Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN TRAUMA TUMPUL


ABDOMEN DISERTAI DENGAN BISITOPENIA
A. Konsep Dasar Teori Trauma Tumpul Abdomen
1. Anatomi Abdomen
Abdomen adalah rongga terbesar dalam tubuh, bentuknya lonjong dan meluas
dari diafragma hingga pelvis (Agung, 2010). Rongga ini berisi visera dan dibungkus
dinding (abdominal wall) dari otot-otot, kolumna vertebralis, dan ilia (Dorland, 2002).
Abdomen dapat dibagi menjadi empat kompartemen anatomis (Williams, 2013) yaitu
a. Regio thoraks. Regio ini berada antara inframammary creases dan batas iga. Di
dalamnya terdapat organ berupa diafragma, hati, limfa, dan lambung. Saat
menghembuskan nafas, diafragma dapat naik sampai setinggi torakal tiga.
b. Regio peritoneum (true abdomen). Pada regio ini dapat dijumpai lambung, usus
halus, dan usus besar, omentum, rahim, dan terkadang puncak dari vesika urinaria.
Pada akhir inhalasi, ketika hati dan limfa turun, kedua organ ini menjadi bagian
dari regio peritoneum.
c. Regio retroperitoneum. Regio ini mencakup pembuluh-pembuluh darah besar,
ginjal, kolon transversum, kolon desenden, uterus, pankreas, dan duodenum.
d. Regio pelvis. Abdomen bagian pelvis dibentuk oleh sambungan tulang-tulang
pelvis.
2. Definisi Trauma Tumpul Abdomen
Trauma adalah luka atau cedera fisik lainnya atau cedera fisiologis akibat
gangguan emosional yang hebat (Brooker,2001).
Trauma abdomen adalah cedera pada abdomen, dapat berupa trauma tumpul
dan tembus serta trauma yang di sengaja atau tidak di sengaja (Smeltzer, 2001).
Trauma tumpul abdomen adalah pukulan / benturan langsung pada rongga
abdomen yang mengakibatkan cidera tekanan/tindasan pada isi rongga abdomen,
terutama organ padat (hati, pancreas, ginjal, limpa) atau berongga (lambung, usus
halus, usus besar, pembuluh pembuluh darah abdominal) dan mengakibatkan ruptur
abdomen. (Temuh Ilmiah Perawat Bedah Indonesia, 13 Juli 2000).
Bisitopenia adalah penurunan dua dari tiga komponen sel darah (angka
eritrosit, leukosit, dan trombosit). Dua dari tiga komponen tersebut dapat
mengalamipenurunan jumlah jika terjadi suatu kelainan hematologi maupun kelainan
organyang berhubungan dengan sel darah. Penurunan dapat terjadi pada jumlah
eritrositdan

jumlah

trombosit

dengan

jumlah

leukosit

yang

normal

atau

meningkat,penurunan jumlah eritrosit dan leukosit dengan angka trombosit normal.

Bisitopeniadapat menggambarkan suatu proses yang dilalui sebelum terjadinya


pansitopenia.
3. Etiologi
Menurut (Hudak & Gallo, 2001) kecelakaan atau trauma yang terjadi pada
abdomen, umumnya banyak diakibatkan oleh trauma tumpul. Pada kecelakaan
kendaraan bermotor, kecepatan, deselerasi yang tidak terkontrol merupakan kekuatan
yang menyebabkan trauma ketika tubuh klien terpukul setir mobil atau benda tumpul
lainnya. Pada trauma abdomen akibat paksaan atau benda tumpul merupakan trauma
abdomen tanpa penetrasi ke dalam rongga peritoneum. Luka tumpul pada abdomen
bisa disebabkan oleh jatuh, terkena kompresi atau tekanan dari luar (misalnya
kekerasan fisik atau pukulan), kecelakaan kendaraan bermotor, cedera akselerasi /
deserasi akibat berolahraga, benturan, ledakan, kompresi atau sabuk pengaman.
Pada trauma tumpul abdomen dapat menyebabkan terjadinya kontusio dinding
abdomen karena akibat dari trauma non penetrasi. Kontusio dinding abdomen tidak
terdapat cedera intra abdomen, kemungkinan terjadi eksimosis atau penimbunan darah
dalam jaringan lunak dan masa darah dapat menyerupai tumor.
4. Manifestasi Klinis
Kasus trauma abdomen ini bisa menimbulkan manifestasi klinis menurut
Hudak dan Gallo (2001) meliputi: nyeri tekan diatas daerah abdomen, distensi
abdomen, demam, penurunan kesadaran (malaise, letargi, gelisah) anorexia, mual dan
muntah, takikardi, peningkatan suhu tubuh, nyeri spontan. Pada trauma non-penetrasi
(tumpul) biasanya terdapat adanya
a. Jejas atau ruftur dibagian dalam abdomen
b. Terjadi perdarahan intra abdominal.
c. Apabila trauma terkena usus, mortilisasi usus terganggu sehingga fungsi usus
tidak normal dan biasanya akan mengakibatkan peritonitis dengan gejala mual,
muntah, dan BAB hitam (melena).
d. Cedera serius dapat terjadi walaupun tak terlihat tanda kontusio pada dinding
abdomen.
5. Patofisiologi
Menurut Salomone & Salomone (2011), trauma tumpul akibat hantaman
secara umum dibagi ke dalam 3 mekanisme:
a. Pertama, ketika tenaga deselerasi hantaman menyebabkan pergerakan yang
berbeda arah dari struktur tubuh yang permanen. Akibatnya, kekuatan hantaman
menyebabkan organ viseral yang padat serta vaskularisasi abdomen menjadi
ruptur, terutama yang berada di daerah hantaman.

b. Kedua, ketika isi dari intra abdomen terhimpit antara dinding depan abdomen dan
kolumna vertebralis atau posterior kavum thorak. Hal ini dapat merusak organorgan padat visera seperti hepar, limpa dan ginjal.
c. Ketiga adalah kekuatan kompresi eksternal yang mengakibatkan peningkatan
tekanan intra abdomen secara mendadak dan mencapai puncaknya ketika terjadi
ruptur

organ.

Pada penderita ini terjadinya jejas pada abdomen disebabkan karena terhimpitnya
klien saat terjadi kecelakaan. Hal tersebut menyebabkan terjadinya himpitan pada
organ intra abdomen antara dinding depan abdomen dan kolumna vertebralis.
Apabila ketiga mekanisme tersebut terjadi dapat menyebabkan perforasi
lapisan abdomen (kontusio, jejas, laserasi, hematom), vaskularisasi abdomen menjadi
rupture,

sehingga

menyebabkan

terjadi

perdarahan

intraabdomen.

Adanya

penimbunan cairan pada rongga abdomen dapat menekan saraf peritonitis. Selain itu
peningkatan tekanan intra abdomen secara mendadak, dapat menghimpit organ intra
abdomen (usus) sehingga menyebabkan motilitas usus.

6. Pathway
(Terlampir)
7. Pemeriksaan Penunjang
a. Foto thoraks: untuk melihat adanya trauma pada thorax.
b. Pemeriksaan darah rutin
Pemeriksaan Hb diperlukan untuk base-line data bila terjadi perdarahan terus
menerus. Demikian pula dengan pemeriksaan hematokrit. Pemeriksaan leukosit
yang melebihi 20.000/mm tanpa terdapatnya infeksi menunjukkan adanya
perdarahan cukup banyak kemungkinan ruptura lienalis. Serum amilase yang
meninggi menunjukkan kemungkinan adanya trauma pankreas atau perforasi usus
halus. Kenaikan transaminase menunjukkan kemungkinan trauma pada hepar.
c. Plain abdomen foto tegak
Memperlihatkan udara bebas dalam rongga peritoneum, udara bebas retroperineal
dekat duodenum, corpus alineum dan perubahan gambaran usus
d. Pemeriksaan urine rutin
Menunjukkan adanya trauma pada saluran kemih bila dijumpai hematuri. Urine
yang jernih belum dapat menyingkirkan adanya trauma pada saluran urogenital.
e. IVP (Intravenous Pyelogram): untuk mengetahui adanya trauma pada ginjal.
f. Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL)
Untuk membantu menemukan adanya darah atau cairan usus dalam rongga perut.
Pemeriksaan ini juga merupakan tes diagnostic pilihan untuk klien dengan

keadaan hemodinamika yang tidak stabil. Indikasi untuk melakukan DPL adalah
nyeri abdomen yang tidak bisa diterangkan sebabnya, trauma pada bagian bawah
dari dada, hipotensi, hematokrit turun tanpa alasan yang jelas, klien cedera
abdominal dengan gangguan kesadaran (obat,alkohol, cedera otak), klien cedera
abdominal dan cedera medula spinalis (sumsum tulang belakang).
g. Ultrasonografi dan CT Scan: untuk mengetahui ada tidaknya trauma pada hepar
dan retroperitoneum. Pemeriksan ini juga bermanfaat untuk menentukan derajat
intensitas cedera hepar.
h. Abdominal paracentesis
Merupakan pemeriksaan tambahan yang sangat berguna untuk menentukan
adanya perdarahan dalam rongga peritoneum. Lebih dari 100.000 eritrosit/mm
dalam larutan NaCl yang keluar dari rongga peritoneum setelah dimasukkan 100
200 ml larutan NaCl 0.9% selama 5 menit, merupakan indikasi untuk laparotomi.
8. Penatalaksanaan
a. Pre Hospital
Pengkajian yang dilakukan untuk menentukan masalah yang mengancam nyawa,
harus mengkaji dengan cepat apa yang terjadi dilokasi kejadian. Paramedik
mungkin harus melihat apabila sudah ditemukan luka tikaman, luka trauma benda
lainnya, maka harus segera ditangani, penilaian awal dilakukan prosedur ABC jika
ada indikasi. Jika korban tidak berespon, maka segera buka dan bersihkan jalan
napas.
1) Airway
Dengan kontrol tulang belakang. Membuka jalan napas menggunakan teknik
head tilt chin lift atau menengadahkan kepala dan mengangkat dagu, periksa
adakah benda asing yang dapat mengakibatkan tertutupnya jalan napas,
muntahan, makanan, darah atau benda asing lainnya.
2) Breathing
Dengan ventilasi yang adekuat. Memeriksa pernapasan dengan menggunakan
cara lihat dengar rasakan tidak lebih dari 10 detik untuk memastikan
apakah ada napas atau tidak. Selanjutnya lakukan pemeriksaan status respirasi
korban (kecepatan, ritme dan adekuat tidaknya pernapasan).
3) Circulation
Dengan kontrol perdarahan hebat. Jika pernapasan korban tersengal-sengal
dan tidak adekuat, maka bantuan napas dapatdilakukan. Jika tidak ada tandatanda sirkulasi, lakukan resusitasi jantung paru segera. Rasio kompresi dada
dan bantuan napas dalam RJP adalah 30 : 2 (30 kali kompresi dada dan 2 kali
bantuan napas).

Penanganan awal trauma non- penetrasi (trauma tumpul) :


1) Stop makanan dan minuman
2) Imobilisasi
3) Kirim kerumah sakit.
b. Hospital
Penatalaksanaan kedaruratan
1) Mulai prosedur resusitasi (memperbaiki jalan napas, pernapasan, sirkulasi)
sesuai indikasi
2) Pertahankan pasien pada brankar atau tandu papan ; gerakkan dapat
menyebabkan fragmentasi bekuan pada pada pembuluh darah besar dan
3)
4)
5)
6)
7)
8)

menimbulkan hemoragi massif


Pastikan kepatenan jalan napas dan kestabilan pernapasan serta sistem saraf.
Jika pasien koma, bebat leher sampai setelah sinar x leher didapatkan.
Gunting baju dari luka.
Hitung jumlah luka.
Tentukan lokasi luka masuk dan keluar.
Kaji tanda dan gejala hemoragi. Hemoragi sering menyertai cedera abdomen,

khususnya hati dan limpa mengalami trauma.


9) Kontrol perdarahan dan pertahanan volume darah sampai pembedahan
dilakukan.
a) Berikan kompresi pada luka perdarahan eksternal dan bendungan luka
dada.
b) Pasang kateter IV diameter besar untuk penggantian cairan cepat dan
memperbaiki dinamika sirkulasi.
c) Perhatikan kejadian syoksetelah respons awal terjadi terhadap transfusi ;
ini sering merupakan tanda adanya perdarrahan internal.
d) Dokter dapat melakukan parasentesis untuk mengidentifikasi tempat
perdarahan.
10) Aspirasi lambung dengan selang nasogastrik. Prosedur ini membantu
mendeteksi luka lambung, mengurangi kontaminasi terhadap rongga
peritonium, dan mencegah komplikasi paru karena aspirasi.
11) Tutupi visera abdomen yang keluar dengan balutan steril, balutan salin basah
untuk mencegah nkekeringan visera.
a) Fleksikan lutut pasien ; posisi ini mencegah protusi lanjut.
b) Tunda pemberian cairan oral untuk mencegah meningkatnya peristaltik
dan muntah
12) Pasang kateter uretra menetap untuk mendapatkan kepastian adanya hematuria
dan pantau haluaran urine.

13) Pertahankan lembar alur terus menerus tentang tanda vital, haluaran urine,
pembacaan tekanan vena sentral pasien (bila diindikasikan), nilai hematokrit,
dan status neurologik.
14) Siapkan untuk parasentesis

atau

lavase

peritonium

ketika

terdapat

ketidakpastian mengenai perdarahan intraperitonium.


15) Siapkan sinografi untuk menentukan apakah terdapat penetrasi peritonium
pada kasus luka tusuk.
a) Jahitan dilakukan disekeliling luka
b) Kateter kecil dimasukkan ke dalam luka.
c) Agens kontras dimasukkan melalui kateter ; sinar x menunjukkan apakah
penetrasi peritonium telah dilakukan.
16) Berikan profilaksis tetanus sesuai ketentuan.
17) Berikan antibiotik spektrum luas untuk mencegah infeksi. trauma dapat
menyebabkan infeksi akibat karena kerusakan barier mekanis, bakteri eksogen
dari lingkungan pada waktu cedera dan manuver diagnostik dan terapeutik
(infeksi nosokomial).
18) Siapkan pasien untuk pembedahan jika terdapat bukti adanya syok, kehilangan
darah, adanya udara bebas dibawah diafragma, eviserasi, atau hematuria
Penanganan pada trauma benda tumpul dirumah sakit :
1) Pengambilan contoh darah dan urine
Darah di ambil dari salah satu vena permukaan untuk pemeriksaan
laboratorium rutin, dan juga untuk pemeriksaan laboratorium khusus seperti
pemeriksaan darah lengkap, potasium, glukosa, amilase.
2) Pemeriksaan rontgen
Pemeriksaan rongten servikal lateral, toraks antero posterior dan pelvis adalah
pemeriksaan yang harus di lakukan pada penderita dengan multi trauma,
mungkin berguna untuk mengetahui udara ekstraluminal di retro peritoneum
atau udara bebas di bawah diafragma, yang keduanya memerlukan laparotomi
segera
3) Study kontras urologi dan gastrointestinal
Dilakukan pada cedera yang meliputi daerah duodenum, kolon ascendens atau
decendens dan dubur.
Penatalaksanaan Medis :
1) Abdominal paracentesis
Menentukan adanya perdarahan dalam rongga peritonium, merupakan indikasi
untuk laparotomi.
2) Pemeriksaan laparoskopi
Mengetahui secara langsung penyebab abdomen akut.
3) Pemasangan NGT

Memeriksa cairan yang keluar dari lambung pada trauma abdomen.


4) Pemberian antibiotik untuk mencegah infeksi.
5) Laparotomi
B. Konsep Dasar Keperawatan
1. Pengkajian
a. Pengkajian primer
Dalam pengkajian pada trauma abdomen harus berdasarkan prinsip prinsip
Penanggulangan Penderita Gawat Darurat yang mempunyai skala prioritas A
(Airway), B (Breathing), C (Circulation), D (Dissability), E (Exposure). Hal ini
dikarenakan trauma abdomen harus dianggap sebagai dari multi trauma dan dalam
pengkajiannya tidak terpaku pada abdomennya saja. Udeani & Seinberg (2011)
menyatakan bahwa faktor penting yang berhubungan dengan klien trauma tumpul
abdomen, khususnya yang berhubungan dengan kecelakaan kendaraan bermotor
perlu digali lebih lanjut, baik itu dari klien, keluarga, saksi, ataupun polisi dan
paramedis. Hal-hal tersebut mencakup:
1) Proses kecelakaan dan kerusakan kendaraan
2) Waktu pembebasan (evakuasi) yang dibutuhkan
3) Apakah klien meninggal
4) Apakah klien terlempar dari kendaraan
5) Bagaimana fungsi peralatan keselamatan seperti sabuk pengaman dan airbags
6) Apakah klien dalam pengaruh obat atau alcohol
7) Apakah ada cidera kepala atau tulang belakang
8) Apakah ada masalah psikiatri
9) Pada klien anak, perlu digali apakah ada riwayat gangguan koagulasi atau
penggunaan obat-obat anti platelet (seperti pada defek jantung congenital)
karena dapat meningkatkan resiko perdarahan pada cidera intra abdomen
(Wegner et al.,2006).
Pada pengkajian primer hal yang perlu dikaji:
1) Airway
Pastikan bahwa jalan napas klien lancar, tidak ada sumbatan maupun benda
asing. Dengan kontrol tulang belakang. Membuka jalan napas menggunakan
teknik head tilt chin lift atau menengadahkan kepala dan mengangkat dagu,
periksa adakah benda asing yang dapat mengakibatkan tertutupnya jalan
2)

napas, muntahan, makanan, darah atau benda asing lainnya.


Breathing
Periksa pernapasan dengan menggunakan cara lihat dengar rasakan tidak
lebih dari 10 detik untuk memastikan apakah ada napas atau tidak. Selanjutnya

lakukan pemeriksaan status respirasi korban (kecepatan, ritme dan adekuat


3)

tidaknya pernapasan).
Circulation
Kaji status peredarandarah: nadi, tanda-tanda pada kulit, tekanan darah. Klien

4)
5)

dengan trauma abdomen dapa tkehilangan darah dalam jumlah yang banyak.
Dissability: kaji tingkat kesadaran klien.
Exposure
Pastikan adakah tanda-tanda trauma yang mengancam jiwa. Missal adanya
jejas di daerah klavikula, atau pada daerah abdomen.
Kemudian lakukan pengkajian AMPLE yaitu Allergies, Medications, Past
medical history, Last meal or other intake, Events leading to presentation
(Salomone & Salomone,2011).
b. Pengkajian Sekunder
Pengkajian ini dilakukan setelah pengkajian airway, breathing, circulation
ditemukan dan diatasi. Pengkajian sekunder meliputi :
1) Alasan masuk rumah sakiy
2) Riwayat penyakit sekarang
a) Waktu kejadian hingga masuk rumah sakit
b) Mekanisme atau biomekanik
c) Lingkungan keluarga, kerja, masyarakat sekitar
2) Riwayat penyakit dahulu
a) Perawatan yang pernah dialami
b) Penyakit lainnya antara lain DM, Hipertensi, PJK dll
3) Riwayat penyakit keluarga: penyakit yang diderita oleh anggota keluarga
4) Pemeriksaan Fisik
a) Inspeksi
Pemeriksaan abdomen untuk menentukan tanda-tanda eksternal dari

cedera. Perlu diperhatikan adanya area yang abrasi dan atau ekimosis.
Catat pola cedera yang potensial untuk trauma intra abdomen (seperti
abrasi karena sabuk pengaman, hantaman dengan papan kemudi-yang
membentuk contusio). Pada banyak penelitian, tanda (bekas) sabuk
pengaman dapat dihubungkan dengan ruptur usus halus dan

peningkatan insidensi cidera intra abdomen.


Observasi pola pernafasan karena pernafasan
mengindikasikan
abdomen,

cedera

yang

medulla

spinalis.

kemungkinan

perut

Perhatikan

berhubungan

dapat
distensi
dengan

pneumoperitoneum, dilatasi gastrik, atau ileus yang diakibatkan iritasi


peritoneal.

Bradikardi mengindikasikan adanya darah bebas di intra peritoneal

pada pasien dengan cedera trauma tumpul abdomen.


Cullen sign (ekimosis periumbilikal) menandakan adanya perdarahan
peritoneal, namun gejala ini biasanya muncul dalam beberapa jam
sampai hari. Memar dan edema panggul meningkatkan kecurigaan

adanya cedera retroperitoneal.


Inspeksi genital dan perineum dilakukan untuk melihat cedera jaringan

lunak, perdarahan, dan hematom.


b) Auskultasi
Bising pada abdomen menandakan adanya penyakit vaskular atau

fistula arteriovenosa traumatik.


Suara usus pada rongga thoraks menandakan adanya cedera

diafragmatika.
Selama auskultasi, palpasi perlahan dinding abdomen dan perhatikan

reaksinya.
c) Palpasi
Palpasi seluruh dinding abdomen dengan hati-hati sembari menilai
respon pasien. Perhatikan massa abnormal, nyeri tekan, dan

deformitas.
Konsistensi yang lunak dan terasa penuh dapat mengindikasikan

perdarahan intraabdomen.
Krepitasi atau ketidakstabilan kavum thoraks bagian bawah dapat
menjadi tanda potensial untuk cidera limpa atau hati yang berhubungan

dengan cedera tulang rusuk.


Ketidakstabilan pelvis merupakan tanda potensial untuk cedera traktus
urinarius bagian bawah, seperti hematom pelvis dan retroperitoneal.

Fraktur pelvis terbuka berhubungan tingkat kematian sebesar 50%.


Pemeriksaan rektal dan bimanual vagina dilakukan untuk menilai
perdarahan dan cedera. Feces semestinya juga diperiksa untuk menilai
adakah perdarahan berat atau tersamar. Tonus rectal juga dinilai untuk

mengetahui status neurologis dari klien.


Pemeriksaan sensori pada thorak dan abdomen dilakukan untuk
evaluasi adanya cedera medulla spinalis. Cedera medulla spinalis bisa
berhubungan dengan penurunan atau bahkan tidak adanya persepsi

nyeri abdomen pada pasien.


Distensi abdomen dapat merupakan hasil dari dilatasi gastrik sekunder
karena bantuan ventilasi atau terlalu banyak udara.

Tanda peritonitits (seperti tahanan perut yang involunter, kekakuan)

segera setelah cedera menandakan adanya kebocoran isi usus.


d) Perkusi
Untuk mengetahui adanya cairan atau massa pada rongga abdomen.
Nyeri pada perkusi merupakan tanda peritoneal. Nyeri pada perkusi
membutuhkan evaluasi lebih lanjut dan kemungkinan besar konsultasi
pembedahan.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Defisit Volume cairan dan elektrolit berhubungan dengan perdarahan
b. Nyeri berhubungan dengan adanya trauma abdomen atau luka penetrasi abdomen.
c. Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan pembedahan, tidak adekuatnya
pertahanan tubuh
d. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan fisik
3. Intervensi
a. Defisit Volume

1)
2)
3)
4)
5)

cairan

dan

elektrolit

berhubungan

dengan

perdarahan

Tujuan : terjadi keseimbangan volume cairan.


Kriteria hasil: kebutuhan cairan terpenuhi
Intervensi :
Kaji tanda-tanda vital kekurangan cairan (mukosa bibir, turgor kulit)
Pantau cairan parenteral dengan elektrolit, antibiotik dan vitamin
Kaji tetesan infus
Kolaborasi : Berikan cairan parenteral sesuai indikasi.
Tranfusi darah
b. Nyeri berhubungan dengan adanya trauma abdomen atau luka penetrasi abdomen.
Tujuan : Nyeri teratasi
Kriteria hasil: Nyeri berkurang atau hilang.
Intervensi :
1) Kaji karakteristik nyeri dengan PQRST
2) Beri posisi semi fowler.
3) Ajarkan tehnik manajemen nyeri seperti napas dalam, dan distraksi
4) Kolaborasi pemberian analgetik sesuai indikasi.
5) Managemant lingkungan yang nyaman
c. Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan pembedahan, tidak adekuatnya
pertahanan tubuh.
Tujuan : Tidak terjadi infeksi
Kriteria hasil: tidak ada tanda-tanda infeksi (rubor, kalor, dolor, tumor,
fungsiolesa)
Intervensi :
1) Kaji tanda-tanda infeksi
2) Kaji keadaan luka
3) Pantau tanda-tanda vital

4) Lakukan perawatan luka dengan teknik aseptik


5) Lakukan perawatan terhadap prosedur invasif seperti infus, kateter, drainase,
dll.
6) Kolaborasi pemberian antibiotik.
d. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan fisik
Tujuan : dapat bergerak bebas
Kriteria hasil: mempertahankan mobilitas optimal
Intervensi :
1) Kaji kemampuan pasien untuk bergerak
2) Dekatkan peralatan yang dibutuhkan pasien
3) Berikan latihan gerak aktif pasif
4) Bantu kebutuhan pasien
5) Kolaborasi dengan ahli fisioterapi.
4. Evaluasi
a. Kebutuhan cairan klien seimbang
b. Nyeri berkurang
c. Tidak terjadi infeksi
d. Klien dapat bergerak bebas

Anda mungkin juga menyukai