II
III
IV
Definisi
Tidak ada keterbatasan aktivitas fisik.
Istilah
Disfungsi
ventrikel
kiri
dispnea.
Sedikit keterbatasan aktivitas fisik. Merasa
asimtomatik
Gagal
jantung
ringan.
Gagal
jantung
sedang.
Gagal
jantung
berat.
yang
b.
Berdasarkan letaknya
1) Gagal jantung kiri merupakan kegagalan kiri untuk memompa darah sehingga
curah jantung kiri menurun sehingga mengakibat tekanan akhir diastolik dalam
ventrikel kiri dan volume akhir diastolik dalam ventrikel kiri meningkat. Gagal
jantung kiri dibagi menjadi 2:
a) Disfungsi sistolik
Adalah persentase volume diastolic akhir ventrikel kiri atau fraksi ejeksi
kurang dari 40% yang disebabkan oleh penurunan kontraktilitas.
b) Disfungsi diastolik
Adalah persentase volume diastolik-akhir ventrikel kiri atau fraksi ejeksi
kadang-kadang 80% yang disebabkan oleh gangguan relaksasi dan
pengisian.
2) Gagal jantung kanan merupakan kegagalan ventrikel kanan untuk memompa
secara adekuat sehingga isi sekuncup ventrikel kanan menurun (Hudak dan
Gallo, 2011, p.503-504).
metabolik,
inflamasi,
penyakit
infiltrate
seperti
restrictive
cardiomiophaty, penyakit sistemik, penyakit paru obstruktif kronis, serta obatobatan yang mendepresi miokard.
c. Gangguan irama jantung misalnya karena henti jantung, ventrikularis fibrilasi,
takhikardi atau bradikardi yang ekstrim, dan gangguan konduksi.
4. Manifestasi Klinis Gagal Jantung Kongestif
Manifestasi klinis pada gagal jantung kongestif dibedakan menjadi kriteria mayor
dan kriteria minor. Diagnosa gagal jantung kongestif ditegaggkan minimal ada 1 kriteria
mayor dan 2 kriteria minor. Berikut adalah manifestasi klinis dari gagal jantung kongestif
menurut Sudoyo (2009, p.1514):
a. Kriteria mayor seperti paroksimal nocturnal dispnea, distensi vena jugularis, suara
napas tambahan (ronki) paru, kardiomegali, edema paru akut, suara jantung Gallop
(S3), refluk hepatojugular.
b. Kriteria minor seperti edema ektremitas, batuk pada malam hari, dispnea deffort,
hepatomegali, efusi pleura, penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal, takikardi
(lebih dari 120x/mnt).
5. Patofisiologi Gagal Jantung Kongestif
Mekanisme yang mendasari gagal jantung kongestif meliputi gangguan kemampuan
kontraktilitas jantung yang menyebabkan curah jantung lebih rendah dari curah jantung
normal. Curah jantung adalah frekuensi jantung dikalikan volume sekuncup (Stroke
Volume). Volume sekuncup adalah jumlah darah yang dipompa pada setiap kontraksi.
Volume ini tergantung oleh faktor preload, afterload, dan kontraktilitas (Smeltzer & Bare,
2002, p.805).
Apabila curah jantung tidak adekuat memicu jantung untuk memberikan respon
kompensasi guna mencukupi kebutuhan metabolisme tubuh. Mekanisme kompensasi
jantung terdiri atas:
a. Aktivasi neurohormonal yang mempengaruhi sistem saraf simpatik.
Sistem saraf simpatik ini berperan dalam respon kompensasi penurunan curah
jantung dengan menstimulasi irama jantung dan kontraktilitas otot jantung, serta
memelihara perfusi jaringan berbagai organ terutama otak dan jantung. Ketika curah
jantung tidak adekuat, maka sistem saraf simpatis akan merangsang pengeluaran
ketokolamin dari saraf andregenik jantung dan medulla adrenal yang berfungsi untuk
mempercepat frekuensi jantung untuk mempertahankan curah jantung. Aspek negatif
dari peningkatan aktivitas sistem saraf simpatik melibatkan peningkatan tahanan
sistem vascular dan kelebihan kemampuan jantung dalam memompa darah, sehingga
menyebabkan penurunan aliran darah ke kulit, ginjal, otot, dan organ abdominal.
(Smeltzer & Bare, 2002, p.805).
b. Mekanisme Renin-Angiotensin-Aldosteron
Menurunnya curah jantung dalam gagal jantung kongestif menyebabkan aliran
darah ke ginjal berkurang sehingga menyebabkan kecepatan filtrasi glomerulus
berkurang. Penurunan aliran darah ke ginjal menyebabkan peningkatan sekresi renin
oleh ginjal yang secara paralel akan meningkatkan pembentukan angiotensin.
inferior. Apabila hal ini terus berlanjut dapat menyebabkan kongesti sistemik, distensi
vena jugular dan edema (Sudoyo, 2006, p. 1513).
6. Pathway Gagal Jantung Kongestif
(Terlampir)
7. Pemeriksaan Diagnostik pada Gagal Jantung Kongestif
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosa CHF
yaitu:
a. Elektrokardiogram (EKG)
Digunakan untuk memberikan informasi tentang struktur dan fungsi jantung,
untuk mengukur ejeksi, mengevaluasi struktur katub, mendiagnosis disritmia,
mengidentifikasi pembesaran atrium dan hipertrofi ventrikel
b. Scan jantung: tindakan penyuntikan fraksi dan memperkirakan gerakan dinding.
c. Kateterisasi jantung
Tekanan abnormal merupakan indikasi dan membantu membedakan gagal
jantung kanan dan gagal jantung kiri dan stenosis katup atau insufisiensi.
d. Rongent dada
Dapat menunjukkan pembesaran jantung, bayangan mencerminkan dilatasi atau
hipertropi bilik, atau perubahan dalam pembuluh darah abnormal. Pada pemeriksaan
foto dada dapat ditemukan adanya pembesaran siluet jantung (cardio thoraxic ratio >
50%) dan gambaran kongesti vena pulmonalis. Normal CTR= 48%-50%, CTR >
50% menandakan Kardiomegali, biasanya diikuti dengan ictus cordis deviasi ke
lateral.
e. Pemeriksaan Laboratorium
Meliputi: elektrolit serum yang mengungkapkan kadar natrium yang rendah
sehingga hasil hemodelusi darah dari adanya kelebihan retensi air, CKMB, SGOT,
SGPT, K, Na, Cl, Ureum, gula darah (Rubenstein, Wayne, and John, 2007, p.313).
8. Penatalaksanaan Gagal Jantung Kongestif
Sasaran dalam penatalaksanaan pada gagal jantung kongestif adalah
a. Menurunkan kerja jantung
1) Tirah baring
Tirah baring merrupakan bagian yang penting dari pengobatan gagal
jantung kongestif, khususnya pada tahap akut dan sulit disembuhkan. Selain itu
untuk menurunkan seluruh kebutuhan kerja pada jantung, tirah baring
membantu dalam menurunkan beban kerja dengan menurunkan volume
intravaskuler melalui induksi diuresis berbaring. Dengan adanya penurunan
volume intravaskuler dan jumlah darah yang ada untuk dipompakan jantung
(preload), kompensasi jantung dapat ditingkatkan.
2) Terapi nitrat dan vasodilator.
demikian
menurunkan
mekanisme
pompa
pernapasan
untuk
meningkatkan aliran balik vena, serta menurunkan tekanan darah arteri dan
tahanan, mengurangi kerja jantung (penurunan afterload) (Hudak & Gallo, 2010,
p.371).
3)
Pembatasan natrium
Pembatasan natrium ditujukan untuk mencegah, mengontrol, atau
menghilangkan edema. klien yang dibatasi diet natriumnya diupayakan untuk
menghindari makanan kaleng dan minum obat-obatan tanpa resep seperti
antasida, sirup obat batuk, penenang atau pengganti garam, karena produk
tersebut mengandung natrium atau jumlah kalium yang berlebihan (Smeltzer &
Bare, 2002, p.812).
Etiologi
a Ketidak-seimbangan Starling Forces :
1 Peningkatan tekanan kapiler paru :
a Peningkatan tekanan vena paru tanpa adanya gangguan fungsi ventrikel kiri
(stenosis mitral).
Peningkatan tekanan vena paru sekunder oleh karena gangguan fungsi
ventrikel kiri.
Peningkatan tekanan kapiler paru sekunder oleh karena peningkatan tekanan
hati, penyakit
di luar toraks.
Insufisiensi Limfatik, seperti Post Lung Transplant, Lymphangitic Carcinomatosis,
Fibrosing Lymphangitis (silicosis), High Altitude Pulmonary Edema, Neurogenic
Pulmonary Edema, Pulmonary embolism.
Manifestasi Klinis
Manifestasi dapat dicari dari keluhan, tanda fisik dan perubahan radiografi (foto
toraks). Gambaran dapat dibagi 3 stadium, meskipun kenyataannya secara klinik sukar
dideteksi dini.
a Stadium 1.
Adanya distensi dan pembuluh darah kecil paru yang prominen akan memperbaiki
pertukaran gas di paru dan sedikit meningkatkan kapasitas difusi gas CO. Keluhan
pada stadium ini mungkin hanya berupa adanya sesak napas saat bekerja.
Pemeriksaan fisik juga tak jelas menemukan kelainan, kecuali mungkin adanya ronkhi
b
pada saat inspirasi karena terbukanya saluran napas yang tertutup pada saat inspirasi.
Stadium 2
Pada stadium ini terjadi edema paru intersisial. Batas pembuluh darah paru menjadi
kabur, demikian pula hilus juga menjadi kabur dan septa interlobularis menebal (garis
Kerley B). Adanya penumpukan cairan di jaringan kendor inter-sisial, akan lebih
memperkecil saluran napas kecil, terutama di daerah basal oleh karena pengaruh
gravitasi. Mungkin pula terjadi refleks bronkhokonstriksi. Sering terdapat takhipnea.
Meskipun hal ini merupakan tanda gangguan fungsi ventrikel kiri, tetapi takhipnea
juga membantu memompa aliran limfe sehingga penumpukan cairan intersisial
Patofisiologi
Pemahaman mengenai mekanisme ini memerlukan tinjauan mengenai pembentukkan
dan reabsorbsi cairan paru serta struktur ultra paru. Ruang alveolar dipisahkan dari
interstisium paru terutama oleh sel epitel alveoli Tipe I, yang dalam kondisi normal
membentuk suatu barier relatif nonpermiabel terhadap aliran cairan dari interstitium ke
rongga rongga udara (spaces). Faktor penentu yang paling penting dalam pembentukkan
cairan ekstravaskuler adalah perbedaan tekanan hidrostatik dan onkotik dalam lumen
kapiler dan ruang interstitial, serta permeabilitas sel endotelium terhadap air, zat terlarut
(solut) dan molekul besar seperti protein plasma.
Ciri perubahan dini pada edema paru adalah terjadinya peningkatan aliran limfatik.
Perubahan ini terjadi karena saluran limfatik terjalin dalam jaringan ikat longgar yang
mengelilingi arteriola paru dan saluran pernafasan yang kecil pembekaan saluran limfatik
ini akan berdampak pada struktur sekitarnya dan mengakibatkan terjadinya perubahan
hubungan tekanan pada struktur tersebut. Salah satu akibatnya adalah adanya obstruksi
pada saluran kecil yang telah dibuktikan sebagai perubahan fisiologis dini pada klien
dengan gagal jantung kiri mengingat lesi ini tidak merata disaluran paru, maka timbul
perubahan dalam distribusi, ventilasi, dan perfusi yang kemidian menyebabkan terjadinya
hipoksemia ringan terkenanya arteriola kecil juga menyebabkan gambaran radiologis dini
pada gagal jantung kiri, yaitu suatu redistribusi aliran darah dari basis ke apek paru pada
klien dengan posisi tegak.
Jika terbentuknya cairan intersisial melebihi kapasitas sistem limfatik, maka terjadi
edema dinding alveolar.Pada fase ini komplan paru berkurang hal ini menyebabkan
terjadinya takipneu yang mungkin tanda klinis awal pada klien dengan edema
paru.Ketidakseimbangan antara ventilasi dan aliran darah menyebabkan hipoksenia
memburuk. Meskipun demikian, ekskresi karbondioksida tidak terganggu dan klien akan
menunjukkan keadaan hiperventilasi dengan alkalosis respiratorik.
Selain hal yang telah disebutkan diatas gangguan difusi juga berperan, dan pada fase
ini mungkin terjadi peningkatan pintas kanan ke kiri melalui alveoli yang tidak
mengalami ventilasi. Pada fase alveolar penuh dengan cairan, semua gambaran menjadi
lebih berat dan komplain akan menurun dengan nyata ( Nowak, 2004). Alveoli terisi
cairan dan pada saat yang sama aliran darah kedaerah tersebut tetap berlangsung, maka
pintas kanan ke kiri aliran darah akan menjadi lebih berat dan menyebabkan hipoksia
yang rentan terhadap peningkatan konsentrasi oksigen yang diinspirasi. Kecuali pada
keadaan yang amat berat, hiperventilasi dan alkalosis respiratorik akan tetap berlangsung.
5
Komplikasi
Pada klien dengan Edema paru kemungkina untuk terjadi Gagal napas sangat tinggi
jika tidak dilakukan penatalaksanaan dengan tepat. Hal ini dikarenakan terjadinya
akumulasi cairan pada alveoli yang menyebapkan ketidakmampuan paru untuk
melakukan pertukaran gas O2 dan CO2 secara adekuat, sehingga mengakibatkan pasokan
Oksigen ke jaringan paru menjadi sedikit.
Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis ditegakkan dengan mengevaluasi manifestai klinis sehubungan dengan
kongesti paru. Pemeriksaan diagnostik yang dilakukan antara lain berupa :
a EKG
: untuk melihat apakah terdapat sinus takikardi dengan hipertropi atrium
kiri atau fibrilasi atrium, tergantung penyebap gagal jantung, gambaran infark,
hipertrofi ventrikel kiri atau aritmia
Laboratorium
Analisa Gas Darah
: pO2 rendah, pCO2 mula-mula rendah kemudian hiperkapnea.
Enzim jantung
: meningkat jika penyebap gagal jantung adalah infark miokard
Darah rutin, ureum, kreatinin, elektrolit, urinalis, Enzim jantung (CK-MB, Troponin
T), angiografi koroner
Foto thorak
Gambaran radiologisnya berupa pelebaran atau penebalan hilus (dilatasi vaskuler di
hilus), corakan paru meningkat ( > 1/3 lateral), kranialisasi vaskuler, hilus suram
Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan medis pada pasien dengan Edema Paru akut adalah
mengurangi volume sirkulasi total untuk memperbaiki pertukaran gas pernapasan. Tujuan
ini dapat dicapai dengan kombinasi terapi oksigen dan terapi medis.
a Oksigenasi
Oksigen diberikan dengan konsetrasi yang adekuat untuk mengurangi hipoksia dan
dispnea. Bila tanda-tanda hipoksia menetap, oksigen harus diberikan dengan tekanan
positif intermiten atau kontinu. Bila terjadi gagal napas, meskipun penatalaksanaan
telah optimal, perlu diberikan intubasi endotrakea dan ventilasi mekanis. Penggunaan
tekanan positif akhir ekspirasi sangat efektif mengurangi aliran balik vena,
menurunkan tekanan kapiler paru, dan memeperbaiki oksigenasi. Oksigenasi dipantau
melalui pulse oksimetri dan pengukuran AGD.
b
Farmakologi
Dilakukan pemberian Morfin secara intravena dalam dosis kecil untuk mengurangi
kecemasan dan dispnea serta menurunkan tekanan perifer sehingga darah dapat
didistribusikan dari paru ke bagaian tubuh lain. Hal tersebut akan menurunkan
tekanan dalam kapiler paru dan mengurangi perembesan cairan ke jaringan paru.
C. ASUHAN
KEPERAWATAN
PADA
KLIEN
DENGAN
GAGAL
JANTUNG
KONGESTIF
Fokus dari pengkajian pada klien dengan gagal jantung kongestif lebih di tekankan pada
manifestasi klinis dari kerusakan pada jantung seperti terjadinya kelebihan cairan maupun
gejala sistemik lainnya. Berikut ini adalah proses asuhan keperawatan pada klien dengan
gagal jantung kongestif adalah sebagai berikut:
1. Pengkajian
Pengkajian Primer
a. Airway
Pastikan bahwa jalan napas klien lancar, tidak ada sumbatan maupun benda asing.
Dengan kontrol tulang belakang. Membuka jalan napas menggunakan teknik head tilt
chin lift atau menengadahkan kepala dan mengangkat dagu, periksa adakah benda
asing yang dapat mengakibatkan tertutupnya jalan napas, muntahan, makanan, darah
atau benda asing lainnya. Klien dengan CHF yang disertai dengan edema pulmonal,
pada airway dapat terjadi sumbatan seperti sputum, benda asing.
b. Breathing
Periksa pernapasan dengan menggunakan cara lihat dengar rasakan tidak lebih
dari 10 detik untuk memastikan apakah ada napas atau tidak. Selanjutnya lakukan
pemeriksaan status respirasi korban (kecepatan, ritme dan adekuat tidaknya
pernapasan). Dispnea saat aktifitas, tidur sambil duduk atau dengan beberapa bantal
c. Circulation
Kaji status peredaran darah tekanan darah, nadi, frekuensi jantung, irama jantung,
nadi apical, bunyi jantung S3, gallop, nadi perifer berkurang, perubahan dalam
denyutan nadi juguralis, warna kulit, kebiruan punggung, kuku pucat atau sianosis,
hepar ada pembesaran, bunyi nafas crakles atau ronchi, oedema. Kaji pula riwayat HT
IM akut, GJK sebelumnya, penyakit katub jantung, anemia, syok dll.
d. Dissability: kaji tingkat kesadaran klien.
e. Exposure
Pastikan adakah tanda-tanda trauma yang mengancam jiwa. Missal adanya jejas di
daerah klavikula, atau pada daerah thorax dan abdomen.
Pengkajian Sekunder
a. Biodata klien
b. Keluhan utama pada klien dengan gagal jantung kongestif adalah kelelahan saat
beraktivitas dan sesak napas.
c. Riwayat keperawatan sekarang
Pengkajian ini mendukung keluhan utama dilakukan dengan mengajukan
serangkaian pertanyaan mengenai kelemahan fisik klien, dengan menggunakan
PQRST:
1) Provoking incident: kelemahan fisik terjadi setelah melakukan aktivitas ringan
sampai berat, sesuai dengan derajat gangguan pada jantung.
2) Quality of pain: seperti apa keluhan kelemahan dalam melakukan aktivitas yang
dirasakan atau digambarkan. Biasanya setiap beraktivitas klien merasakan sesak
napas.
3) Region, radiation, relief : apakah kelemahan fisik bersifat local atau
memengaruhi keseluruhan sistem otot rangka, serta apakah disertai ketidak
mampuan dalam pergerakan.
4) Severity of Pain: rentang kemampuan klien dalam melakukan aktivitas seharihari. Pada klien dengan gagal jantung, biasanya kemampuan klien dalam
beraktivitas menurun.
5) Time: sifat mula timbulnya, keluhan kelemahan beraktivitas biasanya timbul
perlahan. Lama timbulnya kelemahan biasa terjadi saat istirahat maupun saat
beraktivitas (Muttaqin, 2009, p.94).
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Dalam riwayat keperawatan dahulu hal yang perlu dikaji adalah apakah
sebelumnya klien pernah menderita nyeri dada, hipertensi, iskemia miokardium,
infark miokardium, hiperlipidemia. Selain itu kaji pula obat-obatan yang biasa
diminum pada masa lalu dan masih relevan dengan kondisi saat ini, adakah anggota
keluarga yang mengalami penyakit jantung (Muttaqin, 2009, p.94).
e. Riwayat Pekerjaan dan Pola Hidup
Hal yang perlu dikaji adalah mengenai situasi tempat kerja klien dan
lingkungannya, misalnya selalu tertekan dalam bekerja, pekerjaannya melebihi
kemampuan klien, tanggung jawab pekerjaan yang tinggi, rekan kerja yang tidak
kooperatif, lingkungan yang buruk dan sempit, kebiasaan sosial serta pola hidup,
misalnya minumam beralkohol, kebiasaan merokok, dan lifestyle (Muttaqin, 2009,
p.94).
f. Psikososial
Perubahan integritas ego yang ditemukan pada klien dengan Gagal Jantung
Kongestif adalah klien menyangkal, takut mati, perasaan ajal sudah dekat, marah
pada penyakit, khawatir tentang keluarga, pekerjaan, dan keuangan. Kondisi ini
ditandai dengan sikap menolak, menyangkal, kurang kontak mata, gelisah, marah,
dan focus pada diri sendiri (Hudak & Gallo, 2011, p.512).
g. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum
Pada pemeriksaan keadaan umum, kesadaran klien dengan gagal jantung
dapat berubah-ubah sesuai dengan tingkat gangguan perfusi sistem saraf pusat
(Muttaqin, 2009, p.95).
2) Breathing
a) Inspeksi
Tentukan frekuensi pernapasan dan observasi kedalaman pernapasan
serta irama pernapasan. Pada klien dengan gagal jantung kelas IV NYHA
biasanya memiliki pola napas cheyne-stokes. Selain itu klien dengan CHF
yang disertai dengan edama paru laju pernapasan meningkat, serta
menggunakan otot bantu pernapasan.
b) Palpasi
Untuk menentukan apakah vocal fremitus antara paru kanan dan kiri
sama.
c) Perkusi
Perkusi guna mengetahui suara paru, jika terdapat cairan pada paru
maka saat diperkusi akan terdengar suara pekak yang merupakan tanda
adanya cairan pada paru, missal pada edema pulmonal.
d) Auskultasi
Auskultasi dada pada klien dengan gagal jantung kongestif dapat
normal seluruhnya karena peningkatan tekanan arteri pulmonary
menyebabkan peningkatann drainase limfe sepanjang watu sehingga cairan
tidak terkumpul pada alveoli. Namun tidak menutup kemungkinan
terdengar suara rales atau krekels (suara yang dihasilkan gelembung udara
yang melalui air di alveoli). Selain itu perlu dilakukannya pemeriksaan
apakah ada kongesti vascular pulmonal, dispnea, ortopnea, dispnea
nocturnal paroksimal, batuk dan edema pulmonal (Hudak & Gallo, 2011,
p.514).
Table 2.3 Pengkajian keparahan Gagal Jantung
Gejala
Ukuran
Karakteristik
Ortopnea
untuk
Jumlah
adanya
waktu
kongesti
vascular
pulmonal.
dan Pernapasan cepat, dangkal, dan
yang
menunjukkan
Dispnea
mengatur napas.
Jumlah waktu klien Klien biasanya terbangun tengah
nocturnal
paroksimal
Edema
mengatur napas.
pendek yang hebat.
Ada atau tidak ada Dispnea hebat, batuk, ortopnea,
pulmonal
rasa
sesak
kelainan
bunyi
napas,
nyeri
Klien menyatakan penurunan sesak napas, secara objektif TTV dalam batas normal
(RR 16-20x/mnt), tidak ada penggunaan otot bantu pernapasan, analisa gas darah
dalam batas normal (PaO2 85-95 mmHg, PaCO2 35-45 mmHg dan Saturasi 95-100
%).
Intervensi:
1) Catat frekuensi dan kedalaman pernafasan, penggunaan otot bantu pernafasan.
2) Auskultasi paru untuk mengetahui penurunan / tidak adanya bunyi nafas dan
adanya bunyi tambahan misal krakles, ronki dll.
3) Beri klien posisi untuk memudahkan terjadinya pertukaran gas, seperti
meninggikan posisi kepala 20-30 cm atau meminta klien duduk di kursi.
4) Lakukan tindakan untuk mempertahankan jalan nafas misalnya penghisapan
lendir, pemberian bronkodilator, dll.
5) Lakukan pemeriksaan saturasi, pH, HCO3, dengan Analisa Gas Darah.
6) Kolaborasi pemberian obat diuretik
c. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan menurunnya laju filtrasi glomerulus
(menurunnya curah jantung)/meningkatnya produksi ADH dan retensi natrium/air.
Tujuan: kebutuhan cairan klien seimbang
Kriteria hasil :
Kebutuhan volume cairan stabil dengan keseimbangan masukan dan pengeluaran,
bunyi nafas bersih dan jelas, tanda vital dalam rentang yang dapat normal (Nadi 60100x/mnt, RR 16-24x/mnt), berat badan stabil dan tidak ada edema.
Intervensi :
1) Pertahankan catatan intake dan output yang akurat.
2) Pantau pengeluaran urine, catat jumlah dan warna saat dimana diuresis terjadi.
3) Monitor indikasi retensi/kelebihan cairan (cracles, CVP, edema, distensi vena
jugularis, asites).
4) Monitor BB dan tanda-tanda vital.
5) Kolaborasi pemberian diuretik sesuai indikasi, dan pemberian diet pembatasan
natrium.
d. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelelahan atau dispnea akibat turunnya
curah jantung.
Tujuan: klien toleran terhadap aktivitas sehari-hari.
Kriteria hasil:
1) Berpartisipasi dalam aktivitas fisik tanpa disertai peningkatan tekanan darah,
nadi dan RR.
2) Mampu melakukan aktivitas sehari hari (ADLs) secara mandiri.
Intervensi:
1) Observasi adanya pembatasan klien dalam melakukan aktivitas
2) Kaji adanya faktor yang menyebabkan kelelahan.
3) Monitor pasien akan adanya kelelahan fisik dan emosi secara berlebihan
4) Monitor respon cardiopulmonal terhadap aktivitas, seperti adanya takikardi,
disritmia, dispnea, berkeringat, pucat.
4. Klien toleran dan ikut berpartisipasi dalam aktivitas fisik tanpa adanya peningkatan
TTV.
5. Pola nafas klien efektif ditandai dengan tanda-tanda vital dalam rentang normal
(Nadi 60-100x/mnt, RR 16-24x/mnt, TD: 120/80-140/90 mmHg), tidak ada suara
nafas abnormal, irama nafas teratur.
6. Kebutuhan istirahat klien terpenuhi ditandai dengan jumlah irtirahat klien 6-8
jam/hari, pola tidur, kualitas tidur baik, perasaan segar sesudah istirahat.