Anda di halaman 1dari 21

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang masalah


Kita semua mungkin sudah banyak mendengar cerita-cerita yang menyeramkan
tentang HIV/AIDS. Penyebrangan AIDS itu berlangsung secara cepat dan mungkin
sekarang sudah ada disekitar kita. Sampai sekarang belum ada obat yang bisa
menyembuhkan AIDS, bahkan penyakit yang saat ini belum bisa dicegah dengan
vaksin.
Acquired Immune Deficiency Syndrome atau yang lebih dikenal dengan dengan
AIDS adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh virus HIV yaitu: H = Human
(manusia), I = Immuno deficiency (berkurangnya kekebalan), V = Virus.
Maka dapat dikatakan HIV adalah virus yang menyerang dan merusak sel kekebalan
tubuh manusia sehingga tubuh kehilangan daya tahan dan mudah terserang berbagai
penyakit antara lain TBC, diare, sakit kulit, dll. Kumpulan gejala penyakit yang
menyerang tubuh kita itulah yang disebut AIDS
Maka, selama bertahun-tahun orang dapat terinfeksi HIV sebelum akhirnya
mengidap AIDS. Namun penyakit yang paling sering ditemukan pada penderita AIDS
adalah sejenis radang paru-paru yang langka, yang dikenal dengan nama pneumocystis
carinii pneumonia (PCP), dan sejenis kanker kulit yang langka yaitu kaposi’s sarcoma
(KS). Biasanya penyakit ini baru muncul dua sampai tiga tahun setelah penderita
didiagnosis mengidap AIDS. Seseorang yang telah terinfeksi HIV belum tentu terlihat
sakit. Secara fisik dia akan sama dengan orang yang tidak terinfeksi HIV.
Oleh karena itu 90% dari pengidap AIDS tidak menyadari bahwa mereka telah
tertular virus AIDS, yaitu HIV karena masa inkubasi penyakit ini termasuk lama dan
itulah sebabnya mengapa penyakit ini sangat cepat tertular dari satu orang ke orang lain.
Masa inkubasi adalah periode atau masa dari saat penyebab penyakit masuk ke dalam
tubuh (saat penularan) sampai timbulnya penyakit.
1.2 Rumusan Masalah
Berikut ini merupakan perumusan masalah dalam makalah ini.
1. Apakah HIV/AIDS itu ?
2. Apa Penyebab HIV/AIDS ?
3. Apa faktor resiko HIV/AIDS ?
4. Apa manifestasi klinis HIV/AIDS ?
5. Bagaimana penatalaksanaan medis HIV/AIDS ?
1
6. Bagaimana Asuhan Keperawatan pada HIV/AIDS ?
1.3 Manfaat Penulisan
1. Mengetahui apa yang dimaksud dengan HIV/AIDS.
2. Mengetahui apa penyabab HIV/AIDS.
3. Mengetahui faktor resiko HIV/AIDS.
4. Mengetahui manifestasi klinis HIV/AIDS.
5. Mengetahui cara penatalaksanaan HIV/AIDS.
6. Mengetahui asuhan keperatan HIV/AIDS .

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Acquired Immunodeficiency Syndrome ( HIV Infection )

Syndrome Immunodefisiensi didapat (Acquired Immunodeficiency Syndrome,


AIDS) di definisikan sebagai bentuk paling berat dalam rangkaian penyakit yang
disebabkan oleh infeksi virus HIV ( Human Immunodeficiency Virus ). HIV disebabkan
oleh sekelompok virus yang dikenal sebagai retrovirus. Virus ini membawa materi
genetik mereka dalam bentuk asam ribonukleat ( RNA ) dan bukan asam
deoksibononukleat ( DNA ). Infeksi HIV terjadi ketika virus memasuki sel CD4 (T)
pejamu dan menyebabkan sel ini meretrikasi RNA virus dan protein virus, yang pada
akhirnya menyerang sel CD4 lain.

Acquired Immunodeficiency Syndrome atau Acquired Immune Deficiency


Syndrome (disingkat AIDS) adalah sekumpulan gejala dan infeksi atau sindrom yang
timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIV atau
infeksi virus-virus lain yang mirip yang menyerang spesies lainnya (SIV, FIV, dan lain-
lain).

Virusnya sendiri bernama Human Immunodeficiency Virus atau disingkat HIV, yaitu virus
yang memperlemah kekebalan pada tubuh manusia. Orang yang terkena virus ini akan menjadi
rentan terhadap infeksi oportunistik ataupun mudah terkena tumor. Meskipun penanganan yang
telah ada dapat memperlambat laju perkembangan virus, namun penyakit ini belum benar-benar
bisa disembuhkan.

Tahap penyakit HIV didasarkan pada riwayat klinis, pemeriksaan fisik, temuan
laboratorium tentang disfungsi imun, tanda dan gejala, dan infeksi serta keganasan (
Malignansi). Definisi kasus standart dari centers for disease control and prevention
(CDC) tentang AIDS mengategorikan infeksi HIV dan AIDS pada individu dewasa dan
remaja berdasarkan kondisi klinis yang disebabkan oleh infeksi HIV dan jumlah sel T
CD4 +. Empat kategori status terinfeksi diindikasikan oleh :

1. Infeksi primer ( Infeksi HIV akut / baru, syndrome HIV akut : penurunan
dramatis jumlah sel T CD4, yang normalnya antara 500 dan 1500 sel/mm3
2. HIV tak bergejala ( CDC kategori A : lebih dari 500 limfosit T CD4+/mm3 )
3. HIV bergejala CDC kategori B : CDC 200 sampai 499 limfosit T CD4+/mm3 )

3
4. AID ( CDC kategori C : lebih sedikit dari 200 limfosit TCD4+/mm3)

2.2 Penyebab HIV/AIDS

Penyebab timbulnya penyakit AIDS belum dapat dijelaskan sepenuhnya. tidak


semua orang yang terinfeksi virus HIV ini terjangkit penyakit AIDS menunjukkan
bahwa ada faktor-faktor lain yang berperan di sini. Penggunaan alkohol dan obat bius,
kurang gizi, tingkat stress yang tinggi dan adanya penyakit lain terutama penyakit yang
ditularkan lewat alat kelamin merupakan faktor-faktor yang mungkin berperan di
antaranya adalah waktu.

Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa HIV secara terus menerus memperlemah
sistem kekebalan tubuh dengan cara menyerang dan menghancurkan kelompok-
kelompok sel-sel darah putih tertentu yaitu sel T-helper. Normalnya sel T-helper ini
(juga disebut sel T4) memainkan suatu peranan penting pada pencegahan infeksi. Ketika
terjadi infeksi, sel-sel ini akan berkembang dengan cepat, memberi tanda pada bagian
sistem kekebalan tubuh yang lain bahwa telah terjadi infeksi. Hasilnya, tubuh
memproduksi antibodi yang menyerang dan menghancurkan bakteri-bakteri dan virus-
virus yang berbahaya.

Selain mengerahkan sistem kekebalan tubuh untuk memerangi infeksi, sel T-helper
juga memberi tanda bagi sekelompok sel-sel darah putih lainnya yang disebut sel T-
suppressor atau T8, ketika tiba saatnya bagi sistem kekebalan tubuh untuk
menghentikan serangannya. Biasanya kita memiliki lebih banyak sel-sel T-helper dalam
darah daripada sel-sel T-suppressor, dan ketika sistem kekebalan sedang bekerja dengan
baik, perbandingannya kira-kira dua banding satu. Jika orang menderita penyakit AIDS,
perbandingan ini kebalikannya, yaitu sel-sel T-suppressor melebihi jumlah sel-sel T-
helper. Akibatnya, penderita AIDS tidak hanya mempunyai lebih sedikit sel-sel
penolong yaitu sel T-helper untuk mencegah infeksi, tetapi juga terdapat sel-sel
penyerang yang menyerbu sel-sel penolong yang sedang bekerja.

Selain mengetahui bahwa virus HIV membunuh sel-sel T-helper, kita juga perlu tahu
bahwa tidak seperti virus-virus yang lain, virus HIV ini mengubah struktur sel yang
diserangnya. Virus ini menyerang dengan cara menggabungkan kode genetiknya dengan
bahan genetik sel yang menularinya. Hasilnya, sel yang ditulari berubah menjadi pabrik
pengasil virus HIV yang dilepaskan ke dalam aliran darah dan dapat menulari sel-sel T-

4
helper yang lain. Proses ini akan terjadi berulang-ulang. Virus yang bekerja seperti ini
disebut retrovirus.

HIV tidak hanya menyerang sistem kekebalan tubuh. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa virus ini juga merusask otak dan sistem saraf pusat. Otopsi yang dilakukan pada
otak pengidap AIDS yang telah meniggal mengungkapkan bahwa virus ini juga
menyebabkan hilangnya banyak sekali jaringan otak. Pada waktu yang bersamaan,
peneliti lain telah berusaha untuk mengisolasi HIV dengan cairan cerebrospinal dari
orang yang tidak menunjukkan gejala-gejala terjangkit AIDS. Penemuan ini benar-benar
membuat risau. Sementara para peneliti masih berpikir bahwa HIV hanya menyerang
sistem kekebalan, semua orang yang terinfeksi virus ini tetapi tidak menunjukkan gejala
terjangkit AIDS atau penyakit yang berhubungan dengan HIV dapat dianggap bisa
terbebas dari kerusakan jaringan otak. Saat ini hal yang cukup mengerikan adalah
bahwa mereka yang telah terinfeksi virus HIV pada akhirnya mungkin menderita
kerusakan otak dan sistem saraf pusat.

Penyakit AIDS disebabkan oleh virus HIV yang menyerang sel-sel Limfosit (sel T
helper) yang berfungsi melindungi tubuh terhadap terjadinya infeksi sehingga daya
tahan tubuh penderita berkurang dan mudah terinfeksi oleh berbagai penyaki.

2.3 Faktor Resiko

HIV di transmisikan/ditularkan melalui cairan tubuh oleh perilaku beresiko tinggi


seperti hubungan seksual heteroseksual dengan pasangan yang terinfeksi HIV,
penggunaan obat suntik dan hubungan hemoseksual. Orang yang menerima transfusi
darah atau produk darah yang terkontaminasi HIV, anak yang dilahirkan dari ibu
penderita infeksi HIV, bayi yang disusui oleh ibu yang terinfeksi HIV, dan tenaga
kesehatan yang mengalami cedera tertusuk jarum yang terpajan dengan pasien yang
terinfeksi juga beresiko.

2.4 Manifestasi Klinis

Gejala menyebar dan dapat mempengaruhi setiap sistem organ. Manifestasi berkisar
dari abnormalitas respon imun yang sifatnya ringan tanpa disertai tanda dan gejala yang
jelas hingga immonosupresi yang bermakna, infeksi yang mengancam jiwa, keganasan,
dan efek langsung HIV pada jaringan tubuh.

5
a. Pernafasan
1. Sesak nafas, depnea, batuk, nyeri dada, dan demam terkait dengan infeksi
opportunistik, seperti yang disebabkan oleh pneumocystis jirovesi ( pneumonia
pneumocystis , (PCP) , infeksi yang paling sering terjadi), mycobacterium avium
intraseluller cytomegalovirus ( CMV ), dan spesies legionella .
2. Tubercolosis yang berhubungan dengan HIV terjadi sejak awal proses infeksi
HIV, sering kali mendahului ditegakkannya diagnosis AIDS.
b. Gastrointestinal
1. Kehilangan nafsu makan
2. Mual dan muntah
3. Kandidiasis oral dan esofagus ( bercak putih, nyeri saat menelan, nyeri
retrosternum dan kemungkinan lesi oral )
4. Diare kronis, kemungkinan dengan efek yang dramatis ( misalnya penurunan
berat badan bermakna, ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, ekskoriasi kulit
perenial, kelemahan, dan ketidakmampuan untuk melaksanakan hidup sehari
hari).
c. Syndrome Pelisutan ( Kakeksia )
1. Malnutrisi energi – protein multifaktor
2. Penurunan berat badan involunter daan bermakna lebih dari 10% dari berat badan
awal
3. Diare kronis ( lebih dari 30 hari ) atau kelemahan kronis dan demam ( berkala )
atau konstan tanpa dibarengi dengan penyakit lain
4. Anoreksia, diare, malabsorbsi gastrointestinal ( GE ), kekuranfan nutrisi dan bagi
beberapa pasien mengalami status hipermetabolik
d. Onkologi
Jenis kanker tertentu sering kali terjadi pada penderita AIDS dan dianggap sebagai
kondisi yang mendefinisikan ( menggambarkan ) AIDS :
1. Sarkoma kaposi ( KS ) adalah keganasan yang paling sering dikaitkan dengan
HIV dan mengenai lapisan endotel pembuluh darah dan limfe ( menunjukkan
perjalanan penyakit yang beragam dan agresif, berkisar dari lesi putaneus lokal
sampai penyebaran ( diseminata ) penyakit yang mengenai banyak sistem
organ ).
2. Limfoma sel B adalah keganasan kedua tersering kondisi ini cenderung terjadi
diluar modus limfe, paling sering terjadi di otak, sumsum tulang belakang, dan

6
saluran gastrointestinal ( GE ). Jenis limfoma secara khas memiliki derajat
tinggi, menhindikasikan pertumbuhan yang agresif dan resistansi terhadap
terapi .
3. Kanker servix infasiv
e. Neurologi
Ganguan nekrogenetif yang berhubungan dengan HIV sendiri dari gangguan kognitif
yang sering kali disertai oleh disfungsi motorik dan perubahan perilaku.
1. Neuropati perifer yang berhubungan dengan HIV sering dijumpai dalam proses
infeksi HIV dan dapat terjadi dalam beragam pola, dengan jenis yang paling
sering terjadi adalah polincuropati sensorik distal ( distal sensory
polyneuropathy,DSPN ) atau polineropati simestris distal. Polineuropati distal
dapat memicu nyeri hebat dan penurunan fungsi.
2. Ensefalopati HIV ( sebelumnya disebut kompleks dimensial AIDS ( ADC ) adalah
suatu syndrome klinis yang di cirikan oleh penurunan progresif fungsi kognitif,
perilaku, dan motorik. Gejala mencangkup defisit memory, sakit kepala, kesulitan
berkonsentrasi, konfungsi progresif, perlambatan psikomotor, apati, dan ataksia,
dan ditahap lanjut terjadi gangguan kognitif global, perlambatan respon verbal,
pandangan hampa/ kosong, parafaresis spastik, hepirrefleksia, psikosisi,
halusinasi, tremor, inkontinensia, kejang, mutisme ( ketidakmampuan bicara-ed)
dan kematian.
3. Cyptococcus Neuroformans, suatau infeksi jamur ( demam, sakit kepala, lemah (
malaise), leher kaku, mual, muntah, perubahan status mental, dan kejang ).
4. Leukoeensepalopati multipokal frogresif ( PML ), suatu gangguan demielinasi
sistem saraf pusat ( konfusi mental, kebutaan, afasia, kelemahan otot, paresisi, dan
kematian ).
5. Infeksi lain yang umum terjadi yang mengenai sistem saraf mencangkup
toxoplasma gondii, CMV, dan infeksi mycrobacterium tuberculosis.
6. Neuropati central dan perifer, termasuk neolopati vaskular ( paraparesis spatik,
ataksia dan inkontinensia ).
f. Depresif
1. Depresi disebabkan oleh banyak faktor dan dapat mencangkup riwayat penyakit
mental sebelumnya, gangguan neuropsikiatrik, faktor psikososial, atau respon
terhadap gejala fisik.

7
2. Individu penderita HIV/AIDS yang mengalami depresi dapat mengalami rasa
bersalah dan malu yang tidak rasional, kehilangan harga diri, merasa tidak
berdaya dan tidak berharga, serta memiliki gagasan untuk bunuh diri.
g. Integument
1. Virus sarkoma kaposi, herpes simpleks, dan herpes zosteer serta berbagai bentuk
dermatitis dihubungkan dengan vesikel yang terasa nyeri.
2. Volikulitis, yang berhubungan dengan kulit kering dan bersisik atau dermatitis
atopik ( exsema/psoriasis).
h. Ginekologi
1. Kandidiasis vaginal berulang dan persisten mungkin merupakan tanda pertama
infeksi HIV
2. Penyakit menular seksual ulseratif, seperti syankroit, sifilis, dan herpes, lebih
berat dari pada wanita penderita HIV
3. HPV ( Human Kapiloma Virus ) menyebabkan kutil kelamin dan merupakan
faktor resiko neuplasia intraepitel servix, suatu perubahan sel yang sering kali
menjadi pencetus terjadi kanker serviks
4. Wanita penderita HIV 10x lebih cenderung mengalami neuplasia intraepitel
servix.
5. Wanita penderita HIV memiliki insidensi penyakit radang panggul dan
abnormalitas menstruasi ( amenorea atau pendarahan diantara periode menstruasi
) yang lebih tinggi.
2.5 Pengkajian dan Metode Diagnostik
Konfirmasi antibody HIV dilakukan dengan menggunakan enzim immunoassay (
EIA) sebelumnya disebut enzime – linket immunosorbent assay ( ELISA ). Western blot
assay, dan tes beban virus seperti metode amplikasi ( penggadaan ) target. Selain assay
antibody HIV – 1 ini, kini tersdia 2 tekhnik tambahan : tes saliva OraSure dan tes
antibody OraQuick Rapid HIV-1.
2.6 Penatalaksanaan Medis
1. Terapi infeksi Oportunist
Pedoman untuk terapi infeksi oportunist harus dikonsultasikan guna mendapat
rekomendasi terbaru. Fungsi imun harus ditingkatkan dengan mulai memberikan
terapi antiretrovirus yang sangat aktif ( highley active antriretroviral therapy,
HAART), sehingga lebih cepat mengatasi infeksi oportunist.
a. Penumonia Pneumocystis

8
1) Trimotoprim sulvametoksazol ( TMP – SMZ ) adalah terapi pilihan untuk
TCP kortikonsteroid tambahan harus dimulai sedini mungkin ( dan tentu saja
dalam waktu 72 jam ).
2) Regimen terapeutik alternatif ( ringan-sedang ) mencangkup (1) dapson dan
TMP (2) primaquin ditambah klimdamisin dan (3) sispensi atau vaquon.
3) Regimen terapeutik alternatif ( sedang-berat ) mencangkup (1) primaquin
ditambah klimdamisin atau (2) rantimapentamidin intravena (IV)
4) Efek merugikan mencangkup hipotensi, gangguan metabolisme glukosa
sehingga memicu terjadinya DM akibat kerusakan pada pankreas, kerusakan
ginjal, disfungsi hati, dan neurotpenia.
b. Komples Mycobacterium Avium
1) Dewasa dan remaja yang terinfeksi HIV harus mendaptkan komoprovilaksis
untuk melawan komples mycobacterium avium ( MAC ) jika jumlah CD4+
mereka kurang dari 50 sel/ ul
2) Azyptromisin ( zytharomax ) dan klaritromisin(biaxin) merupakan agen
profilaksis pilihan
3) Ryfabutin adalah agen profilaksis alternatif, meskipun intraksi obat dapat
membuat agen ini sulit digunakan
c. Menigitis Kriptokokus
1) Terapi primer terbaru untuk meningitis kriptokokus adalah amphotherisin B
per IV dengan atau tanpa lusitosin oral ( 5-FC, ancobon) atau flukolnazol (
difnucan).
2) Kemungkinan efek merugikan yang serius dari amphotherisin B
mencangkup anafilaksis, kerusakan ginjal dan hati, ketidakseimbangan
elektrolit, anemia, demam, dan menggigil hebat.
2. Pencegahan infeksi Oportunistik
a. Individu penderita infeksi Hiv yang memiliki jumlah sel T kurang dari 200
sel/mm3 harus mendapatkan kemprofilaksis dengan TMP – SMZ untuk
mencegah pneumonia penumokistik ( PCT )
b. Profilaksis PCP dapat dengan aman dihentikan pada pasien yang berespon
terhadap HAART dengan memperlihatkan peningkatan limfosit T secara terus
menerus .

9
3. Terapi anti diare
a. Terapi dengan treotid asetat ( sandostatin ), suatu analog sintetik dari
somatostatin, telah terbukti efektif dalam menangani diare kronik yang hebat
4. Kemoterapi
Sarkoma Kaposi
a. Tujuan terapi adalah untuk mengurangi gejala dengan memperkecil ukuran lesi
kulit, mengurangi ketidak nyamanan yang disebabkan oleh edema dan ulserasi,
dan untuk mengontrol gejala yang berhubungan dengan mukosa atau viseral
yang terkena lesi
b. Terapi radiasi efektif sebagai tindakan paliatif alfa – interserondapat memicu
regresi tumor dan meningkatkan fungsi sistem imun

Limfoma

Keberhasilan terapi limfoma akibat AIDS terbatas karena begitu cepatnya


perkembangan keganasan ini. Kombinasi regimen kemoterapi dan terapi radiasi
dapat memunculkan respon awal, tetapi biasanya berjangka pendek.

5. Terapi anti Depresion


a. Terapi depresi mencangkup psikoterapi yang diintegrasikan dengan
farmakoterapi ( anti depresion (miss immipramin, desipramin, dan pluoxsetin)
dan kemungkinan psikostimulan ( miss metil penidat)
b. Terapi elektrokonfulsiv mungkin merupakan pilihan untuk pasien yang
menderita depresi berat yang tidak berespon terhadap intervensi farmakologi
6. Terapi nutrisi
Diet sehat yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi pasien penting
dilakukan .
a. Pasien diare harus mengkonsumsi diet rendah lemak, laktosa, serat tak larut, dan
kafein serta diet tinggi serat larut .
b. Jumlah kalori harus diukur guna mngevaluasi status nutrisi dan memulai terapi
yang tepat untuk pasien yang mengalami penurunan berat badan yang tidak jelas
penyebabnya .
c. Stimulan nafsu makan dapat digunakan pada pasien anoreksia yang disebakan
oleh AIDS .

10
d. Suplemen oral dapat digunakan untuk melengkapi diet yang kurang kalori dan
protein.
2.7 Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian

Identifikasi faktor risiko potensial, termasuk riwayat praktik seksual dan pengggunaan
obat injeksi/IV. Kaji status fisik dan psikologis. Secara keseluruhan fakyor-faktor
yang mempengaruhi fungsi sistem imun.

a. Stastus nutrisi
1. Dapatkan riwayat diet
2. Identifikasi faaktor-faaktor yang dapat mengganggu asupan oral, seperti
anoreksia, mual, muntah, nyeri oral, atau kesulitan menelan.
3. Kaji kemampuan pasien untuk membeli dan mempersiapkan makanan.
4. Ukur status nutrisi berdasarkan berat badan, pengukuran antropometrik
(pengukuran lipatan kulit trisep), dan nitrogen urea darah (BUN), protein
serum, albumin, dan kadar transferring.
b. Membran Kulit dan Mukosa
1. Inspeksi adanya lecet, ulserasi, dan infeksi setiap hari.
2. Pantau rongga mulut terhadap adanya ekskoriasi dan infeksi pada areal
perianal
3. Dapatkan kultur luka untuk mengidentifikasi organisme penginfeksian
c. Status Pernafasan
1. Pantau batuk, produksi sputum, sesak nafas, ortopnea, takipnea, dan nyeri
dada kaji suara napas
2. Kaji parameter fungsi paru yang lain (foto rontgen dada, gas darah arteri,
oksimetri denyut nadi, pemeriksaan fungsi pulmonal/paru)
d. Status Neurologi
1. Kaji status mental sedini mungkin sebagai data dasar. Catat tingkat kesadaran
dan orientasi terhadap orang, tempat, dan waktu serta kejadian kehilangan
memori
2. Pantau defisit sensori, seperti perubahan visual, sakit kepala, dan kebas serta
kesemutan pada ekstermitas
3. Pantau kerusakan motorik, seperti perubahan gaya berjalan dan paresis
4. Pantau aktivitas kejang
11
e. Status Cairan dan Elektrolit
1. Kaji turgor dan kekeringan kulit dan membrane mukosa
2. Kaji dehidrasi dengan mengobservasi rasa haus, penurunan haluaran urine,
tekanan darah, nadi lemah dan cepat, atau mengkaji berat jenis urine
3. Pantau ketidakseimbangan elektrolit (Studi laboratorium menunjukkan
rendahnya kadar natrium serum, kalium, kalsium, magnesium, dan klorida)
4. Kaji tanda dan gejala defisit eletrolit, termasuk perubahan status mental,
kedutan otot, kram otot, denyut nadi tak teratur, mual, dan muntah, serta
pernapasan dangkal.
f. Tingkat Pengetahuan
1. Evaluasi pengetahuan pasien mengenai penyakit dan penyebarannya
2. Kaji tingkat pengetahuan keluarga dan teman
3. Gali reaksi pasien terhadap diagnosis infeksi HIV atau AIDS
4. Gali bagaimana pasien menghadapi penyakit dan stressor kehidupan mayor di
masa lalu
5. Identifikasi sumber-sumber dukungan pasien
g. Gunakan Terapi Alternatif
1. Tanyakan pasien mengenai penggunaan terapi alternatif
2. Anjurkan pasien untuk melaporkan setiap penggunaan terapi alternatif ke
penyedia layanan kesehatan primer
3. Kenali kemungkinan efek samping dari terapi alternative jika efektif jika efek
samping diduga terjadi akibat terapi alternatif, diskusikan bersama pasien dan
penyedia layanan kesehatan primer dan alternatif
4. Pandang terapi alternatif dengan pikiran terbuka, dan coba pahami pentingnya
terapi tersebut bagi pasien.
2. Diagnosis
Diagnosis Keperawatan
a. Kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan manifestasi kutaneus akibat
infeksi HIV, ekskoriasi, dan diare
b. Diare yang berhubungan dengan patogen enterik atau infeksi HIV
c. Risiko infeksi yang berhubungan dengan imunodefisiensi

12
d. Intoleran aktivitas yang berhubungan dengan kelemahan, keletihan, malnutrisi,
gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, dan hipoksia yang berhubungan
dengan infeksi pulmonal
e. Gangguan proses pikir yang berhubungan dengan pemendekan rentang perhatian,
kerusakan memori, konfusi, dan disorientasi
f. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan PCP,
peningkatan sekresi bronchial, dan penurunan kemampuan untuk batuk yang
berhubungan dengan kelemahan dan keletihan.
g. Nyeri yang berhubungan dengan kerusakan integritas kulit perianal, sekunder
akibat diare, sarcoma Kaposi, dan neuropati perifer
h. Ketidakseimbangan nutrisi, kurang dari kebutuhan tubuh, yang berhubungan
dengan penurunan asupan oral
i. Isolasi sosial yang berhubungan dengan stigma penyakit, putus sistem pendukung,
prosedur isolasi, dan ketakutan akan menginfeksi orang lain
j. Duka cita adaptif yang berhubungan dengan perubahan gaya hidup dan peran serta
prognosis yang tidak menyenangkan.
k. Defisiensi pengetahuan yang berhubungan dengan infeksi HIV, cara mencegah
transmisi HIV, dan perawatan diri.

Masalah Kolaboratif/Kemungkinan Komplikasi

a. Infeksi oportunis
b. Gangguan pernapasan atau gagal napas
c. Sindrom pelisutan dan ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
d. Reaksi merugikan terhadap medikasi
3. Perencanaan dan Tujuan

Tujuan untuk pasien dapat mencakup pencapaian dan pemeliharaan integritas


kulit, kembali ke pola defekasi yang biasa, tidak ada infeksi, peningkatan toleransi
aktivitas, peningkatan proses piker, peningkatan bersihan jalan nafas, peningkatan
kenyamanan, peningkatan status nutrisi, peningkatan sosialisasi, ekspresi duka cita,
peningkatan pengetahuan mengenai pencegahan penyakit dan perawatan diri, serta
tidak ada komplikasi

13
4. Intervensi Keperawatan
1. Meningkatkan Integritas kulit
a. Kaji kulit daan mukosa oral untuk melihat adanya perubahan tampilan, lokasi
dan ukuran lesi, serta bukti infeksi dan gangguan anjurkan perawatan oral
yang teratur
b. Anjurkan pasien untuk menyeimbangkan istirahat dan mobilitas di mana pun
jika memungkinkan bantu pasien yang tidak dapat bergerak untuk mengganti
posisinya setiap 2 jam
c. Gunakan alat seperti matras pengubah tekanan dan tempat tidur low-air-loss.
d. Anjurkan pasien untuk tidak menggaruk, menggunakan sabun yang tidak
abrasive dan tidak membuat kulit kering, serta menggunakan pelembab kulit
tanpa parfum pada kulit yang kering berikan agens antipruritus, obat
antibiotik, agens analgesik, losion yang mengandung obat, salep, dan balutan
sesuai program hindari penggunaan plaster berlebihan
e. Jaga agar sprei tempat tidur bebas dari kerutan, dan hindari pakian yang ketat
atau kencang untuk mengurangi gesekan pada kulit
f. Anjurkan pasien yang memiliki lesi pada kaki untuk menggunakan kaus kaki
katun berwarna putih dan sepatu yang tidak menyebabkan kaki berkeringat
2. Mempertahankan Integritas Kulit Perianal
a. Kaji area perianal untuk melihat adanya kerusakan integritas kuliy dan infeksi
b. Instruksikan pasien untuk menjaga agar area tersebut tetap bersih,
membersihkan diri setelah setiap kali defekasi, melakukan rendam duduk atau
irigasi, dan mengeringkan area secara mennyeluruh setelah membersihkannya
c. Bantu pasien yang lemah dalam mempraktikkan hygiene
d. Bantu proses pemulihan dengan salep dan losion topical sesuai program/resep
e. Lakukan kultur luka jika diduga terdapat infeksi
3. Mendukung Pola Defekasi yang Biasa
a. Kaji pola defekasi untuk mengetahui adanya diare (frekuensi dan konsistensi
feses, nyeri atau kram pada saat defekasi)
b. Kaji faktor-faktor yang meningkatkan frekuensi diare
c. Ukur dan dokumentasikan/catat volume fese cair sebagai kehilangan volume
cairan dapatkan kultur feses

14
d. Jelaskan kepada pasien tentang cara-cara mengurangi diare (mengistirahatkan
usus, menghindari makanan yang berperan sebagai iritaan usus, termasuk buah
dan sayuran segar) anjurkan untuk makan dalam jumlah sedikit namun sering
e. Berikan obat yang dirsepkan, seperti obat antikolinergik antispasmodik atau
opiate, obat antibiotic, dan agens anti jamur
f. Kaji strategi perawatan diri yang di gunakan pasien untuk mengontrol urine
4. Mencegah Infeksi
a. Instruksikan pasien dan pemberi asuhan untuk memantau tanda dan gejala
infeksi. Rekomendasikan strategi untuk mencegah infeksi (infeksi saluran
pernapasan atas)
b. Pantau nilai laboratorium yang mengindikasikan adanya infeksi, seperti
jumlah sel darah putih dan diferensial bantu pasien mendapatkan specimen
kultur sesuai program
c. Desak pasien dan pasangan seksualnya untuk menghindari pajanan terhadap
cairan tubuh dan menggunakan kondom untuk setiap aktivitas seksual
d. Cegah penggunaan obat injeksi/IV karena risiko infeksi lain dan penyebaran
infeksi HIV ke pasien
e. Pertahankan teknik aseptic yang ketat untuk prosedu invasive
5. Meningkatkan Toleransi Aktivitas
a. Pantau kemampuan untuk ambulasi dan melaksanakan aktivitas sehari-hari
b. Bantu pasien dalam merencanakan rutinitas harian untuk mempertahankan
keseimbangan antara aktivitas dan istirahat
c. Ajarkan pasien teknik pengehmatan energi (mis. Duduk saat mandi atau
mempersiapkan makanan)
d. Kurangi ansietas yang menyebabkan kelemahan dan keletihan dengan
menerapkan upaya seperti relaksasi dan imajinasi terbimbing
e. Kolaborasikan dengan anggota tim layanan kesehatan lainnya untuk
menyingkap dan mengatasi faktor-faktor yang berhubungan dengan keletihan
(mis. Epoetin alfa [Epogen] untuk keletihaan yang berhubungan dengan
anemia)
6. Mempertahankan Proses Pikir
a. Kaji perubahan status mental
b. Reorientasikan orang, tempat, dan waktu sesuai kebutuhan pertahankan dan
berikan jadwal aktivitas sehari-hari yang teratur

15
c. Berikan instruksi, dan instruksikan keluarga untuk berbicara kepada pasien
dalam cara yang pelan, sederhana, dan jelas
d. Pasang lampu malam (redup) untuk kamar tidur dan kamar mandi.
Rencanakan aktivitas waktu senggang yang aman yang sebelumnya dinikmati
oleh pasien
7. Meningkatkan Bersihan Jalan Nafas
a. Paling tidak setip hari, kaji status pernafasan, status mental, dan warna kulit
b. Catat dan dokumentasikan adanya batuk dan kuantitas serta karakteristik
sputum kirim specimen untuk dianalisis sesuai program
c. Berikan terapi pulmonal, seperti batuk, napas dalam, drainase postural,
perkusi, dan vibrasi, setiap 2 jam untuk mencegah statis sekresi dan tingkatkan
bersihan jalan napas
d. Bantu pasien dalam menerapkan posisi (fowler tinggi atau semi-fowler) yang
dapat memfasilitasi pernapasan dan bersihan jalan napas
e. Dorong/anjurkan pasien untuk cukup beristirahat guna meminimalkan
pengeluaran energy dan mencegah keletihan
f. Evaluasi status volume cairan dorong asupan cairan sebanyak 3L setiap hari
g. Berikan oksigen yang dilembapkan, penghisapan (suction), intubasi, dan
ventilasi mekanis sesuai kebutuhan
8. Meredakakan Nyeri dan Ketidaknyamanan
a. Kaji pasien untuk menilai kualitas dan keparahan nyeri yang berhubungan
dengan kerusakan integritas kulit perianal, lesi sarcoma Kaposi, dan neuropati
perifer
b. Gali efek nyeri pada eliminasi, nutrisi, tidur, afek, dan komunikasi, berikut
faktor yanng memperburuk dan yang meringankan/meredakan
c. Dorong/anjurkan pasien untuk menggunakan bantalan lunak atau bantalan
busa saat duduk dan berikan anestesi atau salep topical sesuai program
d. Instruksikan pasien untuk menghindari makanan yang mengiritasi dan
menggunakan agens antispasmodik serta sediaan antidiare jika perlu
e. Berikan agens antiinflamasi nonsteroid dan opiate, dan gunakan pendekatan
non-farmakologi, seperti teknik relaksasi
f. Berikan opiod dan antidepresan trisiklik, serta anjurkan penggunaan stocking
kompresi berukuran sesuai program untuk membantu meredakan nyeri
neuropati

16
9. Meningkatkan Status Nutrisi
a. Kaji berat badan, asupan die, pengukuran antropometrik, dan albumin serum,
BUN (nitrogen ura darah), protein dan kadar transferin
b. Berdasarkan pengkajian mengenai faktor-faktor yang mengganggu asupan
oral, implementasikan upaya spesifik untuk memfasilitasi asupan oral
konsultasikan ahli gizi untuk menentukan kebutuhan nutrisi
c. Kontrol mual dan muntah dorong/anjurkan pasien untuk makan makanan yang
mudah ditelan anjurkan hygiene oral sebelum dan setelah makan
d. Dorong/amjurkan pasien istirahat sebelum makan jangan menjadwalkan
makan setelah pelaksanaan prosedur yang nyeri atau tidak menyenangkan
e. Instruksikan pasien mengenai cara-cara untuk menambah nilai nutrisi
makanan (mis. Tambahlan telur, mentega, susu)
f. Berikan makanan enteral atau parenteral untuk mempertahanakan status
nutrisi, sesuai indikasi
10. Mengurangi Perasaan Isolasi Sosial
a. Ciptakan lingkungan yang menerima dan memahamu pasien AIDS, keluarga
mereka, dan pasangan
b. Kaji tingkat interaksi sosial pasien yang biasa sejak dini sebagai patokan guna
memantau perubahan perilaku
c. Dorong pasien utnuk mengekspresikan perasaan isolasi dan kesepian yakinkan
pasien bahwa perasaan ini tidak unik atau abnormal
d. Yakinkan pasien, keluarga, dan teman bahwa AIDS tidak menyebar melalui
kontak biasa.
11. Koping Terhadap Duka Cita
a. Bantu pasien mengeksplorasi dan mengidentifikasi sumber-sumber dukungan
dan mekanisme untuk koping
b. Anjurkan pasien untuk mempertahankan kontak dengan keluarga, teman, dan
rekan kerja serta melanjutkan aktivitas hidup sehari-hari kapanpun, jika
memungkinkan
c. Dorong pasien untuk menggunakan kelompok pendukung dan hotlines AIDS
local atau nasional dan untuk mengidentifikasi kehilangan dan mengatasinya
jika memungkinkan

17
12. Memantau dan Menangani Kemungkinan Komplikasi
a. Informasikan pasien bahwa tanda dan gejala infeksi oportunistik mencakup
demam, malaise (kelemahan), kesulitan bernapas, mual atau muntah, diare,
kesulitan menelan, dan setiap kejadian pembengkakan atau pengeluaran
rabas/secret. Gejala ini harus dilaporkan dengan segera ke penyedia layanan
kesehatan
b. Gagal nafas dan gangguan pernafasan: pantau nilai gas darah arteri, saturasi
oksigen, frekuensi dan pola pernafasan, serta suara napas lakukan pengisapan
dan berikan terapi oksigen bantu pasien yang mendapat ventilasi mekanis
untuk mengatasi stress yang terakit dengan ventilasi mekanis
c. Sindrom pelisutan dan gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit: pantau
penambahan atau penurunan berat badan, turgor dan kekeringan kulit, kadar
feritin, hemoglobin dan hematokrit, serta elektrolit. Lakukan upaya untuk
mengontrol diare. Berikan cairan dan elektrolit per IV sesuai program
d. Efek samping obat: berikan informasi mengenai tujuan, pemberian, efek
samping (yang dilaporkan ke dokter), dan strategi untuk mengatasi atau
mencegah efek samping obat. Pantau nilai uji laboratorium.
13. Meningkatkan Perawatan di Rumah dan di Komunitas

MENGAJARKAN PASIEN TENTANG PERAWATAN DIRI

a. Diskusikan tentang penyakit dan semua ketakutan serta kesalahan konsep


secara mendalam jelaskn kepada pasien, keluarga, dan teman-teman mengenai
penularan AIDS
b. Diskusikan tindakan pencegahan untuk mencegah penularan HIV: hindari
kontak oral dengan penis, vagina, atau rectum dan hindari kontak seksual
dengan banyak pasangan
c. Ajarkan pasien dan keluarga tentang cara mencegah penularan penyakit,
termasuk hygiene tangan dan metode penanganan barang-barang yang
terkotori oleh cairan tubuh secara aman
d. Instruksikan pasien untuk tidak mendonorkan darahnya
e. Berikan dukungan dan panduan dalam menghadapi penyakit ini

18
MELANJUTKAN ASUHAN

a. Rujuk pasien dan keluarga untuk mendapat asuhan keperawatan dirumah atau
perawatan hospis guna memperoleh dukungan fisik dan emosional
b. Bantu keluarga dan pemberi asuhan dalam memberikan asuhan suportif
c. Berikan dukungan emosional kepada pasien dan keluarga
d. Dorong pasien dan keluarga untuk mendiskusikan keputusan di akhir
kehidupan
5. EVALUASI
Hasil yang diharapkan untuk pasien
a. Mempertahankan integritas kulit
b. Kembali memiliki kebiasaan defekasi yang biasa
c. Tidak mengalami infeksi
d. Mempertahankan tingkat toleransi aktivitas yang adekuat
e. Mempertahankan tingkat proses berpikir yang biasa
f. Mempertahankan bersihan jalan napas yang efektif
g. Mengalami peningkatan sensai kenyamanan dan nyeri berkurang
h. Mempertahankan status nutrisi yang adekuat
i. Mengalami penurunan sensasi isolasi sosial
j. Mengalami perkembangan melalui proses duka cita
k. Melaporkan peningkatan pemahaman tentang AIDS dan berpartisispasi dalam
aktivitas perawatan diri sedapat mungkin
l. Tetap terbebas dari komplikasi.

19
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

AIDS disebabkan oleh virus yang bernama HIV, Human Immunodeficiency Virus.
Apabila anda terinfeksi HIV, maka tubuh anda akan mencoba untuk melawan infeksi
tersebut. Tubuh akan membentuk “antibodi”, yaitu molekul-molekul khusus untuk
melawan HIV.

Tes darah untuk HIV berfungsi untuk mencari keberadaan antibodi tersebut. Apabila
anda memiliki antibodi ini dalam tubuh anda, maka artinya anda telah terinfeksi HIV.
Orang yang memiliki antibodi HIV disebut ODHA.

Menjadi HIV-positif, atau terkena HIV, tidaklah sama dengan terkena AIDS. Banyak
orang yang HIV-positif tetapi tidak menunjukkan gejala sakit selama bertahun-tahun.
Namun selama penyakit HIV berlanjut, virus tersebut secara perlahan-lahan merusak
sistem kekebalan tubuh. Apabila kekebalan tubuh anda rusak, berbagai virus, parasit,
jamur, dan bakteria yang biasanya tidak mengakibatkan masalah dapat membuat anda
sangat sakit. Inilah yang disebut “infeksi oportunistik”.

Menurut pandangan agama HIV / AIDS itu buruk, karena penularannya pun terjadi
melalui cara yang dilarang oleh agama. Salah satunya HIV / AIDS ditularkan melalui
hubungan seks bebas.

B. Saran

Agar kita semua terhindar dari AIDS, maka kita harus berhati-hati memilih pasangan
hidup, jangan sampai kita menikah dengan pasangan yang mengicap HIV / AIDS, karena
selain dapat menular kepada diri kita sendiri juga dapat menular kepada janin dalam
kandungan kita. Kita juga harus berhati-hati dalam pemakaian jarum suntik secara
bergantian dan tranfusi darah dengan darah yang sudah terpapar HIV.

20
DAFTAR PUSTAKA

Suddarth & Brunner, 2013, Keperawatan Medikal – Bedah edisi 12, Jakarta : EGC

21

Anda mungkin juga menyukai