Anda di halaman 1dari 14

INFEKSI OPORTUNISTIK

Definisi
Infeksi oportunistik adalah infeksi oleh organisme yang biasanya tidak menyebabkan
penyakit tetapi pada keadaan tertentu, misalnya gangguan sistem imun dapat menjadi
patogenik.
Dalam tubuh kita membawa banyak organisme seperti bakteri, parasit, jamur, dan
virus. Sistem imun yang sehat mampu mengendalikan semua organisme ini. Tetapi sistem
imun lemah yang disebabkan oleh penyakit HIV atau obat tertentu, kuman ini mungkin tidak
terkendali lagi dan menyebabkan masalah kesehatan. ( Syivia vol 2)
Human immunodeficiency virus (HIV) merupakan patogen yang menyerang sistem
imun manusia, terutama semua sel yang memiliki penanda CD4+ dipermukaan seperti
makrofag dan limfosit T sementara Acquired Immunodeficiency syndrome (AIDS) kumpulan
gejala penyakit yang disebabkan oleh HIV. Virus ini merusak sistem imun tubuh manusia
sehingga tubuh mudah diserang penyakit penyakit lain yang berakibat fatal atau merupakan
suatu kondisi sindrom imunosupresif yang berkaitan erat dengan berbagai infeksi oportunistik
dan manifestasi neurologik. Penderita infeksi HIV dinyatakan sebagai penderita AIDS ketika
menunjukkan gejala atau penyakit tertentu yang merupakan akibat penurunan daya tahan
tubuh yang disebabkan virus HIV atau tes darah menujukkan jumlah CD4 < 200/mm3
Etiologi
AIDS menyebabkan dekstruksi progresif fungsi imun. Mortalitas dan mordibitas
disebabkan oleh infeksi oportunistik yang timbul karena gagalnya surveilans dan kerja sistem
imun. Pasien dengan AIDS rentan terhadap beragam infeksi protozoa, bakteri, fungus, dan
virus. Infeksi ini bersifat menetap, parah dan sering kambuh. IO dapat disebabkan oleh
bakteri (mis. tuberculosis, infeksi salmonella,dll), virus (mis. herpes simplex virus, oral hairy
leukoplakia, sitomegalovirus, dll), jamur (mis. kandidiasis, kriptokokosis, pneumocystis
jiroveci, dll), parasit (mis. kriptosporidiosis, dll), dan beberapa kondisi klinis lainnya berupa
malignansi (mis. non-hodgkin limfoma, sarkoma kapossi, dll). Dan juga IO dapat menyerang
berbagai macam organ, seperti saluran napas, saluran pencernaan, neurologis, kulit, dan lain
sebagainya

Epidemiologi
Infeksi oportunistik (IO) merupakan penyebab kematian utama pada penyandang
AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) dengan persentase 90%.1 Pada tahun 2005,
infeksi oportunistik yang dominan muncul pada penyandang AIDS ialah tuberkulosis paru
(50%), hepatitis (30%), kandidiasis (25%), pneumonia (33%), diikuti oleh diare kronis, dan
tuberkulosis ekstra paru.2 Beberapa faktor yang mempengaruhi timbulnya IO pada pasien
AIDS ialah status gizi, kadar sel T CD4+, faktor risiko penularan, jenis kelamin dan rentang
usia.3 Terapi penanggulangan AIDS masih terbatas pada pencegahan kematian dengan
mengurangi

risiko

infeksi

oportunistik.

Jumlah

penyandang

HIV/AIDS

(Human

Immunodeficiency Virus / Acquired Immuno deficiency Syndrome) semakin meningkat dan


menjadi pandemi global. Joint/United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS)
melaporkan terdapat sekitar 34 juta individu terinfeksi HIV dan 8 juta individu menyandang
AIDS di dunia pada tahun 2012. Di Indonesia, terdapat 39.434 penyandang AIDS hingga
tahun 2012, sedangkan di Sumatera Barat terdapat 788 penyandang AIDS pada tahun 2012.
Jumlah kematian akibat AIDS di dunia pada tahun 2006 ialah sekitar 2,6 juta. Angka
mortalitas penyandang AIDS di Indonesia adalah 7.293 hingga September 2012. Selain itu,
sekitar 715 penyandang AIDS meninggal dunia di Sumatera Barat pada tahun 2010.
Kematian penyandang AIDS tidak kunjung mencapai angka nol dan menjadi lima besar
penyebab mortalitas pada anak dan dewasa di dunia. Penyakit AIDS merupakan tahapan
akhir dari kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh
akibat infeksi HIV. Kondisi penurunan sistem imun pada penyandang AIDS terjadi akibat
destruksi sel T CD4+ yang memiliki afinitas tinggi terhadap HIV. Virus ini akan menempel
pada sel limfosit T karena terdapat reseptor CD4+ terhadap gp 120 pada permukaan luar HIV.
Penyebab kematian pada penyandang AIDS adalah penurunan sistem imunitas secara
progresif sehingga infeksi oportunistik dapat muncul dan berakhir pada kematian. Infeksi
oportunistik muncul dengan bentuk infeksi baru oleh mikroorganisme lain (bakteri, fungi dan
virus) atau reaktivasi infeksi laten yang dalam kondisi normal dapat dikontrol oleh sistem
imun

sehingga

tidak

menimbulkan

manifestasi.

Munculnya

infeksi

oportunistik

mengindikasikan adanya efek pada imunitas yang dimediasi sel akibat imunodefisiensi dan
berhubungan dengan jumlah sel T CD4+. Disebutkan dalam penelitian tersebut bahwa infeksi
oportunistik merupakan penyebab kematian utama pada penyandang AIDS. Oleh karena itu
perlu dilakukan penelitian terhadap infeksi oportunistik yang menyebabkan kematian pada
penyandang AIDS.(1-8 jurnal unpad)
2

Patogenesis dan patofisiologi


HIV menyerang sel sel dengan reseptor CD4+ terutama limfosit T dan monosit/
makrofag, namun juga menginfeksi sel lainnya, seperti megakariosit, epidermal langerhans,
dendrit perifer, dendrit folikuler, mukosa rektal, mukosa saluran cerna, sel serviks mikroglia,
astrosit, sel trofoblas, limfosit CD8+, sel retina, dan epitel ginjal.
HIV memiliki struktyur gp 120 yang akan berikatan dengan CD4+. Ikatan tersebut
diperkuat oleh ikatan dengan koreseptor sel inang, yaitu reseptor kemokin CCR5 dan reseptor
CXCR4. Ikatan dengan koreseptor dibutuhkan untuk penggabungan virus dengan membran
sel agar virus dapat masuk ke dalam sel inang. Setelah berikatan dengan kuat, terjadilah fusi
membran virus dan seluruh komponen HIV akan masuk kedalam sitoplasma sel inang,
kecuali selubungnya.
Didalam sel inang, ssRNA virus akan mengalami proses transkripsi dengan perantara
enzim reverse transcriptase hingga terbentuk seuntai cDNA. Setelah itu, DNA yang
terbentuk akan pindah dari sitoplasma ke dalam inti sel inang dan menyisip ke dalam DNA
sel inang dengan bantuan enzim integrase, yang disebut juga sebagai provirus. Provirus
tinggal dalam keadaan laten atau dalam keadaan replikasi yang sangat lambat, tergantung
pada aktivitas dan diferensiasi sel inang yang terinfeksi. Sampai suatu saat, terjadilah suatu
stimulasi yang dapat memicu terjadinya replikasi virus dengan kecepatan tinggi, seperti
pengaruh beberapa sitokin proinflamatorik (IL-1, IL-3, IL-6, TNF- dan , TGF , IFN-
dan macrophage colony stimulating factor).
Provirus yang terintegrasi dalam DNA sel target akan ikut proses transkripsi sel inang.
Hasil transkripsi tersebut memiliki dua peran, yaitu sebagai RNA genom yang nantinya
tergabung dalam virion, dan sebagai mRNA yang menyandi protein-protein virus. RNA
genom dn protein-protein virus tersebut akan menjadi virus HIV yang baru.
Pada individu dewasa masa jendela infeksi HIV sekitar 3 bulan. Seiring
pertambahannya replikasi virus dan perjalanan penyakit, jumlah sel limfosit CD4+ akan terus
menurun. Umumnya, jarak anatara infeksi HIV dan timbulnya gejala klinis AIDS berkisar
antar 5-10 tahun.
Infeksi primer HIV dapat memicu gejala infeksi akut yang tidak spesifik seperti
demam, nyeri kepala, faringitis dan nyeri tenggorok, limfadenopati, dan ruam kulit. Fase akut
tersebut dilanjutkan dengan periode laten yang asimtomatis, tetapi pada fase inilah terjadi
3

penurunan penurunan jumlah sel limfosit CD4+ selama bertahun-tahun hingga terjadi
mnaifestasi klinis AIDS akibat defisiensi imun (berupa infeksi oportunistik). (KAPITA
SELEKTA HAL 573-574 & PATOF Silvya vol.1 hal 227-230).
Manifestasi Klinik
Menurut The Center of Disease Control (CDC), setelah terpapar HIV, penderita tidak
secara langsung menimbulkan gejala klinis AIDS. Ada beberapa tahapan infeksi HIV sampai
timbulnya manifestasi klinis; yaitu tahap infeksi HIV akut, infeksi HIV asimtomatik (masa
laten) yang tidak menimbulkan gejala, limfadenopati (radang kelenjar getah bening) yang
persisten dan menyeluruh, sampai akhirnya timbul tanda-tanda penyakit yang menakutkan
pada pasien, yaitu tahap AIDS.
a. Infeksi HIV akut
Sekitar dua sampai enam minggu setelah terinfeksi (biasanya dua minggu), akan
terjadi sindrom retroviral akut. Lebih dari setengah orang yang terinfeksi HIV akan
menunjukkan gejala infeksi primer yang bervariasi seperti demam, adenopati, faringitis,
kelainan kulit, diare, sakit kepala, mual dan muntah, hepatosplenomegali, penurunan berat
badan, gangguan jamur di rongga mulut, dan gejala neurologis (nyeri kepala, nyeri belakang
kepala, depresi). Gejala ini tidak spesifik pada infeksi HIV saja, tetapi juga akan terjadi pada
infeksi retrovirus lain. Setelah dua sampai enam minggu gejala dapat menghilang disertai
serokonversi, dengan atau tanpa pengobatan.
Setelah terinfeksi HIV, ada saat dimana pemeriksaan serologi antibodi HIV terhadap
pasien menunjukkan hasil negatif, sementara virus sebenarnya telah ada dalam tubuh hospes.
Fase ini disebut periode jendela (window period), yaitu penderita sudah dapat menularkan
HIV kepada orang lain walaupun pemeriksaan antibodinya menunjukkan hasil negatif.
Periode ini dapat berlangsung selama tiga sampai dua belas minggu.
b. Infeksi HIV asimtomatik (masa laten)
Terdapat jeda waktu yang panjang pada pasien, yang mana pasien tidak mengalami
manifestasi fisik dari infeksi, tapi tetap anti-HIV positif. Sebagian besar pengidap HIV berada
pada fase laten ini tidak terlihat gejala pada pasien. Penderita terlihat sehat, dapat melakukan
aktivitas secara normal, namun sudah dapat menularkan virus kepada orang lain. Jumlah
virus di dalam darah dan jaringan limfoid pasien berada dalam batas rendah dan jumlah CD4

limfosit masih berada dalam batas normal. Masa laten klinis ini dapat terjadi selama dua
minggu sampai delapan tahun atau lebih.
c. Fase simtomatik dini (Limfadenopati persisten yang menyeluruh)
Limfadenopati atau pembesaran kelenjar getah bening didefinisikan dengan adanya
nodus limfe yang berdiameter lebih dari satu sentimeter pada dua atau beberapa daerah ekstra
inguinal selama lebih dari tiga bulan, tetapi tidak terdapat penyakit atau kondisi lain selain
infeksi HIV yang menjelaskan alasan dari keadaan tersebut. Dan juga terdapat gejala
konstitusi yang signifikan misalnya demam menetap, keringat malam, diare, penurunan berat
badan, dan mencerminkan dimulainya dekompensasi sistem imun, peningkatan replikasi
virus, dan awitan penyakit AIDS yang lengkap.
d. Infeksi HIV simtomatik (AIDS)
Pada fase ini terjadi perubahan progresif dalam pengaturan kekebalan tubuh yang
disebabkan oleh limfopenia sel-T, dan berkurangnya fungsi T-cell helper ini yang
mengakibatkan AIDS berkembang sepenuhnya. Penyakit ini ditandai oleh infeksi-infeksi
oportunistik dan kerentanan terhadap bentukbentuk kanker tertentu. Jumlah CD4 pasien
sudah berada pada taraf kritis, hingga dibawah 200sel/ul darah.
Beberapa penyakit yang dapat timbul pada pasien seperti di bawah ini:

Subgrup A : Penyakit Konstitusional


Gejala-gejala seperti demam atau diare yang persisten selama lebih dari satu bulan
atau penurunan berat badan yang lebih dari 10% dari berat ideal pasien sebelum sakit, yang
tidak terdapat infeksi atau penyakit lain yang dapat menjelaskan alasan keadaan tersebut,
selain infeksi HIV/AIDS.
Subgrup B : Penyakit Neurologi
Banyak pasien yang mengalami simtom neurologi sebelum mengalami tanda infeksi
HIV lainnya. Pada mulanya pasien akan mengalami kehilangan memori, sulit berkonsentrasi,
menarik diri dari pergaulan sosial, dan letargi. Tanda awal tersebut sering dianggap sebagai
suatu depresi dan biasanya diabaikan, sampai akhirnya berkembang menjadi gangguan yang
lebih dramatis seperti demensia yang hebat dan keterbelakangan psikomotor. Gangguan
motoris pada mulanya terlihat dari hilangnya koordinasi, tremor, langkah yang goyah, dan
bahkan dapat berkembang menjadi ataksia dan paraplegia yang hebat.

Subgrup C : Penyakit Infeksi Sekunder (Infeksi Oportunistik)


Organisme yang relatif nonvirulen dalam tubuh dapat mengakibatkan infeksi yang
hebat dan mengancam jiwa pada pasien yang sistem imunnya sudah rusak akibat HIV. Infeksi
oportunistik yang sering dijumpai antara Pasien dengan AIDS rentan terhadap beragam
infeksi protozoa, bakteri, fungus, dan virus.
Pneumonia pneumocystis cranii (PPC) adalah infeksi serius yang paling sering
didiagnosis pada pasien dengan AIDS. Pada AIDS gejalanya demam, intoleransi olahraga,
batuk kering non produktif, rasa lemah, dan sesak napas bersifat indolen atau berkembang
bertahap. Pasien yang dicurigai positif HIV tingkat kecurigaan pada PPC harus tinggi. Terapi
proflaktif dan supresif sangat penting karena keparahan dan kekerapan PPC pada pasien
AIDS. Trimetoprim- sulfametoksazol merupakan obat pilihan. Pentamidin adalah obat
alternatif yang dapat diberikan secara parenteral atau dalam bentuk aerosol pada kasus yang
ringan.
Toxoplasma gondii umumnya asimtomatik, walaupun sebagian mengalami
limfadenopati. Belum ada profilaksis untuk infeksi ini. Pasien dengan AIDS memiliki resiko
30% terjangkait toksoplasmosis dalam masa 2 tahun, biasanya sebagai reaktivitas
sebelumnya. Pada pasien AIDS terjadi pasien SSP yang ditandai dengan lesi tunggal atau
jamak yang dapat diamati dengan CT-scan.
Cryptosporidium, Microsporidium, dan Isospora belli merupakan protozoa tersering
menginfeksi saluran cerna dan menimbulkan diare pada pasien HIV. Infeksi menular melalui
rute feses oral, kontak sesual, makanan, minuman, atau hewan. Infeksi dapat menimbulkan
gejala beragam, dari diare swasirna atau intermitten pada tahap tahap awal infeksi HIV
sampai diare berat yang mengancam nyawa pada pasien dengan gangguan kekebalan yang
parah.
Mycobacterium tuberculosis penyebab tuberculosis bersifat endemik di lokasi lokasi
geografik tertentu, dan dari sebagian besar kauss TB AIDS merupakan rekativasi infeksi
sebelumnya. TB-AIDS biasanya merupakan tanda awal AIDS, terjadi saat sel T relatif masih
tinggi (lebih dari 200/l ). Manifestasi TB-AIDS serupa dengan TB normal, dengan 60%
sampai 80% pasien mengidap penyakit paru. Namun penyakit ekstraparu dijumpai pada 40%
sampai 75% pasien dengan infeksi HIV , yaitu terutama dalam bentuk TB limfatik dan TB
milier. Psien berespons baik terhadap regimen obat tradisional yaitu isoniazid (INH),
rifampicin, pirazinamid, dan etambutol. Pasien yang beresiko tinggi terjangkit TB dapat
6

memperoleh manfaat dari pemberian INH profilaksis. Seiring dengan timbulnya AIDS yang
disertai menurunnya imunokompetensi, banyak pasien menjadi anergik, dengan demikina uji
kulit PPD memiliki masalah tersendiri. Uji PPD yang positif pada orang yang terinfeksi HIV
didefinisikan sebagai daerah indurasi dengan garis tengah sama atau lebih besar daripada 5
mm, uji negatif tidak menyingkirkan infeksi TB. Pasien yang terinfeksi HIV dengan biakan
sputum positif dan sputum BTA positif mungkin memperlihatkan gambaran radiografi toraks
yang normal.
Infeksi fungus mencakup kandidiasis, kriptokokosis dan histopalsmosis. Kandidiasis
oral sering terjadi pada pasien AIDS yang menyebabakan kekeringan dan iritasi mulut.
Kandidiasis bronkus, paru, trakea, atau esofagus patognomonik, untuk diagnosis AIDS.
Pasien jarang mengalami penyakit sistemik. Infeksi Crytococcus neoformans terjadi pada 7%
pasien AIDS, dengan gambaran utama berupa meningitis. Terapi dengan flukonazol hanya
menghasilkan profilaksis berbatas baik untuk infeksi Cryptococcus neoformans maupun
kandidiasis oral.
Infeksi oportunistik yang disebabkan oleh invasi virus sangat beragam dan merupakan
penyebab semakin parahnya patologi yang terjadi. Infeksi oleh Herves simplex virus (HSV)
pada pasien AIDS bisanya menyebabkan ulkus genital atau perianus yang mudah didiagnosis
dengan biakan virus. HSV dapat menyebar melalui kontak kulit langsung, HSV juga
menyebabkan esofagitis serta dapat menimbulkan pneumonia dan ensepalitis. Asiklovir
adalah obat pilihan untuk HSV dan herpes zoozter.
Pada sesorang yang terinfeksi HIV timbulnya herpes zooster (shingles) dapat
mennadakan perkembangan penyakit. Infeksi kulit dan mata mendahului infeksi infeksi
oportunistik.
Subgrup D : Kanker Sekunder
Diagnosis dari satu atau beberapa kanker yang terbukti mempunyai hubungan dengan
infeksi HIV merupakan indikator dari hilangnya imunitas sel sebagai mediator. Infeksi kanker
sekunder yang sering terjadi adalah Sarkoma Kaposi, limfoma non-Hodgkin, atau limfoma
primer dari otak.
- Subgrup E : keadaan lain pada Infeksi HIV
Tanda klinis dari penyakit, yang tidak diklasifikasikan seperti di atas, dapat berperan
pada infeksi HIV dan merupakan indikator dari cacat pada imunitas sel sebagai mediator
pasien, simptom yang berhubungan dengan infeksi HIV termasuk Pneumositis interstisial
7

limfoid kronis dan simtom-simtomnya, dan penyakit infeksi sekunder dan neoplasma lain
yang tidak tercantum di atas.
Diagnosis
Diagnosis HIV/AIDS di negara berkembang
Diagnosis sering terlambat karena :
-

Diagnosis klinis dini sulit karena periode asimptomatik yang lama.


Pasien enggan / takut periksa ke dokter
Sering pasien berobat pada stadium AIDS dengan infeksi oportunistik yang sulit

didiagnosis karena :
Kurang dikenal
Manifestasi klinis atipikal
Sarana diagnostik kurang

Diagnosis klinis
Curiga AIDS secara klinis :
-

Batuk lebih dari 2 3 minggu


Penurunan berat badan menyolok > 10 %
Panas > 1 bulan
Diare > 1 bulan
Perhatikan : kandidiasis oral
Herpes zooster yang luas, kambuhan
Sariawan rekuren dan berat

Curiga AIDS secara klinis :


-

Penyakit kulit :
Dermatitis seborroik kambuhan,
Psoriasis
Prurigo noduler,
Dermatitis generalisata
Limfadenopati generalisata
Infeksi jamur kambuhan ( kandidiasis vagina / keputihan ) pada alat kelamin wanita
Pneumonia berat berulang

Pasien TBC terutama :


TB ekstrapulmonal : limfadenitis TB, efusi pleura TB, TB intestinal, TB peritoneal,

TB kulit
TB paru + kandida oral
TB MDR , TB-XDR

Curiga HIV secara klinis :


-

Riwayat perilaku seksual


Riwayat penggunaan narkoba
8

Riwayat pekerjaan : pelaut, sopir truk, dll


Riwayat bekerja di daerah endemis dengan perilaku risiko tinggi
Riwayat transfusi
Perhatikan ciri khas / tanda kelompok risiko misal : tato , perilaku tertentu
Sekarang HIV sudah berkembang pada bukan kelompok risti misal ibu rumah tangga

Diagnosis Laboratorium HIV


-

Diagnosis Laboratorium :
Serologis / deteksi antibodi : rapid tes, ELISA, Western Blot ( untuk konfirmasi )
Deteksi virus : RT-PCR, antigen p24
Indikasi :
Pasien secara klinis curiga AIDS
Orang dengan risiko tinggi
Pasien infeksi menular seksual
Ibu hamil di antenatal care ( PMTCT )
Pasangan seks atau anak dari pasien positip HIV

Diagnosis laboratorium
-

Perhatikan negatif palsu karena periode jendela


Pada risiko tinggi , tes perlu diulang 3 bulan kemudian, dan seterusnya tiap 3 bulan.
Hati-hati positif palsu terutama pada pasien yang asimptomatik.
Pemeriksaan serologi harus dikonfirmasi dengan western blot, atau setidaknya harus
dengan strategi 3 test dengan metode berbeda yang melibatkan ELISA.

Penatalaksanaan
1. Pemeriksaan setelah Diagnosis HIV ditegakkan
a. Pemeriksaan staium klinis setiap kali kunjungan
b. Pemeriksaan hitung CD4+ adalah sekitar 70-100 sel/mm3 /tahun. Jumlah limfosit
total tidak dapat menggantikan pemeriksaan CD4+.
c. Pemeriksaan laboratorium idealnya sebelum memulai terapi antiretovirus (ARV)
dilakukan pemeriksaan berikut: (perlu disesuaikan dengan sumber daya yang
tersedia)
- Darah lengkap SGOT,SGPT, kreatinin serum, urinalisis:
- HbsAg, anti HCV, profil lipid serum, gula darah, VDRL/TPHA/PRP, Rontgen
toraks.
- Tes kehamian pada perempuan usia reproduksi ( perlu anamnesis menstruasi
terakhir)
- PAP smear atau IVA untuk menyingkirkan keganasan serviks serta
- Jumlah virus (viral load RNA HIV).
2. Pencegahan infeksi oportunistik dengan kotrimoksasol. Pencegahan dengan
kotrimoksasol diberikan sebagai profilaksis primer (untuk mencegah infeksi yang
9

belum pernah dialami) maupun profilaksis sekunder ( untuk mencegah berulangnya


-

suatu infeksi.
Bila tidak tersedia pemeriksaan hitung CD4+, kotrimoksasol diberikan pada semua
pasien segera setelah dinyatakan HIV positif. Dosis : 1x960 mg/hari dosis tunggal.

Terapi kotrimoksasol dihentikan selama 2 tahun penggunaan bila mendapatkan ARV.


Kotrimoksasol untuk pencegahan sekunder diberikan setelah terapi PCP atau
toxoplasmosis selesai dan diberikan selama 1 tahun.
Pemantauan : reaksi hipersensitivitas seperti demam, ruam, sindrom steven johnson,
tanda penekanan sumsum tulang seperti anemi, trombositopenia, leukopenia,

pansitopenia serta interaksi obat dengan ARV dan obat lain yang sedng digunakan.
3. Terapi Antiretroviral (ARV)
Tujuan terapi ARV adalah untuk menurunkan jumlah RNA virus (viral load)
hingga tidak terdeteksi, mencegah komplikasi HIV, menurunkan transmisi
HIV, serta menurunkan angka mortalitas. Pada prinsipnya , terapi ARV
menggunakna kombinasi tiga obat sesuai rekomendasi dan kondisi pasien,
memastikan kepatuhan minum obat pasien, dan menjaga kesinambungan
ketersediaan ARV.
a. Inisiasi ARV pada pasien remaja dan dewasa diberikan pada: (WHO,2014)
i.
Seluruh individu dengan infeksi HIV derajat berat (severe) atau
ii.

tahap lanjut (stadium klinis 3-4):


Seluruh individu terinfeksi HIV dengan hitung CD4+ 350

iii.

sel/mm3
Seluruh individu dengan hitung CD4+ > 350 sel/mm 3 dan

iv.

500 sel/mm3 tanpa melibat stadium klinis WHO.


Tanpa melihat CD4+
- Pasien HIV dengan penyakit TB aktif
- Pasien HIV dengan koinfeksi hepatitis B dengan penyakit hati
kronis
- Perempuan HIV yang sedang hamil atau menyusui
- Pada pasien HIV yang memiliki pasangan serodiscordant
(berbeda status HIV, satu orang positif dan pasangannya
negatif) dapat dipertimbangkan untuk pemberian ARV untuk
mengurangi transmisi pada pasangan yang belum terinfeksi.

b. Anjuran pemilihan ARV lini pertama berupa kombinasi 2 nucleoside


reverse transcriptase inhibitors (NRTIs) + 1 non nucleoside reverse
transcriptase inhibitor (NNRTI):

10

- TDF + 3TC (atau FTC) + EFV bila regimen ini dikontraindikasika maka
alternatifnya:
- AZT + 3TC +EFV
- AZT + 3TC +NVP
- TDF + 3TC (atau FTC) + NVP
Tidak direkomendasikan menggunaka d4T sebgai regimen lini pertama
karena efek samping toksisitas metabolik yang berat. Daftar dan dosis
regimen ARV dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Nucleoside atau Nucleotide Reserve Transcriptase Inhibitor (NRTI)
Zidovudin (AZT)

200 mg/8 jam atau

Didanosin (ddi)

300 mg 2x/hari
Buffered : Butuh 2 tablet untuk
mencapai
terhadap

buffering
asam

lambung,

adekuat
harus

diberikan dalam keadaan lambung


kosong.
60 kg: 200 mg 2x /hari : < 60 kg:
125 mg 2x /hari
Enteric coated
60 kg : 400 mg/hari, < 60 kg : 250
Zalcitabin (ddC)
Stravudin (d4T)

mg/hari.
0,75 mg 3x/hari
60 kg, 40 mg 2x/ hari , < 60 kg ,

Lamivudin (3TC)

30 mg 2x/hari
150 mg 2x/hari atau 300mg/hari

Emtricitabin (FTC)
200 mg/hari
Tenofovir (TDF)
300 mg 4x/hari
200 mg/hari
selama 14 hari lalu 200
Non nucleotide reverse transcripte inhibitor
(NNRTI)
Nevirapin (NVP)

mg 2x/hari atau 400 mg extended


release per hari
600 mg sebelum tidur

Efavirenz (EFV)
Protease Inhibitor (PI)

400 mg/100 mg 2x /hari


11

Lopinavir / ritonavir
Entry Inhibitor (EI)
Enfuvirtid

90 mg subkutan 2x/hari

Maraviroc

150-600 mg 2x / hari tergantung


obat penyerta

Intregase Inhibitor
Pencegahan
Raltegrvir
Infeksi
Oportunistik Elvitegravir
pada Infeksi HIV menurut NIH/CDC/IDSA 2009

Patogen
M. tuberculosis

Indikasi
Sensitif isoniazid:

400 mg 2x/hari
150 mg

Lini Pertama

Alternatif

Isoniazid 300

Rifambutin 300

Tes Mantoux > 5 mm mg/hari PO +


atau

piridoksin 50 mg/hari Rifampin 600

Tes

positif PO selama 9 bulan

sebelumnya

tanpa atau Isoniazid 900

terapi atau
Kontak
dengan

mg/hari atau
mg/hari PO selama 4
bulan

mg PO 2x/ minggu +
positif piridoksin 50 mg/hari

pasien TB PO sekali selama 9

paru aktif

bulan

Resisten Isoniazid :
Serupa tetapi dengan Rifabutin 300
resiko tinggi [ajanan mg/hari atau
TB
isoniazid.

resistem Rifampin 600


mg/hari PO selama 4

Multidrug Resistant bulan


(MDR)
Serupa, tetapi dengan Konsultasi dengan
risiko tinggi pajanan spesialis.
MDR TB

12

Toxoplasma gondii

IgG antibodi Toxo

TMP/SMX 1 tablet

TMP /SMX 1 tablet DS

(+) dan CD4+ <

DS/hari PO

3x/minggu PI atau
TMP/SMX 1 tablet

100/l

SS/hari PO atau
Dapson 50 mg/minggu
PO+ Pirimetamin 50
mg/minggu PO +
leukovorin 25
mg/minggu PO. Atau
Dapson 200
mg/minggu PO+
Pirimetamin 50
mg/minggu PO +
leukovorin 25
mg/minggu PO
Atovaquon 1500
mg/hari PO
Pirimetamin 25
mg/hari PO +
Leukovorin 10 mg/
hari PO
Kindamisin 600 mg/8

Sulfadiazin 500-1000 jam PO+ Pirimetamin


Ensefalitis

mg 4x/hari PO +

toksoplasma

Pirimmetamin 25-50

sebelumnya dan

mg/hari PO +

CD4+ < 200/l

Leukovorin 10-25
mg/hari PO

25-50 mg/hari PO +
leukovorin 10-25 mg
/hari PO
Atovaquone 750 mg/612 jam PO

Dapat stop

Pirimetamin 25

profilaksis jika CD4+

mg/hari PO +

> 200/l selama 3

Leukovorin 10 mg/hari
13

Varicella zooster

PO

bulan
Pajanan terhadap

Ig varicella zooster

Asiklovir 800 mg

cacar ar atau shingles

injek IM dalam 96

5x/hari PO selama 6

pada pasien tanpa

jam setelah pajanan

hari.

riwayat
imunisasi/pajanan
sebelumnya

Cytomegalovirus

Riwayat penyakit end

Valgansiklovir

organ sebelumnya.

mg 2x/hari PO atau

Dapat stop profilaksis

Implan

jika CD4+ >100 /l

sustained release per Pomivirsen 330 g

selama 6 bulan dan


tidak ada bukti infeksi
CMV aktif
Mulai kembali terapi

900 Sidofovir 5 mg/kg


minggu IV +

Gansiklovir probenesid atau

6-9 bulan atau

intravitreal per 2-4

Valhgansiklovir 900 minggu atau Foscarnet


mg 2x/hari PO

90-120 mg/kg/hari IV

jika terdapat retinitis


dan CD4+ <100/l

Herpes simpleks

Rekurensi

Valasiklovir 500 mg

tinggi/berat

2x/hari PO
atauAsiklovir 400
mg 2x/hari PO atau
Famsiklovir 500 mg

Candida sp,

Rekurensi

2x/hari PO
Flukonazol 100-200

Solusi Itrakonazol

tinggi/berat

mg/hari PO

200 mg/hari PO
Posacomagole 400
mg 2x/hari PO

14

Anda mungkin juga menyukai