Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.

LATAR BELAKANG
Acruired Immune Deficiensy Syndrome atau yang lebih dikenal dengan istilah AIDS

merupakan penyakit yang ditandai dengan adanya kelainan yang komplek dalam sistem
pertahanan selular tubuh dan menyebabkan penderita menjadi sangat peka terhadap
mikroorganisme oportunistik. Penyakit AIDS disebabkan oleh Human Immunodeficiency
Virus atau disingkat dengan HIV. Penyakit ini merupakan penyakit kelamin, yang pada mulanya
dialami oleh kelompok kaum homoseksual. AIDS pertama kali ditemukan di kota San Francisco,
Amerika Serikat. Penyakit ini muncul karena hubungan seksual (sodomi) yang dilakukan oleh
komunitas kaum homoseksual (Varney, 2006: 151).
Acquired Immunodeficiency Syndrome atau Acquired Immune Deficiency Syndrome
(disingkat AIDS) adalah sekumpulan gejala dan infeksi (atau: sindrom) yang timbul karena
rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIV; atau infeksi virus-virus lain
yang mirip yang menyerang spesies lainnya (SIV, FIV, dan lain-lain). Virusnya sendiri
bernama Human Immunodeficiency Virus (HIV) yaitu virus yang memperlemah kekebalan pada
tubuh manusia. Orang yang terkena virus ini akan menjadi rentan terhadap infeksi
oportunistik ataupun mudah terkena tumor. Meskipun penanganan yang telah ada dapat
memperlambat laju perkembangan virus, namun penyakit ini belum benar-benar bisa
disembuhkan.
HIV dan virus-virus sejenisnya umumnya ditularkan melalui kontak langsung antara
lapisan kulit dalam (membran mukosa) atau aliran darah, dengan cairan tubuh yang mengandung
HIV, seperti darah, air mani, cairan vagina, cairan preseminal, dan air susu ibu. Penularan dapat
terjadi melalui hubungan intim (vaginal, anal, ataupun oral), transfusi darah, jarum suntik yang
terkontaminasi, antara ibu dan bayi selama kehamilan, bersalin, atau menyusui, serta bentuk
kontak lainnya dengan cairan-cairan tubuh tersebut.
Sebagaimana kita ketahui bahwa masih sangat banyak masyarakat belum bisa menerima
keberadaan ODHA. Stigma terhadap ODHA masih cukup banyak ditambah lagi dengan sikap
yang menghakimi, menjauhkan, mengucilkan, mendiskriminasi, bahkan sampai perlakuan yang
tidak hanya melanggar hak asasi manusia tetapi juga kriminal. Kondisi seperti ini membuat

ODHA hampir tidak bisa mendapatkan pelayanan langsung. Hasil pemantauan pelanggaran
HAM terhadap ODHA yang dilakukan oleh yayasan spiritual menunjukkan bahwa dari tahun ke
tahun ODHA masih sulit mendapatkan akses pelayanan langsung, bukan saja dari layanan umum
akan tetapi juga dari keluarga dan lingkungan terdekatnya. Perlakuan yang manusiawi ini
sebagian besar disebabkan karena ketidaktahuan informasi yang benar tentang HIV / AIDS dan
penularannya, apalagi cara cara merawat dan memberi dukungan terhadap ODHA.
Hukuman sosial bagi penderita HIV/AIDS, umumnya lebih berat bila dibandingkan
dengan penderita penyakit mematikan lainnya. Kadang-kadang hukuman sosial tersebut juga
turut tertimpakan kepada petugas kesehatan atau sukarelawan, yang terlibat dalam merawat
orang yang hidup dengan HIV/AIDS (ODHA).
1.2.

RUMUSAN MASALAH
Hal-hal yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Definisi HIV AIDS
2. Cara penularan HIV AIDS
3. Gejala-gejala HIV AIDS
4. HIV AIDS dilihat dari sudut pandang Antropologi, Sosiologi dan Psikologi
5. Pendekatan, Kebijakan dan strategi penanggulangan HIV AIDS

1.3.

TUJUAN
Mahasiswa dapat memahami tentang HIV AIDS, cara penularan dan mengetahui
kemungkinan gejala-gejala yang terjadi pada penderita HIV AIDS, serta bisa memahami nya
baik dilihat dari beberapa sudut pandang ; anropologi, sosiologi dan psikologi. Perlu
dipahami juga pendekatan-pendekatan dalam penatalaksanaan penderita HIV AIDS,
kebijakan-kebijakan yang harus diambil dan strategi penanggulangan HIV AIDS.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1.

DEFINISI
AIDS didefinisikan sebagai suatu sindrom atau kumpulan gejala penyakit dengan

karakteristik defisiensi kekebalan tubuh yang berat dan merupakan manifestasi stadium akhir

infeksi virus HIV (Tuti Parwati, 1996). Virusnya sendiri bernama Human Immunodeficiency
Virus (atau disingkat HIV) yaitu virus yang memperlemah kekebalan pada tubuh manusia. Orang
yang terkena virus ini akan menjadi rentan terhadap infeksi oportunistik ataupun mudah
terkena tumor. Meskipun penanganan yang telah ada dapat memperlambat laju perkembangan
virus, namun penyakit ini belum benar-benar bisa disembuhkan.
AIDS

merupakan

bentuk

terparah

atas

a k i b a t infeksi HIV.

HIV

adalah retrovirus yang biasanya menyerang organ-organ vital sistem kekebalan manusia,
seperti sel T CD4 (sejenis sel T), makrofag, dan sel dendritik. H I V m e r u s a k

sel

C D 4 s e c a r a l a n g s u n g d a n t i d a k l a n g s u n g , p a d a h a l s e l T C D 4 dibutuhkan agar
sistem kekebalan tubuh dapat berfungsi baik. Bila HIV telah membunuh sel T
CD4 hingga jumlahnya menyusut hingga kurang dari 200 per mikroliter (L)darah,maka
kekebalandi tingkat selakan hilang, dan akibatnya ialah kondisi yang disebut AIDS.
InfeksiakutHIV akan berlanjut menjadi infeksi laten klinis, kemudian timbul gejala
infeksi HIV awal, dan akhirnya AIDS; yang diidentifikasi dengan memeriksa jumlah sel
T CD4 di dalam darah serta adanya infeksi tertentu. Tanpa terapi antiretrovirus,rata - ratalamanya
perkembangan infeksi HIV menjadi AIDS ialah sembilan sampai sepuluh tahun, dan ratarata waktu hidup setelah mengalami AIDS hanya sekitar 9,2 bulan .
Namun demikian, laju perkembangan penyakit ini pada setiap orang sangat
bervariasi, yaitu dari dua minggu sampai 20 tahun. Banyak faktor yang mempengaruhinya,
diantaranya ialah kekuatan tubuh untuk bertahan melawan HIV (seperti fungsi kekebalan
tubuh) dari orang yang terinfeksi.
HIV secara terus menerus memperlemah sistem kekebalan tubuh dengan cara menyerang
dan

menghancurkan

kelompok-kelompok

sel-sel

darah

putih

tertentu

yaitu

sel T-

helper. Normalnya sel T-helper ini (juga disebut sel T4) memainkan suatu peranan penting pada
pencegahan infeksi. Ketika terjadi infeksi, sel-sel ini akan berkembang dengan cepat, memberi
tanda pada bagian sistem kekebalan tubuh yang lain bahwa telah terjadi infeksi. Hasilnya, tubuh
memproduksi antibodi yang menyerang dan menghancurkan bakteri-bakteri dan virus-virus yang
berbahaya.
Selain mengerahkan sistem kekebalan tubuh untuk memerangi infeksi, sel T-helper juga
memberi tanda bagi sekelompok sel-sel darah putih lainnya yang disebut sel T-suppressor atau
T8, ketika tiba saatnya bagi sistem kekebalan tubuh untuk menghentikan serangannya.

Biasanya kita memiliki lebih banyak sel-sel T-helper dalam darah daripada sel-sel Tsuppressor, dan ketika sistem kekebalan sedang bekerja dengan baik, perbandingannya kira-kira
dua banding satu. Jika orang menderita penyakit AIDS, perbandingan ini kebalikannya, yaitu selsel T-suppressor melebihi jumlah sel-sel T-helper. Akibatnya, penderita AIDS tidak hanya
mempunyai lebih sedikit sel-sel penolong yaitu sel T-helper untuk mencegah infeksi, tetapi juga
terdapat sel-sel penyerang yang menyerbu sel-sel penolong yang sedang bekerja
Virus yang bekerja seperti ini disebut retrovirus. Yang membuat virus ini lebih sulit
ditangani daripada virus lain adalah karena virus ini menjadi bagian dari struktur genetik sel
yang ditulari, dan tidak ada cara untuk melepaskan diri dari virus ini. Ini berarti bahwa orang
yang terinfeksi virus ini mungkin terinfeksi seumur hidupnya. Selain itu dapat berarti bahwa
orang yang mengidap HIV dapat menulari sepanjang hidup
Cara virus ini merusak fungsi sistem kekebalan tubuh belum dapat diungkapkan
sepenuhnya. Teori yang terbaru namun belum dapat dibuktikan kebenarannya menyatakan bahwa
rusaknya sistem kekebalan yang terjadi pada pengidap AIDS mungkin dikarenakan tubuh
menganggap sel-sel T-helpernya yang terinfeksi sebagai musuh. Jika demikian kasusnya, lalu
apa yang akan dilakukan oleh mekanisme pertahanan tubuh yaitu mulai memproduksi antibodi
untuk mencoba menyerang sel-sel T yang telah terinfeksi. Akan tetapi antibodi juga akan
diproduksi untuk menyerang sel T-helper yang tidak terinfeksi, mungkin juga merusak atau
membuat sel-sel ini tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Jika demikian, HIV akan
menyerang sistem kekebalan tubuh tidak hanya dengan membunuh sel-T tetapi dengan
mengelabuhi tubuh dengan membiarkan tubuh sendiri yang menyerang mekanisme
pertahanannya
Berbagai penyebab HIV AIDS dapat ditularkan mealalui darah yang terinfeksi, air mani
atau cairan vagina yang memasuki tubuh. Seseorang tidak dapat terinfeksi melalui kontak biasa
seperti memeluk, mencium, menari atau berjabat tangan dengan seseorang yang menderita HIV
atau AIDS. HIV tidak dapat ditularkan melalui air, udara atau melalui gigitan serangga.
2.2.

CARA PENULARAN HIV AIDS


Virus HIV AIDS bisa ditularkan melalui beberapa proses atau beberapa cara, diantaranya
ialah :

1. Hubungan Seks. Jika melakukan hubungan seks vaginal, anal atau oral dengan pasangan
yang terinfeksi darah, air mani atau cairan vagina memasuki tubuh. Virus ini dapat memasuki
tubuh melalui mulut atau air mata luka kecil yang kadang-kadang berkembang di dubur atau
vagina selama aktivitas seksual.
2. Transfusi darah. Dalam beberapa kasus, virus dapat ditularkan melalui transfusi darah.
3. Berbagi jarum. Virus HIV dapat ditularkan melalui jarum suntik terkontaminasi dengan
darah yang terinfeksi. Berbagi kepemilikan obat intravena bias menimbulkan risiko tinggi
HIV dan penyakit menular lainnya seperti hepatitis.
4. Dari ibu ke anak. ibu yang terinfeksi dapat menginfeksi bayi selama kehamilan atau
persalinan, atau melalui menyusui. Tetapi jika perempuan menerima pengobatan untuk
infeksi virus HIV selama kehamilan, risiko untuk bayi mereka secara signifikan berkurang.
2.3.

GEJALA-GEJALA AIDS
1.
2.
3.
4.

Merasa kelelahan yang berkepanjangan


Deman dan berkeringat pada malam hari tanpa sebab yang jelas.
Batuk yang tidak sembuh-sembuh disertai sesak nafas yang berkepanjangan.
Diare/mencret terus-menerus selama 1 bulan.Bintik-bintik berwarna keungu-unguan yang

tidak biasa
5. Berat badan menurun secara drastis lebih dari 10% tanpa alasan yang jelas dalam 1 bulan.
6. Pembesaran kelenjar secara menyeluruh di leher dan lipatan paha.
2.4.
CARA PANDANG TERHADAP HIV AIDS
2.4.1. HIV AIDS dilihat dari sudut pandang Antropologi
a. Analisa Budaya
Perilaku seksual yang salah kiranya dapat menjadi faktor utama tingginya
penyebaran HIV/AIDS dari bidang budaya. Mungkin saja masyarakat belum
memiliki kesadaran untuk mengendalikan perilaku seksualnya. Faktor lain pun
menjadi alasan mengapa perilaku seksual tidak dapat dikontrol dengan baik.
Masuknya berbagai jenis miras, perjudian dan hiburan membuat masyarakat terlena.
Glamor kehidupan modern dengan berbagai tawaran hedonistis dan materialistis
membuat masyarakat lupa akan nilai-nilai luhur yang pernah ditanam lewat adatistiadat dan ajaran agama. Akibatnya, kontrol terhadap kehidupan pun seakan sirna
begitu saja.
Di lain pihak, ditemukan beberapa budaya tradisional yang ternyata
meluruskan jalan bagi perilaku seksual yang salah ini. Meskipun kini tidak lagi

nampak, budaya tersebut pernah berpengaruh kuat dalam kehidupan masyarakat.


Misalnya saja, upacara Ezam Uzum pada suku Marind-Anim. Pada ritus adat ini
kepala adat atau pemimpin upacara mengadakan hubungan seksual dengan ibu-ibu
janda sebanyak tiga sampai lima orang ibu. Tujuannya ialah untuk mendapatkan
sperma yang akan digunakan untuk kepentingan upacara, karena sperma
melambangkan kesucian dan dapat mengusir setan1[11]. Di samping itu, adanya
budaya poligami dalam masyarakat pun menjadi salah satu faktor cepatnya penularan
HIV/AIDS. Poligami mengandaikan adanya hubungan seksual berganti pasangan, ini
merupakan penyebab timbulnya penyakit kelamin yang berujung pada HIV/AIDS.
Aspek budaya ini setidaknya berhubungan dengan penghayatan hidup
perkawinan. Jika budaya telah mencanangkan seperti itu, kesetiaan hidup perkawinan
dipertaruhkan.
Menurut pengakuan Kebena, seorang penderita HIV positif dari Pegunungan
Bintang, dirinya tertular melalui hubungan seksual secara bebas. Pada umumnya, para
orang tua di daerah Kebena mendidik anak dengan keras. Anak dilarang pacaran atau
berhubungan dengan lelaki lain. Maka, anak-anak pacaran secara sembunyisembunyi, di hutan atau tempat yang jauh dari rumah. Secara adat hal ini dapat
dibenarkan, namun jika kita melihat secara jeli akibat yang dapat ditimbulkan, kita
dapat mengatakan bahwa kebijakan orang tua tersebut adalah hal yang keliru. Anakanak pacaran jauh dari rumah (hutan), kontrol terhadap anak pun berkurang.
Akibatnya, perilaku seksual yang menyimpang dapat saja terjadi.
Kiranya masih banyak faktor budaya yang dapat dianalisis sebagai penyebab
realita yang terjadi. Faktor-faktor tersebut pun akan saling berhubungan dan
menciptakan masalah demi masalah. Tidak gampang mengubah suatu budaya atau
kebiasaan yang telah lama dilakukan oleh masyarakat. Tetapi usaha-usaha positif
untuk menyadarkan masyarakat harus terus digalakkan. Peran dari berbagai instansi
yang berlandaskan keprihatinan harus terus ditumbuhkan agar tidak tercipta suatu
budaya baru yang justru akan menghancurkan masyarakat di tanah Papua, yakni
budaya HIV/AIDS.
b. Pembagian Masyarakat
1

Sejauh ini tidak disebutkan pembagian masyarakat yang jelas mengenai


penyakit ini. Tidak pernah disebutkan pembagian ras, seks, kelas, etnis, maupun
agama. Kami hanya menemukan pembagian berdasarkan umur dan pembagian
berdasarkan geografis. Maka dalam bagian ini, kami menyajikan suatu 7able
penyebaran HIV/AIDS di Papua berdasarkan data tahun 2006.
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Daerah
Timika
Merauke
Kota Jayapura
Biak
Sorong
Kabupaten Jayapura
Nabire
Fak-Fak

Jumlah
1019
834
236
208
153
119
117
31

Timika menjadi daerah dengan kasus HIV/AIDS tertinggi, diikuti dengan


Merauke dan Kota Jayapura serta berbagai daerah lainnya. Laporan terakhir tahun
2010 menyebutkan bahwa sebanyak 1.536 warga tujuh suku di Kabupaten Mimika
(Timika) telah terinfeksi HIV/AIDS. Data sebelumnya (tahun 2009) mencatat bahwa
jumlah ibu rumah tangga di Timika yang terinfeksi HIV/AIDS sebanyak 551 orang
dan warga yang mempunyai pekerjaan tidak tetap yang terinfeksi sebanyak 600
orang. Sedangkan kelompok umur yang terbanyak menderita penyakit ini yakni
antara 20-29 tahun.
Menjadi jelas bahwa HIV/AIDS bukan lagi melingkupi para pekerja seksual,
para pelaku perilaku seksual yang salah atau para pengguna narkoba. HIV/AIDS kini
merangsek masuk ke dalam kehidupan masyarakat umum. Para ibu rumah tangga pun
juga terkena penyakit ini. Hal ini turut menambah kritis realitas HIV/AIDS. Bukan
hanya itu saja, penderita paling banyak ialah orang-orang muda.
2.4.2. HIV AIDS dilihat dari sudut pandang Psikologi

Menurut data UNAIDS/WHO AIDS Epidemic Update yang dipublikasikan pada


21 November 2007, diperkirakan 39,5 juta Orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Terdapat
4,3 juta infeksi baru pada 2006, 2,8 juta (65 persen) dari jumlah tersebut Studi yang

dilakukan oleh Meredith (dalam Varney: 2006) yang menanyai wanita HIV positif
mengenai apa yang mereka butuhkan dari perawatan mereka, menjawab:
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Perawatan personal dan dihargai


Mempunyai seseorang untuk diajak bicara tentang masalah-masalahnya
Jawaban-jawaban yang jujur dari lingkungannya
Tindak lanjut medis
Mengurangi penghalang untuk pengobatan
Pendidikan/penyuluhan tentang kondisi mereka
Selain itu beberapa studi lainnya menjelaskan bahwa seorang penderita HIV

AIDS setidaknya membutuhkan bentuk dukungan dari lingkungan sosialnya. Dimensi


dukungan sosial meliputi 3 hal:
1. Emotional support, miliputi; perasaan nyaman, dihargai, dicintai, dan diperhatikan
2. Cognitive support, meliputi informasi, pengetahuan dan nasehat
3. Materials support, meliputi bantuan / pelayanan berupa sesuatu barang dalam
mengatasi suatu masalah. (Nursalam, 2007)
Pasien yang didiagnosis dengan HIV akan mengalami masalah fisik, psikologis,
sosial, dan spiritual. Masalah psikologis yang timbul adalah:
1. Stres, yang ditandai dengan menolak, marah, depresi, dan keinginan untuk mati.
Individu

yang

terinfeksi

AIDS

(atas

pemberitahuan

dokter),

biasanya

mengalami shock. Bisa putus asa (karenashock berat). Penderita mengalami depressi
berat, sehingga menyebabakan penyakit makin lama makin berat, timbul berbagai
infeksi opotunistik, penderita makin tersiksa. Biaya pengobatan tambah besar, macam
penyakit tambah banyak, obat yang di beri harus tambah banyak dan tambah keras,
dengan berbagai efek samping, yang memperparah keadaan penderita.
2. Keyakinan diri yang rendah pada penderita HIV/AIDS akan menyebabkan penderita
mengalami hypochondria.
Dimana penderita seringkali memikirkan mengenai kehilangan, kesepian dan
perasaan berdosa di atas segala apa yang telah dilakukan sehingga menyebabkan
mereka kurang menitik beratkan langkah-langkah penjagaan kesehatan dan
kerohanian mereka. Seorang pasien yang telah didiagnosis HIV positif dan
mengetahuinya, kondisi mental penderita akan mengalami fase yang sering disingkat
SABDA (Shock, Anger, Bargain, Depressed, Acceptance).

3. Kecemasan

akan

HIV/AIDS

berkorelasi

negatif

denganPsychological

Well Being (kesejahteraan psikologis)


Ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat kecemasan pada penderita HIV/AIDS,
maka Psychological Well Being (kesejahteraan psikologis) pada penderita HIV/AIDS
akan semakin rendah.
Dalam pandangan masyarakat, ODHA sering dianggap memiliki perilaku yang
tercela (orang jahat) dan mereka kemudian dilihat sebagai orang yang berhak
mendapatkan takdir atas perilaku tercela tadi. Pada saat yang sama masyarakat
menyalahkan ODHA sebagai sumber penularan penyakit AIDS. Pandangan dan pendapat
masyarakat tentang HIV/AIDS yang akhirnya menimbulkan stigma dan diskriminasi
terhadap ODHA. Menurut The Centre for the Study of AIDS University of Pretoria,
terdapat 2 macam stigma, yaitu:
a. Eksternal stigma
Eksternal stigma merujuk pada pengalaman ODHA yang diperlakukan secara
tidak wajar/tidak adil dan berbeda dengan orang lain. Eksternal stigma meliputi:
1) Menjauhi (avoidance), yakni orang-orang menjauhi ODHA atau tidak
menginginkan untuk menggunakan peralatan yang sama.
2) Penolakan (rejection), yakni orang-orang menolak ODHA. Hal ini dapat
dilakukan oleh anggota keluarga atau teman yang tidak mau lagi berhubungan
dengan ODHA atau dapat juga suatu masyarakat atau kelompok tertentu yang
tidak mau menerima ODHA.
3) Peradilan moral (moral judgement), yakni orang menyalahkan ODHA karena
status HIV mereka atau melihat ODHA sebagai orang yang tidak bermoral.
4) Stigma karena hubungan (stigma by association), yakni orang yang terkait dengan
ODHA (seperti keluarga atau teman dekatnya) akan terstigma juga karena
keterkaitan tersebut.
5) Keenggganan untuk melibatkan ODHA (unwillingness to invest in PLHA), yakni
orang mungkin akan dipinggirkan dalam suatu organisasi/kelompok karena status
HIV mereka.
6) Diskriminasi (discrimination), yakni penghilangan kesempatan untuk ODHA,
seperti ditolak untuk bekerja, ditolak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan
yang memadai atau petugas menolak untuk melayani ODHA.
7) Pelecehan (abuse), yakni ODHA yang secara fisik ataupun lisan dilecehkan.

8) Pengorbanan (victimization), sebagai contoh anak-anak yang terinfeksi HIV atau


anak yatim piatu yang orangtuanya meninggal karena AIDS.
9) Pelanggaran hak asasi manusia (abuse of human right), sebagai contoh
pelanggaran asas kerahasiaan seperti membuka status HIV seseorang pada orang
lain tanpa persetujuan yang bersangkutan atau dilakukan tes HIV tanpa
melakukan informed consent.
b. Internal stigma
Internal stigma adalah perasaan tertentu seseorang tentang diri mereka sendiri
seperti rasa malu atau rasa takut ditolak. Internal stigma meliputi:
1) Mengasingkan diri dari pelayanan atau kesempatan (self-exclusion from services
or opportunities), yakni ODHA tidak menginginkan untuk mendapatkan
pelayanan atau tidak bekerja karena mereka takut diketahui sebagai ODHA.
2) Persepsi terhadap diri sendiri (perception of self), ODHA memiliki rasa rendah
diri karena status HIV mereka yang positif.
3) Penarikan diri secara sosial (social withdrawal), ODHA akan menarik diri dari
hubungan pribadi dan sosial.
4) Mengganti secara berlebihan (overcompensation), ODHA percaya bahwa mereka
seharusnya memberi lebih dibanding orang lain atau adanya perasaan berhutang
jika orang lain bersikap baik pada mereka.
5) Ketakutan untuk pengungkapan (fear of disclosure), ODHA tidak akan
mengungkapkan status HIV mereka karena mereka takut akan konsekuensinya.
Mekanisme koping adalah mekanisme yang digunakan individu untuk
menghadapi perubahan yang diterima. Apabila mekanisme koping berhasil, maka orang
tersebut akan dapat beradaptasi terhadap perubahan tersebut. Mekanime koping dapat
dipelajari, sejak awal timbulnya stresor dan orang menyadari dampak dari stresor
tersebut. Kemampuan koping dari individu tergantung dari temperamen, persepsi, dan
kognisi serta latar belakang budaya/norma dimana dia dibesarkan. Mekanisme koping
terbentuk melalui proses belajar dan mengingat. Belajar disini adalah kemampuan
menyesuaikan diri (adaptasi) pada pengaruh faktor internal dan eksternal. Menurut Roy,
yang dikutip oleh Nursalam (2007) mekanisme belajar merupakan suatu proses didalam
sistem adaptasi (cognator) yang meliputi mempersepsikan suatu informasi, baik dalam
bentuk implisit maupun eksplisit.

Belajar

implisit

umumnya

bersifat

reflektif

dan

tidak

memerlukan

kesadaran (focal) sebagaimana terlihat pada gambar. Keadaan ini ditemukan pada
perilaku kebiasaan, sensitisasi dan keadaan. Pada habituasi timbul suatu penurunan dari
transmisi sinap pada neuron sensoris sebagai akibat dari penurunan jumlah
neurotransmitter yang berkurang yang dilepas oleh terminal presinap. Pada habituasi
menuju ke depresi homosinaptik untuk suatu aktivitas dari luar yang terangsang terus
menerus. Sensitifitas sifatnya lebih kompleks dari habituasi, mempunyai potensial jangka
panjang (beberapa menit sampai beberapa minggu). Koping yang efektif menempati
tempat yang central terhadap ketahanan tubuh dan daya penolakan tubuh terhadap
gangguan maupun serangan suatu penyakit baik bersifat fisik maupun psikis, sosial,
spiritual. Perhatian terhadap koping tidak hanya terbatas pada sakit ringan tetapi justru
penekanannya pada kondisi sakit yang berat.
Lipowski membagi koping dalam 2 bentuk, yaitu:
a) Coping style merupakan mekanisme adaptasi individu meliputi mekanisme psikologis
dan mekanisme kognitif dan persepsi. Sifat dasarcoping style adalah mengurangi
makna suatu konsep yang dianutnya, misalnya penolakan atau pengingkaran yang
bervariasi yang tidak realistis atau berat (psikotik) hingga pada tingkatan yang sangat
ringan saja terhadap suatu keadaan.
b) Coping strategy merupakan koping yang digunakan individu secara sadar dan terarah
dalam mengatasi sakit atau stresor yang dihadapinya. Terbentuknya mekanisme
koping bisa diperoleh melalui proses belajar dalam pengertian yang luas dan
relaksasi. Apabila individu mempunyai mekanisme koping yang efektif dalam
menghadapi stresor, maka stresor tidak akan menimbulkan stres yang berakibat
kesakitan

(disease),

tetapi

stresor

justru

menjadi

stimulan

yang

mendatangkan wellness dan prestasi.


Beradaptasi terhadap penyakit memerlukan berbagai strategi tergantung
ketrampilan koping yang bisa digunakan dalam menghadapi situasi sulit.
Ada 3 teknik koping yang ditawarkan dalam mengatasi stress:
1. Pemberdayaan Sumber Daya Psikologis (Potensi diri)

Sumber daya psikologis merupakan kepribadian dan kemampuan individu


dalam memanfaatkannya menghadapi stres yang disebabkan situasi dan lingkungan.
Karakterisik di bawah ini merupakan sumber daya psikologis yang penting.
a. Pikiran yang positif tentang dirinya (harga diri)
Jenis ini bermanfaat dalam mengatasi situasi stres, sebagaimana teori
dari Colleys looking-glass self: rasa percaya diri, dan kemampuan untuk
mengatasi masalah yg dihadapi.
b. Mengontrol diri sendiri
Kemampuan dan keyakinan untuk mengontrol tentang diri sendiri dan
situasi (internal control) dan external control(bahwa kehidupannya dikendalikan
oleh keberuntungan, nasib, dari luar) sehingga pasien akan mampu mengambil
hikmah dari sakitnya (looking for silver lining).
Kemampuan mengontrol diri akan dapat memperkuat koping pasien, perawat
harus menguatkan kontrol diri pasien dengan melakukan:
1) Membantu pasien mengidentifikasi masalah dan seberapa jauh dia dapat mengontrol
diri
2) Meningkatkan perilaku menyeleseaikan masalah
3) Membantu meningkatkan rasa percaya diri, bahwa pasien akan mendapatkan hasil
yang lebih baik
4) Memberi kesempatan kepada pasien untuk mengambil keputusan terhadap dirinya
5) Mengidentifikasi sumber-sumber pribadi dan lingkungan yang dapat meningkatkan
kontrol diri: keyakinan, agama
2. Rasionalisasi (Teknik Kognitif)
Upaya memahami dan mengiterpretasikan secara spesifik terhadap stres dalam
mencari arti dan makna stres (neutralize its stressfull). Dalam menghadapi situasi
stres, respons individu secara rasional adalah dia akan menghadapi secara terus
terang, mengabaikan, atau memberitahukan kepada diri sendiri bahwa masalah
tersebut bukan sesuatu yang penting untuk dipikirkan dan semuanya akan berakhir
dengan sendirinya. Sebagaian orang berpikir bahwa setiap suatu kejadian akan
menjadi sesuatu tantangan dalam hidupnya. Sebagian lagi menggantungkan semua

permasalahan dengan melakukan kegiatan spiritual, lebih mendekatkan diri kepada


sang pencipta untuk mencari hikmah dan makna dari semua yang terjadi.
3. Teknik Perilaku
Teknik perilaku dapat dipergunakan untuk membantu individu dalam
mengatasi situasi stres. Beberapa individu melakukan kegiatan yang bermanfaat
dalam menunjang kesembuhannya. Misalnya, pasien HIV akan melakukan aktivitas
yang dapat membantu peningkatan daya tubuhnya dengan tidur secara teratur, makan
seimbang, minum obat anti retroviral dan obat untuk infeksi sekunder secara teratur,
tidur dan istirahat yang cukup, dan menghindari konsumsi obat-abat yang
memperparah keadan sakitnya.
Selama hari-hari sulit dimana pasien dengan HIV AIDS, keluarga dapat menjadi
sangat tergantung pada keputusan professional. Oleh sebab itu, seorang tenaga
professional hendaknya secara empati mampu mengarahkan dan memberikan pilihan
pada keluarga untuk menemukan tempat rujukan terbaik, berupa klinik kesehatan mental,
layanan psikolog/psikiater atau dokter dengan spesialisasi kejiwaan.
Dalam hal pemberian pengarahan alternatif rujukan ini, Laura A. Talbot
menganjurkan bekerja dengan anggota keluarga dengan jalan:
1)
2)
3)
4)

Memberikan pilihan
Membantu mereka mengidentifikasi dan memfokuskan perasaan
Mendorong istirahat dari krisis
Memberi pengarahan dalam cara memberi tanggung jawab dan harapan
Pasien yang menderita AIDS memperlihatkan adanya gangguan psikologis berupa

stres dan depresi yang ditunjukkan dengan perasaan sedih, putus asa, pesimis, merasa diri
gagal, tidak puas dalam hidup, merasa lebih buruk dibandingkan dengan orang lain,
penilaian rendah terhadap tubuhnya, dan merasa tidak berdaya. (Jeffry dkk, 2006: 157).
2.4.2 Pandangan Sosiologi Kesehatan terhadapap Penyakit HIV/AIDS
Dalam pandangan sosiologi HIV/AIDS merupakan bencana besar yang sewaktu-waktu
bisa menyerang siapapun dan dimanapun, sehingga permasalahan tersebut dianggap sebagai
peristiwa yang sangat menakutkan dan misterius, penyakit ini menimbulkan masalah sosial, hal
ini dikarenakan penyakit HIV/AIDS belum memiliki obat, tidak dapat disembuhkan dan

berujung pada kematian seorang individu yang mengidap penyakit ini dapat mengalami
hukuman sosial, seperti dikucilkan, ditolak oleh lembaga pendidikan (contoh: sekolah, tempat
les), ditolak dilingkungan sosialnya (contoh: teman-teman) hingga ditolak di lembaga kesehatan
(contoh: Rumah Sakit Umum). Kadang-kadang hukuman sosial tersebut juga turut tertimpakan
kepada petugas kesehatan atau sukarelawan, yang terlibat dalam merawat orang yang hidup
dengan HIV/AIDS (ODHA).
Seseorang yang sudah terinfeksi virus HIV / AIDS akan menjadi pembawa dan penular
virus AIDS selama hidupnya.Orang yang sudah terinfeksi virus HIV tidak merasa sakit dan
tampak merasa sehat.Kondisi yang demikian akan membahayakan masyarakat,oleh sebab itu
perlu pemahaman dari masyarakat agar mampu menghindari penularan penyakit AIDS. Infeksi
HIV paling banyak terdapat pada kelompok wanita usia produktif.Apabila dilihat dari profile
umur ada kecenderungan bahwa infeksi HIV pada wanita lebih cenderung ke usia muda,serta
lebih banyak wanita yg terinfeksi.Sedangkan usia diatas 45 tahun resiko terinfeksi virus HIV
lebih sedikit.Penyebaran HIV di seluruh dunia maupun di Indonesia dipermudah oleh makin
longgarnya norma seksual.Dengan adanya transisi masyarakat agraris ke masyarakat industri
serta adanya globalisasi di berbagai bidang meluas dan bertambah banyaknya kota-kota,majunya
teknologi komunikasi serta melonggarnya struktur sosial dan struktur keluarga telah berdampak
terhadap perilaku individu dan masyarakat.
Proses industrialisasi juga berakibat terjadinya perubahan-perubahan yang mendasar
terhadap sistem nilai dan norma-norma sosial yang berlanjut juga mempengaruhi sendi-sendi
hubungan dalam keluarga.diantara sekian perubahan yang mendasar ini memiliki keterkaitan erat
dengan

perubahan

keluarga

dengan

tumbuhnya

gejala

anomie,sekularisme

dan

hedonisme.Anomie menurut Emile Durkheim merupakan keadaan dimana norma-norma (sosial


dan budaya) yanglama memudar sedangkan yang baru belum terbentuk (state of nomie ).Adapun
yang dimaksud norma-norma lama adalah norma-norma tradisional yang lebih menekankan
kepada koletivitas disebabkan oleh tuntutan perubahan dari masyarakat agraris tradisional
kearah masyarakat industri.sementara kultus individumerupakan gejala pembebasan terhadap
kolektivitas tradisionalisme,maka berkembang hedonisme.
Dewasa ini hubungan seksual pranikah cukup banyak dijumpai dikalangan kaum muda
didorong oleh rasa ingin tahu dan ingin mencoba,kaum muda sering terperangkap dalam

hubungan seksual pranikah yang sering dilaksanakan dengan pasangan yang bergantiganti.Keadaan sering berganti pasangan seperti ini sangat rawan terjadinya penularan HIV.Maka
banyaknya kehamilan pada remaja dan meningkatnya prevalensi penyakit menular seksual
terutama dilingkungan kelompok umur 16 sampai 24 tahun. Kebanyakan wanita di negara
berkembang tidak bisa dan tidak berani berani mengatur kehidupan seksual suaminya di luar
rumah.Istri biasanya tidak bisa menolak kalau suaminya ingin melakukan hubungan seksual. Hal
ini karena disebabkan status sosial dan ekonomi wanita yang masih rendah di negara
berkembang.Sikap wanita yang pasrah dan bersikap lemah tersebut berkaitan dengan hambatan
psilologis yang datang dari pihak wanita sendiri.Hal ini terjadi karena stereotif wanita,seperti
tercermin dari pendapat Champbell bahwa penurunan prestasi dan keberanian anak wanita sangat
dipengaruhi oleh stereotif wanita yang beranggapan bahwa pandai dan berani mengemukakan
pendapat bukanlah sifat feminim.Kondisi psikologis yang demikian menumbuhkan sikap takut
berpendapat dan takut mengambil keputusan untuk menolak sesuatu yang tidak sesuai dengan
dirinya.
Bagi wanita AIDS memberikan dampak serius dan seringkali menyakitkan dalam
perananya sebagai calon ibu seperti dilukiskan diatas.Seorang wanita yang menderita AIDS akan
terhalang

untuk

merawat

anak-anaknya

karena

kondisi

kesehatannya

yang

kurang

memungkinkan.Penderitaan fisik yang dialaminya akan diperberat oleh stress mental jika ia tidak
bisa mendapatkan seseorang untuk merawat anak-anaknya.Strss semacam ini akan lebih
diperberat lagi oleh rasa takut ibu tersebut bahwa anak-anaknya tidak akan ada yang mengurus
apabila si ibu meninggal dunia.
Kontak sosial seperti hidup serumah ,tidur bersama ,berenang bersama,mandi atau WC
bersama bukan merupakan media penularan virus HIV.Namun masalahnya mungkin akan lain
kalo pengidap HIV tersebut terluka mengeluarkan darah atau penderita AIDS tersebut mengalami
infeksi sekunder di kulit,mulut,saluran cerna,saluran nafas,saluran kencing ,dan lain lain
Semua hal di atas dikarnakan adanya sifat yang melekat pada masyarakat kita yaitu saling
membutuhkan satu sama lain. Selayaknya sperangkat komponen organisme tubuh yang saling
melengkapi satu sama lain karena bersifat komplementer, jika slah satu dari organ tersebut tidak
berfungsi dengan baik maka komponen atau organ yang lainpun tidak akan berfungsi dengan
optimal, maka organ yang lain pula tidak akan berfungsi dengan baik, sehingga setiap orang

memiliki hak untuk berinteraksi dan mendapatkan relasi dari sesamanya. Tetapi terkadang
penyakit yang diderita justru menjadi ancaman dan penghalang yang dapat membatasi mereka
dalam bergaul dan berinteraksi dengan sesamanya, apalagi penyakit yang diderita adalah
penyakit yang mematikan dan belum ada obatnya sehingga memberikan dampak negatif bagi
orang yang ada di sekitarnya. belum lagi ditambah dengan labeling yang diberikan oleh
masyarakat terhadap pengidap penyakit HIV/AIDS yang dinilai sebagai akibat perbuatan negatif
dan asusila yang melanggar nilai dan norma yang ada pada masyarakat seperti pergaulan bebas
(Free Seks) dan narkotika yang selama ini dianggap tabu oleh masyarakat Indonesia, sehingga
secara otomatis si penderita akan terkucilkan dari masyarakat sekitarnya.
Usaha Pemerintah sendiri dalam mencegah penyakit tersebutpun baru-baru ini
menimbulkan kontroversi, bagaimana tidak? Kebijakan Menteri Kesehatan (Menkes)
mengampanyekan anti- HIV/AIDS dengan cara membagi-bagikan kondom gratis hal ini terus
dikecam oleh berbagai kalangan. Selain dianggap tak bijak, kampanye kondom gratis hanya
terjadi di Indonesia. Pasalnya, hal itu dapat diartikan menyetujui dan memfasilitasi masyarakat
yang ingin melakukan seks bebas. pembagian kondom gratis ini memang dilihat cukup masuk
akal dari salah satu cara menularnya yaitu melalui seks bebas atau Free Seks namun kebijakan
kampanye kondom gratis bukan solusi untuk penanggulangan HIV/AIDS melainkan justru
mengampanyekan seks bebas.

2.5.

PENDEKATAN
Berbagai macam pendekatan dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan sosial yang

terjadi di Indonesia. Salah satu diantaranya adalah pendekatan untuk permasalahan HIV-AIDS di
Indonesia. Secara umum, berbagai pendekatan tersebut diantaranya adalah :
2.5.1. Pendekatan Sosiologis
Melalui pendekatan ini dicoba untuk memahami masalah sosial secara sosiologis yang
dibedakan atas 4 macam pendekatan, yaitu:
a.
b.
c.
d.

Pendekatan Agama
Pendekatan Hukum
Pendekatan Jurnalistik dan
Pendekatan Seni.

1. Pendekatan Agama
Pendekatan ini bersifat individual dalam arti sangat berhubungan dengan keyakinan
masing-masing orang terhadap ajaran agamanya. Semakin orang yakin akan ajaran
agamanya, semakin pendekatan ini effektif kegunaannya. Melalui pendekatan agama
diajarkan bahwa masalah sosial timbul bila terjadi pelanggaran terhadap norma-norma
agamanya.Pelanggaran terhadap norma agama akan mendapat sanksi yang kadang sifatnya
sangat abstrak dan sangat tergantung kepada keyakinan para penganutnya (keyakinan tentang
adanya sorga bagi yang berbuat baik dan neraka bagi orang jahat) Pendekatan ini lebih
terasa keeffektifannya dalam kerangka preventif dengan cara penanaman nilai nilai agama
sejak dini dari tiap keluarga dalam masyarakat.
Internalisasi nilai nilai agama pada tiap individu anggota masyarakat diharapkan ia
bisa menjadi benteng ataupun juga filter dalam menyaring pengaruh negatif dari
sekelilingnya atau dengan kata lain dapat mencegah terjadinya pelanggaran-pelanggaran
terhadap nilai-nilai dan norma agama yang pada gilirannya mencegah terhadap terjadinya
masalah-masalah sosial.
2. Pendekatan Hukum
Antara pendekatan hukum dan pendekatan agama ada kesamaan segi historis, dalam
arti pendekatan hukum dalam memandang fenomena masalah sosial bisa bersumber pada
pendekatan agama. Hanya pada pendekatan hukum biasanya ia berlaku bagi semua anggota
masyarakat dimana ia bertempat tinggal dan hukum tersebut diberlakukan.
Pendekatan ini sanksinya lebih jelas karena mengacu pada peraturan atau norma yang
sudah dikodifikasikan dan disahkan , misalnya hukuman bagi pelaku kejahatan membunuh
dihikum penjara sekian tahun, pelaku kejahatan korupsi dihukum sekian tahun dst. Dengan
demikian pendekatan hukum memandang bahwa masalah sosial terjadi bila terjadi
pelanggaran terhadap norma-norma hukum dan untuk setiap pelaku pelanggaran tersebut
akan dikenakan sanksi.
Pendekatan ini bisa besifat preventif dalam arti masalah sosial dapat dicegah melalui
upaya sosialisasi norma-norma hukum yang berlaku dalam masyarakat maupun bersifat
kuratif atau rehabilitatif dalam arti terhadap pelaku pelanggar norma hukum akan diberikan
sanksi tertentu dan diadakan pembinaan agar dia tidak lagi melakukan pelanggaran-

pelanggaran terhadap norma hukum. Mereka yang berperan dalam pendekatan ini antara lain
adalah para penegak hukum maupun aparat pemerintah yang berwajib .
3. Pendekatan Jurnalistik
Dengan pendekatan jurnalistik dimaksudkan sebagai usaha penyebarluasan informasi
yang berkaitan dengan masalah sosial melalui tulisan-tulisan di media cetak. Melalui
pendekatan ini masalah sosial diusahakan untuk dikenalkan pada masyarakat baik dalam arti
masalah sosial itu sendiri maupun sebab-akibat serta cara-cara menghadapinya.
Sejak abad 18 surat-surat kabar dan majalah-majalah telah menjadi bagian yang
mencatat dan memaparkan ungkapan dan protes terhadap eksploitasi,korupsi dan degradasi
pada masyarakat di Amerika Serikat. Pendekatan ini juga berusaha menyadarkan akan
bahaya dari masalah sosial yang sedang dan akan terjadi. Sampai saat ini majalah, surat kabar
masih menjadi sarana yang berharga dalam membangkitkan kesadran masyarakat akan
bahaya narkoba, Prostitusi, HIV/AIDS dan masalah-masalah sosial lain.
Mereka yang bisa berperan dalam pendekatan ini selain para jurnalist, bisa juga
orang-orang yang punya kompetensi dalam bidangnya dan punya kemampuan menulis
(penjelasan secara medis dari dokter tentang HIV/AIDS, penjelsan dari ahli ilmu sosial
tentang kemiskinan dst). Pendekatan ini dianggap cukup besar artinya dalam arti ia bisa
mempunyai jangkauan yang luas baik dari segi penyebaran geografis maupun kelompok
sasaran orang yang akan dituju.
Dalam hal sasarannya masyarakat, maka dengan pendekatan ini bisa menekan situasi
panik dari masyarakat yang semula tidak faham akan situasi sosial yang bermasalah yang
sedang terjadi (kepanikan masyarakat ketika bahaya AIDS baru pertama kali diketahui,
banyak penderita AIDS yang diperlakukan tidak manusiawi karena ketidak tahuan orang
tentang bagaimana cara penularan penyakit tsb). Walaupun pendekatan ini bisa mempunyai
jangkauan yang luas, sayangnya pendekatan ini hanya efektif bagi masyarakat yang
mempunyai budaya baca.
4. Pendekatan Seni
Pendekatan seni adalah suatu upaya yang dilakukan para seniman (seni drama, musik,
tari, lukis, sastra dsb) untuk membangun simpati kemanusiaan sehubungan dengan sistuasi
sosial yang bermasalah.Dalam pendekatan ini juga harus memperhitungkan kelompok yang
jadi sasaran.(misal melalui musik, apabila yang jadi sasaran pendekatan adalah anak muda,

maka musik yang digunakan juga musik yang sesuai dengan selera anak muda, begitu juga
dengan ksenian lainnya, misalnya wayang cocok untuk digunakan pada masyarakat desa di
Jawa dst).
2.5.2. Pendekatan Lain
Selain pendekatan sosiologis di atas ada beberapa pendekatan lain yang dapat digunakan
dalam penanganan masalah-masalah sosial seperti yang akan diuraikan dibawah ini.
1. Pendekatan Ekologi
Yaitu suatu metode pendekatan yang yang didasarkan atas konsep dan prinsip ekologi
,dalam arti menelaah masalah sosial sebagai hasil interrelasi antara masyarakat manusia
dengan lingkungannya pada suatu ekosistem . pada pendekatan ini kita tidak memisahkan
komponen masyarakat manusia dari komponen lingkungannya.Melalui pendekatan ekologi,
pertumbuhan masyarakat manusia di tempat-tempat tertentu, baik di perkotaan maupun di
pedesaan dengan segala aspeknya dipelajari dan dikaji pengaruhnya tehadap lingkungan
setempat. Diteliti pengaruhnya tadi apakah tetap seimbang ataukah menimbulkan
ketimpangan, sampai sejauh mana ketimpangan tadi menyebabkan terjadinya masalah sosial
bagi masyarakat setempat.
Melalui pendekatan ekologi dikaji kemampuan daya tampung lingkungan alam
tehadap kehidupan masyarakat manusia di tempat tertentu. Sedangkan daya tampung
lingkungan yaitu suatu ukuran tertentu yang menunjukkan jumlah individu yang dapat
ditunjang oleh lingkungan tersebut.
Manusia merupakan bagian dari alam, bukan penguasa alam oleh karena itu
perbuatan manusia yang serampangan tidak terencana yang menimbulkan ketimpangan
lingkungan akhirnya merugikan dan mengancam kehidupan ,manusia itu sendiri.
Aspek-aspek yang harus diungkapkan dari komponen manusia pada pendekatan
ekologi yaitu, aspek demografisnya, sosial ekonomi, sosial budaya, sosial politik; sosial
geografis, sosial historis dan yang lainnya yang berpengaruh terhadap perkembangan dan
perubahan lingkungan alam. Data kuantitatif dan kualitatif aspek-aspek tersebut dianalisa
untuk meyakinkan terjadinya ketimpangan yang menyebabkan masalah sosial .
Yang mendorong terjadinya masalah sosial pada ekosistem adalah bahwa manusia
berkecenderungan menyederhanakan keadaan unsur-unsur ekosistem tersebut, sehingga

menjadi labil dan mudah goncang . Kegoncangan inilah yang menyebabkan terjadinya
ketimpangan ekologis yang pada gilirannya dapat menimbulkan masalah sosial yang dapat
mengancam kehidupan manusia. Paul R Erlich et.al mengemukakan bahwa manusia telah
menjadi musuh bagi kompleks sistem ekologis yang menyebabkan tidak stabilnya suatu
ekosistem.
2. Pendekatan Pertumbuhan Eksponensial
Yaitu suatu pendekatan yang menyebutkan bahwa pertumbuhan kuantitas dan kualitas
suatu benda, suatu unsur atau gejala dari suatu tingkat ke tingkat berikutnya terjadi dengan
kelipatan dua.
Pendekatan ini berlandaskan metodologi dinamika sistem yang merupakan suatu
metodologi untuk menganalisa kelakuan dan relasi komponen-komponen yang kompleks
pada suatu sistem . Kerangka kerja dinamika sistem ini berdasarkan suatu model untuk
menyusun pemikiran interrelasi komponen-komponen pokok tertentu, serta untuk
mengetahui bagaimana komponen-komponen tadi saling mempengaruhi satu sama lain
dalam suatu sistem. Variabel variabel disusun pada suatu pola kerangka umpan balik positif
dan negatif yang dapat diungkapkan keterkaitan antara unsur-unsur atau faktor-faktor atau
komponen-komponen yang menggambarkan suatu sistem.
Pendekatan ini dapat digunakan untuk mengadakan analisa sistem yang kompleks dan
berubah serta tumbuh secara dinamik terus menerus yang menyebabkan masalah sosial.
Pada pendekatan pertumbuhan eksponensial harus ditentukan dulu masalah yang akan
dianalisa. Selanjutnya diteliti unsur unsur atau faktor-faktor atau komponen-komponen apa
yang jadi dasar penyebab masalah sosial tadi, kemudian dianalisa kaitan pertumbuhan satu
faktor dengan yang lainnya dan dianalisa pengaruh pertumbuhan faktor yang satu dengan
yang lainnya. Dari pertumbuhan faktor-faktor tadi, dapat dianalisa dan diketahui
keseimbangan/ketidakseimbangan pertumbuhan faktor faktor tersebut dalam suatu sistem
yang akhirnya dapat menyebabkan terjadinya ,masalah sosial.
Berdasarkan analisa pertumbuhan eksponensial, kita dapat mengetahui komponen
mana yang terlalu cepat atau lambat pertumbuhannya dalam kerangka proses dinamikanya.
Inilah yang menimbulkan ketidakseimbangan yang kemudian menimbulkan masalah .
3. Pendekatan Sistem

Yaitu suatu pendekatan yang yang menetapkan bahwa masalah sosial tadi sebagai
suatu sistem. Pendekatan sistem ini dijiwai oleh faham ekspansionisme dan cara berfikir
sintetik. Ekspansionisme yaitu suatu doktrin yang mempertahankan bahwa semua benda,
peristiwa, dengan segala pengalamannya merupakan bagian dari suatu kebulatan yang besar.
Ekspansionisme merupakan cara lain meninjau suatu benda atau peristiwa disamping
faham reduksionisme yaitu suatu doktrin yang mempertahankan bahwa semua benda dan
peristiwa dengan segala perbendaharaan dan pengalamannya terbentuk dari unsur-unsur yang
merupakan bagian bagian yang tidak nampak. Faham ini didasari oleh cara berfikir analitik
yang mengungkap segala sesuatu dapat dijelaskan sampai dapat dimengerti.
Berfikir sintetik yang tidak dapat dipisahkan dipisahkan dari faham ekspansionisme
yaitu cara berfikir yang didasarkan pada proses mental yang menjelaskan sesuatu dengan
meninjaunya sebagai bagian dari sistem yang luas serta menjelaskannys berdasarkan peranan
hal tersebut dalam sistem.
Penerapan cara berfikir sintetik yang diterapkan pada sistem masalah inilah yang
disebut pendekatan sistem.
Sistem yaitu suatu rangkaian gejala yang dihubungkan satu sma lain oleh suatu proses
umum. Dalam kehidupan sosial manusia, tiap aspek kehidupan merupakan gejala yang
berhubungan satu sama lain membentuk satu sistem. Segala aspek kehidupan sosial manusia
dengan prosesnya yang terus berlangsung, merupakan suatu sistem kehidupan. Kedudukan
suatu sitem lebih tinggi daripada kedudukan bagian-bagian yang membentuknya.
Pada konsep sistem, benda,gejala, atau peristiwa ditetapkan sebagai satu keseluruhan
dan satu kebulatan yang tidak terpisahkan dari bagian-bagiannya. Pada suatu sistem, bagian
bagian yang terpisah tidak berarti apa-apa bila dibandingkan dengan kedudukannya sebagai
komponen atau subsistem dalam keseluruhan yang bulat. Suatu sistem lebih tinggi nilainya
daripada bagian-bagiannya.
Kehidupan sosial manusia atau masyarakat merupakan suatu sistem sebagai hasil
interrelasi dan interaksi manusia dengan segala aspek kehidupannya. Pada konsep sistem ini,
aspek kehidupan manusia di masyarakat, kita tetapkan sebagai komponen atau subsistem
yang

membentruk

sistem

tadi.

Aspek

kehidupan

biologis,

budaya,

ekonomi,

politik,psikholgis dst, merupakan subsistem yang berinterrelasi satu sama lain yang
membentuk sistem kehidupan manusia yang kompleks.

Peninjauan dan pendekatan aspek kehidupan sosial manusia dalam mengkaji masalah
sosial dengan pendekatan sistem, tidak dilepaskan atau direduksikan satu sama lain,
melainkan ditinjau sebagai satu kebulatan yang tidak terpisah-pisah.
Pada pengkajian masalah sosial dengan menggunakan pendekatan sistem, subsistem
lingkungan tidak dapat diabaikan. Subsistem lingkungan besar peranan dan perkaitannya
dengan warna masalah sosial tadi. Dalam hal ini, proses berfikir sistem tidak memisahkan
tiap langkah dan tiap aparat sebagai satu kebulatan pada pendekatan sistem.
4. Pendekatan Interdisipliner, Pendekatan Multidispliner.
Karena subsistem masalah sosial banyak jumlahnya, kita harus menggunakan disiplin
ilmu sosial yang juga lebih dari satu. Dengan demikian, pada pendekatan ini kita gunakan
disiplin ilmu sosial yang sesuai dengan jumlah subsistem masalah yang kita analisa dan kita
kaji, disebut pendekatan interdisipliner.
Pada pendekatan ini, masalah sosial didekati, dianalisa dan dikaji dari berbagai
disiplin ilmu sosial secara serentak dalam waktu yang sama. Masalah sosial yang kompleks
sesuai dengan subsistem masalahnya diunngkapkan dari berbagai disiplin akademis seperti :
Sosiologi, Ekonomi, Antropologi, Politik, Geografi, Psikologi, Sejarah dst, bahkan mungkin
dari disiplin akademis diluar ilmu sosial.
Secara tuntas, lugas dan mendalam, antara pendekatan sistem dengan pendekatan
interdisipiner masalah sosial, tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Pendekatan sistem yang
menggunakan disiplin akademis yang jamak, disebut pendekatan interdisipliner. Sebaliknya
pendekatan interdisipliner yang menetapkan suatu masalah yang sedang didekati dan sedang
dianalisa sebagai suatu sistem disebut pendekatan sistem.
Mengingat pendekatan sistem yang sekaligus juga pendekatan interdisipliner yang
menggunakan disiplin akademis yang jamak. Pendekatan ini dapat pula disebut sebagai
pendekatan multidisipliner. Jadi, pendekatannya pada hakekatnya sama. Ditinjau dari
hakekatnya,pendekatan tadi tidak asing bagi manusia, karena berdasarkan cara berfikir
manusia yang multidimensional dalam mengevaluasi suatu gejala atau masalah.
Dalam mengkaji masalah sosial yang kompleks melalui pendekatan interdisipliner
atau pendekatan sistem, perlu memiliki kemampuan interdisipliner dan sistem. Kemampuan
tsb baik yang ada dalam diri kita, maupun kerjasama dengan berbagai keahlian dari berbagai
bidang keilmuan.

2.5.3. Tujuan
Tujuan Umum penanggulangan HIV dan AIDS yaitu untuk mencegah dan mengurangi
penularan HIV, meningkatkan kualitas hidup ODHA serta mengurangi dampak sosial dan
ekonomi akibat HIV dan AIDS pada individu, keluarga dan masyarakat.
1. Tujuan Khusus Penanggulangan HIV dan AIDS
Menyediakan dan menyebarluaskan informasi dan menciptakan suasana kondusif
untuk mendukung upaya penanggulangan HIV dan AIDS, dengan menitikberatkan
pencegahan pada sub-populasi berperilaku resiko tinggi dan lingkungannya dengan tetap
memperhatikan sub-populasi lainnya. Diantaranya ialah :
a. Menyediakan dan meningkatkan mutu pelayanan perawatan, pengobatan, dan dukungan
kepada ODHA yang terintegrasi dengan upaya pencegahan.
b. Meningkatkan peran serta remaja, perempuan, keluarga dan masyarakat umum termasuk
ODHA dalam berbagai upaya penanggulangan HIV dan AIDS.
c. Mengembangkan dan meningkatkan kemitraan antara lembaga pemerintah, LSM, sektor
swasta dan dunia usaha, organisasi profesi, dan mitra internasional di pusat dan di daerah
untuk meningkatkan respons nasional terhadap HIV dan AIDS.
d. Meningkatkan koordinasi kebijakan nasional dan daerah serta inisiatif dalam
penanggulangan HIV dan AIDS.
2.5.4. Kebijakan
Kebijakan adalah keputusan-keputusan yang mengikat bagi orang banyak pada tataran
strategis atau bersifat garis besar yang dibuat oleh pemegang otoritas publik. Sebuah kebijakan
yang dibuat oleh pemerintah disusun dengan melalui beberapa tahapan yaitu: penyusunan
agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, dan penilaian/evaluasi kebijakan. Untuk melihat
dampak kebijakan yang telah dibuat atau yang telah dijalankan bagi masyarakat, maka perlu
dilakukan suatu analisa terhadap kebijakan tersebut.
Sejak ditemukannya kasus AIDS pertama di Indonesia, telah banyak kebijakan-kebijakan
yang dirumuskan dan dilaksanakan, baik yang menyangkut program pencegahan, pengobatan
maupun hal-hal lain yang terkait dengan program penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia.
Namun belum banyak dilakukan kajian-kajian terhadap kebijakan yang ada. Merupakan sebuah
kebutuhan bagi aktivis maupun peneliti untuk mengetahui apa dan bagaimana melakukan analisa
terhadap sebuah kebijakan.

Kebijakan Penanggulangan HIV-AIDS di Indonesia dimulai dari KEPPRES No. 36 th


1994 yang kemudian melahirkan Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN). Kemudian
dibuatlah Strategi Nasional I (1994-2003). Namun karena infrastruktur dan sumberdaya manusia
yang masih sangat terbatas, sehingga program yang dijalankan masih sangat sederhana. Pejabat
KPAN pada waktu itu diambil dari pejabat Departemen Kesra yang jabatan asalnya tidak
dicabut, sehingga dengan menjadi pejabat KPAN beban kerjanya menjadi bertambah.
Kemudian dengan cepatnya perkembangan epidemi dan cara penularan, terjadinya
perubahan tata cara pemerintahan serta ditandatanganinya kesepakatan internasional (UNGASS,
ASEAN), maka dirubahlah Stranas I menjadi Stranas II (2003-2007). Pada Stranas I program
hanya berupa pencegahan dan pengobatan, maka pada Stranas II diidentifikasi 7 area
penanggulangan. Kemudian juga diidentifikasi bahwa permasalahan HIV-AIDS merupakan
masalah

multi

sektor,

sehingga

tanggung

jawab

harus

diambil

bersama

dengan

sektor/departemen lain.
Pada tahun 2006, dengan peningkatan epidemi yang cepat dan meluas, maka perlu
peningkatan upaya dan juga perlu peningkatan koordinasi, sehingga dilakukan revitalisasi KPAN
melalui perubahan Keppres No. 36 th. 1994 menjadi Keppres No. 75 th. 2006. Beberapa hal yang
berbeda dari 2 Keppres tsb adalah: Perluasan keanggotaan sektor, keanggotaan CSO termasuk
ODHA, perluasan tupoksi, membentuk sekretariat sendiri, serta peningkatan peran daerah.
Kemudian diformulasikanlah Stranas 2007-2010 yang kemudian diikuti oleh RAN 2007-2010
yang merumuskan bagaimana diimplementasikannya rencana aksi tersebut.
Dalam Stranas 2007-2010 memuat: penajaman strategi, Coasted AP, pemodelan epidemi,
pembaharuan tupoksi anggota, populasi kunci, perluasan cakupan program. Setelah 3 tahun
berjalan, dilakukan evaluasi (midterm evaluasi) yang hasilnya adalah: target universal akses yang
seharusnya dicapai pada tahun 2010, mungkin tidak tercapai. Pada saat itu juga disepakati target
MDGs, sehingga diformulasikanlah Strategi dan Rencana Aksi Nasional (S-RAN) 2010-2014,
yang mencakup: target Universal Akses, 3 indikator utama (cakupan 80%, efektifitas 60%,
kesinambungan 70%).

A. Kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah terkait dengan HIV-AIDS yaitu :

1. Memutuskan rantai penularan : Penanggulangan HIV/AIDS dilaksanakan dengan


memutuskan rantai penularan penyakit yang terjadi melalui hubungan seks yang tidak
terlindungi.
2. Mengembangkan kerja sama kemitraan dengan Lembaga Swadaya Masyarakat serta
organisasi profesi dalam penanggulangan HIV / AIDS di tempat kerja.
3. Pencegahan HIV/AIDS melalui KIE terutama yang menyangkut hal hal yang berkaitan
dengan pengetahuan tentang penyakit HIV/AIDS, cara-cara pencegahan yang dapat
dilakukan oleh setiap orang sehingga setiap pekerja mampu melindungi diri masing
masing dan melindungi diri dari orang lain dari penularan penyakit.
4. Setiap pekerja mempunyai hak untuk memperoleh informasi yang benar tentang
HIV/AIDS guna melindungi dirinya terhadap penularan penyakit.
5. Setiap pekerja ODHA dilindungi kerahasiaannya (kecuali bila ia membolehkan untuk
diketahui oleh orang lain) untuk mencegah stigmatisasi, diskriminasi dan pelanggaran
hak azasi manusia. Setiap ODHA wajib melindungi pasangan seks nya.
6. Persamaan gender (gender Equality) dan pemberdayaan perempuan untuk mengurangi
ancaman atau kerentanan (vulnerebility) pekerja perempuan terhadap penularan
HIV/AIDS serta mencegah dan melindungi mereka dari kekerasan seksual.
7. Setiap pekerja ODHA berhak memperoleh pelayanan pengobatan, perawatan dan
dukungan tanpa diskriminasi sehingga memungkinkan ia dapat hidup layak sebagai
anggota masyarakat lainnya.
8. Meningkatkan kemampuan petugas dan institusi kesehatan dan sektor terkait (Capacity
Building) dalam penanggulangan HIV/AIDS termasuk pelatihan dan pengorganisasian.
9. Prosedur untuk mendiagnosis infeksi HIV pada pekerja harus dilakukan secara sukarela
dan didahului dengan memberikan informasi yang benar kepada yang bersangkutan
(informed concent), disertai conseling yang memadai sebelum dan sesudah test
dilakukan.
B. Strategi yang digunakan untuk menengani masahah HIV AIDS yaitu :
1. Upaya penanggulangan HIV/AIDS di dimulai dengan memperkuat kemauan dan
kepemimpinan para manager untuk mengatasi HIV/AIDS dan diharapkan adanya
komitmen pimpinan dan dokter perusahaan untuk bersama-sama mencegah penyebaran
HIV di tempat kerja dalam rangka menangkal ancaman bencana nasional HIV/AIDS
mendatang.

2. Menerapkan dan membangun kemitraan sebagai landasan kerja dan promosi kesehatan
kerja dalam penanggulangan HIV/AIDS di tempat kerja.
3. Mengembangkan iklim yang mendorong dunia usaha yang partisipatif dalam
pelembagaan k3 di tempat kerja terutama dalam penanggulangan HIV/AIDS
C. Langkah - langkah kegiatan yeng dilakukan dalam penanggulangan HIV AIDS yaitu:
Program pencegahan HIV/AIDS di tempat kerja akan difokuskan pada pembentukan
perilaku pekerja untuk tidak terpapar pada rantai penularan HIV/AIDS, antara lain melalui
kontak seksual dan kontak jarum suntik. Bentuk kegiatan pencegahan HIV/AIDS ditempat
kerja akan banyak berupa pendidikan pekerja (Workers Education) untuk meningkatkan
kesadaran akan resiko HIV/AIDS dan adopsi perilaku aman untuk mencegah kontak dengan
rantai penularan HIV/AIDS.
PELAYANAN KESEHATAN
a. Pelayanan Promotif : Meningkatkan KIE tentang HIV AIDS.

Promosi Perilaku Seksual Aman (Promoting Safer Sexual Behavior).


Promosi dan distribusi kondom (Promoting and Distributing Condom).
Norma Sehat di Tempat Kerja : tidak merokok, tidak mengkonsumsi Napza.
Penggunaan alat suntik yang aman (Promoting and Safer Drug Injection Behavior).

b. Pelayanan Preventif

Peningkatan gaya hidup sehat (Reducing Vulnerability of Spesific Pop).


Memahami penyakit HIV AIDS, bahaya dan pencegahannya.
Memahami penyakit IMS, bahaya dan cara pencegahannya.
Diadakannya konseling tentang HIV AIDS pada pekerja secara sukarela dan tidak

dipaksa.
c. Pelayanan Kuratif
Pengobatan dan perawatan ODHA
Pencegahan dan pengobatan IMS (Infeksi Menular Seksual)
Penyediaan dan Transfusi yang aman
Mencegah komplikasi dan penularan terhadap keluarga dan teman sekerjanya
Dukungan sosial ekonomi ODHA
d. Pelayanan Rehabilitatif
Latihan dan pendidikan pekerja untuk dapat menggunakan kemampuan yang masih
ada secara maksimal
Penempatan pekerja sesuai kemampuannya
Penyuluhan kepada pekerja dan pengusaha untuk menerima penderita ODHA untuk
bekerja seperti pekerja lain

Menghilangkan Stigma dan Diskriminasi terhadap pekerja ODHA oleh rekan kerja dan
pengusaha

BAB III
SIMPULAN
Permasalahan seputar HIV/AIDS ini bagaikan fenomena gunung es. Apa yang kelihatan
di permukaan hanyalah bagian kecil dari yang tersembunyi di bawahnya. Berbagai faktor
penyebab masalah ini harus terus digali dan digerus agar mata rantai penularan dapat kita
putuskan. Di bawah dari apa yang kelihatan ialah bongkahan raksasa yang merupakan akar dari
realitas ini. Analisis di atas kiranya sedikit menjawab tentang bongkahan raksasa yang
tersembunyi itu. Di balik penularan HIV/AIDS, faktor ekonomi dan budaya ternyata memegang

peran sentral. Kedua faktor itu semakin hari semakin kokoh sehingga penyebaran HIV/AIDS
semakin menjadi-jadi, data kuantitatif seputar HIV/AIDS terus meningkat dari tahun ke tahun.
Tidak hanya di Papua, di Indonesia pun angka itu terus menanjak. HIV/AIDS pun telah
merangsek masuk ke dalam berbagai segi kehidupan manusia, dalam berbagai profesi dan usia.
Secara nyata, generasi muda menjadi korban virus mematikan ini. Hal-hal itu menjelaskan
bahwa realita sosial mengenai HIV AIDS sudah menjadi fenomena yang luar biasa . Maka usaha
untuk

realita sosial ini perlu dilakukan oleh semua pihak yang memiliki kesadaran dan

keprihatinan sosial.

Anda mungkin juga menyukai