juga
men i ngkatka n risiko insidens EOA. l nsidens kelainan ini meni ngkat
dengan berta mbah nya j u m la h obat ya ng d i konsumsi serta diperberat
oleh interaksi beberapa obat. 9
Erupsi pada kulit yang baru ti mbul tanpa didahului penyakit kulit
sebelumnya perlu diwaspadai sebaga i reaksi h ipersensitivitas obat,
teruta ma bila terda pat riwayat pajanan obat. Ta mpilan klinis pada
awal timbulnya RSO harus din ilai berdasa rkan morfologi lesi primer
pada kulit. Terdapat em pat lesi primer uta ma yang sering timbul yaitu
eksematosa, urtika ria, bula (epidermol isis), dan pustu lar, teta pi dapat
juga ditem u kan lesi likenoid, granulomatosa, psoriasiformis, aknei­
formis, dan bentuk lesi lain. Tanda ekstra kutan juga perlu diperhatikan,
misalnya malaise, demam, hi potensi, taki kardia, dan l i mfadenopati .

66
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Erupsi Akibat Obat: Baga imana Membedakan dengan Penyakit Kulit Lain

MAN IFESTASI KUNIS REAKSI SIMPANG OBAT

1. U rtika dan a ngioedema


U rti ka merupakan lesi kulit berupa edema setem pat pada kulit
dengan uku ran yang bervariasi . Umumnya pasien menge l u h ka n
gatal dan panas pada tempat lesi . Lesi individual biasanya bertahan
kurang dari 24 jam kem u dian h i l a ng perlah a n . 1 P red ileksi lesi
dapat di seluruh tubuh. Bila edema terjadi pada jaringan ya ng
lebih dalam, maka lesi disebut angioedema. Umum nya angioedema
bersifat u n i latera l dan tidak gata l, m eneta p 1-2 jam, n a m u n
kadang da pat persisten h i ngga 2-5 h a r i . Angioedema da pat terjadi
di daerah bibir, kelopa k mata, genita lia eksterna, tangan, dan kaki .
Angioedema pada glotis harus diwaspadai karena dapat menyebab­
kan asfiksia sehingga membutuh kan penanganan segera . Obat yang
sering menyebabkan urtikaria ialah penisilin, asam asetil-salisi lat,
dan obat antiinflamasi non-steroid (OAI NS). Sedangkan penyebab
tersering angioedema tan pa disertai u rtikaria adalah golongan obat
beta laktam, OAI NS, angiotensin receptor blocker (ARB), dan
angiotensin converting enzyme inhibitor (ACE-inhibitor). 1• 10
Patomekanisme a ngioedema yang dielisitasi oleh obat dapat
mela l u i 3 cara, yaitu reaksi h i pe rsensitivitas yang d i mediasi lgE,
reaksi pseudoa lergik a ki bat inhibisi siklooksigenase, dan reaksi yang
berhubungan dengan bradikinin. Obat yang mempunyai golongan
sa ma, m isal nya OAI NS ata u media kontras, dapat men i m b u l ka n
RSO dengan patomeka n isme ya ng berbeda . 10 Wa l a u p u n m e m i l i ki
ta mpilan klinis sama, perlu d ibedakan u rti karia/a ngioedema ya ng
disebabkan oleh a l e rgi obat ata u penyebab l a i n, m isal nya a l e rgi
in halan ata u i ngestan, h istiositosis, u rtika ria a utoi m u n, dan bahan
pencetus l a i n . ldentifikasi penyebab u rtika ria d a n a ngioedema
a kan memenga ru h i tata laksana dan p rognosisnya .
2 . Eru psi maku lopa pular d a n e ritroderma
Eru psi maku lopa pular dise but j uga erupsi e ksa ntematosa
ata u morbi liformis merupakan bentuk EOA yang p a l i ng sering
ditemukan dan dimediasi oleh reaksi hipe rsensitivitas tipe lambat.
Kelainan tersebut da pat t i m b u l dalam beberapa h a ri h i ngga 2-3
m inggu setelah konsu msi obat. Biasa nya lesi eritematosa d i m u l a i

67
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Wiindy Keumala Budianti

dari batang tubuh kem u d i a n menyebar ke perifer secara simetris


dan general isata, serta h a m p i r sela l u d isertai pruritus. Erupsi
maku lopa pular akan hilang dengan cara deskuamasi dan
terkadang meninggal ka n bekas h i perpigmentasi. Pada tipe ini
sangat jara ng d isertai keterli bata n o rgan sistemik. Erupsi jenis ini
seri ng d iseba bkan oleh a m pisi l i n, OAI NS, su lfonamid, fenitoin,
serta karba maze p i n . 1' 11
EOA tipe makulopapular seringka l i didiagnosis sebagai
dermatosis lain, misa lnya eksantematosa virus atau dermatitis
kontak, sehingga bila obat penyebab tidak dihentikan dapat terjadi
perluasan lesi h ingga eritroderma. Eritroderma, atau disebut juga
dermatitis eksfoliativa, m erupakan lesi eritema difus disertai skuama
lebih dari 90% luas permu kaan tubuh. Eritroderma bukanlah suatu
diagnosis spesifik dan dapat disebabkan oleh berbagai penyakit lain
selain EOA, misalnya perluasan penyakit kul it, penya kit sistemik
termasu k kega nasan (penyakit H odgki n ), atau idiopatik. Perlu
d i l a ku ka n pemeri ksaaan tel iti dan pen u nj a ng u ntuk membantu
menyi ngkirkan kem u ngki n a n penyebab l a i n . Pada eritroderma
sering terjadi ketidakseimbangan elektrolit, gangguan termo­
regulasi, serta kehilangan albumin yang kemudian menjadi indikasi
pasien untuk dirawat. Obat yang dapat menyebabkan eritroderma
a ntara lain adalah alopurinol, su lfona m id, antikonvulsan,
paraseta mol, dan m i nosikl i n . 11

3. Fixed drug eruption


Fixed drug eruption ( FDE) meru pa ka n salah satu eru psi kulit
yang sering dij u m pai. Lesi berupa makula atau plak eritematosa
keu nguan dan kadang disertai vesikel/bula pada bagian tengah lesi
sehingga sering menyeru pai eritema m ultiforme (EM). Ukuran lesi
biasa nya 1-4 cm dan jara ng seka l i mencapai 10 cm. Rea ksi sering
ti mbul 30 menit h i ngga 8-16 jam setelah konsumsi obat, dengan
rata-rata sekitar 2 jam. Predileksi tersering adalah di daerah bibir,
ta nga n, dan genitalia, wa laupun da pat terjadi pada selu ruh bagian
tubuh. Ciri khas FDE adalah lesi berulang pada predileksi yang sama
setelah pajanan ulang obat penyebab (isotopic phenomenon).
Pasien sering menge l uh ka n rasa terba ka r atau perih yang dapat

68
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Erupsi Akibat Obat: Bagaimana Membedakan dengan Penyakit Kulit Lain

disertai demam dan malaise. Lesi FOE kemudian meninggalkan


bercak hiperpigmentasi yang lama hilang, bahkan sering menetap.
Hal tersebut akan lebih jelas pada pasien dengan kulit gelap
dibandingkan kulit berwarna terang, sehingga pada pasien kau kasia
sering didiagnosis sebagai EM atau dermatosis inflamatorik lain. 12
Lesi yang terjadi hanya pada bibir sering menyerupai herpes
simpleks. 13' 14
Salah satu va rian kl i n is FOE adalah non-pigmented FOE
( N PFOE) yang lebih seri ng menga l a m i perluasan lesi d a n d iserta i
gejala sistem i k, m isal nya malaise, m u a l, demam, dan atralgi a .
Berdasarkan suatu pengamatan, predileksi N P F O E adalah pada
aksila, lipat inguinal, pinggang, dan lipat bokong denga n penyebaran
simetris. N PFOE dilaporkan sering dialami pasien yang mendapatkan
anestesi umum beberapa jam sebelu mnya, seh ingga tanpa disadari
ba hwa obat anestesi menjadi penyebab. O bat penyebab lain ya ng
dilaporka n adalah pseudoefedrin, esomeperazol, kodein, d a n
barbiturat. 12' 15
Beberapa lesi dapat berkembang menjadi b u la dan meluas
menyerupai sindrom Steven-Johnson/nekrosis epidermal toksik
(SSJ/N ET). Sangat penting membedakan FOE dengan SSJ/N ET karena
tata laksana yang berbeda . Namun, membedakan FOE dengan
SSJ/NET meru pakan tantangan tersendiri buat klinisi. Berikut
beberapa perbedaan penting ked u a nya : 16
a. Gejala konstitusi pada FOE lebih ringan diband ingkan SSJ/N ET;
b. Keterlibatan m ukosa pada FOE lebih jarang dibandingkan
SSJ/N ET. Biasanya mengena i area bibir bagian vermilion dan
a nogenita l ;
c . Pada lesi F O E terdapat peru bahan warna mera h kecoklatan
ata u coklat kea buan yang tidak terdapat pada SSJ/N ET. Fase
resol usi u m u m nya meningga l ka n bercak h iperpigmentasi yang
a kan hilang dalam beberapa m inggu-bulan;
d . Riwayat perjalanan penyakit sangat penting dalam mem­
bedakannya. Pada FOE, terdapat rekurensi pada lokasi yang
sama. Awitan timbulnya lesi - juga berbeda, yakni pada FOE
setelah 30 menit hingga 24 jam setelah pajanan obat, sedangkan
SSJ/N ET sekita r 1-3 m inggu;

69
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Wiindy Keumala Budianti

e. Prognosis FDE lebih baik dibandingkan SSJ/NET walaupun


terdapat lesi bulosa yang l uas. Setelah obat penyebab dihentikan,
lesi u m u m nya membaik. -Bila perlu d i rawat, lama perawatan
akan cepat dibandingka n SSJ/N ET d a n tidak ada sekuele jangka
panjang kecu a l i h iperpigmentasi; dan
f. Wal a u p u n pemeriksaan histopatologi da pat membedakan FDE
dengan SSJ/N ET, tetapi pada FDE bu losa a ka n sulit di bedakan
denga n SSJ/NET.
Obat penyebab ya ng sering menyebabkan FDE adalah tetrasiklin,
sulfonamid, ibuprofen, naproxen, metamizol, dan antijamur golongan
azol. 13- 15 Di l nggris, penyeba b utama F D E adalah paraseta mol,
sed angkan di Amerika adalah kotri moksazol . 11
4. Sindrom Stevens-Johnson dan nekrolisis epidermal toksi k
SSJ dan N ET merupakan EOA tipe berat dengan tanda khas
berupa epidermolisis denga n/tanpa keterlibatan mukosa . Kelainan
ini memiliki spektrum ya ng dibedakan berdasarka n luas epidermo­
lisis sesuai indeks body surface area ( BSA), yaitu pada SSJ kurang
dari 10% BSA, overlap SSJ - N ET 10-30% BSA, dan N ET lebih dari
30% BSA. Gej a la awal SSJ/N ET tidak spesifi k dan da pat diserta i
gejala p rod romal, m isal nya demam dan rasa tidak nya man pada
mata. Pada awal nya lesi kulit timbul pada daera h p resternal dan
wajah, l a l u meluas ke sel uruh t u b u h . Keterlibatan m u kosa bukal,
genitalia, dan mata dapat ditemukan pada 90% pasien berupa
eritema dan erosi. Kelainan mata sangat sering ditemukan dengan
gejala yang bervariasi, misalnya konjungtivitis akut, pseudo­
membran, s i m blefa ron, e rosi, sa mpai u l kus kornea. Obat yang
sering menyebabkan SSJ/NET antara lain adalah alopurinol, golongan
sulfa, beta-laktam, piroksikam, karbamezapin, fenobarbital, dan
fenitoin. Terkadang SSJ/NET keliru didiagnosis sebaga i penya kit
a utoi m u n bu losa, m isalnya pemfigus vu lgaris, pemfigus li near lgA,
FDE diseminata, d a n staphylococcal scalded skin syndrome. 6

5 . Pustulosis e ksa ntematosa genera l isata a kut ( P EGA)


Eru psi o bat tipe PEGA meru pa ka n erupsi pustu l steril dan
a kut ya ng t i m b u l 1-3 m i nggu setelah konsumsi obat ya ng diawa li
oleh demam, mual, serta mala ise. Kela inan kulit yang ditem u kan

70
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Erupsi Akibat Obat: Bagaimana Membedakan dengan Penyakit Kulit Lain

berupa pustul m i l i a r n on-folikuler, d i atas dasar eritematosa, d a n


berj u m l a h banyak. P redileksi utama b iasa nya di daerah waja h
d a n l i patan t u b u h . Secara klinis PEGA seringka l i sulit d i bedaka n
dengan psoriasis pustulosis dan dermatosis pustulosis subkorneal
( penyakit Sneddon-Wil kinson), seh i ngga dibutuhka n pemeriksaan
h istopatologis. Obat yang sering mengi n d u ksi PEGA a ntara lain
a moksisilin, a m pisi lin, terbi nafi n, d i ltiazem, hidro ksiklorokui n/
kloroku in, sulfonamid, dan ku inolon. 1
6. Sindrom h ipersensitivitas obat (SHO)
SHO merupakan bentuk EOA tipe berat yang dapat mengancam
jiwa. Hal ini disebabkan pada SHO terjadi keterlibatan m ultiorgan .
Dahulu S H O dikenal dengan drug reaction with eosinophilia and
systemic symptoms ( DRESS). Seringkali SHO diawa l i oleh i nfeksi
saluran pernafasan atas dan dihubungkan denga n i nfeksi H HV-6,
HHV-7, virus Epstein-Barr, dan cytomegalovirus. 18' 19 Tanda
kara kteristi k SHO adalah demam melebihi 38°C, lesi pada kul it,
limfadenopati, gangguan fungsi hati, dan/atau fungsi ginjal,
leukositosis, serta eosinofilia. Lesi kulit biasanya timbul 3 minggu
setelah konsumsi obat. Lesi yang paling sering ditemukan adalah
bentuk makulopapular. Sela in itu dapat juga ditem u kan lesi pustular
atau epidermol isis. Wajah biasanya menga lami edema dan distribusi
lesi makulopapular tersebar simetris hampir di seluruh tubuh, tetapi
jarang pada telapak tangan dan kaki. Beberapa gam baran unik pada
SHO adalah awitan yang lambat, gambaran klinis yang tetap timbul
walaupun obat sudah dihentikan, serta reaksi silang dengan struktur
kimia obat yang berbeda yang h ingga saat ini belu m bisa
dijelaskan. 18'20
Terkadang klinisi tidak menemukan pola klasi k reaksi simpang
obat seperti tipe EOA yang sudah dijelaskan di atas, sehingga seringkali
su lit dibedakan dengan dermatosis lain. Walaupun tidak umum, erupsi
dalam bentuk lain juga dapat ditemukan misalnya erupsi akneiformis,
contact dermatitis-like, psoriasiformis, likenoid, purpura atau vaskul itis,
eritema m u ltiformis, drug-induced lupus, drug-induced pemphigus,
dan lain sebaga inya. Pada tabel 1 dipapa rka n beberapa jenis rea ksi
simpang obat yang menyerupai penyakit kulit lain beserta obat penyebab
tersering. 11' 21

71
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Wiindy Keumala Budianti

Pada m o rfologi erupsi psoriasiformis yang diindu ksi obat


ta mpak seru pa dengan psoriasis vu lga ris dengan plak terloka lisir atau
tersebar general isata, lesi pustu l a r palmoplantar, eritroderma,
d iserta i keterl i bata n kuku dan ska l p . Periode a ntara pajanan obat
dengan awita n erupsi berva riasi berga ntu ng o bat, a ntara 1 bulan
h i ngga lebih d a ri 3 bulan. Obat-obata n j uga dapat mencetuska n lesi
seca ra de novo ata u memperberat psoriasis yang sudah ada. 11
Eru psi obat lain adalah tipe likenoid ya ng sa ngat menyerupai
l i ken planus id iopatik. G a m ba ran klinis berupa papul poligonal
permukaan datar berwa rna violaseus dengan atau ta n pa keterli batan
mukosa. Distribusi erupsi likenoid biasa nya lebih luas dan si metris pada
batang tubuh serta ekstremitas dibandingkan liken planus. Erupsi timbul
mendadak dalam bebera pa m inggu h i ngga bulan setelah pajanan
obat. 11, 21, 22
Pada erupsi akneiformis ya ng d i i n d u ksi obat a ka n tampak lesi
inflamasi monomorfik tan pa disertai komedo. Berbeda halnya dengan
akne vu lgaris yang ditandai oleh lesi i nflamasi polimorfik diserta i
komedo, ya ng merupaka n p roses i nfla masi kronis unit pilosebaseus.
Awita n eru psi akneiformis cukup berva riasi, m u la i 2-4 m inggu h ingga
beberapa bulan setelah penggunaan obat. Patogenesis erupsi aknei­
formis masih belu m diketa hui, tetapi banya k pendapat mengemukakan
bahwa beberapa obat dapat meningkatkan kadar asam lemak pada lipid
permu kaan kulit sehingga timbul inflamasi pada unit pilosebasea .
Beberapa obat spesifi k ya ng berh u b u ngan dengan eru psi a kneiformis
tertera dalam tabel 2 . 22' 23

72
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Tabel 1. Berbagai erupsi obat yang menyerupai dermatosis lai n *

Presentasi klinis Pola dan distribusi lesi kulit Keterlibatan Obat penyebab
m u kosa
Psoriasiformis Plak eritematosa disertai skua ma kering, lebar Tidak ada I FN-a, anti-TNF-a, efalizumab, litium, fl-blocker, antikonvulsan,
berwarna keperakan, pustular hingga eritroderma, metfo rmin, terbinafin, kaptopril, digoksin

palmoplantar, keterlibatan skalp dan kuku.


llkenoid Papul poligonal dengan atap datar berwarna violaseus Ada a-blocker, tiazid, kaptopril, metildopa, obat hipoglikemik oral, OAINS,

m
pada batang tubuh d an ekstremitas kuinidin, emas, anti-TN Fa, imatinib
.....
c
-0
Vaskulitis Papul purpurik, urtikaria, bula hemoragik, ulkus, Tidak ada Semua kelas farmakologik.
nodus, sindrom Raynaud, nekrosis pada jari. • ANCA positif: propiltiourasil, hidralazin, allopurinol, minosiklin, \!?.
penisilinamin, fenitoin. )>

ANCA negatif: rGM-CSF, isotretinoln, metotreksat, anti-TNF-a
0-
"'
Lupus-like eruption Gejala menyerupai SLE, vaskulitis, purpura, SCLE, CCLE. Ada SLE: hidralazin, prokainamin, I N H, metildopa, klorpromazin, .....
kunidin, minosiklin
• SCLE: penghambat kalsium, ACE -inhibitor, tiazid, terbinafin,
lansoprazol, pantoprazol, anti-TNFa
CCLE: fluorourasil, anti-TNFa

Kelainan bulosa Bula kendur pada dada Ada/Tidak Obat golongan tiol: penisilinamin, kaptopril, enalapril
pemfigus Obat non-tiol: piroksikam, penisilin, rifampisin, propranolol,
imiquimod.
Pemfigoid bulosa Bula tegang, diseminata Ada/Tidak Furosemid, amoksisilin, ampisilin, penisilinamin, sefaleksin, fenacetin,
fl-blocker, kaptopril
Pseudoporfiria Kulit menjadi lebih rentan dan mudah terbentuk bula Tidak ada OAINS, misalnya naproksen, ketoprofen, asam mefenamat. Antibiotik:
pada area pajanan UV tetrasiklin, ampisilin, sulbaktam, sefepim, vorikonazol, furosem id, H CT,
amiodaron, 5-fluorourasil, siklosporin, levonorgestrel, derivat vitamin
A, etinil-estradiol
Erupsi akneiformis Erupsi folikular monomorfik pada wajah dan batang Tidak a da Kortikosteroid, androgen, litium, haloperidol, isoniazid, fenitoin,
tubuh tetrasiklin, vitamin Bl , 66, 612, azatioprin, siklosporin, sirolimus, iodida
bromida, EGFR i nh ibitors

Dermatitis Papul/plak, lesi an u lar eritematosa-violaseus Tidak ada Penghambat kalsium, ACE -inhibitor, penurun lipid, fl-blocker,
granulomatosa antihistamin, antikonvulsan, antidepresan, metotreksat, anti-TNFa.
interstisial
Pseudolimfoma Papul atau nodus eritematosa-violaseus, mycosis Tidak ada Antikonvulsan, antipsikotik, ACE-inhibitor, penghambat kalsium,
fungoides like eruption antihistamin, antidepresan
Keterangan: ANCA= anti-neutrophif cytoplasmic antibody; CCLE= chronic cutaneous lupus erythematosus; EGFR= epidermaf growth factor receptor; HCT= hydrochforthiaz;de; IFN= interferon; I N H =
lsoniazld: OAINS= obat antl-lnflamasl nonsteroid; rGM-CSF= recombinant granulocyte-macrophoge colony-stimulating foctar; SLE= systemic lupus erythematasus; SCLE= subocute cutaneous lupus
erythematosus; TNF= tumor necrosis /actor ACE=angiotensin converting enzyme *Dikutip dari kepustakaan no. 22

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Wiindy Keumala Budia nti

label 2. Obat ya ng d a pat m e n i m b u l ka n eru psi a kneiformis •

Obat Jenis Obat


Obat hormonal Kortikosteroid oral, to pikal, d a n i n ha lasi
Ste roid anabolik dan a n d rogen
Danazol
Levonorgestrel
Agen neuropsikiatrik Antidepresan trisiklik
Amineptin, m a protilin, imi pra m i n
Litium
Antiepilepsi
H i da ntoi n/fe n itoin, l amotrigine, asam va l proat
Anti psi kotik
Ari piprazol
Targeted therapies EGFR inhibitor
Erloti nib, gefiti n ib, imatinib
EGFR monoclonal antibodies
Cetuximab, panitumumab
TNF- a inhibitors lnfliximab, lenalidomide
G-CSF Vemurafenib
Retinoid Etretinate
Obat kardiovaskular Propanolol, quinidine
Obat imunosupresan Sirolim us, takrolim us, siklosporin, azatioprin
Obat antituberkulosis lsoniazid, rifa mpisin, thiacetazone
Terapi lain Em as
Dactinomycin, d a pson
Ha logen
Vita m i n B6 dan B12
Petro latum, dantrolene, PUVA
Keterangan: EGFR, epidermal growth factor receptor; TNF-a, tumor necrosis factor-a;
G-CSF, granulocyte-colony stimulating factors; PUVA, psoralen ultraviolet A.
* Dikutip dari kepusta kaan no.23

Korti kosteroid meru pa ka n obat yang sering dilaporkan me­


nyebabkan erupsi akneiformis. Dermatitis perioral meru pa kan sa lah
satu contoh erupsi di sekita r m u lut ya ng sering d i h u b u ngkan dengan
penggunaan korti kosteroid topikal potensi tinggi (kelas I dan I I ) .
Seri ngka l i tidak d item u ka n eritema akibat efek anti-inflamasi kortiko­
steroid teta pi bila korti kosteroid d i hentikan a ka n terjadi eksaserbasi

74
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Erupsi Akibat Obat: Baga imana Membedakan dengan Penyakit Kulit Lain

yang mendadak. Keba nyakan lesi berupa papul dome-shaped, pustul


kecil, sewa rna kulit atau eritema ringan, ta n pa d isertai komedo,
distribusi area seboro i k, m isal nya wajah, dada, dan pu nggu ng, serta
berpotensial pada daerah bah u . 23
Epidermal growth factor receptor (EG F R) merupaka n salah satu
tera p i ta rget u ntuk ka nker ya ng sering d igun a ka n . Sal a h satu efek
sa m ping yang seri ng d item u ka n adalah eru psi a kneiformis; 66% pada
pasien yang menda pat gefitinib, 75% pada erloti n ib, d a n 86% pada
cetuximab. Pasien dengan riwayat akne vulgaris atau fol i k u l itis pada
saat remaja mempunyai kecenderunga n untuk menga l a m i eru psi
akneiformis. Lesi da pat timbul setelah pemberi a n tera p i siklus
pertama, tetapi lebih seri ng di antara siklus ketiga d a n keem pat,
serta akan segera bertam b a h parah setelah tia p siklus selesa i . Pada
erupsi yang parah dapat d item u ka n lesi hemoragik atau krusta
keh ita man menyeru pai sweet syndrome. l nsidens dan keparahan
eru psi akneiformis berh u b u ngan dengan dosis pemberian tera p i . 22' 23
Kemoterapi lain yang dilaporka n dapat menimbul kan RSO adalah
bleomisin. Bleomisin digunakan u ntuk limfoma Hodgkin, tumor sel
germinal, dan kasus sklerosis a kibat efusi pleura rekurens. Orga n yang
sering memberi dampak terhadap toksisitas bleomisin adalah kulit dan
paru ka rena organ tersebut mempunyai kadar enzim detoksikasi yang
lebih rendah dibandingka n organ lain. RSO pada kulit yang pernah
dilaporkan adalah fenomena Raynaud, h i pe rkeratosis, perubahan pada
nail bed, serta deskua masi pada palmar dan plantar. 24 Salah satu
ta mpilan klinis yang khas adalah flagellate erythema (FE}, dengan
i nsidens 8-20%. Walau p u n banya k laporan menyata kan bahwa F E
timbul berh ubu ngan dosis tera pi, tetapi da pat j uga terjadi pada terapi
in isial. Awita n FE dapat terjadi pada hari pertama pajanan sampai 9
mi nggu setelah pemberian bleomisin. Pada banya k kasus, reaksi
didahului dengan gejala prodromal berupa gatal dan eritema
menyeluruh, kemudian bertambah parah pada saat timbul lesi lain
berupa papul dan nodus. Pada pemeriksaan fisis tam pa k beberapa garis
linear yang bersambunga n, d isertai beberapa papul kecil. 24' 25

75
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Wiindy Keumala Budia nti

PENUTU P

RSO sering meli batka n kulit d a n m u kosa, baik gejala ri ngan


h i ngga mengancam j iwa. Spektru m klinis sa ngat berva riasi sehi ngga
sering m enyeru pai derm atosis l a i n . Oleh sebab itu, dibutu h kan
kecermata n, ketel itian, serta sistematika pada pendekatan diagnosis
RSO sehi ngga tata l a ksana ya ng d i berikan sesuai u ntuk mencegah
mortal itas. Pemahaman mengenai morfologi lesi dan klasifikasi klinis
RSO sangat penting bagi kl i n isi dalam mengelola kasus RSO.

DAFTAR PUSTAKA
1. Shear N H, Knowles SR. Cutaneous d rug reactions to d rugs. Dalam: Golds mith
LA, Katz SI, Gilchrest BA, Pa ller AS, Leffel ! DJ, Wolff K, penyunting. Fitzpatrick's
dermatology in general medicine. New York: McGraw-Hill; 2012. h. 449-57.
2. Warrington R, Silviu-Dan. Drug a l lergy. Allergy, asth ma, & clin ical immunology
2011 Vol 7 {Su ppl l}:SlO: h . 1-8.
3. Mockenhaupt M . Epidemiology of cutaneous adverse d rug reactions. Dalam:
French LE, penyunting. Adverse cuta neous d rug eruptions. Zurich-Switzerland:
Karger; 2012. h . 1-17.
4. Hausmann 0, Schnyder B, Pichler WJ. Etiology and pathogenesis of adverse
d rug reactions. Dalam: French LE, penyunting. Adverse cutaneous d rug
eruptions. Zu rich-Switzerl a n d : Karger; 2012. h.32-46.
5 . Pirmohamed M . Genetics a n d t h e potential for pred ictive tests in adverse drug
reactions. Dal a m : French LE, penyunti ng. Adverse cuta neous d rug eruptions.
Zurich-Switzerlan d : Karger; 2012. h. 18-3 1 .
6. Harr T, French LE. Stevens-Joh nson synd rome and toxic epidermal necrolysys.
Dalam: F rench LE, penyunting. Adverse cuta neous d rug eruptions. Zurich­
Switzerla n d : Karger; 2012. h. 149-66.
7 . Harr T . Diagnostic a pproach t o d rug a l lergy. Dalam: French LE, penyunting.
Adverse cutaneous d rug eruptions. Zu rich-Switzerland: Ka rger; 2012. h.47-57.
8. Budianti, WK. Erupsi obat alergik. Dal a m : Menaldi SL, Bramono K, lndriatmi W,
penyunting. llmu penyakit ku lit dan kelamin, edisi ke-7. Jakarta : Balai Penerbit
F K U I ; 2015. h. 190-5.
9. Shiohara T, Kano Y, Takahashi R, Ishida T, Mizukawa Y. Drug-induced
hypersensitivity synd rome: Recent adva nces in the diagnosis, pathogenesis
and management. Da lam: French LE. Adverse cutaneous d rug eruptions.
Zurich-Switzerl a n d : Karger; 2012. h . 122-36.
10. Lerch M. Drug-induced angioedema. Dalam: French LE, penyunting. Adverse
cutaneous drug eruptions. Zurich-Switzerland: Karger; 2012. h.98-105.

76
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Erupsi Akibat Obat: Bagaimana Membedakan dengan Penyakit Kulit Lain

11. Bircher AJ. Uncomplicated d rug-induced disseminated exanthemas. Dal a m :


French LE, penyunting. Adverse cutaneous d rug eru ptions. Zurich-Switzerlan d :
Karger; 2012. h.79-97.
12. Shiohara T, M izukawa Y. Fixed d rug eruption :The dark side of activation of
intraepidermal CD8+ T cells uniquely specialized to mediate protective i m m u n ity.
Dalam: French LE, penyunting. Adverse cutaneous d rug eru ptions. Z urich­
Switzerland: Karger; 2012. h.106-19.
13. Afonso N, Rane P, Dang A, Rataboli PV, Goel HC. Fluconazole-induced herpes
labialis-like lesion in an adult men. Australasian Med J. 2009;114: h.246-49.
14. Benedix F, Sch illing M, Schaller M, Rocken M, Biederman T. A young woman
with recurrent vesicles on the lower lip: Fixed d rug eruption mimicking herpes
simplex. Acta Derm Venereal . 2008;88:491-4.
15. Mizukawa Y, Shiohara T. Non-pigmenting fixed drug eruption as a possible abortive
variant of toxic epidermal necrolysis: lmmunohistochemical and serum cytokine
analyses. Clin Exp Dermatol. 2010; 35: 493-7.
16. Dharamsi FM, Michener MD, Dharamsi JW. Bullous fixed drug eruption
masquerading as recurrent Stevens-Johnson syndrome. J Emerg Med. 2015; 48:551-
4.
17. Sidoroff A. Acute genera l ized exanthematous pustulosis. Dalam: French LE,
penyunting. Adverse cutaneous d rug eruptions. Zurich-Switzerland: Karger;
2012. h . 139-48.
18. Shiohara T, Kano Y, Ta kahashi R, Ishida T, Mizukawa Y. Drug-ind uced
hypersensitivity syndrome: Recent advances i n the diagnosis, pathogenesis
and management. Da lam: French LE, penyunting. Adverse cutaneous d rug
eruptions. Zurich-Switzerland: Karger; 2012. h. 122-36.
19. Shiohara T, Kano Y, Takahashi R. Current concepts on the diagnosis and
pathogenesis of drug induced hypersensitivity syndrome. J MAJ 2009;52(5):347-52.
20. Benm' rad M, Leclerc-Mercier S, Blanche P, Franck N, Rozen berg F, Fulia Y, dkk.
Drud-induced hypersensitivity synd rome: Clinical and biologic disease patterns
in 24 patients. Medicine. 2009;88( 3) :1 31-40.
21. Brinster N. Cuta neous adverse reactions to d rugs. Dal a m : Calonje JE, Brenn T,
Lazar A, McKee P, penyunti ng. McKee's pathology of the skin, edisi ke-4.
Philadelphia: Elseiver Saunders; 2011. h.59 1-630.
22. Seneschal J, Milpied B, Ta ieb A. Cutaneous d rug eruptions associated with the
use of biologics and cutaneous d rug eruptions mimicking specific skin d iseases.
Da lam: French LE, penyunti ng. Adverse cutaneous d rug eruptions. Zurich­
Switzerland: Karger;2012. h.203-16.
23. Do H K, Ezra N, Wolverton SE. Drug-ind uced acneiform eruption. Dalam:
Zeichner JA, penyunting. Acneiform eruption i n dermatology a differential
diagnosis. New York: Springer; 2014. h.389-401.
24. Chen YB, Rahemtullah A, Breeden E, Hoch berg EP. Bleomycin-induced
flagellate erythema. J Clin Oncol. 2007; 25(7):898-900.
25. Grynzpan R, N iemeyer-Corbellini J P, Lopes MSS, Silva MR. Bleomycin-induced
flagellate dermatitis. BMJ Case Rep. 2013;v2013.doi :10. 1136/bcr-2013-009764.

77
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
PSORIASIS PADA ANAK

Githa R� h mayu n ita

PENDAHULUAN

Psoriasis adalah penyakit inflamasi kronik yang ditandai dengan plak


eritematosa berskuama kasar. 1 Penyakit ini dapat mengenai kulit, kuku, dan
sendi.2 Manifestasi klinis psoriasis pada anak dapat berbeda dengan
dewasa. 1 Psoriasis pada anak dan remaja dapat mengganggu kepercayaan
diri, hu bungan keluarga, sosial, dan sekolah. 2

EPIDEMIOLOGI
Prevalensi psoriasis di dunia diperkirakan sebesar 4% dengan kisaran
0-8,5% bergantung pada populasi ya ng diteliti . Pada anak diperkirakan
preva lensinya sebesar 0, 71% ya ng terus meningkat hi ngga 1,2% pada
usia 18 tahun. l nsidensnya secara tetap meni ngkat sebanya k 2 kal i lipat
sejak tahun 1970. Sebanyak 1/3 pasien menderita psoriasis sejak masa
anak-a nak dengan median usia 10,6 tahun pada saat didiagnosis. Tidak
ada perbedaan antara laki-laki dan perem puan. 1 - 3 Namun bebera pa
penelitian mela porka n psoriasis sedikit lebih seri ng ditem ukan pada
perem puan denga n rerata usia awita n 8-11 ta hun. 2
Terdapat 2 tipe psoriasis berdasarkan awitannya, yaitu tipe I (awitan
usia 15-40 tahun) yang ditemukan pada lebih dari 75% kasus, biasanya
berhubungan dengan riwayat psoriasis pada keluarga dan berkaitan
denga n H LA Cw6; dan tipe I I yang timbul setelah usia 40 ta hun. 4
Di Departemen l l mu Kesehata n Kulit dan Kelamin Rumah Sakit dr.
Cipto Mangunkusumo pada ta hun 2015 didapatka n 89 kasus baru
psoriasis denga n 16% di a ntara nya adalah anak-anak. 5 Silverberg dkk.
melaporka n dari 181 pasien psoriasis ya ng berusia 5-17 tahun, seba nyak
56,9% menderita psoriasis berat dan riwayat keluarga dida patkan pada
51,4% pasien. 6 Di Australia seba nya k 71% dan di Amerika sebanyak
5 1,4% anak dengan psoriasis memil iki riwayat psoriasis pada first degree
family. 2

78
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Psoriasis pada Anak

Suatu studi melaporkan prevalensi psoriasis pada anak d i l nggris


sebesar 0,55% pada anak usia 0-9 tahun dan 1,37% pada usia 10-19
ta hun; di Jerman didapatkan seba nyak 0, 18% pada usia 0-9 ta hun dan
0,83% pada usia 10-19 tahu n; di Belanda dilaporkan seba nyak 0,4% pada
usia 0-10 tahun dan 1,0% pada usia 11-19. Perbedaan prevalensi tersebut
menunjukkan psoriasis merupakan penyakit kompleks ya ng d ipicu oleh
lingkungan pada individ u dengan kerentanan genetik. 2

ETIOPATOGENESIS

Patofisiologi psoriasis belum diketahui dengan pasti hingga saat


ini. Diduga psoriasis merupa kan penyakit i nflamasi kulit ya ng dimediasi
oleh imunologi denga n predisposisi genetik. Aktivasi sel Th-1, Th-17, and
Th-22, menyebabkan terbentuknya sitokin spesifik, misalnya interferon-y,
tumor necrosis factor, I L- 17, I L-22, dan I L-23. Sitoki n ini mengaktivasi
keratinosit, yang menyebabkan peningkata n sel radang dan produ knya
pada kulit. Selanj utnya terjadi hiperplasia epidermis, peni ngkatan
proliferasi keratinosit, dan turn over rate kerati nosit. 1
Faktor genetik juga berperan pada psoriasis. Mereka yang memiliki
first degree family dengan psoriasis memiliki peningkatan risiko menderita
psoriasis sebanyak 5 ka li dibandingkan populasi umum. Seba nyak 30%
pasien anak dengan psoriasis memiliki first degree family dengan psoriasis.
·

Kembar monozigotik memiliki rerata risiko menderita psoriasis lebih tinggi


dibandingkan kembar dizigotik. Beberapa bagian kromosom, yang disebut
sebagai PSORSl sampai PSORSlO, dikaitkan dengan psoriasis. Terdapat
kaitan yang kuat antara alel HLA-Cw6 dengan awitan dini psoriasis.
Perkembangan psoriasis merupakan interaksi kom pleks dari faktor
genetik dan lingkungan. 1
Beberapa faktor yang dapat memicu psoriasis pada anak anta ra
lain trauma, iritasi pada kulit yang dikenal sebagai fenomena Koebner,
infeksi yang paling sering ya itu infeksi Streptococcus, stress emosional,
dan obat-obatan misalnya l itium dan � bloker. 1

MAN I FESTASI KUNIS

Riwayat timbulnya psoriasis dapat berbeda berga ntung pada usia


anak dan tipe psoriasis. Psoriasis pada bayi biasa nya berupa dermatitis

79
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Githa Rahmayunita

popok ya ng persisten dan refrakter terhadap pengobatan . 1' 2 Psoriasis


pada anak ya ng lebih besar dapat berupa plak bersisik atau ketombe
berat atau "cradle cap" yang refrakter terhadap pengobata n. Psoriasis
pada sebagian besar anak biasa nya asimptomatik, tetapi ada pula yang
mengeluhkan pruritus hingga terganggu tid urnya . 1
Lesi klasik psoriasis adalah plak eritematosa merah muda berbatas
tegas dengan skuama puti h keperakan di atasnya. Jika skuama ini
di lepaskan secara mekanik dapat menimbulkan pinpoint bleeding ya n
dikenal sebagai tanda Auspitz. Dibandi ngka n dengan dewasa, psoriasis
pada anak dapat berbeda distribusi, morfologi, dan gejala klinis saat
timbul. Pada anak, plak eritematosa lebih ti pis, berukuran lebih kecil,
serta cenderung muncul di wajah dan daerah lipatan. 1 ' 2 ,4 Sehingga hal ini
terkadang menimbu lkan keragua n saat diagnosis. 1
Tipe psoriasis yang paling sering ditemukan, baik pada anak maupun
dewasa, adalah psoriasis tipe plak. Sekitar 75% anak dengan psoriasis
merupa kan psoriasis tipe plak. Lesi berupa plak eritematosa si rkumskrip
dengan skuama kasar putih keperakan di daerah ekstensor ekstremitas,
siku, l utut, skalp, badan, dan wajah. Terkadang psoriasis tipe plak mem­
berikan morfologi folikular atau anular. 1 ' 2 Lesi juga dapat terbatas ha nya
pada palmar dan plantar. 7
Psoriasis skalp dapat merupakan satu-satunya manifestasi psoriasis
atau sering kal i berkaitan dengan psoriasis tipe plak. Skalp j uga dapat
merupakan tempat pertama munculnya psoriasis pada anak. 1' 2 Lesi di skalp
berbatas tegas dan berskuama dengan dasar eritema yang bervariasi. Ska Ip
daerah oksipital dan garis batas ra mbut merupakan tem pat yang sering
terkena. 1
Psoriasis gutata merupakan jenis psoriasis tersering kedua pada anak
dengan rerata frekuensi 15-30% anak dengan psoriasis. Tipe ini ditandai
oleh awitan mendadak lesi papular berbentuk drop like, berdiameter
kurang dari 1 cm, simetris di badan, tungkai, dan wajah. Wa laupun tidak
sela l u, 7 kelainan ini dapat diawali infeksi Streptococcus � hemolyticus di
tenggorok atau perianal atau infeksi virus sekitar 2 minggu sebelumnya .
Psoriasis gutata dapat da pat mengalami resolusi spontan dalam 3-4
minggu, wa laupun sebagian berkem bang menjadi psoriasis tipe plak. 1' 2
Psoriasis yang mengenai daerah lipatan disebut sebagai psoriasis
inversa. Tipe ini lebih sering ditemukan pada anak dibandingkan dewasa.

80
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Psoriasis pada Anak

Daerah lipatan yang dapat terkena misalnya aksila, inguinal, perineum, dan
umbilikus. 7 Morfologi lesi di daerah fleksural agak berbeda dengan psoriasis
plak karena dapat ditemukan maserasi dan sedikit skuama karena
kelembapa n. 1•2
Psoriasis pada daerah popok yang hanya terjadi pada bayi. Gambaran
klinis berupa plak eritematosa merah cerah sirkumskrip yang dapat
mengalami maserasi . Daerah inguinal biasanya terkena. Hal ini yang
membedakannya dengan dermatitis popok. Psoriasis di daerah popok
sering kali sulit diobati dan mengalami resolusi saat masa toilet training. 1'2
Dilaporkan sebanyak 26% pasien memiliki riwayat psoriasis di daerah
popok. 2
Psoriasis pustulosa ditemukan pada 1,0-5,4% anak dengan psoriasis. 2
Manifestasi klinis berupa pustul steril superfisial dengan dasar eritematosa,
baik lokal (akrodermatitis kontinua Hallopeau) maupun generalisata (tipe
von Zumbusch) . Pada psoriasis pustulosa generalisata biasanya terda pat
keluhan nyeri dengan demam dan malaise. 1•2 Dalam beberapa hari, pustul
akan mengalami resolusi dan meninggalkan skuama kuning kecoklatan
yang selanjutnya mengalami deskuamasi dalam 1-2 minggu. Fase mereda
dan kemudian kemba li mengalami eksaserbasi merupakan karakteristik
psoriasis pustu losa dan lesi krusta ya ng mengalami eksfol iasi dapat
bersamaan dengan timbulnya pustul baru. 7 Walaupun psoriasis pustulosa
lebih sering pada dewasa, konfigu rasi pustul anular lebih sering dilihat
pada anak dibanding dewasa. 1' 2 Berbeda denga n dewasa, psoriasis
pustulosa sering merupakan manifestasi pertama pada bayi dan anak. 7
Eritroderma psoriatika merupakan varian yang jarang ditemukan
pada anak. Kelainan ini ditandai dengan eritema pada lebih dari 90%
luas perm ukaan tubuh. Skuama dapat hanya minimal. Pasien biasa nya
mengeluhkan menggigi l dan demam. 1' 2 Kondisi ini dapat menga ncam
jiwa karena hipotermia, hipoalbu minemia, dan gagal jantung. 2
Psoriasis kuku lebih jarang ditemukan pada anak, namun dapat
ditemukan pada sekitar 40% pasien anak dengan psoriasis. Kelainan kuku
yang dapat dilihat antara lain pitting, kuku menjadi kasar (trachyonichia),
onikolisis, oil spots, dan hiperkeratosis subu ngua l . Kelai nan ini dapat
mendahul ui, berbarengan, atau setelah awitan lesi kulit psoriasis. 1' 2
Psoriasis tidak jarang da pat pula mengenai mem bran mukosa mulut dan
lidah berupa geographic tongue. 7

81
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Githa Rahmayunita

DIAGNOSIS BAN DING

Jenis-jenis psoriasis dengan diagnosis ba ndingnya dapat dilihat


pada tabel 1.

Tabel 1. Diagnosis ba nding psoriasis berdasarkan jenis*


Jenis Diagnosis banding
Plak Dermatitis numularis
Dermatitis atopik
Tinea korporis
Pitiriasis rubra pilaris
Ska Ip Dermatitis seboroik
Tinea kapitis
Dermatitis atopik
Gutata Pitiriasis rosea
Tinea korporis
Pitiriasis rubra pilaris
Dermatitis numu laris
l nversa lntertrigo
Dermatitis seboroik
Eritrasma
Dermatitis konta k
Popok Dermatitis konta k irita n
Dermatitis konta k alergik
lntertrigo
Kandidosis kutis
Akrodermatitis enteropatika
Kuku Onikomikosis
Pitiriasis rubra pilaris
Liken planus
Pustulosa Kandidosis kutis
Dishidrosis
Staphylococcal scalded skin syndrome
Blistering dactylitis
Dermatofitosis
Eritroderma Staphylococcal scalded skin syndrome
Pitiriasis rubra pilaris
Cutaneous T-cell lymphoma
Dermatitis atopik
* Dikutip dengan modifikasi dari kepustakaan no. 1

82
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Psoriasis pada Anak

PEN ILAIAN DERAJAT KEPARAHAN PSORIASIS

Serupa dengan dewasa, derajat keparahan psoriasis pada anak


dapat dinilai dengan Psoriasis Area Severity Index (PASI ), menghitung
luas permukaan kulit yang mengalami psoriasis atau body surface area
(BSA), dan derajat gangguan kualitas hidup menggunakan Dermatology
Life Quality Index (DLQI ) . Namun demikian, perhitungan PASI dan BSA
pada anak harus memperhatikan l uas permukaan tubuh dan telapak
tangan anak yang berbeda dengan dewasa. Psoriasis pada anak da pat
mengganggu kualitas hidup, terutama dalam hubungan sosial, sekolah,
serta olahraga. Pada anak, telah dikembangkan Children Dermatology
Quality Life Index (CDLQI) untuk menilai gangguan kualitas hidup. 1
Berdasarkan CDLQI, psoriasis dikatakan sedikit berpengaruh pada kualitas
hidup anak bila skor 2-6, berpengaruh sedang bila skor 7-12, sangat
mempengaruhi bila DLQI 13-18, dan amat sa ngat berpenga ru h bila DLQI
19-30. 8 Suatu penelitian melaporkan sebanya k 36% pasien anak dengan
psoriasis mengalami depresi. 6

KOMORBIDITAS

Walaupun psoriasis merupakan penya kit yang mengenai kul it,


terdapat beberapa morbiditas pada psoriasis, yaitu a rtritis psoriatika,
kelebihan berat badan dan obesitas, hiperlipidemia, diabetes melitus,
artritis reumatoid, penyakit Crohn, tiroiditis autoimun, serta ankylosing
spondylitis. 1'6 Hal ini disebabkan psoriasis merupakan suatu penyakit
inflamasi yang dimediasi imunologi. Salah satu teori yang diduga
mendasarinya adalah inflamasi ringan yang berlangsung kronik dengan
morbiditas nonkulit multipel. 1
Preva lensi artritis psoriatika pada anak dengan psoriasis adalah
sebesar 1-10%. Puncak usia awitan artritis psoriati ka pada anak adalah
9-12 tahun Y Diperkirakan awitan penyakit kulit mendahului kelainan
sendi sekitar 10 tahun sebelumnya tetapi pada 15% pasien kelainan sendi
mendahului penyakit kulit. 7 Artritis psoriatika biasa nya oligoartritis yang
mengenai sendi kecil misalnya sendi pada tangan dan kaki. Keterlibatan
sendi jari pada artritis psoriatika ditandai denga n pembengkakan yang
menyerupai sosis.

83
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Githa Rahmayunita

Kriteria artritis psoriatika oleh International League of Associations


for Rheumato/ogy ( I LAR) adalah sebagai berikut: 7
1. Terdapat lesi psoriasis pada pasien
2 . Riwayat psoriasis pada orang tua atau sauda ra kandung
2 . Daktilitis
3. Pitting nail atau onikolisis

Suatu penelitian di Jerman mela porkan peningkatan risiko hiper­


li pidermia, obesitas, hipertensi, diabetes melitus, dan a rtritis reumatoid
sebanyak 2 ka l i pada anak berusia di bawah 18 ta hun dengan psoriasis
dibandingkan dengan individu sehat. Selain itu penyakit Chron ditemukan 4
kali lebih banyak pada pasien anak dengan psoriasis. Dilaporka n anak
denga n kelebihan berat badan dan obesitas memiliki risiko lebih tinggi
menderita psoriasis dibandingkan anak dengan berat badan normal.
Sebal i knya, terda pat pula laporan ya ng mendapatkan peningkatan risiko
kelebihan berat badan atau obesitas pada anak dengan psoriasis yang
berusia 5-17 tahun. Suatu studi melaporkan kelebihan berat badan atau
obesitas mendahului psoriasis 2 tahun sebelumnya pada 93% anak dengan
psoriasis. Walaupun hal ini masih kontroversi, disarankan memberikan
edukasi mengenai gaya hidup dan menurunkan berat badan. 1
Sindrom metabolik juga menjadi masalah pada anak dengan
psoriasis. Suatu penelitian pada tahun 2011 membandingkan pasien
ana k dengan psoriasis dan pasien anak dengan veruka. Mereka
menda patka n sindrom metabolik lebih ba nyak diderita oleh pasien anak
dengan psoriasis. Kriteria sindrom meta bolik dapat dilihat pada tabel 2. 6

Tabel 2. Kriteria sindrom metaboli k pada anak*


Sindrom metabolik ditegakkan bila didapatkan 3 atau lebih kriteria di bawah ini:
• H i pertrigliseridemia: �1,1 mmol/L
• Kolesterol H D L rendah: <1,3 m mol/L(anak laki-laki usia 15-19 tahun
• Glukosa darah puasa tinggi: <l,17 mmol/L)
• Obesitas sentral (lingkar perut): �6, 1 mmol/L
• Hipertensi: >persentil 75 ( untuk usia & jenis kelamin)
>persentil 90 ( untuk usia, jenis kelamin, &
tinggi badan)
*Dikutip dengan modifikasi dari kepustakaan 2

84
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Psoriasis pada Anak

DIAGNOSIS

Diagnosis psoriasis biasanya dibuat seca ra klinis. Pemeriksaan


penunjang dilakukan pada kasus atipikal, ketika diagnosis tidak jelas,
untuk identifikasi pemicu, dan evaluasi komorbiditas. 1
Pemeriksaan laboratorium
Tidak ada pemeri ksaan laboratorium spesifik pada sebagian besar
pasien psoriasis. Pada anak dengan kecurigaan infeksi Streptococcus,
khususnya pada psoriasis gutata, dapat dilakukan kultur dari apusan
tenggrok atau perianal. Pada pasien dengan psoriasis pustulosa genera­
lisata, dilakukan pemeriksaan darah dan dapat ditemukan leukositosis
dengan neutrofilia serta ganggua n elektrol it. Pada pasien dengan a rtritis
psoriatika dapat ditemukan peni ngkatan laju endap darah, c-reactive
protein, dan faktor reumatoid biasanya negatif. Berat badan, tinggi badan,
indeks massa tubuh harus dicatat pada pasien anak dengan psoriasis. Pada
dugaan adanya sindrom metabolik, harus diperiksa profil lipid, pengukuran
tekanan darah, dan gula darah puasa. 1
Radiologi
Pemeriksaan radiologi ha nya dilakuka n pada artritis psoriatika . 1
Histopatologi .
Gambaran histopatologi yang umum ditemukan adalah parakeratosis
dengan kumpulan neutrofil intrakorneal yang disebut sebagai mikroabses
Munro, akantosis, penebalan epidermis suprapapiler, tidak adanya stratum
granulosum, 1 pemanjangan rete ridges, dilatasi pembuluh darah di dermis,
dan infiltrat limfosit perivaskular. 2 Gambaran karakteristik histopatologi
psoriasis pustulosa adalah pustul unilokular intraepidermal berukura n
besar yang berisi leukosit pol i morfonuklea r (spongiform pustules of
Kogoj) dengan inflamasi dan spongiosis ringan di sekitarnya. 7 Biopsi
biasanya tidak dilakukan, khususnya pada anak, kecuali pada gambaran
klinis yang tidak khas. 2
Dermoskopi
Dermoskopi dapat membantu diagnosis psoriasis, yakni gambaran
dotted vessels berdistribusi teratur dengan latar belakang merah cerah dan
skuama putih superfisial difus. Hal ini merupakan gambaran karakteristik
plak psoriasis. 2

85
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Githa Rahmayunita

TATA LAKSANA

Belum ada pengobatan ya ng dapat menyembuhkan psoriasis. 1


Edukasi kepada pasien dan keluarganya mengenai perjalanan penyakit
psoriasis, faktor pemicu, dan pengobata n merupa kan hal yang sangat
penting. Dukunga n psikososial juga tidak kalah penti ngnya untuk pasien
anak dengan psoriasis. 2
Pemilihan terapi harus mempertimbangkan faktor-faktor berikut,
yaitu usia pasien, tipe psoriasis, keparahan klinis, lokasi dan tipe psoriasis,
ganggua n kual itas hidup, adanya komorbiditas, riwayat pengobatan
sebelu mnya, tolerabilitas, keamanan, dan pilihan pasien. 2'3 Hingga saat ini
belum ada pedoman tatalaksana psoriasis pada anak yang menjadi standar
secara internasional . Tatalaksana yang ada saat ini hanya berdasarkan
pedoman tatalaksana pada dewasa, pendapat para ahli, dan pengalaman
penggunaan obat-obat tersebut pada penyakit lain pada anak. 2
Terapi Topikal
Sebagian besar pasien anak dengan psoriasis dapat ditatalaksana
dengan terapi topikal yang merupakan terapi lini pertama terapi psoriasis.
Sebagian besar pengobatan masih digunakan secara off label karena belum
disetujui diberikan pada anak. Vehikulum juga harus diperti mbangkan dan
berga ntung pada lokasi psoriasis, karakteristik lesi, dan pilihan pasien. 1
a. Pelembab
Pelembab da pat memperba iki fungsi sawa r dan hidrasi kulit sehingga
epidermis menjadi tidak rentan terhadap trau ma eksternal dan
mengurangi terjadinya fenomena Koebner. Penggunaan pelembab
sebelum penyinaran dapat meningkatka n efek terapeutik narrow
band ultraviolet B ( N BUVB) dengan menjadi optical matching yang
4
meni ngkatka n transmisi sinar ultraviolet (UV).
b. Keratolitik
Asam salisi lat adalah keratolitik ya ng dapat digunakan untuk plak
psoriasis berukuran kecil di daerah skalp, pa lmar, dan planta r pada
4
anak berusia lebih dari 6 tahun. Pada bayi dan anak, penggunaan
asam sal isi lat dalam jumlah besar pada daerah yang luas da pat
mengalami absorpsi sistemik dan menimbulkan efek samping berupa
tinitus, mual, dan muntah yang disebut salisilisme.

86
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Psoriasis pada Anak

c. Liquor carbonis detergen


Salah satu contoh liquor carbonis detergen (LCD) yang sering digunakan
adalah tar. Obat ini bekerja dengan menghambat proliferasi keratinosit
dan memperbaiki diferensiasi keratinosit9 serta antipruritus. Ta r dapat
digunakan sebagai monoterapi atau kombinasi dengan steroid topikal,
keratolitik, dan fototerapi. Efek sampingnya antara lain mewarnai, iritasi,
folikulitis, dan fotosensitivitas. 1 Obat ini sebaiknya tidak dipakai di
4
daerah wajah dan lipatan. National Psoriasis Foundation dan Food and
Drug Administration (FDA) menyetujui ta r dalam konsentrasi rendah
(0,0-5%) sebagai terapi lini ke dua untuk psoriasis. 9
d. Kortikosteroid topikal
Kortikosteroid topikal (KST) merupakan obat yang paling sering diberikan
pada psoriasis untuk segala usia . 2 Bahan ini memiliki efek antiinflamasi
dan antiproliferasi, mengurangi gatal, skuama, serta eritema. 1 FDA telah
menyetujui penggunaan mometason pada anak berusia lebih dari 2
tahun dan alklometason pada anak berusia lebih dari 1 ta hun. Terapi
psoriasis di daerah wajah dan lipatan dapat menggunakan KST potensi VI
atau VI I . Untuk daerah popok, sebaiknya digunakan KST potensi rendah
dalam jangka waktu pendek untuk menghindari efek samping. 9
Sedangkan untuk ekstremitas dapat digunakan potensi lebih kuat, yaitu
potensi 11-IV. 1'7 Efek samping yang dapat terjadi adalah atrofi kulit, striae,
teleangiektasia, erupsi akneiformis, hipertrikosis, dermatitis periorifisial,
dan supresi aksis hipotalamus-hi pofisis-adrena l . 2
e. Analog vitamin D
Analog vitamin D bekerja dengan menghambat proliferasi keratinosit. 1
Ka lsi potriol dan kalsitriol dilaporkan memberikan hasil ya ng baik pada
psoriasis anak dengan efek samping ya ng ringan. Efek samping ya ng
sering dilaporkan adalah pruritus, iritasi lokal, sehingga harus dihindari
pada daerah berkulit tipis misal nya lipatan, wajah, dan genital . Sa lep
kalsitriol dikatakan lebih kurang iritatif dari pada salep kalsipotriol jika
digunakan pada daerah lipatan. Absorbsi sistemik vita min D dan
peningkatan kadar ka lsium dapat terjadi jika d igunakan seca ra tidak
tepat. Penggunaan sebanyak 45 gram/m 2/minggu pada pasien anak
dengan psoriasis tidak meningkatkan kadar kalsium pada anak usia 3-
14 ta hun. Ana log vita min D tidak direkomendasikan untuk anak di
bawah 2 ta hun. Analog vita min D dapat j uga digunakan sebagai
kombinasi dengan KST. 2

87
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Githa Rahmayunita

f. Inhibitor kalsineurin topikal


Inhibitor kalsineuri n inhibitor (IKT) merupa kan makrolaktam imuno­
modulator nonsteroid, yang bekerja dengan menghambat enzim
kalsineurin, produksi I L-2, serta proliferasi dan aktivasi sel T. Pada pasien
dewasa, takrolimus 0,03% dan 0,1%, serta pimekrolimus 1% telah
disetujui diberikan untuk psoriasis di wajah, genital, dan daerah lipatan. 2
Walaupun off label, obat ini dapat d iberi kan pada pasien psoriasis
bayi dan anak kecil teruta ma di daerah wajah dan lipatan. Efek
samping ya ng mungki n terjadi adalah rasa terbakar dan iritasi. 1 '9
g. Dithranol
Dithranol atau antralin adalah obat topikal yang memiliki efek anti­
inflamasi dan antiproliferasi dengan absorbsi sistemik yang minimal.
Obat ini merupakan pilihan terapi yang efektif dan aman untuk anak.
Dithranol dengan konsentrasi tinggi (0,1-3%) yang diaplikasi dalam
waktu singkat (10-30 menit per hari hingga iritasi terjadi) dapat
memberikan efek terapetik tanpa risiko iritasi dan pewarnaan. 1'2 Pada
awalnya, pemakaian dithranol dibiarkan selama 5 menit dan perlahan
lama kontak diti ngkatkan sesuai toleransi dan keperluan efektivitas. 1
h. Retinoid
Taza roten adalah generasi ke-3 retinoid topikal yang bekerja dengan
menurunkan prol iferasi kerati nosit9 dan mengurangi infla masi . 1
Tazaroten dapat men imbulkan iritasi sehingga harus dimulai perlahan
dengan peni ngkatan frekuensi pengolesan secara bertahap. Obat ini
disetujui untuk digunakan pada anak berusia di atas 12 tahun. 9

Fototerapi
Fototera pi dilaporkan efektif untuk psoriasis yang luas, psoriasis tipe
plak, gutata, atau psoriasis pustulosa yang refrakter, atau pasien yang
tidak dapat mendapatkan terapi sistemik untuk psoriasis derajat sedang
hi ngga berat. Beberapa jenis fototera pi adalah broad band (BB) UVB
(280-320 nm), N B UVB (311-313 nm), dan UVA (320-400 nm). Fototerapi
menghambat sintesis DNA, proliferasi keratinosit, serta menginduksi
apoptosis limfosit T dan produksi mediator anti inflamasi. NB UVB kurang
eritemogenik dibanding BB UVB dan saat ini NB UVB dianggap sebagai
fototerapi lini perta ma untuk anak ka rena efektif dan memiliki efek
samping yang lebih ringan. Efek samping ja ngka pendek yang da pat

88
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Psoriasis pada Anak

timbul antara lain kulit keri ng, gatal, eritema, lepuh, dan aktivasi vi rus
herpes. Contoh efek samping ja ngka panjang adalah penuaan kulit
prematur dan ka rsinogenesis yang belum pernah d ilaporkan pada anak.
Efek kumulatif fototerapi UVB dan paparan kronik sinar matahari
dikaitka n dengan ka nker kulit. Sehingga tindak lanjut jangka panjang
untuk psoriasis pada anak yang diberikan fototerapi perlu dilakukan
untuk mengetahui kea manan fototerapi. 2 Berada dalam chamber UV
kurang sesuai untuk anak keci l atau bayi ka rena dapat menimbul kan
kegelisahan. 2' 3 Selain itu frekuensi fototerapi terkadang menjadi
masa lah untuk orang tua. Kombinasi psora len dengan UVA (PUVA)
merupakan kontraindikasi untuk anak kurang dari 12 ta hun karena efek
sampingnya yang berupa mual, muntah, sakit kepala, toksisitas okular
dan hepar, fotosensitivitas yang membutuhkan fotoproteksi selama 24
jam, serta risiko terbakar dan ka nker kulit dalam jangka panjang. Namun
PUVA topikal masih dapat diberikan pada anak. 3

Terapi Sistemik
Tidak adanya tera pi yang disetujui secara resmi, sangat terbatasnya data
berbasis bukti penelitian randomized controlled trial (RCT), dan tidak
adanya pedoman yang menjadi standar, menyebabkan tata laksana
psoriasis pada anak hi ngga saat ini masih berdasarkan laporan kasus,
pedoman untuk dewasa, penda pat para ahli, dan pengalaman peng­
gunaan obat pada anak untuk penyakit lain dari bidang ilmu reumatologi,
gastroenterologi, dan onkologi. Sebagian besar obat masih diberikan
secara off label. Berdasarkan hal tersebut pemberiannya dibatasi pada
psoriasis yang rekalsitran, derajat sedang sampai berat, dan adanya
artritis psoriatika. 2'3 Asitretin, metotreksat, dan siklosporin dianggap
sebagai terapi lini pertama untuk psoriasis pada anak dengan efikasi yang
baik dan tidak ba nyak menimbulkan efek sampi ng. 3
a. Metotreksat
Metotreksat (Mn<) adalah antimetabolit yang memiliki efek antimitotik,
antikemotaktik, dan antiinflamasi. 3'7 Mn< telah disetujui diberikan untuk
psoriasis derajat berat pada dewasa. Sedangkan pada anak, MTX
disetujui untuk pengobatan juv�nile idiopathic arthritis (JIA),
inflammatory bowel disease (IBD), dan beberapa keganasan. Berbasis
bukti yang ada, MTX dia nggap sebagai terapi sistemik pilihan untuk anak

89
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Githa Rahmayunita

dengan psoriasis tipe plak derajat sedang hingga berat, artritis


2
psoriatika, eritroderma, dan psoriasis pustulosa generalisata. ' 3 Hingga
saat ini belum ada kesepakatan mengenai regimen dosis MTX dan durasi
_
terapi pada pasien anak dengan psoriasis. Jika penyakit sudah
terkontrol, dosis MTX diturunkan ke dosis efektif untuk rumatan untuk
mengurangi efek samping. Asam folat secara rutin diberikan untuk
mengurangi efek samping, namun dosis optimal dan waktu pemberian
yang optimal masih belum jelas. Efek samping yang sering ditemukan
antara lain adalah muntah, mual, stomatitis, dan gangguan fungsi hepar.
Supresi sumsum tulang belakang, toksisitas paru, infeksi, dan
2
hepatotoksisitas termasuk fibrosis hepar jarang ditemukan pada anak.
Dosis yang dapat diberika n pada anak adalah 0,2-0,7 mg/kg BB/minggu
yang dapat ditingkatkan 1,25-5 mg/minggu hingga perbaikan klinis
tercapai dengan dosis maksimal 20 mg/minggu.9• 10 Setelah tercapai
perbaikan klinis, dosis diturunkan secara perlahan hingga dosis rumatan
untuk mengurangi efek samping. Selama pemberian MTX, harus
dilakukan pemantauan fungsi hepar. MTX adalah antimetabolit yang
memiliki efek antimitotik, antikemotaktik, dan antiinflamasi. 3'7
b. Siklosporin
Si klosporin adalah imunosupresan yang menghambat I L-2 dan fungsi
limfosit T. FDA menyetujui penggunaan siklosporin pada dewasa dengan
psoriasis berat yang rekalsitran dan pada pasien anak yang menjalani
transplantasi berusia lebih dari 6 bulan Y Siklosporin dapat diberikan
pada psoriasis berat yang rekalsitran dan psoriasis pustulosa. 1 Obat ini
memiliki awitan cepat yaitu 2-4 minggu. Oleh karena itu siklosporin
dianggap sebagai obat yang ideal untuk mengontrol penyakit. Namun
2
saat ini efikasi siklosporin untuk psoriasis pada anak masih belum jelas.
Pada anak dibutuhkan dosis yang lebih tinggi karena absorbsi oral lebih
rendah, cepat mengalami bersihan, dan distribusi volume pada steady
state yang lebih besar. Dosis yang dapat diberikan adalah 1,5-5
mg/kgBB/hari dalam dosis terbagi 3 dalam sehari selama 4-6 minggu. 1' 3'9
Jika perbaikan klinis sudah tercapai, dosis dapat diturunkan. 3 Karena
bukti pada anak masih terbatas, maka siklosporin diberikan dalam dosis
serendah mungkin, sesingkat mungkin, dan tidak boleh lebih dari 12
bulan. Efek samping yang mungki n terjadi adalah nefrotoksisitas,
hipertensi, mual, dan diare. Pemantauan ketat fungsi ginjal harus
dilakukan. Selama pemberian siklosporin harus dilakukan pemantauan

90
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Psoriasis pada Anak

tekanan ".darah dan fungsi .:ginjal. Risiko jangka panjang keganasan kulit
non melanoma juga telah dilaporkan. 2 ·

c. Retinoid ;, f

Golongan retinoid merupakan retinoid sintetik, bekerja dengan


memodulasi proliferasi dan diferensiasi keratinosit, serta memiliki
·

aktivitas imunomodulator dan 'anti inflamasi. 2'3'9 Obat ini dapat diberikan
terutama untuk psoriasis pustulosa, eritroderma, dan psoriasis tipe plak
yang berat pada anak. Saat ini ya ng lebih banyak digunakan adalah
asitretin yaitu metabolit etretinat. Dosis yang dapat diberikan adalah
0,5-1 mg/kgBB/hari. Efek samping golongan retinoid berupa keilitis,
xerosis, epistaksis, kerapuhan kulit, kerontokan rambut, dan toksisitas
okular. Pemantauan laboratorium diperlukan untuk mengeta hui
peningkatan fungsi hepar dan trigliserida. Penggunaan retinoid
jangka panjang dapat menyebabkan hiperostosis skeleta l, penutupan
epifisis secara prematur, dan penurunan kepadatan tulang. Karena
efek teratogenik, obat ini harus hati-hati bila diberikan kepada
remaja putri . Keha milan harus ditunda sampai 3 tahun setelah obat
dihenti kan. 2' 3'9 Secara umum asitretin da pat ditoleransi dengan baik
dengan efek samping minimal. Golongan retinoid tidak mem iliki efek
imunosupresif, sehingga menjadi pi lihan utama pada anak. 3' 10
d. Ester asam fumarat
Obat ini memiliki efek im unomodulator dan digunakan untuk psoriasis
tipe plak derajat sedang sampai berat pada pasien dewasa. Namun
obat ini tidak tersedia di Indonesia. Data penggunaan obat ini pada anak
masih terbatas. Efek samping yang dilaporkan adalah flushing, keluhan
gastrointestinal, eosinofilia, dan peningkatan enzim transaminase serta
kreatinin. Obat ini dapat dipertimbangkan diberikan pada anak jika MTX
tidak efektif atau terdapat kontraindikasi pemberian MTX. 2
e. Agen biologik
Target kerja agen biologik adalah mediator spesifik kaskade inflamasi
dalam psoriasis, 3 termasuk TN F-a dan I L-12/23. Hingga saat ini pedoman
internasional pemakaian agen biologik pada anak belum ada. Selain itu
agen biologik juga belum disetujui un.tuk terapi psoriasis pada anak. Efek
samping yang dapat terjadi adalah infeksi oportunistik, reaktivasi
tuberkulosis, dan keganasan. 2 Terdapat 3 macam inhibitor TN F-a yang

91
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Githa Rahmayunita

telah disetujui untuk diberikan pada anak, yaitu etanercept untuk anak
berusia 2 tahun atau lebih dengan J IA, infliximab untuk anak berusia
lebi h dari 6 tahun dengan penyakit Crohn, dan adalimumab untuk anak
berusia lebih dari 4 tahun dengan J IA. Karena efektivitas dan profil
keamanannya, etanercept dapat dipertimbangkan sebagai terapi lini
pertama untuk psoriasis tipe plak sedang hingga berat atau psoriasis
yang refrakter pada anak.9 Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk
mengetahui efikasi dan keamanan obat-obat ini pada psoriasis pada
anak. 2
Level of evidence terapi psoriasis pada anak dapat dilihat pada
tabel 3.

label 3. Level of evidence terapi psoriasis pada anak*


Terapi Level of evidence
Kortikosteroid topikal 4-5
Analog vita min D
Kalsipotriol lb-4
Kalsitriol 2b-4
Inhibitor kalsineurin
Takrolimus 0,1% 4-5
Pimekrolimus 1% 5
Dithranol krim 4-5
Fototerapi
N BUVB 4
PUVA 5
Retinoid
Etretinat 4-5
Asitretin 5
Siklosporin 4-5
Metotreksat 4-5
Agen biologik
Eta nercept lb-5
l nfl iximab 5
Keterangan:
la: Systematic review randomized controlled trial ( RCT); lb: Individual RCT
2a: Systematic review of cohort studie; 2b: Individual cohort study (termasuk RCT
kualitas rendah); 3a: Systematic review case control study; 3b: Individual case control
study; 4: Serial case; 5: Case report, expert opinion
* Dikutip dengan modifikasi dari kepustakaan no.11

92
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Psoriasis pada Anak

PROGNOSIS

Psoriasis merupakan penyakit kronik dan cenderung mengalami


relaps. Pada anak, psoriasis biasanya lebih ringan dan dapat dikontrol
dengan obat topikal. Beberapa pasien mendapatkan remisi sempurna yang
bertahan selama beberapa tahun. Psoriasis gutata dapat mengalami
perbaikan, namun sebagian berlanjut menjadi tipe plak atau terkadang
dapat mengalami kekambuhan saat pasien menderita infeksi Streptococcus.
Sebagian kecil pasien anak dapat bertambah parah seiring bertambahnya
usia dan menjadi lebih parah sehingga memerlukan terapi yang lebih
agres1"f. 1

PEN UTUP

Dokter harus mengikuti pendekatan umum untuk memaksimal kan


efek terapeutik da n mengurangi efek sampaing. Psoriasis adalah penyakit
inflamasi kronik yang mengenai kulit, kuku, dan sendi baik pada anak
maupun dewasa. Pada anak dan remaja, psoriasis dapat menimbulkan
gangguan kualitas hidup. Anak dengan psoriasis juga mem iliki preva lensi
komorbiditas yang lebih ti nggi jika dibandingkan dengan anak ta npa
psoriasis. Karena beban penyakit dan komorbiditas tersebut, diagnosis
awal dan tata laksana pada anak sa ngatlah penting. 2,4 Pilihan
pengobatan harus dilakukan dengan pertimbangan efek penyakit kepada
pasien dan keluarganya. Penelitian multisenter internasional perlu
dilakukan untuk mengevaluasi terapi sistemik untuk psoriasis pada anak
guna mengembangkan pedoman tata laksana psoriasis pada anak secara
internasional . 3

DAFTAR PUSTAKA
1. Tol lefson M M . Diagnosis and management of psoriasis in childre n . Pediatr Clin
N Am. 2014;61:261-77.
2. Bronkers I M GJ, Paller AS, van Geel MJ, van de Kerkhof PCM, Seyger M M B.
Psoriasis in children and adolescents: Diagnosis, management a n d
comorbidities. Pediatr Drugs. 2015; 17:373-84.
3. Napolitano M, Megna M, Ba lato A, Ayala F, Lembo S, Villan A, d kk. Systemic
treatment of pediatric psoriasis: A- review. Dermatol Ther ( H eidelb).
2016;6: 125-42.

93
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Githa Rahmayunita

4. Dhar S, Banerjee R, Agrawal N, Chatterjee S, Malakar R. Psoriasis in childre n :


An insight. I n d ian J Dermatol. 2011;56(3):262-5.
5. Data statistik Departemen llmu Kes ehatan Kulit dan Kela min FKU l/RSCM 2015.
_
{unpublished materials]
6. Silverberg NB. U pdate on pediatric psoriasis. Cutis. 2015;95 : 147-52.
7. Pa pulosq uamous and related disorders. Dal a m : Paller AS, Mancini AJ . Hurwitz
clinical pediatric d ermatology. A textbook of skin disorders of childhood and
adolescence. Edisi ke 5. Edinburg:Elsevier; 2016. h.73-91.
8. Lewis-Jones MS, Finlay AV. CLDQI informations and instructions. Tersedia dari
http://www.sites.card iff.ac.uk. Disitasi 28 N ovember 2016.
9. de Moll E, Chang MW, Strober B. Psoriasis in adult and childre n : Kids are not
just little people. J Clin Dermatol. DOI: 10. 1016/j.clindermatol.2016.07.006.
10. Benoit s, H a m m H. Child hood psoriasis. Clin Dermatol. 2007;25:555-62.
11. d e Jager M EA, de Jong E MGJ, van d e Kerkhof PCM, Seyger M M B. Efficacy and
safety of treatments for childhood psoriasis: A systemic literatu re review. J Am
Acad Dermatol. 2010;62 : 1013-30.

94
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
DERMATITIS SEBOROIK:
MANIFESTASI KUNIS INFANTIL VS DEWASA

Triana Agustin

Dermatitis seboroik ( DS ) merupakan kelainan i nfla m asi ku lit


bersifat kronik-residif pada a rea seboroik yaitu ku l it kepala, wajah
(dahi, alis, lipat nasolabial, dan post-aurikular), dan badan (presterna l
dan interskapula). 1-5 Area lain yang terlibat adalah a rea lipatan (inguinal,
inframamae, serta a ksila), u m bilikus, perineum, dan anogenital.4-6
lsti lah DS perta ma ka l i d i kem u ka ka n oleh U n na pada tahun
1887. 3 DS dapat mengenai anak dan dewasa. 6 Usia tersering terda pat
pada bayi usia 3 bulan pertama, pu bertas, dan dewasa m uda, insidens
meningkat lagi pada usia 40-60 ta h u n . DS mengenai 1-3% individu
imunokompeten dewasa dan lebih sering pada laki laki dibandingkan
dengan perempuan (3% : 2,6%). 1' 7'8 lnsidens pada bayi dapat mencapa i
h ingga 42%.8
Ketombe merupaka n kela i n a n ku l it ya ng sering terjadi yang
juga mengenai a rea seboroik. Ketombe lebih sering diband i ngkan
dengan DS, mengenai sekitar 50% populasi dewasa d i seluruh d u n i a .
Prevalensi lebih sering pada laki-laki dibandingkan denga n perempuan.
Ketombe dimulai pada usia pu bertas, dengan pu ncak i nsidens dan
keparahan pada usia 20 ta h u n dan mulai berkurang p reva lensi nya
pada usia di atas 50 ta h u n . 8 DS m e m p u nyai dampak negatif terhadap
kualitas hidup pasien, dan hal ini lebih sering terjadi pada perempuan,
usia muda, dan tingkat pendidikan ti nggi . 6' 8

EPIDEMIOLOG I

Di Asia terdapat beberapa studi epidemiologi DS. Stud i potong


lintang pada populasi militer di Korea didapatkan preva lensi DS sebesar
2,1% dan merupa kan penyakit kulit ketiga terbanyak setelah dermatitis
atopik (DA) dan tinea kru ris. Penelitian di I ndia mela porkan p reva lensi
DS sebesar 13,4% pada pasien anak usia < 5 tahun denga n punca knya
pada usia bayi dan men u run sesuai bertambahnya usia, demikian pula

95
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Triana Agustin

pada pasien dengan dermatosis pada kulit kepala dewasa didapatkan


sebesar 18,7% kasus adalah DS. Prevalensi DS di Singa pura pada anak
sebesar 3,2% dan dewasa 7,0%. P revalensi j uga bervariasi pada
kelompok usia 12-20 tah u n pada daera h tropis di nega ra Asia, yaitu
M acao 2,7%, Guangzhou 2,9%, Malaysia 17,2%, dan I ndonesia 26,5%.
Pada studi potong lintang dida patkan prevalensi DS di klinik
dermatologi d i J epang sebesar 3,2%. Prevalensi yang berva riasi
mem perl i hatka n terda pat ekspresi variabilitas yang tinggi pada DS.
P revalensi DS pada pasien H IV di bebera pa negara di Asia ya itu :
Tha i la n d 47%, M a laysia 19, 2%, dan Korea 17,0%. 4
Berdasa rka n data epidemiologi d ida patka n p reva lensi ketombe
sebesa r 2 1,6% pada usia 15-24 tahun, 19,7% pada usia 2 5-34 tahun,
17,4% usia 35-49 ta h u n, 14,3% usia 50-64 ta h u n, dan 11,7% pada usia
>65 ta h u n . 9 Pada suatu penelitian d i Amerika Seri kat dan Republik
Ra kyat China ( R RC) didapatka n p reva lensi pada etnis Afrika-Amerika
sebesa r 8 1-95%, Kaukasia 66-82%, d a n Cina 30-42%. 8

DERMATITIS SEBOROIK PADA BAYI DIBANDINGKAN DENGAN


DEWASA

ETIOPATOG ENESIS

Dermatitis Seboroik Dewasa


Etiopatogenesis DS secara umum belum diketahui secara pasti. 7'8
Salah satu etiopatogenesis DS did uga a kibat penga ruh hormon
androgen. 1 Dugaan tersebut disebabkan oleh predileksi lesi DS pada
a rea yang banya k terda pat kelenjar sebasea, usia tersering pada saat
produ ksi sebu m pa l i ng ti nggi pada pubertas dan remaja, dan lebih
sering pada laki-laki dibandingkan perempuan. 1' 2'9 Waiau pun banya knya
produ ksi sebum berkorelasi kuat dengan DS, sebum buka n menjadi
fa kto r uta ma karena tidak sem u a pasien DS terda pat peni ngkatan
produ ksi sebu m dan seba li knya i n d ividu dengan prod u ksi sebum
berlebihan bel u m tentu menga l a m i DS. 6' 8 Hanya sekitar 50% pasien
DS terdapat ku l it berm inyak. 2 Demikian pula pada pasien DS j u m lah
kelenjar sebasea tidak lebih banyak diband ingka n dengan ind ividu

96
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Dermatitis Seboroik: Manifestasi Klinis l nfantil vs Dewasa

sehat dan kelenjar sebasea pada pasien DS tidak terdapat perbedaan


morfologi dan u ku ra n dengan individu sehat. 5
Saat ini terdapat dua faktor etiopatogenesis OS yang banya k
diteliti, yaitu peran Malassezia dan lipid epidermis. 5 Malassezia
merupakan flora normal yang terdapat pada kulit dan dapat
menimbulkan reaksi abnormal pada individu yang mempunyai faktor
predisposisi. 10 Peran Malassezia pada patogenesis OS diduku ng oleh
korelasi positif antara kepadatan yeast dengan keparahan OS, perbaikan
lesi DS setelah terapi antijamur, serta terjadinya rekurensi saat
pemberian obat anti jamur dihentikan dan rekolonisasi. Hal tersebut
memperkuat peran Malassezia dalam patogenesis DS. 1•2•6•8 Malassezia
bersifat lipofilik, terdapat pada 75-98% kulit sehat terutama pada a rea
kulit yang kaya lipid, yaitu wajah, kulit kepala, dan badan. 1 Spesies
Malassezia yang berperan pada DS adalah M. restricta dan M. g/obosa.
Beberapa laporan juga mendapatkan M. furfur, M. sympodialis, dan M.
obtuse; dan M. sloofiae pada lesi DS. 1'2 Di negara barat, patogen yang
berperan dominan ialah M. globosa dan M. restricta, sedangkan di
negara Asia Ti m u r lebih dominan M. restricta. Di Korea dari ana lisis
dari lesi skuama di kulit kepala pasien OS dida patkan Malassezia sp.
pada 85% kasus ya ng terdiri atas M. restricta 47,5% dan M. globosa
ha nya sebesa r 27,5%. Berbeda halnya denga n di Thaila nd, didapatka n
pada lesi OS infa ntil ya ng predominan adalah M. furfur.4 Sementa ra
itu, M. yamatoensis dida patkan pada lesi pasien OS di Jepa ng. 5 Peran
Malassezia pada ketom be juga berva riasi di nega ra Asia. Penelitian d i
Iran pada pasien ketombe hanya sebesar 24,5% dida patkan Malassezia
sp., sedangkan di I ndia didapatkan 84% dan kepadatan Malassezia
berhu bungan dengan kepara han ketombe. 4
Malassezia tida k mampu menghasil kan asam lemak yang
dibutuhkan untuk pertumbuhannya, namun dapat mensintesis lipase
dan fosfolipase. 5 Malassezia menginvasi stratu m korneum meng­
hidrolisis trigliserida oleh aktivitas lipase sehingga dihasilkan asam lemak
tak jenuh, yaitu asam cleat dan a ra kidonat. Kedua metabolit tersebut
menyebabkan ganggua n diferensiasi keratinosit sehingga terjadi
gangguan sawar kul it dan menginduksi· keratinosit menghasil kan sitokin
proinflamasi interleukin { IL)-1 alfa, I L-6, I L-8, dan TN F-alfa. 8 Selain itu,
asam arakidonat dimetabolisme oleh siklooksigenase untuk menghasilkan

97
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Triana Agustin

prostaglandin yang meru pakan med iator i nflamasi melalui rekrutmen


netrofil dan vasodilatasi . 2' 8 l nflamasi menyebabkan hiperproliferasi
stratum korneum dan mengganggu diferensiasi korneosit yang berujung
pada defek fungsi sawar stratu m korneum. Kerusakan stratum korneum
kemudian akan meningkatkan a kses Malassezia, demikian pula asam
lemak yang dihasilkan dapat meningkatkan pertumbuhan Malassezia. 7
Peran Malassezia diduga terjadi pada i ndividu yang mempunyai
faktor predisposisi. Dugaan tersebut didapat dari percobaan pengolesan
topikal asam cleat tida k menginduksi terjadinya ketom be pada individu
tanpa ketombe, namun menginduksi timbulnya ketom be pada area non
lesi pada pasien dengan ketombe. Berdasarkan pengamata n tersebut
diduga bahwa terdapat defek sawarepidermis intrinsik pada patogenesis
DS dan ketombe. 8
Pasien DS mempu nya i kad a r l i pid, dalam hal i n i trigliserida dan
kolesterol, yang lebih tinggi, teta pi kadar asam lemak bebas dan skualen
yang lebih rendah . 5' 6 Malassezia dan Propionibacterium acnes
mempunyai lipase yang mengubah trigliserida menjadi asam lema k
bebas. Asa m lemak bebas dan reactive oxygen radicals mempunyai efek
antimi kroba sehi ngga merubah flora normal kulit. Beberapa penulis
mengata ka n bahwa gangguan flora normal, a ktivitas lipase, dan radikal
bebas berperan dalam etiopatogenesis DS. 6
Temuan insidens yang tinggi pada pasien H IV, pasien denga n
transplantasi organ, dan limfoma memberi kan dugaan peran sistem
i m u n dalam patoge nesis DS. 1 ' 2' 8 P reva lensi DS pada pasien H IV dan
AI DS lebih ti nggi (34-38%) diband ingka n dengan popu lasi umum ( 1 -
3%). 8' 9 M a n ifestasi kl i n is D S pada pasien H IV biasa nya l e b i h berat. 2' 7
DS dia ngga p sebaga i m a n ifestasi kulit awa l pada pasien AIDS baik
pasien a n a k m a u p u n dewasa . DS j uga d a pat menjadi manifestasi kulit
pada the imm une reconstitution inflammatory syndrome (I RIS) pada
pasien H IV yang mendapat highly active antiretroviral therapy (HAART),
namun pada beberapa laporan kasus terjadi perbaikan lesi DS dengan
pemberiaan HAART.8 Beberapa penulis mendapatkan pertumbuhan
Malassezia ya ng berlebihan d item u ka n ha nya pada beberapa pasien
DS dengan H IV, n a m u n beberapa penulis lainnya menduga karena
pada pasien H IV terdapat imu nodefisiensi sehingga terdapat kolon isasi
m alassezia ya ng lebih tinggi. 5' 9 Walaupun pada beberapa pasien pada

98
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Dermatitis Seboroik: Manifestasi Klinis l nfantil vs Dewasa

pemeriksaan kultur terdapat Candida albicans, Staphylococcus aureus,


Propionibacterium acnes, d a n bakteri aerob l a i n nya, n a m u n tidak
satupun berhubungan dengan patogenesis DS. 6
DS diduga berhubu ngan dengan kelainan neurologi dan psikiatrik,
antara lain penyakit parkinson, tardive dyskinesia, tauma susunan saraf
pusat, epilepsi, facial nerve palsy, spinal cord injury, dan depresi. 8 Pada
pasien parkinson terdapat peningkatan a/fa melanocyte stimulating
hormone (a-MSH) yang disebabkan oleh insufisiensi a ktivitas neural
dopaminergik. Pemberian L-dopa mampu meningkatkan sintesis faktor
penghambat MSH yang dapat menurunkan sekresi sebum pada pasien
parkinson, serta menyebabkan perbai kan klinis DS. 2•5•8•9 Selain itu,
imobilitas wajah pada pasien parkinson dapat meningkatkan a ku m ulasi
sebum. DS pada pasien depresi disebabka n oleh perubahan h igiene. 2• 8• 9
Kondisi lain yang berh u bungan dengan DS adalah familial amyloidotic
polyneuropathy dan si ndrom Down. 8
Faktor cuaca berpenga ruh pada DS. M a n ifestasi klinis lebih
berat dan keka m b u h a n DS lebih sering terjadi pada m u s i m di ngin d a n
kelembaban udara renda h . 2'6'8' 9 Pada negara tropis panas, kelembaban,
keringat, dan pajanan sinar mata hari juga da pat memicu e ksaserbasi
dan mem perberat gejala DS, teruta ma rasa gatal pada kulit kepa l a . 4'8
Faktor lain ya ng berpera n adalah stres emosional d a n ga ngguan
tidur. 7 ' 8
Beberapa defisiensi n utrisi, yaitu p i ridoksin, zink, n iasin, dan
riboflavi n, dapat menginduksi seborrhoeic like dermatitis. 8 Defisiensi
zink berat pada pasien a krodermatitis enteropatika d apat disertai
manifestasi kl i n is yang menyerupai DS ya ng membaik dengan
pemberian su plementasi z i n k. N a m u n pada pasien DS pemberian
suplementasi zink tidak mem berikan respons. 2' 6 Sel a i n itu, DS
terbukti tidak berh ubungan dengan defisiensi vita m i n . 6
Beberapa obat d a pat mencetuskan seborrhoeic like dermatitis
antara lain griseovulvin, simetidin, litium, metildopa, a rsenik, emas,
auranofin, aurotioglikosa, buspiro ne, klorpromazin, etionamid,
haloperidol, interferton alfa, I L-2, fenotiazin, stanozolol, thiothixene,
psoralen, metoksalen, dan trioksalen. 6'8 Kendati demikian, mekanisme
yang mendasa rinya bel u m jelas. 8

99
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Triana Agustin

Dermatitis Seboroik lnfantil

Etiopatogenesis DS infantil bel u m d i ketah ui, tetapi diduga


a ki bat prod u ksi sebu m yang meningkat ka rena pengaruh hormon
a n d rogen i b u . 3• 10- 12 Selain itu, terdapat pula dugaan fa ktor nutrisi
sebaga i penyebab pada DS i nfantil wa laupun bel u m terbukti. 3• 10• 11
Peran Malassezia ya ng merupa kan etiologi DS pada dewasa belum
terbu kti pada DS i nfantil. 3 N a m u n, beberapa penelitian menyata kan
peran Malassezia sebagai etiologi ka rena da pat ditem u kan dengan
j u mlah yang lebih banyak pada lesi DS infantil dibandingka n dengan
kontrol. Pada suatu penelitian ujian klin is, pemberi a n ketokonazol 2%
dan sa m po bifonazol memberikan respons perba i kan klinis DS pada
sebagian besa r subyek. 3• 10• 11
Bayi dengan defisiensi biotin, holokarboksilase, biotinidase dan
asam lemak bebas j uga mempu nyai lesi seborrhoeic-like dermatitis. 6
Namun, pem berian suplementasi biotin pada DS i nfa ntil tidak
memperbaiki gambaran klinis DS. 5' 6

MANI FESTASI KUNIS

Dermatitis Seboroik Dewasa

Bentuk DS dewasa bersifat kronis. 6 Penegakan diagnosis dilaku kan


berdasarkan pred ileksi lesi dan m a nifestasi klinis. 7 M a nifestasi klinis
berupa lesi eritematosa dengan skuama pada a rea yang ba nya k
menga ndung kelenj a r sebasea yaitu ku l it kepala, l i pat nasolabial, al is,
kelopak mata, post-au rikular, stern um, dan pu nggung bagian atas
dengan distribusi simetris. 1 ' 6-8 Pasien sering menge l u h gata l teruta ma
pad a lesi d i kulit kepala dan tel i nga. 2' 6 Berdasa rkan a rea predi leksi
tersebut d ida patka n a rea ya ng tersering adalah waj a h sebesar 87,7%,
kulit kepala 70,3%, badan bagi a n atas 26,8%, e kstrem itas bawa h
2,3%, dan e kstremitas atas 1,3%. 8
Pada kulit kepala, man ifestasi DS da pat bervariasi dari ringan
berupa piti riasis sika (ketom be) h i ngga lesi eritematosa dengan
skuama berminyak. 1 ' 12 Ketom be merupakan bentuk ringan DS. 1 Baik
DS dan ketom be, ked u a nya mempunya i kondisi dasa r, man ifestasi
klin is, dan tata l a ksana yang sa m a . Perbedaan ked uanya ialah pada

100
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Dermatitis Seboroik: Manifestasi Klinis l nfantil vs Dewasa

ketom be hanya mengena i kulit kepala berupa skuama d ise rtai rasa
gata l, sedangkan pada OS sel a i n ska l p lesi j uga dapat terda pat pada
a rea seboroik lainnya m isal nya wajah, retroaurikular, dan dada atas
dengan man ifestasi skuama, pru ritus, dan eritematosa . Skuama pada
DS dan ketombe berwa rna putih-ke k u n i ngan, dapat bermi nya k, atau
kering. 8 Lesi DS pada ska l p da pat meluas ke dahi membentu k batas
eritematosa dengan skuama ya ng disebut corona seborrheica. 2
Lesi DS pada area badan terdapat dua bentuk yaitu bentu k
petaloid dan pytiriasiform. 6' 12 Bentuk petaloid, merupakan bentuk
tersering, dimulai dari papul folikular dan perifol ikular berwarna merah­
coklat dengan skuama bermi nya k di atasnya, berkonfluensi menjadi
plak menyerupai bentu k flower petals atau meda li. P redileksi pada
dada anterior dan interskapula. Bentuk pityriasiform berupa lesi
makula dan plak tipis generalisata mengikuti garis ku l it menyerupai
piti riasis rosea, ta n pa herald patch. 2' 12 Gamba ra n klinis lain ya ng sering
timbul yaitu blefaritis, berupa krusta kun ing madu sepanjang tepi
kelopa k mata . DS dapat menyebabkan e ritroderma. 2'6' 12 Komplikasi DS
lai nnya ya ng cukup seri ng adalah i nfeksi sekunder bakteri m a u p u n
j a m u r . Pada keadaan tersebut biasa nya l e s i l e b i h eritematosa d a n
eksudatif. 8
OS merupa kan salah manifestasi kul it yang timbul paling dini pada
pasien HIV-AI DS. 6 DS pada pasien H IV-AIDS mempu nya i m a nifestasi
kli n is yang lebih luas dan berat serta refra kte r terhadap pengobatan
sta ndar. 5' 6'8' 9' 12 Eru psi inisial berupa butterfly rash menyerupai lesi
SLE. Lesi DS biasa nya t i m b u l pada kadar C D4 a ntara 200-500 sel/m m 3
dan ha nya sedi kit kasus DS pada H I V dengan C D4+ �500/m m 3 .
Penurunan kadar CD 4+ seringka l i berh u b u ngan dengan perburukan
lesi DS. 6 Gambaran h istopatologi OS pada pasien H IV-A I DS j uga
berbeda, ya kni gambaran pa ra ke ratosis, nekrosis, l i mfosit, dan
leu kositosis fokal lebih banyak dibandingkan dengan OS pada pasien
ya ng seronegatif H IV. 6'9

101
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Triana Agustin

Diagnosis Banding Dermatitis Seboroik Dewasa

Gamba ran klinis OS dapat menyerupai penyakit kulit lain dengan


manifestasi lesi dermatitis kronis dan papuloskuamosa . 2 Pasien dengan
lesi plak eritroskuamosa dapat menyerupai psoriasis. Lesi psoriasis
berbatas tegas dengan skuama putih keperakan, tebal, dan berlapis. 2'8' 13
Pada psoriasis terdapat pula kelainan kuku berupa pitting nail dan
onikolisis distal . 2 Terdapat tumpang tindih psoriasis dan OS pada lesi di
wajah yang disebut seboriasis. 2'6' 13 Manifestasi klinis seboriasis
cenderu ng lokalisata pada a reakulit kepala, wajah, dan presternal yang
meru pakan predileksi OS, namun lesi lebih eritematosa, berbatas tegas,
dan skuama lebih tebal dibandingkan dengan lesi pada DS. 6
Lesi OS di wajah dapat menyerupai systemic lupus erythematosus
(SLE), namun pada SLE bersifat fotosensitif. 2' 8 Pada SLE terdapat pula
gejala lain, seperti artritis, ulkus pada mukosa mulut, glomerulonefritis,
atau kardiom iopati. 8
Lesi OS pada badan dapat menyerupai pitiriasis versikolor ( PV) dan
folikulitis pitirosporum . 2'6 PV dapat ditegakan dengan pemeriksaan
l a m pu Wood dan d item u ka n nya spora dan hifa pada pemeriksaan
KOH . 2 Fol ikulitis pitirosporum teruta m a sering pada pasien im uno­
kompromais dengan m a nifestasi klinis berupa pustul dan papul
dengan lesi eritematosa d i sekita rnya pada badan. Diagnosis tersebut
perlu d i konfi rmasi dengan pemeriksaan KO H . 6
Diagnosis banding lain adalah DA, pemfigus fol iaseus, pitiriasis
rosea, rosasea, tinea, ka nd idosis kutis, sifi lis seku nder, dermatitis
popok, dan h istiositosis sel Langerhans. 2 ' 8 M a nifestasi klinis tinea
ka pitis berupa skuama pada kulit kepala dengan ga m ba ra n black dot
ya ng meru paka n uj ung distal ram but yang pata h, d isertai ram but
rontok d a n bersifat menu lar. Pada OS tidak d isertai kerontokan
ra m but. Pada rosasea lesi terdapat pada a rea malar, tidak pada a rea
nasolabial, tida k terdapat skuama n a m u n terdapat tela ngiektasis
serta flushing. 8 Pada a n a m nesis DA terdapat riwayat atopi baik pada
pasien maupun keluarga, sangat gatal, dan predileksi pada a rea fleksor.
Lesi pitiriasis rosea berbeda dengan OS. Pada pitiriasis rosea terdapata
lesi herald patch ya ng biasanya dij umpai pada leher atau badan,
distribusi lesi pada badan paralel dengan ga ris kulit menyerupai pohon

102
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Dermatitis Seboroik: Manifestasi Klinis l nfantil vs Dewasa

nata l dan penyakit i n i bersifat swasirna (self-limiting). Lesi ka n d idosis


berupa lesi eritematosa dengan lesi satel it berupa papul e ritematosa
dan pustu l . Pada pemeriksaan KO H d i d a patka n blastospora d a n
pseudoh ifa . 13
Dermatitis kontak alergi yang disebabkan kaca mata, tetes telinga,
cat rambut, sam po, dan losio rambut dapat menyerupai DS. 13 Lesi DS
pada area intertrigo seperti aksila dan inguinal biasanya memiliki
skuama lebih sedikit dan menyerupai dermatitis i ntertriginosa . 6
Pityriasis amiantacea mempunyai manifestasi klinis berupa
skuama masif berwarna perak dise rtai rambut bergumpal, kusut, dapat
disertai skuama dan fisura pada regio retroaurikular dan dapat terjadi
alopesia. Penyakit ini umumnya terjadi pada semua usia terutama
remaja, lebih sering pada perempuan dan timbul bersamaan dengan
psoriasis, DS, d a n DA. 6
Beberapa diagnosis banding DS tersebut dapat d i bedakan
berdasarkan anamnesis dan manifestasi klinis. Namun, beberapa
memerlukan pemeriksaan penunjang histopatologi dan laboratoriu m . 8

Dermatitis Seboroik lnfantil

DS i nfa ntil merupakan suatu penya kit ku l it eritoskuamosa pada


neonatus. 3 Bentuk DS infa ntil t i m b u l pada usia beberapa m inggu
kehid upa n-3 bulan (te rsering usia 2-8 m i nggu ), jarang timbul pada
usia > 6 bulan. 4' 6' 11 DS infanti l akan swasirna pada usia 6-12 bulan dan
mengalami regesi h i ngga pubertas. 4' 6' 10 Walaupun terda pat beberapa
kasus DS pada anak usia 2 - 10 ta h u n . 9
Kulit kepala merupakan a rea ya ng perta ma kali terkena. 10- 12
Ka ra kteristik ga m ba ran kl inis beru pa skuama keku n i ngan ya ng tebal
dan lekat teruta ma ku lit kepala bagian fronta l, vertex, atau ked u anya
(sering d isebut cradle-cap), d a pat disertai lesi eritematosa, tan pa
disertai pruritus d a n kerontokan ra mbut. Lesi j uga d a pat mengenai
wajah teruta ma pada dahi bagian tenga h, a l is, molar eminence, l i pat
nasola bial, teli nga luar, dan retroau ri ku la r. 3 •8• 10- 12 Area lain ya ng dapat
terkena a rea popok, inguinal, a ksila, leher, p rasternal, d a n
i nterskapula. 6• 8• 10- 12 Lesi p a d a a rea popok d a n l ipatan biasa nya berupa

103
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Triana Agustin

p l a k e ritematosa berbatas tegas dengan skua ma, sedangka n pada


a rea badan biasa nya berupa lesi e ksematosa . 10• 11
Lesi DS infantil d a pat menga l a m i i nfeksi sekunder oleh Candida
albicans ata u bakteri ya ng lebih jarang sehingga menyebabkan lesi
maserasi d i se rtai krusta, papul, ata u pustu l . 6• 10- 12 Komplikasi DS
i nfantil d a pat berupa eritroderma yang d i sebabkan oleh perluasan
lesi atau akibat pengo bata n topikal ya ng bersifat i ritatif. 12 Lesi DS
ya ng menye m b u h d apat meningga l ka n lesi h i popigmentasi, terutama
pada pasien dengan kulit berwa rna gelap, ya ng lama-kelamaan a kan
menghilang. 10
Leiner disease merupakan bentuk berat dan luas dermatitis
seboroik i nfantil berupa eritroderma. 3'6' 12 Perta ma kali dikemukakan
oleh Leiner pada tah u n 1908 yang d isebut sebaga i dermatitis
seborrhoides infantum. Penya kit Leiner dapat merupakan penyakit
familial atau non-fa milial. 6 Kasus yang herediter berhu bungan dengan
defisiensi komplemen C3, CS, dan ma lafungsi sel fagositosis sehingga
terjadi defek opson isasi bakteri. 6' 12 DS i nfantil juga dapat berhubungan
d engan penyakit i m u n od efisiensi primer m isal nya X- linked agama­
globulinemia d a n hyper-lgE syndrome. 12 Sela i n man ifestasi kul it, DS
i nfantil d a pat d isertai demam, d ia re, vom itus, d a n penurunan berat
bada n . 6' 12

Diagnosis Banding Dermatitis Seboroik lnfantil

DS luas pada bayi h a rus d i pi ki rkan beberapa d iagnosis ba nding


yaitu dermatitis atopik, skabi es, psoriasis, d a n h istiositosis sel
La ngerhans. 6 DS kadang su l it d i bedakan dengan psoriasis pada bayi .
Pada lesi awal psoriasis biasa nya terd a pat pada a rea popok berupa
plak eritematosa d engan skuama, berbatas tegas, dan persisten,
n a m u n tidak terd a pat skuama berm i nya k pada kulit kepa la. 10' 11
Lesi DS pada bayi baru l a h i r juga d a pat m enyeru pai DA. Pada
DA lesi ti m b u l setelah 3 bu Ian sedangkan pad a DS lebih d i n i . 6'8' 10 Lesi
DS a ka n mengh i l a ng dengan sen d i ri nya tan pa pengobata n, tidak
gatal, d a n tidak terd a pat xerosis cutis. 6' 10 Apabila lesi terdapat pada
a ksila dan ha nya terbatas pada a rea popok maka d iagnosis DS lebih
sesuai, sedangkan lesi pada e kstensor tungkai bawa h dan lengan

104
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Dermatitis Seboroik: Manifestasi Klinis l nfantil vs Dewasa

bawah lebih sesuai untuk DA. 6' 8' 10' 11 Lesi pada kulit kepala pada DA
berupa skuama kering. 6' 10 Pemeri ksaan lgE total dan lgE RAST terhadap
putih telur, susu, atau kedelai dapat membantu membedakan OS dan
DA. Beberapa penulis menyata kan bahwa OS infa ntil meru pakan varian
DA, sedangkan beberapa lainnya mengatakan entitas yang berbeda. 6
H istiositosis sel La ngerha ns m enyeru pai OS ka rena d istribusi
ya ng sama yaitu pada ku l it kepala, retroaurikular, dan a rea popok.
Lesi penya kit ini kadang menyerupai OS berupa lesi lesi eritematosa
dengan skuama dan krusta, n a m u n terdapatnya lesi purpura dan
ptekiae merupakan tanda khas u ntuk histiositosis sel Langerhans. 3'6' 10' 11
Sela i n itu lesi h istiositosis sel La ngerhans dapat mengenai a rea tubuh
lain dengan morfologi yang lebih bervariasi berupa papul eritematosa,
vesikel, dan nodus. 10 Biopsi kulit dianj u rkan a pabila terdapat diagnosis
banding h istiositosis sel La ngerha ns sehingga tata l a ksana menjadi
tepat. 3' 6' 10 Ti nea ka pitis pad a neonatus da pat menyerupai cradle-cap,
namun ti nea kapitis pada usia tersebut sa ngat ja ra ng, dapat
di bedakan dengan pemeriksan KOH . 3 Lesi OS ya ng luas dengan lesi
pada telapak tangan dan kaki dise rta i pruritus yang berat menyerupai
ska bies. 6

TATA LAKSANA

Prinsip tata l a ksana OS adalah mengatasi i nfla masi, pru ritus,


dan mempertahankan remisi. Beberapa faktor ya ng d i perhatika n pada
pemilihan tera pi adalah efektivitas obat, efek sampi ng, kepatuhan, dan
usia pasien. Tera pi siste m i k d i berika n pada lesi ya ng luas d a n tidak
responsif terhadap pengobatan topika l . 8

Dermatitis Seboroik lnfantil

Tata laksana OS i nfa ntil (cradle-cap) bert uj uan untuk meng­


h ilangkan skuama dengan pem berian m i nya k. 3 ' 14 Sa m po bayi dengan
atau tanpa aplikasi asam salisilat 3% da pat memba ntu melepaskan
skuama tebal pada kul it kepala. 6' 14 Apabila disertai lesi inflamasi dapat
diberikan kortikosteroid potensi lemah jangka pendek yang dapat
diselangseling dengan pemberian emolien. Pada OS infantil dengan
skuama ya ng tebal dan lekat d a pat d iberi ka n m inyak pada kulit kepala

105
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Triana Agustin

1-2 ka li sehari yang didiamkan dalam beberapa jam kemudian dicuci.


Berdasa rkan peran Malassezia dalam etiopatogenesis DS, a pabila tidak
perbaikan dengan shampo bayi dan pem a kaian m i nyak/petrolatum
da pat d iberikan sa mpo ketokonazol 2% (strength of recommendation
A, level of evidence l b ) . 3 ,4' 14
Bayi dengan lesi DS dengan infla masi yang berkelanjutan pada
kulit kepala dan biasanya pada a rea intertriginosa dapat diberikan krim
atau losio hidrokortison 1% hanya untuk beberapa hari, dilanjutkan
dengan krim atau losio ketokonazol 2% atau sa mpo ketokonazol 1%. 6
Melepaskan skuama secara agresif dengan keratol itik tidak dianju rkan
karena dapat menambah terjadinya inflamasi. 6' 11 Selai n itu pemberian
obat topikal yang menga ndung asam salisilat dan selenium sulfida tidak
direkomendasikan pada neonatus ka rena da pat bersifat toksik yang
disebabkan absorbsi perkutan . 3' 11' 14 Pada suatu uji klinis acak tersamar
ganda yang membandi ngkan pemakaian krim yang mengandung
kombinasi a ntij a m u r d a n a ntii nfla masi nonsteroid pada pasien cradle
cap dida patka n perba i ka n kli n is pada kelompok perlakuan dibanding­
ka n plasebo dan terda pat perbedaan bermakna. 4 Pada area popok
sebaiknya popok d iganti lebih sering dan dapat digunakan pasta zink­
oksida. 3 Tata laksa na infe ksi juga perlu di beri ka n a pa bila disertai infeksi
sekunder Candida sp. atau bakteri. DS infantil tidak memberikan respons
terhadap diet makan tertentu misalnya susu dan suplementasi vita m i n . 6
Pada penyakit Leiner dapat menyebabkan kematian apabila tidak
ditata laksana dengan baik dengan memperhatikan hidrasi, intake
cairan, keseimbangan suhu tubuh, dan pemberian antibiotik apabila
terjadi infeksi bakteri. 6 Pasien biasanya rentan terhadap infeksi baik
bakteri, tersering bakteri Gra m negatif, juga terhadap infeksi jamur. 3
Tata laksana pada bentuk ya ng herediter memerlukan pemberia n fresh
frozen plasma dan whole blood untuk mengatasi defisiensi komplemen . 6

PROG NOSIS

Gamba ran klinis DS pada pasien H IV-AI DS dan kelainan neurologis


(Penyakit parkinson) lebih luas serta resisten terhadap pengobatan .
Manifestasi klinis DS berat terdapat pula pada bayi prematur d a n pasien
gagal jantung. DS luas dapat menjadi eritroderma. 6

106
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Dermatitis Seboroik: Manifestasi Klinis l nfantil vs Dewasa

P rognosis baik pada OS infa ntil karena swasi rna dalam 10-14
hari, jarang terjadi rekure nsi d i bandingkan dengan OS pada pasien
dewasa ya ng bersifat kron is-residif. Pasien dengan OS i nfa ntil tidak
terbu kti a ka n lebih sering menga l a m i OS saat remaja dan dewasa,
sehi ngga tidak menjadi fa ktor pred isposisi . 3 ' 6' 10' 11

PENUTU P

Etiopatogenesis OS belum diketahui secara pasti. 7'8 Namun h ingga


saat ini dianggap sebagai penyakit m ultifaktor dan dipengaruhi oleh
faktor endogen dan eksogen, ya itu i nteraksi antara sekresi kelenjar
sebasea, kolonisasi Malassezia, kerenta nan individu, dan abnormalitas
sistem imun. 1'6'8 Diagnosis OS ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis
dan predileksi pada a rea seboroik. 3' 7 OS pada dewasa bersifat kro n is
residif sedangkan OS pada bayi swasirna. 2'6'7 Tida k terdapat laboratorium
yang spesifik u ntuk menega ka n diagnosis DS. 10

DAFTAR PUSTAKA
1. Dessinioti C, Katsam bas A. Seborrheic dermatitis: Etiology, risk factors, and
treatments: Facts and controversies. J Clin Dermatol. 2013;31:343-5 1.
2. Makos ZB, Kralj M, Basta-J uz basic A, J u kic I L. Seborrheic dermatitis: An
update. Acta Dermatove nereol Croat. 2012;20(2) :98-104.
3. Gelmetti CM, Grimalt R. I nfa nti l e seborrhoeic dermatitis. Dalam: I rvine
AD, Hoeger PH, Ya n AC, penyu nting. Ha rper's textbook of ped iatric
dermatology. Edisi ke-3. Oxford : Blackwe l l ; 20 1 1 . h . 3 5 . 1-8.
4. Cheong WK, Yeung CK, Torseka r RG, Suh DH, U ngpakorn R, Widaty S,
dkk. Treatment of seborrhoeic dermatitis i n Asia: A consensus guide.
Skin Appendage Disord. 2015; 1 : 187-96.
5 . Vera ldi S , Raia D D, Barba rfeschi M . Etiopathogenesis. Da l a m : M icali G,
Vera ldi S, Cheong WK, Suh DH, penyunting. Seborrheic de rmatitis. Edisi
ke- 1. I n d i a : Macmillan; 2015. h . 15-7.
6. Collins CD, H ivnor C. Seborrheic d ermatitis. Da l a m : Goldsmith LA, Katz
SI, Gilch rest BA, Pal ler AS, Leffe l DJ, Wolff K, penyunti ng. Fitzpatrick's
dermatology i n general medicine. Ed isi ke-8. Palatino: McG raw-Hill;
2012. h. 259-66.
7 . Clark GW, Pope SM, J a boori KA. Diagnosis a n d treatment o f seborrheic
dermatitis. Am Fam Physicia n . 2015;91(3): 185-90.

107
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Triana Agustin

8. Borda LI , Wikramanayake TC. Seborrheic dermatitis and dandruff: A


comprehensive review. J Clin I nvest Dermatol. 2015;3{2): 1-7.
9 . Monfrecola G, Marasca C. Epidemiology. Dalam: Micali G, Veraldi S,
Cheong WK, Suh DH, penyunting. Seborrheic dermatitis . Edisi ke-1.
I ndia: Macmillan; 2015. h.9- 1 1 .
1 0 . Tom WL, Eichenfield LF. Eczematous disorder. Dalam: Eichenfield LF,
Frieden IJ, Esterly NB, penyunting. Neonatal and infant dermatology.
Edisi ke-3. Toronto: Elsevier-Saunders; 2015. h.216-32.
11. Krafchick BR, Jacob S, Bieber T, Dinou los JGH, Simpson E. Eczematous
·

dermatitis. Dalam: Schachner LA, Hansen MD, Happle R, Paller AS,


Krafchik BR, Lucky WL, Rogers M, penyunting. Pediatric dermatology,
edisi ke-4. China: Elsevier Saunders; 201 1. h.851-900.
12. Musumeci ML, Verzi AE, Pulvirenti N, Micali G . Clinical sspects. Dalam:
Micali G, Veraldi S, Cheong WK, Suh DH, penyunting. Seborrheic
dermatitis. Edisi ke-1. I ndia: Macmillan; 2015. h.21-6 .
13. Fabbrocini G, Cacciapuoti S, Izzo R . Differential diagnosis. Dalam: Micali
G, Veraldi S, Cheong WK, Suh DH, penyu nting. Seborrheic dermatitis.
Edisi ke-1. I ndia: Macmillan; 2015. h.33-8.
14. Laccarubba F, Nasca MR, Benintende C, Micali G. Topical treatment.
Dalam: Mica li G, Veraldi S, Cheong WK, Suh DH, penyunting. Seborrheic
dermatitis. Edisi ke-1. I ndia: Macmillan; 2015. h .41-5.

108
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
PENGGUNAAN ASAM TRANEKSAMAT
DALAM TATA LAKSANA MELASMA

R. Amanda Su mantri

PENDAHULUAN

Melasma merupakan kelainan kulit hiperpigmentasi didapat yang


sering ditemuka n . Lesi kulit berupa makula dan bercak coklat muda
keabuan iregu lar pada lokasi kulit yang terpajan matahari. 1 Melasma
dapat mengenai semua tipe kulit, ras, dan jenis kelamin, namun lebih
sering pada tipe kulit gelap dan wan ita usia reproduksi. Penyebab pasti
melasma masih belum diketah u i, namun pajanan sinar ultraviolet ( UV)
dan faktor genetik dianggap sebagai dua penyebab utama. 1-3 Terdapat 3
4
pola klinis melasma, yaitu malar, sentrofasial, dan mandibular.
Klasifikasi melasma berdasarkan cahaya tampak, lampu Wood, dan
histologis adalah epidermal, dermal, dan campura n . 3
Tata laksana melasma dapat menjadi tantangan tersendiri ba ik
bagi penderita maupun dokter yang menanganinya, karena tujuan akhir
terapi melasma adalah mengurangi pigmentasi tanpa menyebabkan
h i popigmentasi pada kulit. 5
Berbagai terapi konvensional yang efektif u ntuk melasma
mencakup pengh i ndaran s i n a r mata h a ri, penggu naan ta b i r su rya, zat
pemutih misal nya hidrokuinon, asam azelei k, dan asam koj i k seca ra
tu nggal atau kombinasi dengan tera pi topikal l a i n misal nya tretinoin,
korti kosteroid, peeling ki m iawi, d a n dermabrasi. Sel a i n itu, terapi
selektif menggunakan berbaga i maca m laser untuk pigmentasi j uga
mara k digunaka n . Meskipun modalitas tera p i melasma beragam,
namun efektivitas dan kea manan nya masih d i pe rdebatka n . 5
Konsep terapi melasma menggunakan asam traneksamat (AT)
masih relatif baru. AT meru pakan turunan si ntetik asam amino lysine
yang sering digunakan sebagai zat antifibrinoliti k, belakangan ini
ditemukan dapat pula menghambat i ntera ksi plasminogen-keratinosit.
Hal ini berakibat pada berkurangnya a ktivitas tirosinase yang me­
nurunkan sintesis melanin oleh melanosit. 6' 7 Te rda pat uji klinis menel iti

109
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
R. Amanda Sumantri

terapi AT pada melasma menunj u kkan hasil ya ng menjanjikan. 5 Berikut


i n i a kan d ibahas mengenai melasma beserta pilihan tera pinya.

DEFIN ISI

M elasma adalah kelainan h i perpigmentasi dida pat berupa


makula serta berca k berwa rna coklat m a u p u n h itam pada a rea wajah
yang simetris terutama dahi, pipi, dan dagu yang disebabkan disfungsi
melanogenesis. 8 Kata melasma berasa l dari bahasa Yunani, "me/as"
bera rti h ita m . Melasma pada kehamilan seringka l i d isebut kloasma,
ya ng berasa l dari kata chloazein, dengan a rti menjadi h ijau dalam
ba hasa Yunan i . 8' 9

EPIDEMIOLOGI

Preva lensi melasma berkisar a ntara 9% pada ras H ispanik di


daerah Selatan Amerika Seri kat, h i ngga 40% pada populasi Asia
Tengga ra . 10 Melasma dapat dite m u ka n pada berbagai kelompok
etnis, dengan p reva lensi lebih tinggi pada kelompok individu denga n
tipe ku lit ya ng lebih ti nggi, misal nya pada populasi Asia Ti m u r, Asia
Tengga ra, Ti m u r Tengah, serta Afrika-Med itera n i a . 9 Populasi dengan
tipe kulit Fitzpatrick 1 1 1-V ya ng ti ngga l di lokasi dengan pajanan tinggi
sinar UV sering menga la m i melasma. 8
Melasma lebih sering ditemu kan pada wanita dibandingkan pria,
terutama wanita pada usia reprodu ksi. 8' 11 Perbandingan kasus melasma
anta ra wanita dan pria sekitar 10 : 1 .9 N a mun, data prevalensi melasma
di Asia Tenggara dilaporkan sekitar 40% pada wan ita, sedangkan pada
pria hanya 20%. Data ini didapatkan dari pasien yang berkunjung ke
dokter spesialis kulit dan kelamin, sehingga ada kem u ngki nan bukan
a ngka preva lensi sesu nggu h nya . 8
Pada wanita hamil, prevalensi melasma atau kloasma sekita r 50-
12
70%. Melasma ditemukan pula pada 8-34% wanita yang menggunakan
kontrasepsi hormonal ata u tera pi sulih hormon. 9
Data preva lensi melasma belum tercatat dengan baik di
I ndonesia . N a m u n, d a ri data kunj u ngan di Poliklinik l l m u Kesehata n
Kulit dan Kel a m i n RSU P N Dr. Ci pto Mangunkusumo Jakarta pada

1 10
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Penggunaan Asam Traneksamat dalam Tata Laksana Melasma

tahun 2014, didapatka n melasma merupakan penyakit ked u a


terbanya k setelah akne vulgaris. Kasus m e l a s m a m encaku p 25% dari
kesel uruhan pasien yang berkunj u ng ke Pol i kl i n i k l l m u Kesehatan
Kulit dan Kela min Divisi Dermatologi Kosmet i k pada ta h u n 2014. 13

ETIOPATOGE N ESIS

Meski pun etiologi pasti dari melasma belum d i keta hui, n a m u n


terdapat beberapa faktor predisposisi yang d iperkirakan m e m i l i ki
peran dalam timbulnya melasma. Faktor tersebut adalah genetik, sinar
UV, penyakit tiroid, kehamilan, kontrasepsi hormonal, o bat-obata n,
serta kosmetika. 12
Sinar UV dapat secara langsung merangsang proliferasi dan
migrasi melanosit, serta meningkatkan melanogenesis. 8•9 Selain itu, sinar
UV juga berperan dalam peningkatan produksi berbagai sitokin kerati­
nosit, yaitu interleukin-1, endotelin-1, alpha-melanocyte stimulating
hormone (MSH), dan hormon adrenokortikotropin (ACTH) yang juga
berperan dalam meningkatkan proliferasi melanosit dan melanogenesis. 8
UVA dan UVB merupaka n sinar uta ma ya ng da pat memicu
melanogenesis, n a m u n ca h aya ta mpak pun telah d i keta h u i m e m i l i ki
potensi mela nogenik. 9 M a hmoud d kk. 14 mene m u ka n ba hwa ca haya
ta mpak juga da pat meni ngkatka n pigmentasi ku l it, sehi ngga perlu
diperti mba ngka n penggu naan ta bir su rya fisik untuk mencegah
kekambuhan melasm a .
Berbagai penelitian telah m e m b u kt i ka n ba hwa h i perpigmentasi
pada melasma disebabkan oleh melanositosis (peningkata n j u m l a h
mela nosit) dan peni ngkata n mela nogenesis (peningkata n j u m l a h
melanin). 12 Kang dkk. 15 melaku kan anal isis transkri psional pada sa mpel
ku lit dengan melasma dan menemukan 279 gen terst i m u lasi serta
152 gen lainnya men u ru n regulasinya . Gen terkait biosi ntesis mela n i n
serta penanda melanosit m isal nya TYR, M ITF, S I LV, TYR P 1 d item u ka n
meni ngkat pada kulit dengan melasm a .
Beberapa g e n l a i n ya ng terlibat dalam berbagai j a l u r biologis
juga tu rut dipengaruhi, misal nya gen modu lasi j a l u r Wnt ya ng
berpera n dalam si ntesis prostagl andin dan asam lemak. 15 Selain itu
ditemukan pula bahwa gen H 19, ya ng mentra nskripsi RNA noncoding,

111
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
R. Amanda Sumantri

menu run regulasinya pada lesi melasma . Hal ini mencetuskan stimulasi
mela nogenesis dan meningkatnya transfer melanin dari mela nosit ke
keratinosit. 16
Proses biologis yang paling terpengaruh dengan adanya melasma
adalah metabolisme lipid. 15 Gen metabolisme lipid, misalnya peroxisome
proliferator-activated receptor alpha (PPAR), arachidonate 15-
lipoxygenase, P PAR gamm a coactivator 1 alpha, type B (ALXO 15 B),
diacylglycerol o-acyltransferase 2-like 3 ditemukan menurun regulasinya.
Hal i n i disebabka n oleh paja nan kro n i k sinar UV. Perubahan lain ya ng
ta mpak pada ku lit melasma adalah penipisan epidermis. Penipisan
epidermis dita mbah dengan gangguan si ntesis lipid menyebabkan
gangguan i ntegritas stratu m korneu m dan pem u l i han sawar ku l it
yang l a m bat pada kulit dengan melasma. 17
Hubu ngan langsung anta ra melasma dan faktor hormonal belum
diketahui secara pasti. Horman yang banya k dihubungkan dengan
kejadian melasma adalah estrogen dan progesteron. Kehamilan,
kontrasepsi hormonal, dan terapi sulih hormon adalah faktor pemicu
tersering.8'9 Horman estrogen bekerja pada reseptor di inti sel melanosit,
sehingga meningkatkan ekspresi reseptor melanokortin tipe 1 dan gen
PDZKl yang menyebabka n peningkatan transkripsi tirosinase. 9 Ortonne
dkk. 18 pada ta h u n 2009 menemuka n 81 dari 324 wa n ita (25%)
melasma mela porkan periode wa ktu m u nculnya melasma sesuai
dengan penggu naan kontrasepsi hormonal.
Faktor risiko l a i n melasma adalah ganggua n t i roid, obat-obata n
fototoksik, dan kosmetik. 8 H iperpigmentasi menyerupai melasma terjadi
pada 10% pasien yang mendapatkan fenitoin . O bat ini memiliki efek
langsung pada melanosit dan menyebabkan penyebaran granul melanin
serta mem icu pigmentasi pada la pisan basal epidermis. Pigmentasi
a ka n menghilang d a l a m beberapa bulan setelah obat dihentikan. 12
Beberapa bahan kimia misalnya a rsen, zat besi, tembaga, bismut, perak,
serta obat-obatan antimalaria, tetrasiklin, sulfonilurea, dan a m iodaron
j uga da pat meni ngkatka n h i perpigmentasi pada kulit melalui deposit
pada lapisa n permukaan serta stimulasi melanogenesis. 9
Selain patogenesis di atas, terdapat teori baru yang meng­
h u b u ngkan a ntara pajanan sinar UV dengan meni ngkatnya si ntesis
a ktivator plasmi nogen sehi ngga meni ngkatka n aktivitas plasmin pada

1 12
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Penggunaan Asam Traneksamat dalam Tata Laksana Melasma

kultur keratinosit. Plasm i n a ka n meningkatka n fosfolipase A2 yang


berperan dalam produ ksi asam a ra kidonat, yang merupakan prekursor
mediator inflamasi prostagla ndin d a n leukotrien . M ediator i nfla masi
tersebut akan mem icu mela nogenesis. Plasmin j uga berperan dalam
produksi fa ktor pertu m b u h a n fibroblas yang merupakan fa ktor
pertu mbuhan paten u ntuk mela nosit. 19• 20
Maeda dkk. 6 pada tahun 2007 membu ktikan bahwa rantai tungga l
urokinase pada keratinosit dapat memproduksi a ktivator plasminogen
ya ng mampu memicu a ktivitas t i rosinase. Penjelasa n mengenai
etiologi dan patogenesis di atas menjadi landasan u ntuk tata l a ksana
melasma yang lebih komprehensif.

GAMBARAN KUNIS

Gambaran kl i n is melasma berupa makula h i perpigmentasi


ireguler dengan wa rna lesi berva riasi a ntara coklat muda h i ngga tua
atau biru keabuan, berga ntung pada leta k deposit melanin di lapisan
kulit. 11 Selain pemeriksaan fisi k, lampu Wood dapat pula memba ntu
menentukan lokasi pigmen melanin pada lapisan kulit. Pada i n d ividu
dengan tipe kulit tera ng, lesi melasma t i pe epidermal akan menjadi
semakin jelas dan kontras, sedangkan pada tipe dermal tidak demikian.
Lesi melasma yang memiliki kedua gambaran ini disebut sebaga i tipe
campuran. Grimes dkk. 21 tahun 2005 membandingkan hasil pemeriksaan
melasma dengan lampu Wood dan biopsi, mendapatkan bahwa pada
lesi melasma epidermal terdapat peningkatan deposisi melanin baik di
epidermis maupun dermis. Sejak penemuan tersebut, penggunaan
lampu Wood untuk menentukan tipe melasma sudah jarang digunakan.
Pola distribusi melasma d ibagi menjadi 3 bentuk, yaitu pola
sentrofasial, malar, serta m a n d i b u l a r. Pola sentrofasial merupa ka n
pola tersering, meli puti daera h dahi, p i pi, hidung, bagi a n atas bibir,
dan dagu. Pola malar m engga m ba rka n lesi pada pipi dan hidung .
Sedangkan pola m a n d i b u l a r meru pa ka n l e s i m e l a s m a pada ram u s
mandibula. Pola distribusi melasma dapat m u ncul tersen d i ri m a u p u n
berupa gabunga n . 8
Derajat keparahan melasma da pat d ieva l uasi dengan 2 tekn i k,
yaitu tekni k eva luasi su byektif dan o byektif. Teknik eva l u asi s ubyektif

1 13
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
R. Amanda Sumantri

sering d igunakan dalam berbagai uj i klinis pada melasma, wa laupun


teknik ini dinilai lebih i nferior dari teknik eva l uasi obyektif. Eva l uasi
yang termasuk su byektif u ntuk menilai derajat keparahan melasma
adalah Physician Global Assesment ( PGA) dan Melasma Severity Scale
( MSS), dan Melasma A rea and Severity Index ( MASl ) . 22• 23 Sedangkan
teknik evaluasi obyektif u ntuk melasma dapat digunakan dengan meng­
gunaka n reflectance convocal microscopy, meksameter, fotografi,
4
h istopatologi. 22• 2 -27
Pandya dkk. 23 pada tahun 2010 melakukan penelitian untuk
mengetahui validitas dan reliabilitas skor MASI. Dari penelitian tersebut
disimpu lkan bahwa MASI meru pakan indeks ya ng dapat dipercaya
dalam mengukur derajat kepa ra han melasma .

PENGARUH MELASMA TERHADAP KUALITAS HIDUP

Melasma seringkali menyebabkan gangguan psikologis pada


penderitanya . Alat yang sering digu nakan untuk evaluasi kualitas hidup
pasien melasma adalah MelasQoL. Berdasarkan survei yang dilaku kan
terhadap 102 wanita dengan melasma, peneliti menemukan bahwa
kualitas hidup yang paling dipengaruhi oleh adanya melasma adalah
kehidupan sosial, rekreasi, dan kesehatan emosional. Lebih menarik lagi,
ditemukan bahwa efek melasma pada kua litas hidup tidak berhubungan
dengan derajat keparahan melasma, a rtinya bahkan melasma derajat
ringan saja sudah dapat menuru n kan kualitas hidup secara berma kna . 28
Mengingat efek yang dapat diakibatkan melasma terhadap kua litas
hidup seseorang, serta minimalnya pilihan terapi efektif ya ng tersedia
u ntuk melasma, d i perluka n penelitian lebih lanjut u ntuk memahami
dasa r biologis terjadi nya melasma sehi ngga da pat d i kem bangka n
tera pi yang lebih efektif.

1 14
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Penggunaan Asam Traneksamat dalam Tata Laksana Melasma

TATA LAKSANA
Tersedia beberapa metode tata laksana melasma, n a m u n
penyakit ini bersifat kro n i k residif. T i p e ku l it gela p (tipe kulit
Fitzpatrick IV-VI ) termasuk ya ng sangat sulit u ntuk d itera pi mengingat
bersa rnya risiko kejadian h iperpigmentasi pasca infla masi ( H P I ) .
H i ngga saat i n i bel u m ditemukan terapi tu nggal ya ng efektif untuk
segala jenis kasus melasma, sehi ngga d i pe rl u ka n tera pi kombinasi
terutama u ntuk kasus sulit. Tata l a ksana melasma terd i ri atas peng­
h i ndaran fa ktor pencetus, perl i n d u ngan terhadap sinar matahari,
bahan pemutih kulit, peeling ki miawi, laser, serta tera p i o ra l . Faktor
pencetus yang perlu d i h i ndari berupa penggunaan kontrasepsi
hormonal dan pajanan sinar UV, hal i n i penting untuk menghindari
eksaserbasi melasma . 10

Fotoproteksi

Pengg u n a a n t a b i r su rya d a n pengh i n d a ra n paj a n a n s i n a r


mata hari merupakan tera pi uta ma melasma. 29' 30 Sel a i n kombinasi
tera pi yang dipilih u nt u k tera p i melasma, penting seka l i u ntuk teta p
mela kukan proteksi terhadap m ata hari . Proteksi i n i d a pat berupa
pengh i ndaran sinar mata h a ri terutam a pada pukul 10.00-15.00,
menggunakan paka i a n ya ng tertutup d a n topi, serta m engoleskan
ta bir su rya penghambat UVA dan UVB dengan sun-protection factor
(SPF) minimal 30. 10 Ta h i r s u rya sebai knya d igunakan 30 menit
sebelum terpajan mata hari dan d ioles u l a ng tiap 2-3 j a m . 11
Be l u m ada laporan mengenai penggu naan tera pi tu n ggal tabir
surya pada melasma. N a m u n, suatu uji klinis acak pada ta h u n 1983,
terda pat perba ikan kl i n is melasma sebanyak 96% pada kelompok
melasma yang menda pat kombinasi krim h i d rokuinon dan ta bir s u rya
dibandingka n dengan kelompok yang hanya mendapat h id rokuinon
(81%) 11
.

115
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
R. Amanda Sumantri

Terapi Topikal

Ta rget tera pi topikal pada melasma adalah L-3,4-dihidroksifenil­


a l a n i n ( L-DOPA), m engi ngat tirosinase adalah tahap yang bisa
dimanipulasi dalam produksi melanin, karena fu ngsinya ya ng mengubah
L-tirosinase menjadi L-DOPA. Berbaga i tera pi topi ka l telah d icobakan
u ntuk melasma, masing-masing dengan kelebihan dan keku ranga n . 10
(Ta bel 1 )

Tabel 1. Kelebihan d a n keku rangan bahan topikal untuk terapi melasma*


Strengths Weakness
Ascorbic acid Less cutaneous irritation compared Rapidly oxidised and highly unstable;
with hydroquinone not good as monotherapy
Azelaic acid Resonable response for epidermal Erythema, burning, stinging
me las ma
Arbutin Less Irritation than hydroquinone; May cause paradoxical
may have susta ined lightening hyperpigmentation in concentration
effects (seen i n studies for > 3%; no studies in melasma
lentigines)
Dioic acid As effective as 2% hydroquinone Acne
Glycolic acid Cheap, ava ilable as cream or peel Cutaneous irritations; best in
combination with other agents
Hydroquinone Excellent, well-established efficacy Cutaneous erythema, burning, liching,
irritation, onchronosis
Kojic acid Less cutaneous i rritation compared Mild irritation, sensitisation, mixed
with retinoids and triple therapy efficacy in split-face trials; may be
best in combination with
hydroquinone
Liquorice extract Good response in epidermal More robust studies needed, unlikely
melasma to help mixed or deep melasma
Lignin peroxidase May be useful for superficial No studies to support use in melasma
pigmentation
Nicotinamide Effective for 'skin lightening' Cutaneous irritation, more studies
need for melasma
Retinoids Some benegit i n melasma; other Cutaneous irritation, slow (months) to
benefits on fine l i nes, texture show improvement as monotherapy
Rucinol serum Satisfactory effect in melasma in 'tolerable' side-effects; more studies
one study needed
Soy Modest effect on lentigines No studies efficacy in melasma
* Dikutip sesuai aslinya dari kepustakaan no. 10

116
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Penggunaan Asam Traneksamat dalam Tata Laksana Melasma

lntervensi

Teknik intervensi untuk terapi melasma termasuk peeling kim iawi,


laser, intensed pulsed light (IPL), dermabrasi, dan mikrodermab rasi.
Teknik ini bukan pilihan utama dalam terapi melasma karena seringkali
ku rang efektif serta menyebabka n H P l . 30
Teknik peeling kimiawi telah lama digunakan u ntuk terapi
melasma, teruta ma pada kasus refrakter, dalam kombi nasi dengan
terapi topikal . Teknik ini terutama bermanfaat pada melasma tipe
epidermal, sedangkan melasma tipe dermal bersifat resisten terhadap
peeling kimiawi . Pada kulit berwarna, disara n ka n untuk melakukan
priming dahulu sebelum melakukan peeling kimiawi dengan jenis
yang sesuai, hal i n i penting u ntuk m e m i n i m a l isasi risi ko H P I . Jen is,
konsentrasi, frekuensi, serta d u rasi a p l i kasi sa ngat penting dalam
mencapai hasil optimal peeling. Jenis peeling k i miawi su perfisial dan
med i u m, contoh nya asam glikolat 20-70%, asam salisilat 20-30%,
serta asam trikloroasetat (TCA) 10-50% m e m i l i ki tingkat keberhasilan
berva riasi pada memperbaiki melasma. 30
Berbagai laser ya ng digunaka n dalam terapi melasma, di a nta ra nya : 12
1. Sinar h ij a u : flash/amp-pumped P D L (S lOn m ), frequency doubled Q
s witched neodymium: Yttrium aluminium garnet-532nm (QS
N d :YAG)
2. Sinar mera h : Q s witched ruby (694 n m ), Q s witched alexandrite
(75 5 n m )
3. Mendekati s i n a r i nframera h : QS N d : YAG ( 1064n m )

Tera pi laser Q-switched, fractional, I P L, serta kombinasi pada tera pi


melasma memiliki hasi l ya ng tidak dapat di predi ksi, teruta ma pada
populasi ku l it gelap, karena risiko HPI ya ng ti nggi. 30

Terapi Sistemik
Asam traneksamat
AT ata u asam trans-4-a m i nometilsi kloheksana ka rboksilat
meru pakan i n h i bitor plasmin ya ng da pat m encega h pigmentasi ya ng
disebabkan oleh pajanan sinar UV. AT mencega h pengi katan
plasminogen pada kerati nosit, ya ng kem udian a kan men u ru n ka n

117
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
R. Amanda Sumantri

kadar asam a ra kidonat bebas, mengham bat prod u ksi prostaglandin,


d a n m en u ru n ka n a ktivitas t i rosinase mela nosit. 31
AT adalah inhibitor plasmin yang digunakan untuk mencegah
fibrinolisis abnormal seh ingga dapat menghentikan perdarahan. AT
merupakan turunan sintetik asam amino lisin yang bekerja dengan cara
memblokir tempat berikatan lisin pada molekul plasminogen, sehingga
a ktivator plasminogen terhambat, lalu plasminogen tidak dapat diubah
menjadi plasmin. Sel basal epidermis manusia mengandung plasminogen,
sedangkan keratinosit manusia memprodu ksi a ktivator plasmi nogen. 32
Paj a n a n sinar UV m a m pu mem icu sistem a ktivator plasminogen
kerati nosit sehi ngga terj a d i melanogenesis. Plasmin mengaktifka n
preku rsor fosfolipase A2 sekretorik ya ng berpera n dalam produksi
asam a ra kidonat ya ng meru p a kan prekursor prostagland i n E2 dan
leukotriene. Kom ponen ini dapat memicu terjadinya mela nogenesis.
Plasm i n juga berpera n dalam d i hasilka n nya fa ktor pertu mbuhan
fi broblas, yang merupaka n fa ktor pertu mbuhan melanosit poten. 32
TA mengham bat a ktivitas plas m i n yang d i picu oleh pajanan
sinar UV pada keratinosit dengan mencegah ikatan plasm inogen pada
kerati nosit. H a l i n i menyebabkan pen u runan kadar asam a ra kidonat
bebas yang dihasilkan, seh i ngga prod u ksi p rostaglandin menuru n dan
men u ru n ka n m e I a nogenes1s. 32
.

Wu, d kk. 33 pada tah u n 2008 menggu nakan AT 2x250 mg/hari


u ntuk mengobati 256 pasien melasma. Seba nyak 30% pasien
m e n u nj u kka n respons kli n is di bulan perta ma dan sekita r 33%
menga l a m i perbai ka n di bulan kedua. Setelah 6 bulan terapi 10,5%
pasien mengalami 90% pengurangan pigmentasi; 18,8% mengalami
60% pengurangan; dan 5 1,6% mengalami 30% pengurangan pigmentasi.
Pada ta h u n 2012, Karn d kk. 20 melaku ka n uj i klinis terhadap 2
kelompok yang menda patkan AT oral 2x250 mg/hari dikombinasi
dengan hidrokuinon topikal, dibandingkan denga n h idrokuinon topikal
tunggal selama 3 bulan. Hasil uji klinis menunjukkan penurunan skor
MASI yang berma kna pada kelompok yang diberikan AT dibandingkan
dengan kelompok kontrol pada minggu ke 8 dan 12.
Cho d kk. 34 pada ta h u n 2013 mengeva luasi efektivitas dan
kea m a n a n AT oral sebaga i terapi ajuvan pada melasma. Sej u m lah 5 1

1 18
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Penggunaan Asam Traneksamat dalam Tata Laksana Melasma

wan ita Korea d itera pi dengan AT 500 mg per h a ri d i kom binasi


dengan IPL dan QS N d :YAG, kelompok lain hanya d i berikan kom binasi
I PL dan QS N d :YAG saj a . Terda pat perbai kan berma kna pada
kelompok dengan ta m bahan terapi AT, dengan pen u runan skor MASI
sekita r 44%, d i band ingkan dengan 24% pada kelompok n on-AT.
Pada sebuah uji kl i n is ya ng dilakukan oleh Aa m i r d kk. 5 pada
tahun 2013 di Pa kista n, terdapat perba ikan melasma ya ng berma kna
setelah pemberian AT 2x250 mg/ha ri selama 16 m inggu. Dari 70
responden, hanya 12% pasien ya ng mengalami reku rensi setelah 6
bulan, dengan efek sa m p i ng m i n i m a l berupa o/igomenorrhoea
(7, 1%), rasa tidak nyaman pada l a m bung (3%), serta palpitasi (3%).
Efek sam ping AT yang paling sering dilaporkan adalah nyeri
kepala, menstruasi tidak teratur, mual, dan nyeri punggung. Dari
berbagai penelitian dalam bidang kesehatan wan ita, ba hkan hingga
dosis 4 gram/hari, efek sam ping hanya sedikit dan ringan. Tidak terbukti
adanya peningkatan risiko kejadian trombosis pada dosis tersebut. 10
AT dapat dipertimba ngkan u ntuk diberikan pada pasien melasma
yang tidak mengalami perbaikan, tidak dapat menoleransi pemberian
hidrokuinon topikal, maupun krim kombinasi. Dari penelitian terdahulu,
dosis AT yang banyak digunakan adalah 2x250 mg selama 6-12 minggu
dengan terus melaku kan doku mentasi foto lesi melasma. Perlu
disiapkan transisi ke terapi topikal berupa kombi nasi retinoid topikal
dengan tabir surya. Pengobatan ulang dengan AT dilaku kan hanya bila
dirasakan perlu . Pengamatan berkelanjutan diperlukan untuk me­
mastikan keteratu ran pengobatan, memantau kemungkinan timbulnya
efek samping, dan perlunya terapi ulang.

PENUTU P
Tata laksana melasma telah lama menjadi tantangan, ba ik bagi
pasien maupun dokter ya ng menanga n i . Sehingga sela l u d i butu h ka n
penemuan baru d a l a m hal terapi tersebut. Menghi ndari paparan
sinar mata hari dan pencetus lain merupaka n hal terpenting dalam
pencegahan. H i ngga saat i n i, penggunaan tera pi topikal kom binasi
masih merupa kan pilihan utama, salah satu nya penggunaan
hidrokuinon yang masih superior, khususnya u ntuk melasma superfisial.
Sejumlah penelitian telah dilaporkan keberhasilan penggunaan laser QS

1 19
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
R. Amanda Sumantri

N D :YAG dalam tera p i melasma. N a m u n, modalitas i n i sebaiknya


dipilih untuk kasus melasma resisten dan diberikan bersamaan dengan
terapi topika l . Pemberian AT oral j uga dapat dipertimbangkan untuk
kasus melasma yang gagal dengan tera pi konvensional, n a m u n masih
d iperlukan penelitian lebih lanjut u ntuk mengeta h u i lebih jelas
efektivitas dan kea manan p rodu k i n i .

DAFTAR PUSTAKA
1. Grimes PE. Melasma. Etiologic and thera peutic considerations. Arch
Dermatol. 1995 ; 1 3 1 : 1453-7.
2. G rimes PE. Management of hyperpigmentation in darker racial ethnic groups.
Semi n Cutan Med Surg. 2009; 28:77-85.
3. Gupta AK, Gover M D, Nouri K, Taylor S. Treatment of melasma: A review of
clin ical tria ls. J Am Acad Dermato l . 2006;55: 1048-65.
4. Sanchez N P, Pathak MA, Sato S, Fitzpatrick TB, Sanchez J L, Mihm MC Jr.
Melasma: A clinical, light microscopic, u ltrastructural, and
immunofluorescence study. J Am Acad Dermatol. 1981;4:698-710.
5. Aamir S, N aseem R. Oral tra nexamic acid i n treatment of melasma in Pakistani
population: A pilot study. J Pak Assoc Derma. 2014;24(3):198-203.
6. Maeda K, Tomitab Y. M echanism of the inhi bitory effect of tranexamic acid on
melanogenesis in cultured h u man melanocytes in the presence of
keratinocyteconditioned med i u m . J Health Sci. 2007;53:389-96.
7. Maeda K, Naga numa M. To pical trans-4-a minomethylcyclohexanecarboxylic
acid prevents ultraviolet radiation-ind uced pigmentation. J Photochem
Photobiol. 1998;47: 136-41.
8. Sheth VM, Pandya AG. Melasma : A com prehensive update Pa rt I . J Am Acad
Dermatol. 2011;65 :689-97.
9. Handel AC, M iot LDB, Miot HIA. Melasma: A clinical a nd epidemiological
review. An Bras Dermatol. 2013;89(5):77 1-82.
10. Rodrigues M, Pandya AG. Melasma: Clinical d iagnosis and management
options. Austra las J Dermatol . 2015;56(3 ) : 15 1-63.
11. Goldstein BG, Goldstein AO, Callender VD. Melasma : UpToDate; 2015 [updated
Jan 23, 2014; cited Dec 2 1, 2016) .
12. Sarkar R, Arora P, Garg VK, Sontha l ia S, Gokhale N. Melasma u pdate. Indian
Dermatol Online J . 2014;5 (4):426-35.
13. Departemen llmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Faku ltas Kedokteran
Un iversitas indonesia-Rumah Sakit Umum Pusat Nasional d r. Cipto
Mangunkusumo Jakarta. 2014. La poran kunjungan pasien Poliklinik Kulit dan
Kela min Divisi Dermatologi Kosmeti k. [unpublished materials]

120
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Penggunaan Asam Traneksamat dalam Tata Laksana Melasma

14. Mahmoud BH, Ruvolo E, Hexsel CL, Liu Y, Owen M R, Kollias N, d kk. I mpact of
long-wavelength UVA and visible light on melanocompetent skin. J Invest
Dermatol . 2010; 130:2092-7.
15. Kang HY, Suzuki I, Lee DJ, Ha J, Reiniche P, Aubert J, dkk. Transcriptional
profi ling shows altered expression of wnt pathway-a nd lipid meta bolism­
related genes as well as melanogenesis-related genes in melasma. J Invest
Dermatol . 2011; 131: 1692-700.
16. Kim N H, Lee CH, Lee AV. H 19 RNA down regu lation stimu lated mela nogenesis in
melasma. Pigment Cell Melanoma Res. 2010;23:84-92.
17. Lee DJ, Lee J, Ha J, Park KC, O rton ne J P, Kang HY. Defective barrier function in
melasma skin. J Eur Acad Dermatol Venereo l . 2012;26: 1533-7.
18. Ortonne P, Arellano I, Berneburg M, Cestari T, Chan H, G rimes P. A global
su rvey of the role of ultraviolet radiation and hormonal influences in the
development of melasma. J Eur Acad Dermatol Venereol. 2009;2 3 : 1254-62.
19. Tse T, Hui E. Tranexa mic acid : An important adjuvant in the treatment of
melasma. J Cosmet Dermatol . 2014; 12(1):57-66.
20. Karn D, KC S, Amatya A, Razou ria E, Timalsina M. Oral tranexa mic acid for the
treatment of melasma. Kath mandu Univ Med J ( K U M J ) . 2012; 10(40):40-3.
21. Grimes PE, Yamada N, Bhawan J. Light microscopic, immunohistochemical, and
ultrastructural alterations in patients with melasma. Am J Dermatopathol.
2005;27(2) :96-101.
22. Pandya AG, Berneburg M, Ortonne J -P, Picardo M. Guidelines for clinical trials
in melasma. Br J Dermatol . 2007; 156(Su ppl. 1):2 1-8.
23. Pandya AG, Hynan LS, Shore R, Ri ley FC, Guevara I L, Grimes P. Reliability
assessment and validation of the M elasma Area and Severity Index ( MASI) and
a new modified MASI scoring method. J Am Acad Dermatol. 201 1;64:78--83.
24. Information and operating instructions for the multi probe adapter M PA and its
probes. Da lam: G M B H CE, penyunting. M PA General English; 2007.
25. Baquie M, Kasraee M. Discri mi nation between cutaneous pigmentation and
erythema : Compa rison of the skin colorimeters Dermacatch and Mexa rheter.
Skin Res Technol. 2014;20(2);218-27.
26. Kang HY, Bahadoran P, Suzuki I, Zugaj D, Khemis A, Passeron T. In vivo
reflectance confocal microscopy detects pigmentary changes in melasma at a
cel lular level reso lution. Exp Dermatol. 2010; 19:228-33.
27. Na JI, Choi SY, Yang SH, Choi H R, Kang HY, Park K-C. Effect of tranexa mic acid
on melasma: A clin ical trial with histologica l evaluation. J Eur Acad Dermatol
Venereol. 2013;27:1035-9.
28. Balkrishnan R, McMichael AJ, Camacho FT, Saltzberg F, Housman TS, G rummer
S, d kk. Development and validation of a health-related quality of life
instrument for women with melasma. Br J Dermatol. 2003; 149:572-7.
29. Sehgal VN, Verma P, Srivastava G, Ashok K A, Verma S. Melasma: Treatment
strategy. J Cosmet Laser Ther. 2011;13 : 265-79.

121
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
R. Amanda Sumantri

30. Shankar K, Godse K, Aurangabadkar S, La hiri K, Mysore V, Ganjoo A. Evidence­


based treatment for melasma : Expert opinion and a review. Dermatol Ther
(Heidelb). 2014;4: 165-86.
31. Li Y, Sun Q, He Z, Fu L, He C, Yan Y. Treatment of melasma with oral
administration of compound tranexamic acid : A preliminary cli nical tria l. J Eur
Acad Dermatol Venereo l . 2014;28: 388-94.
32. Kim MS, Bang SH, Kim J-H, Shin H-J, Choi J-H, Chang SE. Tranexamic acid
d i minishes laser-induced melanogenesis. Ann Dermatol. 2015;27(3): 250-6.
33. Wu S, Shi H, Wu H. Treatment of melasma with oral administration of
tranexa mic acid. Aesthetic Plast Surg. 2012;36(4):964-70.
34. Cho H H, Choi M, Cho S, d kk. Role of oral tra nexa mic acid in melasma patients
treated with IPL and low fluence QS N d :YAG laser. J. Dermatolog Treat.
2013;24:292-6.

122
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
TATA LAKSANA AKNE VULGARIS

Lili Legiawati

PENDAH ULUAN

Akne vulgaris (AV) adalah penyakit swasirna beru pa peradangan


kronik folikel pilosebasea yang ditandai dengan adanya lesi polimorfik
berupa komedo, papul, pustul, nod u l, dan kista di tempat pred ileksi. 1' 2
Predileksi AV umumnya pada daerah yang kaya kelenjar sebasea, yaitu
wajah, leher, dada, punggung bagian atas, bahu, dan lengan atas,
dengan faktor penyebab genetik, ras, stres, kosmetik, obat-obatan,
tekanan fisik, dan sebagainya . 2
AV sering ditemuka n pada usia dewasa m uda. Diperkira kan 85%
populasi dewasa muda d a n 50% dewasa berusia di atas 20 ta h u n
mengalami AV. Di I ndonesia, AV merupakan kasu s ke-3 terbanyak
yang data ng berobat ke Rumah Sakit U m u m Pemerintah ( RS U P) dan
Rumah Sakit U m u m Daerah ( RS U D ) . 2 Walaupun tidak menga ncam
nyawa, AV da pat menyeba bkan ga nggua n kualitas h i d u p . 3 Pasien
menjadi keh i langan kepercayaan d i ri, menarik d i ri dari kehidupan
sosial, depresi, bahka n h i ngga bunuh d i ri . Oleh ka re na itu, AV perlu
ditata laksana seca ra tepat. 3

ETIOPATOGENESIS

Patogenesis AV meli batka n interaksi a ntara faktor-fa ktor di


bawa h i n i : (Gambar 1)

123
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Lili Legiawati

I Androgens

��Se yte��_,
oc� 1 �1 ��K_e_ra_t_ln_o_c�
l l
'-- _
_ b� yte�---'

Se borrhea I Follicular desquamation I



I Alteration of the follicular milieu I
l
P acnes

l
Colonization with

Inflammation

Gambar 1. Patogenesis akne vu lga ris*


* Dikutip sesuai asli nya dari kepustakaan no.3

1. Peningkatan produksi sebum


Kulit, terutama kelenjar sebasea, merupakan tem pat pembentukan
hormon androgen a ktif. Kelenjar sebasea mulai berkembang dengan
adanya stim u lus hormonal pada usia 7-8 tah u n . 3 Androgen berperan
pada perubahan sel sebosit dan sel keratinosit folikular ya ng
menye ba bka n terbentu knya m ikrokomedo, yang selanj utnya
berke m bang menjadi komedo d a n lesi i nflamasi. 3
Sel-sel sebosit dan keratinosit folikel pilosebasea memiliki
mekanisme selular yang digunakan untuk mencerna hormon androgen,
yaitu enzim-enzim 5-a-redu ktase (tipe 1) serta 3 �- dan 7�­
h i d roksisteroid-dehi d rogenase ya ng terdapat pada sel sebosit basa l
yang belum berd iferensiasi. Diferensiasi sel sebosit d i i nisiasi oleh
masu knya androgen ke dalam sel, kemudian berpasangan dengan
reseptor androgen, sehingga terjadi proses transkripsi gen dan
diferensiasi sebosit. Setelah berdiferensiasi, sel sebosit akan ruptur dan
melepaskan sebum ke dalam d u ktus pilosebasea . 3
Pada AV, seca ra u m u m pro d u ksi sebum d i ka itkan dengan respons
yang berbeda dari masing-masing u n it fol i kel pilosebasea, peningkatan
a n d rogen sirkulasi, atau ked u a nya . Pasien AV memprodu ksi sebum

124
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Tata Laksana Akne Vulgaris

lebih banya k d i bandingka n i n d ividu normal, n a m u n tidak dida patka n


perbedaan kom posisi sebum, kecuali terda pat pen u ru na n j u m la h
asam linoleat yang berma kna . 3

2. Hiperkornifikasi duktus pilosebasea


Pada keadaan normal, sel kerati n osit fol i ku l a r a ka n d i lepaskan
satu per satu ke dalam l u men dan kemudian diekskresi. Pada AV,
terjadi hiperprol iferasi sel keratinosit d a n sel tida k d i lepaskan secara
tu nggal sebagaimana keadaan norm a l . Sela i n itu, terjadi peningkatan
proliferasi sel keranosit basal dan d iferensiasi abnormal sel keratinosit
folikular. 2 Abnormalitas tersebut m ungkin disebabkan oleh pengurangan
relatif asam linoleat pada sebum . Androgen juga dipiki rkan ber­
kontribusi pada a bnormalitas proliferasi melalui enzim 5-a redu ktase
(tipe 1) di infundibulum. 3 Sel stratum korneu m i nfrainfundibulum
menjadi lebih ba nya k m engandung desmosom, tonofi la men, butir
keratohialin, dan l i pid, tetapi mengandung lebih sedikit b ut i r-butir
lamelar, seh i ngga stratum korneum lebih tebal dan melekat. 2
Lesi awa l AV berupa m ikrokomedo, yaitu lesi m ikroskopik yang
tidak terl ihat dengan mata telanjang. Seiring dengan berjalannya
wa ktu, fol i kel a ka n terisi dengan li pid, bakteri, d a n sisa-sisa sel . Lesi
awal kemudian a ka n berke m bang menjadi l esi non-infla masi
(komedo terbuka atau tertutup), atau lesi i nflamasi bila terjadi
proliferasi Propionibacterium acnes (P. acnes) d a n pem bentukan
med iator-mediator i nflamasi. 3

3. Kolonisasi dan aktivitas P. acnes


P. acnes merupakan m i kroorga n isme utam a yang d item u ka n d i
daerah i nfrai nfundibul um, da pat mencapai perm u kaan ku l it dengan
mengikuti a l i ra n sebu m . J u m la h orga n isme tersebut berta mbah
ba nyak seiring dengan meningkatnya jumlah trigliserida dalam
seb u m yang merupaka n maka n a n bagi P. acnes. Bakteri i n i diduga
berperan penting m en i m b u l ka n i nfla masi pada AV dengan
menghasilkan fa ktor kemotaktik dan enzim l i pase yang a ka n
mengubah trigliserida menjadi asa m lemak bebas. 2

4. Proses i nflamasi
Pasien seringka l i berobat untuk AV bila l esi inflamasi m u ncu l . Lesi
i n i dapat berupa papul, pustu l, atau nodus. Pada lesi inflamasi yang

125
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Lili Legiawati

berat, dapat d isertai dengan pembentukan jari ngan parut. 3 Proses


i nfla masi yang d i pera nta rai sistem i m u n d a pat meli batkan li mfosit
C D4 dan makrofag, yang menstim u lasi vaskularisasi pi losebasea dan
mem icu h i perkeratin isasi fol i kular. 2 (Gambar 2)

-'-
Sebaceous cells

1=1 1 . Sebum

'
2. Fatty acids

t
P acnes

' I
I 1"':1':!ory
• Sebum accumulates
• Follicle enlarges
I Mlcrocomedo] ••• •
..�
1 mm une

/
• Keratinous material
Reactions
builds up

l c:o l -
• Hyperproliferation
• Keratohyaline granules 1'

• Disturbed desquamation

Follicular keratinocyte
Gambar 2. P rogresivitas lesi pada acne vulga ris*
* Dikutip sesuai asli nya d a ri kepustakaan no.3

DIAGNOSIS

Diagnosis AV dapat d itega kka n secara klin is, ya kni berupa lesi
eru psi kronis polimorfi k berbentu k komedo yang selanj utnya menjadi
pa p u l, pustul, nodus, ata u kista d i tempat p red ileksi. Bila sudah
membaik, sisa lesi da pat beru pa hi perpigmentasi dan parut pasca­
akne. 2 Pada anamnesis u m u m nya lesi tidak gatal atau sed ikit gata l .
U ntuk menunjang diagnosis tersebut dapat dilaku kan ekstra ksi sebum
dari komedo ata u papul u ntuk membuktikan adanya seb u m . 2
Pemeriksaan laboratoris bukan merupakan standar pada pe­
negakan diagnosis, namun diperlukan pada penelitian etiopatogenesis
AV. Pemeriksaan h istopatologis d iperl u kan untuk kasus dengan
ga mbara n k l i n is tidak khas. 2

G RADASI

M e n u rut Leh m a n n 2 g radasi AV di beda ka n menjadi a kne ringan,


sedang, dan berat berdasarkan lesi non-i nflamasi, lesi i nfla masi, dan
tota l lesi. G radasi tersebut adalah sebaga i berikut:

126
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Tata Laksana Akne Vulgaris

- Akne ringan apabila j u m la h lesi non-inflamasi kurang dari 20, lesi


i nfla masi ku ra ng dari 15 dan tota l lesi kura ng dari 30.
- Akne sedang a pabila j umlah lesi � on-inflamasi 20-100, lesi i nflamasi
15-20, kista kurang dari 5 atau total lesi 30-125.
- Akne berat apabila jumlah lesi non-inflamasi lebih dari 100, lesi
inflamasi lebih dari 50, kista lebih dari 5, atau tota l lesi lebih dari 125.

DIAGNOSIS BAN DING

Diagnosis ba nding AV adalah sebagai berikut: 2


1 . Eru psi akneiformis;
2. Rosasea;
3. Foliku l itis G ram-negatif;
4. Malassezia folliculitis;
5 . Dermatitis perioral;
6. Pseudofollicu/itis barbae;
7 . Tinea faciei;
8. Siringoma;
9. Trikoepitelioma, dan lain-lai n .

TATA LAKSANA AKNE VULGARIS

Tata laksana AV memerlukan pem a h a m a n ya ng baik mengenai


patogenesis AV. Tujuan tata l a ksa na AV ada l a h : 1
- Memperbaiki pola keratinisasi fol i k u l a r a bnormal;
- Menurunkan a ktivitas kelenjar sebasea dan produ ksi sebum berlebih;
- Menurun kan populasi bakteri fol i kular, terutama P. acnes; dan
- Mengatasi rea ksi infla masi d a n respons i m u n .

Tata Laksana Umum


Tata laksana umum AV meliputi perawatan kulit dan modifikasi
diet. Sebelu m pemberian terapi, i nformasi mengenai riwayat peng­
obatan dan kebiasaan perawatan kulit perlu d i peroleh. l nformasi
riwayat pengobatan AV sebelumnya dapat memba ntu penentuan
respons dan tolera nsi pasie n . 2

127
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Lili Legiawati

a. Perawata n ku lit
Pasien AV cenderung membersihkan wajah secara berlebihan untuk
mengura ngi sebu m, tetapi hal tersebut tidak terbu kti ma nfaatnya .
M e m bersi h ka n wajah seca ra kasar dan scrubbing da pat memicu
i nflamasi, AV serta m enyeba bkan kerusakan fisik fol i kel ra mbut. 2
Agen pelembab da pat bermanfaat pada pasien dengan kulit kering
atau iritasi a kibat terapi topikal. Sebai knya dipilih produ k perawatan
wajah d a n kosmetik nonko medogenik. 2
b. Diet
Hubungan antara diet dan AV masih menjadi kontroversi. Studi
berbasis populasi terbaru menyimpulkan bahwa : (1) terdapat hubungan
antara asupan susu sapi dan produ knya dengan prevalensi dan tingkat
keparahan AV; (2) terdapat hubungan antara diet indeks glikemik tinggi
dengan durasi AV yang memanjang, diet indeks glikemik rendah dapat
memperbaiki AV karena dipikirkan berpengaruh pada perubahan
komposisi trigliserida pada asam lemak di perm u kaan kulit; (3) tidak ada
korelasi antara asupan garam dan yodium dengan AV; dan (4) peran
omega-3, asam lemak, a ntioksidan, zink, vitam i n A, dan serat pada AV
masih i n konkl usif.4 Algoritme terapi a kne menurut Global Alliance dapat
dilihat pada gambar 3 .
Global A l l i a nce Acne Treatment Algorithm

Mil<fd arlCI Mixed and


Noduiar<ll Nodular/Conglobate
Papular/pustular Papuladpustular

··- ·····
••• •
Alternativeslor
femalesll.41

1.�phylkll ...-ol<-l. Willl- - kQ. S<Jol. l. 5->d - ., ase ol -


<.fo<_ _ _ _ s fo< W - - Galood<H. .. 11 MM>2001;49 �1-J7•
._, __ ,. ___ ......._ .,,_ .,c....d&.
OrigNlr � io - 0. Golk'4d: H. - V. ....._ ......._ _ _, .. ........._ _ lhP __
IO - � io- - J ...- - - �·-�. Coprighl - 2009. - wilh -

Gambar 3. Algoritma tera pi acne vulga ris*


* Dikutip sesuai aslinya dari kepustakaan no. 3

128
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Tata Laksana Akne Vulgaris

Terapi Topikal
1. Reti noid
Penggunaan retinoid, baik topikal maupun oral, pada AV menunjuk­
kan hasil yang baik. Penggunaan retinoid topikal, baik secara tunggal
maupun dalam kombinasi dengan obat lain, menjadi terapi l i n i pertama
u ntuk AV derajat ringan-sedang. 2
Mekanisme kerja retinoid topikal a d a l a h melalui pengikatan dan
a ktivasi reseptor asam reti noat ( RAR), kemudian menga ktivasi
transkripsi gen spesifik, menyebabkan respons biologis. 1 Efek yang
diti mbu l kan, antara lain menorma l ka n deskuamasi dengan mem­
pengaruh i turnover folikular epitelial dan maturasi keratinosit.
Bebera pa retinoid topikal, m isal nya adapalene, j uga m e m i l i ki efek
anti-inflamasi melalui modulasi respons i m un, mediator i nflamasi,
dan migrasi sel-sel i nflamatorik. Oleh karena reti noid mengha m bat
pembentukan m ikrokom edo, pembentukan lesi non-inflamasi, dan lesi
inflamasi. Retinoid j uga da pat meni ngkatka n penetrasi bahan-bahan
lain, termasuk bahan-ba h a n a ntibakteri m isal nya benzoil peroksida
dan anti bioti k topi ka l . 1 Efek s i m pang ya ng da pat terjadi a ntara lain,
eksaserbasi pada awal terapi, dermatitis konta k i ritan, serta
eksaserbasi pasca-retinoid. 6
2 . Asam salisi lat
Asam salisilat telah digu nakan sebagai tera pi AV sejak lama
meskipun penelitian mengena i efektivitas dan kea manan nya tidak
banyak. 7 Asa m salisi lat merupaka n asam �-hidroksi ya ng bersifat
komedolitik dan da pat memperba i ki deskuamasi fol i ke l . 1 Efek
komedolitik asam salisi lat tidak sebaik retinoid topikal dan biasa
digu nakan pada pasien yang tidak dapat mentoleransi retinoid
topika l . 7 Efek samping yang m u ngki n terjadi adalah i ritasi ringan. 1
3 . Anti mi kroba
Pemilihan antimikroba topikal atau sistemik dilakukan berdasarkan
adanya serta keparahan lesi i nflamasi.
a. Anti biotik topikal
l ndikasi uta ma a nti biotik siste m i k adalah AV i nflamasi seda ng­
berat. Antibiotik topikal dan benzoil peroksida diind ikasikan
untuk AV inflamasi ringan-sedang. 2 Antibiotik topikal mengu rangi

129
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Lili Legiawati

populasi P. acnes d i permukaan ku l it d a n fol i kel serta memiliki


efek anti-inflamasi. Klindamisin dan eritromisin adalah antibiotik
topikal yang sering d igunaka n sebaga i pengobata n pada AV. 1
Dari suatu telaah sistematik, klindamisin topikal memiliki
efektivitas yang sedikit lebih baik dibandingkan eritromisin topikal
u ntuk tera pi AV derajat sedang. 8 Kendati demikian, penggunaan
antibiotik topikal secara tunggal tidak d isa ra n kan karena
kerjanya relatif l a m bat dan berpotensi menyeba bka n resistensi
ba kteri bila d igun a ka n ja ngka panjang. Rekomendasi terkini
menganj urkan kombinasi antibiotik dengan antimikroba non­
antibiotik lain, m isal nya benzoil peroksida dan asam azelaik,
u ntuk mencegah resistensi. Bila tida k ada perbaikan dalam 6-8
minggu, penggu naannya harus dihentikan dan diper­
timbangkan menggunakan terapi lain. 3 Efek samping biasanya
ringan, terbatas pada eritema, pengelupasan, rasa gatal, kering,
d a n rasa terbakar. 3
b . Benzoil peroksida
Benzoil peroksida ( BPO) adalah agen antimikroba kuat yang aman
dan efektif. BPO bekerja dengan mengurangi populasi bakteri dan
hidrolisis trigliserida . 1 BPO memiliki efek yang baik untuk lesi
inflamasi, dengan sifat bakteriostatik dan kem u ngkinan juga
ba kterisidal . BPO m e m i l i ki efek ya ng lebih besa r dan cepat
dalam menekan P. acnes diba ndingkan antibiotik topika l . Setelah
beberapa hari pemakaian, jumlah organisme ini berkurang hingga
90% dan asam lemak berkurang hingga 40%. Sebagai per­
bandingan, hasil ini diperoleh dalam beberapa minggu mono­
tera p i a ntibiotik. 3 Tida k seperti a ntibiotik, penggunaan BPO
tidak m e n i mb u l ka n resistensi. 1'3 Keterbatasan BPO untuk
beberapa pasien AV adalah dapat menyebabkan kekeringan dan
i ritasi kulit. 1 Penggunaan BPO lebih disukai dalam kombinasi
dengan obat topika l lainnya. Kombinasi terbaik adalah dengan
retinoid topikal dan digunakan u ntuk pasien dengan AV derajat
ri nga n-seda ng.3
c. Asa m azelaic
Asa m azelaic (AA) tersedi a d a l a m bentuk krim 20% dan gel
15%. 1 AA diindikasika n u ntuk akne komedonal ringan dan bentuk

130
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Tata Laksana Akne Vulgaris

ringan dari akne papu lopustular. Pada studi ska la besa r, d i ­


da patka n a ktivitas komedolitik d a n efek antiinflamasi ringa n . 2
AA j uga meru pa kan penghambat enzim tirosinase yang dapat
mengurangi hiperpigmentasi pasca-inflamasi. Suatu penelitian
oleh Kircik9 menyata ka n ba hwa penggunaan gel AA 15% dua
kal i sehari dapat mempe rbaiki AV dan h iperpigmentasi pasca-AV.
Secara u m u m, AA d itoleransi baik d a n terbu kti a m a n pada
keh a m i l a n . Efek sa m p i ng yang m u ngkin m u ncul adalah rasa
terba ka r. 1
4. Korti kosteroid i ntra lesi
l njeksi kortikosteroid i ntra lesi bermanfaat untuk lesi i nflamasi
yang besar dan dengan durasi kurang dari 2 minggu, tetapi tindakan ini
memiliki risiko terjadinya jaringan parut atrofi . U ntuk mengura ngi risiko
tersebut, tindaka n dibatasi hanya d i l a kukan pada l esi yang besar
dengan peninggian ya ng bermakna dengan kulit sekita rnya .
Kortikosteroid disuntikkan pada bagia n tenga h lesi h i ngga
kemerahan nya memucat. 3 Dosis ya ng d ianj u rkan adalah 0,05-0,25
m L/lesi suspensi triamsinolon asetat (2,5-10 mg/m L). 1

Terapi Sistemik
a . Antibiotik sistem i k
Anti biotik sistem i k merupaka n p i l i h a n uta m a AV derajat sedang
sampai berat dan kasus yang tidak responsif terhadap terapi topikal. 7
Mekanisme kerja antibiotik oral adalah dengan mengurangi ju mlah P.
acnes dan Staphylococcus epidermidis. Selain mengu ra ngi j u mlah
ba kteri, antibiot i k j uga m e m i l i ki sifat anti-i nfla masi, yaitu meng­
hambat kemotaktik neutrofil, produ ksi sitokin, dan kerja makrofag. 3
Eritromisin dan tetrasiklin oral sudah terbukti efektivitas dan
kea manannya, teta p i penggunaan eritro m isin di batasi u ntuk pasien
yang tidak da pat menggu n a ka n tetrasi klin, yaitu wa n ita h a m i l dan
anak berusia kurang dari 8 ta h u n, karena risiko terjad i nya resistensi
cukup besar. 3 . 7
Trimetoprim/sulfametoksazol d a pat dipikirkan sebagai l i n i ketiga,
tetapi penggu naannya terbatas untuk akne resisten tetrasiklin dan
eritromisi n . Tetrasikl in gene rasi ked ua, misalnya m i n osiklin, doksisiklin,

131
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Lili Legiawati

dan li mesiklin, m e n i m b u l ka n respons kl i n is ya ng lebih cepat


dibandingkan tetrasiklin generasi perta m a . 3 Efek antibioti k oral
ta mpak setelah 4-8 m inggu. Setelah lesi inflamasi baru berkurang
atau tidak m u ncul lagi, dosis da pat d i ku ra ngi. Antibiotik ora l seca ra
u m u m d itoleransi baik d a n efek sa m ping berat tidak b iasa terjadi. 3
b . Tera pi hormonal
Tera pi hormonal adalah p i l i h a n ya ng sa ngat baik untuk wa nita,
khususnya yang menging i n ka n efek kontrasepsi oral, j uga u ntuk
wa n ita dengan seborea berat, alopesia androgenika, sindrom
seborea/akne/hirsutisme/alopesia (SAHA), dan hiperandrogen adrenal
atau ovarian. Tera pi ini bertuj uan untuk melawa n efek hormon
a n d rogen pada kelenj a r sebasea dan keratin osit fol i ku l a r. 3
c. Retinoid oral
lsotretinoin, derivat vitamin A, diindikasikan untuk AV derajat berat,
reka lsitran, akne nodular, dan AV derajat sedang-berat yang tidak
responsif terhadap pengobata n topika l . 1' 3' 7 Mekanisme kerjanya
begitu u n i k ka rena m em penga ru h i seluruh patogenesis akne, yaitu
dengan mengu rangi u kuran dan sekresi kelenjar sebasea, menormalkan
keratinisasi folikular, dan mencegah pembentukan komedo,
menghambat pertu m b u h a n P. acnes seca ra tidak la ngsung mela l u i
perubahan pada miliei folikular, serta memiliki efek anti-inflamasi. 3
Dosis isotretinoin oral berkisar a ntara 0,1-2 mg/kg BB, tetapi dosis
lebih besa r dari 1 mg/kgB B sangat j a rang digunaka n . Dosis yang biasa
digunakan adalah 0,5-1 mg/kgBB/ha ri dalam dua dosis terbagi, hingga
tercapai dosis kumulatif 120-150 mg/kgBB. U ntuk mengurangi potensi
efek sa m p i ng, pada bulan perta m a dosis ya ng digu nakan tidak
melebihi 0,5 mg/hari. J i ka ditolera nsi baik, dosis da pat d i naikkan
h ingga 1 mg/kgBB/hari selama 16-20 minggu terapi. Pada kasus yang
lebih berat dengan banyak nodus dalam dibutu h kan terapi yang lebih
lama (24-32 minggu). 3
Pada a kne fulminan, prednison oral (0,5-1 mg/kgBB/hari)
diberikan 2-6 minggu sebelum pemberian isotretinoin oral. 3 Efek
samping isotretinoin oral ya ng sering d ij u mpai adalah b i b i r kering dan
peca h-pecah, ku l it keri ng, d a n m ata kering. Sakit kepala, nyeri otot,
dan nyeri punggung juga dapat terjadi. Lipid serum dan fungsi hati harus

132
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Tata Laksana Akne Vulgaris

dimonitor secara rutin, jika terjadi kenaikan, harus d i l a ku ka n


pengurangan dosis atau penghenti a n tera p i . l sotretinoin oral bersifat
teratogen dan tidak boleh d i konsumsi oleh wanita h a m i l . Rekurensi
dapat terjadi setelah penghentian tera pi, untuk itu perlu d ilakuka n
terapi pemeliha raan menggu n a ka n retinoid topi ka l . 3

Terapi Adjuvan

a . Ekstraksi komedo
Tindakan ini penting dalam tata laksana akne komedonal. Anestesi
topikal dapat digunakan sebelum ekstraksi komedo tertutup. Hasil
tindakan ini ditingkatkan dengan penggunaan retinoid topikal u nt u k
mencegah terbentu knya lesi baru dan mempermudah kelua rnya
komedo. Keterampilan dalam melaku kan ekstraksi komedo diperlukan.
Komedo terbuka da pat d i ke l ua rka n dengan mudah, yaitu mela l u i
peneka nan d i sekita r cel a h folikular. Komedo tertutup m u ngki n
mem butuhkan i nsisi dengan jarum ata u ska l pel kecil . Keterbatasa n
tindakan ini adalah ekstraksi tida k kompl it, refilling, dan risi ko
kerusakan jaringa n . 3
b. Bedah kimia
Bedah kimia su perfisial digunakan sebagai terapi adjuvan AV. Bedah
kimia berguna untuk memperbaiki permu kaan kulit yang mengalami
jaringan ikat dan h iperpigmentasi pasca-akne. Tindakan ini bertujuan
untuk menghilangkan stratum korneum dan meningkatkan turnover
fisiologis sel. 10 Zat-zat yang dapat digunakan untuk bedah kimia a ntara
lain adalah asam a-hydroxy (asa m gli kolat), asam salisilat, dan asam
trikloroasetat. 3
Pada suatu studi yang dilakukan di Jepang terhadap 26 pasien
dengan AV derajat sedang, bedah kimia dengan asam glikolat 40%
selama 5 ka li dengan interval 2 minggu menunju kkan penurunan j u m l a h
lesi AV yang bermakna, baik untuk lesi i nfla masi m a u p u n n o n ­
inflamasi . Asa m glikolat j uga d itoleransi baik d a n dia nggap a m a n
untuk pasien Asia. 10 Penelitian B u rns d kk. 11 terhadap 1 9 pasien
dengan tipe ku l it Fitzpatrick IV, V, dan VI ya ng d i l a kukan bedah kimia
dengan asam glikolat memperbaiki h i perpigmentasi pasca-inflamasi,

133
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Lili Legiawati

mencera h kan kulit, serta meningkatkan penetrasi retinoid atau BPO


topikal.
c. Tera pi sinar dan laser
Beberapa tahun tera khir, terapi sinar dan laser telah diperkenalkan
sebagai terapi alternatif u ntuk AV, tetapi efektivitasnya masih beraga m.
Tera pi sinar d a n laser pada AV adalah p rosedu r non-i nvasif yang
mem berikan hasil cepat n a m u n terbatas. Meka n isme kerja nya masih
tidak jelas, n a m u n terapi sinar dan laser d i d uga mengurangi kolonisasi
P. acnes d a n a ktivitas kelenjar sebasea. 12
Tera pi sinar menggu nakan sinar b i ru berspektru m sem pit dan
intensitas tinggi telah d i rekomendasika n oleh F DA sebaga i terapi
untuk AV d e rajat sedang. Studi m u ltisenter menunj u kka n ba hwa
sekita r 80% pasien menga l a m i pengurangan lesi AV h i ngga 60%
setel a h tera p i selama 4 m i nggu. 1 Sinar b i ru berperan dalam inaktivasi
P. acnes, teta pi penetrasinya ke kulit ha nya sed a l a m ± 0,2 m m . Sinar
merah d apat mencapai stru kt u r ya ng lebih dalam. Sebagai tambahan,
sinar UV m e m i l i ki efek a nti - infla masi melalui i n h ibisi a ktivitas sitokin.
Pada pasien AV, tera pi sinar merah d i laporkan m e m i l i ki hasi l yang
menguntungka n dalam mere d u ksi j u m l a h lesi dan e kskresi seb u m .
Terap i i n i d itoleransi baik, a m a n, mudah, d a n t i d a k mahal. Kom binasi
sinar biru d a n mera h j uga m e n u nj u kkan hasil ya ng mengu ntungka n .
Tera pi kombinasi sinar d a pat mengu ra ngi j u m lah lesi i nfla masi lebih
baik d ibandingkan monotera pi B P O dan sinar biru. Tera p i ini juga
lebih tidak mengi ritasi kulit. 12
Kelenjar sebasea bersifat sensitif terhadap panas. Seca ra khusus,
laser diode dengan panjang gelombang 1450 nm d ipikirkan
menyebabkan kerusakan termal pada kelenjar sebasea dan mengu rangi
uku ran kelenjar serta p roduksi sebum. Efek fototermal i n i j uga d i i n d u ksi
oleh pulsed-dye laser (PDL) . 12
Tera pi photodynamic ( P DT) mel i puti a p l i kasi krim yang diaktivasi
oleh sinar untuk men ingkatka n respons tera pi sinar di dalam u n it
pi losebasea. Ka n d u ngan kri m meli puti methyl aminolaevulinate
(MAL), 5-aminolaevulinic acid (ALA), d a n indocyanine green . Sum ber
sinar yang d igunakan adalah P D L, intense pulsed light ( I P L), ata u sinar
merah berspektrum l uas. P DT cenderung lebih nyeri d i ba n dingkan

134
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Tata Laksana Akne Vulgaris

penggunaan terapi sinar tunggal, dan lebih sering menyebabkan


eritema, edema, eksaserbasi pada awal penyinaran, krusta, dan
eksfoliasi epitel. 13 Studi oleh Wang d kk. 14 melaporkan adanya perbai kan
klinis AV derajat berat dengan terapi ALA-PDT dan perbaikan men i ngkat
dengan tera pi m u ltipel. Efek samping yang diti m b u l ka n m i n i m a l dan
rekurensi terjadi lebih rendah dibanding tera p i topikal konvensional.
Haede rsda l d kk. 15 melakuka n tela a h berbasis b u kti tenta ng
penggunaan laser, cah aya dan P DT u ntuk tata laksana AV. Dari telaah
tersebut disimpulka n bahwa tera p i lase r, ca h aya, dan P DT berpotensi
memberikan perba i ka n lesi i nflamasi pada AV, dengan P DT
memberikan hasil yang paling konsisten .

PENUTU P
AV merupakan masalah kesehatan yang kerap d ij u mpai pada
pra ktik sehari-hari dan da pat sering m enyebabkan penurunan kualitas
hidup pasien. Patogenesis AV melibatkan interaksi dari 4 faktor, yaitu
peningkata n produ ksi sebum, h i perkornifikasi d u ktus pilosebasea,
kolonisasi dan a ktivitas P. acnes, serta p roses i nfla masi. Pemahaman
yang baik mengenai patogenesis AV diperlukan dalam tata laksana AV.
Saat ini, berbagai modalitas terapi telah dikemba ngkan u nt u k tata
laksana AV dan pem ilihannya harus berhati-hati serta berbasis b u kti
untuk mencapai hasil yang opti m a l .

DAFTAR PUSTAKA
1. Zaenglein AL, Graber EM, Thiboutot O M . Acne vulgaris and acneiformis
eruptions. Dal a m : Goldsmith LA, Katz SI, Gilch rest BA, Paller AS, Leffel l DJ,
Wolff K, penyunting. Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine. Edisi ke-8.
New York: McGraw-H ill; 2012: h. 897-917.
2. Wasitaatmadja SM, Arimuko A, Norawati L, Bernadette I, Legiawati L (Eds).
Pedoman tata laksana akne di Indonesia. Edisi 2. Jakarta: Centra Communications;
2016.
3. Gollnick H, Cunliffe W. Management of acne: A report from a Global Alliance to
improve outcomes in acne. J Am Acad Dermatol. 2003;49: 1-38.
4. Bowe Wp, Joshi SS, Shalita AR. Diet and acne. J Am Acad Dermato l .
2010;63 ( 1 ) : 124-4 1.
5. Ingram J R, Grind lay DJ, Williams HC. Management of acne vulga ris: An
evidence-based update. Clin Exp Dermato l . 2010;35(4):351-4.

135
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Lili Legiawati

6. Layton AM. A review on the treatment of acne vulga ris. J Clin Pract.
2006;60:64-72.
7. Strauss JS, Krowchuk DP, Leyden JJ, Lucky AW, Shalita AR, Siegfried EC, d kk.
Guidelines of care for acne vulgaris ma nagement. J Am Acad Dermatol.
2007;56(4):65 1-63.
8. Guay DR. Topical clindamycin in the management of acne vu lgaris. Expert Opin
Pharmacother. 2007;8(15):2625-64.
9. Kircik LH . Efficacy and safety of azelaic acid (AzA) gel 15% in the treatment of
post-inflammatory hyperpigmentation and acne: A 16-weeks, baseline­
controlled study. J Drugs Dermatol. 2011;10(6):586-90.
10. Kaminaka C, Uede M, Matsu naka H, Furukawa F, Yama moto Y. Clin ical
evaluation of glycolic acid chemical peeling in patients with acne vulgaris: A
ra ndomized, double-blind, placebo-controlled, split-face comparative study.

Dermatol Surg. 2014;40:314-22.
11. Burns RL, Prevost-Blank PL, Lawry MA, Lawry TB, Faria DT, Fivenson DP.
Glycolic acid peels for postinflammatory hyperpigmentation in black patients a
compa rative study. Dermatol Surg. 1997;23:171-4.
12. Pierard-Frachi mont C, Paq uet P, Pierard GE. New a pproaches in l ight/laser
therapies and photodynamic treatment of acne. Expert Opin Pharmacother.
201 1;12:493-501.
13. Ham ilton FL, Car J, Lyons C, Car M, Layton A, Majeed A. Laser and other light
therapies for the treatment of acne vu lgaris: Systematic review. Br J Dermatol.
2009; 160: 1273-85.
14. Wang XL, Wang HW, Zhang LL, Guo MX, H uang Z. Topical ALA PDT for the
treatment of severe acne vu lgaris. Photodiagnosis Photodyn Ther. 2010;7:33-8.
15. Hcedersdal M, Togsverd-Bo K, Wulf HC. Evidence-based review of lasers, light
sources and photodyna mic therapy in the treatment of acne vulgaris. J Eur
Acad Dermatol Venereol. 2008;22: 267-78.

136
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
HEMANGIOMA INFANTIL: TATA LAKSANA TERKINI

Nanny Shoraya

PENDAH ULUAN

Hemangioma i nfa ntil ( H I ) merupaka n tumor j i n a k vasku l a r d a n


tumor jaringan lunak yang p a l i n g sering d ij u m pa i p a d a masa infantil. 1"8
H I berasal dari sel endotel pembuluh d a ra h yang memiliki ka ra kteristik
berupa siklus perke m ba ngan yang terd i ri atas 3 fase, yaitu fase
prol iferasi, fase plateu, d a n fase i nvolusi. 3 "4 Sebagian besar kasus H I
akan menga lami i nvol usi tan pa a d a inte rvensi, n a m u n beberapa
kasus HI lainnya membutuhkan tata l a ksana lebih l a nj ut berupa tata
laksana operatif ata u non operatif.
Klasifikasi anomali vasku lar seri ngka l i membingungkan d a n
kontradiktif. O l e h karena i t u pada t a h u n 1996 The International
Society for the Study of Vascular Anomalies (ISSVA) membuat revisi
klasifi kasi anomali vaskular berdasarkan ga m b a ra n kli n i s, rad iologis,
dan ka ra kterist i k hemod in a m i k yaitu 1 ) malformasi vasku l a r d a n 2)
tumor vaskular. Tumor vasku lar merupakan neoplasma pembuluh
dara h sedangka n ma lformasi vasku lar merupaka n anomali pem b u l u h
darah tanpa adanya prolife rasi sel endotel. Perbedaan lesi ma lformasi
vaskular dengan HI adalah lesi ma lformasi vasku lar cenderung timbul
sesaat setelah lahir d a n m eneta p sepanjang usia. 3 ·4
l l m u pengeta huan mengenai tata laksana pada H I berkembang
sangat pesat sejak tahun 2008, seiring d engan penggunaan propranolol
sebagai pilihan pengobatan . Sejak hasil laporan penggunaan propranolol
sebagai terapi dalam HI pada bayi d iterbitkan di d a l a m j u rn a l New
England Journal of Medicine ta h u n 2008, yang memengaru h i tata
laksana para dokter yang menanga n i kasus H l . 3' 9 H i ngga saat i n i telah
ba nya k laporan kasus, penelitian mengenai p i l i h a n tera pi, h i ngga
konsensus tata laksana H I . N a m u n d e m i kian ba nya k ya ng harus
dipahami mengena i indikasi pengg u n a a n nya dalam berbaga i kon d isi.
Setelah berkembangnya penggu naan p ropra nolol untuk tera pi H I,
penggunaan beta b icker timolol topi ka l pada kasus H I superfisial
mulai d iteliti dengan hasil cukup efektif. 10 Penelitian mengenai tata

137
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Nanny Shoraya

laksana H I terus berkemba ng. Pemahaman mengenai pemilihan jenis


terapi, indikasi, mekanisme kerja, komplikasi dan efek samping
merupakan hal yang penting, sehingga setiap pasien H I akan mendapat
terapi yang paling optimal sesua i dengan kondisinya masing-masing.

EPIDEMIOLOG I
H I d itemukan sekitar 2%-12% pada masa i nfantil. 4 Meskipun data
insidens yang sesungguhnya pada bayi baru lahir masih belum jelas
dika renakan lesi HI bel u m m u ncu l saat bayi d i p u l a ngkan d a ri Rumah
Sakit ( RS) serta ada nya i n konsistensi nomen klatur sebe l u m adanya
klasifikasi ISSVA ya ng telah d iteri m a luas. 3' 11 Penelitian yang
mengi kutsertakan 600 wa n ita h a m i l ya ng d i i kuti h i ngga mel a h i rkan
mela porkan i nsidens HI secara keseluruhan sebesa r 4,5% dan h ingga
9,8% pada bayi prematur. 12 Pada penelitian lain d itemukan insidens
HI a kan men ingkat seiring men u ru n nya usia keh a m i l a n dan berat
l a h i r. Stu d i tersebut menemuka n i nsidens sebesa r 23% pada bayi
d engan berat lahir <1000 gr, d a n 1-4% pada bayi cukup b u l a n . 11

ETIOPATOGEN ESIS

Etiologi dan patogenesis H I masih belum sepenuhnya dimengerti. 2-7


Hingga saat ini belum ada mekanisme yang dapat menjelaskan tentang
berbagai aspek yang d i m i l i ki oleh fenotip H I ata u p u n mekanisme
mengenai pencetus timbulnya hemangioma. 6 Hema ngioma adalah
suatu tumor ya ng terdi ri atas sel-sel endotelial i matu r yang cepat
berproliferasi membentuk jaringan pembuluh darah. Adanya disregulasi
antara angiogenesis ( pembentukan pembuluh darah baru yang berasal
dari pembuluh darah yang sudah ada sebelumnya ) dan vasku logenesis
(pembentukan pembuluh dara h secara de novo yang berasal dari
prekursor sel endotel) did uga memiliki peranan dalam patogenesis H l . 8
Terda pat beberapa h ipotesis patogenesis H I yang telah
berke m bang h i ngga saat i n i, ya itu :
1 . H ipotesis ba hwa H I berasa l d a ri emboli p lasenta . Ditemukannya
e kspresi G LUT-1 (erythrocyte-type glucose transporter protein),
Fc-y- reseptor I I, merosin, dan Lewis Y a ntigen (a ntigen vaskular

138
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Hemangioma l nfantil: Tata Laksana Terkini

ya ng berkaitan dengan plasenta) pada j a ringan H I mempe rkuat


teori ba hwa plasenta merupaka n tempat asal lesi H I . 2 •4• 8
2. Hemangioma diduga merupakan respons tubuh terhadap hipoksia.
Lesi H I merupakan bentuk usaha tubuh untuk menormalkan
keadaan h i poksia . 8
3. Kontribusi genetik, meski p u n sebagia n kasus merupakan kasus
sporadik, terdapat la pora n mengenai pola penurunan seca ra
autosomal dominan. Ditemu kan hubungan HI dengan kromosom
5q31-33 pada 3 keluarga. Pemeriksaan gen sequencing mendapatkan
adanya mutasi somatik terhadap gen ya ng m engkode vascular
endothelial growth factor receptor (VEG FR), yaitu VEGFR2 dan
VEGFR3 pada DNA ya ng diisolasi dari lesi H l . 8

Meskipun etiopatogenesis H I masih belum diketa hui secara pasti,


namun didapatkan dari beberapa studi yang melakukan penelitian
mengenai faktor risi ko timbulnya HI, yaitu 1 ) berat lahir rendah, sering
dikaitkan dengan prematuritas; 2) jenis kelamin perempuan, dengan
rasio 1,8-2,4 : 1 dibandingkan dengan laki-laki; 3) ras kau kasia (meskipun
da pat timbul pada semua ras) serta fa ktor risiko ta mbahan l a i n nya
ya itu, 4) kehamilan m u ltipel; 5 ) usia materna l ya ng terl a l u m ata ng, 6)
plasenta p revia; 7) preeklam psia; dan 8 ) perdara h a n pervagi nam
antenata l . 3

DIAGNOSIS

A. Manifestasi klinis

Lesi preku rsor HI dapat mulai tampak pada 50% bayi baru
lahir, berupa a rea telangiektasia, pucat, ekimosis dan bahkan
u lserasi . 3 Morfologi lesi H I da pat dijelaskan mela l u i 2 konsep, yaitu :
1 . Kedalaman, keterlibatan pada dermis, jaringan lemak, dan
jaringan lunak. Hal ini da pat membantu menegakkan diagnosis
dan prediksi timbu lnya deform itas ata u lesi residu.
2 . Distribusi lesi HI pada permukaan tubuh terhadap lokasi anatomi
di bawa hnya mem berikan i nformasi p rognosis mengenai
kemungkinan kebutuhan untuk mendapat terapi dan komplikasi
yang da pat timbu l . 4

139
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Nanny Shoraya

Perjalanan ·, lesi H I khas, yaitu dengan adanya siklus


perke m ba ngan yang terd i ri atas fase p rolife rasi, fase plateau, dan
fase i nvol usi. Berdasarkan keda l a m a n lesi, hemangioma dapat
d ibagi menjadi superfisial, dalam, d a n ca m p u ra n . Jenis H I tersebut
menentukan tampilan klinisnya . Pada HI superfisial, lesi berwarna
merah cera h, berbentuk seperti kubah hingga plak dengan lobus­
lobus dan nod us, yang da pat menjadi pucat dengan penekanan.
Pada HI ya ng lebih dalam, lesi beru pa nodus atau tu mor subkutan
dengan permukaan berwa rna sem b u rat keb i ruan, telangiektasia,
pola pembuluh d a ra h yang ta mpak jelas, serta pada pa l pasi teraba
hangat. Lesi H I ca m p u ra n komponen superfisial dan dalam
d itemuka n pada 25-30% pasien H l . 3 -4
Fase proliferasi dimula i saat usia 2-4 minggu yang berlangsung
selama 9-12 bulan dengan perkembangan paling pesat pada 5 bulan
pertama kehidupan. Meskipun pada beberapa kasus fase proliferasi
dapat berlanjut hingga 18-24 bulan. Kemudian dilanjutkan oleh fase
plateau dan i nvolusi yang dapat berlangsung dalam beberapa tahun.
Fase i nvolusi ditandai dengan perubahan warna lesi H I superfisial dari
warna merah cerah menjadi m erah redup, keu nguan atau kea buan.
Fase i nvol usi lesi H I da lam, seiring wa kt u menjadi lebih keci l, tidak
teraba hangat, dan lebih mudah terkompresi.4 Fase involusi terutama
terjadi pada usia 1 hingga 4 tahun. 3 Diperkira kan kecepatan i nvol usi
berkisar 10% per tah u n . Pada usia 3 tahun lesi telah berinvolusi
sebesar 30%, usia 5 tahun lesi beri nvolusi sebesar 50%, dan usia 9-10
tahun lesi telah berinvolusi lebih dari 90%. Hal yang perlu
disampaikan kepada orang tua adalah definisi i nvolusi sendiri bukan
merupakan perubahan menjadi kulit normal tetapi terdapat
kem ungkinan adanya residu lesi HI berupa telangiektasia, atrofi, dan
fibrofatty masses.4

B. Pemeriksaa n penunjang
Pada sebagian besa r kasus H I, penegakkan diagnosis da pat
d i l a kukan mela l u i a n a m n esis d a n pemeriksaan fisik yang baik.
Pemeriksaan pen u nja ng, m isal nya pemeri ksaan radiologi, seca ra
u m u m tida k rutin dilaku kan, namun pemeriksaan radiologi misalnya
ultrasonography (USG) Doppler, computer tomography (CT) scan,

140
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Hemangioma l nfantil: Tata Laksana Terkini

dan magnetic resonance imaging (MRI) dapat membantu mem berika n


konfirmasi diagnosis kasus H I yang meraguka n, rencana pre-operatif,
melihat perluasan lesi, perubahan a nato m i akibat lesi H I, serta
eva l uasi pengobata n . 3' 13 Hasil pemeri ksaan rad iologis pada H I
terangkum dalam tabel 1 .

Tabel 1 . G a m ba ra n radiologis pada lesi h emangioma i nfant i l *


Radiologic Imaging Characteristics of Infantile Hemangioma
Ultrasonography High flow, low resistance, variable
echogenicity, high vessel density, no
arteriovenous shunting
Computed Lobular soft tissue mass, intensely staining
tomography
Magnetic resonance lsointense {Tl}, hyperintense {T2},
imaging homogenously enhancing soft tissue mass, can
see flow voids within and surrounding IH; no
phleboliths
* Dikutip sesuai asli nya dari kepustakaan no.3

KOMPLIKASI

Sebagian besar kasus H I meru pa ka n kasus tanpa kom pl i kasi


yang tidak membutu h ka n terapi khusus. Tera pi intervensi d ibutu hkan
pada kasus H I dengan lokasi lesi pada a rea tubuh yang dapat meng­
ancam nyawa, dengan u lserasi, dan dapat menimbulkan disfiguring.
U kura n lesi yang besar, lokasi d i wajah, d a n lesi segmental dianggap
sebaga i pred iktor u nt u k t i m b u l nya komp l i kasi. 8

Beri kut adalah kom p l i kasi yang da pat t i m bu l :


1 . Ulserasi
U lserasi merupakan komplikasi HI paling sering d ij u m pa i . 6'8 Hal i n i
da pat menimbulka n nyeri, kesulita n u ntuk makan d a n tidur,
infeksi, perdara han, disfigurement, dan jaringan parut yang
permanen. Komplikasi terutama terjadi pada H I yang berlokasi di
bibir bawah, leher, ata u regio a nogenital, yaitu lokasi yang sering
mengalami friksi dan maserasi . Lesi HI berukura n besar, segmental,
dan tipe campura n adalah jenis H I yang rentan ti mbul komplikasi

141
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Nanny Shoraya

u lserasi. Kem u ngkinan penyebab timbu lnya u lserasi adalah


pertumbuhan lesi ya ng cepat melebihi kapasitas elastis kulit,
suplai darah ya ng berlebi han, d a n tra u m a meka n is. 3 ' 6' 8

2. Hemangioma infantil di periorbital


Komplikasi yang paling sering adalah astigmatisma akibat
penekanan lesi H I pada kornea. Komplikasi lain berupa amblyopia,
stra bism us, keratopati, dan neuropati optik. 8
3. Hemangioma infantil di salura n nafas
Pada lesi H I dengan d istri busi mandibular (area bawah pipi dan
leher) memiliki risiko timbulnya komplikasi sal u ran nafas berupa
kesulitan bernafas dan gaga l nafas. Hemangioma saluran nafas
mulai menimbulkan gejala pada usia 6-12 minggu denga n gejala
batuk, strider, tangisan yang serak, dengan atau tanpa sianosis.
Pasien dengan lesi H I yang berisiko timbul komplikasi saluran nafas,
sebai knya mendapat observasi ketat dalam 6 bulan pertama
kehidupan. 8
4. Hemangioma infantil di organ dalam
Lesi H I non kutan dapat timbul di sa luran cerna, hati, pan kreas,
limpa, dan susunan saraf pusat. Lesi HI kutan m ultifokal merupa kan
prediktor keterli batan organ dalam, meskipun H I pada organ dalam
dapat muncul tanpa ada nya keterlibatan lesi HI kutan. Komplikasi
yang dapat timbul bergantung pada lokasi organ dalam yang terkena
dan dapat berupa perdarahan saluran cerna, gagal jantu ng, ikterik
obstru ktif, dan gangguan susunan saraf pusat. Pemeriksaan USG
hati dianj u rkan untuk a n a k dengan 5 atau lebih lesi H l . 8

5. Anomali dan sindrom yang berkaitan dengan hemangioma infantil


Lesi H I ya ng luas atau segmental pada area wajah dan leher
dika itkan dengan anomali kongenital yang diketahui sebaga i
sindrom PHACE(S), yaitu akronim posterior fossa malformations,
infantile hemangiomas, arterial anomalies (dari pembuluh darah
serebri), cardiac defects/coarctation of the aorta, eye anomalies,
serta sternal malformation/supraumbilical raphe. Diagnosis sindrom
PHACES ditegakkan berdasarka n kriteria mayor dan minor. Sindrom
PELVIS (perinea/ hemangioma, external genitalia malformations,

142
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Hemangioma lnfantil: Tata Laksana Terkini

lipomyelomingocele, vesicorenal abnormalities, imperforate anus,


and skin tag) berisi ko timbul pada pasien H I dengan lesi di perinea!.
Selain itu terdapat pula sindrom SACRAL (spinal dysraphism,
anogenital anomalies, cutaneous anomalies, and renal and urologic
anomalies associated with angioma of lumbosacral localization) dan
sindrom LUMBAR (lower body infantile hemangioma and other
cutaneous defects, urogenital anomalies/ulceration, myelopathy,
bony deformities, anorectal malformation/arterial anomalies, and
renal anomalies) . 4' 8

TATA LAKSANA
Perkembangan pengetahuan mengenai HI telah banya k meng­
alami kemaj uan, sa lah satu diantaranya mengenai pilihan tata laksana.
Sejak hasil laporan penggunaan propranolol sebagai terapi dalam HI
pada bayi diterbitkan di dalam j u rnal New England Journal of Medicine
tahun 2008, terdapat pergeseran pengobatan menggunakan beta
bloker sebagai terapi standar pada H I . Pasien HI saat ini lebih ba nya k
memiliki pilihan pengobata n dibandingka n satu dekade sebe l u m nya .
Beri kut adalah pilihan pengobatan pada H I :

l . Active non-intervention
Merupakan "terapi" yang tepat pada sebagian besar kasus H I,
mengingat siklus perkembangannya yang akan mengalami involusi
spontan dan bertahap seiring waktu. lstilah active non-intervention
memiliki implikasi bahwa dokter yang menangani kasus ini sebaiknya
memberikan edukasi mengenai perjalanan penyakit, pilihan terapi dan
indikasinya, memberikan duku ngan emosional, serta langkah-langkah
antisipasi bila terdapat keluhan lesi H I . Dokumentasi serial cukup penting
dilaku kan untuk memperlihatkan p roses i nvolusi spontan lesi H I kepada
orangtua pasien. Selain itu terdapat sumber informasi lebih lanj ut
mengenai H I yang dapat d i a kses mela l u i : Hemangioma Investigator
Group (www.hemangiomaeducation.org), Vascular Birthmark Foundation
(www.birthmark.org), atau National Organization of Vascular Anomalies
4
(www.novanews.org) .

143
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Nanny Shoraya

2. Kortikosteroid oral
Sebelum adanya laporan penggunaan beta bloker pada pasien HI,
kortikosteroid oral meru pa kan pilihan utama pengobatan H I yang
mengalami komplikasi atau berpotensi menimbulkan disfigurement
sejak tah u n 1960-a n . 4' 6'8 Mekan isme kerja belum d i keta h u i pasti,
diduga kortikosteroid memiliki efek biologik pada lesi H I yaitu berupa
up-regulation mitokondria sitokrom b, clusterin/ApoJ (petanda
apoptosis) dan/atau i nterleukin 6. 14 Kortikosteroid oral efektif saat fase
proliferatif dengan dosis prednison atau prednisolon yang diberikan
adalah 2-4 mg/kgBB/hari.4 Pasien yang diberikan dosis predn isolon 3
mg/kgBB/ha ri ditem u kan lebih efektif daripada dosis 2 mg/kgBB/hari. 15
Durasi pemberian kortikosteroid dapat beberapa bulan kemudian di
turu n kan bertahap untuk menghindari efek rebound. Bila dituru n ka n
terlalu . cepat pada fase prol iferatif m a ka dapat t i m b u l rebound
growth d a n supresi adrenal. 4' 8
Efek samping yang ditimbulkan pada penggunaan kortikosteroid oral
pada bayi dengan H I dapat berupa insomnia, irritability, fussiness,
h ipertensi, kadar kortisol pagi yang abnormal, cushingoid facies, iritasi
lambung, infeksi kandida pada area popok, dan gangguan
pertumbuhan. 4' 16' 17 Terda pat laporan kasus i nfeksi Pneumocystis carinii
pneumonia (PCP) pada pasien H I yang mendapat terapi kortikosteroid
untuk H I saluran nafas. 18 Beberapa ahli merekomendasikan
penggu naan p rofi l a ksis ora l tri metoprim/ su lfa metoksazol selama
pem berian tera pi kort i kosteroid untuk pencega han PCP. 4' 18
Pada penelitian N ieuwe n h u i s d kk. 19 ditem u ka n bahwa korti ko­
steroid oral efektif d a n a m a n pada pemberian jangka pendek untuk
HI sebagai a lternatif bila p ropranolol tidak d a pat diberikan atau tidak
berespons baik. Pada pemberian korti kosteroid oral ja ngka panjang
i nterm itten d a n dosis tinggi (3 mg/kgBB/hari) dengan dosis kumu latif
yang rendah, d i l a porkan efektif dan tidak dite m u ka n efek samping
ya ng berat.
3. Kortikosteroid intralesional dan topikal
Kortikosteroid i ntra lesion a l da pat d igunaka n u ntuk lesi HI
superfisial, ukuran kecil, dan lokalisata . Triamsi nolon asetonid 10
mg/m l d a pat d igunaka n dengan 3-6 i njeksi yang d i u lang dalam 2-4

144
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Hemangioma l nfantil: Tata Laksana Terkini

mi nggu dan dosis tidak melebihi 3-5 mg/kgBB/tera pi. Sebanya k 85%
lesi HI menga l a m i red u ksi vol u m e sebesar 50%. Penggunaan
korti kosteroid i ntralesional pada a rea okular sebai knya sa ngat hati­
hati karena efek samping yang dapat timbul berupa oklusi a rteri retina,
nekrosis kelopak mata, atrofi kul it, dan supresi adrenal. 8•20
Korti kosteroid topikal superpoten da pat d iberikan pada lesi H I
su perfisial berupa makula, plak tipis, lesi berisiko u lserasi, d a n lesi
perioku lar berukuran kecil. 4' 8' 21' 22 G a rzon d kk. 22 mela porkan
penggunaan kortikosteroid topikal pada lesi HI su perfisial, dalam, dan
campuran dengan hasil sebanya k 74% pasien H I memberikan respons
baik, yang didefinisikan sebagai penurunan pertum buhan, lesi mengecil,
mendatar, dan warna semakin memudar.

4. Beta bloker oral


Propranolol perta ma kali "diperkenalkan" sebagai pilihan
pengobatan pada H I dengan komplikasi pada tah u n 2008. Pada laporan
tersebut dida patka n perba i ka n lesi HI pada 2 a n a k ya ng d i berikan
propra nolol sistemik untuk i nd i kasi kela i n a n jantung ya ng seca ra
kebetulan j uga m e m i l i ki lesi H l . 4'8 Setelah itu banyak laporan kasus
maupun penelitian d i la ku ka n u ntuk menilai efektivitas, kem a n a n, dan
tolerabil itas propra nolol untuk tera pi HI. Dalam beberapa ta h u n
setelah diperke n a l kan, propranolol menjadi tera p i standar yang
ba nya k digunakan dalam tera pi H l . 8
Propranolol adalah agen si ntetik f3 adrenergic receptor-bloking
agent yang bersifat nonselektif karena mengha m bat reseptor �1 dan
�2. Obat i n i memil iki efek m e n u ru n kan tekanan dara h dan deta k
ja ntu ng. P ropra nolol bersifat l i pofi l i k ya ng menga l a m i m eta bolisme
pertama di hati dan sekita r 25% propranolol a ka n bereda r dalam
sirkulasi siste mik. Propranolol j uga menga l a m i meta bolisme d i
sitokrom P450 mela l u i berbagai j a l u r, sehingga berpotensi untuk
mengalami i ntera ksi obat. 23
lndikasi pemberian propranolol adalah pada lesi H I yang
berpotensi timbul komplikasi m isa l nya ulserasi, gangguan alat vital
(mempengaru hi fungsi penglihatan atau obstruksi jalan nafas), dan
risiko timbulnya disfigurement. 23'24 Sedangkan kontraindikasi pemberian
propranolol antara lain adalah syok kardiogenik, hipotensi, sinus

145
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Nanny Shoraya

bradikardia, kondisi blok jantung lebih besar d ari ti ngkat pertama, gagal
jantung, asma b ro n ki a l, d a n hipersensitif terhadap propra nolol
h i d roklorid a . Sehi ngga sebel u m pemberian propra nolol dianj urkan
u ntuk melakuka n a n a m nesis dan pemeri ksaan j antu ng dan paru. 23
Konsensus grup merekomedasikan pemberian propranolol
dengan dosis 1-3 mg/kgBB/hari dan sebagian besar menyara n kan
pemberian 2 mg/kgBB/hari d i bagi dalam 3 dosis dengan jara k minimal
pem berian obat 6 ja m . Pemberian dengan dosis rendah dahulu
kem u d i a n d i n a i kkan secara bertah a p d i rekomendasikan mengingat
peningkatan dosis bertahap diperlukan dalam pemberian propranolol
dan seri ngkali HI memberika n respons yang cukup cepat pada dosis
yang rendah. 23 Propranolol tersedia dalam bentuk propranolol
hidro klorida oral solusio (20 mg/5 ml d a n 40 mg/5 m l ) dan bentuk
tablet 10 mg. 23 Efek samping yang paling sering timbul antara lain
adalah h ipotensi asim ptomatik, gangguan paru (bronkokonstriksi,
bronkiolitis, wheezing, pulmonary obstruction, episode apneu),
hipoglikemia, bradikardia asimptomatik, perubahan pola tidur
(gangguan tidur, insomnia, mimpi buruk, lelah), somnolen, diare,
refl u ks gastroi ntestinal, d a n e kstrem itas dingin. 23• 25• 26

5. Beta bloker topikal


Keberhasi l a n propra nolol oral menjadi pemicu d igun a kannya
beta bloker topikal u ntuk kasus H I . Efektifitas dan keamanan nya
cuku p banyak diteliti. Chan d kk. 27 dalam studi randomized controlled
trial ( RCT) mendapatka n bahwa gel timolol m aleat 0,5% dengan dosis
m a ks i m a l 0,5 mg/ha ri, a ma n dan efektif u ntuk pengobatan lesi HI
kecil yang superfisial tanpa u lserasi dan tidak terdapat pada permukaan
mukosa. Terdapat laporan bahwa timolol maleat 0,5% gel forming
solution merupa kan alternatif propranolol oral u ntuk lesi H I ulserasi
yang memiliki u kuran hingga 3 cm. Meskipun demikian direkomendasikan
untuk melaku ka n anamnesis komprehensif, pemeriksaan fisik, dan an
efek sa m p i ng. 2 8
Beta bloker topikal yang tersedia adalah timolol maleat gel
forming solution 0,1% ata u 0,5% ya ng dioleska n 2 kal i sehari
sebanyak 1-2 tetes. Efek sa mping siste m i k yang da pat terjadi adalah
b ra d i ka rdia d a n h iperea ktif bro n kus. Meka n isme kerja diduga melalui

146
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Hemangioma l nfantil : Tata Laksana Terkini

penurunan e kspresi vascular endothelial growth factor (VEG F), basic


fibroblast growth factor, i n d u ksi a po ptosis, d a n vasokonstriksi. a

6. Vincristine
Vincristine adalah i n h ibitor m itosis sel d a n pembentukan
mikrotubular, memiliki efek anti-angiogenesis, dan induksi a poptosis
tumor dan sel endotel seh i ngga diduga m e m i l i ki peranan dalam
tera pi HI. Sebel u mnya obat i n i d igunaka n pada kasus H I yang resisten
atau dengan kontrai n d i kasi pem berian korti kosteroid. Setelah
propra nolol ba nyak d igu n a ka n sebaga i tera p i sta ndar, penggunaan
vincristine m u la i menuru n . Vincristine d iberika n secara i ntravena
(central venous line) denga n dosis 0,005-1,5 mg/m 2, 1 kal i sem inggu
dengan total pemberian 3-4 kali dan i nterval 1-3 m i nggu . Efek samping
yang dapat timbul neu rotoksisitas, leukopenia, dan a ne m i a . a

7. Interferon-a
I nterferon-a pada bebera pa laporan kasus d item u ka n efektif
u ntuk lesi HI yang menga nca m j iwa . Efek sa m p i ng ya ng d a pat timbul
adalah neurotoksisitas i revers i bel, demam, mala ise, neutropen ia, dan
ga ngguan enzim hat i . Obat i n i tidak d irekomendasikan u ntuk
d i berikan pada bayi berusia ku rang 1 tahun, namun d a pat d i berikan
pada bayi berusia lebih d a ri 1 tahun dengan lesi HI menga nca m j iwa
dan tidak berespons dengan pilihan tera p i lain. M ekanisme kerja
diduga melal u i efek a nti-angiogenesis d a n i n h i bisi basic fibroblast
growth factor. a

8. Pulse dye laser

Penggunaan pulse dye laser ( POL) pada lesi H I fase pro l iferasi
masih kontrove rsia l . Mod a l itas i n i d apat d igunaka n pada lesi H I
residual, teruta ma telangiektasia d a n e ritem a pasca-involusi. POL
efektif d igunaka n pada lesi u l serasi, terutama m e n u ru nkan nyeri, dan
memperpendek waktu reepitelisasi. Efek sam ping POL termasuk, skar,
atrofi kulit, h ipopigmentasi, d a n u lserasi. a

9. lmiquimod
Terdapat studi kasus tentang penggu naan krim i m i q ui mod 5%
u ntuk lesi HI dengan hasil efektif u ntuk lesi HI su perfisial tan pa

147
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Nanny Shoraya

kompl ikasi pada pasien a n a k dengan rerata usia 18 mi nggu. Krim


imiquimod 5% topika l diberikan 3-5 kal i dalam seminggu selama durasi
rerata 17 minggu . Mekanisme kerja imiqu imod meli puti produksi
interferon, tumor necrosis factor-a, dan antiangiogenesis factor tissue
inhibitor of matrix metalloproteinase. Meskipun begitu d ibutuhkan
penelitian lebih lanjut dengan jumlah sampel penelitian yang lebih besar
dan perbandingan dengan modalitas topikal lainnya untuk melihat
efikasi dan keamanan imiquimod topika l pada lesi HI.

10. Tindakan bedah


Ti ndaka h bedah berupa eksisi, teruta ma dilaku kan u ntuk meng­
h i langkan lesi residual HI, berupa fibrofatty tissue dan ska r. lndikasi
tindakah bedah dilakukan secara dini adalah pada lesi HI yang
mengancam jiwa dan lesi disfiguring yang tidak dapat diberikan atau
gagal terapi dengan obat fa rma kologik. 8

PENUTU P

Dalam satu dekade terakhir penelitian mengenai modal itas


pengobatan H I semakin banyak ditemukan, terutama sejak dila porkan
keberhasilan tera pi dengan menggunakan propranolol. Pilihan
pengobata n HI cukup beraga m, m u l a i dari terapi operatif dan non­
operatif. Diharapkan dengan adanya penelitian dan konsensus terapi H I,
para dokter yang menangani kasus H I da pat memberika n pengobatan
yang optimal sesuai kondisi pasien dengan mem perhatikan efektifitas,
keamanan, dan tolerabilitas modal itas terapi yang diberi kan.

DAFTAR PUSTAKA
1. Haggstrom AN, Frieden IJ . Hemangioma : Past, present, and future. J Am Acad
Dermatol. 2004; 5 1(Suppl 1) :550-52.
2. Brukcner AL, Frieden IJ. I nfa ntile hemangioma J Am Acad Dermatol. 2006;
55 :671-82.
3. Puttgen KB. Diagnosis and management of infantile hemangiomas. Pediatr
Clin N Am. 2014; 61 :383-402 .
4. Paller AS, Mancini AJ . Vascular disorders of infancy and child hood. Dalam:
H u rwitz clinical pediatric dermatology. A textbook of skin disorders of
child hood and adolescence. Edisi ke 5. Edinburg: Elsevier; 2016. h. 279-91.

148
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Hemangioma lnfantil: Tata Laksana Terkini

5. Mathes E F, Frieden IJ . Vascular tu mors. Dala m : Goldsm ith LA, Katz SI,
Gi lch rest, Paller AS, Leffel l DJ, Wolff K. Fitzpatrick's d ermatology in general
medicine. Ed isi ke 8. N ew York: McGrawHill; 2012. h . 2361-74.
6. Bruckner AL, Frieden IJ. Infantile haema ngiomas and other vascu lar tu 1X1ours.
Dalam: l rvie A, Hoeger P, Ya n A. Harper's textbook of pediatric dermatology.
Ed isi ke 3. West Sussex:Willey-Blackwell; 2011. h. 1 1 3 . 1- 1 13 . 19.
7. Diana IA. Anoma l i vasku lar dan tumor vaskular. Dalam: Boediardja SA, Diana
IA, Danarti R, Sugito TL, Agustin T, Rah mayunita G . Aplikasi praktis: Diagnosis
dan tata la ksana dermatologi anak. Edisi Ke-1. Ja karta : KSDAI; 2016. h. 275-86.
8. Kwon EKM, Seefeldt M, Drolet BA. I nfa ntile h ema ngioma : An update. Am J
Clin Dermatol. 2013; 4 : 1 1 1-23.
9. Leaute-Labreze C , Du mas d e la Roque E , H u biche T, Bora levi F , Tha mbo J B,
Taieb A. Propranolol for severe hemangioma of infancy. N Engl J Med .
2008; 358(24): 2649-5 1.
10. Chakkittakandinyil A, Philips R, Frieden IJ, Siegfried E, Corrales I L, Lam J, dkk.
Timolol Maleate 0,5% or 0,1% Gel Forming Solution for Infantile Hemangiomas: A
Retrospective, Multicentre, Cohort Study. Pediatr Dermatol. 2012;29{1): 28-31.
11. Goelz R, Poets CF. Incidence and treatment of infantile hemangioma in
preterm infants. Arch Dis Child Feta l N eonata l . 2015; 100: F85-9 1.
12. Kanada KN, Merin M R, Munden A, dkk. A prospective study of cutaneous
fi ndi ngs in newborns in the U n ited States: Correlation with race, eth n icity, and
gestational status using u pdated classification and nomenclatu re. J Pediatr.
2012; 161(2) :240-5.
13. Kutz AM, Aranibar L, Lobos N, Wortsman X. Color Doppler Ultrasound Follow­
Up of Infa ntile Hema ngiomas and Peripheral Vascu la rity i n Patients Treated
with Propranolol. Pediatr Dermatol 2015; 32(4): 468-75.
14. Hasan Q, Tan ST, Xu B, Davis PF. Effects of five commonly used gl ucocorticoids
on hemangioma in vitro. Clin Exp Pharmacol Physiol . 2003;30: 140-4.
15. Bennet M L, Fleischer AB, Cha mlin SL, Frieden IJ. Ora l corticosteroid use is
effective for cutaneous hemangioma. Arch Dermato l . 2001;137:1208- 13.
16. Goerge ME, Sharma V, Jacobson J, Simon S, Nopper AJ . Adverse effects of
systemic gl ucocorticosteroid therapy in infants with hemangioma. Arch
Dermatol. 2004; 140:963-9.
17. Boon LM, MacDonald OM, Mu lliken JB. Complications of systemic corticosteroid
therapy for problematic hemangioma. Plast Reconstr Surg. 1999;104: 1616-23.
18. Aviles R, Boyce TG, Thompson OM. Pneumocystis carinii pneumonia in a 3-
month-old infant receiving high-dose corticosteroid thera py for airway
hemangioma. Mayo Clin Proc. 2004;79:243-5.
19. Nieuwanh uis K, de Laat PCJ, Janmoha med SR, Madern GC, Oranje AP. I nfa ntile
Hemangioma : Treatment with short course systemic corticosteroid therapy as
an alternative for propranolol. Pediatr Dermatol. 2013;30( 1 ) : 64-70.
20. Chen MT, Yeong E K, Horng SY. lntra lesional corticosteroid thera py in
proliferating head and neck hemangiomas: A review of 155 cases. J Ped iatr
Surg. 2000;35:420-3

149
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Nanny Shoraya

21. Cruz OA, Zarnegar SR, Myers SE. Treatment of periocular capillary hemangioma
with topical clobetasol propionate. Ophtalmology. 1995;102:2012-5.
22. Garzon MC, Lucky AW, Hawrot A, Frieden IJ. U ltrapotent topical corticosteroid
treatment of hema ngioma of i nfancy. J Am Acad Dermatol . 2005;52:281-6.
23. Drolet BA, Frommelt PC, Chamlin SL, H aggstrom A, Bauman N M, Chiu YE.
In itiation and use of propranolol for infantile hemangioma: Report of a
consensus conference. Pediatrics. 2013; 131(1): 128-40.
24. Saint-Jean M, Leaute-Labreze C, Hautier JM, Bodak N, Ha mel-Teillac D,
Bessaguet I K, d kk. J Am Acad Derm. 2011;64:827-32.
25. Marqueling AL, Oza V, Frieden IJ, Puttgen KB. Propranolol and infantile hemangioma
four years later: a systemimatic review. Pediatr Dermatol. 2013;30(2):182-91.
26. De Graaf M, Breur J M PJ, Raphael M F, Vos M, Breugmen C, Pasmans SGMA.
Adverse effects of propra nolol when used in treatment of hemangiomas: A
case series of 28 infants. J Am Acad Dermatol. 2011;65:320-7.
27. Chan H, McKay C, Adams, S, Wargon 0. RCT of timolol maleate gel for superficial
infantile hemangiomas in 5-to24-weeks-olds. Pediatrics. 2013;131:e1739-46.
28. Castelo-Soccio L. Experience with topical timolol maleate for the treatment of
ulcerated i nfantile hemangioma ( I H ) . J Am Acad Dermatol . 2016;74(3):567-70.
29. Ho NTC, La nsang P, Pope E. Topical imiquimod in the treatment of infa ntile
hemangiomas: A retrospective study. J Am Acad Dermatol . 2007;56(1) :63-8.

150
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
TERAPI FAKTOR PERTUMBUHAN AUTOLOG
PADA ULKUS KRONIK

Adi Satriyo

PENDAHULUAN

Penyembuhan I u ka ( wound healing) adalah proses yang


melibatkan banya k sel d a n sitokin, termasuk fa kto r pert u m b u h a n
(growth factor). Faktor pertu m b u h a n merupakan suatu kelompok
sitokin yang fungsi utam anya adalah mengi n d u ksi m itosis sehingga
berpera n penting pada sem u a tahap penye m b u h a n I u ka . Selai n
menciptaka n l ingkungan o ptim a l u nt u k proses penye m b u h a n I u ka,
penambahan faktor pert u m b u h a n secara e ksternal juga m a m pu
mengi nduksi dan mem percepat p roses penyembuhan l u ka . 1 -3 U l ku s
kronik relatif su l it s e m b u h ka rena adanya h a m bata n pada s a l a h satu
tahap penyembuhan I uka dan hal tersebut dapat d isebabka n oleh
rendah nya kadar faktor pertu m b u h a n . 1'4'5
Oleh sebab itu, banyak ahli yang mengekstraksi faktor
pertumbuhan tersebut dari tubuh pasien sendiri (faktor pertumbuhan
autolog) u ntuk d i pa ka i dalam proses penyembuhan I u ka . Salah satu nya
dan yang paling sering d igu n a ka n ialah pemanfaatan konsentrat
trom bosit dalam bent u k plasma kaya tro m bosit ( P KT) ata u platelet­
rich plasma dan fibrin kaya trombosit ( F KT) ata u platelet-rich fibrin. 6-8

PROSES PENYEMBUHAN LUKA

Luka adalah gangguan a natomi dan fungsi kulit normal karena


cedera jari ngan yang mengakibatkan diskontinuitas epitel dengan atau
tanpa hilangnya jaringan i kat di bawahnya. Sementara itu, penyem­
buhan adalah proses kompleks serta d inamis yang menghasilka n
pemulihan kontinuitas anatom i d a n fungsi. Penyembuhan Iuka pada
kulit merupakan proses biologis yang kompleks d a n timbul segera
setelah terjadinya Iuka . Proses penyembuhan Iuka dapat dibagi menjadi
tiga tahap uta ma, ya itu tahap infla masi, prol iferasi, d a n maturasi. 2'9' 10

151
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Adi Satriyo

PERAN FAKTOR PERTU MBUHAN PADA PENYEMBUHAN LUKA

Proses penyembuhan Iuka dikoordinasi oleh faktor pertumbuhan


ya ng disekresikan oleh ba nyak sel, a ntara lain trom bosit, makrofag,
fibroblas, dan endotel . Beberapa faktor pertumbuhan yang berperan
pada penyembuhan Iuka meliputi platelet-derived growth factor (PDGF),
transforming growth factor (TGF-�), basic fibroblast growth factor (bFGF),
vascular endothelial growth factor (VEGF), epidermal growth factor
(EG F), dan insulin-like growth factor (IGF). P�pa penyembuhan Iuka,
faktor pertumbuhan berperan untuk: (1) memicu migrasi sel radang ke
tempat Iuka (kemota ksis); (2) memicu proliferasi dan diferensiasi epitel;
(3) memberikan efe� mitogenik pada sel mesodermal yang ditandai
dengan angiogenesis dan �embentukan jari ngan granulasi; serta (4)
memicu proses degradasi dan pembentukan kolagen. 3
Lebih jauh, berbagai faktor pertumbuhan tersebut tu rut berperan
penting pada semua fase penyembuhan l u ka . 4• 5 Selain menciptaka n
lingkungan yang optimal pada proses penyembuhan ulkus, penambahan
fa kto r pertumbuhan j uga la ngsung mengi nduksi dan mempercepat
p roses penyembuhan I u ka a kut m a u p u n kro n i k. Beberapa penelitian
memperlihatkan bahwa faktor pertu mbuhan da pat mempercepat
penyembuhan I u ka a kut, m isa lnya pada daerah donor tandur kul it,
Iuka baka r a kut, dan Iuka pasca-biopsi plong. 3 Pada dasa rnya, ulkus
kronik meru pa kan lesi ya ng sulit sem buh karena kerap terjadi hambatan
pada satu atau lebih tahap penyembuhan Iuka . Hal tersebut da pat
d isebabkan oleh rendah nya kadar fa ktor pertumbuhan. 4' 8 Melalui
studi eksperimental d i keta h u i ba hwa h a m batan penyem buhan u l kus
kronik utamanya terjadi a kibat penurunan sintesis, peningkatan
degradasi, d a n inaktivasi fa ktor pertumbuhan seh ingga pemberian
faktor pertumbuhan diharapkan dapat memperbaiki masalah tersebut. 10
Tida k ha nya itu, fa kto r pertumbuhan juga berfungsi sebaga i mediator
i nteraksi sel-sel d a n sel-matriks ya ng m e m icu prol iferasi sel punca
dan mesenkimal di daerah Iuka sehi ngga bermanfaat untuk menimbul­
kan jaringan granulasi pada tahap awal penyembuhan Iuka kronik. 11

152
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Terapi Faktor Pertumbuhan Autolog pada Ulkus Kronik

TROMBOSIT DAN FAKTOR PERTU M BUHAN

Trom bosit adalah peca han sitoplasma megakariosit ya ng ber­


sirkulasi dalam dara h . Trombosit tida k memiliki n u kleus, tetapi
mempu nyai organel lain, yaitu mitokondria, mikrotubulus, dan berbagai
granula aktif (a, 8, dan A.). Sebuah granula a memiliki lebih dari 30
protei n bioaktif, di a ntara nya adalah fa ktor pert u m b u h a n . Berbaga i
protein bioaktif ya ng ada di dalam gra n u l a a akan d i lepaskan setelah
trombosit tera ktivasi dan menga l a m i peruba han bentuk. Zat yang
da pat mengaktivasi trom bosit disebut agonis trombosit, misalnya asa m
arakidonat, kalsium, adenosin difosfat, trombin, adrenalin, kolagen, dan
ristoseti n . Setelah trombosit tera ktivasi, gra n u l a a a ka n menempel
pada membran sitoplasma trombosit dan mengeluarkan berbagai
protein bioaktif yang dimilikinya, termasuk faktor pertumbuhan. 1' 12• 13
Berbagai faktor pertumbuhan penting di dalam trombosit di antaranya
adalah PDGF, TG F-�, b F G F, VEG F, EGF, serta IGF. 6

PEMANFAATAN KONSENTRAT TROM BOSIT UNTUK PENYEMBUHAN


LUKA
Dalam dunia kedokteran, konsentrat trombosit pertama kali di­
gunakan untuk pencega han dan pengobatan perdarahan a kibat
tombositopenia. Konsentrat trombosit mulai digunakan untuk mem­
4
bantu penyembuhan I u ka sejak lebih dari 2 5 tah u n . 1 Sediaan trombosit
yang dia ngga p berma nfaat untuk penye m b u h a n I u ka memiliki
konsentrasi trombosit d i atas 1.000.000/ m l atau 4-5 ka l i d i atas nilai
normal trombosit pada whole blood. 9 Sed iaan konsentrat trom bosit
ya ng perta ma ka l i digunaka n u nt u k penye m b u h a n I u ka adalah P KT.
Terda pat berbaga i metode pemb uatan P KT dengan menggu nakan
alat komersial khusus untuk mem buat P KT atau mesin sentrifugasi
biasa. Pada dasa rnya, P KT di buat de ngan sentrifugasi bertingkat
dengan tambahan a nti koagu lan dan a ktivator trom bosit. Meskipun
sa ngat berma nfaat, P KT j uga m e m i l i ki beberapa keterbatasan, antara
lain ( 1) fa ktor pert u m b u h a n di lepaskan secara ce pat dalam j u m l a h
besa r, tidak terkontrol, dan a ka n segera terdegradasi seh i n gga
efeknya tidak bertahan lama; (2) metode pembuatan nya cukup s u l it
dan menyita waktu (30-60 menit) karena h a rus d isentrifugasi dua

153
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Adi Satriyo

ka li; d a n (3) terda pat risiko dermatitis kontak serta rea ksi a le rgik
karena ada nya zat kimia tambahan ya ng d igunaka n . 14
Sementara itu, F KT adalah konsentrat trombosit di dalam suatu
biomatriks fibrin autolog. 9' 15 FKT merupakan suatu matriks yang berisi
berbagai elemen selular dan molekular seh ingga proses penyembuhan
Iuka dapat berlangsung optimal. 16 Terdapat beberapa istilah lain untuk
F KT, a ntara lain leucopatch; platelet-rich fibrin matrix; dan platelet­
rich fibrin membrane. 14' 17 F KT d a pat d iangga p sebagai konsentrat
trombosit gene rasi kedua yang diciptakan u ntuk mengatasi keter­
batasan P KT. Matriks fi brin sebagai bahan pem bawa konsentrat
trom bosit a ka n mengikat fa ktor pertu m b u h a n seh i ngga faktor per­
tumbuhan a kan dilepaskan secara perlahan dalam jangka waktu lama.
Di sepanjang matriks fi brin juga terda pat deposit gl i kosa minoglikan
(hepari n d a n asam h i a l u ronat) ya ng m e m i l i ki afin itas kuat terhadap
fa ktor peru m b u h a n . Terikatnya faktor pertumbuhan pada fi brin juga
a ka n m e l i n d u nginya d a ri degradasi. 15' 18 He d kk. 19 menemuka n ba hwa
kadar TGF-13 yang d ilepaska n F KT pada hari ke-7 dan ke-14 lebih tinggi
j i ka dibandingkan h a ri pertama, d a n m u l a i menurun sesudahnya .
Kada r TG F-13 ya ng d i lepaskan P KT paling ti nggi pada h a ri perta ma dan
m e n u ru n d rastis sesudah nya serta lebih rendah seca ra signifika n jika
dibandingkan dengan kad a r TGF-13 pada F KT. F KT h i ngga hari ke-14
masih da pat mem icu p rolife rasi d a n diferensiasi osteoblas dengan
m a ksimal, sedangkan PKT tidak.
FKT dapat dibuat dengan berbagai metode, sa lah satunya metode
Chou kro u n d kk. 20 ya ng berkem ba ng pesat sejak ta h u n 2001. Hal ini
dise ba bkan oleh p roses pengolah a n yang mudah d a n si ngkat ( 15-30
men it) ka rena hanya menga lami satu ka li sentrifugasi, da pat
menggunaka n mesin sentrifugasi b iasa, dan tidak mem butuhkan zat
kimia ta mbahan sebagai a ntikoagulan ata u a ktivator trombosit
sehi ngga tidak m e n i m b u lka n rea ksi i ritasi atau alergik. 14' 15' 21

FAKTOR PERTU MBUHAN DAN U LKUS KRONI K


U l kus a d a l a h hilangnya jaringan kulit hingga atau lebih dalam
dari papila dermis. Dengan demikian u l kus memiliki tepi, dind ing,
dasar, dan isi.22 U lkus kronik sulit sembuh karena hambatan pada salah

154
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Terapi Faktor Pertumbuhan Autolog pada U l kus Kronik

satu fase penyembuhan luka .4 Hal ini bisa disebabkan oleh rendahnya
kadar berbaga i faktor pert u m b u h a n yang d isekresikan tro mbosit. 1' 24
Studi eksperimental menunjukkan bahwa keadaan tersebut disebabkan
oleh penurunan si ntesis, peni ngkatan degradasi, d a n inaktivasi fa ktor
pertumbuhan, sehingga pem berian P KT d i h a ra pka n da pat memper­
baiki masalah tersebut. 25 Faktor pertumbuhan dalam PKT juga berfungsi
sebagai mediator intera ksi sel -sel dan sel-matriks yang memicu proli­
ferasi sel punca dan mesenkimal di daerah Iuka sehingga berma nfaat
u ntuk menimbulka n jaringan gra nulasi pada fase awa l penyem buhan
I u ka kro n i k. 11
Crovetti dkk. 25 mela porka n efektivitas tera pi topikal konsentrat
trombosit dalam bentuk gel pada 24 kasus ulkus kronik dengan berbagai
etiologi misalnya dia betes melitus, tra u ma, neuropati, i nsufisiensi
vaskular, h ingga vasku l itis. Seba nyak sem bilan pasien m enga lami re­
epitelisasi sempu rna, selebihnya menga l a m i pengurangan ukura n
I u ka > 50% u ku ra n I u ka sebe l u m pengobata n . Sebuah uj i kli n is acak
terkontrol ya ng d i la ku ka n Knighton d kk. 26 j uga mendapatka n has ii
81% subjek ya ng mendapatka n PKT m engalami re-epitelisasi sempurna
di bandi ngka n dengan kelompok kontrol ya ng hanya 15%. La m a rawat
inap pasien u l kus kron ik yang d itera p i dengan P KT j uga lebih si ngkat
dibandingka n dengan kontrol (3 1,5 hari vs. 52,5 hari). 27 Penelitian
prospektif oleh Knighton dkk. 28 terhadap 49 pasien u lkus kronik dengan
berbagai etiologi dan lokasi j uga m e n u nj u kka n efe ktivitas P KT. Rerata
waktu yang diperlu kan u ntuk menca pa i re-epitelisasi sempurna adalah
10,6±6, 1 m i nggu dan tidak berga ntung pada u sia pasien, d u rasi
terjadi nya u l kus, ataupun lokasi a nato m i k u l kus. O'Co n n e l l d kk. 4
meneliti efek pem berian konsentrat trombosit terhadap 2 1 pasien
ul kus kronik di tu ngkai bawa h (12 pasien u l kus venosum dan 9 pasien
ul kus non-venos u m ) ya ng tidak berespons dengan pengo batan
konvensional. Kesembuhan sempurna dialami seba nya k 66,7% pasien
ul kus venosum dan 44% pasien u lkus n on-venosum selama 12 m i nggu
perawatan . P KT j uga dapat dikombinasikan dengan tandur kulit u ntuk
mengatasi u l kus kro n i k yang besar. 29
Studi kohort retrospektif M a rgoli s d kk. 30 m e n u nj u kka n bahwa
u lkus dia betikum yang d itera p i dengan konsentrat trom bosit (dengan
ata u tanpa kontrol ) memiliki peluang sem b u h 14%-59% lebih besar

155
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Adi Satriyo

jika diobati dengan pena mbahan konsentrat trom bosit. Hasil tersebut
d i d u kung dengan telaah sistematik pada berbagai uj i klinis acak
terkontrol oleh Villela dan Sa ntos 31 ya ng menyi m p u l kan ba hwa PKT
mempercepat penyembuhan u l kus dia beti ku m . Penelitian p rospektif
Atri d kk. 32 j uga m e n u nj u kka n efektivitas PKT u ntuk men i m b u l kan re­
epitelisasi pada u l kus dia beti ku m d a n u l kus venosum { 100% pada
kelompok studi vs. 11% pada kelompok kontrol). Driver dkk. 33 melakukan
i ntervensi uj i klinis terkontrol m u ltisentra u ntuk mengevaluasi
efektivitas P KT terhada p u l kus pasien D M tipe 1 dan 2 . Studi tersebut
menemuka n a ngka kese m b u h a n lebih tinggi pada kelompok studi
dibandingkan dengan kontrol (68,4% vs. 42,9%) dan waktu penyem­
buhan j uga lebih singkat pada kelompok studi d iba ndingkan dengan
kelompok kontrol (42,9 hari vs. 47,4 hari).
Meski p u n tela h ba nya k penelitian ya ng mendukung efektivitas
PKT pada tata laksana ulkus, meta-analisis yang dilakukan oleh
Martinez-Zapata dkk. 34 mengatakan bahwa banya k penelitian tersebut
meru pa kan studi penda h u l u a n (preliminary study) yang memiliki
kua l itas yang kurang baik m e n u rut kaidah evidence-based medicine
dan ha nya beberapa saja ya ng merupakan uji klinis terkontrol . Meta­
ana l isis tersebut menyi m p u l ka n P KT m u ngkin da pat dimanfaatkan
u ntuk tata l a ksana u l kus dia betikum kron i k, n a m u n masih di perl u kan
berbagai uj i klinis terkontrol dengan kualitas lebih ba i k u ntuk melihat
efektivitas P KT pada tata laksa na u l kus kro n i k denga n etiologi lain.
Sementara u ntuk penggu naan konsetrat F KT, beberapa la poran
seri kasus (case series) telah mema parka n tenta ng efektivitas agen
tersebut pada u l kus kro n i k dengan berbaga i etiologi yang tidak
sembuh dengan pengo bata n konvension a l . Steenvoorde dkk. 23 men­
da patka n ang ka kesem b u h a n 62% dengan rerata masa pengobatan
4,2 m i nggu dan tidak menemukan efek sa mping apapun penggunaan
F KT. Jorgensen d kk. 17 j uga meneliti efektivitas pemberian konsentrat
F KT tiap m i nggu sela ma enam m i nggu pada 15 pasien u l kus kronik
dan menda patka n rerata pengeci lan I u ka sebesa r 64, 7% dengan
4
em pat I u ka ( 3 1%) sem b u h sempurna. Selain itu, O'Connell d kk. juga
menemukan efektivitas konsentrat F KT untuk mempercepat
penyembuhan ul kus kronik non-venosu m pada tu ngka i bawah dengan
angka kesem b u h a n sebesar 3 1% dengan rerata masa pengobatan 7, 1

156
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Terapi Fa ktor Pertumbuhan Autolog pada Ulkus Kronik

mingg u . O'Connell menyebutkan sebuah studi oleh Gosch d kk. 35


tahun 2007 menda patkan tingkat kesem b u h a n 100% pasien u l kus
neu ropatik DM dengan pengobatan konsentrat F KT selama 12 minggu.

BERBAGAI FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KUALITAS SEDIAAN DAN


HASIL TERAPI KONSENTRAT TROMBOSIT AUTOLOG
J u mlah fa ktor pert u m b u h a n ya ng terdapat dalam P KT atau F KT
tidak da pat disamakan untuk seluruh i n d ividu d ipengaru h i oleh usia,
kondisi kesehatan seca ra u m u m , dan j u m lah h itung trom bosit dalam
dara h . 6 N a m u n, Wei brich dkk. 36 menyi m p u l ka n ba hwa usia dan jenis
kelamin tidak mempenga ruhi kadar fa ktor pert u m b u h a n dalam PKT.
Penelitian Yil maz dkk. 37 memperlihatkan bahwa efektivitas PKT pada
penyembuhan Iuka akan menurun secara bermakna pada perokok.
Kariyazono d kk. 38 mela porka n beberapa agen a nti-agregasi trombosit
(aspirin, ci lostazol, dan ramatroba n ) d a pat mempenga ru h i sekresi
TG F-� trombosit. P KT da pat d i berikan seca ra topikal di atas
permukaan I u ka atau secara i njeksi (intra atau su bderm a l ) . Kendati
demikian, bel u m terda pat panduan mengenai fre kuensi opti mal
penggunaan P KT, teta pi pada u m u m nya dapat diaplikasika n 1-2 ka l i
t i a p mi ngg u . 26, 39,40
Beberapa perusahaan fa rmasi telah mengel ua rka n mesin
pembuat PKT komersial dengan modifikasi dan keu nggulan masi ng­
masing. Kua litas P KT yang dihasilka n bergantung j u m l a h whole blood,
jenis antikoagu lan, serta lama dan kecepata n sentrifugasi, sehi ngga
vol u me akhir dan konsentrasi trombosit yang dihasilka n juga
berbeda-beda. 6.41 M en u rut M a rx, 42 mesin pembuat PKT ya ng baik
harus da pat menghasilka n trom bosit ya ng tidak rusak dengan
konsentrasi m i n i m a l 1 .000.000 sel/µL dalam 5 ml plasma, serta
dapat membuat P KT pada kondisi steril dan bebas pi rogen .

REAKSI SIMPANG

Sifat PKT ya ng autolog mem buat metode i n i relatif a m a n dan


teoritis tidak berisiko men i m b u l ka n reaksi ale rgi k atau m e n u l a rka n
penyakit. 6.42 Efek simpang ya ng m u ngkin terjadi biasa nya ringan dan
berlangsung sementa ra wa ktu, ya kni berupa ekimosis, e ritema ringan,

157
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Adi Satriyo

rasa terbakar selama 3 menit sesudah injeksi, dan dermatitis kontak. 33'39
Reaksi i ritasi tersebut tidak dijumpa i pada FKT karena dibuat dari darah
pasien send i ri dan tidak d iberikan zat kimia tambahan apapun. 14• 15• 21
Terda pat kekhawatira n bahwa faktor pertumbuhan a kan
berinteraksi dengan p romoter pertumbuhan sel tumor dan memicu
terjadinya keganasan pada pasien ya ng memiliki faktor risiko. Namun,
faktor pertumbuhan tidak bersifat karsi nogenik karena sem ua faktor
pertumbuhan ha nya memicu ekspresi gen normal . Selain itu, faktor
pertumbuhan hanya beke rja pada membra n sel dan tidak pernah
memasuki inti sel . 42-45 Sampai saat ini tidak pernah dilaporkan
terjadinya jaringan pa rut h ipertrofi k ataupun neoplasia pada pasien
yang menda patkan tera p i faktor pertumbuhan autolog. 43•44

PENUTUP
PKT dan FKT adalah sediaan yang dibuat dengan metode
sederhana, efektif, relatif m u rah, dan a m a n u ntuk menda patkan
berbagai fa ktor pert u m b u h a n a utolog. 6 M a nfaat penggu naan PKT
untuk penyembuhan I u ka telah diperlihatkan oleh berbagai penelitian in
vitro, laporan kasus, uji klinis terkontrol, hingga telaah sistematik sesuai
kaidah evidence-based medicine sehingga penggunaannya sebagai
terapi tambahan proses penyembuhan Iuka kronik diabetes melitus
dapat d i pe rti m ba ngka n . Meskip u n demikian, masih d iperlukan uji
klinis dengan desai n yang lebih ba i k dan sa m pel lebih besa r u ntuk
m e m b u ktikan ma nfaat P KT d a n F KT u ntuk u l kus jenis l a i n . 1• 34•41
Sa mpai saat i n i belu m ada kesepakatan mengenai metode ata u
p rotokol yang dapat menghasilkan konsentrat trombosit autolog dengan
kua l itas paling baik. Meski p u n ada kepusta kaa n yang mela porkan
konsentrasi optim a l tro mbosit dalam suatu sediaan adalah 4-5 ka l i di
atas n i l a i normal, teta p i konsentrasi ideal trom bosit dan fa ktor
pert u m b u h a n sed iaan P KT atau pu n F KT belum ditentu ka n seca ra
seraga m dan masih menu nggu hasil penelitian sela nj utnya . 6• 34.42•46

158
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Terapi Faktor Pertumbuhan Autolog pada Ulkus Kronik

DAFTAR PUSTAKA
1. Eppley B, Pietrzak WS, Blanton M. Platelet-rich plasma: A review of biology and
applications in plastic surgery. Plast Reconstr Surg. 2006; 118(6) : 147-59.
2. Shai A, Maibach HI. N atural course of wound healing versus impai red healing in
chronic skin ulcers. Da lam: Wound healing and u lcer of the skin. Berl i n :
Springer; 2005. h .7-17.
3. Shai A, Maibach HI. G rowth Factors. Da lam: Wound healing and ulcer of the
skin. Berlin: Springer; 2005. h. 185-92.
4. O'Connell SM, lmpeduglia T, Hessler K, Wang XJ, Carroll RJ, Dardik H. Autologous
platelet-rich fibrin matrix as cell therapy in the healing of chronic lower­
extremity ulcers. Wound Repair Regen. 2008; 16(6):749-56.
5. Ranzato E, Patrone M, Mazzucco L, Burlando B, P latelet lysate stimulates
wound repair of H aCaT keratinocytes. Br J Dermatol. 2008; 159(3):537-45. Epub
2008 J u l 4.
6. Cole B, Seroyer S, Filardo G, Bajaj S, Fortier L. Platelet rich plasma: Where a re we
now and where are we going? Sports Health: A M u ltidisci plinary Approach.
2010;2(3):610.
7. International Society of Hair Restoration Su rgery. Platelet-rich plasma in hair
tra nsplantation. 2009. (Disitasi 18 Oktober 2016). Tersedia di
http://www.ishrs.org/articles/platelet-rich-plasma-in-hair­
transplantation.htm.
8. Prakash S, Thakur A. Platelet concentrates: Past, present and future. J
Maxillofac Oral Surg. 2011; 10( 1 ):45-9. Epub 2011 Feb 25.
9. Dan ielsen PL. Platelet-rich fi brin i n h u man acute wound models (Tesis).
Copenhagen: Facu lty of Health Sciences University of Copenhagen; 2008.
10. Ramali LM. Wound healing process. Dalam: Gunawan H, Dwiyana RF,
penyunting. Mu ltidisciplinary approach to skin u lcer 2012. Bandung:
Departemen IKKK FKUN PAD; 2012.h .2-13.
11. Cervelli V, Gentile P, Grimaldi M . Regenerative surgery: Use of fat grafting
combined with platelet-rich plasma for chronic lower extremity ulcers.
Aesthetic Plast Surg. 2009;33(3):340-5. Epub 2009 Jan 21.
12. Wirawan R, Shodri. Uji ketelitian dan nilai ruju ka n agregasi trombosit dengan
agonist ADP pada orang Indonesia dewasa d i Jakarta menggunakan
agregometer chronolog model 490. Jakarta: Balai Penerbit; 2008.
13. Pietrzak WS, Eppley BL Platelet-rich plasma: Biology and new technology. J
Craniofac Surg. 2005; 16(6): 1043-54.
14. Dohan Ehrenfest DM, Rasm usson L, Albrektsson T. Classification of platelet
concentrates: From pure platelet-rich plasma ( P-PRP) to leucocyte- and
platelet-rich fibrin ( L-PRF). Trends Biotechnol. 2009;27(3): 158-67. Epub 2009
Jan 31.
15. Holtzclaw D, Toffler M, Toscano N, Corso M D, Eh renfest DD. Introd ucing
Choukroun's platelet rich fibrin to the reconstruction surgery milieu. J IACD.
2009; 1(6):21-32.

159
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Adi Satriyo

16. Chou kroun J, Diss A, Simon pieri A, Girard MO, Schoeffler C, Dohan SL, dkk.
Platelet-rich fi brin (PRF): A second-generation platelet concentrate. Part IV:
Clin ical effects on tissue heal ing. Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radial
Endod. 2006; 101(3):e56-60.
17. J orgensen B, Karlsmark T, Vogensen H, Haase L, Lundqu ist R. A pilot study to
evaluate the safety and clinical performance of leucopatch, an autologous,
additive-free, platelet-rich fi brin for the treatment of recalcitrant chronic
wounds. I nt J Low Extrem Wounds. 2011; 10(4):218-23. Epub 201 1 Okt 18.
18. Doha n DM, Chou kroun J, Diss A, Doha n SL, Dohan AJ, Mou hyi J, d kk. Platelet­
rich fibrin (PRF): a second-generation platelet concentrate. Part I I : platelet­
related biologic features. Oral Surg Oral Med Ora l Pathol Oral Radial Endod.
2006; 101(3):e45-50. Epub 2006 Jan 10.
19. He L, Lin Y, H u X, Zhang Y, Wu H . A comparative study of platelet-rich fibrin
(PRF) and platelet-rich plasma (PRP) on the effect of proliferation and
differentiation of rat osteoblast in vitro. Oral Surg Oral M ed Oral Pathol Oral
Radial Endod. 2009;108( 5 ) : 707-13.
20. Choukroun J, Dohan DM, Diss A, Dohan SL, Dohan AJ, Mouhyi J, d kk. Platelet­
rich fi brin (prf) : A second generation platelet concentrate. Part I: tech nological
concepts and evolution. Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radial Endod.
2006; 101(3):e37-44. Epub 2006 Jan 19.
21. Anilkumar K, Geetha A, Umasud hakar, Ramakrishnan T, Vijayalaksh mi R,
Pameela E. Platelet-rich fibri n : A novel root coverage approach. J Indian Soc
Periodontal. 2009;13(1 ) :50-4.
22. Budimulja U. Morfologi dan cara membuat diagnosis. Da lam: Dj uanda A,
Hamzah M, Aisah S, penyu nti ng. llmu penyakit kulit dan kela min. Edisi ke-5.
Ja karta: Balai Penerbit FKUI; 2007.h.34-42.
23. Steernvoorde P, va n Doorn LP, Naves C, Oskam J . Use of autologous platelet­
rich fibrin on hard-to-heal wounds. J Wound Care. 2008; 17(2):63.
24. Ra nzato E, Patrone M, Mazzucco L, Burlando B. Platelet lysate sti mulates
wound repa ir of HaCaT keratinocytes. Br J Dermatol. 2008; 159(3) : 537-45.
25. Crovetti G, Martinelli G, I ssi M, Barone M, Gu izzardi M, Campanati B, dkk.
Platelet gel for healing cuta neous chronic wounds. Transfus Apher Sci. 2004;
30(2): 145-5 1 .
26. Knighton DR, Ciresi K , Fiegel VD, Schumerth 5, Butler E , Cerra F. Stimulation of
repa ir in chronic, nonhealing, cutanous ulcers using thrombocyte-derived
wou nd healing formula. Surg Gynecol Obstet. 1990; 170( 1): 56-60.
27. Mazzuca L, Med ici D, Serra M, Pan izza R, Rivara G, Orecchia S, d kk. The use of
autologous platelet gel to treat difficu lt-to-heal wounds: A pilot study.
Transfusion. 2004; 44(7): 1013-18.
28. Knighton DR, Ci resi KF, Fiegel VD, Austi n LL, Butler E L. Classification and
treatment of chronic nonhealing wounds: Successful treatment with
autologous platelet-derived wound healing factors (PDWHF). Ann Surg. 1986;
204(3 ) : 322-330.

160
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Terapi Faktor Pertumbuhan Autolog pada Ulkus Kronik

29. Chen TM, Tsai JC, Burnout T. A novel technique combining platelet gel, skin
graft, and fibrin glue for healing reca lcitra nt lower extremity ulcers. Dermatol
Surg. 2010; 36(4) : 453-60.
30. Margolis DJ, Kantor J, Santana J, Strom BL, Berl in JA. Effectiveness of platelet
releasate for the treatment of dia betic neuropathic foot ulcers. Diabetes Care.
2001; 24( 3 ) : 483-8.
31. Villela DL, Santos VLG. Evidence on the use of platelet-rich plasma for diabetic
ulcer: A systematic review. Growth Factors. 2010; 28(2): 1 1 1-16.
32. Atri SC, Misra J, Bisht D, Misra K. Use of homologous platelet factors in achieving
total healing of recalcitrant skin u lcers. Surgery. 1990; 108(3): 508-12.
33. Driver VR, Hanft J, Fylling CP, Beriou J M . A prospective, randomized, controlled trial
of autologous platelet-rich plasma gel for the treatment of diabetic foot ulcers.
Ostomy Wound Manage. 2006; 52(6): 68-70, 72, 74.
34. Martinez-Zapata MJ, Marti-Carvajal AJ, Sola I, Exposito JA, Bolibar I, Rodriquez
L, dkk. Autologous platelet-rich plasma for treating chronic wou nds. Cochra ne
Database Syst Rev. 2016 May 2 5 ; ( 5 ) :CD006899.
35. O'Connell SM, Hessler K, Da rdik H. Cascade autologous system platelet-rich
fibrin matrix in the treatment of chronic leg ulcers. Adv Wound Care (New
Rochelle). 2012 Feb; 1 ( 1) : 52-55.
36. Weibrich G, Kleis WKG, Hafner G, Hitzler WE. Growth factor levels in platelet­
rich plasma and correlations with donor age, sex, and platelet count. J
Craniomaxillofac Surg. 2002; 30(2): 97-102.
37. Yilmaz S, Cakar G, lpci SD, Kuru B, Yildirim B. Regenerative treatment with platelet­
rich plasma combined with a bovine-derived xenograft in smokers and non-smokers:
12-month clinical and radiographic results. J Clin Periodontal. 2010; 37(2): 80-87.
38. Kariyazono H, Naka m u ra K, Arima J, Ayukawa 0, Onimaru S, Masuda H, dkk.
Eva luation of anti-platelet aggregatory effects of aspirin, cilostazol, and
ramatroban on platelet-rich plasma and whole blood. Blood Coagul
Fibrinolysis. 2004 ; 1 5 ( 2 ) : 157-67.
39. Redaelli A, Romano D, Marciano A. Face and neck revita lization using platelet­
rich plasma (PRP): clin ical outcome in a series of 2 3 consecutively treated
patients. J Drugs Dermatol . 2010; 9 ( 5 ) : 466-72.
40. Panonsih RN, N u rhayati, Wirohad idjojo YW. Terapi parut atrofik varisela
dengan platelet-rich plasma. Disampaikan pada Pertemuan l l miah Ta hunan
PERDOSKI XI. Bali. 7-8 Mei 20 10.
41. Foster TE, Puskas BL, Mandelbaum BR, Gerhardt M B, Rodeo SA. Platelet-rich plasma:
From basic sience to clinical applications. Am J Sports Med. 2009; 37(1 1): 2259-72.
42. Marx RE. Platelet-rich plasma (PRP): What is PRP and what is not PRP. I m plant
Dent. 2001; 10(4) : 225-8 .
43. Nisbet QH, Nisbet C, Yarim M , Ozak A . The efficacy o f platelet-rich plasma gel and
topical estrad iol alone or in combination on healing of full-thickness wounds. 2009.
(disitasi 18 Oktober 2016). Tersedia dari: http://www.woundsresearch.com/
content/the-efficacy-platelet-rich-plasma-gel-and-topical-estradiol-alone-or­
combination-healing-fulj.

161
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Adi Satriyo

44. Cosmetic and beauty news: PRP fact or fiction? 2009. (disitasi 18 oktober
2016). Tersedia dari: http://www. bolandcell .co.za/COSMETIC-PRP-2010.html.
45. Marx RE. Platelet-rich plasma: Evidence to support its use. J Oral Maxillofac
Surg. 2004; 62(8): 489-96.
46. Giusti I, Rughetti A, D'Ascenzo S, Milimaggi D, Pavan A, Dell' Orso L, dkk.
Identification of an optimal concentration of platelet gel for promoting
angiogenesis in huma n endothelial cel ls. Transfusion. 2009; 49(4): 771-8.

162
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
TATA LAKSANA ULKUS DEKUBITUS

Rinadewi Astrining ru m

PENDAH ULUAN
Ulkus deku bitus atau ulku s akibat tekanan (pressure ulcers) adalah
cedera pada ku lit dan jaringan di bawah nya, biasa nya terjadi d i atas
penonjolan tulang, sebagai a ki bat dari tekanan atau tekanan yang
dikombinasi dengan geseran dan/atau gesekan . 1 lstilah dekubitus
berasal dari bahasa Latin decumbere yang berarti berba ring. 2
Terminologi u l kus dekubitus, ulkus akibat tekanan (pressure ulcers) dan
Iuka baring (bedsores) sering d isamakan, namun karena tekanan
merupakan faktor patofisiologi utama, u lkus akibat tekanan meru pa kan
istilah yang pa ling tepat. Penggunaan istilah u l ku s d ekubitus maupun
Iuka baring mengga m ba rkan bahwa lesi hanya terjadi pada pasien yang
berbaring, padahal beberapa I u ka kulit yang berat aki bat tekanan dapat
terjadi karena pasien berada dalam posisi d u d u k yang terlalu lama. 3
U l ku s dekubitus merupakan anca m a n bagi kesehatan pasien
dengan mobilitas ya ng terbatas. Walaupun 70% u l ku s terjadi pada
pasien berusia d i atas 65 ta h u n, pasien usia lebih m u da dengan
kerusakan neurologis ata u sa kit berat juga rentan terjadi u l kus.
Preva lensi berkisar a ntara 4,7 sampai 32, 1% pada perawatan rumah
sakit d a n pada perawata n rumah berkisar a ntara 8,5 sampai 22%. 4
Sebagian besar u l ku s terjadi pada tubuh bagian bawah, ya kni 65%
pada daerah pelvis d a n 30% pada e kstrem itas bawa h . 5

ETIOPATOG ENESIS
Etiologi
Terdapat empat faktor utama yang berperan pada pembentukan
ulkus, yakni tekanan, geseran (shearing forces), gesekan, dan kelembapan
(moisture).5 Ulkus dekubitus dapat disebabkan oleh tekanan terus­
meneru s dengan kekuata n ti nggi d a l a m wa ktu singkat atau kekuata n
lebih rendah n a m u n dalam waktu lebih lama, sehi ngga a l iran d a ra h
ka piler terham bat, d a n men u ru n ka n s u p l a i oksigen, serta n utrisi ke

163
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Rinadewi Astriningrum

4
jaringa n . La m a dan besa rnya tekanan merupaka n hal yang penting
dalam pem bentukan u l kus. Perba ika n j a ringan da pat terjadi jika
teka n a n d i h i l a ngkan secara teratu r. 5

Patogenesis
Teka na n atau kekuatan per u n it a rea merupakan fa ktor penting
dalam pembentukan u l kus dekubitus. Tekanan eksternal yang lebih
tinggi d i band ingka n dengan tekanan h i d rostatik kapiler a rteri sebesar
32 m m Hg d a pat mengga nggu sirkulasi dan oksigenasi, sehingga
terjadi iskemia lokal dan ke rusa kan jaringan. 6 Bila pasien dalam posisi
berbari ng, teka n a n sebesa r 150 m m H g dapat terjadi teruta ma pada
penonjolan tulang. Tekan a n sebesar itu cukup u ntuk menuru n kan
teka n a n oksigen transkutan sampai mendekati nol. Pada pasien yang
berada dalam posisi duduk, teka nan ya ng di hasilka n pada daerah di
bawa h tuberositas ischiadica d a pat mencapai 300 m m Hg atau lebih,
bila d u d u k pada permukaan yang rata dan keras. 3 ' 5
Cedera akibat tekanan bermula pada jaringan yang terletak
dalam, kem u d i a n menyebar ke permukaan ku l it. Seri ngka l i kerusakan
hanya terjadi pada jaringan ya ng terletak dalam, yakni pada sambunga n
tulang-otot, yang tidak tampak pada permukaan kulit. Bila tekanan
dilepaskan a kan terjadi respons normal berupa hiperemia. Namun bila
tekanan menetap, iskemia yang terjadi akan menyebabkan pem­
bengka kan endotel dan kebocoran pembuluh darah. Bersama dengan
bocornya plasma ke jari ngan i nterstisial, kondisi ini menyebabkan
perdarahan dan menghasilkan eritema nonblanchable pada kulit. Pada
binatang percobaan yang mengalami bakterem ia, ditemukan deposit
bakteri pada lokasi trauma tekanan yang menimbulkan proses supurasi
yang dalam. Hal ini menjelaskan terjadinya ulkus dekubitus dengan kulit
normal namun terdapat sinus dra inase. Aku m ulasi cairan edema, darah,
dan sel i nflamasi secara progresif menyebabkan kematian sel otot,
jaringan subkutan, dan terakhir jari ngan epidermis. 3•6
Geseran (shearing force) terjadi a kibat pergera ka n tulang dan
j a ri ngan su bkutan terhadap kulit yang relatif tidak bergerak. Conteh
gesera n adalah saat pasien dalam posisi supinasi dan bagian atas
tem pat tid u r d i n a i kkan sebesar 30°, kemudian bada n pasien bergeser
ke a rah ka udal dengan kulit daerah sakrum ya ng tetap menempel

164
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Tata Laksana Ulkus Dekubitus

pada tempat tidur. Geseran paralel terhadap perm u kaan j a ri ngan


dan teka nan pergeseran tersebut d itransmisika n ke j a ringan ya ng
lebih dalam sehingga terjadi a ngulasi pembuluh d a ra h d a n i skemia. 5
Gesekan merupakan gaya atau kekuatan yang menahan
pergera kan relatif d i antara d u a permukaan ya ng sa ling menempel.
Hal i n i menyebabkan kerusakan lapisan ku l it s u perfisia l . Cedera ini
dapat terjadi saat pasien d itarik/digeser d i atas perm u kaan tem pat
tid u r atau pasien melaku kan gera kan beru lang sehingga penonjolan
tulang terpajan geseka n . 3 • 5
Li ngkungan yang lembap oleh ka rena i n kontinensia u rin, feses,
atau karena keri ngat d a n d rainase I u ka dapat menye ba bkan maserasi
ku l it ya ng meni ngkatka n risiko terbentu knya u l ku s deku bitus. 7
Terdapat stud i yang menunjukkan bahwa inkontinensia meningkatkan
risiko pembentukan u l kus deku bitus sampai lima ka li lipat. l n kontinensia
feses berperan lebih besar dalam menyebabkan kerusakan kulit yang
memudahkan pembentukan u l kus. Kemungkinan hal ini karena adanya
asam empedu dan enzim dalam feses. 8

FAKTOR RISIKO

Terdapat beberapa fa ktor risiko ya ng menyebabkan terjadinya


u l kus dekubitus. Garcia d a n David 7 mengklasifi kas ikan fa ktor risiko
ulkus dekubitus menjadi faktor intrinsik dan ekstri nsik. Faktor intrinsik
merupakan fa ktor ya ng mempengaruhi strukt u r d a n i ntegritas ku l it
beserta struktur d i bawa h nya, yakni mobilitas yang terbatas; penyakit
penyerta, misalnya diabetes melitus, gagal jantung kongestif, keganasan,
dan d i sfungsi ginjal; n utrisi b u ru k; d a n p roses pen uaan kulit . Fa ktor
ekstri nsik merupakan faktor ya ng m e m penga ru h i tolera nsi j a ri ngan
ya ng efeknya terjadi pada perm u kaan kulit, ya kni tekanan, geseka n,
geseran, dan kelembapan.

MAN IFESTASI KUNIS


Pemeri ksaan u l ku s dekubitus mem b ut u h ka n eva luasi medis
yang lengkap. Ana m nesis ya ng d i lakuka n melip uti awita n d a n lama
u l kus, perawatan I u ka sebe l u m nya, fa ktor risiko, d afta r masalah
kesehatan, serta riwayat pengobata n . Pemeriksaan fisi k u l ku s dengan

165
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Rinadewi Astriningrum

mencatat j u m l a h, lokasi, u ku ra n (panjang, lebar, kedalaman) ulkus,


d a n m e n i la i adanya eksudat, bau, sin us, nekrosis ata u pembentuka n
eskar, terbentuknya terowongan, i nfeksi, gau ng, jaringan penyembuhan
(gra n u lasi dan epitelisasi), serta batas I u ka . Faktor lain, m isalnya
keadaan psikologis, kebiasaan, status kognitif, sosial, sum ber pendanaan,
dan ada/tida knya orang yang merawat penting dalam penilaian awa l
serta untuk renca n a perawata n selanj utnya. Pasien dengan keter­
batasan kom u n i kasi atau kela i n a n sensorik renta n terjadi u l kus oleh
karena tidak da pat merasakan ketida knya manan atau kesulitan
mengo m u n i kasikan ketidaknya m a n a n tersebut. 4

Penentuan Derajat Ulkus Dekubitus


Penentuan derajat ulkus meru pakan sistem untuk mengklasifikasi
ulkus dekubitus berdasarkan kedalaman destruksi jaringan yang terjadi .
Terdapat bebera pa sistem penderajatan u l kus dekubitus, namun yang
paling banyak digunakan adalah sistem penderajatan NPUAP (National
Pressure Ulcer Advisory Panel). Deskripsi klinis derajat ulkus dekubitus
sesuai sistem klasifikasi N PUAP dapat dilihat pada tabel 1. 1

Tabel 1. National Pressure Ulcer Advisory Panel staging system for pressure
ulcers *

Stage Description

Suspected deep- Purple or maroon localized area of discolored, intact skin or blood.filled blister caused by damage to underlying
tissue injury soft tissue from pressure or shear; the disroloration may be preceded by tissue that is painful, firm, must,.,., boggy,
or warmer or oooler compared with adjacent tissue
Intact skin wi1h nonblanchable redll<!'s of a localized area, usually over a bony prominence; dark pigmented skin
may not have visible blanching, and the affected area may differ from the surrounding area; the affected tissue
may be painful, firm, soft, or warmer or oooler compared with adjaCPnt tissue

Partia�thickness loss of dermis appearing as a shallow, open ulcer with a red-pink wound bed, without slough;
may also appear as an intact or open/ruptured serufl>.filled blister; this stage should not be used to describe skin
tears, tape burns. perinea! dermatitis, macerafons. or excoriations
Ill Full-thickness tissue loss; subcutaneous fat may be visible, but bone, tendon, or muscle is not e>pased; slough may
be present, but does not obscure the depth of tissue loss; may include undermining and tunneling•
IV Full-thickness tissue loss with exposed bone, tendon, or muscle; slough or eschar may be present on some pans of
the wound bed; often includes undermining and tunneling•
Un stageable Full-thickness tissue loss with the base of the ulcer covered by slough (yellow, tan, gray, green, or brown) or eschar
(tan, brown, or black) in the wound bed

NPUAP = Nalional Pressure Ulcer Advisory Panel

•-The depth at a stage Ill Of IVpres5Ure ulcer var/Es by anatomk locar/on. &>cause l!le brl<lge of l1le nose, ear, ocdput, and malleo/us do not have
sutxuraneous t:lsw� ulcer.; Oil tllese areas can be sfl;iJk:JN. In mntrast areas of slgnltlcanr adlposlry can deVelop exrremety deep srage Illor N ulcers.
In srage IVulcers, ellpOSed bone or tendon ts >is/Illeor directly palpable.

* Dikutip sesuai aslinya dari kepustakaan no. 1

166
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Tata Laksana U lkus Dekubitus

PENILAIAN KUNIS

Penilaian risiko terbentuknya u l kus dekubitus dilaku ka n dengan


anamnesis dan pemeriksaan fisik. Peni laian tersebut penting dila kukan
sebagai bagian dari usaha pencega han. Saat i n i terdapat beberapa
skala pen ilaian risiko ya ng dibuat u ntu k mengidentifikasi risiko
terjadinya u lkus dekubitus. Skala Braden, Waterlow, dan Norton telah
diuji secara luas u ntu k validitasnya dan telah direkomendasika n u ntuk
memprediksi risiko terjadinya u lkus dekubitus. Komponen skala ini
meliputi bebera pa faktor: keadaan u m u m, mobilitas, tingkat a ktivitas,
status nutrisi, status mental, kondisi inkontinensia, tampilan kulit, obat
yang digunakan, gesekan dan geseran, berat badan, usia, penyakit
predisposisi, dan tekanan yang berlangsung terus-menerus.4' 5
Penilaian ulang ulkus pada tindak lanjut sebaiknya dilaku ka n
sedikitnya setiap minggu u ntuk menentukan perbaikan u l kus. Pen ilaian
ini dilakukan terbatas pada perkiraan luas permu kaan u l kus dengan
menga likan panjang dengan lebar, menilai e ksudat (tidak ada, ringan,
sedang, atau banya k), dan penentuan jari ngan yang timbul (nekrosis,
slough, granulasi, atau jaringan epitel). 3'8 Komponen penilaian ini
dihitung dengan skor menggunakan Pressure Ulcer Scale for Healing
(PUSH). 9 Dalam dua h ingga e mpat m i nggu, u l kus harus menunj u kka n
perbaikan berdasa rkan skala tersebut. Berkurangnya ukura n ulkus
dalam periode dua minggu da pat memberi gambara n akan terjadinya
penyembuhan sempurna. Namun bila tidak terdapat perba i ka n ul kus
berdasarkan para meter skala PUSH, sebai knya dipertimbangkan
peru bahan strategi tata laksana. 3

TATA LAKSANA
Tata laksana ulkus dekubitus mencakup pencegahan, perawatan,
dan terapi, termasuk terapi medika mentosa, non-medika mentosa,
tindakan khusus (debridement dan pembedahan), serta terapi adjuvan .
Terdapat keterangan strength of evidence (SoE) dan strength of
recommendation (SoR) pada poin tata laksana dalam maka lah ini yang
mengacu pada pedoman pencegahan dan tata laksana u lkus dekubitus
yang dibuat oleh European Pressure Ulcer Advisory Panel, National
Pressure Ulcer Advisory Panel, dan Pan Pacific Pressure Injury Alliance. 10
(Lampiran 1)

167
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Rinadewi Astrin ingrum

PENCE GAHAN
Strategi pencegah a n u l kus dekubitus mencakup menilai risiko,
mengura ngi teka nan, menilai status n utrisi, mengh indari bed rest
berlebihan dan posisi d u d u k terl a l u lama, serta menjaga i ntegritas
kulit dengan perawata n ya ng tepat. 8

1. Menilai risiko
Menilai risiko diawali dengan mengidentifikasi faktor risiko dan
inspeksi kulit (SoE: C, SoR: A). Perawat sebai knya diberi edukasi
tentang cara menilai kulit, termasuk menilai eritema, edema, dan
indurasi kulit, serta pentingnya pencegahan risi ko (SoE: B, SoR: A). 10
Pasien sebaiknya sering diamati untuk pencegahan dan untuk
mengidentifikasi u l kus pada derajat awa l . Skala pen ilaian risiko
a kan meni ngkatkan kewaspadaan, n a m u n kema mpuan untuk
m e m p red i ksi terjadi nya u l ku s terbatas, dan saat ini belum terbu kti
4
d a pat mencega h u l kus.
2 . Mengura ngi tekanan
Tindakan mengu rangi efek tekanan, gesekan, dan geseran
meru pakan tindakan pencega han pertama pada pasien denga n risiko
ulkus dekubitus. Metode ya ng paling umum dianjurkan adalah
mengubah posisi pasien, baik untuk pasien dengan risiko ulkus
deku bitus atau pasien ya ng telah terdapat ulkus deku bitus, kecuali
bila terdapat kontra i nd i kasi (SoE: A, SoR: A). 10 I nterva l optimal
mengubah posisi u ntuk pencegahan u l kus belum diketahui secara
pasti. US Agency for Health Care Policy and Research me­
rekomendasikan untuk mengubah posisi pasien sedikitnya tiap dua
jam u ntuk individu berisiko tinggi terjadi ulkus dekubitus. Dalam
keadaan terbatasnya perawat, mengubah posisi pasien sulit untuk
dilakuka n . Oleh ka rena itu beberapa alat penurun tekanan telah
4
dikembangkan. '8 Defloor11 melakukan penelitian randomized clinical
trial { RCT) pada 838 pasien risiko ti nggi ya ng d i rawat d i rumah.
Jadwal mengubah posisi setiap e m pat jam di kom binasi denga n
penggu naan matras viskoe lastis bermakna menuru n ka n angka
kejadian u l kus deku bitus, d i band i ngka n dengan jadwal mengubah

168
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Tata Laksana Ulkus Dekubitus

posisi setiap enam j a m pada m atras viskoelastis m a u p u n setiap


dua atau em pat jam pad a matras biasa.
Secara teoritis, tuj u a n tindaka n mengu rangi tekanan adalah
menuru n ka n tekanan ja ringan d i bawah teka n a n h i d rostatik
ka piler a rteri, ya kni 32 m m Hg. Alat ya ng d igunakan dibedaka n
antara a lat ya ng dapat m e n u ru n ka n teka n a n secara konsi sten d i
bawa h 32 m m Hg d a n a lat penurun tekanan yang da pat
menuru n ka n tekanan lebih rendah dibandingkan dengan m atras
sta ndar, n a m u n tidak sampai d i bawa h 32 m m Hg. 8 Alat penurun
tekanan tersebut diklasifikasikan menjadi dua, ya kni statis dan
dinamis. Alat statis mendistribusikan tekanan ke a rea tubuh yang
lebih luas, sehingga efek tekanan pada jaringan berkurang, m isa l nya
matras busa dan alat berisi air, gel, atau udara . Alat dinamis
menggunakan tenaga listrik, contohnya alternating pressure device,
low-air-loss, dan air-fluidized surfaces. Alat dinamis umumnya lebih
mahal dan men imbulkan suara yang mengganggu.4•8
Alat penurun tekanan (pressure reducing devices) menurunkan
insidens ulkus sa mpai 60% dibandingkan dengan kasu r rumah sakit
standar.4' 12 Alat dinamis sebaiknya digunakan bila pasien tidak dapat
mengu bah posisi tubuh secara mandiri, pasien dengan ulkus m u ltipel
yang besar atau ulkus yang suka r sembuh (non-healing ulcer), setelah
pembedahan, atau bila alat statis tidak efektif, dan reposisi manual
tidak mungkin dilaku kan (5of: B, SoR: B). 4'8' 10 Alat penurun tekanan
lain dapat digunakan, misa lnya foam cushions, foam wedges, dan
bahan lainnya yang ditem patka n di antara lutut atau pada tumit. 4'8
Pasien dengan risiko tinggi sebai knya menghindari posisi duduk
yang sama terlalu lama (5of: B, SoR: B). 10 Mengubah posisi duduk
untuk menghilangkan tekanan dilakukan sedikitnya setiap jam,
namun bila sulit dilaku kan, sebaiknya pasien dikembalikan ke posisi
berbaring. Pasien diinstru ksikan u ntuk mengu bah tumpuan berat
badan setiap 15 menit. 4'8' 13 Penggunaan banta l dapat menuru n kan
tekanan, namun harus dihindari penggunaan bantal berbentu k donat
dengan lubang di tengah, karena dapat menimbulkan teka n a n ya ng
bertumpu pada satu titik (5of: C, SoR : A). 4• 8• 10• 13 Sel a i n itu, bahan
ya ng terbuat dari kulit hewa n si nteti k, kantong ca i ra n i nfus, bantal

169
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Rinadewi Astriningrum

berbentuk donat, d a n saru ng tangan yang d i isi air sebai knya tidak
d igunaka n untuk alas tum it (Sof: C, SoR: A). 10
U nt u k m e m i n i m a l isasi geseran, kepala tem pat tid u r sebaiknya
tidak d i n a i kka n melebihi 30° dan sedapat m u ngkin dalam posisi
ketinggia n paling rendah yang d i perl u ka n u ntuk mencega h
kom p l i kasi, m isal nya aspirasi atau perburukan gejala gagal jantung
kongestif (Sof: C, SoR: B). 4' 10

3. Nutrisi
Status n utrisi dapat mem penga ruh i i nsidens, p rogresivitas,
d a n perburuka n u l kus dekubitus. Skrin i ng n utrisi meru pa kan
eval uasi umum pasien dengan u l kus dekubitus. Pasien maln utrisi
d i a nj u rka n u ntuk konsultasi gizi dan eva l uasi ca ra menelan. Pada
tabel 2 d i perli hatkan petanda u ntuk identifikasi m a l n utrisi protein­
ka lori. 4' 8

label 2 . Peta nda identifikasi m a l n utrisi ka lori-protei n pasien u l kus


dekubitus*
• Penurunan berat badan sebesar ?_5% dalam 30 hari atau .?_10%
dalam 180 hari
• Berat badan < 80% berat ideal
• Kadar albumin serum < 3.5 g/dl (35 g/L)*
• Kadar prealbumin < 15 mg/dl (150 mg/L)*
• Kadar transferin < 200 m/dl (2 g/L)
• Hitung total limfosit < 1,500 /mm3
(1.50 x 109 per L)
*Dehidrasi dapat meningkatkan albumin and prealbumin serum.
Albumin dan prealbumin merupakan negative acute phase
reactant serta dapat menurun kadarnya pada inflamasi. Stres
fisiologis, kadar kortisol berlebih, dan keadaan hipermetabolik juga
menurunkan kadar albumin serum.
*Dikutip dengan peru bahan dari kepusta kaan no. 4

Penelitian RCT ya ng d i laku ka n Bou rdel-M 14 d isimpu lkan bahwa


pem berian su plemen n utrisi d u a kal i sehari ya kni sebanya k 200 m l,
total energi sebesa r 200 kca l yang terd i ri atas 30% p rotein, 20%

170
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Tata Laksana Ulkus Dekubitus

lemak, dan 50% ka rboh idrat d ita mbah dengan 1,8mg zink serta 15
mg vita m i n C da pat mencega h terjadinya u l kus deku bitus. Telaah
sistematik yang d ilaku ka n oleh Langer 15 menyi m p u l ka n ba hwa
pemberian suplemen n utrisi dua ka li sehari d apat m e n u ru n ka n risiko
terjadi nya u l kus dekubitus.
Selain pen i la i a n risi ko, pengurangan teka nan, d a n penilaian
n utrisi u ntuk pencega han u l kus deku bitus, terd a pat rekomendasi
tambahan untuk pencega han, berupa i ntervensi beri kut ya ng dibuat
oleh N PUAP bersama dengan European Pressure Ulcer Advisory Panel
( E PUAP) dan Pan Pacific Pressure Injury Alliance: 10
1. Dalam memilih support surfaces yang berkonta k langsung dengan
kulit, pertimbangkan a lat yang memiliki tambahan pengontrol suhu
dan kelembapan, sehingga microclimate (suh u dan kelembapan) kulit
pasien terkontrol {Sof: C, SoR : B).
2. Hindari penggunaan alat pemanas, misalnya botol air hangat, heating
pads, bed warmers, berkontak langsung dengan kulit, atau a rea yang
sudah terdapat ulkus dekubitus. Panas a kan meningkatkan laju
metabolik, berkeringat lebih banyak, dan men urunkan toleransi
jari nga n kulit terhadap tekanan {Sof: C, SoR: B).
3. Pertimbangkan penggunaan wound dressing yang terbuat dari
polyurethane foam untuk pencegahan ulkus dekubitus pada a rea
penonjolan tulang. Pemilihan dressings sebaiknya dipertimbangka n :
kemampuan wound dressings dalam menjaga microclimate, ke­
mudahan dalam mengaplikasikan maupun melepas wound dressing,
kemudahan untuk tetap menilai kul it, dan kesesuaian u ku ran
wound dressing (Sof: B, SoR: B).
4. Pemakaian bahan ka in ya ng halus seperti sutera lebih baik d i ­
bandi ngka n dega n ba han katu n a t a u ca m p u ra n kat u n d a l a m
mengura ngi gesera n dan geseka n (Sof: B , SoR: B).
5 . Sti m u lasi elektrik otot pada a rea t u b u h ya ng berisiko t i m b u l u l kus
deku bitus d i rekomendasikan pada pasien dengan cedera tu lang
belakang. Sti mulasi elektri k tersebut mengi n d u ks i kontraksi otot
tetanik interm iten ya ng da pat mengura ngi risiko terjadi nya u l kus
dekubitus {Sof: C, SoR : C).

171
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Rinadewi Astriningrum

PERAWATAN

Perawatan kulit yang tepat dapat menuru nkan risiko ter­


bentuknya ulkus dekubitus. Melakukan pemijatan pada daerah
penonjolan tulang harus d i h i nd a ri karena a ka n menuru n kan a l i ran
darah dan menyeba bkan tra u m a jaringan dalam (deep tissue injury)
(Sof: C, SoR: B). Beberapa rekomendasi, a nta ra l a i n : 3' 10
1. lnspeksi ku l it seca ra sistematik setiap h a ri .
2. Sedapat m u ngkin h indari posisi tubuh bertumpu ata u menekan
a rea ku l it ya ng terd apat eritema (Sof: C, SoR: A).
3 . M e m bers i h ka n kulit dengan sab u n pem bersih yang lembut (tan pa
parfum, tanpa penambahan zat a ntibakteri, dan p H sesua i kulit:
4,5-5,7) saat m a n d i dengan i nterval rutin, h i ndari penggunaan air
panas, dan ja ngan menggosok kulit seca ra keras (Sof: C, SoR: A).
4. Cegah kekeringa n kulit ya ng d isebabkan kelembapan udara rendah
dan d i ngin, gu n a ka n pelem bap u nt u k ku l it kering (Sof: C, SoR: B).
5. Cegah pajanan kulit terhadap kelembapan yang disebabkan
inkontinensia, keringat, atau drainase I uka. Bila inkontinensia tidak
dapat dikontrol, gunakan alas penyerap/absorptif. Pelembap topikal
yang berfungsi sebagai sawar dapat digunakan (Sof: C, SoR: B).

TERA Pl

Komponen dasar dalam tata l a ksa na u l kus teka nan adalah


mengura ngi ata u menghila ngkan teka nan pada ku lit; debridement;
tata laksana i nfeksi; optimal isasi perawatan Iuka; dan pemilihan
wound dressing; serta koreksi n utrisi (Ga m ba r 1). 4'8

172
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
M a nagement of Pressure U lcers
A clean ulcer, without cellulltls A clean ulcer, with cellulltls Necrotic tissue

i
(stage I l l or IV ulcer)
I I
i i i i Perform deb rid eme nt

� i
Stage I Stage II Stage Ill, no Stage IV, no Local Infection Systemic
Sharp, if a dvancing
necrotic tissue necrotic tissue infection or
cellulitls or sepsis
Is present
advancing
Apply Apply moist cellulltls
Autolytlc, enzymatic,
protective dressing, such Apply m oist to absorbent dressing,
or mechanical if

i
dressings, as a transparent such as a hydrogel, foam. or a lginate;
nonurgent
as n eeded film; cleanse consider surgical consultation, as
the wound needed; cleanse the wound (Initially

i
and at each dressing stage)
Apply moist to
absorbent d ressing;
cleanse the wound
No Improvement -- ..
-i
� Toplcal antibiotics; apply
after 14 days moist to absorbent dressing;

i
cleanse the wound

No improvement in healing after


two to four weeks; persistent

i
cellulltis or sepsis present

Obtain tissue culture; ____. Systemic a ntibiotics; apply


consider osteomyelitis moist to absorbent dressing;
cleanse the wound

Gambar 1. Algoritma tata laksana u l kus dekubitus*


* Di kutip sesua i aslinya dari kepustakaan no. 4
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Rinadewi Astriningrum

Tindakan bedah d i lakukan bila terdapat indikasi. Terapi adjuva n


di pert i m ba ngkan bila penyembuhan u lkus tidak mengalami kemajuan
dengan tera p i konvensional.

Terapi Medikamentosa

U l kus dekubitus d a pat did iagnosis terinfeksi sekunder oleh


bakteri bila terda pat tanda beri kut (Sof: C, SoR: A) 10 :
1 . E ritema m e l u a s p a d a tepi u l kus;
2. Terda pat i n d u rasi;
3. Terdapat nyeri atau intensitas nyeri berta m bah;
4. Terdapat pus;
5. U ku ra n u l kus berta mbah;
6. Terd a pat kre pitasi, peruba han wa rna, ata u fl u ktuasi pada a rea
sekita r u l kus;
7 . Demam, mala ise, d a n pembesaran kelenjar getah beni ng;
8. Delirium, confusion, atau anoreksia pada pasien geriatri

Antibiotika ora l diberika n pada pasien denga n komplikasi sepsis,


selulitis, osteom ielitis atau sebagai p rofilaksis endoka rditis bakterial
pada pasien dengan kelainan katup jantung. Oleh karena tinggi nya
angka mortalitas ka rena sepsis pada u l kus dekubitus, sela i n a nti biotik
ya ng tepat, a ntibiotik e m p i ri k berspektru m luas untuk bakteri batang
Gram negatif aerob, kokus Gram positif, dan anaerob dapat
d i pe rti mba ngkan u ntuk d i berikan pada pasien yang d icu rigai sepsis
sa m b i l menunggu hasil kultur. Vankomisin d i pe rt i mba ngka n untuk
pasien dangan methicillin-resistant S. aureus ( M RSA) . 3 • 16
U l kus derajat I dan II jarang memerlukan terapi topikal spesifik,
namun data yang ada menunjukkan bahwa pada ulkus yang lebih
dalam, khususnya bila terdapat bukti adanya infeksi lokal, pemberian
antibiotik topikal dapat menguntungkan. Penggu naan antiseptik dapat
dipertimbangkan pada ulkus yang lama menyembuh dan terkolonisasi
atau terinfeksi (Sof: C, SoR: B). Sulfadiazin perak dapat dipertimbangkan
untuk diberikan pada ulkus dekubitus yang bersih namun tidak sembuh
(non-healing) atau yang terus memproduksi eksudat setelah tata
laksana optimal selama 2-4 minggu (Sof: C, SoR: C). Namun perak dapat
bersifat toksik terhadap keratinosit dan fibroblas, serta harus dihindari

174
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Tata Laksana Ulkus Dekubitus

penggunaannya pada i ndividu yang sensitif. 10 Penggunaan povidon­


yodium, iodofor, sodium hypochlorite, hidrogen peroksida, atau asam
asetat sebagai terapi topikal sebaiknya dihindari. Antisepti k tersebut
terbukti toksik terhadap fibroblas dan mengganggu proses
penyembuhan luka. 3,4' 7'8' 13'
Penilaian nyeri harus d i la ku ka n teruta ma saat mengubah posisi
pasien, mengganti balutan, dan debridement. Pasien dengan risiko tinggi
ulkus dekubitus mungkin tidak merasa kan sensasi nyeri sepenuhnya
atau m u ngkin membutuhkan a lat bantu u nt u k mengko m u n i kasikan
rasa nyeri. Penelitian randomized control trial m e n u nj u kkan ba hwa
sed iaan opioid topikal (ge/ diamorphine) dan nonopioid (l idoka i n/
prilokain) dapat mengurangi nyeri selama ganti balutan dan
debridement (Sof: B, SoR: C). 4• 10• 17 Penggunaan dressings yang dapat
diganti dalam interval waktu yang lama merupa ka n pilihan untuk u l kus
dekubitus yang nyeri. Hidrokoloid, hidrogel, alginat, polymeric
membrane foam, foam, dan silikon dapat dipertim bangkan digunakan
pada ulkus deku bitus yang nyeri (Sof: C, SoR: A). 10

Terapi Non-medikamentosa

1. Mengurangi teka nan


Tekanan pada ulkus dekubitus yang telah terbentuk akan mem­
perlambat proses penye m b u h a n sehingga menghindari tekanan
merupakan kom ponen tera pi yang penting. M etode menghi n da ri
tekanan u ntuk terapi sama dengan m etode untuk pencega han,
yakni mengubah posisi pasien dan penggu naan a lat penu run
tekanan. 4' 8' 12' 13
2. Opti mal isasi perawata n I u ka d a n pem i l i ha n wound dressing
Luka sebaiknya d i bers ihkan setiap ganti balutan dengan
menggun a ka n cai ra n yang non-iritatif dan n on-toksi k, yaitu a i r
bersih atau larutan normal sa l i n . Penggunaan la rutan pem bersih
dengan surfa kta n dan/atau anti m i kroba da pat d i pe rtimba ngkan
pada u l kus dengan debris, terbukti i nfeksi, did uga teri nfeksi, atau
did uga terdapat kolonisasi bakteri (Sof: C, SoR: B). 10
Pemilihan dressing berdasarkan penilaian klinis dan karakteristik
Iuka. Sebaiknya dipilih dressing yang menjaga kelembaban. Secara

175
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Rinadewi Astriningrum

fisiologis I u ka yang terjaga lemba pakan memudahkan proses migrasi


dan pem bentukan matriks, selai n itu juga a kan mengurangi nyeri .
Ada atau tidaknya infeksi bakteri; volume eksudat; jaringan pada
dasar ulkus; ukuran; kedalaman; ada atau tidaknya tunneling;
keadaan ku l it d i sekita r u l kus; serta lokasi u l kus merupakan aspek
ya ng perlu d i perti mbangkan dalam m e m i l i h wound dressing (SoE:
C, SoR: A ) . 10
Wet-to-dry dressing tidak dapat terus-menerus menjaga
lingkungan lemba p sehingga tida k dianjurkan untuk digunakan (Sof:
C, SoR: B). 10 Dressing ya ng terbuat dari bahan sintetis menghemat
waktu dalam pemakaian nya, lebih nyaman digunakan, dan menjaga
lingkungan Iuka tetap lembap, contohnya transparent films, hidrogel,
alginat, busa, dan hidrokoloid. Transparent films efektif menahan
kelemba pan, dapat digunakan tunggal untuk ulkus dangkal atau
dikombinasi dengan hidrogel atau hidrokoloid pada ulkus dalam.
(SoE: C, SoR: C). Hidrogel dapat digunakan untuk ulkus dangkal
dengan eksudat minimal (SoE: B, SoR: B). Alginat dan busa
merupakan absorban kuat sehingga berguna untuk ulkus dengan
eksudat sedang sampai berat (SoE: B, SoR: B). Hidrokoloid menahan
kelembaban sehingga da pat digunakan pada debridement autolitik.
Selain itu, hidrokoloid da pat dipertimbangkan untuk ulkus dekubitus
lo is
derajat I I atau I l l (Sof: B, SoR: B). 3, , 13,
3 . Tata laksa na i nfeksi bakteri
Kateter u rin atau tabung rektum dapat mencegah kontaminasi
bakteri oleh urin maupun feses pada ulkus. Tindakan pembersihan
Iuka dan debridement dapat meminimalisasi ju mlah bakteri yang
berkolonisasi pada u l kus. Kultur bakteri secara kuantitatif sebaiknya
dilakukan pada ulkus non-healing setelah pemakaian antibiotik
topikal atau bila terdapat tanda i nfeksi, m isal nya pen i ngkata n
d ra i n ase, bau, eritema d i sekita r u l kus, nye ri, dan hangat pada
4
perabaan. '13

176
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Tata Laksana Ulkus Dekubitus

4. Tata laksana nutrisi


N utrisi merupakan fa ktor penting dalam pencega han m a u p u n
terapi ulkus dekubitus. Walaupun terdapat konsensus bahwa nutrisi
adekuat penting dalam proses penyembuhan I u ka, dokumentasi efek
tersebut pada penyembuhan ulkus terbatas. Kebutuhan nutrisi untuk
energi setiap pasien ul kus dekubitus harus disesuaikan dengan
penyakit yang mendasari dan tingkat aktivitas. Pem berian 30-35
kkal/kgBB/hari nutrisi dengan 1,25-1,5 gra m protein/kgBB/hari
direkomendasikan untuk pasien u l kus dekubitus dewasa yang
berisiko malnutrisi (SoE: B, SoR: B). 10 Suplementasi vitamin C dan zinc
dapat dipertimba ngkan bila asupan tidak cukup dan terdapat
defisiensi, wa laupun data yang mendukung efektivitas zat tersebut
dalam mempercepat penyembuhan Iuka inkonsisten. 3' 16 Bila diet oral
tidak adekuat atau tidak dapat dilakukan, dapat dipertimbangkan
untuk diet enteral atau parentera l untuk mencapai target balans
n itrogen positif (SoE: C, SoR: B ) . 10' 13

Tindakan Khusus

1 . Debridement
Debridement merupaka n pem bersihan m ateri nonviable
( nekroti k), benda asi ng, m a u p u n jaringan ya ng sulit menyembuh
pada l u ka . 19 J a ri ngan nekrotik m e n i ngkatka n pert u m b u h a n bakteri
_
dan mengganggu p roses penyembuhan I u ka, sehi nggga harus
dilaku kan debridement sampai eskar terangkat dan ta mpak
jari ngan gra n u lasi. M etode debridement d isesuaikan dengan
keadaan I u ka, kapa bilitas dokter, dan keadaan pasien seca ra
kese l u ruhan. M etode debridement m encaku p seca ra taj a m/pisau,
meka n i k, enzimatik, dan autolitik. 4' 13
Debridement tajam dapat menggunakan skal pel, gunting steril,
atau laser untuk menyingkirkan jari ngan nekrotik dari Iuka . Cara
debridemet ini dapat dilakukan di ruang rawat pasien, namun
debridement untuk jaringan nekrotik yang luas harus dilaku kan di
meja operasi. lndikasi surgical debridement adalah bila terdapat
jaringan nekrotik yang luas serta ingin mencapai hasil yang cepat dan
efektif. Selain itu, juga bila terjadi infeksi atau untuk mengangkat

177
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Rinadewi Astriningrum

eskar yang tebal dan luas (SoE: C, SoR: A). 1° Kontraindikasi adalah bila
terdapat keterbatasan keahlian untuk metode ini, gangguan
vaskularisasi u lkus, dan ketiadaan antibiotik sistemik pada keadaan
sepsis. Kontraindikasi relatif adalah bila terdapat kelainan
4
perdarahan ata u pasien sedang menda pat terapi a ntikoagu lan. ' 13
Debridement seca ra meka n i k mencakup wet-to-dry dressings,
hid roterapi, dan irigasi I u ka . Wet-to-dry dressings dilakukan dengan
cara melembabkan kai n kassa ( kompres) dengan larutan normal
salin yang d iletakkan pada I u ka, kem ud ian kassa dibiarkan
mengering. J a ringan non-vital akan terangkat bila kompres diganti.
N a m u n wet to dry dressings menggunakan kassa sebaiknya
d i h inda ri, oleh karena merepotka n, m enyebabkan nyeri saat kassa
yang kering diangkat, dan desikasi jari ngan ya ng viable apabila
terlalu kering (5of: C, SoR: C). 10 Hidrotera pi denga n berendam pada
kolam a rus berteka nan rendah maupun tinggi efektif menyingkirkan
jaringa n nekrotik, n a m u n tida k dianju rkan dilaku ka n rutin oleh
karena adanya risi ko kontam inasi ((5of: C, SoR: C). 10 l rigasi u l kus
yang efektif da pat dilaku ka n denga n memberikan tekanan yang
berkisa r 4-15 psi ke I u ka dengan menggu nakan syringe 30 ml dan
kateter 18-ga uge ya ng d iisi dengan cai ra n salin (5of: C, SoR: C).
Tekanan i rigasi di bawa h 4 psi tidak efektif membersihkan Iuka,
sedangka n tekanan di atas 15 psi a ka n menyebabkan trauma dan
4
bakteri masuk ke dalam jaringan. • 10' 13' 19 Debridement secara
enzimatik dilakukan dengan aplikasi enzim eksogen pada permukaan
u lkus u ntuk m engangkat jaringan nekrosis. Metode ini relatif cukup
a m a n dan efektif. Zat yang d igunakan sebagian besar menga ndung
papain atau kolagenase. Kolagenase mendegradasi kolagen dan
elastin n a m u n tidak mendegradasi fib ri n . Papain yang dikombinasi
dengan u rea akan mencairka n fi brin dan mendenaturasi kolagen.
Kedua zat i n i diaplikasikan ha nya pada jaringan nonviable pada I u ka,
dan sebai knya tidak dioleskan pada kulit normal di sekitarnya. 19
Debridement ca ra ini berguna pada perawatan jangka panjang
pasien yang tidak dapat m entoleransi surgical debridement, namun
cara tersebut mem butuhkan wakt u yang lama dan sebai knya tidak
d i l a ku ka n bila terdapat i nfeksi. 4' 13

178
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Tata Laksana Ulkus Dekubitus

Debridement a utolitik dilakukan dengan moist interactive


dressings yang membiarka n ca i ra n I u ka a l a m i serta enzim protease
yang dikandu ngnya melu nakkan jaringa n nekrotik. Luka perlu
dibersihkan setelah metode debridement ini u ntuk mengangkat
jaringan nekrotik. Bila a utolisis jaringan tidak tam pa k dalam 1-2
minggu, metode debridement yang lain sebaiknya d i pertimba ngka n .
Metode ini tida k dianj u rka n u n t u k I u ka yang terinfeksi ata u I u ka
sangat dalam. 4' 13
Debridement secara mekanik, enzimatik, autolitik, dan/atau biologik
(menggu nakan larva) dilakukan bila tidak ada u rgensi klinis untuk
segera menyingkirka n jari ngan non-vital (SoE: C, SoR: B). 10

2. Tindakan bedah
Ti ndakan bedah pada u l kus dekubitus merupakan tinda kan
invasif pilihan terakhir u ntuk I u ka yang refrakter dengan perawatan
konvensional atau bila terdapat indikasi perl u nya penutupan I u ka
ya ng cepat. Ti ndakan bedah dapat diperti m bangkan pada u l kus
dekubitus dengan kom plikasi sel u l itis yang meluas disertai sepsis,
ulkus dengan undermining, sin us, dan/atau terdapat jaringan
nekrotik luas yang sulit dia ngkat dengan metode debridement non­
bedah (SoE: C, SoR: A). 10 Pemilihan tindakan bedah j uga disesuaikan
dengan keadaan fisik dan status mental pasien. 20 Walaupun lebih
dari 70% u lkus derajat I I sembuh setelah tera pi adekuat selama 6
bulan, hanya 50% ulkus derajat I l l dan 30% persen ul kus derajat IV
sembuh dalam periode tersebut. Konsu ltasi bedah diperlukan u ntuk
pasien dengan ulkus derajat I l l ata u IV ya ng bersih namun tidak
responsif dengan perawata n I u ka yang optimal atau bila kua litas
h idup pasien dapat meningkat dengan penutupan I u ka yang cepat
(SoE: C, SoR: A). 10 Tera pi bedah mencakup direct closure, skin
grafting, dan flaps. N a m u n saat i n i randomized controlled trials
terapi bedah sa ngat kura ng dan a ngka rekurensi tinggi. 3' 13' 21

TERAPI ADJUVAN

Sampai saat ini belu m ada penelitian yang menunj ukkan


keunggu lan tera pi u lkus deku bitus selain denga n terapi konvensional.
Setelah eva luasi pasien dan ka ra kteristik u l kus dilakukan, penggunaan

179
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Rinadewi Astriningrum

terapi adjuvan dipertim bangka n bila penyembuhan ul kus tidak


men unj u kkan kemaj uan denga n terapi konvensiona l . Apl ikasi topikal
growth factors pada ulkus, m isal nya platelet-derived growth factor-BB,
nerve growth factors, fibroblast growth factors, maupun penambahan
aplikasi tekanan su b-atmosfer pada foam dressing (vacuum-assisted
closure) meru pa kan pilihan tera pi, yang sedang dikemba ngka n, untuk
ul kus derajat I l l-IV ya ng reka lsitran terhadap terapi konvensiona l. 4'22-24
Saat ini, penggunaan growth factors u n utk ul kus dekubitus derajat 1 1 1-
IV selai n platelet-derived growth factor tidak d i re komendasikan, oleh
karena keterbatasa n bukti i l miah yang mendukung (Sof: C, SoR: C). 10
Berbagai tera pi biofisik (biophysical agents) untuk penyembuhan
u l kus deku bitus saat ini banyak dipelajari. Bentuk terapi biofisik di
a ntara nya adalah terapi elektromagnetik (misal nya stimulasi elektrik,
medan elektromagnetik, pulsed radio frequency energy, dan fototerapi
(laser, infrared, sinar u ltraviolet), energi akustik (ultrasound frekuensi
tinggi maupun rendah), energi mekanik (negative pressure wound
therapy, suction), dan terapi oksigen hiperbarik.
Ultrasound. Cochrane melakukan telaah sistematik pada tiga
penelitian RCT penggunaan ultrasound sebagai terapi ulkus dekubitus,
baik secara tungga l maupun dikombinasi dengan sinar UV ataupun laser.
Kesimpulan telaah tersebut adalah tida k terdapat bukti bahwa terapi
ultrasound memberikan keuntungan untuk terapi ulkus dekubitus.
Namun, karena jumlah penelitian yang dapat ditelaah hanya sedikit
dengan keterbatasan metodologi penelitian maupun jumlah subyek,
kemungkinan efek positif maupun efek berbahaya terapi ultrasound
belum dapat disingkirkan. 25 Penelitian lebih lanjut tentang modalitas
terapi ini masih diperlukan. Ultrasound tida k direkomendasikan untuk
digunakan pada a rea tubuh yang terda pat alat implan medis.
Penggunaan noncontact low frequency (40kHz) ultrasound spray (NC­
LFUS) tidak direkomendasikan untuk penggunaan rutin saat ini, oleh
karena keterbatasan bukti ilmiah yang menduku ng (SoE: C, SoR: C).
U ntuk debridement jaringan nekrotik, penggunaan ultrasound frekuensi
rendah (22,5; 25; atau 35 kHz) dapat dipertimbangkan (SoE: C, SoR: C).
Sedangkan u ntuk ulkus dekubitus yang terinfeksi, ultrasound frekuensi
ti nggi ( m H z ) dapat d i pe rti m ba ngka n sebagai terapi adjuvan (SoE: C,
SoR : C). 10

180
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Tata Laksana Ulkus Dekubitus

Elektromagnetik. Terapi elektromagnetik bertuj uan u ntuk mem­


perba iki proses penyembuhan I u ka kro n i k seperti u l kus dekubitus.
Tera pi ini d i lakukan dengan cara menci ptakan gelombang elektro­
magnetik ya ng d i a ra h ka n ke I u ka . Penggu naan sti m u lasi elektrik
direkomendasikan untuk u l kus deku bitus derajat II yang reka lsitra n
terhadap tera pi, maupun derajat I l l dan IV (SoE: A, SoR: B).
Penggu naan pulsed electromagnetic field (PE M F) maupun pulsed radio
frequency energy (PRFE) u ntuk u l kus deku bitus derajat I I, I l l, dan I V
juga dapat diperti mbangkan u ntuk u l kus ya ng reka lsitra n (SoE: C, SoR:
C). 10 Tera pi elektromagnetik kontraindikasi dilaku kan pada pasien ya ng
menggunakan alat implan elektrik (misal nya pacu jantung), ibu hamil,
area mata dan testis, serta ya ng memiliki kega nasa n .
Oksigen hiperbarik. Terapi oksigen h i perba ri k telah diaj u kan
sebagai terapi tambahan u ntuk I u ka ya ng su lit sembu h . Tera pi oksigen
hiperba rik adalah pemberian oksigen dengan tekanan lebih dari 1
atmosfer. Percobaan in vivo men u nj u kkan terjadi hiperoksigenasi pada
jaringa n normal maupun ja ringan denga n perfusi yang buruk. Tekanan
oksigen a rteri lebih dari 1000 mmHg seca ra rutin dicapai denga n terapi
oksigen hiperbarik. Teka nan tersebut dalam plasma a kan menyebab­
kan peningkata n regu lasi growth factors, penurunan regulasi sitokin
infla masi, peni ngkatan a ktivitas fibroblas, angiogenesis, efek
antibakteri, serta peningkatan kerja antibiotik. Telaah sistematik ya ng
di lakukan oleh Wiedmann 26 menyi mpulkan bahwa terdapat bukti
bahwa terapi oksigen hi perba ri k menuru n kan risiko terjadinya
am putasi pada pasien dia betes, namun data u ntuk ulkus vena, a rteri,
dan dekubitus masih terbatas, seh i ngga diperlukan penelitian lebih
lanjut (SoE: C, SoR: B). 10
Low-level laser therapy (LLLT). LLLT telah d iaj ukan sebaga i
pilihan tera pi yang menjanj i ka n u ntuk I u ka terb u ka . M ester pada
tahun 1971 perta ma ka li mendoku mentasikan efek biologis LLLT
dalam suatu laporan kasus. Lucas 27 melakuka n telaah sistematis efek
LLLT terhadap penyembuhan I u ka pada subyek m a n usia. Dari empat
RCT ya ng d itelaah, diambil kesimpu l a n bahwa tida k ada a rgumen
i l miah untuk aplikasi LLLT (904 nm) seca ra rutin u ntuk penyembuhan
pasien u l kus deku bitus, u l kus vena, m a u p u n u l kus kro n i k l a i n nya .
Kem udian, Lucas 27 kembali melakukan penelitian RCT untuk menilai

181
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Rinadewi Astrin i ngrum

efek LLLT sebaga i terapi adj uvan u nt u k u l kus dekubitus derajat I l l .


Kesi mpu lan d a ri penelitian tersebut adalah tidak terda pat bu kti yang
cukup kuat ba hwa LLLT d apat d igu n a ka n sebagai terapi adjuvan
dalam konsensus tata laksana ulkus dekubitus (So£: C, SoR: C ) . 10• 28
Negative pressure wound therapy (N PWT). Meru pa kan terapi
adj uvan yang da pat d i pertim bangka n pad a u l kus dekubitus derajat I l l
d a n I V (So£: B , SoR: B ) . U l kus sebai knya dilaku ka n debridement lebih
d a h u l u sebe l u m d i l a ku ka n N PWT. N PWT kontra i nd i kasi dilaku kan
pada I u ka kega nasan, bila organ vita l terpajan, ulkus tanpa eksudat,
i n id ividu dengan koagu lopati, osteomielitis, atau i nfeksi lokal pada
u l kus m a u p u n sistem i k. 10

PENUTUP

U l kus dekubitus merupakan masa lah kesehata n ya ng kompleks.


Dengan bertambahnya usia harapan hidup, a kan semakin banyak pasien
yang berisiko terbentu k ulkus dekubitus. Etiologi dan patogenesis ulkus
dekubitus penting untuk dipa hami dalam kaitan pencegahan maupun
terapi. Walaupun tindakan pencegahan merupakan tujuan utama,
namun bila u l kus telah terbentuk, diperlukan pendekatan yang
sistematik dan meyeluruh dalam tata laksana.

DAFTAR PUSTAKA
1. National Pressure Ulcer Advisory Panel. U pdated staging system. [tanggal
sitasi: 11 M a ret 2016). Tersedia pada: http://www.npuap.org/pr2 . htm.
2. Revis DR. Decu bitus u lcers. e-medicine. 2008. [tanggal sitasi: 19 April 2016) .
Tersedia pada: http://e-medicine. medscape.com/article/190115.
3. Allman RM, Pressure u lcers. Dalam: H azzard WR, Blass J P, Halter J B,
penyunting. Principles of geriatric medicine and gerontology. Edisi ke-5. New
York: McGraw Hill; 2003. h . 1563-9.
4. Bl uestein D, Javaheri A. Pressure ulcers: Prevention, eval uation, and
ma nagement. Am Fam Physician. 2008;78(10) : 1 186-94.
5. Powers JG, Odo LM, Phil lips TJ . Decubitus ( pressure) ulcers. Dalam: Wolff K,
Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, penyunting.
Fitzpatrick's dermatology in general medicine. Edisi ke-8. New York: McGraw
Hill;2012. h . 11 2 1-9.
6. Silverthorn DU. Human physiology a n integrated approach. Edisi ke-2. San
Francisco: Benjamin Cummings; 2001.h.459.

182
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Tata Laksana Ulkus Dekubitus

7. Garcia AD, Thomas DR. Assessment and management of chronic pressure


ulcers in the elderly. Med Clin North Am. 2006;90(5 ) :925-44.
8. Thomas DR. Prevention and treatment of pressu re ulcers. J Am Med Dir Assoc.
2006;7 :46-59.
9. Stotts NA, Rodeheaver G, Thomas DR. An instrument to measure healing in
pressure ulcers: Development and va lidation of the Pressure U lcer Scale for
Healing (PUSH). J Gerontol A Biol Sci Med Sci. 2001;56( 1 2 ) : M 795-9.
10. National Pressure Ulcer Advisory Panel, Eu ropean Pressure Ulcer Advisory
Panel and Pan Pacific Pressure Injury Alliance. Prevention and treatment of
pressure ulcers: Quick reference gu ide. Pert h : Cambridge Media; 2014.
11. Defloor T, Bacquer DD, Grypdonck M H F. The effect of various combinations of
turning and pressure red ucing devices on the incidence of pressure u lcers. Int J
N u rs Stud. 2005;42 :37-46.
12. Reddy M, Gill SS, Rochon PA. Preventing pressure ulcers: A systematic review.
JAMA. 2006;296(8) :974-84.
13. Wh itney J, Phillips L, Aslam R, Barbu I A, Gottrup F. Guidelines for the treatment
of pressure u lcers. Wound Rep Reg. 2006; 14:663-79.
14. Bourdel-Marchasson I, Barateau M, Rondeau V, GAGE G roup. A mu lticenter
trial of the effects of oral n utritional supplementation in critica lly ill older
inpatients. N utrition. 2000; 16:1-5.
15. Langer G, Schloemer G, Knerr A, Kuss 0, Behrens J. N utritional interventions
for preventing and treating pressure ulcers. Cochrane Database Syst Rev.
2003; (4) :CD0032 16.
16. Livesley NJ, Chow AW. Infected pressure ulcers in elderly individ uals. Clin Infect
Dis. 2002;35(11): 1390-6.
17. Flock P. Pilot study to determine the effectiveness of diamorphine gel to
control pressure u lcer pain. J Pain Symptom Manage. 2003;25(6):547-54.
18. Ovington LG. Hanging wet-to-dry dressing out to dry. Home Healthc N u rse.
2001;19(8):477-83.
19. Steed DL. Debridement. Am J Surg. 2004; 187(5A) :71S-4.
20. Sorensen JL, Jorgensen B, Gottrup F. Surgical treatment of pressure ulcers. Am
J Surg. 2004; 188(1A Suppl):42-51.
21. Gran ick MS, Eisner AN, Solomon MP. Surgical management of decubitus ulcers.
Clin Dermatol. 1994; 12:71-9.
22. Thomas DR. The promise of topical growth factors in healing pressure ulcers.
Ann Intern Med. 2003;139(8):694-5.
23. Argenta LC, Morykwas MJ. Vacuum-assisted closure: A new method for wound
control and treatment: Clinical experience. Ann Plast Surg. 1997;38(6):563-76.
24. Robson MC, Phillips LG, Thomason A, Robson LE, Pierce GF. Platelet-derived
growth factor BB for the treatment of chronic pressure u lcers. Lancet.
1992;339(8784) :23-5.
25. Baba A, Sari A, Flemming K, Cullum NA, Wollina U . Therapeutic ultrasound for
pressure u lcers. Cohrane Database Syst Rev. 2006(3):CD 001275.

183
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Rinadewi Astriningrum

26. Kran ke P, Bennett M, Roeckl-Wiedmann I, Debus S. Hyperbaric oxygen therapy


for chronic wounds. Cochrane Database Syst Rev. 2004;(2):CD004123.
27. Lucas C, Sta nborough RW, Freeman CL, Haan RJ. Efficacy of low-level laser
thera py on wound healing in human subjects: A systematic review. Lasers Med
Sci. 2000; 15 :84-93.
28. Lucas C, Gernert MJC, Haan RJ. Efficacy of low-level laser therapy in the
management of Stage I l l decubitus ulcers: A prospective, observer-bli nded
multicentre ra ndomized clin ical trial. Lasers Med Sci. 2003; 18:72-7.

184
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Tata Laksana Ulkus Dekubitus

Lampiran 1. Levels of evidence, strengths of evidence, d a n strengths of


recommendation berdasarkan European Pressure Ulcer Advisory Panel,
National Pressure Ulcer Advisory Panel, d a n Pan Pacific Pressure Injury
Alliance

Tabel 1. Level of evidence berdasarkan klasifikasi yang d igu naka n d a ri


Sackett ( 1989) terda pat dalam pedoman pencega h a n d a n tata l a ksana u l kus
deku bitus. 10
levels of Evidence
Intervention Studies Di�gnostlc studies Prognostic studies
level 1 Randomized trial(s) with clear- Systematic review of high quality Systematic review of high
cut results and low risk of error (cross sectional) studies according quality (longitudinal)
OR systematic literature review to the quality assessment tools prospective cohort studies
or meta-analysis according to with consistently applied reference according to the quality
the Cochrane methodology or standard and blinding. assessment tools.
meeting at least 9 out of 1 1
quality criteria according to
AMSTAR appraisal tool.

Level 2 Randomized trial(s) with Individual high quality {cross A prospective cohort study.
uncertain results and moderate sectional) studies according to
to high risk of error. the qual ity assessment tools with
consistently applied reference
standard and blinding among
consecutive persons.

Level l Non randomized trial(s) with Non-consecutive studies, or studies Analysis of prognostic
concurrent or contemporaneous without consistently applied factors amongst persons i n a
controls. reference standards. single arm of a randomized
controlled trial.

Level 4 Non randomized trial(s) with Case-control studies, or poor/ non- Case-series or case-control
historical controls. independent reference standard. studies, or poor qual ity
prognostic cohort study,
retrospective cohort study.

Level 5 Case series with no controls. Mechanism-based reasoning, study Not applicable.
Specify number of subjects. of diag nostic yield (no reference
standard).

*Dikutip sesuai aslinya dari kepusta kaan no. 10

Tabel 2. Strengths of evidence


Strengths of evidence
A Sesuai dengan studi level 1 .
B Sesuai dengan studi level 2, 3, 4, dan 5 .
C Sesuai dengan studi yang tidak berh ubungan la ngsung dengan
ulkus dekubitus atau merupakan penda pat ahli.
Dikutip denga n peru bahan dari kepusta kaan no. 10

Tabel 3. Strengths of recommendation


Strenghts of recommendation
A Sangat direkomendasikan
B Direkomendasikan namun lemah
C Tidak ada rekomendasi khusus
D Tidak direkomendasika n
Dikutip dengan perubahan dari kepustakaan n o . 10

185
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
PEMILIHAN LESI DAN TEKNIK BIOPSI PADA LUKA

Selviyanti Padma

DEFINISI

Luka d id efi n isikan sebagai gangguan konti n uitas struktur kul it.
Lu ka d i bagi menjadi I u ka a kut d a n kro n is. Luka a kut mela l u i proses
penyembuhan sesuai u rutan wa ktu fisiologis penyembuhan � 2 1
hari. 1 Sementa ra, I u ka kronis gaga l mela l u i p roses tersebut seh i ngga
i ntegritas a nato m i d a n fungsi jari ngan tidak tercapai. 2

ETIOPATOGENESIS

Penye m b u h a n I u ka melewati 4 fase ya ng da pat berla ngsung


tumpah-tindih yaitu hemostasis, i nfla masi, proliferasi, dan remodeling.
Secara makroskopis, penyembuhan Iuka dipengaruhi oleh ukuran,
keda laman; d a n lokasi I u ka; usia pasien; serta fa kto r sistem i k maupun
lokal (l ihat tabel 1 . ) Lu ka a kut d a n I u ka kronis m e m i l i ki ka ra kteristik
yang berbeda secara moleku ler. Lu ka ya ng d apat sembuh u m u mnya
memiliki jumlah bakteri, serta kadar sitokin i nflamatorik, protease, dan
spesies oksigen reaktif ya ng rendah. Selain itu, matriks da pat berfungsi
norm a l, a ktivitas mitogen tinggi, dan sel yang mampu bermitosis. Di
lain sisi, fa ktor-faktor yang mengganggu penyembuhan I u ka mencakup
oksigenasi ya ng ku ra ng, i nfla masi kron is, sel-sel ya ng menua, sitokin,
serta kolon isasi ba kteri dalam j u m l a h banyak. 3

186
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Pemilihan Lesi dan Teknik Biopsi pada Luka

Tabel 1. Faktor sistemik dan lokal yang mempengaruhi proses penyembuhan


Iuka.

Sistemik Lokal
• Umur • Penyakit vasku lar (vena dan a rteri)
• Mal nutrisi • Neuropati atau teka nan
• Obat-obatan ( korti kosteroid • l nfeksi
dan imunosu presa n) • J a ringan nekrosis pada dasar I u ka
• Obesitas atau tega ngan I u ka yang berlebi h
• Penyakit kronis (gagal jantu ng, • Lingkungan lokal yang tidak ba i k
penyakit a utoimun, h i poksia, ( prod u k topikal atau dressing yang
penyakit endokrin, penya kit tidak tepat, derm atitis kontak, dan
vasku l a r, dia betes, kan ker, dan I u ka yang terlalu basah atau
im unosu presi) terl a l u keri ng)
*Dikutip dengan modifikasi dari kepustakaan no.3

EVALUASI LU KA

Luka kronis dapat meningkatkan mortalitas dan morbiditas ka rena


adanya infeksi, rasa nyeri, pembatasan a ktivitas, dan beban psikososial.
Dalam penanganan Iuka kronis, kli nisi harus dapat mendiagnosis dan
menangani etiologi Iuka. Langkah pertama dimulai dengan menentukan
diagnosa Iuka kronis yang paling umum yaitu u l kus varikosum, u lkus ka ki
diabetikum, ulkus dekubitus, serta u lkus arteriosum . Bila tidak termasuk
dalam salah satu di atas, maka pikirkan kemungkinan Iuka kronis atipikal,
ya itu vasku l itis; vasku lopati; necrobiosis /ipoidica; pioderma
gangrenosu m; ulkus hipertensi; keganasan; dan penyebab lainnya.
Pemeriksaan penunjang diagnosis dipilih berdasarkan riwayat penyakit
dan pemeriksaan fisis pasien misalnya biopsi jaringan, kultur,
pemeri ksaan darah, vaskular, dan M RI (Gambar 1). Pemeriksaan fisik
dilakukan penentuan lokasi, u ku ra n, batas, bentuk ul kus, jumlah u lkus,
tepi Iuka, wa rna, karakteristik dasar Iuka, kedalaman Iuka, adanya lesi
satelit atau nodul, fibrin, jaringan granulasi, j a ri ngan nekrotik, kelenjar
getah bening, denyut nadi dorsalis pedis dan tibialis posterior, lesi kulit
sekitar Iuka, deformitas tungkai, eksudat, nyeri, h ingga ada/tidaknya bau
3
tidak sedap.

187
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Selviyanti Padma

Evaluation of Non­

-ff�tory of presenti Dnes1


healing leg Ulws

-Past medical history and


medical history
- fami� and social history
- Review of �ems
- Physical Exam

Merial Diabetic Non-healing despite 4-6


Venous Ongin Unusual
Origin Origin weeu ofadfGUate wound
Origin
care and management
- Vtnous duplex ultrasound C.refully rule Evaluate for underlying medial
Ankle-brachia\ index
- Ankl�rachial index out coincident comorbidity with: complete blood
-

lncisional biopsy including


tt unilateral �mphatic - Consider CT or MRA inlection such as - count, albumin, liver function tests, wound base and edge
fol
·

basic metabolk pan� to include


disease is suspected, consider to evaluate osteomyerms
!consider biopsy of normal
imaging of the pelvis to ru� obstructive disease which is best creatinine, BUN and glucose skin for direct
out compression li.e. and necessity of seen on MRJ
im1111Jnofluorescence if
surgkal inteivention
malignant tumor or
Suspected inferoon : biopsy for tissue val(Ufitis � suspected!
lvmphadenopathy)
analysis and culture for bacterial,
Suspected vasculitis: C·reactive piotein,
atypical mycobacteria\ and fungal
infections (may also consider a PPD
erythrocvte sedimentation rate,

or serum quantiferon gold to rule out


C'jtop�smic·ANCA, pennudear·ANCA,
total complement, Cl, C4, CT)llgiobulil\$,
tubercu�sis
cryofibrinogen, hepatitis C, antibody,
serum protein electrophoresis with Suspected nutrional deficiency:
immunofixation albumin, prealbumin, ferritin, zinc
levels
Suspected va1eu�pathy: PT, ITT,INR,
factor V Leiden, prothromhin G10LIOA
mutation, methyltetrahydrofolate
reducatase mutation, cystathion-beta1- antinuclear antibodies, dsDNA,
1Ynthase mutatioo, antithrombin 111, rheumatoid factor!, blood piessure
protein C, protein S, plasminogen,
anticardioli�n antibodies, anti-betal·
glycoprotein, lupus anticoagulant Suspected pyoderma gangrenosum:
w111k up forunder�ing condition such
as inflammatory bowel disease,
Suspected primary cutaneous disorder
(i.e. necro�osis lipoidic.a malignancy):
autoimmune diS01der, hepatit� C

incisional biopsy

Gambar 1. Alur eva luasi Iuka kronis setelah mendapat riwayat penyakit
sekara ng, riwayat pengobatan, keadaan u m u m dan pemeriksaan fisik.
* Dikutip sesuai asli nya dari kepusta kaan no. 3

188
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Pemilihan Lesi dan Teknik Biopsi pada Luka

PEMILI HAN LESI DAN TEKN IK BIOPSI

Diagnosis diferensial u ntuk I u ka ati pika l sangat berag a m . Biopsi


Iuka da pat memba ntu menegakka n diagnosis, menyingkirkan diagnosis
banding, mengambil ja ringan u nt u k ku ltur, dan ekskl usi kem u ngki n a n
keganasa n . O l e h sebab itu, pem i l i h a n lesi dan teknik u ntuk biopsi
sa ngat penting untuk mengu ra ngi risiko misdiag n osis. Berikut i n i
adalah berbaga i jen is/tekn i k biopsi pada ku lit, ya it u : 5
1. Biopsi punch/plong : pengambilan jaringan ku l it menggunakan alat
berbentuk silinder (punch/plong), berukura n dia meter 2-8 m m .
2 . Biopsi shave/tangensia/: pengambilan jaringa n ku l it menggu nakan
pisau skalpel/silet khusus shave biopsy h ingga kedalaman mencapai
dermis superfisial/tenga h .
3. Biopsi insisi : pengambilan jaringan kulit menggunakan pisau skalpel,
tanpa mengambil keseluruhan lesi ku l it.
4. Biopsi eksisi: penga m bilan jaringan kulit menggunaka n pisau
ska lpel, dengan menga ngkat seluruh lesi kulit.

Pada umumnya, biopsi harus mencakup epidermis hingga


subkutan, kecua l i pada kelainan ya ng terbatas pada epidermis dan
dermis atas. 4 Lesi yang diambil adalah lesi yang sudah terbentu k . Bila
ada vesikel, bula, dan pustul, maka biopsi d isara n ka n u ntuk diambil
pada lesi ya ng baru terbent u k dalam 24 j a m tera khir. Tabel 1
menunjukkan berbaga i ca ra pengambilan jari nga n dan tekn ik bedah
yang dilakuka n pada lesi ku lit.
Risiko keganasan meningkat pada I u ka yang tidak sembuh dalam
3 bulan terapi sta ndar. 7 Karsinoma sel skuamosa da pat timbul pada
bekas Iuka lama, Iuka bakar, atau jari ngan ikat ya ng disebut Marjolin 's
ulcer.8 Keganasan lain yang dapat timbul pada Iuka kronis yaitu
karsinoma sel basa l dan melanoma. 9' 10 H u bu nga n I u ka kronis dan
kega nasan da pat d i bagi menjadi 4 kategori, yaitu :
1 . Luka ya ng berdegenerasi menjadi kan ker.
2. Keganasan ya ng berman ifestasi seperti I u ka kronis.
3. Luka pada pasien dengan keganasan sistem i k (limfoma dan leukimia ).
4. Luka yang muncul a ki bat d a ri terapi kega nasa n .

189
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
...... Vl
(I)
l..O label 1. Pengambilan jaringan dan teknik bedah yang dil akukan pada lesi kulit*
<
0 .;::·
Penya kit QJ
::l
Waktu Pengambilan Lokasi Metode Biopsi
Acrodermatitis chronica atrophicam �­
-0
Stadium lanjut Tengah lesi dan jaringan kulit Dua punch.
QJ
a.
normal sekitarnya Alternatif: biopsi insisi meliputi kulit normal dan bagian atroflk
n Passini-Pierini
Atrophodena Stadium lanjut Regio tengah atrofik dan kulit Dua punch. 3
normal sekitarnya Alternatif: biopsi insisi meliputi kulit normal dan bagian atroflk
QJ
Eritema multiforme Lesi target Satu dari daerah tengah yang Punch
gelapfkehitaman; satu dari tepi
eritematosa
Eritema nodosum dan semua panikulitis Lesi aktif, minggu pertama Tengah lnsisi dalam meluas ke subkutis, dengan kultur jaringan

Fasciitis Aktif Tengah lnsisi diperluas hingga fascia


Liken slderosus et atrofikus Lesi aktif Tepi Punch
Liken sklerosus et atrofikus Stadium lanjut Tengah bagian atrofik porselen/licin Punch

Lupus eriternatosus, diskoid Lesi aktif Plak berskuama eritematosa Punch


dengan sumbatan folikular
Lupw tumidus Lesi alctif Di mana saja
Lupus eriternatosus, kulit subakut Lesi aktif Di mana saja
Lupus eriternatosus, sistemik Lesi aktif Di mana saja
Lupus profundus Depresi bagian tengah dan Tengah lnsisi atau eksisi
daerah sekitamya
Mikosis fungoides Stadium patch/ bercak, lesi Tengah Dua atau lebih punch, Shove lebar
belum d iterapi
Stadium plak, non-ulseratif Bagian yang paling terinfiltrasi Satu atau l ebi h punch, shave lebar
Stadium tumor, non-ulseratif Area berindurasi Punch, shave lebar
Primary cutaneous B-«11 /ymphoma Setiap saat Area indurasi lnsisi dalam
Morfea • Awai Lilac ring • Punch
• lanjut • Punch
Necrobiosis lipoidica Setiap saat Bagian tengah atrofi berwarna lebih Punch
putih, hindari area bertulang

BP: Bullous pemphigoid; Pl/: Pemphigus vulgaris; DH: Dermatitis herpetiformis; PCT: Porphyria cutanea tarda; EBA: Epidermolisis bull-Osa acquisita; SSJ: Steven johnson's syndrome;
TEN: Toxic epidermal necrolysis; SSSS: Staphyloccal scalded skin syndrome.
* Dikutip dari kepustakaan no. 4 dan 6 "Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Lanjutan Tabel 1. Pengambilan jaringan dan teknik bedah yang dilakukan pada lesi kulit*
Nephrogenic /ibrosing dermopathy Plak sklerotik Area berindurasi atau plak sklerotik Dua punch 5 mm. Lesi punch dibagi dua. Satu untuk
dan kulit tampak normal pemeriksaan patologis dan satu dengan kulit normal untuk
identifikasi gandolinium (bila tersedia)
PlfVA 2·3 minggu Papul nekrotik Punch
Pioderma gangrenosurn Lesi kecil, awal non-ulseratif Seluruh lesi Eksisi dengan kultur jaringan
dan penyakit ul5eratif
lb?lapsing po/ychondritis Lesi ulseratif Ulkus dengan tepi Punch 5 mm dengan kultur
Lesi aktif Telinga Punch sampai pinna, diikuti dengan penjahitan kulit pada
kedua sisi lebih dipilih dibandingkan wedge biopsy
Nasofaring Biopsi oleh dr. THT
Slderomiksederna Kulit sklerotik Papul berbintik·bintik Punch
Urtikaria dan urticaria/vasculitis Aktif tiga hari Lesi Punch
Vakulitis, pembuluh darah kecil Minggu pertama Purpura yang menimbulfteraba Punch dalam. insisi atau eksisi
(palpable)
Vaslrulitis, vena atau arteri Minggu pertama Tengah lesi lnsisi dalam
sedang/besar
Vaslrulitis, livedo Kapan saja Tengah (cincin non-livid atau Punch dalam atau insisi
eritematosa)
Penyakit vesikobulosa (BP, PV, DH, Lesi awal (bila mungkin • Vesikel kecil intak Shove atau insisi
linear ICA, PCT, EBA, dll.) <12jam) • Perilesi � 1 cm dari tepi
vesikel/bula (imunofluoresensi)
SSJ/TEN/SSSS Lesi awal Vesikel/kulit deskuamasi Shave
BP: Bullous pemphigoid; PV: Pemphigus vulgaris; OH: Dermatitis herpetiformis; PCT: Porphyriil rutanea tarda; EBA: Epidermolisis bullosa acquisita; SSJ: Steven johnson's syndrome;
TEN: Toxic epidermal neaolysis; SSSS: Staphyloccal scalded skin syndrome.
• Dikutip dari kepustakaan no. 4 dan 6

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Selviyanti Padma

Berbagai tanda dan gejala yang mengarah pada keganasan tanpa


adanya sebab lain adala h : Iuka yang tidak membaik dengan perawata n
optimal; jaringan gra n u lasi ya ng rapuh; mudah berdarah; ja ringan
yang tumbuh berlebih dan indurasi; mengeluarka n bau tidak enak;
d a n adanya destru ksi jaringan sekitar. 11
Pada kasus kega nasan, biopsi harus mencakup lesi hi ngga tepi
lesi, dan pada kasus tertentu d i butu h kan biopsi m u ltipel pada tepi
lesi h ingga tengah lesi. 7 (Ta bel 2)

label 2. Rekomendasi biopsi pada lesi kega nasan


Penya kit Metode Biopsi
Melanoma maligna E ksisi biasa, bila memungkinka n
punch d a r i a rea paling i nfiltratif
Lentigo maligna Shave
N evus junctional Se luruh lesi dengan punch/eksisi
N evus i ntraderma l/compound Shave, punch, eksisi
Karsinoma sel basal, su perfisial Shave
Ka rsi noma sel basa l, nodular, mikronod u l a r, Punch dalam
infiltrating, atau morfea
Karsinoma sel skuamosa, in situ ( Bowen's Punch dalam sampai dasar lesi
d isease), infiltrating, dan kega nasan lainnya
* Dikutip dengan mod ifikasi dari kepusta kaan no.4

PENUTUP

Luka kronis dapat meningkatkan mortalitas dan morbiditas karena


i nfeksi, nyeri, membatasi a ktivitas, dan beban psikososial. Pena nganan
I u ka kronis dimulai dengan mengidentifikasi penyebab terjadinya Iuka.
Riwayat penya kit pasien, riwayat pengobata n, keadaan um um,
pemeri ksaan fisis, serta biopsi I u ka dapat membantu menegakkan
diagnosis, menyingkirkan d iagnosis banding, mengambil jaringan untuk
ku ltu r, dan menyingkirka n keganasa n . Pemi lihan lesi dan tekn ik biopsi
ya ng benar akan mengura ngi risiko salah diagnosis, serta membantu
penanganan I u ka kronis lebih lanjut.

192
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Pemilihan Lesi dan Teknik Biopsi pada Luka

DAFTAR PUSTAKA
1. Luttrell T . H ealing response in acute a n d chronic wounds. Da lam: H a m m RL,
penyunting. Text and atlas of wou nd diagnosis and treatment. New York: Mc­
Graw H i l l ; 2015. h . 15-67.
2. Lazarus GS. Definitions and guidelines for assessment of wounds and
evaluation of healing. Arch Dermatol . 1994; 130(4):489-93.
3. Morton LM, Phillips TJ. Wound healing and treating wounds: Differential diagnosis
and evaluation of chronic wounds. J Am Acad Dermatol. 2016;74:589-605.
4. Sina B, Kao GF, Deng AC, Gaspa ri AA. Skin biopsy for inflammatory and
common neoplastic skin d iseases and optimum time, best location and
preferred tech niques: A critical review. J Cutan Pathol. 2009:36: 505-10.
5. Nischal U, Nichal KC, Khopkar U. Tech niques of skin biopsy and practical
consideration. J Cutan Aesthet Surg. 2008; 1(2):107 -11.
6. Elston DM, Stratman EJ, Miller DJ, Skin biopsy. Biopsy issues in specific
diseases. J Am Acad Dermatol . 2016;74: 1-16.
7. Senet P, Combemale P, Debure C, Baudot N, Machet L, Aout M, dkk. Malignancy
and chronic leg ulcers: The value of systematic wound biopsies: A prospective,
multicenter, cross-sectional study. Arch Dermatol. 2012;148(6) :704-8.
8. Sabin SR, Goldstein G, Rosenthal HG, Haynes KK. Aggressive squamous cel l
carcinoma originating as a M a rjolin's ulcer. Dermatol Surg. 2004;30(2):229-30.
9. Hwang Kun, Han JY, Lee SI. M u ltiple ma lignant melanomas at d ifferent burn
scar areas: A case report. Dermatol Surg. 2004;30:562-65.
10. Combemale P, Bousq uet M, Kanitakis J, Bernard P. Ma lignant transformation
of leg ulcers: A retrospective study of 85 cases. J Eur Acad Dermatol Venereo l .
2007;21 :935-41.
11. Alavi A, Niakosari F, Sibbald RG. When and how to perform a biopsy on a
chronic wou nd. Adv Skin Wound Care. 2010; 23:132-40.

193
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
SIFILIS: APAKAH HANYA SUATU PENYAKIT KELAMIN?

Euis Mutmainnah

PENDAHU LUAN

Sifilis masih menjadi permasa lahan kesehatan global mengi ngat


i nsidens nya ya ng terus meni ngkat di berbagai bela han dunia h ingga
saat ini. 1 Penya kit i nfeksi menular seksual ( I MS) tersebut dapat menjadi
serius apabila tidak ditata laksana dengan tepat. Penularannya sifilis
umumnya terjadi melalui hubungan seksual, baik itu vaginal, anal,
ataupun oral. Kendati demikian, tida k sedikit kasus sifilis terjadi a kibat
pen u l a ra n ibu ke j a n i n . H a l itulah yang menjadi sa lah satu penyebab
perkem ba ngan penya kit sifi l is kura ng mengge m biraka n . 2
Pada dasarnya, sifilis dapat dengan mudah diobati dengan
a ntibiotik yang tepat. Pengobatan nya d itujukan tidak hanya kepada
pasien, namun juga kepada individu berisiko. Selain terapi medika­
mentosa, diperl ukan juga motivasi u ntuk melakukan pemeriksaan, tata
laksana, h ingga asuhan ti ndak lanjut terhadap pasien dan pasangannya. 2

EPIDEMIOLOGI

World Health Organization (WHO) m e m perkira ka n bahwa


terda pat 2 j uta kasus baru sifilis setiap tah u n . 3,4 Kasus sifilis mulai
d ila porka n d i Amerika Seri kat (AS) sejak ta h u n 1941 dan menjadi
masa l a h penting di Eropa Barat pada akhir tah u n 1990. 1' 5 sejak
penisilin dite m u kan, i nsidens sifi lis mengal a m i penurunan, tetapi
kembal i meningkat pada akhir tahun 2000. 1' 3
D i Amerika Seri kat pada ta h u n 2001, angka kejadian sifilis
dila porka n menurun yaitu sebanya k 6 . 103 kasus, n a m u n setelah itu
terus meni ngkat hampir setiap tah u n sehingga didapati tah u n 2014
sebanyak 19.999 kasus. 2
S u rveilans terpadu biologis dan perilaku (STBP) di bawa h
Kementri a n Kesehatan RI yang d i l a ku ka n tah u n 2013 pada kelompok
berisiko tinggi mela porka n, preva lensi sifilis di beberapa daerah

194
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Sifilis: Apakah Hanya Suatu Penyakit Kelamin?

ternyata cukup berva riasi. Preva lensi sifi lis d itemukan cenderu ng
meni ngkat pada lela ki ya ng berh u bu ngan seksual denga n lelaki l a i n
( LSL), ya kn i sebesar 1 1,3% p a d a tah u n 2013, apabila d i band ingkan
dengan hasil survei sebelu mnya pada tah u n 2009 ya ng hanya sebesar
8%. 6
Saat i n i sifi lis telah berke m bang d a ri I MS menjadi masal a h
tra nsmisi ibu k e janin ya ng men i ngkatka n komplikasi keh a m i l a n d a n
kejadian sifilis kongenita l . Centers for Disease Control a n d Prevention
(CDC) Amerika Serikat mela porkan ada nya peningkata n kasus sifi lis
pada wa n ita dari tah u n 2013 h ingga 2014 sebesa r 22,7%. Semakin
tingginya kasus sifi lis pada wa n ita akan meningkatka n kasus sifilis
kongen ita l pada bayi, ya kni sebesa r 37% kasus d a ri tahun 2012 ke
2014. 2 Data WHO di Indonesia ta h u n 2013 m e n u nj u kka n bahwa
pelapora n kasus sifilis ya ng terdeteksi pada pemeriksaa n a ntenatal
hanya sebesar 1%. 7 l b u h a m i l dengan sifilis d i n i yang tidak d iobati
memiliki risiko kematian j a n i n dan neonatus masing-masing sebesa r
25% dan 14%, serta angka kematian perinatal sebesa r 40%. 8

PATOGENESIS

Sifilis adalah penyakit i nfeksi bersifat kronis dan sistemik yang di­
9
sebabkan oleh Treponema pal/idum subspesies pallidum ( T. pallidum).
Patogen tersebut termasuk ke dalam kelompok bakteri berbentuk
spiral atau Spirochaetaceae, serta berkaitan dengan Treponema
patogen lain yang menjadi penyebab penyakit nonvenereal.
Bakteri T. palfidum masuk ke dalam tubuh manusia mela l u i per­
mukaan atau mu kosa kulit yang mengalami abrasi. 10 Organisme ini m e­
masu ki jaringan dan a liran darah dalam waktu singkat, kem ungkinan
melewati taut antara sel -sel endotel. Selama infe ksi ba kteri a kut, sel
yang perta ma menginfi ltrasi lokasi infe ksi ialah leukosit poli morfo­
n u klear ( P M N ) . 10 Leu kosit P M N sela njutnya a ka n d igantikan oleh
l imfosit yang mensekresikan l i mfokin sehi ngga menarik dan meng­
aktivasi makrofag. 11 Pajanan terhadap T. pallidum secara terus menerus
akan menstimulasi sel l imfosit B, 10 sedangkan sel plasma ya ng d itemu­
kan pada infiltrat, menunj u kkan respons h um ora l yang menga l a m i
elisitasi, dan selanj utnya membentuk a ntibodi terhadap T. pallidum. 11

195
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Euis Mutmainnah

Sifi lis u m u m nya ditu l a rka n melalui konta k seksual, n a m u n sifilis


kongenital terjadi a ki bat tra nsmisi tra nsplasenta l . Menurut WHO,
i nfeksi da pat d i klasifikasikan menjadi kongenita l (mother to child
transmission/MTCT) atau didapat ( m e l a l u i h u b u ngan seksual ata u
transfusi dara h ) . 12 Tra nsmisi mela l u i konta k seksual terjadi akibat
pajan a n terhadap lesi sifi lis primer atau sekunder pada m u kosa
lembap ata u kulit tidak utu h . J i ka sifi lis tidak d iobati, kem u ngki nan
da pat terjadi relaps dalam periode 2 ta h u n . Oleh sebab itu, pasien
sifi lis ta n pa pengobata n masih da pat m e n u l a rkan penyakitnya dalam
1 h ingga 2 tah u n perta ma. Perempuan hamil da pat menu larkan sifilis
kepada jani nnya segera setelah awitan i nfeksi . 13
Perjalanan kl i n is penya kit ya ng tidak diobati setelah seseora ng
teri nfeksi T. pa/lidum da pat di li hat pada gambar 1.

!
Exposure

Primary incubc1tron
1 0- 90 davs from e11 posure

j
Primary syphilis ---�--- Early neurosyph11is
CNS invasion �---- ,------.,
{25°tJ 60"oJ
Chancre formation

nJect·u...�
Secondary incubation
4 10 weeks a11cr
v1a se> al tr appearance ol chancre
motner-t -chrld Recurrence
Iransmrss10'r (24°0)
Secondary syphilis --._..._/ Asymptomattc Symptornatrc

l
f5'-',,,}
\ic•11ng1t·s
Crarna neuritis
Ot1J;a1 1nvci·veme
1�--Early latent syphilrs
r�1
MemrgovascL.lar
_..

(Asyrn<JtornalicJ disease
<I year post1nfecl1on

�--
l
Late latent syphilis
tAsyrnpto1na11cJ
>I year pos11nlcc11on

Terliary syphilis
j l
Terttary syph1l1s

•., ·c 1 Late neurosyph11is


Cardiovascular syphilis Gummatous disease
( 1 0".JI ( 1 5'o) General paresis Tabes dorsahs
Onset 20 30 years Onset 1 4G years 12· .. -s•.i 12"" 9-oj
alter 1nfcc1Kln a!lcr rnicction Onsel 2�10 years Onset 3-50 years
niter infect on ;iftrr 1nlectmn

'
Gambar 1. Perjalanan alami sifilis yang tidak d iobati
* Dikutip dari kepustakaan no.11

196
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Sifilis: Apakah Hanya Suatu Penyakit Kelamin?

MANI FESTASI KUNIS

Perjalanan penyakit sifilis terdiri atas tiga stadium klinis (primer,


sekunder, dan tersier), serta stadium laten. 10 Untuk kepentingan
pengobatan, maka sifilis dapat dibagi lebih lanjut menjadi sifilis dini,
laten lanjut, neurosifilis, kongenital dini, serta kongenital lanjut.

Sifilis Primer
Sekitar sepertiga individu normal ya ng konta k dengan lesi sifilis
dini a ka n terinfeksi. Periode i n ku basi sifilis kisaran 10-90 h a ri ( rata­
rata 3 m i nggu) sebelum timbul lesi primer di lokasi penetrasi
Treponema. Lesi awa l berupa makula merah redu p ya ng berkembang
menjadi papul, kemudian mengalami u l kus atau u l serasi di bagian
tengah . U l kus ini berbentuk bulat atau ova l, berdia meter sekita r 1
cm, berbatas tegas, tepi rata, dengan i n d u rasi keras ata u kenya l . J i ka
tidak ada tra u ma atau i nfeksi sekunder, u l kus tidak terasa nyeri.
Dasar u l kus bersih dan berwa rna mera h kecoklata n, serta dapat j uga
ditemukan krusta kekuningan ata u ja ringan nekroti k kea bua n . 11
Ul kus genital berukuran 1-2 cm yang tidak nyeri merupaka n petunj u k
penti ng d a l a m a na m n esis perjalanan i nfeksi sifi l is. 14
Lokasi ulkus sifilis primer tersering adalah di a rea genital, perinea!,
atau anal. Meskipun demikian, u l kus dapat ditemukan pada setiap
bagian tubuh bergantung pada cara hubungan seksual yang dilakuka n .
Sebagian besa r ulkus pada pria terdapat di pen is, d a n pada wanita d i
labia, fourchette, atau serviks. 14 J i ka tidak diterapi, ulkus dapat menetap
1-6 minggu. Akan tetapi, bila segera diobati ulkus akan mengalami
resolusi dalam 1-2 minggu dan menyembuh tan pa jaringan parut. 11
Ulkus yang bersifat m u ltipel, lebih dalam, lebih besa r, dan suka r sembuh
umumnya dijumpa i pada pasien sifilis dengan ko-infeksi H IV. 14• 15

Sifilis Sekunder
Erupsi lesi sifilis sekunder umumnya terjadi 3-12 minggu setelah
timbul lesi primer, namun dapat beberapa bulan setelah nya atau
sebaliknya timbul sebelum lesi primer menghilang. 11 Sifilis sekunder
terjadi karena penyebaran hematogen dan l i mfogen T. pallidum. 16
Meskipun ja ra ng, man ifestasi kl i n is da pat d iserta i gejala prodromal,
misal nya mala ise, nafsu m a ka n men u ru n, demam, nyeri kepala, ka ku

197
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Euis Mutmainnah

leher, la krimasi, mia lgia, a rtra lgia, pilek, h ingga depresi. Aka n tetapi,
sebagia n besa r pasien hanya menga la m i eru psi di kul it. 11
Lebih dari 95% erupsi sifilis sekunder berupa makular, makulo­
papular, papular, atau a n u l a r. Eru psi nod ular dan pustu lar jarang
ditemuka n . Lesi vesikobulosa umumnya terlihat pada sifilis kongenital.
Erupsi seringkali berpola simetris dan dapat polimorfik. Sebagian kecil
kasus sifilis sekunder disertai pruritus. Tahap sekunder ini umumnya
a ka n membaik d a l a m 4-12 m i nggu . Pasien i m u nokom promais dapat
menga l a m i ga m ba ra n sifilis m a l igna, ya itu papulopustul dan nodus
generalisata ya ng menjadi nekroti k, beru lserasi, dan dilapisi oleh
krusta rupioid menyeru pai kulit kera ng. 11' 17

Sifilis Laten

Sifilis sekunder biasanya d ii kuti oleh tahap asimtomatik tanpa


gejala kli n is dengan uji serologis reaktif. Periode laten ini dapat
menetap jangka panja ng, d iselingi relaps sifilis sekunder, atau
berkem bang menjadi sifilis tersier. Berka itan dengan kepentingan
terapi dan epidemiologik, tahap ini terbagi atas sifi lis laten dini (kurang
dari 1 tah un ) dan laten lanjut (lebih dari 1 tahun). Durasi infeksi
tersebut ditetapka n berdasarkan anamnesis dan uji serologis sebelum­
nya . J i ka d u rasi tidak d apat d itetapkan, m a ka d i n a ma kan laten
indeterminate dan d iterapi sesuai dengan sifi lis laten l a njut. 11

Sifilis Tersier

Sifi lis yang tidak d itata laksana akan berkembang menjadi sifilis
tersier pada sepertiga kasus. M a n ifestasi klinis uta ma tahap ini
terbagi atas sifi lis j i n a k l a nj ut, sifi l is ka rdi ovasku lar, dan neurosifilis. 18
Sifilis jinak lanjut meliputi semua manifestasi si mtomatik sifilis setelah
tahap sekunder yang tida k melibatkan kardiovaskular ataupun sistem
saraf. Lesi pada sifilis ini timbul a kibat respons inflamasi yang di­
perantarai sel terhadap sejumlah kecil Treponema di jaringan. Organ
yang sering terlibat ialah kulit (70 %), membran m ukosa ( 10,3 %), dan
tulang (9,6 %). Lesi kulit terbagi atas tiga tipe, yaitu nodus granulo­
matosa, plak granulomatosa psoriasiformis, dan guma. 19

198
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Sifilis: Apakah Hanya Suatu Penyakit Kelamin?

Sifilis pada Kehamilan dan Sifilis Kongenital

lstilah 'sifilis kongenital' selama ini digunakan u ntuk mendeskripsi­


kan risiko ya ng dapat terjadi a ki bat i nfeksi sifilis pada keh a m i l a n .
Konsensus WHO p a d a ta h u n 2 0 1 2 menyara n ka n penggunaan istilah
MTCT of syphilis' u ntuk m engga ntikan istilah sifilis kongen ita l . Hal
tersebut bertujuan u nt u k meningkatka n kewaspadaan terhadap
spektrum risiko i nfeksi sifi l is pada keha m i lan, yaitu termasuk
kematian janin, kematian neonatal, kela h iran p re matur dan berat
bayi lahir rendah, sebaga i m a n a da pat terjadinya deformitas saat
lahir. 20 Semakin awal infeksi terjadi pada saat keh a milan, semakin
besar kem u ngkinan janin akan tertu lar. Tra nsmisi lebih umum terjadi
pada trimester 2 dan 3 . M eskipun demiki a n, Spirokaeta dapat
melewati plasenta sepanjang m asa kehamilan. 21 M ortal itas pada bayi
ya ng terinfe ksi dapat lebih d a ri 10%. 22
Manifestasi klinis sifilis pada kehamilan tidak berbeda dengan
sifilis dewasa umumnya, sedangkan sifilis kongenital pada bayi mem­
berikan gambaran klinis yang berupa sifilis kongenital dini atau sifilis
kongenital lanjut.
Sifilis kongen ita l d i n i
Sifilis kongen ita l d i n i dapat melibatka n t u l a n g d a n persendian.
Selai n itu, da pat pula terjadi sindrom nefrotik dengan edema genera­
lisata dan man ifestasi okular. Kelenj a r epitroklear yang membesar
meru pakan tipikal sifi lis konge n ital. Hepatom egali dan splenomegal i
p u n dapat terjadi, kejadian i kteri k dila porka n pada 3 3 % kasus sebagai
konsekuensi dari hepatitis sifi litika atau anemia hemolitik. Limfade­
nopati genera lisata dite m u ka n pada 50% pasien . 23
Keterlibatan m u kokutan u m u m nya tampak pada 70% bayi ter­
infeksi, da pat muncul sejak l a h i r ata u berkembang dalam beberapa
mi nggu awa l kehidupan. M a n ifestasi ya ng paling u m u m berupa lesi
makulopapular merah-tembaga, terutama di tangan dan kaki.
Deskuamasi dan krutasi timbul dalam 1-3 minggu. Rinitis dapat meru pa­
kan gejala awal dan umumnya berhenti sebelu m usia 4 bulan. Sekret
h id u ng seringka l i disertai sedikit d a ra h dan i nfeksi bakteri seku nder. 24
Semua lesi mukokutan dan sekret mengandung banya k spi rokaeta dan
sangat infeksius. Setelah usia 2-3 bulan, area perioral dan perianal da pat

199
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Euis Mutmai nnah

m e m i l i ki lesi datar kondiloma lata yang da pat menimbu l ka n fisu ra


d a n skar.

Sifi l is kongenital lanjut

Vaskulitis sifilitika menjelang persalinan dapat menimbulkan


abnormalitas gigi yang mengakibatkan kalsifikasi gigi di tahun pertama
kehidupan. Kelainan gigi dapat berupa gigi Hutchinson berbentuk
seperti pasa k kecil (peg-shaped). Man ifestasi okular khas berupa
keratitis interstisial yang pada umumnya terdiagnosis usia 5-20 tahun.
Kelainan ini dapat menimbulkan glau koma seku nder atau kekeru han
korneal. Gangguan pendengaran dapat terjadi akibat keterlibatan saraf
VI I I . Meskipun umumnya terdiagnosis pada usia 30-40 tahun, kelainan
ini dapat timbul pada usia di bawah 10 tah u n . Gigi Hutchi nson, keratitis
i nterstisial, dan ketulian saraf VIII dinamakan Trias Hutchinson. 23
Rin itis sifilitika dapat mengganggu pertumbuhan rahang atas,
sehingga menimbulkan struktur abnormal bagian tengah wajah. Destruksi
tulang rawan hidung sebagai a kibat proses inflamasi dapat meng­
akibatkan perforasi septum nasalis dan menyebabkan saddle nose. 23
Manifestasi neurologis di antaranya ialah retardasi mental,
hid rosefal us, gangguan kejang, abnormalitas saraf kranial (termasuk
kebutaan dan ketulian), dan juvenile general paresis. Keterlibatan tulang
sifilis kongenital lanjut meliputi sekuele dari periostitis jangka panjang.
Secara ringkas ga mbaran sifilis kongenital tercantum pada tabel 1.

TATA LAKSANA

Pemeriksaan penunjang diperlu kan u ntuk menegakkan diagnosis,


tata la ksa na, dan eva l uasi hasil pengobatan sifi lis. Metode diagnostik
d i l a ku ka n bertuj uan u nt u k menca ri T. pallidum ata u uj i serologis
u ntuk mendeteksi antibodi yang terbentuk. 25 Menu rut panduan US
Centers for Disease Control and Prevention (CDC) dan International
Union against Sexually Transmitted Infection ( I U STI), uji serologis
sifil is, sebaga i penunjang ga m bara n klinis, tetap menjadi standar
d iagnostik. Setidaknya d i perl u ka n satu uji treponemal dan satu uji
nontreponemal untuk konfi rmasi d iagnosis sifi l is. Uji nontreponemal
yang paling u m u m d igunaka n dan d i rekomendasikan ialah Venereal
Disease Research Laboratory (VDRL) dan Rapid Plasma Reagin (RPR).

200
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Sifilis: Apakah Hanya Suatu Penya kit Kelamin?

Uji treponemal yang d i rekomendasikan u ntuk penapisan ialah


Treponema pallidum Hemagglutination Assay (TPHA) d a n Fluorescent
Treponemal Antibody Absorption test (FTA-Abs). 26 Pedoman nasional
penanganan IMS di Indonesia, menyatakan kriteria diagnosti k sifilis
ditunjang dengan hasil rapid test syphilis positif. J i ka fasilitas memadai,
dapat dilakukan uji nontreponemal dengan VDRL dan uji treponemal
menggu nakan TPHA. 8

Tabel 1. Gambaran klinis sifi lis kongenita l *

Gambaran klinis Temuan Deskriptif Waktu Frekuensi


Ru am Erupsi morbi liformis menyeru pai sifilis Awai Sering
sekunder dida pat
Pseudoparalisis Epifisitis nyeri menyebabkan hambatan Awai Jarang
Parrot gerak
Hidung tersumbat Rinitis dengan sekret d isertai darah Awai Jara ng
Pemfigus sifilitika Bula pada ekstremitas distal Awai Jarang
Tanda Pembesa ran uni latera l bagian Lanjut Sering
H igoumenakis sternoklavi kular klavikula
Gigi H utchinson Gigi seri berbentuk pasak kecil (peg-shaped) La njut Sering
Mulberry molars Gigi molar I dengan multikuspid La njut Sering
Olympian brow Dah i frontal bossing La njut Seri ng
Saddle nose Degradasi tulang rawan hidung Lanjut Sering
Clutton joints Efusi si metris steril sendi-send i utama Lanjut Jarang
Saber shins Pembengkokan tulang tibia Lanjut Jarang
* Dikutip dari kepustakaan no. 24

Terapi sifilis ya ng efektif memerl u ka n kad a r a ntimi kroba d i


serum dan cai ra n serebrospinal (CSS) ya ng bersifat treponemisida l .
Benzi lpenisi l i n benzatin dosis 2,4 j uta u n it memberikan penisi l i nemia
treponemisidal h i ngga 3 m i n ggu d a n d i rekomendasikan u ntuk terapi
sifi lis lanjut. Regi men parenteral lebih d isarankan d i ba ndingkan
dengan oral karena bioava i l i bitasnya lebih terj a m i n dan tera pi d apat
dipantau lebih baik. 13

Rekomendasi regimen tera pi sifilis menu rut pan d u a n WHO d ijelaskan


sebagai berikut. 13
• Sifilis dini (sifilis primer, sekunder, atau laten dengan durasi kurang
dari 2 tah u n ) :

201
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Euis Mutmainnah

Regimen rekomendasi :
•!• Benzilpenisilin benzatin (nama lai n : penisilin G benzatin, benzatin

benzi l penisi l i n, penisi l i n benzatin ) 2,4 j uta IU, i njeksi i ntra­


m usku lar, dosis tungga l .
Regimen a lternatif
•!• Benzi l penisilin proka i n (nama l a i n : penisi l i n G prokain) 1,2 j uta

IU, i njeksi i ntra musku l a r, setiap hari selama 10 hari beru ruta n .
Regimen a lternatif u nt u k pasien alergi penisilin dan tida k hamil
•!• Doksisikl i n oral 2 x 100 mg selama 14 hari, ata u

•!• Tetrasi klin oral 4 x 500 mg selama 14 hari.

Regimen a lternatif u ntuk pasien alergi penisilin dan hamil


•!• Eritromisin o ra l 4 x 500 mg selama 14 hari.

• Sifilis laten lanjut (durasi i nfeksi lebih dari 2 tahun tanpa gejala klinis)

Regimen rekomendasi
•!• Benzilpenisi l i n benzatin 2,4 juta IU, i njeksi i ntra m usku lar, sekali

setiap m i nggu selama 3 m i nggu berurutan.

Regimen a lternatif
•!• Benzil penisilin proka i n, 1,2 j uta IU, i njeksi i ntra musku lar, setiap

h a ri selama 20 hari berurutan .


Regimen a lternatif u ntuk pasien alergi penisilin dan tidakhamil
•!• Doksisi k l i n oral 2 x 100 mg selama 30 h a ri, atau

•!• Tetrasiklin oral 4 x 500 mg selama 30 hari.

Regimen a lternatif untuk pasien alergi penisilin dan hamil


•!• Eritro m isin ora l 4 x 500 mg selama 30 hari.

Catatan:
Kasus sifi l is tersier dengan temuan negatif pada CSS (gu mma dan
sifilis kardiovaskula r), sesuai rekomendasi CDC tahun 2015, diberikan
tera pi benzilpe n isi l i n benzati n 2,4 j uta I U, i njeksi i ntra musku lar,
seka l i setiap m inggu selama 3 m inggu beru rutan . 27

202
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Sifilis: Apakah Hanya Suatu Penyakit Kelamin?

• Neurosifilis
Regimen rekomendasi
•:• Benzilpenisilin dalam a kuades (nama lain: potasium benzilpenisilin,

sod i u m benzilpe n isilin, penisilin kristalina, potasi u m penisi l i n G,


sod i u m penisi l i n G ) 12-24 j uta IU, i njeksi i ntravena, setia p hari
dalam dosis 2-4 j uta IU, setiap 4 j a m selama 14 hari.
Regimen a lternatif
•:• Kombinasi benzi l pe n isi l i n prokai n 1,2 j uta I U , i njeksi i ntra ­
m usku lar setiap ha ri, d a n probenesid ora l 4 x 500 mg, ked ua nya
d i berikan selama 10-14 hari .
Regimen a lternatif u ntuk pasien alergi penisilin dan tidak hamil
•:• Doksisikl i n oral 2 x 100 mg selama 30 ha ri, atau

•:• Tetrasiklin oral 4 x 500 mg selama 30 hari .

Regimen a lternatif u ntuk pasien alergi pen isilin d a n hamil


•:• Eritro m isin ora l 4 x 500 mg selama 30 h a ri .

Catatan:
Sistem sa raf pusat dapat terli bat dalam setiap sta d i u m sifi l is.
Gejala klinis keterlibatan neurologis mengi n d i kasikan pemeri ksaan
CSS. Pemeriksaan CSS juga d isara n ka n u nt u k semua pasien dengan
durasi lebih dari 2 tah u n, ata u tidak d i keta h u i d u rasinya, u ntuk
mendeteksi neurosifi l is asimtomatik.

Sifilis kongenital
• Sifilis kongenital awal ( h i ngga usia 2 tah u n ) d a n bayi dengan CSS
abnormal
Regimen rekomendasi
•:• Benzilpen isil i n dalam a kuades 100.000-150.000 I U/kg/hari,
diberikan dosis 50.000 I U/kg/ka li setiap 12 jam, selama 7 hari
pertama kehidupan dan selanjutnya setiap 8 jam h ingga usia 10
hari, atau
•:• Benzi l penisilin proka i n 50.000 I U/kg, i njeksi i ntra m usku lar, dosis

tu nggal selama 10 hari.

203
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Euis Mutmainnah

Catatan:
Ant i m ikroba selain pen isilin ( misalnya eritromisi n ) tidak
d i re komendasika n u ntuk sifilis kongen ital, kecuali pada kasus
a lergi penisi l i n . Tetrasiklin tidak boleh d iberikan pada a nak.

• Sifilis kongenital lanj ut ( 2 tahun atau lebih)


Regimen rekomendasi
•!• Benzil pe n isi l i n dalam a kuades 200.000-300.000 I U/kg/hari,
injeksi i ntraven a atau i ntra m usku l a r, d i berikan dosis 50.000
I U/kg/ka li setiap 4-6 jam , selama 10-14 hari.
Regimen a lternatif u nt u k pasien alergi penisilin, setelah usia 1
b u Ian
•!• Eritromisin o ra l 4 x 7,5-12,5 mg/kg, selama 30 hari .
13

Alternatif lain yang dipertim ba ngkan ialah penggunaan azitromisin


pada sifilis dini. Sejak tah u n 2004, data dari dua uji klinis tersamar dan
meta-analisis menunj ukkan efikasi azitromisin yang baik dalam terapi
sifilis. 28 Akan tetapi, perkemba ngan selanjutnya memperlihatkan adanya
resistensi azitromisin sehingga a ntimikroba tersebut tidak dapat
mengeradikasi infeksi pada kehamilan. Oleh sebab itu, azitromisin tida k
direkomendasikan dalam terapi sifilis dini. Meskipun demikian, pada
kasus alergi pen isilin dan tidak dapat mengkonsumsi doksisiklin, azitro­
misin masih dapat diberikan denga n pemeriksaan lanjutan yang ketat. 29
Kaj i a n berbasis bukti yang d i l a k u ka n terhadap panduan tera pi
sifi l is berdasa rka n CDC dan I U STI d i paparka n dalam tabel 2, tabel 3,
dan tabel 4. Terapi pilihan utam a u nt u k sifi lis primer, seku nder, dan
laten awa l masih penisilin benzatin 2,4 j uta u n it i ntra muskular dosis
t u ngga l . Terapi l i n i perta m a u nt u k sifilis l aten dan d u rasi tidak
d i ketah u i ialah pen i s i l i n benzatin dan penisil i n proka i n . 26

204
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Sifilis: Apakah Hanya Suatu Penyakit Kelamin?

Tabet 2. Terapi sifi lis primer, seku nder, dan laten awa l *
Berdasarkan pedoman Centers for Disease Control and Prevention, Amerika Serikat
dan International Union against Sexually Transmitted Infection, E ropa.

(Level of
Obat Dos is Durasi
Evidence
Pen isi lin Benzatin 2,4 j uta u n it, IM Dosis tu ngga l lb
Pen isi l i n Proka i n 600.000 u n it/hari, I M 10-14 h a ri llb
Doksisiklin 1 x 200 mg, per oral 14 h a ri 111
Tetrasiklin 4 x 500 mg, per oral 14 h a ri 111
Eritromisin 4 x 500 mg, per oral 14 h a ri IV
Azitromisin 2 g, per oral Dosis tu nggal lb
Seftriakson 500 mg/hari, I M 10 h a ri lb
I M : intramuskular
* Dikutip dari kepustakaan no. 26.

Tabet 3. Tera pi sifilis laten dan d u rasi tidak d i keta h u i *


Berdasarkan pedoman Centers for Disease Control and Prevention, Amerika
Serikat ctan International Union against Sexually Transmitted Infection,
Ero pa.
Level of
Obat Dos is Durasi
Evidence
Pen isi l i n 2 , 4 j uta u n it/minggu, 3 m i nggu 111
Benzatin IM beru ruta n
Penisilin Proka i n 600.000 u n it/h a ri, I M 17-21 h a ri Ill
Doksisiklin 1 x 200 mg, per ora l 2 1-28 h a ri IV
Tetrasiklin 4 x 500 mg, per o ra l 28 h a ri IV
Eritromisin 4 x 500 mg, per oral 28 h a ri IV
IM: intramuskular
*Dikutip dari kepustakaan no. 26.

205
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Euis M utmainnah

label 4. Terapi neu rosifi lis*


Berdasarkan pedoman Centers for Disease Control and Prevention, Amerika Serikat
dan International Union against Sexually Transmitted Infection, Eropa.

Obat Level of
Dosis Durasi
Evidence
Penisilin 12-24 juta un it/hari, 18-21 hari 111
Krista fin 3-4 j uta un it/4 jam IV 10-14 hari
Penisilin 1,2-2,4 juta unit/hari, 10-17 hari lib
Proka i n I M , d a n probenesid 10-14 hari
4 x 500 mg, per o ra l
Doksisiklin 2 x 200 mg, per ora l 28 hari IV
IV: intravena, I M : intra m uskular
* Dikutip dari kepustakaan no. 26.

PEMERIKSAAN LANJUTAN

Pemeriksaan l a nj uta n pasien ya ng telah mendapatka n terapi


sifi lis dilakukan u ntuk menilai keberhasi lan terapi dan kem u ngki nan
adanya infeksi berulang. Pemantauan serologis dilakukan menggunakan
uj i n ontreponemal sesaat 3 bulan setel a h terapi u ntuk menilai keber­
hasilan terapi, d i u l a ng 6 bulan dan 12 bulan setelah terapi untuk
menilai kemba l i kond isi pasien seka ligus mendeteksi kem u ngkinan
i nfeksi beru l a ng. Terapi u lang d i berikan dengan pertimbangan
apabila t i m b u l gejala klinis sifi lis a ktif dan ada nya peningkatan titer
uji nontreponema l . 13
Terapi sifi lis pada keham i l a n d ieva l uasi menggu nakan uji non­
treponemal setiap bulan h ingga persa l i n a n . Terapi u langan ha rus
d iberikan j i ka serologis m e n u nj u kkan i nfeksi beru lang atau relaps.
Setiap bayi lahir dari ibu seropositif sifilis harus dilaku kan pemeri ksaan
uji serologis saat l a h i r serta setiap bulan selama 3 bulan h ingga
terbukti hasil selalu negatif. 13

PENCEGAHAN MOTHER-TO-CHILD TRANSMISSION

Perempuan h a m i l memerl u ka n pemanta u a n serius, kh ususnya


u ntuk meli hat a pa ka h ditem u ka n i nfeksi berulang. Oleh seba b itu,
tata laksana pasangan seksual menjadi sangat penting. Semua pasien

206
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Sifilis: Apakah Hanya Suatu Penyakit Kelamin?

usia kehamilan, j i ka tidak alergi terhadap pen isilin, maka harus diterapi
denga n penisilin sesuai dosis yang direkomendasikan bagi pasien tidak
hamil. 13 Usaha u ntuk mencegah keterlibatan dan kematian janin harus
difokuskan secara optimal di usia gestasi sed i n i m ungkin . 23
Pada ta h u n 2007, W H O menge m u kakan strategi u nt u k meng­
eliminasi sifilis konge n ita l secara globa l . Strategi nya berdasa r pada
empat pilar, yaitu (1) memastikan komitmen politik dan kebijakan yang
mendukung; (2) meningkatkan akses dan kualitas pelayanan kesehatan
maternal dan perinatal; (3) penapisan dan terapi perempuan hamil dan
pasangannya; dan (4) membangun sistem surveilans, pengawasan, dan
evaluasi.30
Di Indonesia, program pencegahan MTCT sifilis sudah dilaksana­
kan seiring dengan program pencegahan H IV. Program tersebut dapat
dilaksanakan di selu ru h fasilitas pelaya nan kesehatan, bai k strata primer
hingga ruju kan, dengan cara memaksimalkan kesempatan tes HIV dan
sifilis bagi perempuan usia reproduksi, ibu hamil, dan pasangannya
melalui penyediaan uji diagnostik cepat HIV dan sifilis, serta
memperkuat jejaring rujukan layanan. Penapisan I MS dan uji diagnosti k
sifilis disara n kan sebagai bagian dari paket perawatan antenatal terpadu
mulai dari kunjungan pertama h ingga persalinan. Program ini perlu
partisipasi laki-laki sebagai pasangan dalam mendukung keberhasilan . 31
Perkembangan penelitian dalam kontrol sifilis lainnya ialah usaha
produksi vaksi n sifilis. Satu studi menggunakan gamma-irradiated T.
pallidum dengan dosis i ntravena multipel menunjukkan proteksi
sempurna terhadap infeksi pada kel i nci. Hal tersebut masih memerlukan
studi lanjutan hingga akhirnya dapat diterapkan kepada manusia. 12

PENUTU P

Sifilis awalnya merupakan penyakit i nfeksi yang ditularkan


terutama melalui hubungan seksual. Namun dalam perkembangan nya,
kasus sifil is semakin ba nya k d ite m u ka n pada i b u h a m il, dengan risiko
tinggi transmisi dari ibu ke janin yang menga kibatkan sifilis kongenital.
Hal tersebut merupa kan permasalahan global dan saat ini telah di­
lakukan berbagai u paya dalam ra ngka e l i m i nasinya . Sebagai spesialis
kulit dan kelamin, penting u nt u k memahami mekanisme penularan,

207
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Euis Mutmai nnah

m a nifestasi klinis ya ng d apat terjadi, pemeri ksaan pen unjang yang


diperl u ka n, terapi adekuat d a n eva l u asi nya, serta yang tidak boleh
d i l u pa ka n ialah tata l a ksana pasangan seksual.

DAFTAR PUSTAKA
1. Goh BT. Syphilis in adult. Sex Tra nsm Infect. 2005;81:448-52.
2. National Centre for HIV/AIDS, Viral Hepatitis, STD, and TB Prevention CDC.
Changing the story of syphilis [situs internet]. 2016 [disitasi pada tanggal 13
November 2016). Dapat diunduh di https://www.cdc. gov/std/products/success/
changing-the-story-of-syphilis-success-story-508c.pdf.
3. World Health Orga nization. Global prevalence and incidence of selected
curable sexua lly transmitted infection : Overview and estimates. Geneva :
World Health Organ ization; 2001.
4. Hook EW, Peeling RW. Syphilis control-a continuing chal lenge. N Eng J Med.
2004;351(2): 122-4.
5. French P. Syphilis. BMJ. 2007;334:143-7.
6. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Komisi Penanggu langan AI DS,
Family Health International-Program Aksi Stop AIDS. Surveilans terpadu
biologis perilaku (STBP) pada kelompok berisiko tinggi tahun 2013 [situs
internet]. 2014 [disitasi pada tanggal 13 November 2016). Dapat diunduh di
http://www.slideshare. net/ditkeswa/finalstbp-totald raft13-januari1.
7. World Health Organization. Sexually transmitted infections: percentage of antenatal
care attendees for syphilis latest reported since 2005 [situs internet]. 2014 [disitasi
pada tanggal 13 November 2016). Dapat diunduh di http://gamapserver.who.int/
gho/interactive_charts/sti/anc_syphilis_ positive/atlas. html.
8. Kementerian Kesehatan Repu blik Indonesia, Direktorat Jen deral Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan . Pedoman Nasional Penanganan lnfeksi
Menular Seksual 2011. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI; 201 1.h.4-74.
9. H uta pea NO. Sifilis. Da l a m : Daili SF, Makes WIB, Zubier F, penyunting. lnfeksi
Menular Seksual. Edisi ke-4, cetakan ke-1. Jaka rta: Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Un iversitas Indonesia; 2009. h. 84-102.
10. Sanchez MR. Syphilis. Dalam : Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS,
Leffel DJ, penyunting. Fitzpatrick's dermatology in general medicine. Edisi ke-7.
New York: McGraw-Hill Companies; 2008. h. 1955-77.
11. Ho EL, Lukehart SA. Syphilis: Using modern approaches to understand an old
d isease. J Clin I nvest. 2011;121(12) :4584-4592.
12. World Health Orga n ization. Treatment of specific infections. Dalam: Guideli nes
for the management of sexually transmitted infections. 2003. h. 39-46.
13. Sparling PF, Swartz M N , M usher DM, Healy BP. Clinical man ifestations of
syphilis. Dalam: H ol mes KK, M ard h P, Sparling PF, Lemon SM, Sta mm WE, Piot
P, dkk, Penyunting. Sexually tra nsmitted diseases. Edisi ke-4. New York:
McGraw-Hill; 2008. h. 660-88.

208
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Sifilis: Apakah Hanya Suatu Penyakit Kelamin?

14. Karp G, Schlaeffer F, Jotkowitz A, Riesen berg K. Syphilis and HIV co-infection.
Eur J Internal Med. 2009;20:9-13.
15. Zetola N M, Klausner JD. Syphilis and H IV infection: An u pdate. Clin Infect Dis.
2007;44: 1222-8.
16. Karu mundi U R, Augenbra u n M . Syphilis and H IV: A dangerous duo ( report). Exp
Rev Anti-infect Ther. 2005;3(5) :825-7.
17. Tucker JD, Shah S, Jarell AD, Tsai KY, Zembowicz A, Kroshinsky D. Lues maligna
in early HIV infection case report and review of the literature. Sex Transm Dis.
2009; 36(8):5 12-4.
18. Ghanem KG. Neurosyph ilis: a h istorical perspective and review. CNS Neurosci
Ther. 2010; 16:e 157-68.
19. Revathi TN, Bhat S, Asha GS. Benign nodular tertiary syphilis: A rare presenting
manifestation of HIV infection. Dermatol Online J. 2011; 17(2):5.
20. World Health Organization. Eliminating congenital syphilis [situs internet]. 2016
[disitasi pada tanggal 13 November 2016]. Dapat diunduh di
http://www.who.int/reproductivehealth/topics/rtis/syphilis/en/.
21. Saloojee H. The prevention and management of congenital syphilis: an overview
and recommendations. Bull World Health Organ. 2004;82:424-30.
22. Berman SM. Materna l syphilis: patophysiology and treatment. Bull World
Health Organ . 2004;82:433-8.
23. Woods CR. Syph ilis in children : congenital and acquired. Seminars i n Ped Infect
Dis. 2005; 16(4) :245-57.
24. Mattei PL, Beachkofsky TM, Gilson RT, Wisco OJ . Syphilis: a reemerging
infection. Am Fam Physician. 2012;86(5) :433-40.
25. Tucker JD, Bu J, Brown LB, Yin Y-P, Chen X-S, Cohen MS. Accelerating
worldwide syphilis screening through ra pid testing: a syste matic review. Lancet
Infect Dis. 2010; 10:381-6.
26. Pastuszczak M, Wojas-Pelc A. Current sta nda rds for daignosis and treatment of
syph ilis: selection of some practical issues, based on the European (I USTI) and
U.S. (CDC) guidelines. Postep Derm Alergol 2013; 30(4) :203-10.
27. Centers for Disease Control and Prevention. Syphilis. Dalam: 2015 Sexually
Transmitted Disease Treatment Guidelines [situs internet]. 2015 [disitasi pada 14
November 2016]. Dapat diunduh di http://www.cdc.gov/std/tg2015/ syphilis. html.
28. Bai ZG, Yang KH, Liu YL, dkk. Azithromycin vs. benzathine penicillin G for early syphilis:
A meta-analysis of randomized clinical trials. Int J STD AIDS 2008; 19:2 17-21.
29. Ghanem KG, Workowski KA. Ma nagement of adult syphilis. Clin Infect Dis.
2011;53(suppl 3) :S110-28.
30. World Hea lth Orga nization, Department of Reproductive Health and Research.
The global elimi nation of congenital syphilis: rationa le and strategy for acti on.
WHO: 2007. h . l-48.
31. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman Nasional Pencegahan penularan
HIV dari lbu ke Anak. 2011 [disitasi pada tanggal 13 November 2016]. Dapat
diunduh di http://www.indonesian-publichealth .com/kebijakan-program-pmtct/.

209
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
KUTIL ANOGENITAL: TATA LAKSANA KOMPREHENSIF

H anny Nilasari

PENDAHULUAN

Kondiloma akuminata (KA), yang juga dikenal dengan nama umum


kutil kelamin atau kutil a nogenital, merupakan i nfeksi disebabkan oleh
human papillomavirus ( H PV). H ingga saat ini telah teridentifikasi lebih
dari 150 genotipe H PV. 1' 2 Kutil a nogenital digolongkan sebagai infeksi
menular seksual karena hampir lebih dari 90% ditularkan mela l u i kontak
seksual. Metode penularan lain yang dilaporkan ialah melalui kontak
perinatal d a ri ibu kepada bayi nya ata u melalui bahan lain//omites. 3
Kutil anogenital ini umumnya disebabkan oleh H PV tipe 6 dan 11
dengan masa inku basi terpendek 3 minggu hingga 18 bulan. 1'2 Saat ini
infeksi KA menduduki tempat pertama dalam data angka kunjungan
Poliklinik llmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUPN Dr. Cipto
Mangun kusumo ( RSCM) J a ka rta. 4
Gamba ra n kli n is u m u m nya sudah cukup untuk menegakkan
diagnosis kutil kelamin. Walaupun begitu, seorang klinisi perlu berpikir
tentang kem ungkinan diagnosis banding lain, misa l nya pearly penile
papules (lelaki) atau vestibular papillae pada kasus perempuan.
D iagnosis banding ya ng lain, yaitu keratosis seboroik, nevus
melanositik, moluskum kontagiosum, h ingga karsi noma sel skuamosa . 1
Umumnya i nfeksi ini tidak menimbulka n gejala ya ng berat, tetapi
seringkali bersifat persisten dan pada perempuan dapat menyebabkan
lesi pra kan ker pada serviks, atau pada keganasan penis dan anus pasien
laki-la ki, apabila genotipe penyebab infeksi merupakan tipe high risk. 2.4
Tata laksana d a n rekomendasi ya ng dipublikasikan u ntuk
m engatasi i nfeksi ini sangat beragam . Pilihan pengobata n tentu nya
haru s d isesua i ka n denga n fasilitas, ketera m pilan, dan penga laman
dokter, serta ketersed iaan obat. Pilihan pengobatan bergantung pula
pada u k u ran, j u m la h , d a n lokasi lesi. 5

2 10
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Kutil Anogenita l : Tata laksana Komprehensiif

ETIOLOGI DAN TRANSMISI

Kutil anogenital atau kutil kelamin atau KA merupakan proliferasi


jinak kulit yang disebabkan oleh H PV tipe 6 dan 11. l nfeksi ini ditu larka n
mela l u i konta k seksual dengan lesi awal pada lokasi tra u m a saat
koitus. Lesi umumnya bersifat soliter dengan diameter 1-5 milimeter. 1'3
Pada beberapa kelainan, penya kit i n i d isebabkan oleh tipe virus
on kogenik sehingga m e m i l i ki risiko berke m bang menjadi lesi d isplasia
h i ngga kanker. 4
Tra nsmisi perinatal u m u m nya d item ukan pada lokasi orofa ring
dan gen ital. N a m u n, beberapa pera latan tertentu, m isal nya saru ng
tangan bedah dan paka i a n d a l a m terduga, da pat pula menjadi
sumber pen ularan H PV ka rena DNA virus telah berhasil d i isolasi dari
pera bot tersebut. 2

PENDEKATAN KUNIS

l nfeksi H PV dapat berman ifestasi sebagai infe ksi laten, yakni


virus berada dalam kondisi diam tanpa menimbulkan penyakit yang
ta mpak secara makroskopik dan m ikroskopik, atau infe ksi subklinis
atau infeksi yang berman ifestasi klinis. 1' 3 M a nifestasi kli n is ya ng
ditemukan dapat berupa papul permukaan datar atau vegetasi
bertangkai yang kada ng-kadang diikuti gejala subyektif berupa rasa
panas, nyeri, gatal, atau mudah berdarah. Lokasi lesi pada pasien laki­
laki umumnya di batang penis, pangkal skrotum, pubis, daerah
preputium, atau anus, sedangkan pada peempuan ditemukan di labia
minora atau liang vagina. Ukura n kutil kel a m i n berva riasi a nta ra 1 m m
h ingga beberapa sentimeter, d a n berga bung membentuk lesi kutil
3
ya ng besar atau d isebut j uga "giant condyloma". -5
Adanya man ifestasi klinis yang jelas, umumnya tidak memerl u ka n
pemeriksaan ta mbahan l a i n untuk menega kkan diagnosis. Pemeriksaan
pembantu dengan asam asetat 5% diperlukan untuk lesi yang tida k khas
atau penentuan adakah lesi subklinis. Pada pemeriksaan tersebut
terli hat peru bahan warna kutil kel a m i n d a ri yang awal nya sewa rna
mukosa menjadi putih. 6.7 Seorang pasien ya ng mengalami i nfeksi i n i
kerap merasa rasa ta kut, bersalah, m a l u , m a ra h , kehilangan rasa

211
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Hanny Nilasari

percaya diri, ketakutan yang berhubungan dengan masalah kesuburan


d i masa m e ndatang, serta risiko terkena ka n ker. 5

TATA LAKSANA

Seperti d isebutka n sebelu m nya, tidak ada satu pun tata laksana
tu nggal dalam menanga n i kasus KA. E radikasi ata u red u ksi ukuran
kutil merupa ka n tujuan utam a dalam penanganannya . Strategi umum
penanganan adalah dengan menghilangkan massa kutil semaksimal
m u ngkin h i ngga semua lesi m engh ilang dan sistem i m u n itas tubuh
da pat mengendalikan rep l i kasi virus. Kendati demikian, tidak bera rti
h i l a ngnya lesi a ka n m e n u ru n ka n a ngka i nfeksi ka rena adanya sifat
latensi virus. 7-9
Meskipun terapi standar u ntuk kutil kelamin dapat menghilangkan
sebagian kutil, keu nggulan modalitas pengobatan tunggal belum
terbukti. Tidak setiap modalitas ideal u ntuk semua individu dan semua
jenis kutil.9 Banyak faktor yang memengaruh i pengobatan infeksi ini
termasuk ukuran, morfologi, j u mlah, serta bentu k lesi. Perhitungan
biaya, efek sa m p ing, ka ra kte ristik, preferensi pasien, dan tera pi
sebe l u mnya juga haru s d i pe rtimbangka n . 9- 11
Edukasi pada pasien tenta ng sifat virus dan cara pen u l a ran
sa ngat penting d iberika n . Keteraturan kontrol d a n pengobatan juga
perlu disampaikan, teruta m a kepada pasien i m u nokompromais
ba hwa tata l a ksana perlu d iberikan dalam d u rasi lebih panjang
d i bandingka n popu lasi sehat. Diperl u ka n pemeri ksaan tambahan
lanjut setelah erad i kasi seluruh kutil gen ita l karena apabila i nfeksi i n i
t i d a k seluruh nya bersih, i nfeksi dapat berula ng, ba h ka n dapat
berke m bang menjadi lesi p ra ka n ker pada servi ks, vu lva, vagina, anus,
pen is, atau m u l ut. 9' 12' 13

Terdapat tiga kategori tata l a ksana i nfe ksi i n i, yaitu :


1. Obat-obatan ya ng memenga ruh i siste m i m u n itas, termasuk
i m i q u i mod d a n i nterferon a lfa .
2 . Agen sitotoksi k, termasu k a ntiprol iferasi m isa l nya podofi l in,
podofiloks, dan 5-fuorourasil (5-FU).
3 . Sitodestru ktif, termasuk bedah e ksisi, bedah listrik, bedah beku,
laser C0 2 , asa m trikloroasetat, dan asam bikloroasetat.

2 12
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Kutil Anogenital : Tata Laksana Komprehensiif

lmiquimod

Bentuk sediaan adalah krim 5% (Rekomendasi lb, level of evidence


15 17
A). - Obat i n i tersedia dalam bent u k saset. l mi q u i mod tidak
mempunya i efek a ntivirus secara langsung tetapi bekerja melal u i
sti m ulasi sitokin i nterferon a lfa, tumor necrosis factor, i nterleukin
( I L)-1, I L-6, dan I L-8. Laporan uji klinis acak menunj u kkan bahwa
pengolesa n kri m i mi q u imod 5% 3 kal i seminggu pada lokasi lesi
mampu menghasi l ka n rem isi sem p u rna lebih dari 50% dan hanya 19-
23% kasus yang menga la m i reku rensi dalam kuru n waktu 6 b u l a n .
Obat ini dapat d igunaka n send i ri o l e h pasien dengan pengawasan
dokter, namun tidak dianj u rkan u ntu k lesi di m u kosa . 15
Obat ini d igu n a ka n 3 ka li sem i nggu saat m enje lang tidur,
didiamka n h ingga pagi h a ri, atau dibilas 8 j a m setelah pem a ka ia n .
Pemantauan terapi dilaku kan setiap 2 minggu h ingga waktu pemakaian
16 minggu . Perhatikan reaksi kulit lokal berupa kemerahan, gatal, dan
rasa terba kar. 16

Interferon Alfa

Obat i n i tersedia dalam bent u k i njeksi ( i ntralesi) ata u topikal


( Rekomendasi IV, level of evidence C). I nterferon a lfa bekerja sebaga i
antivi rus yang memengaruhi siste m i m u n . Dosis i njeksi i ntra lesi yang
dianjurkan adalah 1-2 juta unit/kali terapi dengan dosis maksimal 5 juta
unit. Jarak penyuntikan minimal 24 jam. Efek samping yang dilaporkan
berupa demam, mialgia, nyeri kepala, lelah, dan leukopenia. Suatu
laporan kasus yang menggunakan obat i n i merekomendasikan dosis
awal 10 j uta IU seca ra su bkuta n . Obat d isuntikka n 1 kal i per
m inggu dengan kombinasi dengan ribavirin oral 400 mg dua kali/hari.
Selama injeksi pasien dapat mengalami gejala mirip flu . Respons terapi
umumnya sangat dramatis, kutil anogen ital mengecil 2 minggu pasca­
penyuntikan, dan menghilang dalam 8 m i nggu . 17

Podofilotoksin

Bentuk sediaan solusio 0,5% dan krim 0,15% (Rekomendasi lb,


level of evidence A). 16' 17 Obat ini dapat diaplikasika n sendiri oleh pasien
dengan aturan pakai 2 kali sehari selama 3 hari berturut-turut dalam

2 13
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Hanny Nilasari

satu minggu. Bahan ini m erupakan pu rifikasi ekstrak podophyllum resin


yang bersifat antimitotik. Obat ini bekerja dengan mengha mbat fase
m etafase rep l i kasi virus d a n mengi n d u ksi nekrosis jaringa n . lndikasi
bahan topika l ini adalah u ntuk lesi kutil anogenital bagian luar. 15
Penggunaan bent u k solusio tidak nya m a n u ntuk kondiloma
pada penis sed angkan bentuk krim banya k digu n a ka n pada lokasi
kutil di vagina perempuan, teruta ma daerah labia. Clearence rate
penggunaan bentuk solusio berkisar a ntara 36-83% setelah 3-6
m i nggu pengolesa n . 14' 15
Kutil pada meatus dan kondiloma akuminata pada kulit, seringkal i
bersifat refra kter terhadap pengobatan . Sayangnya obat ini tidak
tersedia di Indonesia, meskipun penggunaannya sangat mudah. 10
Podofi lotoksin d i kontra i n d i kasikan pada pasien perempuan remaja
serta ibu h a m i l . 8' 14

Tinktura Podofilin

Bentuk sediaan dalam konsentrasi 25%. 16' 17 Obat 1n1


direkomendasikan u ntuk lesi yang berlokasi di tempat lembap dan harus
diaplikasikan oleh dokter. Efikasi pengobatan dilaporkan sekitar 42-50%
dengan kekerapan rekurensi 46-60%. Pengobatan tidak boleh diberikan
pada ibu hamil dan menyusui, lesi yang meliputi daerah yang luas (dosis
toksik sekitar 0,5 m l/ka l i pengobata n), ata u luas area 10 cm 2 . Ca ra
pemakaian obat i n i sebaga i berikut: kulit sekitar lesi d i lindungi
dengan vase l i n agar tidak terjadi i ritasi; bia rka n selama 1-4 jam;
kem u d i a n cuci bersih denga n air dan sab u n . Pengobata n da pat
d i l a ku ka n semi nggu d u a ka l i sampai lesi h i lang. 11• 12

larutan Asam Trikloroasetat 50-90%

Saat ini banyak penelitian tentang penggunaan asa m trikloro­


asetat pada KA di lokasi m ukosa vagina dan i ntra-anus (Rekomendasi l b,
level of evidence A). Obat ini harus diaplikasi kan oleh dokter. Laporan
efikasi 70%, dengan angka rekurensi 18%. La rutan diaplikasikan pada
lesi sampai berwarna putih dan biarkan sampai ke ring sebe l u m pasien
d u d u k ata u berdiri. Apabila pasien mengeluh kesa kita n a kibat
pengolesa n yang berlebihan sehingga mengena i tepi lesi, maka obat

2 14
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Kutil Anogenital: Tata Laksana Komprehensiif

dapat d icuci dengan a i r sa b u n . Pengobatan da pat d i u lang seminggu


seka l i sampai lesi h ilang. 14' 15' 17

Tata Laksana Beda h

a . Bedah beku ata u krioterapi


Target pada a p l i kasi krioterapi adalah m e m bekuka n a i r dalam
jaringan dan mengi nduksi terjadinya l isis sel dengan tanda kl i n is
berupa bentuk halo d i sekita r lesi ( Rekomendasi l b, level of
evidence A). 17 ' 18 Penggunaan krioterapi d i katakan berhasil apabila
timbul lepuh beberapa h a ri yang d i i kuti proses i nflamasi d i a rea
lesi dan perilesi. Kutil anogen ital akan terlepas d i i kuti dengan fase
penyembuha n . Pengobata n da pat d i u l a ng secepatnya dalam 2
m i nggu . Tera pi i n i diapl i kasikan oleh dokter.
Bedah beku d i rekomendasikan untuk lesi di gen ital e ksterna,
vagi na, serviks, meatus eksterna, dan i ntra-a n a l . Angka efikasi nya
da pat menca pai 79-88%, denga n a ngka rekure nsi 25-40%.
Berikut adalah teknik aplikasi bedah beku . Ca i ra n n itrogen
da pat diaplikasikan dengan semprotan, lidi ka pas, atau cryoprobe
(tidak boleh untuk lesi di vagina). Cairan h a rus diaplikasikan sam pa i
timbul halo yang berwa rna putih yang beru kuran 2 m m di tepi lesi .
Teknik aplikasi dapat dengan single freeze atau double freeze thaw.
Freezing dapat 15-30 detik. Pengobatan dapat diu lang seminggu
sekal i sa m pa i lesi h i la ng.
b. Bedah eksisi
Prosedur ini direkomendasikan u ntuk lesi di anogenital,
terutama lesi berukuran besa r (Rekomendasi l b, level of evidence
A). 1 7• 18 Angka efi kasinya dapat mencapai 94% dengan a ngka
rekurensi 22%. Terapi i n i u m u m nya diindikasika n u ntuk lesi yang
sangat besar seh ingga menimbu lkan obstru ksi atau tidak dapat
dilakukan terapi dengan ca ra lainnya .

c. Laser C02
Metode i n i d i la ku ka n oleh dokter d a n diperl u ka n ketera m p i l a n
khusus ( Rekomendasi I la, level of evidence B). 17' 18 Terapi laser
d i re komendasikan u ntuk lesi d i a nogen ital, vagina, dan serviks,
serta utamanya u ntuk l esi beru kuran besar. Angka efi kasi

215
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Hanny Nilasari

p rosedur i n i sekita r 23-52% dengan a ngka rekurensi 60-77%.


Dokter harus menggu na ka n maske r selama melaku ka n tindaka n .

label 1 . Rangkuman hasil stud i randomized controlled trials u ntuk terapi


kutil a nogenita l pada pasien yang tidak teri nfeksi H IV (modifikasi Lacey dkk.
dengan izin)*

Treatment Range of Range of clearance Range of


clearance rates rates based on a recurrence rates
(determined at
'
based on an per protocol
'intention to analysis' time in weeks;
treat analysis' (determined at time range)
in weeks; range)
Podophyllotoxin 45-83% 55-83% {3-6) 13-100% (8-2 1)
solution 0.5%
Podophyllotoxin 43-70% 43-70% (4) 6-55% {8-12)
cream 0.15%
lmiquimod 35-68% 55-81% {16) 6-26% { 10-24)
cream 5%
Cryotherapy 44-75% 67-92% {6-10) 2 1-42% {4-12)
TCA 56-81% 8 1-84% {8-10) 36% (8)
Electrosurgery 94-100% 94-100% ( 1-6) 22% (12)
Scissors excision 89-100% 89-100% (6) 19-29% (40-48)
1. Clearance rate and recurrence rates are not directly comparable as clearance was
measured at different times from the start of treatment and high loss to follow up was often
experience in the trials
2. The 'intention to treat' analysis of clearance rates provides a conservative estimate of
efficacy. The number enrolled into each group was taken as the denominator and the
number known to have cleared as the nL'"1erator. For any missing data, participants were
assumed not to be cleared. For the 'per protocol analysis', only those for whom follow-up
data were available were include in the denominator and numerator; this may overestimate
the efficacy.
* Dikutip sesuai aslinya dari kepustakaan no. 17

TATA LAKSANA KOMBINASI

Aplikasi kombinasi podofilotoksin atau podofilin dengan krioterapi


tela h ba nyak dilapo rka n . Dari data penelitian aca k tersa mar ga nda
dengan kontrol plasebo, didapatka n hasil bahwa clearance rate yang
lebih signifi ka n dida patka n pada kelompok kombi nasi krio dan
podofi lotoksin pada m inggu ke 12, n a m u n dalam 24 m inggu ternyata
tidak ada perbed a a n . 18

2 16
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Kutil Anogenital: Tata Laksana Komprehensiif

PENUTU P

l nfeksi H PV tipe 6 dan 1 1 da pat bermanifestasi sebaga i kutil


anogenita l . Diagnosis u m u m nya d itega kka n berdasarkan gamba ra n
klinis, atau bila perlu, di lakukan pemeriksaan tambahan yang sederhana
berupa tes asam asetat. H i ngga saat i n i belum ada terapi ya ng ideal
untuk sel u ru h lesi. Pem i l i h a n tera pi berdasa rka n jenis lesi, lokasi,
ketersediaan modalitas, preferensi pasien, serta ketera m pilan
dokter. Ed u kasi pada pasien tenta ng penya kit, termasuk penyebab
dan cara pen ularan serta penti ngnya pengobata n, menjadi hal yang
sa ngat penting.

DAFTAR PUSTAKA
1. Villiers EM, Fauquet C, Broker TR, Bernard H U, Hausen HZ. Classification of
papil lomaviruses. Virology. 2004;324 : 1 7-27.
2. Myers ER, McCrory DC, Nanda K, Bastian L, Matchar DB. Mathematical model
for the natural history of h u ma n papil lomavirus infection and cervical
carcinogenesis. Am J Epidemiol. 2000; 1 5 1 : 1 158-71.
3. Cogliano V, Baan R, Straif K, Grosse Y, Secretan B, El G hissassi F, dkk.
Carcinogenicity of h u man papillomavi ruses. La ncet Oncology. 2005;6:204.
4. Jemal A, Simard EP, Darell C, Noone AM, Ma rkowitz LE, Kohler B, dkk. Annual
report to the nation on the status of cancer, 1975-2009, featu ring the burden
and trends in human papil lomavirus ( H PV)-associated cancers and H PV
vacci nation coverage levels. J Natl Cancer Inst. 2013;105: 175-201.
5. Holmes King k, Mardh PA, Sparling FP, Lemon SM, Stam WE, Piot Peter,
Wasserheit JW, penyunting. Sexually transmitted intestinal syndromes. Da lam:
Sexually tra nsm itted diseases, edisi ke-4. N ew York: Mc Graw-H i l l ; 2008.
h . 1296-97.
6. Freedberg I M, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, Kazt SI, penyu nti ng.
Wartz. Da lam: Fitzpatrick's dermatology in general medici ne, edisi ke-6. New
York: McGraw-H ill; 2012. h . 2 120-30.
7. Handsfield H H . Viral sexually transm itted disease. Da lam: Color atlas and
synopsis of sexually transmitted diseases, Edisi ke-3. N ew York: McGraw-Hill;
2001. h . 133-48.
8. Gilson R, Nathan M, Sonnex C, Lazaro N, Keirs T. Clinical effectiveness group
BASH H : UK national guidelines on the ma nagement of anogenital wart: 2015.
9. Von Krogh G, Lacey C, Gross G, Barrasso R, Schneider A. E u ropean cou rse on
HPV associated pathology: Guidelines for primary care physicians for the
diagnosis and ma nagement of anogenital warts. Sex Tra nsm I nfect. 2000
Jun;76 (3): 162-8.

2 17
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Hanny N ilasari

10. Kementerian Kesehatan RI, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan


Penyehatan Lingku ngan. Pedoman nasional penanganan infeksi men ular
seksual. Ja karta; 2015.
11. Rogstad K, Thomas A, Williams 0, Forster G, M u nday P, Robinson A, dkk.
U nited Kingdom national guideline on the management of sexually transm itted
i nfections and related conditions in children and young people. 2010.
12. Beutner KR, Reitano MV, Richwald GA, Wiley DJ. External genital warts: Report
of the American Medica l Association Consensus Conference. Clin Infect Dis.
1998;27:796-806.
13. Yanofsky VR, Patel RV, Goldenberg G. Genital wa rts a comprehensive review. J
Clin Aesthet Dermatol. 2012;5(6):25-36.
14. Lopaschuk CC. New approach to managing genital warts. Can Fam Physician.
2013;59:731-6.
15. Winer RL, Koutsky LA. Genita l human papillomavirus infection. Dalam: Holmes
KK, Sparling PF, Stamm WE, Piot P, Wasserheit JN, Corey L, penyunting. Sexually
transmitted diseases, edisi ke-4. New York: McGraw-Hill; 2008. h .439-508.
16. Mosa C, Trizzino A, Trizzino A, Di M a rco F, D'Angelo P, Farruggia P. Treatment
of h u man papillomavirus infection with i nterferon alpha and ribavirin a case
report in a patient with acquired a plastic anemia. Int J Infect Dis. 2014; 23 :25-7.
17. CDC. Sexually tra nsm itted diseases treatment guidelines. M MWR Recomm
Rep. 2015;64(3) :90-3.
18. Sherrard J, Donders G, White D, Jensen JS. European {IUSTl/WHO) guideline on
the management of vaginal discharge. 2011. Int J of STD & AIDS. 2011;22:421-9.

218
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
SKABIES: PRURITUS, DERMATITIS PASCATERAPI,
DAN KONTROVERSI KORTIKOSTEROID

Rahadi Rihatmadja

"... at the battle of Toulon, Napoleon caught another malady - "the itch"
known in French as "La Gale". He caught scabies from a wounded gunner
whom he tried to help. He had lifted the wounded man to safety, but failed
to see that the man was covered with scabies. Being covered himself with
perspiration, Napoleon contracted the scabies.. . We do know that [he]
suffered from intermittent skin eruptions during his lifetime. "
Peter Friedman; Another Napoleonic Mystery -- Napoleon 's Death1

PENDAHULUAN

Tata laksana skabies di era modern relatif mudah; agen penyebab


dan cara penularan telah diidentifikasi pada a bad ke-172 dan beragam
agen farma kologik yang lebih efektif (pada masa Napoleon : sulfur)
berhasil dikembangkan untuk mengatasi resistensi parasit dan toksisitas
pada pejamu. Kondisi ekonomi dan kependudukan global yang membaik
membantu pemberantasan penyakit, kecuali pada wilayah-wilayah
tertentu. 3 Meski demikian, gejala terpenting skabies, pruritus tidak serta
merta menghilang dengan pengobatan.4

PRURITUS PADA SKABIES

Gatal meru pa ka n gejala uta m a skabies pada segala usia, meski


d i keta h u i tidak semua orang yang terinfestasi parasit menderita gatal
- anggota keluarga pasien, misalnya, tida k jarang menyangkal kel uhan
serupa sehingga menyulitkan diagnosis. 5 Walaupun dikatakan mem­
berat pada malam h a ri, d i d uga fenomena ini da pat terjadi bu kan
hanya pada skabies ka rena pada siang h a ri perhatian pasien tera l i h
pada h a l lain, m isal nya a ktivitas fisik. 4
Setelah beberapa lama, pada beberapa kasus timbul papul atau
nodus yang sangat gatal yang d isebut nodus pasca-skabies (post­
scabetic nodule) sebagai a kibat reaksi imun terhadap antigen parasit. 3

2 19
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Rahadi Rihatmadja

Lesi umumnya ditemukan pada genitalia dan dapat m uncul pascaterapi.


Kel u han gata l dapat berlangsung a ntara 2-6 minggu . Pada i nfestasi
kro n i k terdapat ga mbara n ya ng tak spesifik berupa ekskoriasi dan
eksematisasi. 5
Pru ritus juga da pat merupakan gejala dermatosis lain setelah
episode skabies, m isalnya prurigo nodularis. 6 Suatu penelitian men­
dapatkan sekita r 66% a kropustu losis i nfa ntil didah u l u i oleh skabies. 7
Pru ritus dan tanda i nflamasi ku lit skab ies, meru pa kan aki bat
mekanisme i m u nologis pej a m u . Seca ra sederhana, h i persensitivitas
tipe lambat dan innate immunity berpera n penting pada umumnya
skabies, atau yang dikenal sebagai ordinary scabies (OS) Namun, pada
skabies Norwegia (selanj utnya disebut crusted scabies, CS) sistem imun
tersebut tidak bersifat protektif. 3

INFLAMASI PROTEKTIF DAN NON PROTEKTI F PADA SKABIES

Pengamatan i l m i a h menemuka n perbedaan respons imun pada


skabies ordinary dengan tipe crusted. Domi nasi respons Th2 dan lgE
terlihat pada tipe ya ng parah, sedangkan respons ya ng didom inasi
Th l dan interferon-y diamati pada tipe skabies u m u m nya . Did uga
kerenta nan genetik memenga ru h i respons i m u n peja m u . 8
Bukti sistem i m u n yang adekuat pada ska bies adalah gejala yang
lebih cepat m u ncul, dalam 1-2 hari setelah terpapar pa rasit, dibanding­
kan pada i nfestasi awal yang bebas gejala selama 3-4 minggu . Pada
infestasi primer terjadi peni ngkatan j u mlah Sarcoptes scabiei dalam
4 m i nggu d i i kuti dengan pengu ra ngan h i ngga sekita r 10-12 parasit
saat i m u n itas terbentuk. Sebali knya pada tipe CS, j u m lah pa rasit
menjadi sangat tinggi sei ring dengan d u rasi penya kit. Percobaa n juga
men u nj u kka n keberhasi lan rei nfestasi parasit ha nya terjadi sekita r
40% subjek yang telah tersensitasi. 3 ' 8
Reaksi terhadap i nfestasi parasit seri ngka l i men unj u kkan
ka ra kteristik respons Th l dan Th2 . Teta pi, b u kti men unj u kka n bahwa
respons i m u n pej a m u pada CS m i ri p dengan respons ale rgik Th2 yang
nonprotektif; berlawanan dengan OS yang memperlihatkan respons
protektif Th l. Pada bentuk pertama, sel radang memprodu ksi I L-4, I L-5
dan I L-13, dan mendominasi reaksi h ipersensitivitas yang diperantarai

220
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Skabies: Pruritus, Dermatitis Pascaterapi, dan Kontroversi Kortikosteroid

lgE, merekrut, mengaktivasi serta mempertah a n ka n sel efektor


nonspesifi k m isal nya neutrofi l dan eosinofil, ya ng bertanggung jawab
atas gejala dan tanda penyakit. Pada bentuk kedua, dominasi CD4+ dan
CD8+ mensekresi i nterferon-y dan I L-2. 8 Protein skabies ditem u kan juga
dapat memodulasi sekresi sitokin, kemokin dan ekspresi molekul adhesi
oleh berbagai sel di ku lit, termasuk keratinosit, fi broblas, dan sel
endotel. 3' 8
Biopsi lesi infestasi primer skabies men u nj u kka n kara kteristik
h i persensitivitas tipe l a m bat adalah: ku l it sekita r ka n a l i ku l i ya ng
berisi tungau disebu ki oleh l i mfosit, h istiosit, dan eosinofil. Sel CD4+
meru pa kan sel ya ng dominan pada OS, teta pi deposit lgE di sekita r
pem buluh darah dermis atas mengi n d i kasikan keterli bata n j uga
h ipersensitivitas tipe cepat. Seba l i knya sel C D8+ dominan pada lesi
CS, dengan hanya sed i kit h istiosit dan sel B . Kendati demikian, j u m lah
dan proporsi sel-sel tersebut dalam dara h normal, sehi ngga did uga
terjadi perpi ndahan selektif sel CD8+ ke dermis. Sel CD8+ tera ktivasi
mungkin menginduksi apoptosis keratinosit, meningkatkan elisitasinya
dan memacu hiperprol iferasi . Fenomena ini seru pa dengan ya ng
ditemukan pada psoriasis. 8

KONTROVERSI PENGGUNAAN KORTIKOSTEROID

Dengan memperti m ba ngka n latar belakang i m unologik di atas,


da pat dipahami terda pat pem i k i ran ba hwa korti kosteroid - bersa ma
denga n a ntih ista m i n - m u ngkin d iperl u ka n u ntuk mengatasi pru ritus
terka it skabies, m isal nya 24 jam setelah d i m u la i nya fa rmakoterapi
skabisid . 9• 10 Bah kan, m ungkin penggunaannya dalam waktu bersamaan
bukanlah kontra indikasi. 6' 11 Korti kosteroid topikal dan per ora l da pat
diberikan hingga setara prednison 0,5 mg/kgBB/hari. 12 Selain pruritus,
kortikosteroid berguna untuk mengendalikan i nflamasi, bersama
dengan pelembab pada dermatitis pasca-sca bies. 6• 11• 12
Meski demikian, penggunaan kortikosteroid bukanlah tan pa
risiko. Pema kaian kortikosteroid dapat membuat skabies su ka r dikenali
secara kl inis dan menjadi faktor risiko terjadinya CS, 13-15 sehingga ada
pendapat untuk menghinda ri nya . 5

221
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Rahadi Rihatmadja

Karena pruritus dapat berlangsung cukup lama walaupun dengan


i ntensitas yang berku rang, terdapat kesu l itan menilai a pa ka h terjadi
kegagalan terapi. Terda pat anj u ran bahwa asesmen kegaga lan semacam
itu, atau reinfestasi ska bies, sebaiknya tida k dilakukan kurang dari 6
minggu pascaterapi. 5 Meski demikian, anjuran ini sebaiknya diikuti
dengan pertimbangan klinis; lesi baru khususnya kanalikuli seharusnya
tidak lagi m uncul 48 j a m pascaterapi yang adekuat. 16

ASESMEN KASUS SKABIES DENGAN PRURITUS YANG MENETAP

Pada kasus dengan gejala k l i n is yang relatif teta p d ikeluhkan


pasien, beberapa hal beri kut laya k d i pe rtim bangka n :
1 . Pru ritus a kibat debris tunga u . U ntuk mempercepat l u ru h nya dari
pej a m u, da pat d isara n ka n m a n d i rendam dengan a i r ha ngat untuk
beberapa lama (disebutkan h ingga ku l it j a ri berkeriput). Kulit
d iseka khususnya pada bagian yang gata l . Pasien dapat mela kukan
prosedu r ini satu h ingga dua ka l i . 11
2. Kemu ngkinan hipersensitivitas silang terhadap tungau debu rumah
(house dust mite). 6' 10
3. Dermatitis konta k a kibat agen topica l . 6
4. Akarofobia (delusional parasitosis)-memerlukan intervensi psikiatrik.6
5 . M isdiagnosis - dermatosis lain penyebab pru ritus. 16 Umumnya
diagnosis skabies ditega kkan berdasarkan gejala klinis; pemeriksaan
m ikroskopis d a ri keroka n ku l it d a n/atau dermoskopi a ka n me­
n i ngkatka n akurasi. 16
6. Kegagal a n tera pi skabisid, yang m u ngkin terjadi a ki bat beberapa
fa ktor:
A. Ketidaktepatan cara pemakaian agen topikal. Pada dewasa, obat
dioleskan ke seluruh permukaan ku lit dari leher ke bawah, khusus­
nya a rea yang tersembunyi misalnya bawah kuku (kuku harus
dipotong pendek). Pada bayi dan anak obat juga dioleskan pada
lesi di kepala dan wajah . Pemakaian perlu diulang sesudah 7 hari. 16
B. Obat tidak digunakan oleh anggota keluarga maupun orang yang
sering berkunjung ke ru mah tersebut misalnya pembantu rumah
tangga, dalam waktu bersa maa n . 16 Skabies dapat menular
mela l u i konta k seksual, 16 maka penting mengobati pasa ngan
meski tidak tingga l seru m a h .

222
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Skabies: Pruritus, Dermatitis Pascaterapi, dan Kontroversi Kortikosteroid

C. Resistensi tungau terhadap obat. 16


D. Kegaga lan terka it dekonta m i nasi benda-benda yang berkonta k
dengan tubuh. Dokter seba iknya memahami kebiasaan pasien I
ora ngtuanya dengan a lat-a lat tersebut; pera ngkat sha lat, ka i n
u ntuk m enggendong bayi, d a n h a n d u k kada ng-kadang terlewat
dalam proses deko ntaminasi.

Perlu diperhatikan bahwa mungkin terdapat perbedaan pendapat


dalam kepustakaan tentang cara menangani pera latan tersebut, sesuai
dengan kondisi geografi. Namun demikian, secara umum kepustakaan
menyebutkan dekontaminasi dengan mencuci menggunakan air panas
atau dry cleaning; pera latan yang tidak dapat di proses dengan cara
tersebut tidak boleh d igu n a ka n dalam 72 j a m u ntuk meya ki n ka n
tungau telah mati. 16

PENUTU P

Pruritus pada skabies dapat berlangsung hingga beberapa minggu


pascaterapi, a kibat debris tungau yang belu m l u ru h dan menimbulkan
reaksi h ipersensitivitas tipe lambat dan cepat. U mu m nya antihistamin
dapat mengenda l i ka n gejala, tetapi j i ka parah korti kosteroid topikal
dan sistem i k da pat d igunaka n . Tidak terdapat data ya ng memadai
tentang keu nggulan pem a ka i a n kortikosteroid ta mbahan, tetapi
kepustakaan tidak pula menyebutka n obat tersebut d i ko ntra i n d i kasi­
kan pada skabies.
Berdasarkan bukti, kortikosteroid dapat mengaburkan tanda klinis
skabies dan menimbu lkan crusted scabies pada pasien yang memiliki
faktor predisposisi bagi bentuk skabies yang berat tersebut. Maka,
pemakaian korti kosteroid seharusnya disertai usaha yang memastika n
bahwa skabies terbasmi dengan baik, tidak hanya pada pasien tetapi
juga manusia dan lingkungan yang berkontak dengan mereka.

"Medicine is a collection of uncertain prescriptions, the results of which,


taken collectively, are more fatal than useful to mankind "
- Napoleon Bonaparte17

223
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Rahadi Rihatmadja

DAFTAR PUSTAKA
1. Friedman P. Another Napoleonic Mystery - Napoleon's Death . Napoleon .org
The History Website of The Foundation Napoleon. [diakses tanggal 1
November 2016]. Tersedia d i : https://www. napoleon.org/en/h istory-of-the­
two-empires/articles/another-napoleonic-mystery-napoleons-death/.
2. Ramos-e-Silva M. Giova n Cosimo Bonomo (1663-1696): Discoverer of the
etiology of sca bies. I nternational Journal of Dermatology 1998;37(8): 625-30.
3. Hay RJ, Steer AC, Engelman D, Walton SF. Scabies in the developing world - its
prevalence, complications, and management. Clin Microbiol I nfect. 2012;18:313-23
4. Monroe J. Debunking the myths surrounding scabies. [diakses tanggal 2 November
2016]. Tersedia di: http://www.clinicaladvisor.com/features/debunking-the­
myths-su rrounding-scabies/article/161840/2/.
5. Joh nston G, Sladden M . Scabies, d iagnosis and treatment. BMJ 2005;
331(7517): 619-22.
6. Ba rry M. Scabies. Medscape. [diakses tangga l 6 November 2016). Tersed ia di:
emedicine. medscape.com/article/1109204-overview#a l .
7. Mancini AJ , Frieden IJ, Paller AS. I nfantile acropustulosis revisited: history of
scabies and response to topical corticosteroids. Pediat Dermatol. 1998;15:337-41
8. Walton SF. The immunology and suscepti bil ity and resistance to scabies.
Australasian l m m u noparasitology 2010;38:532-40.
9. Hengge U R, Cu rrie BJ, Jager G, Lupi 0, Schwa rtz RA. Scabies: A ubiquitous
neglected skin disease. La ncet I nfect Dis. 2006;6:769-79.
10. Shinkai K, Rosenbach M, Ahronowitz I, Harp J, Wintroub BU, Berger TG.
Therapeutic strategies in dermatology. [diakses tanggal 6 November 2016].
Tersedia di: https://www.dermlOl.com/therapeutic/sca bies-2/principles-of­
management-of-sca bies/.
11. Scabies. American Osteopathic Col lege of Dermatology. [diakses tanggal 8
November 2016]. Tersedia d i : www.aocd .org/?page=Sca bies.
12. Guideline for Management of Scabies. [diakses tanggal 8 November 2016].
Tersedia di: http://ww. moh .gov.my/index.php/file_manager/dl_item/.
13. Sa ndre M, Ralevski F, Rau N . An elderly long-term care resident with crusted
sca bies. Can J I nfect Dis Med Microbio l . 2015;26( 1 ) : 39-40.
14. Binic I, Jankovic A, Jova novic D, Lj ubenovic M. Crusted ( Norwegian) scabies
following systemic a n d topical corticosteroids. J Kor Med Sci . 2010; 25: 188-91
15. Das A, Bar C, Patra A. Norwegian sca bies: A rare case of erythroderma. Indian
Dermatol Online J . 2015;6:52-4.
16. Sca bies: Freq uently asked questions. Centers for Disease Control and
Prevention . [dia kses 15 November 2016] . Tersedia di:
http ://www.cdc.gov/parasites/sea bies/gen_i nfo/faqs. htm I.
17. 99 greatest quotes by Napoleon Bonaparte. [diakses tanggal 25 Desember 2016]
tersedia di: www.quotesigma.com/99-greatest-quotes-by-napoleon-bonaparte/.

2 24
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
TATA LAKSANA TUMOR JINAK KULIT

Roro Ing e Ade Krisanti

PENDAHULUAN

Sebagian besa r tumor kul it bersifat j i n a k. Tumor d apat berasal


dari epiderm is, dermis, m a u p u n jari ngan su bkutis. Berbagai tumor
jinak kulit memiliki riwayat perjalanan penya kit d a n gam bara n kli n is
yang khas sehingga d iagnosis d apat d itega kkan dengan m u d a h .
Mayoritas t u m o r jinak kulit t i d a k m e m butuh ka n pengobatan m a u p u n
tindakan medis, namun apabila pasien menghendaki untuk menghilang­
kan lesi, berbagai modalitas terapi dapat digunakan untuk mengangkat
lesi tumor dan mendapatkan hasil yang baik secara kosmetis.
Seorang klinisi harus menentukan p i l i h a n tera p i dengan mem­
pertimbangka n ketersediaan instru men, a lat medis, d a n kom petensi
yang d i m iliki u ntuk setiap kasus yang dite m u i . Pada sebagian kecil
kasus, manakala diagnosis sulit d itegakka n atau terda pat kecu rigaan
kan ker kulit sebagai diagnosis bandi ng, ja nga n ragu u ntuk mengangkat
lesi dan mengi ri m ka n jari nga n untuk pemeri ksaan histopatologi. 1
Secara garis besar, tumor jinak kulit digolongkan sebagai berikut:
1. Tu mor j i n a k epidermal;
2. Nevus jinak nevomela nositik;
3. Kista;
4. Tumor adneksa kul it;
5. Vasku lar a nomali;
6. Tumor saraf kulit;
7. Tumors dan proliferasi fibrohistiositik j i n a k;
8. Mastositosis; dan
9. Neoplasma lemak subkuta n .

Masi ng-masing golonga n terdiri atas berbagai jenis tumor bahka n


j u m l a h keseluruhan tumor j i n a k kulit mencapai lebih d a ri seratus
jenis. Pada makalah ini pem ba hasan akan d ibatasi pada tata l a ksana
tumor kulit yang sering dite m u i .

225
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Inge Ade Krisanti

MODALITAS TERAPI

Berbagai modalitas terapi tumor j i n a k kul it, sebaga i berikut:


1. Bedah l istri k
2 . Beda h beku
3 . l njeksi kortikosteroid i ntralesi
4. Bed a h ska l pel
5 . Laser ablatif
6 . Laser non-ablatif

Selanj utnya a ka n d ibahas prinsip kerja dan prosedu r singkat berbagai


modalitas tersebut satu persatu terkait tata laksana tumor jinak kulit. 1

1. Bedah listrik
Bed a h l istrik ata u electrosurgery merupakan prosed ur yang
mema nfaatkan daya tahan ja ringan terhadap arus l istrik bola k-ba lik
frekuensi tinggi sehingga m a m p u yang menyebabkan kerusa kan
j a ri ngan a ki bat panas. 2
Alat bedah listrik m enyediaka n fasilitas yang memu ngkinkan
u ntuk meningkatkan Ampere dan frekuensi, j uga melaku ka n modifikasi
bentuk gelombang yang sesuai denga n indikasi klinis. Spark-gap unit
paling banyak digunakan u ntuk elektrodesikasi, elektrofulgurasi, dan
elektrokoagulasi, sedangkan vacuum-tube units digunakan untuk
elektroseksi. Bentuk gelombang output keduanya dapat dimodifikasi
denga n mengatur oscillating units. 3
Efek terapi yang dihasi l ka n pada tindakan bedah listrik bervariasi
mulai dari deh idrasi jaringan superfisia l (pada elektrodesikasi dan
elektrofulgurasi), koagulasi jaringan yang lebih dalam, h ingga memotong
jaringan (elekroseksi).2'3 (Tabel 1) lndikasi bedah listrik adalah: memotong
Janngan, vaporasi fragmen Janngan, mengontrol perdarahan,
merusak/destruski jaringan, mengencangkan ku l it, matriksektomi
ku ku, serta epilasi. 4
Tidak ada kontra i ndikasi absolut untuk tindakan bedah listrik,
namun terdapat beberapa kondisi pasien yang perlu diwaspadai terkait
kontraindikasi relatif: pengguna pacemaker, pengangkatan lesi suspek
nevus displastik atau melanoma maligna; karsinoma sel basal ( KSB)
tipe morfea; dia meter lebih 2 cm ata u di area H pada wajah;

226
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Tata Laksana Tumor Jinak Kulit

karsinoma sel skuamosa ( KSS) lebih dari 7-8 m m ; atau di a rea non-sun
exposed dan m u kosa bibir; pasien i m u nokompromais; d ia betes; atau
gangguan vaskular. 4

label 1. Berbagai setting u n it bedah l istrik dengan a p l i kasi klinis*


Tipe Elektrodesikasi/ Elektrokoagulasi Elektroseksi
Electrosurgery/ Elektrofulgurasi
Setting
Waveform Highly damped Moderately Undamped
damped
Voltage High Low Low
Amplitude Low High High
Frequency High High High
Current Alternating Alternating Alternating
Tissue effect Coagulation, Cutting and Cutting,
superficial coagulation, deep localized
destruction extensive destruction
destruction
* Dikutip dari kepusta kaan no. 3

Tekni k elektrodesi kasi menggunakan elektroda monoterminal,


gelombang output tinggi pada awal kemudian berubah menurun
(damped sine wave). Elektroda berkonta k langsung dengan kul it,
menyebabka n dehidrasi su perfisial pada kulit. l n d i kasi prosed u r ini,
antara lain a krokordon, a ngioma ( keci l ), penyakit Bowen, keratosis
a ktin i k, keratosis seboro i k, KSS in situ, lentigo, nevus epidermal,
veruka pla na, KSB tipe superfisisal dan nod ular, serta hemostasis
ka pi ler. 5
Elektrofulgurasi menggunakan elektroda monoterminal, damped
sine wave, dan elektroda tidak berkontak langsung dengan kulit. Percikan
arus dari elektroda ke kulit menyebabka n dehidrasi superfisial pada
kulit. lndikasi sama dengan elektrodesikasi. 2 '3' 5
Elektrokoagulasi menggun a ka n elektroda biterm inal, grounding
plate, moderatelly damped sine wave, menyebabkan koagulasi jari nga n
sehi ngga terjadi ablasi kulit bagian d a l a m . J a ringan h a rus d i keringka n
untuk mendapatka n hasil yang opti m a l . l n d i kasi prosedur i n i meli puti
angiofibroma, angioma ( besar), h i perplasia sebasea, tela ngiektasia,
kondiloma akuminata, hemostasis a rterial, h i rsutisme, h i perplasia

227
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Inge Ade Krisanti

sebasea, KSB tipe superfisisal d a n nod u l a r, KSS, nevus melanositik


banal, ingrown toe nail - matrixectomy, trikhoepitelioma, syringoma,
d a n veru ka vulgaris. 2 • 3•5
Elektroseksi menggu nakan elektoda biterminal, grounding
plate, moderatelly pure sine wave, menyebabkan kerusakan jari ngan
perifer a kibat panas yang minimal. lndikasi prosedur ini adalah rinofima,
akne keloidalis n u chae, blefa roplasti, debulking, revisi skar, shave
removal, undermining, skin resurfacing, e ksisi, dan sebagai nya . 2 ' 3' 5
Elektrokauter tidak termasuk bedah listrik karena kerusa kan
j a ri ngan pada m etode i n i d isebabkan oleh perpindahan panas
la ngsung d a ri elemen elekt rokauter ke ja ringan, tidak ada a l iran
l istrik mela l u i pasie n . 2 '3 Beda h l istri k dapat m enyebabkan efek
sam p i ng/kompli kasi yaitu : I u ka bakar; kebaka ran; ska r superfisial/
dalam; current channeling; shock l istrik; electrocution; infe ksi H PV
dan h epatitis B; h ipopigmentasi; kerusakan atau ska r pada kornea;
dan ga ngguan pacemaker/automated implantable cardioverter
defibrillator (A/CD}
Bed a h listrik dapat menghasilkan gelomba ng elektromagneti k
yang dapat mengganggu kerja pacemaker. Penggu na pacemaker yang
berfungsi sebaga i ventricular inhibited da pat menga l a m i gangguan
bradikardia atau asistol, sementara pengguna pacemaker yang berfungsi
sebaga i ventricular triggered d apat menga l a m i takiaritm ia, fibrilasi
ventrikular atau ekstrasistol. Elektroseksi merupaka n tipe yang memiliki
risiko terbesar terkait komplikasi gangguan pacemaker. Namun
berdasarkan studi yang ada, risiko komplikasi terse but tergolong kecil. 4'5
Transmisi infeksi melalui asap sisa pemba karan atau percikan darah
dapat terjadi pada saat mengobati lesi infeksi virus, misalnya lesi
veruka.4•5 Jelaga pada asap selain mengandung beberapa gas berbahaya
(benzena, sianida, formaldehida, dan lain-lain) j uga mengandung material
darah dan partikel virus. Hal tersebut berpotensi menimbulkan infeksi
pada kulit, saluran nafas maupun mata. Dianjurkan untuk menggunakan
smoke evaquator berjara k 2 inci dari lesi, masker pelindung dan kaca
mata pelindung. 5

228
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
label 2. Kisaran power setting yang direkomendasikan pada unit radiofrequency surgery (Elmann8 surgitron8 FFPF EMC)*

Lesi Power setting Power setting Electrosurgery Type of electrode


(dial) (watt) modality/waveform
Angioma {cherry) 1-2 10-20 Coag Ball
Angioma {spider) 1-1,5 10-15 Coag Needle
Bleeders/excision 2,5-3 25-30 Coag Ball
Condyloma acuminate 2-2,5 20-25 Cut Loop
Dermatosis papulosa nigra 1-1,5 10-15 Coag, cut Ball, loop
1,5-2 15-20
Epilasi 1 10 Coag Needle
lnsisi/eksisi 2 20 Cut Various-tip
Nevus 2-2,5 20-25 Cut Loop
Pyogenic granuloma 2-2,5 20-25 Cut, coag Loop, ball
Sebaceous Hyperplasia 1-2 10-20 Coag Ball
Seborrheic keratosis 2,5-3 25-30 Cut Loop -t
OJ
....
1-1,5 OJ
Skin tag 10-15 Coag, cut Ball, loop r-
OJ
2 20 �
"'
OJ
::;,
Syringoma 1,5-2 15-20 Coag Ball OJ
-t
c:
Telangiectasias 1-2 10-20 Coag Needle 3
Verrucae vulgaris 2-3 20-25 Cut Loop Q
::;,

OJ
Coag=coagulation. Cut=cutting �
N ::><:
N *Dikutip dari kepustakaan no. 5 c:
l.D ;::;:

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Inge Ade Krisanti

Prosedur
Setiap unit bedah l istrik da pat memil i ki perbedaan, sehingga
d i perlukan pengaturan yang berbeda pada setiap model� prosedu r,
l esi, dan ka rakteristik pasien. Rekomendasi power setting d igunakan
sebaga i pan d u a n awa l . Prinsip dasar pengatu ran power output, yaitu
sel a l u d i m u l a i denga n power rendah sela njutnya da pat disesua i ka n
h ingga tuj ua n tercapai . Ablasi/destruksi j a ri ngan dita ndai dengan
terbentuknya gelembung kea buan. Koagulasi membutuhkan power
lebih tinggi dari a b lasi. 5
Anestesi loka l dibutuh ka n sebelum tindakan bedah listrik kecuali
u ntuk lesi telangiektasia, skin tag, dan a ngioma berukuran kecil. l njeksi
lidokain 1-2% dengan epinefrin dapat mengurangi nyeri saat tindakan.
Sebel u m m e m u l a i ti ndakan bedah listri k, tentuka n mode dan
power. Pastikan grounding plates sudah terletak pada posisi yang
tepat. Pilih elektroda yang akan d igu n a ka n, pasang pada hand piece.
Pastikan pedal sudah terletak d i lokasi ya ng terja ngkau dan nyaman.
Ketika dipilih cutting mode, elektroda a kan memotong secara
kontinu. J i ka terdapat hambatan, eek u lang pemilihan mode, lembabkan
jari ngan, perlambat gerakan, pastikan elekroda bersih dari sisa jari ngan
yang mene mpel, dan perbai ki letak grounding plate sebe l u m me­
nai kkan power. Power yang terl a l u kuat d itandai dengan pijara n a pi,
ada nya asap dan j aringan menjadi h ita m. J ika hal tersebut terjadi,
t u ru n ka n power. Power ya ng tepat m e m pe rlihatka n jari nga n terli hat
tetap normal d a n tidak berdara h .
Untuk fulgurasi d a n koagulasi, atur posisi elektroda d a n jaringan
agar tetap terdapat jarak. ldealnya, terlihat perubahan jaringan menjadi
keabuan atau terbentu k light charring. Untuk mendapat hasil optimal
pada power rendah, usap j a ringan dengan kasa lembap. 5

2. Bedah beku

Beda h beku ata u cryosurgery, meru pa ka n modal itas terapi yang


mudah, m u rah, dan sangat bermanfaat; tida k hanya untuk tata
.
laksana berbaga i l esi j i n a k, n a m u n j uga pramaligna bahkan lesi
m a l igna. Ba h a n kriogenik d i a pl i kasikan seca ra la ngsung maupun tidak
langsung pad a ku lit u ntuk men destruksi lesi. 6

230
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Tata Laksana Tumor Jinak Kulit

Trauma pada sel d i m u l a i dengan terbentu knya kristal es


ekstrasel. Keadaan h i perosmotik e kstrasel menyebabka n ca i ra n sel
keluar secara osmosis sehingga menyeba bkan dehidrasi i ntrasel
diikuti dengan kerusakan memb ra n dan o rganel. Pembekuan yang
berlanjut menyebabkan terbentu knya kristal es di i ntrasel dan sel
menjadi peca h . 6

label 3. Berbagai bahan krioge n i k*


Kriogen Titik didih (0C)
Klorodiflorometan -40,8
Karban dioksida cair -78,5
Nitrous oxide -88,5
Oksigen -182,9
Nitrogen cair -195,6
Helium -268,9
* Dikutip dari kepusta kaan no. 7

Selain akibat terbentu knya krista l es, kerusakan sel j uga d ipicu
oleh terjadinya trom bosis vaskul a r selama pembekuan {freezing) d a n
stasis setelah menca i r (thawing). Peru bah a n pada pem b u l u h darah
tersebut mengakibatkan terjadinya nekrosis iskemik.
Waktu freezing yang cepat ( 100-260°C per menit) dapat
menyebabkan kematian sel lebih banyak. Ketika sel membeku dengan
cepat, terjadi pembentukan kristal es i ntrasel yang memicu kerusakan
organel yang dapat menyebabkan destrukturisasi sel secara i reversibe l .
Semakin besar kristal e s yang terbentu k, m a k i n banya k kerusa ka n
yang terjadi, ba h ka n dapat menyeba nkan ruptur membra n sel . 6 J i ka
sel membeku secara lambat, sitoplasma menjadi hipertonik dan sulit
untuk membeku sehingga terbentuk kristal es ekstrasel yang lebih banyak
dibanding intrasel. Dengan demikian, sel sulit mengalami kematian.6
Waktu thawing ya ng l a m bat ( l0°C per menit) berh ubu ngan
dengan rekristalisasi dan menambah kematian sel. J u m lah air di
intrasel bertambah, dan transfer elektrolit secara cepat menyebabkan
kerusa kan protei n lebih lanj ut. Siklus freeze-thaw u l a ng da pat
meningkatka n tra u ma pada jaringa n . Pada lesi kega nasan d ibutuh ka n
siklus freeze-thaw multiple. 6, 7

231
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Inge Ade Krisanti

S u h u jaringan berpera n pent i ng u ntuk mencapai kematian sel.


U nt u k lesi kegan asan, d ibutuh ka n suhu akhir -20 h ingga -30°C untuk
mematikan sel, seda ngka n u ntuk m e m peroleh kematian sel di
seluruh lapa ngan l esi d ibutu h ka n suhu -50 h ingga -G0°C. 8 Semakin
panj ang d u rasi suatu jaringa n dalam keadaan membeku, semakin
banyak kerusakan j a ringa n ya ng terjadi. N a m u n, setelah 100 detik
rata-rata kematian sel akan menetap. 6•7
Fa ktor-fa kto r lain ya ng tu rut m e m pengaruhi terjadinya bekuan,
antara lain sema kin cepat penyemprotan intermittent sehingga
bekuan j a ri ngan semakin dalam d a n terloka lisir, diameter halo yang
lebih l uas ( m e n u nj u kkan kedalaman bekuan ya ng maki n besar), serta
semakin dekat jara k tip dengan lesi ya ng mena ndakan semakin di ngin
suatu jari ngan seh i ngga bekuan semakin cepat tercapai. 6. 7

label 4. Berbagai kisa ran suhu letal sel *


Tipe sel Kisaran suhu untuk destruksi jaringan
Keratinosit -20 hi ngga -30° C
Melanosit -4 h i ngga -7° C
Dermal fibroblas -30 h i ngga -35° C
* Dikutip dari kepustakaan no. 6,7

lndikasi
Bed a h beku efektif u nt u k tera pi tumor j i na k, pramal igna,
m a u p u n m a ligna . Pada lesi m a ligna, bedah beku ha nya dilakukan
u ntuk l esi tumor yang berbatas tegas dengan diam eter kurang dari 2
cm, usia tua, tida k m e m u ngki n ka n d i la ku ka n terapi beda h, maupun
u nt u k tuj u a n mered u ksi u ku ra n tumor pada pasien yang menja lani
tera pi pa l iatif. 6
Berbagai lesi tumor j i n a k yang merupakan indikasi bedah beku
yaitu akne vulgaris (cystic), h i perplasia a ngiol i mfoid a ngiokeratoma,
angioma, chondrodermaitis nodularis chronicus helicis, dermatofibroma,
disseminated superficial actinic porokeratosis, nevus epidermal,
gra n uloma fasiale, granuloma fissu ratum, hemangioma, hidraden itis
supurativa, keloid, leish maniasis, lentigo, liken planus tipe hipertrofik,
liken sklerosus et atrofikus, l imfositoma kutis, moluskum kontagiosum,
mucocele, kista myxoid, nevus flameus, porokeratosis Mibelli, poro-

232
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Tata Laksana Tumor Jinak Kulit

keratosis plantaris diskreta, prurigo nodularis, psoriasis plakat, piogenik


granuloma, rosasea, hiperplasia sebasea, keratosis seboroik, steatositoma
multipleks, syringoma, trikiasis, venous lake, dan veruka dengan berbagai
varian klinis (bowenoid papulosis, kondiloma akuminatum, veruka
periungual, veruka plana, veruka palmaris et plantaris, veruka vulgaris).6'7

Kontraindikasi

Pasien dengan riwayat sensitif terhadap suhu dingin, atau me­


miliki penyakit yang dapat dipicu oleh suhu dingin, misalnya krio­
globulinemia, kriofibrinogenemia, pernio, dan lain sebagainya. Tindakan
ini juga tidak sesuai untuk lesi yang terletak di atas saraf, atau lesi tumor
dengan batas lesi tidak tegas maupun tumor dengan i nvasi dalam.
Lokasi tumor tertentu misalnya pada kantus medial mempunya i
kecenderungan berinvasi dalam. Melanoma, K S B rekuren ata u tipe
sklerosing, m a u p u n nevus tidak d isara n ka n d i la kukan bedah beku.
Seda ngka n kontra indikasi relatif tindaka n bedah beku adalah lesi
pada kulit kepa la, lengan bawa h dan jari-jemari, m a u p u n lesi yang
terletak dekat batas verm i l ion, lesi pada tepi bebas ala nasi dan lesi
dekat ka nal auditori . Pada pasien denga n tipe kulit gelap terda pat
risiko terjadi h i popigmentasi pasca-i nflamasi. 6

Persiapan Pra-Tindakan
Da pat d i la ku ka n dengan tujuan untuk mem perkeci l u ku ra n lesi
ata u meni piska n jari nga n u ntuk men i ngkatka n efek pem beku a n .
Dapat dilaku kan dengan berbaga i cara berga ntung j e n i s lesi, m isal nya
pemberian keratol itik, retinoid topikal, 5 fluoro u rasil topikal,
i m i q u i mod, gel d i klofenak 3%, kom pres kasa basah, mengi kis, ata u
debulking dengan kom bi nasi elektrokauter, d a n sebaga i nya . 7 Ta bel 4
men u nj u kka n daftar rekomendasi waktu bekuan d a n margin lesi
pada tata laksana berbaga i tumor j i n a k menggu n a ka n metode open
spray dengan n itrogen cai r. Freeze time average d igunaka n sebagai
patoka n awal terapi bedah beku. 7

233
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
I nge Ade Krisanti

label 5. Berbagai u k u ra n tekn i k bedah beku pada lesi j i nak*


Benign condition Freeze time Freeze time Diameter
average (s) range (s) halo (mm)
Chondrodermatitis nodular helicis 20 20-30 1
Condyloma 10 5 - 20 1-2
Dermatofi broma 20 20-30 1
Digital m ucous cyst 15 10-20 1
Granuloma a n n u l a re 15 10-20 0-1
Hyperthropic scar 10 10-20 0-1
Keio id 20 20-30 1
Lichen planus, hiperthropic 20 20-30 0-1
Mol luscum contagiosum 5 5-10 0-1
M ucocel e 10 10-20 1
Pea rly penile papules 10 5-10 0
P ru rigo nod u l a ris 15 10-30 1
Sebaceous hyperplasia 10 10-20 0
Seborrheic keratosis 15 10-20 1
Skin tags 5 5-15 0
Solar lentigenes 5 5-15 0
Stucco keratosis 10 10-15 1
Syringoma 15 15-25 1
Verruca, common 10 10-20 2
Verruca, flat 5 5-10 1
Verruca planta r 10 10-20 2
Xanthelasma 15 20-25 1
*Dikutip dari kepustakaan no. 6

Teknis Pelaksanaan

Terdapat e mpat cara a p l i kasi bedah beku ya it u :

1 . Tekni k dipstick
Tekn i k i n i menggu nakan a p l i kator kapas ata u loga m . Dibutuh kan
apli kasi beru lang u ntuk m encapa i suhu yang d i i nginka n . Freezing
menyebar seca ra l a m bat. Ca ra i n i da pat d igu naka n u ntuk lesi
epidermal j i n a k beru kura n kecil, m i sa l nya veruka, lentigo sim pleks,
dan lentigo sola ris. Ca ra ini tida k tepat u nt u k kela inan maligna. 6' 7

234
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Tata Laksana Tumor Jinak Kulit

2 . Spray terbu ka
Cara yang paling banyak digunakan saat ini, liquid nitrogen ditampung
dalam handheld unit, kriogen d isem p rotkan kel u a r mela l u i tip khusus.
Posisi ideal cara spray terbuka adalah jara k tip terhadap lesi 1-2 cm,
dengan sudut 90°, handheld unit digenggam vertikal. Metode ini
umumnya dilakukan untuk tata laksana keratosis seboroik, akne kisti k,
keratosis a ktinik, veruka, keilitis a ktinik, karsinoma sel skuamosa in situ
(penyakit Bowen), karsinoma sel skuamosa, dan karsinoma sel basal. 6-8
Ca ra spray terbuka j uga dapat d i lakuka n dengan menggu n a ka n
cone. Penggunaan neoprene cone ditujukan agar kriogen hanya ber­
konta k dengan area spesifik. Terdapat berbagai ukuran diameter cone,
baik sisi lingkaran cone yang akan berkonta k dengan kulit, maupun
dinding cone. Cone dipilih sesuai dengan u ku ran lesi dan besarnya margin
yang dikehendaki. 7 Freezing yang tepat tercapai ketika penyebaran lateral
freezing terl i hat melampaui d i n d i ng cone. Cara i n i tepat d igu n a ka n
pada lesi yang berbentuk bu lat ata up u n terleta k di a rea sensitif. 6-8

3 . Tekni k tertutup
Disebut juga dengan teknik cryoprobe atau terapi kontak. Handheld
unit dihubungkan dengan cryoprobe mela lui selang. Probe terbuat dari
logam, dengan beragam bentuk . Cara ini digunakan terutama untuk lesi
maligna, selain itu dapat j uga digunaka n untuk terapi venous lake,
hemangioma, dermatofibroma, kista mixoid, hiperplasia sebasea, dan
gra n u loma a n u la re. 6-8

4. Teknik instrumen d ingin


Forceps atau hemostat di re ndam dalam nitrogen ca i r h i ngga
beku, kemudian d i paja n ka n pada lesi seca ra berulang-ka li h i ngga
bu nga es meluas kearah proksimal dasar lesi. Tekik i n i teruta ma
dilakukan pada lesi berta ngka i . 6-8
Kedalaman bekuan seca ra kasar da pat dia mati, besarnya kira-kira
sa ma dengan radius l uas perm u ka a n . Dengan tekik spray intermitten,
bola es a kan terbentuk lebih dalam, d a n lebih terloka lisir. Sedangkan
pada tekn i k spray kontinu, bola es yang terbentuk da ngka l dan terjadi
penyebaran luas. Ukuran kedalaman maksimal bola es yang terbentu k
dengan n itrogen ca i r sekita r 10 m m 7 sehingga u ntuk lesi ya ng lebih

235
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Inge Ade Krisanti

besar perlu d i l a kukan debulking sebe l u m d i l a ku ka n beda h beku. 7 '8


Suhu jaringan d a n ked a l a m a n bekuan dapat d i u ku r menggu nakan
alat pyrometer thermocouple. Dengan m enggunaka n jarum 25-30
Gauge, jarum d iletakkan di bawa h atau latera l dari lesi. Namun, saat
i n i a lat ukur tersebut sudah jarang d igu naka n . 7

Perawatan Pasca-Tindaka n
Selama tindakan bedah beku, rasa nyeri pada umumnya minimal,
rasa nyeri paling buruk dirasakan saat thawing d i bandingkan freezing.
Area yang lebih nyeri antara lain dahi, telapak kaki, periu ngual, telinga,
kelopak m ata, bibir, dan membra n m u kosa . Anestesi lokal kadang
dibutuhkan sebelu m insersi jaru m thermocouple. Respons pascatindakan
u m u m nya beru pa nyeri, edema, dan eritema. Bula dan krusta j uga
terkadang timbu l . Setelah tindaka n pada ma lignansi yang dalam
da pat terjadi eskar. Skar atrofik dan h i popigmentasi terutama pada
pasien berku l it gelap da pat terjadi sementara ata u p u n menetap.
Waktu penyembuhan u m u m nya berkisa r 2-5 minggu seperti pada
tindakan bedah l a i n nya, fa ktor usia, komorbiditas ( misalnya dia betes
melitus), lokasi (misalnya tungkai bawah) dapat memperpanjang waktu
penye m b u h a n .
Perawatan pasca-tindakan termasuk menca ku p h a l - h a l beri kut
i n i m a n d i setiap h a ri dengan m enggu n a kan a i r dan sabun, proteksi
a rea I u ka . J i ka terbentuk krusta ta mbahka n hidrogen peroksida. J i ka
terbentu k bula tega ng laku ka n d ra i nase dengan menggunakan jarum
steril dan biarkan atap bula tetap i ntak. Pada u m u m nya pemberian
paraseta mol cukup u ntuk mengontrol rasa nyeri . 6. 7

Komplikasi

H i popigmentasi, bula besa r, kerusakan sa raf, infeksi sekunder


merupaka n kom plikasi paling sering. Kom pl i kasi ya ng lebih jarang
terjadi adalah hipertrofik ska r dan perdara han. Kerusaka n ja ringan
sekita r da pat terjadi, m isa l nya alopesia distrofi kuku disestesia, serta
notching pada tel i nga dan hidung. 6

236
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Tata Laksana Tumor Jinak Kulit

3. lnjeksi kortikosteroid intralesi

Tindakan i njeksi kortikosteroid intralesi seringkali dilakukan pada


praktik sehari-hari. Jenis steroid standar d i bidang dermatologi adalah
triamsinolon asetonid (TA). Kadar steroid dan penyuntikan pada lokasi
yang tepat merupakan hal yang sangat penting untuk mencapai
keberhasi lan terapi. 9
Sela i n digunaka n u nt u k tata l a ksana keloid dan ska r hipertrofik,
i njeksi korti kosteroid i ntralesi j uga d igunaka n pada kasus-kasus non­
tumor, misal nya akne kistik, acne keloidalis nuchae, a lopesia areata,
lu pus diskoid, gra nuloma a n u la re, h id radenitis supurativa, ska r
hi pertrofik, keloid, l i ken sim pleks kro n is, pru rigo nodularis, psoriasis,
sa rkoidosis, maupun untuk merangsang pertumbuhan rambut pada
kasus alopesia a reata . 9
Kontraindikasi i njeksi korti kostreroid i ntralesi adala h keadaan
lesi l uas ata upun ada nya tanda-ta nda infeksi. Efek sa mping dapat
berupa ska r atrofi, telangiektasis, m a u p u n h i popigmentasi. 1' 9
TA terdapat dalam 2 sediaan 10 dan 40 mg/m l, bila dibutuh kan,
dapat dilakukan pengenceran dengan menggunakan cai ran NaCl 0,9%
atau l idoka i n 1-2% sebagai pela rut. Wa l a u p u n terda pat perbedaan
histopatologis a ntara lesi keloid dan skar h i pe rtrofik terkait susunan
kolagen, namun tata laksana ked u a nya serupa. U ntuk lesi keloid,
konsentrasi TA yang dianj u rka n adalah 10-40 mg/m l, seda ngka n
u ntuk skar h ipertrofik 10-20 mg/m L. 9
Untuk terapi awa l, konsentrasi TA ya ng dianj u rkan adalah 10
mg/ml. Penyu ntikan d ilakuka n dengan posisi jaru m terhadap kulit
membentuk sudut 20-30°, dengan ujung needle masu k ke dalam
ja ringa n lesi. Posisi jaru m yang ben a r a ka n terasa teka nan selama
penyu nti ka n . Penyu ntikan dilanj utkan h i ngga terca pai warna lesi
ya ng memucat. 1 '9 l njeksi d i u lang setiap 2- 4 minggu . 1
lesi keloid beru kuran besar memerl u kan injeksi multipel. Terapi
kombinasi bedah beku dengan injeksi kortikosteroid intralesi
memperlihatkan hasil yang lebih bai k dibandingkan dengan terapi
tungga l . Prosedur ini teruta ma d i l a ku kan pada lesi keloid ya ng lama
ata u padat. Ti ndakan bedah beku u m u m nya d i l a kukan 1-2 menit

237
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Inge Ade Krisanti

sebe l u m injeksi. Tera pi kombinasi lain nya adalah i njeksi TA dengan 5-


fl uorourasil, n a m u n kombinasi seperti i n i memperli hatka n hasil a khir
yang bervariasi. 9

4. Eksisi elips

Eksisi e l i ps atau fusiformis meru pa ka n cara yang praktis dan


efektif untuk mengangkat lesi dengan tepi lateral atau kedalaman yang
dapat disesuai kan dengan surgical margin. Bentuk sayatan memu ngkin­
kan u nt u k penutupan I u ka membentuk garis ya ng dengan hasil
kosmetis yang baik. lnd i kasi tindaka n ini yaitu menga ngkat lesi jinak
dan mengangkat lesi ganas berbatas tegas sesuai dengan surgical
margin yang d i rekomendasi ka n . 10

Kontra i n d i kasi tindaka n i n i a ntara l a i n : 11


• Lesi ga nas dengan berbatas tidak tegas;
• Lesi ka rsinoma sel basal reku ren;
• l n d i kasi bedah Mohs seca ra u kuran lesi, histopatologi, lokasi,
usia, i m u nosupresi;
• Lesi tidak m e m u ngki n kan u ntuk penutupan secara primer;
• Lesi pada kelopak m ata yang d i perkirakan akan terjadi ta rikan
a ki bat pen utu pan;
• Lesi terletak d i uju ng hidu ng, telinga, bibir cenderung dise rtai
keterlibata n j a ri ngan lebih d a l a m ; d a n
• Kega nasan d i a rea H ( risiko ti nggi) pada wajah .

Prosed u r praoperatif yang da pat d i l a ku ka n meliputi : 11


• a n a m nesis riwayat medis d a n kontra i nd i kasi tindakan;
• pemeriksaan tanda vita l ;
• tindaka n a ntisipasi terhadap kondisi medis yang menyerta i;
• pem berian a ntibiotika profi l a ksis sesua i indikasi;
• tanda tangan informed consent;
• kelengka pan a lat dan obat;
• persiapan lokasi operasi: desinfektan, tindakan mencu kur, duk steril;
• steril isasi alat, teknik; dan
• time out .

238
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Tata Laksana Tumor Jinak Kulit

Secara garis besar e ksisi elips meli puti langka h-langkah berikut: 11
1. Planning dan designing eksisi;
2. Tindakan a nestesi;
3. Persiapan ruangan, pasien, dan a lat;
4. Melaku kan sayata n ;
5. Hemostasis;
6. Undermining; dan
7. Penutupan I u ka (repair).

1. Planning dan designing eksisi

Faktor-faktor yang perlu d i perhatikan pada tahap i n i ada l a h :


a . Menghi nd a ri stru ktur vita l
Pengetah uan mengenai a natomi dan danger zone m utlak dikuasai.
Tiga area danger zone pada wajah dan leher adalah : ( 1 ) lateral forehead:
nervus fasialis ca bang tempora l is terletak superfisial; ( 2 ) lateral
mid/ace: nervus fasialis cabang zigomatikus, cabang bukal dan cabang
marginal mandibular terletak di bagian anterior glandula parotis,
sedangkan cabang servikal terletak i nferior glandula parotis; (3) lateral
neck: nervus transversus spinal asesorius berjalan d i bawah muskulus
sternokleidomastoideus, menuju m uskulus trapezi us. Pada lokasi setinggi
karti lago tiroidalis nervus i n i berjalan su perfisia l . 10• 11
b. Menempatka n garis sayata n
Untuk mencapai hasil kosmetis yang bai k, diupayakan penempatan
sayata n mengikuti garis kerut ( wrinkle line) d a n relaxed skin tension
lines ( RSTL). J ika ked ua ga ris tidak tampak, da pat d i l a ku ka n sayatan
melingkar, dilanjutkan dengan undermining ke segala arah. Penutupan
dilakukan mengikuti arah tarika n agar lesi terlihat lebih memanjang. 10• 11
c. U ku ra n surgical margin
Eksisi elips u nt u k penga ngkatan lesi suspek m a l igna d i la kukan
berpatoka n pada surgical margin ya ng d i re komendasika n : ka rsi noma
sel basal 3-5 m m, karsinoma sel skuamosa 3-6 m m, melanoma 1-2
cm. Untuk lesi dengan suspek m a l igna rendah, eksisi e l i ps dengan
surgical margin 1-2 m m cukup adekuat. 11
Geometri elips: Ujung kedua elips membentuk sudut 30° dapat
mengurangi kem u ngkinan terjadinya dog ears. Panjang sayatan idealnya

239
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Inge Ade Krisanti

3 kal i d i a m eter lesi. Pada lesi denga n kulit dengan tarikan yang kuat,
baik di atas sen d i m a u p u n kulit pada perm u kaan cembung, panjang
sayata n lebih d a ri 3 kali dia meter lesi. Buat gambar elips dengan
marking pen . 11

d. M e m perkirakan penutupan I u ka side to side


Perkiraan penutupan I u ka side to side dilakukan dengan mencu bit
kedua sisi elips ya ng direnca n a ka n . Lokasi pipi, batang tubuh, lengan
merupakan area ya ng mudah u ntuk d i l a ku ka n eksisi elips. Area yang
su lit dilaku ka n e ksisi e l i ps a ntara lain d iatas sternum dan tibia. 11

e . M engantisipasi distorsi a natomis


Eksisi e l i ps pada dahi, bibir atas, d a n periorbita memerlukan
perenca naan ya ng sangat hati-hati karena berisiko terjadi distorsi
pada a lis, bibir d a n kelopak m ata . Orientasi e ksisi elips tegak lurus
terhada p tepi kelopak m ata atau bibir. Dalam h a l melaku ka n eksisi
area wajah, cosmetic unit penting u ntuk d i kuasai. Pasien d i minta
u ntuk mela kukan gera ka n tersenyum, memperlihatka n gigi,
menga ngkat a l is, d a n bersu ngut. U paya ka n melakukan eksisi ha nya di
satu area cosmetic unit untuk menda patka n hasil optimal. 11

2. Tindakan anestesi
Tuj u a n nya adalah u ntuk mengura ngi rasa nyeri dan a nsietas pasien.
l njeksi anestesi loka l menggunakan lidokain 1% dan epinefrin, meliputi
sel uruh lesi elips termasuk area undermining. Dosis maksimal lidokain
1% ( 10 mg/m l) dengan epi nefrin adalah 7 mg/kgBB/ha ri . 10· 11 · Area
sekita r penyuntikan dicu bit saat d i l a ku ka n insersi jaru m . U ntuk
penyuntikan awal d i p i l i h jaru m 30 Gauge u ntuk a rea lebih sensitif,
j a ru m 27 Gauge dapat digunaka n d i daera h kurang sensitif lainnya.
La kukan i njeksi perlahan u ntuk mengura ngi rasa nyeri. U ntuk lesi
kecil, i njeksi a n estesia cukup d i l a k u ka n dengan satu ka l i i nsersi .
Seda ngka n u ntuk lesi besar, insersi awal d i l a ku ka n d i lokasi ya ng akan
d i l a ku ka n undermining cukup j a u h d a ri lesi, sela nj utnya dilaku kan
penyuntikan serial dengan a ra h menyeru pai kipas, h ingga seluruh
a rea tera nestesi . Tu nggu 10 menit sebe l u m melaku kan sayatan,
u ntuk m emperoleh efek epinefrin, sehi ngga perdarahan m i nimal. 11

240
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Tata Laksana Tumor Jinak Kulit

3. Persiapan ruangan, pasien, dan alat


Pasien menggu n a ka n ga u n khusus, ram but tidak tergera i, j i ka
d i perlukan dilakukan pengguntingan ra m but (buka n dicu kur) d i a rea
operasi. M eja ope rasi d isesuaikan keti nggian nya dengan operator.
Lampu operasi diatur aga r cah aya datang dari arah ya ng sesu a i .
Klorheksidin merupakan a ntiseptik y a n g i d e a l ka rena t i d a k m ewa rnai
jaringan dan jarang menyebabkan alergi. Povidon iodin dapat digunakan
sebagai antiseptik a lternatif ya ng baik, seka ligus m ewa rnai jaringan
sehi ngga a rea operasi mudah d i bedakan, n a m u n la rutan ini efektif
pada keadaan keri ng. Operator d a n asisten (ji ka ada) melaku ka n cuci
tangan (surgical scrub), dilanjutkan dengan penggunaan sarung tangan
steri l . Perhiasan dan jam tangan dita ngga l kan, lengan baju digulu ng,
surgical loupe magnification, eye google, atau splash shield d igunakan
sebelum melaku ka n cuci tangan . M asker, gau n, dan penutup kepala
dapat digunakan aga r terlindung dari kontak dengan darah dan cairan
tubuh. Dalam hal mencega h i nfeksi pasca-operasi tindakan bedah
kulit, masih diperlukanbukti lebih lanjut. Pastikan alat- alat ya ng
dibutuh ka n sudah tersedia, seperti ska lpel, benang absorbable dan
non-absorbable, electrosurgery unit, dan elektroda steril, dan
instrumen sesuai kebutuhan, dan dileta kkan di lokasi yang m udah
dijangkau. 11

4. Melakukan sayatan
Ya kinka n a nestesi sudah bekerja pada saat sayata n a ka n d i m u la i .
Skalpel d i pega ng seperti pensi l . S u d ut e l i ps disayat dengan ujung
ska lpel, sedangkan bagian perut skalpel yang tajam menyayat sebagian
besar lain dari elips. Lakukan sayatan dengan posisi tegak lurus terhada p
permukaan kulit. Gun a ka n tangan non-domi n a n u nt u k membantu
fiksasi. La kuka n insisi langsung menembus dermis bagian bawa h
hi ngga lemak subkuta n . Buat sayata n sedem i ki a n ru pa h i ngga
memperoleh ketebalan rata. Pada jari ngan yang akan d i kirim ke
laboratorium patologi anatomi, laku kan penandaan dengan membuat
jahitan tungga l pada salah satu sudut elips u nt u k m e m ba ntu o rientasi
lokasi jari nga n . 11

241
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Inge Ade Krisanti

5. Hemostasis
Setelah l esi e l i ps diangkat, d i l a ku ka n h emostasis menggu nakan
elektrokoagulasi. Terda pat berbagai teknik elektrokoagu lasi : 10' 11
• Elektroda berkonta k la ngs u ng dengan lokasi perdara h a n .

• Elektroda menyentuh pinset atau hemostat yang m enjepit su mber

perd a ra h a n .
• K l e m bipolar khusus u nt u k menjepit su m ber perd a rahan, diaktivasi

menggun a ka n pedal di kaki. Ca ra i n i merupa ka n cara paling aman


u ntuk pasien pengguna pacemaker.
• Elektroda bentuk b u l at d apat d igunakan u ntuk area dengan
perdara han ringa n .

Lakukan penutupan I u ka pada lapangan operasi ya ng bebas dari


perdara han memba ntu mencegah t i m bu l nya hematoma, infeksi, dan
dehisense. Elektrokoagulasi ya ng berlebihan dapat menyeba bkan
tra u m a ya ng selanj utnya da pat mem icu terjadi nya i nfeksi . J i ka
elektrokoagulasi gaga l menghentikan perda ra han, lakukan simpul
figure of eight d i seke l i l i ng pem b u l u h dara h dengan menggunakan
benang absorbable. 10' 11 Cara lain adalah denga n membuat simpul
dalam menggu n a ka n bena ng non-absorbable. Setelah hemostasis
terca pai, l a ku ka n pengecekan u l a ng untuk memastikan tidak ada sisa
tumor yang tertingga l dengan melihat dan meraba. La ku ka n sayata n
ta mbahan d a n kirim jari ngan sisa ke laboratoriu m patologi anatomi
j i ka masih terda pat kecurigaan sisa tumor. 11

6. Undermining
Undermining d i kerj a ka n u nt u k meningkatka n mobilisasi jaringan
sehi ngga I u ka da pat tertutup dengan baik. Lu ka berukura n keci l tidak
membutu h ka n undermining. U nt u k mengeta h u i ba hwa suatu defek
mem butu hkan undermining, d i l a kukan pemerikaan dengan cara
menarik ked u a tepi I u ka kea ra h sa ling berlawa nan menggunakan skin
hook. Semakin terlihat ta hanan, undermining sema kin dibutuhkan.
Undermining m i n i m a l dilakukan pada pasien yang menggunakan
a ntikoagulan untuk mencega h terjadi nya hematoma.
Undermining dilaku ka n dengan menggunaka n gunting i ris di bawah
tepi I u ka sayata n . Undermining dilaku kan secara tumpul dengan

242
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Tata Laksana Tumor Jinak Kulit

gera kan melebarkan jaringan dengan tepi lateral gunting ataupun


gerakan menggu nting. Cara lain adalah menggu nakan skalpel maupun
electrocuting. Pada sebagian besar I u ka d i berbagai lokasi tubuh
mem butu hkan undermining setinggi jari nga n lemak su bkuta n . Namun,
undermining pada kulit kepala dilakukan lebih dalam di galea
aponeurotika, pada lesi wajah dilakukan setinggi subkutan atas, pada
batang tubuh dan ekstremitas dilakuka n di lapisan dalam subkutan,
sedangkan pada area hidung setinggi fasia atau jari ngan konektif. Luas
area undermining bergantung pada u kuran dan lokasi defek.
Undermining memungkinkan tepi Iuka dapat didekatkan tanpa tarikan
yang berlebihan dan membentuk eversi Iuka pada saat penjahita n . 10• 11

7. Penutupan Iuka (repair}


Pastikan tidak ada lagi perdarahan saat dilakukan penutupan I u ka .
Pada Iuka elips berukuran kecil yang tidak memerl u kan j a h i t dalam,
dapat langsu ng dilaku ka n penjahitan interrupted dengan benang non­
absorbable seperti poli propilen, menggu nakan rule of halves. Pada
sebagian besar I u ka e l i ps, jahit dalam dengan menggunaka n benang
absorbable, seperti polyglactin, memberi kan keuntungan karena dapat
mendekatka n tepi I u ka . Denga n jah itan dalam tepi I u ka da pat ber­
aproksimasi dengan ba ik. J a h itan l u a r da pat menggun a ka n running
suture. Apabila aproksimasi kulit kurang bai k dan diduga penutupan
dengan running suture da pat menyeba bkan tarikan, interrupted
suture merupakan pilihan yang tepat. Bersihkan I u ka dengan cai ra n
salin, oleskan petrolatum dan tutup I u ka denga n kasa steri l . 11

Perawatan pasca-tindaka n
Edukasi tertulis mel iputi cara merawat Iuka, penggantia n dressing,
mengatasi rasa nyeri, serta komplikasi perdarahan dan infeksi. Pasien
d i perbolehka n mandi guyu r setelah 24 jam. Tidak d i perbolehka n
mandi rendam h i ngga jahitan diangkat. Pengangkata n ja h ita n pada
I u ka waja h da pat d i l a k u ka n pada hari ke-5 sampai ke-7, I u ka pada
batang tubuh pada hari ke-7 h i ngga ke-10, seda ngkan I u ka pada
ekstremitas baru bisa dia ngkat pada h a ri ke 10 h ingga 14. 11

243
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Inge Ade Krisanti

5. Laser ablatif

Laser ablatif merupakan metode agresif peremajaan kulit.


Energi lase r menyebabkan pemanasan dan vaporasi air yang terda pat
pada ku l it, sehi ngga terjadi tra u m a terkontrol pada epidermis dan
dermis. Jenis laser yang pa l i ng banyak d igunaka n adalah laser Carbon
dioksida (C0 2 ) dengan panj a ng gelombang 10,600 n m atau erbium;
yttri u m a l u m i n u m garnet (Er:YAG) dengan panjang gelomba ng 2 .490
nm. Laser ketiga yang lebih jarang digunakan adalah yttrium scand i u m
ga l l i u m ga rnet (YSGG) panjang gelombang 2 .790 n m .
Terdapat beberapa jenis laser a blatif, a ntara lain traditional
ablative laser resurfacing yang mampu mencapai kedalaman ku lit
sam pai 300 µm, superficial ablative laser/laser peel dengan kedalaman
20-50 µm, dan fractional laser resurfacing yang bekerja pada zona
m i krotermal tertentu dengan penetrasi sangat dalam pada kulit
(1500 µm). J a ri ngan a ntar-zona m i krotermal berfu ngsi sebagai
reservoi r sel regeneratif. 12
Absorpsi energi laser dapat menyeba bkan dua efek uta ma pada
ja ri ngan, yakni destruksi jari ngan (ablasi) dan transfer panas ke jaringan
sekeliling (koagulasi). Ablasi yang efektif dapat dicapai dengan short
pulse width dan high fluence, sedangkan koagulasi dicapa i dengan long
pulse width dan short fluence. ErYAG menyebabkan a blasi ja ringan
lebih ri ngan d i ba n d i ngka n laser C02. Sementara itu, laser fractional
ablatif m e m i l i ki berbagai p i l i h a n fluence, spot size, spot densities dan
pulse width ya ng da pat mem pengaruhi penetrasi dan derajat a blasi
serta koagu lasi. 13
lndikasi laser ablatif ialah wrinkle, ska r a kne, ska r atrofik, lesi
pigmentasi jinak, lesi epidermal dan dermal tertentu, termasuk keratosis
a ktinik, h iperplasia sebasea, dan siringoma. 13 Kontraindikasinya
mencakup pasien tipe ku l it Fitzpatricks VI, riwayat skin resurfacing
agresif d a l a m 1 tah u n terakhir, riwayat tera pi rad iasi pada a rea lesi,
motivasi rendah u nt u k mematu h i prosedu r pra-dan pasca-ti ndakan
laser. 13

244
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Tata Laksana Tumor Jinak Kulit

Tabel 5. Prosedu r persiapa n tindakan laser ablatif*


1 bulan sebelum 1 minggu sebelum tindakan Pada hari tindakan
tindakan
• Retinoids •Informed consent • Premedi kasi 1
• Alpha hydroxyl acid •Edukasi tertu lis cara merawat jam sebelum
• Antioxidant Iuka tindakan
(vitamin C) • Fotografi • Sarapan/snack
• Sunscreen • Pemberian obat pagi sebel um
• Hydroquinone/kojic 1. Antivirus ( riwayat HSV dan tindakan
acid/arbutin/niacinam varicella): valacyclovir 2x 500 • Lensa konta k
ide/azeleic acid mg m u la i H-2 h ingga H+lO di le pas
2. Anxyo/itic/analgetik pada H-0 • Bersihka n make
Dilakukan sampai H-7 • Stop aspirin, vitamin E, St.John up pada wajah.
agar epidermis dan Wort, supplement: gingko
dermis sehat sehi ngga biloba, evening primrose oil,
proses penyembuhan garlic feverfew, dan ginseng
lebih cepat sejak H-14 dan stop OAINS
dan a l kohol H-2
Singkata n: HSV herpes simplex virus; H
= = hari ke- ; OAI NS obat a nti inflamasi
=

nonsteroid
*Dikutip dari kepustakaan no. 14

Prosed u r pasca-tindaka n :
• Perawatan I u ka terbuka 4-7 h a ri
• Pasca-epitel isasi 3 m i nggu

Pemanta u a n :
Kontrol pada fase I u ka terb u ka h a ri ke-1 d a n ke-2, d i l a nj utka n h a ri ke-
7, selanjutnya 1 bulan dan 3 bulan setelah tindaka n . 13

Komplikasi dapat berupa: 13- 15


• Nyeri;
• Perdarahan;
• Eritema menetap;
• Dermatitis kontak;
• Akne;
• M ilia;
• l nfeksi loka l : herpes simpleks, i m petigo, dan ka ndid iasis;
• l nfeksi diseminata;

245
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Inge Ade Krisanti

• Remodeling kolagen menjadi inadekuat;


• Hila ngnya pigmentasi inadekuat;
• H iperpigmentasi;
• H i popigmentasi;
• Skar d a n ganggua n tekstu r;
• Ektropion; d a n
• Tra u m a okular.

6. Laser non-ablatif

Laser non-ablatif panas tidak memicu kerusakan jaringan. Kromofor


target laser jenis ini lebih luas yaitu air, melanin, dan oksihemoglobin.
Efek panas pada lapisan dermis akibat a bsorpsi energi laser oleh
kromofor target dapat mengaktivasi fibroblas dan remodeling kolagen,
yang selanj utnya da pat menyebabkan lapisal dermis menebal dan
keruta n d i ku l it berku rang. 16
l nd i kasi uta ma laser non-ablatif adalah kerut statis, ku l it kasa r,
pori-pori besa r, dan skar a kne superfisi a l . l n d i kasi lain berupa lesi
j i n a k berpigmen, melasma, skar atrofi k/h ipertrofik, striae, keratosis
a kti n i k, h i popigmentasi, poikiloderma of civatte, telangiektasis, dan
eritema. Laser non-ablatif yang cukup sering digunakan adalah NdYAG,
baik jenis long pulsed m a u p u n Q-switched. 15• 16

Keu nggu l a n laser n on-a blatif: 16


• Waktu penyembuhan lebi h cepat
• Efek sa m ping m i n i m a l
• Terapi tidak mengganggu kegiatan seha ri-hari
• Dapat d i kombi nasi denga n prosed u r m i n i m a l i nvasif lain nya
• Relatif a m a n u ntuk tipe ku l it gel a p

Kekurangan laser non-ablatif: 16


• Perba i ka n lesi m e m butu h ka n waktu lebih lama
• Dibutuhkan doku mentasi fotografi
• Respons terapi a ntar-pasien berva riasi

246
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Tata Laksana Tumor J inak Kulit

Persiapan pratindakan menyerupai laser a blatif

Laser non-ablatif (1064, 1320 dan 1450) a m a n u ntuk sem u a


j e n i s wa rna kulit. G u nakan setting kon se rvatif: large spot size, long
pulsed width, low fluence, and low densities. Lakuka n ha nya satu
pass. Pada a rea nonfasial seperti leher d a n dada, teknik i n i a m a n
digu nakan, n a m u n penye m b u h a n I u ka a ka n menjadi lebi h panjang
karena a rea tersebut m iskin u n it pilosebase a . 16

PENUTU P

Telah diba has berbagai moda l itas terapi u ntuk tata l a ksana
tumor jinak kulit. Beberapa modalitas dapat menjadi pilihan pada tata
laksana suatu tumor jinak, sebaliknya suatu tindakan medis dapat
digunakan untuk tata laksana berbagai tumor jinak. Pengetahuan klinis
mengenai tumor jinak dan keteram pilan, serta pemilihan prosedu r
med i s ya ng tepat sa ngat menentukan keberhasilan terapi .

DAFTAR PUSTAKA
1. Daniel LS, Robert F, Rebbeca S, Richard PU. Procedures to treat benign
condition. Dalam: Richard PU, John LP, Daniel LS, Rebecca S, penyunting.
Dermatologic and cosmetic procedures in office practice. Philadelphia: Elsevier
Sau nders; 2012. h .404-26.
2. Oliver JW, Paula SV. Electrosurgery. Dalam: Alison TV, Cristie TA, Christine PL,
penyunting. Requ isities in dermatology. Dermatologic su rgery, edisi ke-1.
Edinburg: E lsevier Saunders; 2009. h . 101-5.
3. Mariwalla, Leffel DJ . Dalam: ASDS: Primer in dermatologic su rgery: study
companion. American Society for Dermatologic Su rgery; 2009. h .47-54.
4. Richard PU, John LP. E lectrosu rgery. Dalam: Richard PU, John LP, Daniel LS,
Rebecca S, penyunting. Dermatologic and cosmetic procedures in office
practice. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2012. h . 157-81.
5. Sonal C, Michael PM, Susana LK. E lectrosu rgery. Da lam: Keyvan N, penyunting.
Dermatologic surgery step by step. London: Kiley Blackwell; 2013. h .30-4.
6. Richard PU, Daniel LS. Cryosurgery. Dalam: Richard PU, John LP, Dan iel LS,
Rebecca S, penyunting. Dermatologic and cosmetic procedu res in office
practice. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2012. h . 182-98.
7. Leonid BT, Philip LB. cryosurgery. I n : Alison TV, Cristie TA, Christine PL,
penyunting. Req uisities in dermatology. Dermatologic surgery, edisi ke-1.
Edinburg: E lseviere Sau nders; 2009. h . 107-115.

247
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
I nge Ade Krisanti

8. Paola P. Cryosurgery. Da lam: Keyvan N, penyunting. Dermatologic su rgery step


by step. London: Kiley Blackwell; 2013. h . 5 1-7.
9. Richard PU, John LP. lntra lesional injections. Dalam: Richard PU, John LP,
Daniel LS, Rebecca S, penyunting. Dermatologic and cosmetic procedures in
office practice. Philadelphia : Elsevier Saunders; 2012. h. 199-209.
10. Mileham Hayes. Basicd. Dalam: H ayes M, penyunting. Practical skin cancer
su rgery. Australia ; E lsevier Sau nders; 2015. h.57-80.
11. Daniel LS, N i ki K, Richard PU. E l l i ptical excision . Dalam: Richard PU, John LP,
Daniel LS, Rebecca S, penyunti ng. Dermatologic and cosmetic procedures in
office practice. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2012. h. 199-209.
12. Rebbeca S, Dalano H. Wrin kles- a blative resurfacing. Dala m : Rebbeca S, Dalano
H, penyunting. A practical guide to laser procedures. Philadelphia: Wolters
Kluwer; 2016. h. 187-216.
13. Ken, Rebecca S, Corey M . Skin resurfacing with ablative lasers. Dalam Richard
PU, John LP, Daniel LS, Rebecca S, penyunting. Dermatologic and cosmetic
procedu res in office practice. Philadelphia: Elsevier Sau nders; 2012. h.35 1-66.
14. Rebbeca S, Dalano H, Wrinkles- non ablative resurfacing. Dalam: Rebbeca S,
Dalano H, penyunting. A practical guide to laser procedures. Phi ladelphia :
Wolters Kl uwer; 2016. h. 163-86.
15. Jason N P, Barry ED, Lawrence SB. Laser resurfacing. Dalam: George H, Mathew
A, penyunting. Laser and lights. London: Elsevier Sau nders; 2013. h.72-85.
16. Rebbeca S, Dalano H . Wrin kles- ablative resurfacing. Dal a m : Rebbeca S, Dalano
H, penyunting. A practical guide to laser procedures. Philadelphia: Wolters
Kl uwer; 2016. h . 187-216.

248
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Tata Laksana Tumor Jinak Kulit

Lampiran 1. Tindakan/terapi yang dapat dilakukan pada lesi kulit jinak*

-
c
c "' ....
Benign lesions 0
0 "ti Ii Ill -
· .e- cu c ::c ·.:;
13
:I
·.:;
u c � 0 Ill Ill
0 cu .. "' cu E
� 1111 ... cu
"' - QI
·;;; c ::c
"' .. Ii
I

cu Ill
u Ill
... cu
:I u -' 0
..
... 0 0
.. > z
cu .. ... Ill VI ·a Ill
.. ..
cu
"'
.. ... u ..c 0 ...
:I u cu Ill
cu cu VI I- -= "' -'
u w Ill
w -'

Acne 0 N N N N O(AS) p 0 0 N
Acrocordon p N 0 0 p N N N N 0
Angiokeratoma p 0 p p p 0 N N p N
Angioma (cherry) 0 0 p p 0 N N N p N
Angioma (spider) N N p N N N N N p N
Chondrodermatitis 0 0 0 0 0 p N 0 N 0
nodular helicis
Condyloma acuminata p 0 0 p 0 0 p 0 N p
Cutaneous horn N N N 0 p p N N N N
Dermatofibroma 0 N N N 0 p N N N N
Dermatosis papulosa nigra p 0 0 0 0 N N N N 0
Digital mucous cyst p N N N p p N 0 N N
Granuloma annulare 0 N N N N N N p N N
Hemangiomas 0 0 N N 0 0 N N p N
Hypertrophic scar p N N N 0 0 0 p p N
Keloid p N N N 0 0 0 p 0 N
Lentigenes p N N N 0 N 0 N p N
Lichen planus 0 N N N N N p 0 N 0
Milia 0 N N N N P(AS) 0 N N 0
Moluscum contagiosum p p N N 0 0 p N 0 N
Mucocele 0 N 0 0 p p N 0 N N
Neurofibroma N N 0 0 p p N N N 0
Nevi N N N 0 p p N N N N
Pearly penile papules p N N 0 0 N N N N 0
Pilomatricoma N N N N N p N N N N
Prurigo nodularis p N N N 0 0 p p N N
Pyogenic granuloma 0 p p p p p N N N N
N= not recommended, O=optional, P= preferred. AS=acne surgery,
electrodestruction=ED& C.
Curretage mengangkat jaringan dengan alat curett
*Dikutip dari kepusta kaan no. 1

249
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
I nge Ade Krisanti

Lanjutan Lampiran 1. Tindakan/tera pi yang da pat di lakukan pada lesi kulit jinak*

-
c ·.o:;
"' "'
Benign lesions 0 c
0 "'C IQ -
·.o:; a. QI :a +:;
QI u '+; c "'
lllO ::::J u ·c: c: 0 I "'
0 "' ... "' QI E c
>
... .... QI
"' - Ill
"iii :a
"'
:t: "' ... IQ QI 0
u QI QI u .... z ...
... 0
...
0
... >
"'
::::J
"' ...
::::J ....
Ill ·a ...
QI
"'
u u t: .&; 0 .... QI
"' "'
QI QI Ill .... .: "' ....
w w ....
Sebaceous hyperplasia 0 0 p 0 p 0 0 N p 0
Seborheic keratosis p 0 0 0 0 0 N N N 0
Skin tags p N 0 0 p 0 N N N 0
Stucco keratoses p 0 0 0 0 0 N N N 0
Syringoma 0 N p p 0 0 N N N p
Telangiectasia N N p N N N N N p N
Trichoepithelioma N 0 N N p p N N N 0
Port wine stain 0 N N N N N N N p N
Venous lake p N 0 0 N 0 N N p N
Verruca vulgaris p 0 0 0 0 0 p 0 N N
Verruca flat p 0 0 0 0 N p N N 0
Verruca plantar p 0 0 0 0 0 p 0 N p
Xanthelasma 0 0 0 0 0 0 N N N p
N= not recommended, O=optional, P= preferred. AS=acne surgery,
electrodestruction=ED&C.
Curretage menga ngkat jaringan dengan a lat curett
* Dikutip dari kepusta kaan no. 1

250
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
MANAJEMEN TERKINI PRAKANKER
SEL KERATINOSIT KULIT

Larisa Paramitha Wibawa

PENDAH ULUAN

l nsidens ka n ke r ku l it di berbaga i bela han d u n ia meni ngkat tiap


tahun nya a ki bat radiasi u ltraviolet (UV). 1 Peni ngkata n i nsidens terjadi
tidak hanya pada populasi kulit putih n a m u n j uga men i ngkat pada
popu lasi ku lit berwa rna. Penelitian d i Singapura m en u nj u kkan
peni ngkata n i nsidens teruta m a pada ka n ke r kulit non melanoma,
dengan fa ktor risiko lebih ti nggi pada ras berku lit berwa rna lebih
terang dan usia tua. 2 Kura ngnya kesadara n m asya rakat d a n tenaga
medis, serta sulitnya a kses pelayanan kesehatan menyeba bkan
keterlam batan d iagnosis pada populasi kulit berwa rna. Hal tersebut
menyebabkan penya kit ka n ke r kulit pada populasi i n i sering kali
ditemuka n di stad i u m lanj ut atau m e m i l i ki prognosis ya ng buruk. 3
Program deteksi d i n i ka n ker kulit pada populasi kulit berwa rna perlu
ditingkatkan dalam mengatasi permasa lahan i n i .
Dalam proses karsi nogenesis, perubahan sel normal menjadi sel
ganas merupakan proses melalu i banya k tahap (multistage). Pra kanker
atau karsinoma in situ adalah kondisi perubahan sel normal menuju/
mulai menjadi ga nas/ka n ker, yang seca ra h istopatologis terdapat sel
ati pik terbatas pada lapisan epidermis. Lesi prakanke r ku l it da pat
berasa l dari sel keratinosit, m e l a n osit, adneksa l, ata u Merkel . 4 Pada
makalah ini a ka n dibatasi pem ba hasan pra ka n ke r kulit dari sel
kerati nosit yaitu keratosis a kti n i k dan penyakit Bowe n .

KERATOSIS AKTIN I K

Keratosis a kti n i k ( KA) merupa ka n peru bahan neoplasia dari sel


kerati nosit epidermal a ki bat paja nan rad iasi UV jangka panja ng. 4
Banya k istilah menjadi sinonim penyakit i n i a ntara lain keratosis
sola ris, keratosis sen ilis, keratinocytic intraepidermal neop/asia, dan

251
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Larisa Paramitha Wibawa

saat i n i tergolong karsi noma in situ ka rsi noma sel skua mosa ( KSS) . 5
Dalam perjalana n nya, KA memiliki rerata risi ko progresi menjadi KSS
sebesar 8%, 6 namun memiliki kem u ngkinan regresi spontan sebesar
85% (95% Cl, 72-96%). 7 Penyakit i n i merupakan prediktor u ntuk
terjadinya KSS (RR 15,4; 95% Cl 8,3-28,8), karsinoma sel basal ( KSB) (RR
3,9; 95% Cl 3,0-5, 1), serta melanoma (RR 1,9; 95% Cl 1,4-2,5). 8 Selain
radiasi UV, i nfeksi human papilloma virus ( H PV) diduga berperan
dalam sebagian patogenesis KA. 9 Faktor risiko penyakit ini antara lain
popu lasi geriatri, la ki-laki, berkulit putih, bera mbut pira ng, bermata
bi ru/hijau, dengan i m u nosupresi, riwayat pra ka n ker dan keganasan
kulit sebelumnya, memil i ki sindrom genetik tertentu (xeroderma
pigmentosum, sindrom Bloom, dan sindrom Rothmu nd-Thompson).4
Lesi KA dapat ditemukan pada daerah yang sering terpajan sinar
matahari contohnya kepala, leher, dada atas, dorsa l lengan dan tangan,
serta bibir bawah. Terdapat keluhan gatal, nyeri, panas, mudah berdarah,
atau timbul krusta . Gamba ra n klinis KA terd i ri atas ba nyak tipe, di
a ntara nya :
1. Eritematosa
Papul hingga plak eritematosa mendata r disertai skuama kasar, yang
lebih jelas bila diraba dibanding dilih�t. 4 Pada pera baan akan terasa
seperti kertas a mplas. 10 Bila lesi cukup luas sering menyerupai
dermatitis. 4
2. H ipertrofik
Papul h ingga plak tebal bisa sewarna kulit, kea bu-abuan, putih,
eritematosa dengan skuama kasar kering. Lesi ini sering sulit
dibedakan secara klinis dengan KSS sehingga sering diperlukan
biopsi kulit. 4
3. Kornu kutaneum/cutaneous horn
Papul meru ncing menyerupai tanduk dengan ketinggian lebih besar
daripada diameter lesi. Dasar lesi dapat eritematosa atau sewarna
kulit. Tipe klinis ini sering menyerupai keratosis seboroik dan veruka
vulgaris filiformis. 4
4. Keilitis aktinik
Akt i n i k kei l itis ditem u ka n pada bibir bawah dengan gambaran
kl i n is ta mpak h i perem is, kering, terkel u pas, kadang d isertai erosi

252
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Manajemen Terkini Prakanker Sel Keratinosit Kulit

atau fisura. Garis batas bibir tampak tidak tegas d isertai hiperkeratosis
dan leukoplakia foka l . 4
5. KA pigmented
Maku l a h i ngga papul datar berwa rna hiperpigmentasi coklat ke­
abu-abuan, reticulated, teraba kasa r ata u hiperkeratotik, kad a ng
disertai e ritema. 11

Lesi ku l it KA seri ngka l i d item u ka n m u ltipel pada daerah kulit


yang menga l a m i sun-damage (dermatoheliosis) ya ng tampak berupa
lesi lentigo sola ris, efelid, telangiektasis, d a n kerut ya ng pro m i n e n . 4
Lesi KA ya ng mengalami i nfla masi dan nyeri d i h u bu ngka n dengan
progresivitas lesi menjadi KSS. 12 Beberapa tanda kli n is lain yang j uga
meningkatka n kecu rigaan progresivitas menjadi KSS adalah u lserasi,
indurasi, mudah berdarah, dia meter lebih dari 1 cm, dan membesar
denga n cepat. 5
Diagnosis banding untuk KA a ntara lain keratosis seboroik,
karsinoma sel skuamosa, karsinoma sel basa l superfisial nonpigmented,
lentigo mal igna, lentigo sola ris, l iken planus ora l, penya kit Bowen,
triki lemoma, dan veruka vulga ris.4' 13 Pemeriksaan penunjang contohnya
dermoskopi dan histopatologi dapat dilakukan bila terdapat kemungkinan
diagnosis lain. 11 Pemeriksaan h istopatologi d iperl u ka n bila terda pat
kecu rigaan perubahan ke arah KSS, pada kasus ya ng refrakter, atau
reku ren segera setelah terapi. 5• 11
Pemeriksaan dermoskopi merupa ka n salah satu teknik
pemeriksaan non-invasif dalam membantu menegakkan diagnosis
tumor kulit. Pada wajah, gambaran dermoskopi menunjukkan strawberry
seeds appearance (yellowish-white plug dengan latar belakang eritema
difus), surface scale, dan kadang disertai gambaran rosette sign (struktur
putih menyerupai bunga atau semanggi berdaun empat). Di luar wajah,
akan tempak eritema difus dan surface scale. 14' 15 Pada populasi kulit
berwarna dapat ditem u kan struktur dermoskopi berupa annular
granular pigmentation, asymmetric pigmented folicular opening, dan
rhomboidal structure. 15 Pemeri ksaan dermoskopi juga dapat membantu
evaluasi pengobatan saat manajemen KA karena berkorelasi dengan
pemeriksaan histopatologi. 16

253
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Larisa Paramitha Wibawa

Pemeri ksaan histopatologi masih merupaka n baku emas


pemeri ksaan d iagnosti k u nt u k KA. Ga mbaran h istopatologis akan
tampak keratinosit yang atipik denga n peni ngkata n m itosis, tampak
sel d iskeratosis dan nekrotik pada lapisan epidermis. Keratinosit
ati pik tersebut banyak ditemukan di epidermis antar adneksa, namun
tidak ditemukan (sparing) pada daerah dekat folikel dan kelenjar ekrin,
sehingga a kan tampak ortokeratosis dan parakeratosis yang berselang­
seling (alternating). Pada dermis akan ditemukan elastosis solaris
disertai i nfi ltrat l imfosit perivaskular atau pola likenoid. Terdapat varian
h istopatologis untuk KA antara lain hipertrofik, atrofik, bowenoid,
a kantolitik, likenoid, dan pigmented. 17 Secara histopatologis KA juga
diusulkan diklasifikasi menjadi KSS in situ derajat 1 (mild) dengan
keratinosit atipik terlokalisir di lapisan basal dan suprabasal; derajat 2
(moderate) dengan derajat keratinosit atipik ditemukan hingga
mencapai 2/3 epidermis; derajat 3 (severe) tampak kerati nosit ati pik
d i sel u ru h lapisan epidermis. 5• 18
Dalam manajemen KA penggu naan tabir su rya dan pencega han
terhadap sinar matahari lain nya merupakan tata l a ksana wajib. Ta bir
su rya ya ng d i rekomendasikan ya itu m i n i ma l SPF 30 serta mencakup
perl i n d u ngan terhadap UVA dan UVB. 5 Pengu langa n/rea pl ikasi tabir
su rya tiap 2 jam d i perlukan bila masih terpajan sinar matahari. 3 Pen­
cega han terhadap sinar mata hari d i u paya ka n dengan menghi ndari
pajanan a ntara jam 10.00 - 14.00 ata u menggunaka n pa kaian lengan
dan celana panjang, topi lebar, dan sun glasses. 5 Pemberian
suplementasi vita m i n D, u ntuk mencegah defisiensi, waj i b diberikan
pada pasien ya ng melakuka n pencega han sinar mata h a ri . Dosis yang
d i berikan d isesua i ka n dengan usia dan kadar vitam i n D pasien. 3 • 19
Pilihan terapi u ntuk KA bergantung jumlah lesi terhitung (1-5 lesi
pada satu regio badan/lesion target therapy), lesi m u ltipel (field directed
therapy/field cancerization), dan pada pasien imu nokompromais.5• 10• 11
Pada jumlah lesi terhitung pilihan dapat berupa bedah beku, bedah
listrik dengan ku retase, dan bedah pisau tangensial. Pada lesi m u lti pel/
field cancerization terapi ya ng da pat digu n a ka n terbagi menjadi
topikal dan prosed u ra l . Tera pi topika l a ntara lain krim 5-fl uorourasil,
krim i m i q u i mod, natriu m d i klofenak gel, ingenol mebutate, dan
reti noid topika l . Tera pi p rosedura l terd iri atas medium-deep peeling

254
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Manajemen Terkini Prakanker Sel Keratinosit Kulit

dengan trichloroacetic acid, photodynamic therapy ( P DT) dengan


aminolevulinic acid/methyl aminolevulinate (ALA/MAL), dan laser
resurfacing.
Terapi retinoid oral dipertimbangkan pada pasien imunokompro­
mais (terutama pasien transplantasi organ atau menda pat obat
i m u n osupresi lain nya ) . 5• 10 Alu r tata laksana KA d a pat d i l ihat pada
l a m pi ra n 1. N a m u n kri m ALA/MAL dan terap i topikal KA lai n nya saat
ini masih belum masu k secara resmi di Indonesia . Penggunaan berbagai
retinoid topikal untuk KA masih bersifat off-label. Berbagai terap i KA
beserta level of evidence d a n strength of recommendation masi ng­
masing dapat d i l i hat pada tabel 1 .

label 1 . Pilihan tera pi keratosis a ktin i k beserta level of evidence (LOE)


dan strength of recommendation (SOR).

No. Modalitas terapi LOE SOR


1. Tabir surya dan pencegahan sinar mata hari lai nnya 19-22 1 B
2. 5-Fluoro u rasil 10 1 B
3. lmiquimod 10 1 B
4. Natri u m d i klofenak gel 10 1 B
5. lngenol mebutate10 1 B
6. Bedah beku 10 1 B
7. Medium-deep peeling {TCA} 10 1 B
8. PDT dengan ALA/MAL 10 1 B
9. Oral retinoid 10'23 1 c
10. Topikal retinoid 10•24• 25 1 c
11. Laser resurfacing 10 1 c
12. Bedah pisau tangensial 4 4 c
13. Bed a h l istri k dengan ku retase4 4 c
SOR berdasarkan European Society for Clinical Microbiology and Infectious Disease
dan LOE berdasarkan Oxford Centre for Evidence-based Medicine dengan modifikasi
dapat dilihat pada lampiran 2. ALA=aminolevulinic acid. MAL=methyl aminolevulinate.
PDT=photodynamic therapy. TCA=trichloroacetic acid

KA merup a ka n pe_nyakit ya ng berke la nj utan d a n saat i n i di­


golongkan menjadi karsinoma in situ dari KSS. 3 Adanya KA dihubu ngkan
dengan peningkatan risiko mendapatkan ka nker kulit l a i n nya, 8

255
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Larisa Paramitha Wibawa

seh i ngga u paya pencegah a n terhadap ka n ker ku lit beri kutnya


menjad i komponen utam a d a l a m ma najemennya . Selain edukasi
terhadap pencegahan paj a n a n sinar mataha ri, deteksi dini ka n ker
ku lit meru pakan hal yang penting. 3

PENYAKIT BOWEN

Penyakit Bowen { PB) atau KSS in situ pada kulit merupa kan
penyakit neoplasia sel keratinosit terbatas pada epidermis yang
dihubungkan dengan pajanan sinar ultraviolet, arsenik, radiasi pengion,
dan i nfeksi H PV.4'26 PB pada lokasi di daerah yang jarang terpajan sinar
matahari (non-sun exposed area) dihubungkan dengan infeksi HPV dan
pajanan arsenik. 27 Penyakit ini banyak ditem u kan pada populasi kulit
putih, geriatri (meningkat pada dekade ke-6), 28 dan imunokompromais
a kibat obat-obatan . 29 PB cenderu ng persisten atau progresif,
kemungkinan menjadi KSS invasif sebesar 3-5%. 30
Penyakit ini tidak dipenga ruhi jenis kelamin tertentu. Pada laki-laki
lebih sering ditemukan pada daerah kepala hingga leher, sedangkan
pada perempuan lebih sering pada ekstemitas. 28' 31 Lesi PB tersering
ditemukan berturut-turut yaitu pada daerah kepala dan leher;
ekstremitas bawah dan atas; serta badan . 28'31 Lesi umumnya ditemukan
soliter, namun dapat pula ditemukan multipel. 31 Gamba ran klinis terbagi
menjadi bebera pa tipe, ya itu : 4• 32

1. Eritematosa
Tipe eritematosa merupakan tipe tersering, berbentuk plak eritematosa
sirkumskrip h ingga iregular, disertai skuama kasar, krusta kekuningan,
yang membesar perlahan. Sepintas dapat menyerupai plak psoriasis
atau dermatitis, namun pada PB a kan refrakter terhadap terapi
kortikosteroid. Beberapa diagnosis banding lainnya untuk tipe ini antara
lain KSB superfisial, keratosis seboroik teriritasi, dan KSS invasif. 4
2. Hiperkeratotik/verukosa
Tipe i n i tam pak berupa plak e ritematosa tertutup h i perkeratosis atau
perm u kaan nya verukosa sehingga menyerupai veruka vulgaris,
keratosis seboroik, diskoid lupus e ritematosus, liken planus h ipertrofik,
dan KSS i nvasif. 4

256
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Manajemen Terkini Prakanker Sel Keratinosit Kulit

3. Pigmented
PB pigmented akan ta m pa k plak eritematosa d isertai h i perpigmentasi
kecoklata n difus pada sebagian ata u seluruh perm u kaan lesi, dapat
disertai skuama ata u h i pe rkeratosis foka l . M e m i l i ki d iagnosis banding
ya itu pigmented KA, liken p/anus-like keratosis, melanoma, dan
bowenoid papu losis. 4' 33

4. lntertriginosa
Gambaran tipe ini yaitu plak eritematosa madidans menyerupai
dermatitis. Diagnosis bandingnya antara lain dermatitis seboroik, psoriasis
i nversa, ka nd idosis intertriginosa, penya kit Paget, dan penya kit
Hailey-Hai ley. 4
5. Subungual/periungual
Va rian i n i memiliki ga m ba ra n plak tipis eritematosa di sekita r m a rgin
kutikula ku ku, disertai skuama, da pat d ite m u ka n e rosi dan krusta
kekuninga n . Kuku dapat terli bat d a n menga l a m i peruba han berupa
longitudinal melanoni kia, nail bed hyperkeratosis, destru ksi kuku, dan
on ikol isis. Diagnosis banding kondisi ini yaitu nail matrix nevus,
melanoma maligna, i nfeksi j a m u r atau H PV, dan karsi noma sel
skuamosa. 4' 34
Pemeriksaan pen u njang ya ng da pat membantu penega kka n
diagnosis PB yaitu pemeri ksaan dermoskopi dan histopatologi.
Pemeriksaan dermoskopi dapat mempertajam kem ungkinan diagnosis
serta menentu kan lokasi lesi untuk dilakukan biopsi. Pemeri ksaa n i n i
juga da pat membantu eva l uasi keberhasilan terapi. 35 Ga m ba ra n khas
yang dapat ditem u kan pada pemeri ksaan dermoskopi adalah dotted
dan glomerular vessels ya ng berkelompok dan foka l d isertai surface
scales putih atau kekuningan, pada red-yellowish background. 36 Pada
PB pigmented ga mbara n d ermoskopi dapat d item u ka n brown-gray
dots dengan distribusi l inear atau foka l . 33 Pada pemeri ksaan dermoskopi
lesi PB, bila ditemukan multipel atypical (polymorphous) vessel dan
struktur white circle maka perlu dicu rigai adanya kem ungkinan
perubahan menjadi KSS i nvasif. 36
Pemeriksaan histopatologi pada PB akan d ite m u ka n sel
keratinosit atipik d isertai m itosis a bnormal dan d iskeratosis pada
sel u ruh la pisan epidermis. Sel tersebut meme n u h i/pro m i nen di

257
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Larisa Paramitha Wibawa

daera h intraepidermal kelenjar pilosebasea (a krotrikia, i nfundibulum


fol i kel, d a n kelenjar sebasea). Kecenderungan ada nya sel keratinosit
ya ng ati pik di epidermis sekita r fol ikel ra mbut d a n kelenjar adalah
yang m e m bedakan dengan P B dengan KA. 17 Pad a ga m ba ran kl inis
korn u kuta n e u m a ka n tampak h i pe rkeratotik dan parakeratosis yang
prom i nen/merunci ng. La pisan basal epidermis tetap utuh, tampak
pula i nfi ltrat sel radang kro n i k pada dermis atas. 4•28
Masih belum cukup banyak bukti ilmiah yang berkual itas baik
pada berbagai intervensi PB yang dianggap efektif dan memiliki efek
samping m inimal menurut penelitian Cochrane Skin Group 2013.
Bebera pa i ntervensi yang masuk dalam systematic review tersebut
adalah 5-fluorourasil, imiquimod, bedah beku, dan PDT dengan
ALA/MAL. 32 Menurut British Association Of Dermatologists' Guidelines
for the management of squamous cell carcinoma in situ (Bowen's
disease) tahun 2014, pilihan terapi lain yang masih dapat
direkomendasikan adalah bedah listrik dengan kuretase, bedah eksisi,
laser ablasi, bedah mikrografi k Mohs, radioterapi, dan tidak diberikan
pengobatan . 27 Berbagai terapi PB beserta level of evidence dan strength
of recommendation masing-masing dapat di Ii hat pada tabel 2.

Tabel 2. Pilihan terapi penyakit Bowen beserta level of evidence


(LOE}, strength of recommendation (SOR}, dan angka rekurensi
No. Modalitas terapi LOE SOR Rekurensi
(%)
1. PDT dengan ALA/MAL32 1 A
2. 5-Fl uoro u rasil 32 1 B
3. l m iquimod 32 1 B
4. Bed a h beku 32 1 B 6 - 13,431,41
5. Beda h listrik denga n ku retase37 4 B 6.5 - 9,631, 37
6. Bedah eksisi 31' 37 4 B 5,5 - 20
7. Laser a blasi 38' 39 4 c 0 - 20*
8. Bed a h m ikrografik M o h s 31.4° 4 c 6,3
9. Radiotera pi 37' 41 4 c 0 - 10,5
10. Tanpa pengobata n 27 5 c
SOR berdasarkan European Society for Clinical Microbiology and Infectious Disease dan
LOE berdasarkan Oxford Centre for Evidence-based Medicine dengan modifikasi dapat
dilihat pada lampiran 2. ALA=aminolevulinic acid. MAL=methyl aminolevulinate.
PDT=photodynamic therapy. * Penelitian dilakukan pada jari.

258
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Manajemen Terkini Prakanker Sel Keratinosit Kulit

Pilihan terapi masih memerl u ka n pertim bangan oleh klinisi


mengenai kara kteristik i n d ividu, lokasi, dan adanya komorbiditas. 32
Guidelines dari British Association Of Dermatologists' menggunaka n
perti mbangan u ku ra n lesi (kurang d a ri 2 cm dianggap keci l); j u m lah
lesi ( m u ltipel vs sol iter/sedikit); perkira a n penyembuhan I u ka ( lokasi
anatomi yang sulit sembuh dan kondisi u m u m pasien); lokasi khusus
(wajah, ja ri, periungual, d a n gen ita lia); serta kondisi i mu n osu presi
dalam menentu ka n pilihan tera p i . 27 Dalam m a najemen PB saat i n i,
tera pi topika l beserta ALA/MAL ya ng d i rekomendasikan masih bel u m
resmi masuk di I ndonesia.

Beberapa catatan dalam mempe rtim bangkan p i l i h a n terapi yaitu :


• Lesi pada tungka i bawah ata u pada pasien yang kem u ngki nan
I u ka sulit sembuh maka bedah beku dan radiotera pi lebih kurang
d i rekomendasika n . 32,41
• Bedah mikrografi k Mohs, wa l a u p u n m e m i l i ki rekurensi yang
setara dengan pilihan tera pi lain nya, dapat d ijadika n pilihan
terapi untuk P B pada daerah yang membutuhka n konservasi
j a ri nga n contohnya wajah, jari, periu ngu a l, dan gen ita lia. 31
• Biaya tera pi ya ng paling m a h a l adalah dengan menggu nakan P DT
dan termurah yaitu bedah listrik dengan ku retase. 42
• Pasien usia sangat tua dengan penya kit penyu l it dan/atau
d i perkirakan penyembuhan I u ka ya ng buruk lebih d isara n kan
tidak diobati d a n hanya d i berikan emolien agar da pat mengura ngi
h i perkeratosis dan skua ma. 27

Pencegahan kan ker m erupakan salah satu bagian dari manajemen


PB ka rena terdapat peningkatan risi ko terjadi kan ker kulit non­
melanoma dan kan ker pada bibir, namun tidak terbu kti terdapat
peningkatan terhadap keganasan organ dalam.43 Mengingat PB masih
terdapat hubungan pajanan sinar UV, maka pada ma najemennya pasien
diminta melakukan penghindaran sinar matahari pada jam 10.00-14.00,
penggunaan tabir surya, dan pemberian suplementasi vitam i n D sesua i
rekomendasi. 19' 28

259
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Larisa Paramitha Wibawa

PENUTU P

Penya kit pra ka n ke r sel keratinosit ( KA dan PB) merupakan


kondisi kega nasan i ntraepidermal ya ng mem butuhka n manajemen
khusus. Pengetahuan mengenai penyakit tersebut dapat meningkatkan
kesiagaan (awareness) dalam mendeteksinya. P rogra m deteksi dini
d apat d iaja rka n d a n kemudian d i la ku kan sendiri oleh pasien populasi
risiko tinggi setiap bulan. 3 Mengingat kesadaran tentang ka n ke r kulit
yang masih rendah di masyarakat, dokter layanan primer dapat secara
a ktif mendeteksi pra kan ker saat pasien konsultasi bukan untuk keluhan
ku l it. 11 Pemeriksaan lanjutan oleh dokter kulit d iperlukan pada berca k
kulit kemera han yang refrakter terhadap terapi infeksi atau inflamasi;
bercak pigmentasi mengalami perubahan; atau Iuka yang su lit sembuh. 3

DAFTAR PUSTAKA
1. Lomas A, Leonardi-Bee J, Bath-Hexta l l F. A systematic review of worldwide
incidence of non melanoma skin ca ncer. Br J Dermatol. 2012; 166: 1069-80.
2. Sng J, Koh D, Siong WC, Choo TB. Skin cancer trends among Asians living in
Singapore from 1968 to 2006. J Am Acad Dermato.l 2009;61(3):426-32.
3. Agbai O N , Buster K , Sachez M, Hernandez C, Kundu RV, Chiu M, dkk. Skin
ca ncer and photoprotection in people of color: A review and recommendations
for physicians and the public. J Am Acad Dermatol. 2014;70(4) :748-61.
4. Du ncan KO, Geisse J K, Leffel DJ . Epithelial precancerous lessions. Dalam:
Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel l DJ, Wolff K, penyunting.
Fitzpatrick's dermatology in genera l medicine. Ed isi ke-8. New York: McGraw
H i l l Compan ies; 2012.h. 1261-70.
5. Werner RN, Stockfleth E , Connolly SM, Correia 0, Erdmann R, Foley P, dkk.
Evidence-and consensus-based (S3) guidelines for the treatment of actinic
keratosis-lnternasional League of Dermatologica l Societies i n cooperation with
the E u ropean Dermatology Forum-short version. J Eur Acad Dermatol
Venereol . 2015;29 :2069-79.
6. Glogau R. The risk of progression to invasive disease. J Am Acad Dermatol.
2000;42 : 2 3-4.
7. Frost C, Williams G, Green A. High i ncidence and regression rates of solar
keratoses in a q ueensland c.ommunity. J I nvest Dermatol . 2000; 115:273-7.
8. Armstrong BK, Kricker A. The epidemiology of UV induced skin cancer. J
Photochem Photobiol B. 2001;63 :8-18.
9. Viarisio D, Mueller-Decker K, Kloz U, Aengeneyndt B, Kopp-Sch neider A, Grone
HJ d kk. E6 and E7 from beta H PV38 cooperate with ultraviolet light in the
development of actinic keratosis-like lesions and squamous cell carcinoma in
mice. PLoS Pathog. 2011; 7 : e1002 125.

260
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Manajemen Terkini Prakanker Sel Keratinosit Kulit

10. Gupta AK, Paquet M, Villanueva E, Brintnell W. Interventions for actinic keratoses.
Cochrane Database of Systematic Reviews 2012, Issue 12. Art. No.: CD004415.
11. Ferrandiz C, Fonseca-Capdevila E, Ga rcia-Diez A, Guillen-Barona C, Belinchon­
Romero I, Redondo-Bel lon P, dkk. Spanish adaptation of E u ropean guidli nes for
the eva luation and treatment of actinic keratosis. Actas Dermosifiliogr.
2014; 105(4):378-93.
12. Berhane T, Hal liday GM, Cooke B, Ba rnetson RSC. I nflammation is associated
with progression of actinic keratoses to squamous cell carcinomas in h u mans.
Br J Dermatol. 2002; 146:810-5.
13. Za laudek I, Ferrara G, Leinweber B, Mercogliano A, D' Ambrosio A, Argenziano
G. Pitfalls in the clin ical and dermoscopic d iagnosis of pigmented actinic
keratosis. J Am Acad Dermato l 2005;53: 1071-4.
14. Bowling J. Diagnostic dermoscopy: The illustrated guide. UK: Wiley-Blackwell 2012
15. Zalaudek I, Cameron A, Rosendahl C. Actinic keratosis, Bowen's disease,
keratoacanthoma, and squamous cell carcinoma. Dalam: Marghoob AA, Malvehy J,
Braun R P. Atlas of dermoscopy, 2nd Edition. USA: CRC Press Book; 2012.h.48-57.
16. Ka<;:ar N, San Ii B, Zalaudek I, Yildiz N, Ergin S. Dermatoscopy for monitoring treatment
of actinic keratosis with imiquimod. Clin. Exp. Dermatol. 2012;37(5):567-9.
17. Roewert-Huber J, Stockfleth E, Kerl H. Pathology and pathobiology of actinic (solar)
keratosis - an update. Br J Dermatol 2007; 157(Suppl. 2):18-20.
18. Rowert-Hu ber J, Patel MJ, Forsch ner T, U l rich C, Eberle J, Kerl H, dkk. Actinic
keratosis is an early in situ squamous cel l carci noma: A proposal for
reclassification. Br J Dermatol . 2007;156 (Suppl. 3 ) : 8-12.
19. Ulrich C, Jurgensen JS, Degen A, Hackethal M, Ulrich M, Patel MJ, dkk. Prevention of
non-melanoma skin cancer in organ transplant patients by regular use of a sun­
screen: a 24 months, prospective, case-control study.Br J Dermatol. 2009;161:78-84.
20. van der Pols JC, Williams G M, Pandeya N, Logan V, G reen AC. Prolonged
prevention of squa mous cell carci noma of the skin by regu lar sunscreen use.
Cancer Epidemiol Biomark Prev. 2006; 15:2546-8.
21. Thompson SC, Jolley D, Ma rks R. Reduction of solar keratosis by regular
sunscreen use. N Engl J Med. 1993;329 : 1 147-5 1.
22. Darlington S, Williams G, N eale R, Frost C, Green A. A randomized controlled
trial to assess sunscreen appl ication and beta carotene supplementation in the
prevention of solar keratoses. Arch Dermatol . 2003;139:45 1-5.
23. McNamara I R, Muir J, Galbraith AJ. Acitretin for prophylaxis of cutaneous
malignancies after cardiac transplantation. J Heart Lung Transplant. 2002;21:1201-5
24. Thorne EG. Long-term clinical experience with a topical reti noid. Br J Dermatol.
1992; 127(supp 41):3 1-36.
25. Bercovitch L. Topical chemotherapy of actinic keratoses of the upper extremity
with treti noin and 5-fluorouraci l : A double-blind control led study. Br J
Dermatol . 1987; 116:549-52.
26. Harwood CA, Surentheran T, McGregor JM, Spink PJ, Leigh I M, Breuer J, dkk.
Human papi llomavirus infection and non-melanoma skin cancer in immuno­
suppressed and immu nocompetent individuals. J Med Viral. 2000;61:289-97.

261
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Larisa Paramitha Wibawa

27. Morton CA, Birnie AJ, Eedy DJ . British Association Of Dermatologists' guidelines
for the management of squamous cell carcinoma in situ ( Bowen's disease)
2014. Br J Dermatol. 2014; 170:245-60.
28. Kossard S, Rosen R. Cutaneous Bowen's disease: An analysis of 1001 cases
according to age, sex, and site. J Am Acad Dermatol. 1992;27:406-10.
29. Moloney FJ, Comber H, O' Lorca in P, O' Kelly P, Conlon PJ, Murphy GM. A
population-based study of skin cancer incidence and preva lence in renal
tra nsplant recipients. Br J Dermatol. 2006; 154:498-504.
30. Kao GF. Carcinoma arising in Bowen's disease. Arch Dermatol. 1986;122(10):1124--6.
31. H ansen J, Drake AL, Wa lling HW. Bowen's disease: A four year retrospective
review of epidemiology and treatment at a u n iversity center. Dermatol Surg
2008; 34:878-83.
32. Bath-Hexta l l FJ, Matin RN, Wilkinson D, Leonardi-Bee J. Interventions for
cutaneous Bowen's disease. Cochrane Database of Systematic Reviews 2013,
Issue 6. Art. No.: CD007281.
33. Cameron A, Cliff Rosendahl C, Tschandl P, Riedl E, Kittler H . Dermatoscopy of
pigmented Bowen's disease. J Am Acad Dermatol. 2010;62:597-604.
34. Ohishi K, Nakamura Y, Ohishi Y, Yokomizo E, Ohara K, Takasaki M, dkk. Bowen's
disease of the nail apparatus and association with various high-risk human
papillomavirus types. J Dermatol Sci . 2011;63:62-72.
35. Hu SC, Chiu HH, Chen GS, Ke CL, Cheng ST. Dermoscopy as a diagnostic and
follow-up tool for pigmented Bowen's disease on acral region. Dermatol Surg.
2008;34(9):1248-53.
36. La llas A, Argenziano A, Zendri E, Mosca rella E, Longo C, G renzi L, dkk. Update
on non-melanoma skin cancer and the value of dermoscopy in its diagnosis
and treatment mon itoring. Expert Rev Antica ncer Ther. 2013; 13(5) :541-58.
37. Stevens DM, Kpof AW, Gladstein A, Bart RS. Treatment of Bowen's disease
with granz rays. Int J Dermato l . 1977;16:329-39.
38. Tantikun N. Treatment of Bowen's d isease of the digit with carbon dioxide
laser. J Am Acad Dermatol . 2000;43: 1080-3.
39. Gordon KB, Garden JM, Robi nson JK. Bowen's disease of the distal digit.
Outcome of treatment with carbon dioxide laser vaporization. Dermatol Surg.
1996;22 :273-8.
40. Leibovitch I, H u i lgol SC, Selva D, Richards S, Paver R. Cutaneous squamous
carcinoma in situ ( Bowen's disease): Treatment with Mohs microgra phic
surgery. J Am Acad Dermatol. 2005;S2 :997-1002.
41. Cox N H , Dyson P. Wound healing on the lower leg after radiotherapy or
cryotherapy of Bowen's disease and other malignant skin lesions. Br J
Dermatol . 1995;133:60-5.
42. Ramra kha-Jones VS, H erd R M . Treating Bowen's d isease: A cost-minimization
study. Br J Dermatol . 2003 ; 148 :1167-72.
43. Jaeger AB, Gramkow A, Hjalgrim H, Mel bye M, Frisch M . Bowen disease and
risk of su bsequent ma lignant neoplasm : A population -based cohort study of
1 147 pasien. Arch Dermatol. 1999; 135:790-3.

262
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Manajemen Terkini Prakanker Sel Keratinosit Kulit

Lampiran 1. Al u r tata laksana keratosis a ktinik

Anamnesis
Keluhan dan popuiasi

Pemeriksaan klinis
Gambaran tipe klinis penyakit

Sesual Tidak khas

Diagnosis
keratosis aktinik

- Edukasi pencegahan kanker kulit


- Konsultasi berkala untuk deteksi dini
- Tabir surya dan pencegahan sinar matahari Obati sesuai
- Suplementasi vitamin D
diagnosis

Lession target-therapy Field cancerization


Oumlah lesl terhitung) Oumlah lesi multipel dan difus)
• Bedah beku • Terapi topikal
• Bedah listrik dengan atau • Medium- deep peeling
tanpa kuretase • Laser resurfacing
• Bedah pisau tangensial • Photodynamic therapy

- Evaluasi tiap 1-3 bulan untuk rekurensi & persistensi


- Pada pasien imunokompromais pertimbangkan oral
retinoid

Singkirkan kemungkinan
karsinoma sel skuamosa atau
Rekurensl
.____
L
___,!
Persistensi
�-�
diagnosis lain

263
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Larisa Paramitha Wibawa

Lam pira n 2.

label 1. Level of evidence ( LO E ) berdasarkan Oxford Centre for


Evidence-based Medicine dengan modifikasi

LOE Definisi
Systematic review of RCT (randomized controlled trial)
Individual RCT with narrow confidence interval
2 Systematic review of cohort studies
Individual cohort study
"Outcomes" research, ecological studies
3 Systematic review of case-control studies
Individual case-control study
4 Case-series (and poor quality cohort and case-control studies *)
5 Expert opinion without explicit critical appraisal, or based on
physiology, bench research or 'Jirst principles"
*By poor quality cohort study we mean one that failed to clearly define comparison
groups and/or failed to measure exposures and outcomes in the same (preferably
blinded}, objective way in both exposed and non-exposed individuals and/or failed
to carry out a sufficciently long and complete follow up of patients.
*By poor quality case-control study we mean one that failed to clearly define
comparisons groups and/or failed to measure exposures and outcomes in the
sampe (preferably blinded}, objective way in both cases and controls and/or failed
to identify or approriately control known confounders.

label 2. Strength of recommendation (SOR) berdasa rka n European


Society for Clinical Microbiology and Infectious Disease

SOR Definisi
A Strongly supports a recommendation for use
B Moderately supports a recommendation for use
C Marginally supports a recommendation for use
D Supports a recommendation against use

2 64
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
BIOLOGI KANKER DAN TERAPI TARGET

Aida SD H oemardani

PENDAHULUAN

Kanker merupakan penya kit yang diseba bka n oleh rusa knya
mekanisme dasa r perilaku sel, khususnya mekan isme pertumbuhan
dan diferensiasi sel. Apa bila sel tumbuh dan berdiferensiasi, ada u nsur
genetik ya ng diaktifkan (switch on) dan yang lain tidak diaktifkan
(switch off) . Gen-gen inilah ya ng termasuk dalam sistem regulasi ya ng
merupakan sistem utama berlangsungnya faa l sel - sel normal. Dalam
perkembangannya, sel berdiferensasi dan membentuk berbagai jenis
jaringan dengan fungsi yang berbeda-beda. Pada keadaan normal
pertumbuhan sel diatur secara ketat oleh sistem regulasi untuk
memenuhi kebutuhan orga n isme. Dalam keadaan sistem regulasi
terga nggu, maka sel-sel ka n ker tumbuh secara otonom yang tidak
terkendali, mengi nvasi jari ngan organ di sekitarnya seh i ngga fungsi
organ tersebut terga nggu. Tra nsformasi sel normal menjadi sel
ka n ker terjadi sebagai a ki bat terga nggu nya sistem regu lasi d i atas,
yang bera kibat sel-sel ka n ke r m a m p u membelah d i ri menjadi lebih
banya k, bahkan h i ngga berj uta-juta sel d a n tidak menghas i l ka n
pertu mbuhan sel-sel progen itor norm a l . ltulah ciri utama sel ka n ker. 1
Aga r memahami biologi sel ka n ke r diperl u ka n pengetah u a n
tenta ng kem a m puan t u m o r u ntuk t u m b u h d a n bermetastasis seca ra
multistep carcinogenesis ya ng disarikan dalam delapan kem a m puan
fungsional sel ka n ke r (hallmark of cancers/ciri khas sel ka n ker). 2
Seca ra u m u m kemampuan sel ka n ke r kulit mempu nyai mekanisme
yang sama dengan sel ka n ke r ya ng lain, wa l a u p u n fa ktor
risi ko/etiologi da pat berbeda . Tu lisa n ini d i m a ksudka n u nt u k
menera ngka n biologi sel ka n ke r dan h u bu ngan nya dengan terapi
target pada kanker ku l it.

265
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Aida SD Hoemardani

CIRI KHAS SEL KANKER


Sel ka n ker m e m p u nyai delapan ciri khas ya ng merupakan
kem a m p u a n nya mem perta hankan si nyal pro l iferasi, menghindari
supresor pertu m b u h a n, menghindari d estruksi i m u n, memungki n kan
rep l i kasi imortal, menga ktivasi invasi dan m etastasis, menginduksi
a ngiogenesis, menolak kematian sel, dan deregulasi energi sel uler.
U rutan, kesei m ba ngan relatif, d a n pentingnya kontri busi dalam
membentuk kan ke r berva riasi pad a setiap ka n ker. 2-4

1. Mempertahankan sinyal proliferasi


Gen-gen ya ng berpera n dalam proses i n i adalah onkogen, yaitu
gen ya ng memicu pert u m b u h a n sel sehingga berproliferasi ta n pa
terkenda l i . Contoh o n kogen adalah RAS, RAF, MYC, P13K, PTEN,
dan lain-la i n . 1-4

2. Menghindari supresor pertumbuhan


Supresor pertumbuhan d iwa kili oleh gen su presor tumor, yang
mekanisme kerja nya berlawanan dengan o n kogen, yaitu menekan
pertu m buhan sel ka n ker. Contoh nya adalah gen RB, TP53, TGFB,
dan lain-lain 1-4

3 . Menghindari destruksi imun


Bila terdapat sel kanker, maka sistem immune surveillance tubuh
a ka n mengenali dan mengeliminasinya. Akan tetapi ba nya k sel
kan ke r tidak terdeteksi oleh sistem tersebut atau membatasi
terbunuhnya sel kan ker oleh sistem i m u n . Di sa mping itu sel kan ker
da pat melumpuhka n fu ngsi CTL dan sel N K dengan mengeluarkan
TG F-�. Sel ka n ker j uga mengekspresikan ligand PD-L1. 1-4

4. Memungkinkan replikasi i mortal


Sel ka n ke r mem butuh kan kem a m puan rep l i kasi tak terbatas u ntuk
membuat tumor menjadi semakin besar. Telomere yang
m e l i n d u ngi uju ng kromosom ikut serta dalam proses i n i . 1-4

266
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Biologi Kanker dan Terapi Target

5. Mengaktivasi invasi dan metastasis


l nvasi dan metastasis merupakan suatu proses m u ltitahap.
Dimulai dari E-cadherin, kem u d i a n E MT, M ET, d a n lain-lain. 1-4

6. Menginduksi angiogenesis
Seperti jaringan normal, tumor membutuh kan makanan dan oksigen,
serta mengeluarkan sisa-sisa metabolisme dan karbondioksida .
Contoh nya VEGF dan trombospodin-1. 1-4

7. Menolak kematian sel atau menurunnya kemampuan apoptosis


Kema mpuan u ntuk mengi n a ktivasi ata u menghentikan progra m
apoptosis. Misal nya Bcl-2, Bel XI, dan lain-lain. 1 -4

8. Deregulasi energi selular


Proses prol iferasi sel m e m butuhkan energi untuk . menj a l a n ka n
perannya . G LUTl meningkatka n transport gl u kosa k e dalam
.
s1top I asma. 1-4

Dua karakteristik yang memfasilitasi ciri khas sel kanker

Ciri khas sel kan ker adalah kemampuannya untuk bertahan hidup,
berproliferasi tidak terkendali, dan berd isemi nasi ata u kemampuan
metastasis jauh. Kemampuan tersebut d isebabkan ada nya dua
karakteristik yang memu ngki n ka n yaitu m utasi dan instabilitas genom
serta tumor-promoting inflammation. 2

1. Mutasi dan instabilitas genom


Gangguan pada sistem pemeliharaan genom dalam sel ka n ke r
yang berprolife rasi menyimpang m a m pu memba ngkitka n m utasi
pada gen sehingga sel ka n ker mem punya i ciri khas. 1-4

2. Tumor promoting inflammation


Neoplasia sela l u menarik berbagai sel sistem i m u n bawaan yang
di progra m u ntuk penye m b u h a n I u ka dan melawan infeksi
misal nya makrofag, neutrofil, dan lain-l a i n . Sel tersebut memberi
kontribusi cukup besar pada perke m ba nga n tumor mela l u i
produksi berbagai molekul k e dalam l i ngkungan m i kro t u m o r
sehi ngga kondusif u ntuk pertu m bu h a n s e l tu mor. Perlu d i keta h u i

267
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Aida SD Hoemardani

bahwa i nflamasi pada u m u m nya terjadi pada stadium awal


perkem ba nga n tumor yang m e m u ngki n ka n sel ga nas ya ng
"incipient" menjadi "full blown cancer. "1 -4

Tipe sel yang menyusun tumor microenvironment (lingkungan mikro


tumor)

Pandanga n terda h u l u bahwa ka n ke r terdi ri atas massa banyak


sel ka n ker. Saat ini penge rtian tenta ng ka n ker adalah seku mpulan
populasi heterogen sel kan ker d a n sel stromal yang disebut
lingku ngan m i kro tumor ( tumor microenvironment = TM E ) . Mereka
terd iri atas cancer associated fibroblast, sel endotel, perisit, cancer
stem cells, sel ka n ker, sel i nflamasi i mun, dan sel ka n ker i nvasif. 1 -4

TERAPI TARGET
Tera pi target terhadap ciri khas ka n ke r ya it u :
1 . I nh i b itor on kogen i k kinase u n t u k m engatasi perta hanan si nyal
p roliferasi kan ker. M isal nya i n hi bitor B-Raf pada melanoma
5
maligna. 2 '
2 . Reaktivator p53 u ntuk m engatasi pengh indaran supresor
pertu m b u h a n kan ker. 2
3 . Aktivator i m u n itas u ntuk melawan pengh indara n destru ksi i m u n
ka n ker. M isal nya CTLA4 dan a nti-PDl pada melanoma maligna. 2'6
4. I n h i bitor telomerase dalam hal m engatas i kemampuan replikasi
immortal kan ker. 2
5 . Agen ya ng mengh a m bat tumor promoting inflammation. 2
6 . I n h ibitor HG F/c-Met u nt u k m engantisipasi i nvasi dan
m etastasis. 2
7 . I n h i b itor sinya l VEGF u ntuk melawa n i n d u ksi a ngiogenesis.
M isal nya bevacizu m a b pada melanoma ma lign a . 2• 7
8. Inhibitor PARP untuk menanggulangi instabilitas genom dan mutasi. 2
9 . Proapoptotic BH3 mimetics dalam menanga n i penola kan
kematian sel ata u penurunan kemampuan a potosis. M isalnya
i mi q u i mod topikal pada karsi noma sel basal su perfisia l . 2' 8
10. I n h i bitor gl i kolisis aerobik u nt u k mengham bat deregulasi energi
s e l u ler. 2

268
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Biologi Kanker dan Terapi Target

PENUTUP

Sel kan ker mempunyai kemampuan bertahan hidup, berproliferasi


tidak terkendali, dan bermetastasis jauh. Sem ua kemampuan itu
diperoleh karena ciri khas sel kan ker yaitu delapa n kemampuan
fungsional sel kan ker ditam bah dua karakteristik yang memfasilitasinya .
Beberapa terapi target ya ng dituj u ka n kepada masing-masing ciri
khas tersebut telah dite m u ka n d a n ya ng lain nya masih d a l a m uji
prakl i n i k atau uj i k l i n i k.

DAFTAR PUSTAKA
1. Kresno SB. Biologi sel kan ker. Dalam: l lmu dasar onko logi . Edisi ke-3. Jaka rta :
Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Un iversitas Indonesia; 2012. h . 1-35
2. Hanahan D, Weinberg RA. H a l l marks of cancer: An organ izing principle for
cancer medicine. Dalam: De Vita VT, Lawrence TS, Rosenberg SA, editor. Cancer
of the skin. Edisi ke 10. Wolters Kl uwers: 2016. h .24-46
3. Hanahan D, Weinberg R. The hallmarks of cancer. Cel l . 2000:100: 5 7-70
4. Hanahan D, Wei nberg R. Hall marks of cancer: The next generation. Cel l . 2011;
144: 646-74.
5. Long GV, Stroyakovsky D, Gogas H, Levchencho E, de Braud F, Larkin J, d kk.
Combined BRAF and MEK inhibition versus B RAF inhi bition alone in melanoma .
N Engl J Med. 2014;371: 1877-88.
6. Robert C, Schachter K, Long GV, Arrance A, G rob JJ, Mortier L, dkk.
Pembrolizumab versus ipilimumab in advanced melanoma. N Engl J Med.
2015 :372:2521-32.
7. Hodi FS, Lawrence D, Lezca no C, Wu Xinqi, Zhou Jun, Sasada T, d kk.
Bevacizumab plus ipilimumab in patients with metastatic melanoma. Cancer
lmmunol Res. 2014;2 :632-42.
8. Rational Assessment of Drugs and Research ( RADAR). lmiquimod cream (Aldara)
for superficial basal cell carcinoma. Tersedia pad a : https://www.nps.org.au.
Diunduh tanggal 5 Jan uari 2017.

269
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
MANAJEMEN BEDAH PADA KANKER KULIT:
BEDAH EKSISI VS BEDAH MOHS

Adhimu kti T Sam purna, Amanda N Wardani

PENDAHU LUAN
Tumor kulit pada prinsipnya da pat berasa l dari berbagai la pisan
ku lit, d a ri epidermis h ingga su bkutis. Berdasa rka n sifatnya, tumor
kulit da pat di bagi menjadi tumor j i n a k dan tumor ganas ( k� n ker). 1
Jenis ka n ker kulit ya ng pa l i ng ba nya k d itemukan ya kni ka rsinoma sel
basal ( KSB) dan karsinoma sel skua mosa ( KSS). Ked ua nya memi liki
predileksi pada a rea yang terpajan sinar mataha ri, m isalnya pada
a rea wajah dan leher. 2'3
Terdapat moda l itas yang da pat d igu nakan dalam tata laksana
ka n ke r ku l it. Moda l itas yang paling sering, a ntara lain bedah eksisi;
elektrodesi kasi d a n ku retase; bedah beku; terapi rad iasi; kemoterapi;
serta bedah m i krografik M ohs. 1 -3 Perti m ba nga n dalam memilih
modalitas terapi sa ngat d i pengaruhi oleh tiga fa ktor utama, ya itu
fa ktor sarana prasara na, fa ktor pasien, dan j uga fa ktor penya kit yang
da pat dil i h at pada tabel 1 . 4
Bedah kulit sa mpai saat ini, meru pa kan moda litas yang lebih
superior dibandingkan dengan radioterapi dan bedah beku karena
memiliki angka kesembuhan yang lebih baik, angka kegagalan yang lebih
rendah, serta seca ra kosmetik m e m i l i ki hasil ya ng lebih baik. 1,4
Terdapat dua m etode bed a h ku lit yang paling sering d igunaka n saat
i n i a ntara l a i n : (1) bedah e ksisi, yaitu suatu m etode pengangkatan
ja ringan tumor secara e kstensif bersa ma dengan jaringan sehat
d isekita r tumor untuk mendapatkan batas ja ringan bebas tumor dan
( 2 ) bedah mi krografi k Mohs, yaitu metode penga ngkatan jaringan
tumor dengan tekn i k ku retase dan eksisi de nga n meminimalkan
pengangkata n jari ngan u ntuk tuj u a n preservasi jari nga n sehat. 1'4

270
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Manajemen Bedah pada Kanker Kulit: Bedah Eksisi vs Bedah Mohs

Selanj utnya pada maka l a h i n i memba has mengenai mod a l itas


utama, yaitu bedah e ksisi dan bedah m ikrografik Mohs dalam tata
laksana ka n ke r kulit.
label 1. Faktor yang m em penga ru h i pemilihan modalitas tera p i
kan ker ku l it *
Faktor Pertimbangan modalitas
Saran a Kea hlian d a n kom petesi dokter
Prasarana Angka kesembuhan d a ri jenis terapi
M orbiditas
Akses dan biaya
Alasa n kosmetik
Tujuan p reservasi jaringan
Pasien Ko ndisi umum pasien dan komorbiditas
( i m u nosu presi, dia betes, hipertensi)
Kema mpuan u ntuk pemeliharaan I u ka
Usia d a n harapan hidup
Alasan kosmeti k
Penya kit T i p e t u m o r kulit
Lokasi a natomis
U ku ra n lesi
l nvasi jaringan saraf
Pertu mbuhan jari nga n tumor
Lesi primer atau rekure n
* Dikutip dari kepustakaan no. 4

BEDAH EKSISI
Bedah eksisi merupakan terapi dasar bedah kulit. Bedah eksisi
dilaku kan untuk indikasi pemeriksaan h istopatologis maupun sebagai
terapi bedah pengangkatan lesi ku lit jinak ataupun ganas. 1 Teknik
pengangkatan lesi menggunaka n teknik elips untuk mendapatkan
sampel h istopatologis serta mendapatkan diagnosis definitif, serta
pengangkatan lesi secara kompl it. Meskipun begitu, terdapat beberapa
tantangan dalam melaku kan bedah e ksisi, antara lain : ( 1 ) pertimbangan
luasnya eksisi untuk menghasi lkan batas lesi bebas tumor, dan (2) hasil
akhir Iuka bekas eksisi, bai k secara kosmetik maupun fungsional. 1

271
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Adhimukti T Sampurna, Amanda N Wardani

Salah satu pilihan modalitas tata laksana kan ke r kulit yaitu bedah
eksisi dengan evaluasi batas lesi pasca-operasi. Sebelu m nya telah
dilaporka n bahwa pasien yang diterapi dengan bedah eksisi 98%
mengalami 5 tah u n bebas tumor (5 years survival rate). 1
National Comprehensive Cancer Network (NCCN ) dalam pedoman
tata laksana KSB menjelaskan secara rind mengenai batas pengangkatan
lesi tumor. 5 Untuk lesi KSB ya ng berbatas tegas dengan ukuran diameter
� 2 cm, maka batas eksisi harus dibuat 4 mm dari batas klinis lesi.
Pendekatan serupa berlaku untuk lesi KSB primer dengan risiko rendah
yang terletak pada a rea batang tubuh dan e kstremitas. Sedangkan
untuk lesi KSB risi ko tinggi, NCCN merekomendasi kan bedah eksisi
disertai pemeriksaan batas lesi i ntraoperatif. Apa bila karena satu dan
lain hal terdapat keterbatasan untuk melakukan pemeriksaan batas lesi
i ntraoperatif, maka batas penga ngkatan lesi harus dibuat lebih
luas/lebar dari pada ya ng direkomendasikan untuk lesi KSB risi ko
rendah. 5 Sebelumnya juga telah dipapa rkan aturan umum mengenai
batas eksisi pada jenis lesi ku l it lainnya (Tabel 2). 1
label 2. Batas eksisi tumor ku l it*

Jenis tumor kulit Batas eksisi (mm)


Lesi jinak 0-2
Nevus atipikal 3-4
Kanker kulit non-melanoma (diluar lesi indikasi 4-6
bed a h Mohs)
Melanoma ( B reslow level < 1 mm) 10
Melanoma ( B reslow level > 1 mm) 20 30 -

* Dikutip dari kepusta kaan no. 1

Tekn i k e l i ps seca ra u m u m dilakukan dengan membuat desai n


e l i ps dengan u ku ra n panjang 3-4 k a l i dari lebarnya, dengan sudut
pada uj ung elips a ntara 30°-70° u ntuk mencega h terbentu knya
standing cone deformation (dog-ear). 1

Persiapan Bedah Eksisi

Pertama a rea lesi d i be rsi hkan dengan 70% isopropyl alcohol.


Perencanaan pembuatan eksisi pada pasien harus d i la ku kan dalam

272
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Manajemen Bedah pada Kanker Kulit: Bedah Eksisi vs Bedah Mohs

posisi tegak u ntuk mengurangi adanya d istorsi atau tarikan pada


kulit. Kemudian dilakuka n pembuatan tanda (marking) menggunaka n
pena bedah atau tinta gentian violet. Selanj utnya, pada sekitar lesi
dilakukan a nestesi . Kemudian d i l a nj utkan dengan tindaka n asepsis
a ntisepsis dengan povidon-iodi n atau klorih �ksid i n .1 · .

Prosedur Bedah Eksisi

Bedah eksisi dasar menggu n a ka n ska lpel nomor 15. Penyayatan


lesi d i lakuka n dengan sudut 90 ° d i m u la i d a ri bagian uj u ng d istal e l i ps
dan perlahan berkurang sampai 45 ° saat mencapai bagian tengah
eli ps. l nsisi dilakukan ke a ra h operator bedah, dengan peneka na n
yang cuku p seh ingga mencapai kedalaman j a ri nga n l e m a k subkutis.
Selanj utnya, tekni k penyayatan seru pa d i la ku ka n pada sisi lain nya. 1
Terdapat beberapa va riasi tekni k e ksisi elips a ntara lai n : e ksisi
crescentic, e ksisi S-p/asty, dan e ksisi M -p/asty (Gambar 1 3) . 1 -

Setelah mela ku ka n eksisi, d i la nj utkan dengan pengangkata n


spesimen jaringa n dan undermining. Tek n i k undermining dituj u ka n
u ntuk mengurangi teganga n pada tepi I u ka, membuat I u ka horizo nta l
yang paralel dengan perm u ka a n kul it, serta memperta h a n ka n kontur
ku l it d isekitar a rea e ksisi. Seca ra u mu m, kedalaman d a ri undermining
yaitu setara satu sampai d u a kal i dari lebar a ksis elips. Selanjutnya,
teknik hemostasis dilaku ka n untuk m encegah terjadinya hematoma
pasca-tindakan beda h . Setelah lesi bebas dari jaringa n tumor d a n
hemostasis terca pa i, penutupan I u ka da pat d i l a ku ka n . 1
Perawatan pasca-bedah eksisi mencakup edu kasi pasien
mengenai perawatan Iuka dan kemungkinan kom plikasi yang terjadi
misalnya, edema, e ki mosis, dan eritema. Pasien disara n kan untuk tetap
menutup Iuka selama 24-48 jam pasca-tindaka n bedah, dan setelahnya
dilakukan pembersihan area sekitar Iuka menggunakan air dan sabun
sampai jahitan d ilepas (Ta be I 3 ) . 1

273
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Adhimukti T Sampurna, Ama nda N Wardani

Gambar 1. Eksisi crescentic *


* Dikutip dari kepusta kaan no.1

((
b
Gambar 2. Eksisi S-plasty*
* Dikutip dari kepusta kaan no.1
b

Gamba r 3. E ksisi M-plasty*


* Dikutip dari kepusta kaan no.1

274
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Manajemen Bedah pada Kanker Kulit: Bedah Eksisi vs Bedah Mohs

*
label 3. Estimasi wa ktu lepas j a h itan sesuai lokasi I u ka

Lokasi Iuka Hari


Kelopak mata 2-4 h a ri
Wajah 4-7 hari
Le her 5-7 hari
Kulit kepala 7-10 h a ri
Batang tubuh 7-12 h a ri
Ekstrem itas 10-14 h a ri
*Dikutip dari kepusta kaan no. 1

BEDAH M I KROGRAFIK MOHS


Bedah m ikrografi k Mohs adalah suatu tekn ik pengangkata n
jaringan tu mor kulit yang meli batka n pemeriksaan h istopatologis
secara simulta n . 6 Teknik ini lebih disukai ka rena merupakan prosedu r
yang pa ling teliti d a n mampu mengevaluasi batas sayatan bedah bebas
tumor saat operasi . 6 Bedah mi krografi k Mohs pertama ka l i diper­
kenalkan pada tahun 1936 oleh F rederic E. M ohs, dan selanjutnya
pada tah un 1970 dikembangkan oleh Theodore A. Tromovitch denga n
menggu nakan tekn ik ja ri nga n sega r (fresh tissue technique) dan
pemeriksaan potong beku (frozen section) . 6-8
Beberapa keu nggulan bedah m i krografi k Mohs d i band i ngka n
denga n modal itas lainnya ya itu : ( 1 ) pemeriksaan konfi rmasi h istologi
m udah mengeva l uasi dengan tel iti batas lesi bebas tu mor sehi ngga
memiliki angka kesem b u h a n yang ti nggi, yaitu mencapai 99%; ( 2 )
meminimalisi rkan pengangkata n jaringan sehat sekita r lesi tu mor, ( 3 )
rendah nya angka rekurensi; ( 4 ) memungki n kan teknik rekonstru ksi
ya ng lebih berva riasi; serta (5) a ngka morbiditas dan morta litas ya ng
lebih rendah dibandingkan dengan modal itas lainnya . 9
Meskipun begitu, bedah mi krografik Mohs juga memiliki ke­
kurangan. Selain risi ko bedah pada umumnya, pada bedah mikrografik
Mohs kadang diperlukan prosedu r bedah lebih dari satu tahap untuk
mencapai batas sayatan bebas tumor dan adanya risiko kesa lahan dalam
interpretasi batas sayatan bedah.9 Di I ndonesia sendiri, bedah mikrografik
Mohs merupakan suatu teknik yang tergolong baru dan belu m banyak
dokter spesialis kulit yang terampil melaku kan teknik tersebut.

275
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Adhimukti T Sampurna, Amanda N Wardani

l n d i kasi d a ri tindaka n bedah Mohs a ntara l a i n : ( 1 ) tumor yang


terletak pada a rea wajah, k h ususnya pada zona H (zona risiko ti nggi
rekurensi), bibir, kelopak m ata, d a n telinga; (2) tumor rekuren; (3)
tumor berukuran 1 cm atau lebih pada a rea leher atau wajah; (4)
tumor dengan patologi agresif pada a rea tangan, kaki d a n gen italia;
(5) tumor berukuran 2 cm atau lebih pada a rea selain wajah; (6) lesi
denga n batas tidak tegas; (7) tumor ya ng d isebabkan karena radiasi;
(8) tumor denga n i nfi ltrasi d a l a m ; (9) tumor pada bekas I u ka lama
( u l kus M a rjolin); ( 10) tumor pada pasien dengan sindroma nevus sel
basa l, xeroderma pigmentosu m; d a n ( 1 1 ) pasien denga n penyu lit,
seperti i m u nokompromais atau pasien denga n transplantasi organ . 9
Secara klinis, pemilihan modalitas terapi beda h m ikrografik Mohs
d i i n d i kasika n pada lesi tumor dengan risiko rekurensi tinggi yang
da pat meni ngkatkan morbid itas serta biaya . 5•9
Sam pa i d engan saat ini tindakan bedah m ikrografik Mohs paling
sering d i la kukan u ntuk terapi KSB dan KSS walaupun secara umum
tindaka n bedah m ikrografik Mohs d apat d i lakuka n pada berbagai
macam lesi tumor (label 4). 9• 13
*
Tabel 4. l nd i kasi bedah Mohs

Jenis tumor yang diindikasikan untuk terapi bedah Mohs

1. Karsinoma sel basal 11. Extramammary Paget's


2. Karsinoma sel skuamosa disease
3. Lentigo maligna 12. Karsinoma sebasea
4. Dermatofibrosarcom a 13. Karsinoma a pokrin
protubera ns 14. Penyakit Bowen
5. Fibroxa nthoma atipikal 15. Pa pulosis Bowenoid
6. Karsinoma adneksal m ikrositi k 16. Leiomiosa rkoma#
7. Trikoepitelioma desmoplastik 17. Fibrohistiositoma ma ligna#
8. Karsinoma verukosa 18. Karsinoma sel merkel#
9. Keratoa ka ntoma 19. Angiosa rkoma#
10. Eritroplasia Queyrat 20. Melanoma#
Berupa laporan kasus, masih kontroversial
* Dikutip dari kepustakaan no. 9, 13

276
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Manajemen Bedah pada Kanker Kulit: Bedah Eksisi vs Bedah Mohs

American Academy of Dermatology (AAD) beke rja sama dengan


American College of Mohs Surgery (ACMS), American Society for
Dermatologic Surgery Association (ASDSA), dan American Society for
Mohs Surgery (ASMS) telah mengeluarkan suatu Guideline Appropriate
Use Criteria (AUC) beda h M ohs. Panduan tersebut berisi sejumlah
kriteria kelayakan suatu lesi tumor untuk ditata laksana dengan
prosedur bedah m i krografik Mohs. Apa bila lesi tumor tersebut tidak
memenuhi kriteria, m a ka sebaiknya tidak menggun a ka n teknik beda h
mikrografik M ohs. 14
Sebelum melaku ka n tindakan bedah m ikrografik Mohs terdapat
beberapa faktor yang penting diperhatikan, a ntara l a i n : (1) riwayat
obat-obatan dan a lergi, seperti a ntikoagu lan dan o bat a n estesi; ( 2 )
infeksi pada a rea sekitar l e s i a t a u a rea l a i n nya; (3) riwayat konsumsi
a l kohol dan rokok; (4) ada nya penggunaan a l at i m p l a n atau a lat pacu
jantu ng; (5) perlu tidaknya melakuka n M RI pra-operatif; (6)
konsu ltasi dengan spesialis lain, seperti penya kit dalam, bedah plastik
dan lai nnya; serta (7) persiapan psikologis pasien, m anajemen
ekspektasi, dan edukasi risiko tindakan bed a h . 9

Prosedur Bedah Mikrografik Mohs


Prosedu r beda h mikrografik Mohs secara u m u m terd i ri dari
lima tahap yaitu verifikasi lesi, e ksisi lesi, orientasi jaringan, tissue
processing, dan eva luasi h istopatologi. 9
1. Verifikasi lesi
Pada tahap i n i, dila ku ka n t i ndakan asepsis dan a ntisepsis lesi
dengan menggun a ka n swab a lkohol, povidon iod i n, atau
klorheksidin. Selanj utnya, dilakukan penandaan pada lesi dan batas
sayatan eksisi 1-3 mm dari batas l u a r lesi dengan m enggunakan pena
bedah atau tinta gentian violet. 9 (Gambar 4 )

Gambar 4 . Verifikasi dan penandaan lesi


Koleksi Divisi Tumor Bedah Kulit, Departemen l.K. Kulit
dan Kelamin FKUl-RSCM

277
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Adhimukti T Sampurna, Amanda N Wardani

Setelah penandaan lesi dibuat, verifikasi ulang bersama dengan pasien,


dan melaku ka n informed consent kepada pasien untuk melaku kan
pengangkata n lesi tersebut. Selanj utnya dilaku ka n a nestesi loka l . 9

2. Eksisi lesi
Sebelu m melakukan e ksisi lesi, biasa nya dilakukan prosedur
debulking atau kuretase dengan tujuan untuk dapat melihat batas lesi
dengan jelas. Selanjutnya, e ksisi lesi tumor dilakukan menggunakan
skalpel dengan kem i ringa n 30°-45°. 9 (Ga mbar S)

Gambar 5. Debulking lesi


Koleksi Divisi Tumor Bedah Kulit,
Departemen 1 . K. Ku lit dan Kela min FKUl­
RSCM

3. Orientasi jaringan
Pada tahap i n i d i l a kukan pemotonga n (grossing) dan pewa rnaan
(chromacoding) spesimen j a ringan tumor ya ng telah dieksisi.
Pewarnaan dapat dilakukan menggunaka n dua tinta pewarna atau lebih
dan pemotongan spesi men menjadi dua potongan atau lebih untuk
dapat memuda h kan tissue processing. Lokasi, bentuk, u ku ran dan
orientasi jaringan kemudian dipindahkan ke peta Mohs. 9 (Ga m bar 6)

A B

Gambar 6A. Penanda a ra h kranial B. Chromacoding


Koleksi Divisi Tu mor Bed a h Ku lit, Departemen l . K. Ku l it dan Kelamin
FKUI RSCM)
-

278
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Manajemen Bedah pada Kanker Kulit: Bedah Eksisi vs Bedah Mohs

4. Tissue processing
Spesi men jaringan tumor kem u d i a n d i p roses dengan cryostat
untuk menghasi l ka n slide m i kroskopi k potong beku, d a n sela nj utnya
dilakukan pewarnaan dengan haematoxylin-eosin ( H E ) .9· 13 (Gam ba r 7 )

Gambar 7A. Potong beku dan B. Pewa rnaan H E


Koleksi Divisi Tumor Bedah Kulit, Departemen l . K. Kulit dan Kelamin FKU l-RSCM

5. Evaluasi histopatologis
Slide yang telah dila ku kan pewarnaan HE kemudian diperiksa di
bawah mikroskop untuk melihat sisa sel kan ker pada batas lesi. Apabila
masih terdapat sel kan ker yang belum terangkat sempurna, maka diberi
tanda pada kartu peta Mohs yang d ibuat pada tahap orientasi jaringan
dan prosedur bedah Mohs dapat dilakukan kembali dimula i dari langkah
pertama sam pai seluruh batas lesi bebas sel kan ker. 9• 13
Setelah batas lesi dipastikan bebas sel kan ker, selanjutnya dilakuka n
penutupan defek denga n penutupan primer (primary closure), flap,
graft, atau penutupan tertunda (delayed closure) . Kom p l i kasi bedah
Mohs dikatakan cukup jarang terjadi, di a ntara nya yaitu skar,
hematoma, dan edema jaringa n . l nfeksi pasca-bedah Mohs dilaporkan
hanya sekita r 1-2% kasus, denga n faktor risi ko i nfeksi berupa
perdarahan masif dan h ematom pasca-bedah M ohs. 9 (Ga mbar 8)

279
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Adhimukti T Sampurna, Amanda N Wardani

Gambar 8. Evaluasi h istopatologi


Koleksi Divisi Tumor Bedah Kulit, Departemen
1 . K. Kulit dan Kelamin FKU l-RSCM

BEDAH E KSISI VS BEDAH MOHS


Sampai dengan saat ini, sudah banyak studi yang membandingkan
bedah eksisi d e ngan beda h m ikrografik Mohs sebagai terapi ka n ker
kulit (Tabel 5). Stu d i terkin i terapi KSB primer, khususnya pada a rea
wajah, menu njukan bahwa terapi bedah m ikrografik Mohs lebih unggul
dibandingkan dengan terapi bedah eksisi. Bedah Mohs kini dianggap
sebagai terapi lini pertama pada terapi kasus KSB. 15' 16 Pada studi Viola
d kk. 17 terlihat adanya peningkatan yang bermakna dalam pemilihan
modalitas bedah Mohs sebagai terapi kan ker kulit non-melanoma, yaitu
mencapai dua kal i lipat dari tahun 2001 sampai 2006.
Salah satu keu nggu l a n utama d a ri bedah mikrografi k M ohs
ialah m a m pu m e m i n imalisir penga ngkatan ja ringan sehat sekitar lesi
tumor. 9• 18-20 Pada bedah Mohs batas sayata n d i bu at m u l a i dari 1 mm
dari lesi tumor, 9' 18' 19 sed a ngka n pada bed a h eksisi batas sayata n
d ibuat m i n i ma l 4 m m dari lesi tu mor. 1' 5 Dengan begitu diharapka n
d efek pasca-bedah M o h s l e b i h m i n i ma l d iba ndingka n dengan defek
pasca-bed a h eksisi. Di l u a r dari hara pan, studi Ti ldsley d kk. 21 pada
populasi KSB kelopak mata m e nu nj u ka n bahwa u ku ra n j a ri ngan yang
diangkat pada bedah m ikrografik Mohs memang lebih kecil
d i ba n d i ngkan dengan bedah e ksisi, n a m u n perbedaan u ku ra n defek
pasca-beda h m ikrografik Mohs tidak signifikan j i ka d i bandingkan
dengan defek pasca-beda h eksisi.

280
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Tabel 5. Studi bedah Mohs vs bedah eksisi sebagai terapi kanker kulit

No Penulis, Tahun Jenis Studi, N Kasus Luaran Hasil


1 Smeets dkk.10 RCT, 598 KSB wajah 1. Rekurensi 1. Sebesar 3% lesi primer yang diterapi dengan bedah eksisi berbanding 2% lesi
2004 2. Biaya primer yang d iterapi dengan bedah Mohs mengalami rekurensi dalam
pemantauan 30 bulan
2. Sejumlah 4 lesi rekuren yang diterapi dengan bedah eksisi berbanding nol lesi
rekuren yang diterapi dengan bedah Mohs dalam pemantauan 18 bulan
3. Biaya yang dikeluarkan untuk bedah Mohs secara signifikan lebih tinggi s:
"'
dibandingkan terapi bedah eksisi �
"'
2 Bialy dkk.12 Analisis Kanker kulit non- 1. Biaya 1. Bedah Mohs lebih mahal dibandingkan bedah eksisi -ro·
3
2004 prospektif, 98 melanoma wajah 2. Efektivitas 2. Dengan memikirkan tingginya angka batas lesi yang masih positif sel kanker (!)

dan aurikular biaya setelah bedah eksisi primer, maka biaya bedah Mohs menjadi lebih cost-effective OJ
(!)
3 RCT, 612 KSB wajah 1. Biaya 1 . Biaya bedah Mohs lebih tinggi dibandingkan dengan bedah eksisi (p<0.01) c.
Essers dkk.11 "'
::r
2006 2. Efektivitas 2. Angka cost-effective bedah Mohs vs bedah eksisi belum mencapai 50% "O
"'
biaya c.
"'
4 Tildsley dkk. 21 Kohort, 23 KSB kelopak mata 1. Ukuran 1. Sebanyak 63,6% pasien dengan bedah Mohs memiliki ukuran jaringan yang :><:
"'

2010 jaringan yang diangkat lebih kecil dibandingkan dengan bedah eksisi "'"
diangkat 2. Defek pada bedah Mohs tidak lebih kecil dibandingkan dengan defek pada bedah �
:><:
2. Ukuran defek eksisi primer !:..
?.-"
5 Viola dkk.17 Retrospektif, Kanker kulit non- 1. Jenis terapi 1. Bedah Mohs meningkat dua kali lipat dari tahun 2001 sampai 2006
OJ
(!)
2012 26931 melanoma bedah 2. Pemilihan bedah eksisi meningkat pada kelompok usia yang lebih tua c.
"'
2. Karakter lesi 3. Bedah Mohs lebih sering dilakukan pada lesi di area bibir dan kelopak mata ::r
m
6 Wain dkk.22 Prospektif, 157 KSB 1. Batas bebas 1. Sebanyak 24% kasus masih ditemukan sel tumor pada batas lesi pascabedah "'"

�:
V>

2015 tumor eksisi


<
2. Rekonstruksi 2. Bedah Mohs memiliki hasil akhir yang lebih baik dibandingkan bedah eksisi dan V>
OJ
rekonstruksi pascabedah eksisi (!)
c.
"'
::r
KSB=karsinoma sel basal; N= jumlah kasus RCT=randomized-controlled trial
N s:
0
00 ::r
...... V>

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
Adhimukti T Sampurna, Amanda N Wardani

Beberapa studi lain nya m e m bandingka n rekurensi lesi tumor


dengan tera pi bedah m i krografi k Mohs dengan bedah e ksisi . Smeets
d kk. 10 pada stud inya men u nj u ka n angka rekurensi dalam 30 bulan
follow-up pada kasus KSB primer yang d itanga n i dengan bedah e ksisi
lebih tinggi dibandingka n bedah m ikrografik M ohs. Hasil serupa juga
ta mpak pada kelompok KSB rekuren, ya kn i a ngka reku rensi dalam 18
bulan follow-up pasca-bedah e ksisi lebih tinggi dibandingka n pasca
bedah m i krografi k Mohs.
Meskipun begitu, banyak stu d i lain nya yang membandingkan
efektivitas biaya dari tera pi bedah m i krografi k Mohs dengan terapi
bedah e ksisi. 11' 12 Secara u m u m , biaya ya ng d ibutu h kan u ntuk bedah
m i krografik Mohs lebih besa r dibandi ngka n dengan bedah eksisi. 10- 12
Hal i n i d isebabka n ka ren a bedah m i krografik Mohs memerl u kan
ketera mpilan khusus dan a lat ya ng lebih ca nggih dibandingka n bedah
eksisi. Pada bedah Mohs, ope rator waj i b memiliki ketera mpilan
bedah dan patologi aga r da pat menentukan batas sayata n bebas dari
sel kan ker. Keberhasilan dari bedah Mohs sangat dipengaru hi oleh
ketelitian operator dalam melaku kan seluruh tahap tindakan. 10-12 Studi
Essers d kk. 11 menilai efektivitas biaya dengan mempertimbangkan biaya
ta mbahan ya ng d ibutuhka n bedah m i krografi k Mohs dibandingkan
bedah eksisi u ntuk mencega h satu rekurensi. Hasil nya menunj u kan
bahwa angka efektivitas biaya bedah m i krografik Mohs tidak
bermakna j i ka d i bandi ngka n dengan bedah eksisi.

PENUTU P

Terdapat d u a moda l itas uta m a dalam tera pi ka nker ku l it, ya itu


bedah eksisi d a n bedah m ikrografi k M ohs. Masi ng-masing moda litas
memiliki kelebihan serta kekurangan tersendiri . Meskipun bedah
m ikrografik Mohs menunjukan angka kesu ksesa n ya ng lebih tinggi
dibanding bedah eksisi dalam mengeliminasi jaringan tu mor, namum
prosedu r tersebut masih kontroversi dalam hal cost-effective dibanding­
kan bedah e ksisi. Oleh karena itu, pemilihan modalitas terapi kanker
kulit harus dilaku kan secara bijaksana dengan mempertimbangkan
faktor sarana prasa ra na, jenis ka nker kulit, h ingga preferensi pasien.

282
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Manajemen Bedah pada Kanker Kulit: Bedah Eksisi vs Bedah Mohs

DAFTAR PUSTAKA
1. Poblete-Lopez C. Basic excisional su rgery. Da lam: Vidi mos AT, Ammirati CT,
Poblete-Lopez C, penyunting. Dermatologic su rgery. Edisi ke-1. Ohio: Elsevier;
2009. h. 123-37.
2. Rubin Al, Chen EH, Ratner D. Curent concept: Basal-cell carcinoma. N Eng J
Med. 2005;353: 1162-9.
3. Kallini JR, Hamed N, Khachemoune A. Squamous cell ca rcinoma of the skin:
epidemiology, classification, management, and novel trends. Int J Dermatol .
2015;54(2 ): 130-40.
4. Cockerell CJ, Tran KT, Carucci J, Tierney E, Lang P, Maize Sr JC, Rigel DS. Basal
cel l carci noma. Dalam: Rigel DS, Robinson J K, Ross M, Friedman RJ, Cockerell
CJ, Lim HW, Stockfleth E, Kirkwood J M, penyunti ng. Cancer of the skin, Edisi
ke-2: Elsevier Inc; 2011. h. 99 - 123.
5. National Comprehensive Cancer Network. N CCN Clinica l Practice Guidelines in
Oncology ( NCCN Gu idelines): Basal cell skin ca ncer. N ational Comprehensive
Cancer Network. 2017;Version 1 .2017.
6. American Medical Association. Mohs microgra phic surgery. CPT Assistant
2006; 16: 1-7.
7. Greenway HT, Maggio KL, La ne R. Mohs micrographic surgery and cuta neous
oncology. Da lam: Robinson J K, H a n ke CW, Siegel DM, Fratila A, penyunting.
Surgery of the skin, edisi ke-2 : Elsevier Saunders; 2010. h. 711-31.
8. Upjohn E, Taylor RS. Mohs surgery. Da lam: Rigel DS, penyunting. Cancer of
the skin, edisi ke-2: Elsevier I nc; 2011. h. 5 15-25.
9. Woodhouse JG, Vidi mos AT. Mohs microgra phic surgery. Dalam: Vidimos AT,
Ammirati CT, Poblete-Lopez C, penyunting. Dermatologic su rgery, Edisi ke-1:
Elsevier; 2009. h. 199-206.
10. Smeets NWJ, Krekels GAM, Ostertag J U, Essers BAB, Dirksen CD, N ieman
F H M,dkk. Surgical excision vs Mohs' microgra phic surgery for basal cel l
carcinoma of the face: Randomised control led tria l . Lancet. 2004;364:1766-
72.
11. Essers BAB, Di rksen CD, N ieman F H M, Smeets NWJ, Krekels GAM, Prins M H,
dkk. Cost-effectiveness of Mohs micrographic surgery vs surgical excision for
basa l cell carci noma of the face. Arch Dermatol . 2006; 142: 187-94.
12. Bialy TL, Whalen J, Veledar E, Lafreniere D, Spiro J, Chartier T, dkk. Mohs
micrographic surgery vs traditional surgical excision: A cost comparison
analysis. Arch Dermatol. 2004; 140:736-42.
13. Levy RM, Hanke CW. Mohs microgra phic surgery: Facts and controversies.
Clin Dermatol . 2010;28:269-74.
14. Connoly SM, Baker DR, Coldi ron BM, Fazio MJ, Storrs PA, Vidimos AT, dkk.
AAD/ACMS/ASDSA/ASMS 2012 appropriate use criteria for Mohs micrographic
surgery: A report of the American Academy of Dermatology, American College of
Mohs Surgery, American Society for Dermatologic Surgery Association, and the
American Society for Mohs Su rgery. J Am Acad Dermatol . 2012;67(4):531-50.

283
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Adhimukti T Sampurna, Amanda N Wardani

15. Kaplan AL, Weitzul SB, Taylor RS. Longitudinal dimunition of tumor size for
basal cell carcinoma suggests sh ifting referral patterns for Mohs surgery.
Dermatol Surg. 2008 Jan; 34( 1 ) : 15-9.
16. Zbar RI, Canady JW. N onmelanoma facial skin malignancy. Plast Reconstr
Su rg. 2008 Jan;121{1 Suppl): l-9.
17. Viola KV, Jhaveri M B, Soulos PR, Turner R B, Tolpi nrud WL, Doshi D, dkk . Mohs
microgra phic su rgery and surgical excision for nonmelanoma skin cancer
treatment in the medicare popu lation. Arch Dermato l . 2012; 148(4):473-7.
18. Tromovitch TA, Stegman SJ . Microscopic-controlled excision of cutaneous
tu mors: Chemosu rgery, fresh tissue tech niq ue. Cancer. 1978;41:653-8.
19. U pjohn E, Taylor RS. Mohs su rgery. Dal a m : Rigel DS, penyunting. Cancer of
the skin, Edisi ke-2. Elsevier Saunder; 2011.h.5 15-25.
20. Lee KK, Thomas VD, Swanson NA. Mohs micrographic surgery. Dalam: Wolf K,
Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, penyunting. Fitzpatrick's
dermatology in general medicine. Edisi ke-7. McGraw-Hill;2008. h.2315-19.
21. Tildsley J, Diaper C, Herd R. Mohs surgery vs primary excision for eyelid BCCs.
Orbit. 2010;29(3) : 141-6.
22. Wain RAJ, Tehra n i H. Reconstructive outcomes of Mohs surgery compa red
with conventional excision: A 13-month prospective study. J Plast Reconstr
Aesthet Surg. 2015;68:946-52.

284
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
STEM CELL DALAM BIDANG DERMATOLOGI

Sondang MH Aemilia Pandjaitan Sirait

PENDAHULUAN

Penelitian mengena i stem cell dalam bidang biomed i k telah


sedem ikian berke m bang hingga saat ini telah d igunaka n dalam
penelitian kl i n is. Berbagai stu d i m e n u nj u kkan hasil yang sangat
menjanj i ka n dalam mengobati berbagai penya kit, termasuk dalam
bidang dermatologi. Stem cell atau sel punca m e m i l i ki d u a
ka ra kteristik mendasar, yaitu m a m pu meregenerasi d i ri dan m a m p u
berdiferensiasi menjadi s e l a papu n . Dua ga rnet bila bertem u m a m pu
membentuk lebih dari 200 jenis ja ringan dalam tubuh m a n usia serta
memiliki potensi menjadi sel apa saja d a l a m suatu organ isme, oleh
sebab itu disebut toti pote n .

KLASIFIKASI

Sel punca da pat di klasifikasikan berdasarka n potensinya. untuk


berdiferensiasi, d i antara nya : 1
• Totipoten : sel pu nca yang m a m pu membelah d a n membentuk
berbaga i sel ya ng sudah terdiferensiasi, termasuk j a ri nga n
ekstraem brional, contohnya : zigot.
• Plu ri pote n : sel punca yang m e m i l i ki kem a mpuan berd iferensiasi
menjadi semua jenis sel d a ri tiga l a pis e m brional (ektoderm,
mesoderm, dan endoderm), ketidakmampuan untuk membentuk
jaringan ekstra-embrional misal nya plasenta merupakan keterbatasan
jenis sel punca i n i, contoh nya : sel punca e m brional .
• Multipoten: sel punca yang mampu berdiferensiasi menjadi beberapa
jenis lineage sel, m isa l nya sel pu nca hematopoietik yang da pat
berkembang menjadi berbaga i jenis sel d a ra h .
• Oligopote n : sel pu nca yang hanya m a m p u berd ifere nsiasi menjadi
beberapa jenis sel dalam satu t u ru n a n, m isal nya sel punca l i m foid

285
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Sondang MH Aemilia Pandjaitan Sirait

ya ng hanya dapat berd iferensiasi menjadi basofil, ne utrofi l,


eosinofil, monosit, dan trom bosit.
• U n i pote n : sel p unca i n i ha nya da pat berdiferensasi menjadi satu
jenis sel tertentu, m isalnya fi broblas menjadi fi brosit.

Berdasarkan sumbernya sel punca d i klasifikasikan menjad i : 1


• Sel punca e m b rion a l : yaitu sel punca p l u ripoten ya ng berasal dari
inner cell mass blastokista, ya ng merupakan e mbrio tahap awa l .
• Sel punca dewasa, d ibagi lagi men u rut l a pisan embrionalnya :
o Bers u m be r dari la pisan endodermal; contoh sel pu nca jenis i n i
a ntara l a i n 1) epitelial pul moner, 2 ) traktus gastroi ntestinal, 3 )
prostati k, 4) testikular, dan S )ova ria n .
o Bersu mber dari lapisan mesoderma l; contoh sel punca ini yaitu
1) hematopoietik, 2) stroma mesenki mal, 3) mesenkimal, 4)
prekursor mesenkimal, 5) sel p rogen itor dewasa m u ltipoten,
6) sumsum tula ng, 7) sel somatik feta l, 8) sel satelit dari otot,
9) kard i a k, 10) ja ringan adiposa .
o Bers u m be r dari lapisan e ktodermal; contoh sel punca ini
a ntara l a i n 1) sa raf, 2 ) kul it, dan 3 ) okular.
• Sel punca kan ke r yaitu sel punca yang d i identifikasi pada hampir
semua ka n ke r/tu mor.
• Sel punca induced pluripotent {IPSCs) merupakan jenis sel punca
pluripoten yang berasal dari sel punca non-pluripoten yang dikondisi­
kan secara artifisial dengan menginduksi ekspresi gen spesifik.

Stem Celb

Totipotent Pluripotent l\lullipotent I Oligopotent Unipotent

Abilil)' IO difltmllialt Ci\t riw 10 l etna la)tn AhUlly 10 dlfltn•tUlalt lnlo F.,. ctfl ly(1<
inlo ali 1)11ft of ctll; I. E<todmn many,rrb1tdttll l)'pn
t.C.Z)lOlt II. M..00.nn
Ill. Endodtm

Gambar 1. Klasifi kasi sel pu nca berdasarkan ke mampuan diferensiasi


menjadi berbagai lineage sel
* Di kutip d a ri kepusta kaan no.l

286
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Stem Cel l dalam Bidang Dermatologi

Sel punca memiliki bebera pa ciri, ya itu :


• Bel u m berdiferensiasi (tidak khusus menjadi satu jenis sel);
• Mampu bermultiplikasi untuk wa ktu yang lama, tan pa ber­
diferensiasi sehingga m a m p u menjadi ba nya k, tetapi tetap
bersifat sel pu nca; dan
• Mampu melaku kan pembelahan asi metrik (asymmetric divisions),
a rti nya sel keturu n a n nya sebagian tetap identik seperti i n d u knya,
sisanya a kan menjadi sel yang spesifi k.

Sebaga imana semua sel ya ng h i d u p, m a ka sel punca j uga a ka n


mengalami p roses penuaan (senescence) . Setelah beberapa ka l i
mitosis, sel pu nca a k a n berhenti m e m belah d i ri, a ki bat telomer ya ng
memendek. Bila DNA mencapai u ku ra n yang terl a l u kecil u nt u k
melanj utkan mitosis, maka akan berhenti membela h . S e l pu nca j uga
mengalami a poptosis, n a m u n belum d i keta h u i pasti a pakah sel yang
berasa l dari seorang yang lebih tua, bila d itransplantasikan kepada
seora ng yang lebih muda akan m e m i l i ki "ta ngga l kada l u a rsa" . 2

SUMBER SEL PUNCA

Kulit merupakan sa lah satu sumber sel p unca, baik epidermal,


mesenchimal stem cells (MSCs) d i derm is, dan sel pu nca melanositik.
Dalam bidang d ermatologi, dermis dan jaringan lemak bawa h k u l it
merupakan dua sumber uta m a sel punca, bahkan dermis m e m i l i ki
reservoir sel pu nca yang lebih besar d i band ingka n epidermis dan
bulge pada fol i kel ra m but. 3 M SCs merupaka n ya ng paling sering
digunakan, ka rena m e m i l i ki potensi untuk berdiferensiasi luas, bila
ditransplantasi kan pada hewan coba, menunj u kkan kemampuan migrasi
ke daerah trauma. 4
Tali pusat ( umbilical cord/UC) dan dara h tali pusat (umbilical
cord blood/UCB) j uga meru pakan s u m be r sel pu nca ya ng potensia l .
UC merupakan ca m p u ra n berbagai sel punca d a n sel p rogen itor pada
berbagai lineage, seh i ngga merupaka n s u m be r ya ng baik untuk
aplikasi tissue engineering. UCB merupaka n sel punca fetal perta ma
ya ng digunakan, di dalamnya terka n d u ng M SCs ya ng lebih banyak
dan lebih berpotensi u ntuk d iferensiasi d i bandi ngka n sel punca

287
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Sondang MH Aemilia Pandjaitan Sirait

sumsum tulang.
Sumsum tulang d a h u l u dianggap sebaga i sumber sel punca
ya ng uta ma. N a m u n seka ra ng, d i keta h u i sel pu nca asal lemak
memiliki plastisitas dan j u m l a h ya ng lebih banyak, maka penggunaan
sel punca asal lemak (adipose derived stem cells/ASCs) sema kin
populer. Dita mbah keu ntungan j u m l a h lemak adi posa yang banyak
dan mudah didapat dengan prosed u r m i n i m a l i nvasif. Lemak tersebut
j uga da pat diproses dengan sentrifugasi dan penambahan enzim
kolagenase untuk mendapatka n pellet yang melekat pada dasar
tabung yang d isebut stromal vascular fraction (SVF). Saat ini j uga
d i ke m bangka n berbaga i metode non-enzimatik untuk mengekstra ksi
SVF. 4 Perbedaan uta ma a ntara SVF dengan ASCs adalah kadar CD45 +
yang ti nggi dalam SVF d a n kada r rendah atau bahkan tidak terdeteksi
dalam ASCs. 5 Potensi lain penggunaan sel punca ya ng berasa l dari
kulit d a n adi posa adalah bila ada terorisme nuklir dan ga ngguan
sumsum tulang akibat obat-obata n/radiologi, maka reservoir sel
punca tetap ada pada kulit dan lemak bawah kulit. 3
Sta ndarisasi sel punca dalam translational medicine
d iteta pkan oleh International Federation for Adipose Therapeutics
and Science ( I FATS) d a n International Society for Cellular Therapy
( ISCT) yaitu h a rus m e m i l i ki via bilitas sel > 70% u ntuk SVF d a n > 90%
untuk ASCs. Selain itu frekuensi progen itor stromal yang dianalisis
dengan fibroblast colony forming unit assay (CFU-F) d i h a rapkan > 1%
pada SVF dan > 5% pada ASCs. Karakteristik profil penanda pri mer
SVF u ntu k sel stromal j uga diteta pkan h a rus mencakup: CD 13, CD29,
CD44, CD73, C D90 positif (> 40%), and C D34 positif (> 20%), tetapi
CD31 (< 20%) dan C D45 negatif (<SO) . Seba li knya ASCs harus positif
terhadap CD13, CD29, CD44,CD73, CD90, dan CDlOS (> 80%), serta
negatif terhadap CD31, CD45, and CD235a (< 2%). 5

SCAFFOLD/CONDUIT

Sel dalam li ngkungan asli nya d i ke l i l i ngi oleh matri ks ekstra ­


sel u l a r, serta merupakan suatu stru ktur 3 d i mensi yang terd i ri atas
molekul jari ngan ikat ya ng membentuk scaffold u ntuk berbaga i sel .
Oleh sebab itu scaffold yang d ibuat secara sintetis harus dapat

288
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Stem Cel l dalam Bidang Dermatologi

mem bentuk struktur 3 d imensi tersebut u ntuk menyokong


pertumbuhan sel (perlekatan dan proliferasi) . Scaffold i n i a ka n
didegradasi, diresorbsi, dan akan digantikan oleh jaringan yang baru .
Materi scaffold alami dapat terbuat dari polipeptida dan polisakarida,
contohnya seperti kolagen dan asa m hialuronat. Scaffolds harus
mampu menyediaka n sej u mlah growth factors dan sitokin yang sangat
penting u ntuk pertumbuhan Jannga n . Bebera pa penelitian
mengombinasika n scaffold dengan growth factors dan sel punca, bai k
secara in vivo maupun in vitro. 6
Stocchero menyatakan Scioli d kk. menggu nakan sel punca yang
ditanamkan pada gel scaffold kolagen tipe 1, secara spontan
berproliferasi ke a rah kondrogenesis dan osteogenesis. Pena m bahan
platelet rich plasma (PRP) mempercepat dan memperkuat diferensiasi
ke arah osteogenik dan endotelial. U ntuk penyembuhan I u ka dapat
menggunaka n scaffold serat polycaprolactone atau �tricalcium
phosphate, masing-masing dengan penambahan PRP. Terdapat 2
kelompok scaffold yaitu aselular dan sel ular. U ntuk pem bentukan
jaringan, scaffold aselular bergantung kepada sel resipien, seda ngkan
scaffold selular bertindak sebagai bahan dasar u ntuk transpla ntasi sel.
Keberhasilannya bergantung kepada a ktivitas sel. Berbagai usaha
dilakuka n untuk mengem bangkan scaffold dan popu lasi sel melalui
tissue engineering, u ntuk memperba i ki jaringan ya ng rusak. 4

EFEK SAMPING PENGGUNAAN SEL PUNCA

Dalam penelitian ex vivo, ekspansi sel punca manusia yang berasal


dari adiposa maupun sumsum tulang, bila d i kultur berkepanjangan
(passage > 4 bulan), dapat mengalami transformasi maligna dan
membentuk tumor ganas pada tikus imunodefisien . Demikian pula sel
punca pluripoten m a n usia, bila d isuntikkan pada tikus i m u no­
kom proma is, da pat menimbulka n teratom a . 4

APLIKASI SEL PUNCA DALAM DERMATOLOGI

Dalam bidang dermatologi, sel punca telah banyak digunaka n,


seperti untuk penyembuhan Iuka, u l kus dia betikum, ulkus kronik, u l kus

289
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Sondang MH Aemilia Pandjaitan Sirait

a kibat radiasi, fistula, dan lain-lai n . Sel punca juga memiliki kemampuan
imunosupresi, dan pada penyakit graft versus host penggunaannya
memberi hasil sangat bai k hingga follow up 40 bulan. Epidermolisis
bulosa diobati dengan sel punca autologous yang telah direkayasa
genetik memberikan hasil baik, walaupun baru secara lokal. ASCs dan
SVF yang ditambahkan pada fat graft juga memberikan hasil graft lebih
baik dan bertahan lama . ASCs/SVF enriched fat transfer telah digunakan
pada kasus jaringan parut, skleroderma, hemifasial atrofi, sindroma
Parry Romberg, augmentasi payudara, augmentasi wajah pada aging
skin, dan berbagai kondisi hilangnya jaringan. Sel punca memiliki sifat
homing ke daerah yang mengalami kerusa kan, bah kan neural stem cells
dan BMSCs homing ke daerah kan ker. Saat ini sedang d i kembangkan
M SCs ya ng d i re kayasa genetik u nt u k m engobati berbagai jenis
ka n ker. 3
Penggunaan jaringan lemak bawah kul it, yang di dalamnya
terkandung sel p u nca, dapat dengan ca ra mengaplikasikan lemak
seca ra la ngsung dengan d isuntikka n . Da pat pula dengan
menggu n a ka n SVF yang diekstra ksi dari lemak adi posa dengan
metode enzimat i k dan non-enzimatik. SVF j uga dapat dibiakka n di
laboratoriu m yang sesuai dengan sya rat good manufacturing process
{ G M P ) d a n menghasi l ka n ASCs dalam j u mlah yang sangat banyak. J uga
dapat dengan hanya menggunakan media pembiakannya yang
mengandung banyak growth factors. Semua metode ini dapat dipakai
secara terapetik dalam bidang dermatologi, misalnya untuk tata laksana
Iuka kronik, dapat dengan menggunakan lemak yang disuntikkan di
dasar Iuka, SVF/ASCs/sekret hasil dari sel punca (growth factors) yang
disuntikkan, ditempelka n dengan scaffold tertentu atau dioleskan
langsung pada I u ka .
Transplantasi sel punca memiliki cara kerja utama melalui
mekanisme para krin, karena adanya sekret sel yang berfungsi
angiogenik. Sekresi ASCs yang secara bermakna membantu
angiogenesis a ntara lain adalah vascular endothelial growth factor
(VEGF), hepatocyte growth factor (HG F), stromal derived factor-1
(SDF-1), d a n transforming growth factor- � {TG F-�). 7 Sela i n itu, ASCs
mensekresikan berbagai faktor pert u m b u h a n l a i n nya dalam kadar
ya ng ti nggi, di a ntara nya epidermal growth factor ( EG F), basic

290
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Stem Cell dalam Bidang Dermatologi

fibroblast growth factor (bFG F), keratinocyte growth factor ( KG F),


platelet-derived growth factor (PDGF), hepatocyte growth factor
( HG F), insulin growth factor (IG F), d a n brain-derived neurotrophic
factor ( B D N F ) . Berbagai fa kto r i n i disekresi ka n dalam kadar bioa ktif
dan mem beri kan efek a ngioge n i k dan a nti-a poptoti k serta sekresi nya
meningkat seca ra sign ifi ka n dalam kondisi h i poksik. 8 J u m l a h ASCs
optimal u ntuk angiogenesis ya ng efisien masih d i perdebatka n . 7 Selain
potensi sti m u lasi a ngiogenesis, juga terda pat fu ngsi i m u nomodu lasi
yang akan berma nfaat pada proses regenerasi jaringa n . 9 Beberapa
faktor juga berpengaruh terhadap keberhasilan isolasi sel punca dalam
jumlah adekuat yaitu usia, jenis kelamin, dan riwayat penyakit.
Pemilihan lokasi operasi, teknik operasi, dan media kultur dapat
meningkatkan ata u mem batasi potensi proliferasi d a n plastisitas
ASCs. 6

PENUTUP

Sel punca memil iki potensi ya ng sa ngat besar dalam


translational medicine dalam berbagai bidang i l m u kedokteran .
Ba nya k peneliti saat i n i masih menggu n a ka n m etode isolasi, ku ltur,
cara aplikasi yang berbeda-beda, serta bel u m tersta ndarisasi.
Penelitian masih terus berlangsung u ntuk menjawab kebutuhan
dunia medis. Penelitian klinis dengan sel punca perlu terus d i la ku kan
khususnya dalam bidang dermatologi, karena sumber terbanya k ada
pada kulit dan jari nga n lemak bawa h kulit, serta potensi nya u nt u k
mengobati berbaga i kelainan kulit . (Strength of recommendation B,
level of evidence 2)

DAFTAR PUSTAKA
1. Singh RK, Gaikwad SM, Chatterjee S, Ray P. Stem cells: The holy grail of
regenerative medicine. Da lam: Cai W, penyunting. Engineering in tra nslational
medici ne. London: Spri nger-Verlag. 2014; h . 19-20.
2. Eridani S. Stem cell a p lication: An overview. Dala m : Sh iffma n MA, Giuseppe A,
Bassetto F. Stem cells in aesthetic procedures. Berlin Heidelberg: Spri nger­
Verlag; 2014.h . 3-17.
3. Sell heyer K, Krahl D. Skin mesenchymal stem cel ls: Prospects for cli nical
dermatology. J Am Acad Dermatol 2010;63 :859-65.

291
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
Sondang MH Aemilia Pandjaitan Sirait

4. Stocchero IN, Stocchero GF. Isolation of stem cells from human adi pose tissue:
Tech nique, problems,and pearls. Dalam: Adipose stem cells and regenerative
medicine. Berlin Heidelberg: Spri nger. 201 1, h. 13-18.
5. Bourin P, Bunnel BA, Casteilla L, Dominici M, Katz AJ, March KL, dkk. Stromal cells
from the adipose tissue-derived stroma l vascular fraction and culture expanded
adipose tissue-derived stromal/stem cells: A joint statement of the International
Federation for Adipose Therapeutics (I FATS) and Science and the International
Society for Cellular Therapy (ISCT). Cytotherapy. 2013;15(6) :641-8.
6. Gentile P, Scioli M G, Bielli A, Orlandi A, Cervelli V. Concise review: The use of
adipose-derived stromal vascu lar fraction cel ls and platelet rich plasma in
regenerative plastic surgery. Stem Cell, Traslational and Clinical Research.
2016; h. 1-18. DOI : 10. 1002/stem. 2498. [Epub ahead of print]
7. Aktan TM, Daman S, Cihanti m u r B. Cellular a n d molecu lar aspects of adi pose
tissue. Dalam: l l lous VG, Sterodimas A, penyunting. Adipose stem cells and
regenerative medicine. Berlin: Springer Verlag; 201 1 . h . l-13.
8. Oberbauer E, Steffenhagen C, Wurzer C, Gabriel C, Redl H, Wolbank S.
Enzymatic and non-enzymatic isolation systems for adipose tissue-derived
cells: Current state of the a rt. Cell Regen (Lond). 2015 Sep 30;4:7.
9. Riordan N H , lchim TE, M i n WP, Wang H, Solano F, Lara F, dkk. Non -expanded
adipose stromal vascu lar fraction cell therapy for mu ltiple sclerosis. J
Tra nslational M ed icine. 2009;7:29.

292
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
for internal-private use, not for commercial purpose
:,
Gerreti
M E LAS O L
Kri m Tab i r Su rya
Su n Cream

//Sebelum Beraktivitas, �
Gerretl
Gunakan Melasol..."

���,:�L I
Tabir surya spectrum luas SPF 20/ PA++

Melindungi k u l i t dari paparan UVB dan UVA

I
Sun C1<"""
Krim mudah discrap, tekstur tidak berminyak

""'"'', .... .
Melembabkan, dapat digunakan sebagai dasar "make up"

H i poalerge n i k, " PABA free"

Nila! SPF & PA Meiasol Suncream telah di venfikasi d1 Oepartement fll'l1\akologl & Terap/ FKUI Jakarta
yang mengaw pada metoOe pengukuran nila1 Sunscreen USA.

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose
15ililil1lmii iITiTiffi,
9 786029 846881

"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"


for internal-private use, not for commercial purpose

Anda mungkin juga menyukai