Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN

DECOMPENSASI CORDIS

1.1 Pengertian

Decompensasi cordis adalah suatu kondisi dimana jantung mengalami

kegagalan dalam memompa darah guna mencukupi kebutuhan sel-sel tubuh

akan nutrient dan oksigen secara adekuat (Udjianti, 2010). Decompensasi

cordis (DC) atau gagal jantung adalah sindrome klinis (sekumpulan tanda dan

gejala) yang ditandai dengan sesak nafas dan fatik saat istirahat atau saat

aktivitas yang disebabkan oleh kelainan struktur atau fungsi pada jantung

(Nurarif dan Kusuma, 2013). Decompensasi cordis (DC) adalah suatu keadaan

ketika jantung tidak mamou mempertahankan sirkulasi yang cukup bagi

kebutuhan tubuh, meskipun tekanan vena normal (Muttaqin, 2010)

1.2 Etiologi

Kontraktilitas miokardium dapat menurun pada infark miokard atau

kardiomyopati. Faktor lain yang dapat menyebabkan jantung gagal sebagai

pompa adalah gangguan pengisisan ventrikel (stenosis katup atrioventrikuler),

gangguan pada pengisian dan ejeksi ventrikel (perikarditis konstriktif dan

temponade jantung). Dari seluruh penyebab tersebut diduga yang paling

mungkin terjadi adalah pada setiap kondisi tersebut mengakibatkan pada

gangguan penghantaran kalsium di dalam sarkomer, atau di dalam sistesis atau

fungsi protein kontraktil ( Price. Sylvia A, 2009).


Penyebab kegagalan jantung dikategori kepada tiga penyebab :

a. Stroke volume : isi sekuncup

b. Kontraksi kardiak

c. Preload dan afterload

Meliputi :

1. Kerusakan langsung pada jantung (berkurang kemampuan

berkontraksi), infark myocarditis, myocarial fibrosis, aneurysma

ventricular.

2. Ventricular overload terlalu banyak pengisian dari ventricle.

1) Overload tekanan (kebanyakan pengisian akhir : stenosis aorta atau

arteri pulmonal, hipertensi pulmonary.

2) Keterbatasan pengisian sistolik ventricular.

3) Pericarditis konstriktif atau cardomyopati, atau aritmi, kecepatan

yang tinggi,tamponade, mitral stenosis.

4) Ventrucular overload (kebanyakan preload) regurgitasi dari aourta,

defek seftum ventricular.

Menurut Smeltzer, (2011) ,penyebab gagal jantung meliputi :

1. Kelainan otot jantung misalnya : aterosklerosis koroner (keadaan

patologis dimana terjadi penebalan arteri koronoris oleh lemak “streak”).

2. Hipertensi sistemik (peningkatan tekanan darah diatas 140/90 MmHg)

atau hipertensi pulmonal (peningkatan tekanan darah diparu-paru akibat

kongesti pulmonal).

3. Peradangan dan penyakit degeneratif, misalnya : miokarditis (peradangan

pada otot jantung), endokarditis (penyakit infeksi pada endokard atau


katup jantung) rematik (setiap kondisi yang disertai nyeri dan kaku pada

musculoskeletal)

4. Penyakit jantung lain, misalnya : pada mekanisme gangguan aliran darah

melalui jantung (stenosis atau penyempitan katup semilunar dan katup

alveonar), pada peningkatan afterload mendadak hipertensi maligna

(peningkatan tekanan darah berat disertai kelainan pada retina,ginjal dan

kelainan serebal).

5. Faktor siskemik, misal : pada meningkatnya laju metabolisme (demam

tiroktosikosis) meningkatnya kebutuhan oksigen jaringan (hipoksia atau

berkurangnya oksigen dalam darah, anemia atau berkurangnya kadar

hemoglobin), asidosis metabolik dan abnormal elektrolit dapat

menurunkan kontraktilitas otot jantung.

1.3 Klasifikasi

Adapun klasifikasi Decompensasi Cordis adalah, gagal jantung kanan

dan gagal jantung kiri (Tambayong, 2011), berdasarkan bagian jantung yang

mengalami kegagalan pemompaan, gagal jantung terbagi atas :

1. Decompensasi cordis kiri/gagal jantung kiri

Dengan berkurangnya curah jantung pada gagal jantung

mengakibatkan pada akhir sistol terdapat sisa darah yang lebih banyak dari

keadaan keadaan normal sehingga pada masa diatol berikutnya akan

bertambah lagi mengakibatkan tekanan distol semakin tinggi, makin lama

terjadi bendungan didaerah natrium kiri berakibat tejadi peningkatan tekanan

dari batas normal pada atrium kiri (normal 10-12 mmHg) dan diikuti pula

peninggian tekanan vena pembuluh pulmonalis dan pebuluh darah kapiler di


paru, karena ventrikel kanan masih sehat memompa darah terus dalam atrium

dalam jumlah yang sesuai dalam waktu cepat tekanan hodrostatik dalam

kapiler paru-paru akan menjadi tinggi sehingga melampui 18 mmHg dan

terjadi transudasi cairan dari pembuluh kapiler paru-paru.

Gagalnya khususnya pada ventrikel kiri untuk memompakan darah

yang mengandung oksigen tubuh yang berakibat dua antara lain:

a. Tanda-tanda dan gejela penurunan cardiak output seperit dyspnea de

effort (sesak nafas pada akktivitas fisik, ortopnoe (sesak nafas pada

saat berbaring dan dapat dikurangi pada saat duduk atau

berdiri.kemudian dispnue noktural paroksimalis (sesak nafas pada

malam hari atau sesak pada saat terbangun)

b. Dan kongesti paru seperti menurunnya tonus simpatis, darah balik

yang bertambah, penurunan pada pusat pernafasan, edema paru,

takikakrdia,

c. Disfungsi diatolik, dimana ketidakmampuan relaksasi distolik dini (

proses aktif yang tergantung pada energi ) dan kekakuan dindiing

ventrikel.

2. Decompensasi cordis kanan / gagal jantung kanan

Kegagalan ventrikel kanan akibat bilik ini tidak mampu memompa

melawan tekanan yang naik pada sirkulasi pada paru-paru, berakibat

membaliknya kembali kedalam sirkulasi sistemik, peningkatan volume

vena dan tekanan mendorong cairan keintertisiel masuk kedalam (edema

perifer) (long, 2008). Kegagalan ini akibat jantung kanan tidak dapat

khususnya ventrikel kanan tidak bisa berkontraksi dengan optimal , terjadi


bendungan diatrium kanan dan venakapa superior dan inferior dan tampak

gejal yang ada adalah odema perifer, hepatomegali, splenomegali, dan

tampak nyata penurunan tekanan darah yang cepat.

Berdasarkan hubungan antara aktivitas tubuh dengan keluhan

dekompensasi dapat dibagi berdasarkan klasifikasi sebagai berikut :

1) Pasien dengan penyakit Jantung tetapi tidak memiliki keluhan pada

kegiatan sehari-hari.

2) Pasien dengan penyakit jantung yang menimbulkan hambatan aktivitas

hanya sedikit, akan tetapi jika ada kegaiatn berlebih akan menimbulkan

capek, berdebar, sesak serta angina.

3) Pasien dengan penyakit jantung dimana aktivitas jasmani sangat terbatas

dan hanya merasa sehat jika beristirahat.

4) Pasien dengan penyakit jantung yang sedikit saja bergerak langsung

menimbulkan sesak nafas atau istirahat juga menimbulkan sesak nafas.

1.4 Patofisiologi

Penyebab Decompensasi Cordis menurut Smeltzer (2010), yaitu

mekanisme yang mendasari gagal jantung meliputi gangguan kemampuan

kontraktilitas jantung, yang menyebabkan curah jantung lebih rendah dari

curah jantung normal, bila curah jantung berkurang system saraf simpatis akan

mempercepat frekuensi jantung untuk mempertahankan perfusi jaringan yang

memadai maka volume sekuncuplah yang harus menyesuaikan diri untuk

mempertahankan curah jantung. Tetapi pada gagal jantung masalah utamanya

adalah kerusakan dan kekakuan serabut otot jantung dan volume sekuncup itu

dipengaruhi tiga factor yaitu preload, kontraktilitas dan afterload ,jika salah
satu dari ketiga factor tersebut terganggu maka curah jantungnya akan

berkurang. Curah jantung yang menurun menyebabkan kongesti jaringan yang

terjadi akibat peningkatan tekanan arteri atau vena kongesti paru terjadi karena

ventrikel kiri gagal memompa darah dari paru. Peningkatan tekanan dalam

sirkulasi paru menyebabkan cairan terdorong keparu, manifestasinya meliputi

dispnea, batuk, mudah lelah, takikardi, bunyi jantung S3, kecemasan dan

kegelisahan.

Menurut Nettina (2010), penurunan kontraktilitas miokardium, pada

awalnya hal ini hanya timbul saat aktivitas berat atau olah raga dan tekanan

vena juga mulai meningkat dan terjadilah vasokontriksi luas, hal ini kemudian

meningkatkan afterload sehingga curah jantung semakin turun.

Patofisiologi decompensasi cordis/ gagal jantung menurut Price (2010)

adalah sebagai berikut:

1. Gagal jantung kiri

Kegagalan dari pemompaan oleh ventrikel kiri mengakibatkan curah

jantung menurun. Akibat ke depan menimbulkan gejala kelemahan atau

kelelahan. Sedangkan akibat ke belakang mengakibatkan toleran dan

volume akhir diastole meningkat sehingga terjadi bendungan vena

pulmonalis, kemudian terjadi di paru-paru. Akibat adanya sisa tekan di

ventrikel kiri mengakibatkan rangsang hipertrofi sel yang menyebabkan

kardiomegali. Beban atrium kiri meningkat dan akhirnya terjadi

peningkatan beban vena pulmonalis, kemudian mendesak paru-paru dan

akhirnya terjadi oedema. Hemoptisis dapat terjadi pada dekompensasi


kordis karena dinding kapiler jantung sangat tipis dan rentan sehingga

dapat mengakibatkan perdarahan.

2. Gagal jantung kanan

Gangguan pompa ventrikel kanan mengakibatkan aliran darah ke paru-

paru menurun ada akhirnya curah jantung menurun. Tekanan dan volume

akhir diastole ventrikel meningkat sehingga terjadi bendungan di atrium

kanan yang mengakibatkan bendungan vena kava. Akibat bendungan di

vena kava maka aliran vena hepatikum, vena dari lien terbendung akhirnya

timbul hepatosplenomegali, asites, edema perifer terutama kaki.


1.6 Manifestasi klinis

Adapun tanda dan gejala decompensasi cordis menurut Chung (2010) adalah

sebagai berikut:

a. Kelelahan/ kelemahan.

b. Dispnea.

c. Ortopne.

d. Dispne nokturia paroksimal.

e. Batuk.

f. Nokturia.

g. Anoreksia.

h. Nyeri kuadran kanan atas.

i. Takikardia.

j. Pernapasan cheyne-stokes.

k. Sianosis.

l. Ronkhi basah

m. Peninggian tingkat pulsasi vena jugularis.

n. Hepatosplenomegali.

o. Asites.

p. Edema perifer

Menurut Tambayong (2010), gagal jantung (decompensasi cordis)

dimanifestasikan sesuai klasifikasinya:

1. Gagal jantung kiri, ditandai :

a. Edema Pulmo (penumpukan cairan pada rongga dada)

b. Dispnea (sesak nafas)


c. Wheezing (mengi’jawa)

d. Mudah lelah

e. Ansietas (perasaan cemas)

2. Gagal jantung kanan, ditandai :

a. Oedem depend (penumpukan cairan pada daerah distal dari jantung)

b. Hepatomegali (pembesaran hati)

c. Asites (penumpukan cairan pada rongga peritoneum)

d. Distensi vena jugularis (adanya bendungan pada vena jugularis)

1.7 Pemeriksaan penunjang

1) EKG : Hipertrofi atrial atau ventrikuler, penyimpangan aksis, iskemia san

kerusakan pola mungkin terlihat. Disritmia mis : takhikardi, fibrilasi atrial.

Kenaikan segmen ST/T persisten 6 minggu atau lebih setelah infark

miokard menunjukkan adanya aneurime ventricular.

2) Scan jantung (Multigated Alquistion/MUGA), tindakan penyuntikan fraksi

dan memperkirakan pergerakan dinding.

3) Kateterisasi jantung : Tekanan bnormal merupakan indikasi dan membantu

membedakan gagal jantung sisi kanan verus sisi kiri, dan stenosi katup

atau insufisiensi, Juga mengkaji potensi arteri kororner. Zat kontras

disuntikkan kedalam ventrikel menunjukkan ukuran bnormal dan ejeksi

fraksi/perubahan kontrktilitas (Wilson Lorraine M, 2003).

4) Rontgen dada : dapat menunjukkan pembesaran jantung, bayangan

mencerminkan dilatasi atau hipertropi bilik, perubahan pembuluh darah

mencerminkan peningkatan tekanan pulmonal, bulging pada perbatasan

jantung kiri dapat menunjukkan aneurisma ventrikel.


5) Elektrolit serum yang mengungkapkan kadar natrium yang rendah

sehingga hasil hemodilusi darah dari adanya kelebihan retensi air.

6) Oksimetri nadi : saturasi oksigen mugkin rendah terutama jika gagal

jantung kanan akut memperburuk penyakit paru abstruksi menahun atau

gagal jantung kronis.

7) Blood Urea Nitrogen, Kreatinin : peningkatan blood nitrogen menandakan

penurunan fungsi ginjal. Kenaikan baik blood urea nitrogen dan kreatin

merupakan indikasi gagal ginjal.

8) Albumin : mungkin menurun sebagai akibat penurunan masukan protein

atau penurunan sintesis protein dalam hepar yang mengalami kongesti.

9) Hitung sel darah merah : mungkin terjadi anemia, polisitemia atau

perubahan kepekatan menandakan retensi urine. Sel darah putih mungkin

meningkat mencerminkan miokard infark akut, perikarditas atau status

infeksi lain..

10) Foto thorak dapat mengungkapkan adanya pembesaran jantung, edema

atau efusi fleura yang menegaskan diagnisa CHF.

1.8 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan dari dekompensasi kordis pada dasarnya diberikan

hanya untuk menunggu saat terbaik untuk melakukan tindakan bedah pada

penderita yang potentially curable. Dasar pengobatan dekompensasi kordis

dapat dibagi menjadi :

1) Non medikamentosa.

Dalam pengobatan non medikamentosa yang ditekankan adalah istirahat,

dimana kerja jantung dalam keadaan dekompensasi harus dikurangi benar–


benar dengan tirah baring (bed rest) mengingat konsumsi oksigen yang

relatif meningkat. Sering tampak gejala–gejala jantung jauh berkurang

hanya dengan istirahat saja. Diet umumnya berupa makanan lunak dengan

rendah garam. Jumlah kalori sesuai dengan kebutuhan. Penderita dengan

gizi kurang diberi makanan tinggi kalori dan tinggi protein. Cairan

diberikan sebanyak 80–100 ml/kgbb/hari dengan maksimal 1500 ml/hari.

2) Medikamentosa

Pengobatan dengan cara medika mentosa masih digunakan diuretik oral

maupun parenteral yang masih merupakan ujung tombak pengobatan gagal

jantung. Sampai edema atau asites hilang (tercapai euvolemik). ACE-

inhibitor atau Angiotensin Receptor Blocker (ARB) dosis kecil dapat

dimulai setelah euvolemik sampai dosis optimal. Penyekat beta dosis kecil

sampai optimal dapat dimulai setelah diuretik dan ACE-inhibitor tersebut

diberikan.

Pemakaian obat dengan efek diuretik-vasodilatasi seperti Brain N

atriuretic Peptide (Nesiritide) masih dalam penelitian. Pemakaian alat

Bantu seperti Cardiac Resychronization Theraphy (CRT) maupun

pembedahan, pemasangan ICD (Intra-Cardiac Defibrillator) sebagai alat

pencegah mati mendadak pada gagal jantung akibat iskemia maupun non-

iskemia dapat memperbaiki status fungsional dan kualitas hidup, namun

mahal. Transplantasi sel dan stimulasi regenerasi miokard, masih

terkendala dengan masih minimalnya jumlah miokard yang dapat

ditumbuhkan untuk mengganti miokard yang rusak dan masih memerlukan

penelitian lanjut.
3) Operatif

Pemakaian Alat dan Tindakan Bedah antara lain :

a. Revaskularisasi (perkutan, bedah).

b. Operasi katup mitral.

c. Aneurismektomi.

d. Kardiomioplasti.

e. External cardiac support.

f. Pacu jantung, konvensional, resinkronisasi pacu jantung biventricular.

g. Implantable cardioverter defibrillators (ICD).

h. Heart transplantation, ventricular assist devices, artificial heart.

i. Ultrafiltrasi, hemodialisis

1.9 Komplikasi

Adapun komplikasi yang bisa ditimbulkan dari decompensasi cordis ialah

sebagai berikut :

1. Syok kardigenik

2. aritmia

3. ruptur miokard

4. Episode tromboemboli.

5. Efusi dan tamporiade pericardium

6. Kematian
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

2.1 Pengkajian

Menurut Doenges (2013), hal-hal yang perlu dikaji pada penderita

decompensasi cordis antara lain :

1. Aktivitas atau istirahat

a. Gejala : keletihan atau kelelahan, insomnia, nyeri dada dengan

aktivitas dispnea pada istirahat atau pada pengerahan tenaga.

b. Tanda : gelisah perubahan status mental (misal : letargi), tanda vital

berubah pada aktivitas.

2. Sirkulasi

a. Gejala : riyawat hipertensi infark miokartd akut, episode gagal jantung

kanan sebelumnya, penyakit katup jantung, endokarditis siskemik

lupus eritema tosus, anemia, syok septik, bengkak pada telapak kaki,

abdomen.

b. Tanda : tekanan darah mungkin rendah (gagal pemompaan),normal

(gagal jantung kanan ringan atau kronis) atau tinggi (kelebihan beban

cairan). Tekanan nadi : mungkin sempit menunjukkan penurunan

volume sekuncup. Frekuensi jantung takikardi (gagal jantung kiri).

Irama jantung: disritmia (misal: fibrilasi atrium, kontraksi ventrikel

premature atau takikardi, blok jantung). Nadi apikal penyakit miokard

infark mungkin menyebar dan berubah posisi secara inferior ke kiri.

Bunyi jantung : S3 (galiop), S4 dapat terjadi, S1 dan S2 melemah

murmur sistolik dan diastolik dapat menandakan adanya stenosis

katup atau insufisiensi : nadi perifer berkurang perubahan dalam


kekuatan dapat terjadi, nadi sentral mungkin kuat (misal nadi

jugularis, karotis, abdominalis). Warna kulit : sianosis, pucat, abuabu,

kebiruan. Punggung kuku: pucat sianotik dan pengisian kapiler

lambat. Hepar membesar. Bunyi nafas : krekels, ronkhi, edem

mungkin depend, edem piting, khususnya ekstremitas,distensi vena

jugularis.

3. Integritas Ego

a. Gejala : ansietas, kuatir, takut, stress, berhubungan dengan finansial

atau penyakit.

b. Tanda : berbagai manifestasi perilaku, (misal: ansietas, marah,

ketakutan mudah tersinggung).

4. Makanan atau cairan

a. Gejala : kehilangan nafsu makan, mual atau muntah, penambahan

berat badan signifikan, pembengkakan pada ekstrimitas kbawah,

pakaian atau sepatu terasa sesak, diet tinggi garam atau makanan yang

telah diproses lemak, gula dan garam, kafein, penggunaan diuretik.

b. Tanda : penambahan berat badan cepat, distensi abdomen(asites),

edem (umum, dependen, tekanan, pitting).

5. Hygiene

a. Gejala : keletihan atau kelemahan, kelelahan selama aktivitas

perawatan diri.

b. Tanda : penampilan menandakan kelalaian perawatan personal.

6. Neurosensori

a. Gejala : kelemahan, pening, episode pingsan.


b. Tanda : latergi, kusut pikir, disorientasi, perubahan perilaku, mudah

tersinggung.

7. Nyerti atau kenyamanan

a. Gejala : nyeri dada, angina akut atau kronis, nyeri abdomen kanan

atas, sakit pada otot.

b. Tanda : tidak tenang, gelisah, fokus menyempit (menarik diri),

perilaku melindungi diri.

8. Pernafasan

a. Gejala : dispnea saat aktivitas, tidur sambil duduk atau dengan

beberapa bantal, batuk dengan tanpa pembentukan sputum,

riwayatpenyakit paru kronis, penggunaan bantuan pernafasan, misal:

oksigen atau medikasi.

b. Tanda : pernafasan; takipnea, nafas dangkal, penggunaan otot

aksesoris pernafasan. Batuk kering atau nyaring atau non produktif

atau mungkin batuk terus menerus dengan atau tanpa sputum. Bunyi

nafas : mungkin tidak terdengar krekels, mengi. Fungsi mental

mungkin menurun, letargi, kegelisahan. Warna kulit pucat atau

sianosis.

9. Keamanan

Gejala : perubahan dalam fungsi mental, kehilangan kekuatan atau tonus

otot, kulit lecet.

10. Interaksi

Gejala : penurunan keikut sertaan dalam aktivitas sosial yang biasa

dilakukan.
11. Pengajaran

a. Gejala : lupa menggunakan obat-obat jantung.

b. Tanda : bukti tentang ketidakberhasilan untuk meningkat.

2.2 Diagnosa keperawatan

1. Penurunan curah jantung b.d. perubahan kontraktilitas miocard atau

perubahan inotropik, perubahan frekwensi, irama, konduksi listrik,

perubahan struktural (misal : kelainan katup, aneurisme ventrikular)

2. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan menurunnya laju

filtrasi glomerulus (menurunnya curah jantung) meningkatnya

produksi antidiuretik hormone dan retensi natrium atau air.

3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara

suplai O2 kebutuhan, kelemahan umum, tirah baring lama.

4. Resiko tinggi gangguan pertukaran gas berhubungan dengan faktor

resiko perubahan membran kapiler alveolus.

5. Resiko tinggi terhadap kerusakan integritas kulit dengan faktor resiko

tirah baring lama, oedema, penurunan defusi.


2.3 Intervensi Keperawatan

No Tanggal Diagnosa Keperawatan NOC dan Indikator Serta Skor Awal Uraian Aktivitas Rencana Nama & TTD
Ditegakkan / Kode dan Skor Target Tindakan (NIC) Perawat
Diagnosa Keperawatan
1 Intoleransi Aktivitas b.d Tujuan : Tingkat Aktivitas Sukmana
Imobilisasi Fristiananda.s.kep
Setelah dilakukan asuhan keperawatan 1. Kaji respon,sosial dan
selama 3 kali 24 jam intoleransi aktivitas spritual terhadap aktivitas
teratasi pasien
Kriteria Hasil: 2. Tentukan penyebab
1. Mengidentifikasikan aktivitas/situasi keletihan
yang menimbulkan kecemasan 3. Pantau pola istirahat klien
2. Mengungkapkan secara verbal dan lamanya waktu tidur
pemahaman tentang, pengobatan dan 4. Kaloborasikan dengan ahli
perawatan yang dapat meningkatkan okupasi,fisik atau untuk
aktivitas merencenakan dan
3. Melakukan aktivitas kehidupan sehari memantau aktivitas, sesuai
– hari tanpa bantuan dengan kebutuhan pasien
DAFTAR PUSTAKA

Bulechek, Gloria M, dkk. 2016. Nursing Interventions Classification (NIC).

Indonesia : Elsevier Global Rights

Keliat, Anna Budi, dkk. 2018. NANDA-I Diagnosis Keperawatan Definisi

Klasifikasi 2018-2020. Jakarta : Buku Kedokteran EGC

Moorhead, Sue, dkk. 2016. Nursing Outcomes Classification (NOC). Indonesia :

Elsevier Global Rights

Nurarif, Amin Huda. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa

Medis & Nanda (North American Nursing Diagnosis Association) Nic-Noc,

Panduan Penyusunan Asuhan Keperawatan Profesional Jilid 3. Yogyakarta

: MediaAction

Syaifuddin. 2011. Anatomi Fisiologi Edisi 4. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai