Anda di halaman 1dari 21

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Gagal Jantung Kongestif

1. Definisi

Gagal jantung kongestif merupakan keadaan ketika jantung tidak

mampu memompa darah yang adekuat dalam memenuhi kebutuhan

sirkulasi untuk keperluan metabolisme jaringan tubuh (Stillwell, 2011).

Hal ini mengakibatkan peregangan ruang jantung sehingga otot jantung

kaku dan menebal karena harus memompa darah ke seluruh tubuh.

Jantung hanya memompa darah untuk waktu yang singkat dan dinding

otot jantung yang melemah tidak mampu memompa dengan kuat.

Keadaan ini mengakibatkan ginjal memberikan respon dengan menahan

air dan garam. Selanjutnya akan mengakibatkan bendungan cairan dalam

beberapa organ tubuh seperti tangan, kaki, paru, atau organ lain sehingga

tubuh menjadi bengkak atau disebut dengan congestive (Udjianti, 2010).

2. Klasifikasi

Klasifikasi gagal jantung kongestif menurut Kasron (2012), yaitu :

a. Gagal jantung Akut-Kronik

Gagal jantung akut terjadi secara tiba-tiba ditandai dengan

penurunan kardaik output dan ketidakadekuatan perfusi jaringan yang

mengakibatkan edema paru dan kolaps pembuluh darah. Sedangkan

gagal jantung kronik terjadi secara perlahan ditandai dengan penyakit


7
8

jantung iskemik dan penyakit paru kronik. Pada gagal jantung kronik

terjadi retensi air dan sodium pada ventrikel sehingga menyebabkan

hipervolemia yang mengakibatkan ventrikel dilatasi dan hipertrofi.

b. Gagal jantung Kanan-Kiri

Gagal jantung kiri terjadi karena ventrikel gagal untuk

memompa darah secara adekuat sehingga menyebabkan kongesti

pulmonal, hipertensi dan kelainan pada katup aorta/ mitral. Sedangkan

gagal jantung kanan disebabkan peningkatan tekanan pulmo akibat

gagal jantung kiri yang berlangsung cukup lama sehingga cairan yang

terbendung akan terakumulasi secara sistemik di kaki, asites,

hepatomegali, efusi pleura, dan lain sebagainya.

c. Gagal jantung Sistolik-Diastolik

Gagal jantung sistolik terjadi karena penurunan kontraktilitas

ventrikel kiri sehingga ventrikel kiri tidak mampu memompa darah

akibatnya cardiac output menurun dan ventrikel hipertrofi. Sedangkan

gagal jantung diastolik terjadi karena ketidakmampuan ventrikel dalam

pengisian darah akibatnya stroke volume cardiac output turun.

3. Etiologi

Penyebab gagal jantung antara lain disebabkan oleh kelainan otot

jantung yang terjadi karena penurunan kontraktilitas jantung dan kelainan

fungsi otot yang mencakup aterosklerosis koroner, hipertensi atrial, dan

penyakit otot degenerative atau inflamasi. Aterosklerosis koroner

mengakibatkan disfungsi miokardium karena terganggunya aliran darah ke


9

otot jantung sehingga terjadi hipoksia dan asidosis (akibat penumpukan

asam laktat). Hipertensi sistemik atau pulmonal dianggap sebagai

mekanisme kompensasi akibat peningkatan (afterload) beban kerja

jantung. Sedangkan peradangan dan penyakit miokardium degenerative

secara langsung merusak serabut jantung yang berakibat terjadinya

penurunan kontraktilitas jantung. Selain itu terdapat penyebab lain yang

secara tidak langsung berperan dalam memperberat gagal jantung seperti

gangguan aliran darah melalui jantung misal stenosis katup semilunar

(Budiyarti, 2013).

4. Manifestasi Klinis

Tanda dan gejala gagal jantung dapat dihubungkan dengan

ventrikel yang mengalami gangguan. Pada gagal jantung kiri, tanda dan

gejalanya antara lain kongesti pulmonal yang mengakibatkan dyspnea saat

beraktivitas, ortopnea, batuk kering tidak berdahak yang lama kelamaan

menjadi batuk berdahak, sputum berbusa, banyak dan berwarna pink

(berdarah), krekels paru, perfusi jaringan yang tidak memadai, kadar

saturasi oksigen yang rendah, adanya bunyi jantung tambahan bunyi

jantung S3 atau “gallop ventrikel” bisa dideteksi melalui auskultasi,

oliguria, nokturia, takikardi, pulsasi lemah, dan keletihan. Sedangkan

gagal jantung kanan tanda dan gejalanya yaitu kongesti pada jaringan

visceral dan perifer, edema ekstremitas bawah (edema dependen),

hepatomegali, asites (akumulasi cairan pada rongga peritoneum),


10

kehilangan nafsu makan, mual, kelemahan, dan peningkatan berat badan

akibat penumpukan cairan (Brunner & Suddarth, 2013).

5. Patofisiologi

Gagal jantung terjadi ketika curah jantung menurun sehingga tidak

mampu mencukupi kebutuhan metabolisme tubuh. Hal ini mengakibatkan

terjadinya mekanisme kompensasi untuk meningkatkan curah jantung

(Kasron, 2012). Curah jantung adalah volume darah yang dipompa tiap –

tiap ventrikel dalam satu menit atau isi sekuncup yang dikalikan dengan

frekuensi jantung. Sedangkan isi sekuncup adalah volume darah yang

dipompa pada setiap kontraksi yang merupakan hasil dari interaksi

preload, afterload dan kontraktilitas. Preload adalah volume darah

didalam ventrikel pada akhir diastole. Afterload adalah tahanan pada aliran

darah dari jantung yang bergantung pada kompetensi katup jantung.

Kontraktilitas adalah kekuatan dan kecepatan kontraksi ventrikel (Black &

Hawks, 2009).

Mekanisme kompensasi yang dilakukan dalam rangka memenuhi

kebutuhan metabolisme tubuh antara lain:

a. Peningkatan Aktivitas Adrenergic Simpatis

Menurunnya curah jantung membangkitkan respon simpatis

kompensatorik. Hal ini menstimulasi pengeluaran katekolamin dari

saraf-saraf adrenergik jantung dan medulla adrenal yang berfungsi

meningkatkan denyut jantung untuk mempertahankan curah jantung.

(Muttaqin, 2009)
11

b. Aktivasi Sitem Renin Angiotensin Aldosteron

Mekanisme pelepasan renin angiotensin aldosterone dipengaruhi oleh

menurunnya suplai darah ke ginjal yang mengakibatkan terangsangnya

sekresi aldosteron. aldosteron bekerja pada ginjal untuk meningkatkan

reabsorpsi garam ditubulus distal, dimana garam ini meningkatkan

reabsorpsi air pada ginjal yang berefek pada peningkatan volume

sirkulasi (Kasron, 2012)

c. Hipertrofi ventrikel

Hipertrofi ventrikel disebabkan karena peningkatan afterload yang

menetap, seperti hipertensi dan stenosis aorta. Hipertrofi ini akan dapat

memperbaiki kekuatan jantung, namun ventikel yang lebih tebal

sifatnya kurang komplian (fleksibel) yang mengakibatkan penurunan

pada pengosongan ventrikel yang efektif sehingga meningkatkan EDV

(End Diastolic Volume) dan menyebabkan peningkatan EDP (End

Diastolic Pressure). Selain itu juga terjadi peningkatan LAP (Left

atrium Pressure) sehingga darah kembali ke sirkulasi pulmonal.

(Black & Hawks, 2009).

Ketiga respon tersebut mencerminkan usaha dalam

mempertahankan curah jantung pada tingkat normal dan keadaan istirahat.

Namun, kelainan pada kerja ventrikel dan menurunnya curah jantung

biasanya tampak saat beraktivitas sehingga pada pasien gagal jantung

kongestif biasanya mengalami intoleransi aktivitas akibat

ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen (Muttaqin, 2009).


12

6. Pathway
Gagal jantung kongestif

Penurunan curah jantung

Aktivitas Aktivasi system renin Hipertrofi


adrenergic simpatis angiotensin aldosterone ventrikel

 Frekuensi jantung Reabsorpsi natrium dan Memperbaiki


 Kekuatan kontraksi air oleh tubulus kekuatan jantung
Ventrikel
Volume plasma

Mekanisme kompensasi gagal mempertahankan curah jantung

Dinding ventrikel kiri menebal

Compliance ventrikel kiri

Suplai darah ke otak dan kulit EDV dan EDP ventrikel kiri

Oksigenasi jaringan LAP

Metabolisme anaerob Darah kembali ke sirkulasi pulmonal

Penimbunan asam laktat Penimbunan cairan di alveoli

Keletihan Asidosis jaringan Pertukaran O2 dan CO2 terganggu

Intoleransi aktivitas Napas cepat dan pendek, takikardi Hiperventilasi

(Black & Hawks, 2009)


Gambar 2.1. Pathway gagal jantung kongestif
13

7. Komplikasi

Komplikasi yang timbul akibat gagal jantung kongestif antara lain

syok kardiogenik sebagai akibat penurunan curah jantung dan perfusi

jaringan yang tidak adekuat ke organ vital (jantung dan otak), episode

tromboemboli disebabkan karena imobilitas pasien dan gangguan sirkulasi

dengan aktivitas thrombus dapat menyumbat pembuluh darah, efusi dan

tamponade pericardium karena masuknya cairan ke kantung pericardium

sampai ukuran maksimal, CPO menurun dan aliran balik vena ke jantung

menuju temponade jantung, dan edema paru akut terjadi akibat gagal

jantung kiri (Brunner & Suddarth, 2013).

8. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang menurut Smeltzer & Bare (2010) pada

gagal jantung kongestif meliputi rontgen dada (X-ray dada), EKG, dan

pemeriksaan laboratorium. X-ray dada dan EKG digunakan untuk

mengetahui apakah terjadi pembesaran jantung dan kongesti paru,

terutama bila pasien menderita gagal jantung kiri dan untuk mendeteksi

kelainan kontraksi jantung yang ditunjukkan oleh penyimpangan grafik

pada EKG. Sedangkan pemeriksaan laboratorium meliputi tes darah rutin,

tes urin dan elektrolit. Tes darah rutin untuk mengetahui jumlah sel darah

merah (eritrosit) dan sel darah putih (leukosit) yang menunjukkan

kemungkinan terjadinya hipoksia dan resiko infeksi pada pasien gagal

jantung kongestif. Tes urin untuk mendeteksi kemungkinan terjadinya

retensi urin dan limbah metabolic lainnya yang disebabkan karena


14

penurunan venous return. Sedangkan tes elektrolit untuk mengetahui

ketidakseimbangan elektrolit intraselular dan ekstraselular yang dapat

beresiko aritmia.

9. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan gagal jantung kongestif secara umum meliputi

tindakan non farmakologis dan farmakologis. Tindakan non farmakologis

pada gagal jantung kronik antara lain meningkatkan oksigenasi dengan

pemberian oksigen dan menurunkan konsumsi oksigen melalui istirahat

atau pembatasan aktivitas, diet pembatasan natrium (< gr/hari) untuk

menurunkan edema, menghentikan obat-obatan yang memperparah seperti

NSAIDs karena efek prostaglandin pada ginjal menyebabkan retensi air

dan natrium, pembatasan cairan (kurang lebih 1200-1500 cc/hari), dan

olahraga secara teratur. Sedangkan tindakan non farmakologis pada gagal

jantung akut tindakannya meliputi pemberian oksigen melalui ventilasi

mekanik dan pembatasan cairan ( < 1,5 cc/hari). Selain tindakan non

farmakologis terdapat tindakan farmakologis yang bertujuan untuk

mengurangi afterload dan preload. Tindakan farmakologis meliputi

pemberian first line drugs (diuretic) untuk mengurangi afterload pada

disfungsi sistolik dan mengurangi kongesti pulmonal pada disfungsi

diastolic misalnya thiazide diuretik untuk CHF sedang, loop diuretic,

metolazon, dan kalium sparing diuretic dan pemberian second line drugs

(ACE inhibitor) untuk membantu meningkatkan COP dan menurunkan


15

kerja jantung misalnya, digoxin, hidralazin, isobarbide dinitrat, calcium

channel blocker, dan beta blocker (Amakali, 2015).

B. Intoleransi Aktivitas

Intoleransi aktivitas adalah ketidakcukupan energi psikologis atau

fisiologis untuk mempertahankan atau melakukan aktivitas kehidupan sehari-

hari (NANDA, 2015). Karena tubuh tidak mampu memproduksi energi yang

cukup untuk bergerak. Jadi, apapun penyakit yang membuat terhambatnya/

terputusnya suplai nutrisi dan O2 ke sel, dengan kata lain mengganggu

pembentukan energi dalam tubuh dapat menimbulkan respon tubuh berupa

intoleransi aktifitas. Jantung bertugas untuk memompa darah ke seluruh

tubuh, apabila jantung mengalami gangguan, maka darah yang membawa O2

dan nutrisi menjadi berkurang jumlahnya sehingga produksi energi menjadi

berkurang (Prihanto dan Robert 2007).

Karakteristik atau tanda gejala yang muncul pada pasien dengan

intoleransi aktivitas yaitu sesak napas (dyspnea) setelah beraktivitas,

keletihan, peningkatan frekuensi dan denyut nadi, serta ketidaknyamanan

setelah beraktivitas (NANDA, 2015).

Faktor yang berhubungan atau faktor yang mempengaruhi seseorang

mengalami intoleransi aktivitas antara lain gaya hidup kurang gerak misalnya

pada orang yang obesitas, imobilitas seperti pasien dengan fraktur,

ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen yaitu misalnya pada


16

pasien dengan gagal jantung kongestif, serta tirah baring seperti pada pasien

yang rawat inap lama di rumah sakit (NANDA, 2015).

Salah satu intervensi yang dapat dilakukan pada pasien dengan

intoleransi aktivitas yaitu dengan latihan fisik secara bertahap. Latihan fisik

secara bertahap dapat meningkatkan level toleransi aktivitas, meningkatkan

fungsi miokard dan meningkatkan kapasitas fungsional klien (Piepoli, et al,

2011). Selama latihan, target laju jantung harus dijaga tetap di bawah 120

kali/menit atau apabila pasien memiliki laju jantung istirahat yang tinggi,

target laju jantung harus berada maksimal 20 kali/menit di atas laju jantung

istirahat/menit (Arovah, 2010).

Peningkatan toleransi aktivitas selama latihan dapat diukur dengan

menggunakan Skala Borg. Skala Borg diperkenalkan oleh Gunnar Borg

dengan skala 6 – 20. Skala Borg dengan skala 6 – 20 mengikuti denyut

jantung orang dewasa yang sehat dengan mengalikan 10. Misalnya tenaga

yang dirasakan 12, diperkirakan memiliki denyut jantung 120 denyut per

menit. Skala 6 artinya tidak ada tenaga sama skali dan skala 20 artinya tenaga

maksimal. Semakin besar skala semakin besar juga tenaga yang dikeluarkan

(Contractor AS, 2016).


17

Tabel 2. 1

Skala Borg yang dimodifikasi

PERINGKAT INTENSITAS
6 Tidak ada upaya maksimal
7 Tidak ada upaya maksimal
8 Sangat longgar
9 Sangat longgar
10 Sangat mudah
11 Mudah
12 Mudah
13 Sedikit melelahkan
14 Sedikit melelahkan
15 Melelahkan
16 Melelahkan
17 Sangat melelahkan
18 Sangat melelahkan
19 Sangat sangat melelahkan
20 Upaya maksimal

Tabel diatas menjelaskan bahwa skala 6 dan 7 berarti tidak ada tenaga

sama sekali, skala 8 dan 9 berarti terlalu ringan tenaga yang dikeluarkan,

skala 10 berarti sangat ringan tenaga yang dikeluarkan, skala 11 dan 12

berarti ringan tenaga yang dikeluarkan, skala 13 dan 14 berarti sedikit berat

tenaga yang dikeluarkan, skala 15 dan 16 berarti berat tenaga yang

dikeluarkan, skala 17 dan 18 berarti sangat berat tenaga yang dikeluarkan,

skala 19 berarti terlalu berat tenaga yang dikeluarkan, dan skala 20 berarti

tenaga maksimal yang dikeluarkan (Borg, 1998).


18

C. Latihan Rehabilitasi Jantung

Latihan rehabilitasi jantung pada penderita gagal jantung merupakan

kegiatan latihan fisik secara bertahap dan terstruktur. Program latihan

rehabilitasi jantung ini bertujuan untuk mengoptimalkan kapasitas fisik tubuh

dan membantu pasien untuk kembali beraktivitas fisik seperti sebelum

mengalami gangguan jantung (Arovah, 2010). Manfaat latihan fisik

rehabilitatif pada penderita gangguan jantung antara lain mengurangi efek

samping fisiologis dan psikologis tirah baring di rumah sakit, memonitor

kondisi fisiologis penderita dan mempercepat proses pemulihan dan

kemampuan untuk kembali pada level aktivitas sebelum serangan jantung

(Mertha, 2010)

Selain memiliki manfaat yang vital, latihan fisik pada penderita

gangguan jantung dapat pula mencetuskan serangan ulang. Untuk

meminimalisasi resiko tersebut, latihan fisik di kontraindikasikan pada

keadaaan seperti angina tidak stabil, stenosis aorta sedang sampai berat,

gangguan sistemik akut atau demam, disritmia ventrikel atau atrium tidak

terkontrol, dan lain sebagainya. Oleh karena itu sebelum penderita memulai

program latihan fisik, penderita harus mendapatkan rekomendasi dari dokter

(Ades, 2001).

Pada individu dengan resiko rendah, program latihan tanpa supervisi

dapat dilakukan secepatnya, sedangkan pada penderita dengan resiko tinggi,

program latihan termonitor dapat dilakukan dalam selang waktu yang lebih

lama. Secara umum, program latihan dibagi menjadi program inpatient dan
19

out-patient. Program latihan inpatient dapat dilakukan sejak 24- 48 jam

setelah gangguan jantung sepanjang tidak terdapat kontraindikasi dan

dilakukan 5-7 hari pada saat pasien rawat inap di rumah sakit. Latihan fisik

yang dilakukan yaitu latihan fisik ringan dimaksudkan untuk mencegah

penggumpalan darah (Arovah, 2010).

Pada pasien rawat inap, tujuan rehabilitasi jantung adalah

memobilisasi atau melatih pasien segera setelah kondisi klinis stabil. Kriteria

stabil yaitu apabila tidak ada episode baru atau berulang nyeri dada selama 8

jam, tidak ada peningkatan kadar kreatinin kinase dan/ atau troponin, tidak ada

tanda-tanda baru gagal jantung dekompensata, serta tidak ada perubahan

elektrokardiogram signifikan dengan ritme abnormal dalam 8 jam terakhir.

Setelah dinyatakan stabil, pasien dapat diposisikan duduk ditepi tempat tidur

pada hari pertama kemudian hari berikutnya dimobilisasi bertahap (Contractor

AS, 2011)

Selama mobilisasi, target laju jantung harus dijaga tetap di bawah 120

kali/menit atau apabila pasien memiliki laju jantung istirahat yang tinggi,

target laju jantung harus berada maksimal 20 kali/menit di atas laju jantung

istirahat/menit. Pasien dikondisikan untuk berjalan, berawal di ruang

perawatan kemudian di koridor selama 2-5 menit, 2 sampai 4 kali/hari.

Peningkatan aktivitas bergantung pada hasil penilaian awal dan penilaian

ulang, dapat berlangsung dengan peningkatan cepat toleransi aktivitas pada

pasien risiko rendah (infark miokard tanpa komplikasi atau pasien tanpa
20

disfungsi ventrikel kiri) sampai ke peningkatan lambat pada pasien risiko

tinggi (seperti dengan gagal jantung) (Contractor AS, 2011).

Pada hari ketiga pasien dilatih berdiri dan berjalan perlahan-lahan.

Diukur tensi dan nadi setiap mulai dan selesai latihan, serta dicatat pada

lembaran kertas (log) yang tersedia. Hari-hari berikutnya intensitas latihan

ditingkatkan dengan berjalan kaki dikoridor diantara kamar, selanjutnya

dilakukan latihan diruang khusus untuk rehabilitasi. Ruangan ini dilengkapi

dengan peralatan seperti sepeda statis, ban berjalan, barber, tongkat, dll.

Pasien yang menjalani fase satu dilengkapi dengan monitor jarak jauh

(telemetri) sehingga dapat dicatat EKG yang bersangkutan saat melakukan

kegiatan latihan. (Soeharto, 2004)

Tabel 2.2.

Contoh aktivitas latihan pada fase rawat inap (inpatient)

Kelas Gerakan Contoh Aktivitas

Kelas I Duduk di tempat tidur dengan bantuan


Duduk di kursi 15-30 menit, 2-3 kali sehari
Kelas II Duduk di tempat tidur tanpa bantuan
Berjalan di dalam ruangan
Kelas III Duduk dan berdiri secara manditi
Berjalan dengan jarak 15-30 m dengan bantuan 3x sehari
Kelas IV Melakukan perawatan diri secara mandiri
Berjalan dengan jarak 50-70m dengan bantuan 3-4x sehari
Kelas V Berjalan dengan jarak 80-150 meter mandiri 3-4 x sehari
(Oldridge, 1988)
21

D. Asuhan Keperawatan Pada Gagal Jantung Kongestif

1. Pengkajian

Pengkajian keperawatan pada pasien gagal jantung kongestif menurut

Amakali (2015) yaitu:

a. Pengumpulan data meliputi data subjektif dari pasien dan data objektif.

Identitas diri: nama, usia, jenis kelamin, suku/bangsa, agama,

pendidikan, pekerjaan, alamat

b. Riwayat keperawatan/ keluhan utama: lemah saat melakukan aktivitas,

sesak nafas

c. Riwayat keperawatan sekarang

Penyebab kelemahan fisik setelah melakukan aktifitas ringan sampai

berat, seperti apa kelemahan melakukan aktifitas yang dirasakan,

biasanya disertai sesak nafas, apakah kelemahan fisik bersifat lokal

atau keseluruhan sistem otot rangka dan apakah disertai

ketidakmampuan dalam melakukan pergerakan, bagaimana nilai

rentang kemampuan dalam melakukan aktifitas sehari-hari, dan kapan

timbulnya keluhan kelemahan beraktifitas, seberapa lamanya

kelemahan beraktifitas, apakah setiap waktu, saat istirahat ataupun saat

beraktifitas.

d. Riwayat keperawatan dahulu

Apakah sebelumnya pernah menderita nyeri dada, darah tinggi, DM,

dan hyperlipidemia. Obat apa saja yang pernah diminum yang


22

berhubungan dengan obat diuretic, nitrat, penghambat beta serta

antihipertensi, dan apakah ada efek samping dan alergi obat.

e. Riwayat keperawatan keluarga

Penyakit apa yang pernah dialami keluarga dan adakah anggota

keluarga yang meninggal, apa penyebab kematiannya.

f. Riwayat pekerjaan/ kebiasaan

Situasi tempat kerja dan lingkungannya, kebiasaan dalam pola hidup

pasien, dan kebiasaan merokok.

g. Pengkajian 6B

1) Breathing: terlihat sesak dan frekuensi nafas melebihi normal

2) Bleeding

- Inspeksi: adanya parut, keluhan kelemahan fisik dan edema

ekstrimitas

- Palpasi: denyut nadi perifer melemah dan thrill

- Perkusi: Pergeseran batas jantung

- Auskultasi: Tekanan darah menurun dan terdapat bunyi jantung

tambahan

3) Brain: kesadaran biasanya compos mentis, sianosis perifer, dan

wajah meringis, menangis, merintih, meregang dan menggeliat.

4) Bladder: oliguria dan edema ekstrimitas

5) Bowel: mual, muntah, penurunan nafsu makan, dan penurunan

berat badan
23

6) Bone: kelemahan, kelelahan, tidak dapat tidur, pola hidup menetap,

dan jadwal olahraga tak teratur

h. Pengkajian Psikososial

Pengkajian psikososial meliputi integritas ego seperti menyangkal,

takut mati, marah, khawatir dan interaksi sosial seperti stress karena

keluarga, pekerjaan, kesulitan biaya ekonomi, kesulitan koping.

2. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan intoleransi aktivitas pada gagal jantung

kongestif yaitu intoleransi aktivitas berhubungan dengan

ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen (NANDA, 2015).

3. Rencana Keperawatan

Perencanaan keperawatan terdiri dari penetapan tujuan, mencakup

tujuan umum dan khusus, rencana intervensi serta dilengkapi dengan

rencana evaluasi yang memuat kriteria dan standar. Tujuan dirumuskan

secara spesifik, dapat diukur (mesurable), dapat dicapai (achivable),

rasional dan menunjukkan waktu (SMART) (NIC-NOC, 2015).

Tujuan atau kriteria evaluasi yang hendak dicapai yaitu klien

mampu berpartisipasi dalam aktivitas yang diinginkan, memenuhi

perawatan diri sendiri, mencapai peningkatan toleransi aktivitas yang

dapat diukur yang dibuktikan dengan menurunnya kelemahan dan

kelelahan.
24

Intervensi pada pasien gagal jantung dengan intoleransi aktivitas

meliputi:

a. Periksa tanda vital sebelum dan segera setelah aktivitas, khususnya

bila pasien menggunakan vasodilator, dan diuretic.

Rasional: hipotensi ortostatik dapat terjadi karena akibat dari obat

vasodilator dan diuretic.

b. Catat respon kardiopulmonal terhadap aktivitas, catat takikardi,

disritmia, dipsnea, pucat.

Rasional: penurunan atau ketidakmampuan miokardium untuk

meningkatkan volume sekuncup selama aktivitas, dapat menyebabkan

peningkatan segera pada frekuensi jantung dan kebutuhan oksigen,

juga peningkatan kelelahan dan kelemahan.

c. Evaluasi peningkatan intoleran aktivitas.

Rasional: dapat menunjukan dekompensasi jantung dari pada

kelebihan aktivitas.

d. Implementasi program latihan rehabilitasi jantung

Rasional : Peningkatan bertahap pada aktivitas menghindari kerja

jantung/konsumsi oksigen berlebihan. Penguatan dan perbaikan fungsi

jantung dibawah stress, bila fungsi jantung tidak dapat kembali

membaik.
25

4. Implementasi

Fokus pada tahap pelaksanaan tindakan keperawatan menurut

Handayaningsih (2007) yaitu kegiatan pelaksanaan tindakan dari

perencanaan untuk memenuhi kebutuhan fisik dan emosional klien.

Pemenuhan kebutuhan fisik dan emosional bervariasi, tergantung pada

individu dan masalah yang spesifik.

5. Evaluasi

Evaluasi dari hasil tindakan keperawatan pada klien CHF dengann

intoleransi aktivitas berdasarkan Nursing Outcame Classification (NOC)

2015 yaitu menunjukkan peningkatan toleransi terhadap aktivitas,

peningkatan energi psikomotor, dan peningkatan ketahanan.


7

Anda mungkin juga menyukai