Anda di halaman 1dari 28

ASKEP PADA BAYI DAN ANAK DENGAN HIV AIDS

Makalah ini ditulis untuk memenuhi salah satu tugas Keperawatan Anak II

Dosen Pembimbing

Ns. Deswita, Sp.Kep.An

Disusun Oleh
Kelompok 3

Jean Putri Rahmawardi 1911312060 Fitri Yani 1911313014

Hafizah Putri Arlinda 1911312063 Umniatul Azizah 1911313017

Salsabila Juwita 1911312066 Loan Atika 1911313020

Nasywa Khansa Anakami 1911313002 Indri Vania Dewita 1911313023

Salsabila Dwiyona 1911313005 Edelweis Rinjani Oktaviola 1911313026

Tasya Desriza 1911313008 Wuandari Safira 1911313029

Sekar Ayu Wardaningtyas 1911313011 Afriani Fadillah 1911313032

Virna Aulia Candra 1911313041 Mahya Rodiyah 1911313038

Khaira Agusda Dasril 1911313044

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN


UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG202
1
KATA PENGANTAR

AlhamdulillahpujisyukurkamiucapkanataskehadiratTuhanYangMahaEsa,karena
dengan rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan penulisan makalah tentang
“Askep Pada Bayi Dan Anak Dengan Hiv Aids” inidenganbaik.Pemakalah juga berterima
kasih kepadanIbu Ns. Deswita, Sp.Kep.An selaku dosen mata kuliah Keperawatan Anak II,
yang telah memberikan tugas ini dan membimbing kami. Makalah ini disusun guna memenuhi
tugas Keperawatan Anak II, mahasiswa Ilmu Keperawatan, UniversitasAndalas.

Pemakalah berharap makalah ini dapat bermanfaat dalam rangka menambah wawasan
serta pengetahuan kita semua mengenai konsep bermain pada anak dengan baik dan benar.
Serta dapat mengaplikasikan ilmu dan pemahaman yang didapat dalam kehidupan sehari-hari
saat dihadapkan dengan situasi tersebut. Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi
pembaca.

Pemakalah menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat banyak


kekurangan. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang
berkenan. Kami mohon kritik, saran, dan masukan yang membangun dari para pembaca demi
perbaikan makalah ini di waktu yang akan datang.

Padang, 12 April 2021

Pemakalah Kelompok 3

i
DAFTAR ISI

KATAPENGANTAR................................................................................................................i

DAFTARISI..............................................................................................................................ii

BABI PENDAHULUAN..........................................................................................................3

1.1 LatarBelakang...............................................................................................................3

1.2 RumusanMasalah..........................................................................................................3

1.3 Tujuan............................................................................................................................3

BABII PEMBAHASAN...........................................................................................................4

2.1 Definisi..........................................................................................................................4

2.2 Etiologi..........................................................................................................................4

2.3 Patofisiologi..................................................................................................................5

2.4 PemeriksaanDiagnostik.................................................................................................8

2.5 Manifestasi Klinis........................................................................................................10

2.6 PenatalaksanaanMedis................................................................................................12

2.7 AsuhanKeperawatan....................................................................................................14

BABIII PENUTUP.................................................................................................................31

3.1 Kesimpulan..................................................................................................................31

3.2 Saran............................................................................................................................31

DAFTARPUSTAKA..............................................................................................................32
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LatarBelakang
HIV adalah penyakit menular pembunuh nomor satu di dunia. Menurut data dari World
Health Organization (WHO) tahun 2017 menyatakan bahwa 940.000 orang meninggal karena
HIV. Ada sekitar 36,9 juta orang yang hidup dengan HIV pada akhir tahun 2017 dengan 1,8 juta
orang menjadi terinfeksi baru pada tahun 2017 secara global. Lebih dari 30% dari semua infeksi
HIV baru secara global diperkirakan terjadi di kalangan remaja usia 15 hingga 25 tahun.
Diikuti dengan anak-anak yang terinfeksi saat lahir tumbuh menjadi remaja yang harus
berurusan dengan status HIV positif mereka. Menggabungkan keduanya, ada 5 juta remaja yang
hidup dengan HIV (WHO, 2017). Pada tahun 2017, angka kejadian Infeksi HIV dan AIDS baru
pada remaja di ASIA dan Pasifik menunjukkan bahwa terdapat 250.000 remaja yang menderita
HIV dan AIDS. Infeksi HIV baru telah mengalami penurunan sebesar 14% sejak tahun 2010.
Ada penurunan 39% orang meninggal karena HIV & AIDS (UNAIDS, 2017). Menurut data
Direktorat Jenderal Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Kemenkes RI menyatakan bahwa
jumlah kasusu HIV dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2017 mengalami kenaikan setiap
tahunnya.
Kasus HIVdi Indonesia pada tahun 2016 tercatat 41.250 kasus dan data terakhir hingga
Desember 2017 tercatat 48.300 kasus. Sedangkan kasus AIDS di Indonesia pada tahun 2016
tercatat 10.146 kasus dan data terakhir hingga Desember 2017 tercatat 9.280 kasus. Presentase
infeksi HIV tertinggi dilaporkan pada kelompok umur 25-49 tahun (69,2%), diikuti kelompok
umur 20-24 tahun (16,7%), kelompok umur ≥50 tahun (7,6%), kelompok umur 15-19 tahun
sebesar 4%, dan umur transfusi 7%, serta 23% lainnya tidak diketahui penyebabnya (Dinas
Kesehatan DIY, 2017).

1.2 RumusanMasalah
1. Apa saja askep pada bayi dan anak dengan hiv?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui askepen pada bayi dan anak dengan hiv aids

3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi

Human Immunideficiency Virus (HIV) merupakan virus golongan RNA yang spesifik
menyerang imunitas atau sistem kekebalan tubuh yang kemudian menyebabkan Acquired
Immune Deficiency Syndrome (AIDS). Infeksi HIV berjalan dengan sangat progresif dalam
merusak sistem kekebalan tubuh, sehingga infeksi yang disebabkan oleh jamur, parasit, bakteri,
ataupun virus tidak bisa ditahan oleh tubuh penderita. Seseorang yang telah terinfeksi HIV
kemungkinan tidak menunjukkan gejala sakit, tetapi bisa menginfeksi orang lain. Untuk
sebagian orang, infeksi HIV dapat berkembang menjadi AIDS setelah melalui beberapa periode
waktu tertentu, dari beberapa bulan hingga 15 tahun (Siregar & All. 2016).

2.2 Etiologi

Etiologi HIV-AIDS adalah Human Immunodefisiensi virus (HIV) yang merupakan virus
sitopatik yang diklasifikasikan dalam famili retroviridae, subfamili lentiviridae, genus
lentivirus. Berdasarkan strukturnya HIV termasuk famili retrovirus yang merupakan kelompok
virus RNA yang mempunyai berat molekul 0,7 kb (kilobase). Virus ini terdiri dari 2 grup, yaitu
HIV-1 dan HIV-2. Masing-masing grup mempunyai berbagai subtipe. Diantara kedua grup
tersebut, yang paling banyak menimbulkan kelainan dan lebih ganas di seluruh dunia adalah
grup HIV-1 (United States Preventive Services Task Force, 2011)
HIV terdiri dari suatu bagian inti yang berbentuk silindris yang dikelilingi oleh lipid
bilayer envelope. Pada lipid bilayer tersebut terdapat dua jenis glikoprotein yaitu gp120 dan
gp41. Fungsi utama protein ini adalah untuk memediasi pengenalan sel CD4+ dan reseptor
kemokin dan memungkinkan virus untuk melekat pada sel CD4+ yang terinfeksi. Bagian dalam
terdapat dua kopi RNA juga berbagai protein dan enzim yang penting untuk replikasi dan
maturasi HIV antara lain adalah p24, p7, p9, p17,reverse transkriptase, integrase,dan protease.
Tidak seperti retrovirus yang lain, HIV menggunakan sembilan gen untuk mengkode protein
penting dan enzim. Ada tiga gen utama yaitu gag, pol, dan env. Gen gag mengkode protein inti,
gen pol mengkode enzim reverse transkriptase, integrase, dan protease, dan gen env mengkode
komponen struktural HIV yaitu glikoprotein. Sementara itu, gen rev, nef,vif, vpu, vpr, dan tat
penting untuk replikasi virus dan meningkatkan tingkat infeksi HIV (Calles, et al. 2006,
Kummar, et al. 2015).
2.3 Patofisiologi

Human Immunodeficiency Virus (HIV) tergolong retrovirus yangmempunyai materi


genetik RNA yang mampu menginfeksi limfosit CD4 (ClusterDifferential Four), dengan
melakukan perubahan sesuai dengan DNA inangnya(Price & Wilson, 2006; Pasek, dkk., 2008;
Wijaya, 2010). Virus HIV cenderungmenyerang jenis sel tertentu, yaitu sel-sel yang mempunyai
antigen CD4 terutamalimfosit T4 yang memegang peranan penting dalam mengatur dan
mempertahankansistem kekebalan tubuh. Virus juga dapat menginfeksi sel monosit makrofag,
selLangerhans pada kulit, sel dendrit folikuler pada kelenjar limfe, makrofag padaalveoli paru,
sel retina, sel serviks uteri dan sel-sel mikroglia otak. Virus yangmasuk kedalam limfosit T4
selanjutnya mengadakan replikasi sehingga menjadibanyak dan akhirnya menghancurkan sel
limfosit itu sendiri (Price & Wilson, 2006;Departemen Kesehatan RI, 2003).
Kejadian awal yang timbul setelah infeksi HIV disebut sindrom retroviral akut atauAcute
Retroviral Syndrome. Sindrom ini diikuti oleh penurunan jumlah CD4 danpeningkatan kadar
RNA HIV dalam plasma. CD4 secara perlahan akan menurundalam beberapa tahun dengan laju
penurunan CD4 yang lebih cepat pada 1,5 – 2,5tahun sebelum pasien jatuh dalam keadaan AIDS.
Viral load (jumlah virus HIVdalam darah) akan cepat meningkat pada awal infeksi dan pada fase
akhir penyakitakan ditemukan jumlah CD4 < 200/mm3 kemudian diikuti timbulnya
infeksioportunistik, berat badan turun secara cepat dan muncul komplikasi neurulogis.Pada
pasien tanpa pengobatan ARV, rata-rata kemampuan bertahan setelah CD4turun < 200/mm3
adalah 3,7 tahun (Pinsky & Douglas, 2009; Corwin, 2008).

Perjalanan HIV menurut Nasrondin (2007) melalui 3 fase, antar lain :


a. Fase infeksi akut
Berjuta-juta virus baru disebut virion. Virion akan mengakibatkan sindroma infeksi akut
dengan gejala yang gejala flu. Diperkirakan bahwa sekitar 50%-70% orang yang mengalami
infeksi HIV akan merasakan sindroma infeksi akut dengan gejala demam, faringitis, malaise,
nyeri kepala, mual, muntah, diare, anoreksi dan penurunan berat badan, dan gejala tersebut
akan berlangsung sekitar 3-6 bulan. Jumlah limfosit T pada fase ini masih diatas 500 sel/m dan
kemudian akan mengalami penurunan setelah 6 minggu
terinfeksi HIV.

b. Infeksi laten
Respon imun spesifik HIV dengan terperangkapnya virus dalam sel dendritik folikuler (SDF)
dipusat germinativum kelenjar limfe sehingga virion tidak dapat dikenali. Pada fase ini jumlah
virion diplasma menurun karena sebagian besar virus terakumulasi di kelenjar limfe. Pada fase
ini sering menunjukan asimtomatis. Fase ini berlangsung sekitar 8-10 tahun setelah terinfeksi.
Setelah 8 tahun maka akan muncul infeksi oportunistik.

c. Fase infeksi kronis


Selama fase ini, virus HIV bereplikasi didalam kelenjar limfe dengan sangat cepat sehingga
fungsi kelenjar limfe sebagai perangkap virus menurun oleh sebab itu virus tersebar ke darah.
Sehingga terjadi peningkatan virion dalam sirkulasi darah. Pada fase ini terjadi penurunan
jumlah limfosit T-CD4 hingga di bawah 200 sel/mm3, oleh sebab itu rentan terhadap infeksi
skunder. Perjalanan penyakit semakin progresif yang mendorong ke arah AIDS. Beberapa
infeksi skunder yang sering menyertai adalah pneumonia, tuberculosis, toksoplasma
encepalitis, diare akibat kriptosporiosis, infeksi virus herpes, kandidiasis dan kadang-kadang
juga ditemukan kanker kelenjar getah bening.

Perjalanan penyakit anak yang terinfeksi HIV memilikibeberapa perbedaan dengan


orang dewasa. Pertamaprogresivitas penyakit lebih cepat pada anak ; kedua,anak mempunyai
jumlah virus yang lebih banyakdibanding dewasa; dan ketiga, infeksi oportunistiksering
muncul sebagai penyakit primer denganperjalanan penyakit yang lebih agresif
karenaberkurangnya status imunitas tubuh.
WOC
2.4
Pe
meriksaanDiagnostik

 Tes Antibodi
Bayi yang terlahir oleh ibu terinfeksi HIV dapat tertular HIV selama kehamilan, waktu
kelahiran, dan bila disusui. Namun kemungkinan bayi terinfeksi dalam kandungan  atau dalam
persalinan  hanya kurang lebih 20%. Antibodi yang diwarisi ibu mulai hilang setelah enam
bulan, tetapi dapat bertahan dalam jumlah yang cukup untuk ditemukan dengan tes antibodi
sampai usia 18 bulan. Untuk memastikan apakah  bayi ternyata  terinfeksi  HIV, dia dapat dites
dengan tes antibodi pada usia di atas sembilan  bulan. Kebanyakan  bayi yang tidak terinfeksi 
HIV menunjukkan hasil tes non-reaktif  pada usia 12 bulan. Namun bila hasil reaktif pada saat
itu, tes harus diulang  lagi, dan bayi baru dapat dipastikan terinfeksi HIV bila hasil tes tetap
reaktif pada usia 18 bulan.
Bayi yang tidak terinfeksi saat lahir dapat tertular melalui air susu ibu (ASI) dari ibu
terinfeksi HIV. Bila terinfeksi melalui ASI, antibodi  yang dicari  oleh tes HIV baru terbentuk
dengan jumlah yang cukup untuk dideteksi setelah beberapa minggu. Jadi hasil tes antibodi
yang non-reaktif pada bayi yang disusui harus diulang sedikitnya enam minggu setelah
penyusuan dihentikan total, untuk memastikan bayi tetap tidak terinfeksi HIV.
Hasil tes HIV yang reaktif pada seorang anak berusia 18 bulan ke atas berarti anak
tersebut terinfeksi HIV.

 Tes Virus
Berbeda  dengan  tes antibodi,  tes virus dapat menentukan  apakah bayi terinfeksi dalam
bulan-bulan pertama hidupnya. Tes RNA HIV dengan alat PCR (LI 125), yang biasanya
dilakukan untuk mengukur viral load, dapat mendeteksi virus dalam darah, dan dapat dipakai
untuk diagnosis HIV pada bayi. Namun tes ini masih sangat mahal (umumnya lebih dari Rp 500
ribu) dan lebih sulit dilakukan dibandingkan tes antibodi. Tes ini masih hanya dapat dilakukan 
di sedikit laboratorium di Indonesia.
Sebagian kecil (20-40%) bayi yang terinfeksi dalam kandungan atau saat lahir akan
menunjukkan  hasil positif pada tes PCR baru setelah lahir, sementara  keba- nyakan akan
menunjukkan hasil positif pada usia 14 hari. Virus pada 98% bayi terinfeksi HIV terdeteksi
setelah empat minggu. Oleh karena itu, WHO mengusulkan tes viral load untuk mendiagnosis
infeksi HIV pada bayi sebaiknya dilakukan pada usia 4-6 minggu ke atas.
Hasil positif palsu dapat terjadi, terutama bila laboratorium tidak berpengalaman dengan
alat PCR, dan semua hasil positif sebaiknya langsung dikonfirmasi dengan contoh darah baru.
Hasil viral load yang rendah  (di bawah  10.000)  kemungkinan positif palsu, karena viral load
pada bayi biasanya sangat tinggi.
Hasil negatif  palsu juga dapat terjadi. Sebaiknya  dua tes virus dilakukan  untuk
konfirmasi  bahwa  anak tidak terinfeksi. Sebaiknya  juga  tes antibodi  dilakukan setelah anak
berusia 18 bulan sebagai konfirmasi ulang.
Bila bayi disusui, hasil tes negatif melalui PCR harus diulang enam minggu setelah
penyusuan dihentikan total.

 Protokol Tes yang Diusulkan


Penyakit  yang diakibatkan  HIV dapat berlanjut  secara  cepat pada bayi: angka
kematian mendekati 50% pada anak terinfeksi HIV di bawah dua tahun bila HIV- nya tidak
diobati.  Jadi dengan  semakin luasnya  ketersediaan  terapi antiretroviral (ART)  untuk bayi dan
anak, tujuan kita untuk menentukan  apakah bayi terinfeksi secara dini terutama  untuk bertemu 
bayi terinfeksi  HIV yang membutuhkan  pera- watan dan pengobatan  daripada  sekadar untuk
konfirmasi ketiadaan infeksi HIV.
Sementara hasil tes PCR yang positif (bila dikonfirmasi) membuktikan bahwa bayi
terinfeksi HIV, seperti dibahas di atas, tes PCR yang negatif tidak membuktikan bahwa bayi
tidak terinfeksi bila tes dilaku- kan sebelum usia empat minggu atau bayi diberi ASI.  Namun,
hasil  PCR  negatif menunjukkan  bahwa  bayi tersebut  tidak berisiko tinggi terhadap
kelanjutan penyakit yang diakibatkan HIV (karena viral loadnya rendah).
Bayi dengan tes PCR negatif dan tetap tidak bergejala sebaiknya dites antibodinya
setelah berusia 18 bulan atau enam minggu setelah penyusuan dihentikan, kalau disusui lebih
dari 18 bulan. Sebaliknya seorang bayi dengan hasil tes PCR negatif tetapi bergejala sebaiknya
mendapatkan  tes diagnosis lanjutan. Walaupun gejala penyakit terkait HIV sering mirip dengan
gejala penyakit umum pada masa kanak-kanak, dan harus dilakukan upaya untuk
mengesampingkan  diagnosis lain, tes PCR ulang diusulkan bila infeksi HIV dicurigai.
Sebelum  dilakukan  tes PCR pada bayi berusia di atas sembilan bulan, sebaiknya
dilakukan tes antibodi. Bila hasil tes anti- bodi negatif, bayi tidak terinfeksi dan tes PCR tidak
dibutuhkan.  Bila bayi masih disusui,  tes harus ditunda  sampai  enam minggu setelah
penyusuan dihentikan.
Bila bayi di bawah usia 18 bulan terpajan HIV (menunjukkan hasil tes antibodi yang
reaktif) mengalami tanda atau gejala yang mungkin disebabkan oleh HIV, dan tes viral load
tidak mungkin dilakukan, dokter boleh mengambil diagnosis presumptif terinfeksi HIV agar
bayi tersebut dapat segera mulai ART.

 Garis Dasar
- Hasil tes antibodi HIV yang reaktif pada anak berusia 18 bulan ke atas berarti anak
terinfeksi HIV
- Hasil tes antibodi HIV yang reaktif pada anak di bawah usia 18 bulan tidak membantu 
membedakan  anak terinfeksi HIV dari anak yang tidak terinfeksi
- Hasil tes antibodi HIV yang non-reaktif enam minggu atau lebih setelah penyu- suan
dihentikan,  atau kapan saja pada anak yang tidak disusui berarti anak tersebut tidak
terinfeksi HIV
- Kebanyakan  anak yang tidak terinfeksi HIV akan menunjukkan hasil tes antibodi non-
reaktif (membuktikan tidak terinfeksi HIV) pada usia 9-12 bulan
- Hasil tes antibodi HIV yang non-reaktif
- pada anak yang masih disusui atau dengan penyusuan  baru  saja dihentikan  tidak cukup
untuk mengesampingkan  infeksi HIV. Tes harus diulang sedikitnya enam minggu setelah
penyusuan dihentikan
- Hasil tes PCR HIV yang positif dan langsung dikonfirmasi dengan tes ulang pada anak
berusia 4-6 minggu atau lebih berarti anak tersebut terinfeksi HIV
- Hasil tes PCR HIV yang negatif pada anak belum berusia enam minggu tidak me- mastikan
bahwa anak tidak terinfeksi HIV
- Anak dengan  hasil tes PCR HIV yang negatif dan mengembangkan gejala penyakit terkait
HIV sebaiknya dites PCR HIV ulang
- Dokter  boleh  mengambil  diagnosis  presumptif terinfeksi HIV pada bayi terpajan HIV
(hasil tes antibodi reaktif) dengan gejala yang memberi kesan terkait HIV, agar bayi dapat
segera mulai ART

2.5 Manifestasi Klinis

Infeksi HIV pada anak yang ditularkan oleh ibu sewaktu dalam kandungan atau masa
persalinan biasanya akan menunjukkan tanda dalam rentang waktu 12-18 bulan pertama
kehidupan anak. Meski begitu, ada juga anak yang tidak menunjukkan gejala apa pun hingga
usianya lebih dari 5 tahun.

HIV pada anak juga cukup sulit terdeteksi karena gejalanya mirip dengan infeksi virus
biasa, misalnya flu. Kendati demikian, terdapat beberapa gejala yang dapat dicurigai sebagai
tanda HIV pada anak, di antaranya:

1. Berat badan anak tidak bertambah

Tanda HIV pada anak yang cukup jelas adalah berat badan yang sulit bertambah.
Idealnya, berat badan anak usia satu tahun akan mencapai tiga kali berat badan lahir.
Namun, anak yang terinfeksi HIV biasanya akan tampak kurus karena berat badannya
tidak kunjung bertambah.

2. Anak mengalami gangguan tumbuh kembang

Anak yang terinfeksi HIV biasanya mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang
lebih lambat. Ini dapat dilihat dari kondisi anak yang sulit atau terlambat duduk, berdiri,
berjalan, terlambat bicara, atau perilaku anak yang tidak seperti anak-anak lain
seusianya.

3. Anak sering sakit

Anak-anak memiliki sistem kekebalan tubuh yang masih berkembang. Namun seiring
bertambahnya usia anak, sistem kekebalan tubuhnya akan semakin kuat. Hal ini
seharusnya membuat anak dapat terhindar dari penyakit.

Waspadai jika anak sering mengalami demam lebih dari 7 hari, batuk pilek,
pembengkakan kelenjar getah bening, sakit perut, dan infeksi telinga yang sangat sering
kambuh dan berlangsung lama. Bisa jadi hal tersebut menandakan adanya kelemahan
sistem kekebalan tubuh yang kemungkinan disebabkan oleh infeksi HIV.

4. Anak sering terkena infeksi


Salah satu tanda HIV pada anak yang paling spesifik adalah anak sering mengalami
infeksi bakteri, virus, jamur, atau parasit akibat sistem kekebalan tubuhnya yang lemah.
Infeksi pada anak atau orang dewasa yang menderita HIV/AIDS ini disebut infeksi
oportunistik. Infeksi ini bisa berupa:
 Infeksi saluran pernapasan
Infeksi saluran pernapasan pada anak yang sering kambuh dan berat bisa jadi
menandakan tubuhnya lemah karena adanya infeksi virus HIV. Infeksi saluran
pernapasan pada anak ini bisa berupa pneumonia, tuberkulosis, bronkitis, dan
bronkiolitis.
 Infeksi jamur di mulut dan tenggorokan
Disebut juga oral trush atau sariawan akibat infeksi jamur. Tanda HIV pada anak ini
bisa dilihat dari munculnya bercak putih dan kemerahan di lidah, gusi, dan mulut.
Sariawan pada penderita HIV bisa terjadi lebih dari satu bulan, berulang, dan tidak
kunjung sembuh dengan pemberian obat antijamur. Sariawan ini juga biasanya dapat
meluas dan berkembang menjadi infeksi jamur tenggorokan.
 Infeksi saluran pencernaan
Anak dengan infeksi HIV sangat rentan terkena infeksi pada saluran cerna. Beberapa
penyakit infeksi pada saluran cerna yang sering dialami oleh anak dengan infeksi
HIV ini bisa berupa diare kronis, infeksi pada hati dan limpa, kolera, disentri, dan
demam tifoid yang sering kambuh atau berulang.
 Infeksi cytomegalovirus (CMV)
Cytomegalovirus adalah infeksi yang disebabkan oleh salah satu kelompok virus
herpes. Infeksi virus ini lebih rentan terjadi pada orang yang sistem kekebalan
tubuhnya lemah, seperti penderita HIV/AIDS. Infeksi ini dapat menyebabkan
kerusakan pada mata, saluran pencernaan, dan paru-paru.

Selain infeksi-infeksi tersebut, anak dengan HIV juga rentan mengalami penyakit infeksi
lain yang berat, seperti meningitis dan sepsis. Anak-anak yang memiliki sistem
kekebalan tubuh lemah karena infeksi HIV dapat mengalami kekambuhan infeksi hingga
lebih dari 4 kali dalam kurun waktu 6-12 bulan. Infeksi ini seharusnya lebih jarang
terjadi jika anak memiliki daya tahan tubuh yang normal.

5. Masalah pada kulit


Anak-anak yang menderita infeksi HIV juga bisa lebih sering mengalami masalah pada
kulit. Keluhan-keluhan ini bisa berupa adanya ruam, bentol-bentol, koreng, dan gatal-
gatal di kulit yang cepat meluas.
Gangguan pada kulit ini bisa disebabkan oleh berbagai hal, seperti infeksi
kulit (misalnya infeksi jamur, infeksi bakteri, dan herpes), dermatitis, hingga kelainan
kulit yang disebut sarkoma kaposi.

2.6 PenatalaksanaanMedis

1. Pengobatan pada Anak dengan HIV/AIDS

Prinsip pemberian ARV pada anak hampir sama dengan dewasa, tetapi pemberian ARV
pada anak memerlukan perhatian khusus tentang dosis dan toksisitasnya. Pada bayi, sistem
kekebalannya mulai dibentuk dan berkembang selama beberapa tahun pertama. Efek obat pada
bayi dan anak juga akan berbeda dengan orang dewasa (Nurs dan Kurniawan, 2013:168).
Pedoman pengobatan HIV/AIDS pada Anak menurut (Departemen Kesehatan Indonesia:
Direktotat Jendran Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2008:35) yaitu Rejimen
Lini pertama yang direkomendasikan adalah 2 Nucleosida Reverse Transkriptase Inhibitor
(NRTI) + 1 Non Nucleosida Reverse Transkriptase Inhibitor (NNRTI).

2. Perawatan pada Anak dengan HIV/AIDS


a. Nutrisi pada Anak dengan HIV/AIDS
Pemberian Nutrisi pada bayi dan anakdengan HIV/AIDS tidak berbeda dengan anak yang
sehat, hanya saja asupan kalori dan proteinnya perlu ditingkatkan. Selain itu perlu juga
diberikan multivitamin, dan antioksidan untuk mempertahankan kekebalan tubuh dan
menghambat replikasi virus HIV, sebaiknya dipilih bahan makanan yang risiko alerginya
rendah dan dimasak dengan baik untuk mencegah infeksi oportunistik. Sayur dan buah-
buahan juga harus dicuci dengan baik dan sebaiknya dimasak sebelum diberikan kepada
anak. (Nurs dan Kurniawan, 2013:167).

b. Dukungan Keluarga
(1). Dukungan Kepatuhan Berobat
Supaya patuh, anak dilibatkan dalam memutuskan apakah minum atau tidak, sedangkan
compliance adalah anak mengerjakan apa yang telah diterangkan oleh dokter atau
apotekernya. Dukungan keluarga dapat mempengaruhi tingkat kepatuhan pasien untuk
sembuh dengan memberikan informasi tentang antiretroviral sehingga dapat mengubah
perilaku pasien menjadi lebih baik untuk mendapatkan kesehatan tubuh yang lebih
optimal
Dukungan keluarga merupakan salah satu faktor pendorong dalam Teori Lawrence Green
(Notoadmodjo, 2007). Faktor pendorong (Reinforcing factors) terwujud dalam sikap dan
perilaku petugas kesehatan atau petugas lain, yang merupakan kelompok referensi dari
perilaku masyarakat. Dalam hal ini adanya ODHA anak dalam lingkungan keluarga,
menjadikan munculnya perilaku dari anggota keluarga yang lain dengan adanya
dukungan. Dukungan berupa nasehat agar rutin melakukan terapi ARV. Hal ini
mendorong perilaku ODHA anak untuk melakukan terapi ARV, karena adanya dukungan
dari orangtua maupun keluarga.
(2). Dukungan sosial spiritual
Anak yang didiagnosis HIV juga mendatangkan trauma emosi yang mendalam bagi
keluarganya. Orang tua harus menghadapi masalah berat dalam perawatan anak,
pemberian kasih sayang, dan sebagainya sehingga dapat mempengaruhi pertumbuhan
mental anak. Orang tua memerlukan waktu untuk mengatasi masalah emosi, syok,
kesedihan, penolakan, perasaan berdosa, cemas, marah, dan berbagai perasaan lain. Anak
perlu diberikan dukungan terhadap kehilangan dan perubahan mencakup
 memberi dukungan dengan memperbolehkan pasien dan keluarga untuk
membicarakan hal-hal tertentu dan mengungkapkan perasaan keluarga
 membangkitkan harga diri anak serta keluarganya dengan melihat keberhasilan
hidupnya atau mengenang masa lalu yang indah
 menerima perasaan marah, sedih, atau emosi dan reaksi lainnya
 mengajarkan pada keluarga untuk mengambil hikmah, dapat mengendalikan diri dan
tidak menyalahkan diri atau orang lain (Nurs dan Kurniawan, 2013:169).

2.7 Asuhan Keperawatan

Kasus
Pasien anak umur 5 tahun masuk RSUP Dr. M. Djamil Padang melalui IGD pada tanggal 19 Mei
2017 jam 09.45 WIB dirujuk dari Rs. Siti Rahma, dengan keluhan diare sejak 3 minggu yang lalu,
konsistensi cair dan berlendir, frekuensi 3 sampai 4 kali dalam sehari, BAB bewarna kuning, dan
kadang berdarah, pasien mengatakan badan terasa lemah dan letih. Pada saat pengkajian tanggal 25
Mei 2017 jam 11.00 WIB, didapatkan pasien dengan kesadaran komposmentis, keadaan umum klien
tampak lemah dan letih. Saat pengkajian pasien mengatakan masih diare, frekuensi 4 sampai 5 kali
dalam sehari, BAB cair, bewarna kuning kadang berdarah serta berlendir, pasien mengeluhkan badan
terasa lemah dan letih, nafsu makan menurun, pasien mengatakan berat badan semakin berkurang,
pasien mengatakan mulut sariawan serta bibir kering, pasien juga mengeluhkan kulit gatal-gatal dan
bewarna kemerahan. Keluarga pasien mengatakan ibunya sewaktu hamil pernah didiagnosa HIV
tetapi telah melakukan konsultasi sebelum melahirkan ke rumah sakit, dari anggota keluarganya ada
yang mempunyai penyakit keturunan seperti hipertensi dan TBC.

Pengkajian
1. IdentitasKlien

a. Nama : An. A

b. Tempat/ tanggal lahir : Padang / 19 mei 2013

c. Jenis kelamin : Perempuan

d. Agama : Islam

e. Diagnosa medis : HIV

f. No. MR : 111-1167

2. Keluhanutama
 diare sejak 3 minggu yang lalu, konsistensi cair dan berlendir, frekuensi 3 sampai 4 kali
dalam sehari.
 BAB cair, bewarna kuning kadang berdarah serta berlendir,
 badan terasa lemah dan letih, nafsu makan menurun
 kulit gatal-gatal dan bewarna kemerahan

3. Riwayat kesehatansekarang

 Diare serta penurunan berat badan drastis.

4. Riwayat Kesehatan Dahulu

 Tidak ada

5. Riwayat Kesehatan Keluarga

 Keluarga pasien mengatakan ibunya sewaktu hamil pernah didiagnosa HIV


tetapi telah melakukan konsultasi sebelum melahirkan ke rumah sakit, dari
anggota keluarganya ada yang mempunyai penyakit keturunan seperti
hipertensi dan TBC
6. Pola aktivitas sehari-hari (ADL)

a. Pola presepsi dan tata laksanaan hidupsehat

 Pasien menga lami perubahan atau gangguanpada personal hygiene, seperti


kebiasaan mandi, ganti pakaian, BAB dan BAK dikarenakan kondisi tubuh
yang lemah, pasien kesulitan melakukan kegiatan tersebut dan pasien
dibantu oleh keluarga atau perawat.

b. Pola Nutrisi

 Penurunan Berat badan secara drastis

c. Pola istirahat dan tidur

 pola istirahat dan tidur mengalami gangguan karena adanya gejala seperi
demam dan keringat pada malam hari yang berulang.
d. Pola aktivitas danlatihan

 Pasien biasanya pergi sekolah diantar oleh ibunya


e. Pola presepsi dan konsepdiri
 An. A Sering rewel dan menangis

f. Pola sensorikognitif
 mengalami penurunan pengecapan, dan gangguan penglihatan

7. PemeriksaanFisik

 Gambaran Umum : pasien tampaklemah.

 Kesadaran pasien : Composmentis

 Vital sign:

TD : Dalam batasnormal

Nadi : 125 x/menit

Pernafasan : 30x/menit

Suhu : 38oC
BB : 10 kg
TB : 99 cm
 Kepala : kulit kepala kering karena dermatitis seboreika
 Mata : konjungtiva anemis, sclera tidak ikhterik, reflek
pupilterganggu,
 Hidung : danya pernafasan cupinghidung.
 Gigi dan Mulut: ulserasi dan adanya bercak-bercak putih seperti
krim yang menunjukkankandidiasi.
 Leher : kaku kuduk ( penyebab kelainan neurologic karena infeksi
jamur Cryptococcus neoformans), biasanya ada pembesaran
kelenjer getah bening,
 Jantung : tidak ditemukankelainan
 Paru-paru : nyeri dada, Napas pendek (cusmaul), sesak
nafas(dipsnea).
 Abdomen : terdengar bising usus yangHiperaktif
 Kulit : ditemukan turgor kulit jelek dantanda lesi
 Ekstremitas :tonus otot menurun, akral dingin.

Diagnosa
Dx:
Masalah: Diare b.d defekasi 3-4x sehari
Ds: Diare sejak 3 minggu yang lalu, konsistensi cair dan berlendir, frekuensi 3 sampai 4 kali dalam
sehari
Do: -Defekasi lebih dari 3x dalam 24 jam
-Feses lembek dan cair
Etiologi: Nutrisi dan cairan

Masalah: Resiko ketidakseimbangan cairan d.b bibir terlihat kering dan mulut bersariawan
Ds: Pasien mengatakan mulut sariawan serta bibir kering
Do: Pasien terlihat lemah dan letih
Etiologi: Nutrisi/cairan

Masalah: Defisit nutrisi b.d berat badan yang semakin menurun dan tidak nafsu makan
Ds: Pasien mengeluhkan badan terasa lemah dan letih, nafsu makan menurun, pasien mengatakan
berat badan semakin berkurang.
Do: Berat badan semakin menurun
Etiologi: Nutrisi dan cairan

. Defisit nutrisi b.d berat badan yang semakin


menurun dan tidak nafsu makan
Kriteria hasil :

1. Berat badan membaik
2. Indeks Massa Tubuh (IMT) m
embaik
3. Frekuensi makan membaik
4. Nafsu makan membaik
5. Bising usus membaik
6. Tebal lipatan kulit trisep mem
baik
7. Membran mukosa membaik
Resiko ketidakseimbangan cairan d.b bibir
Kriteria hasil :
terlihat kering dan mulut bersariawan

1. Kekuatan nadi meningkat
2. Turgor kulit meningkat
3. Output urine meningkat
4. Edema anasarka menurun
5. Edema perifer menurun
6. Berat badan meningkat
7. Intake cairan membaik
8. Mual muntah menurun
9. Diare menurun
Diare b.d defekasi 3-4x sehari
Kriteria hasil :

1. Elastisitas meningkat
2. Hidrasi meningkat
3. Perfusi jaringan meningkat
4. Kerusakan jaringan menurun
5. Kerusakan lapisan kulit menur
un
6. Nyeri menurun
Intervensi

Diagnosa Keperawatan Luaran (SLKI) Intervensi (SIKI)


Diare Manajemen Diare
Tindakan :
Observasi
- Identifikasi penyebab diare
(mis. Inflamasi
gastrointestinal, proses
infeksi, efek obat-obatan)
- Monitor warna, volume,
frekuensi, dan konsistensi
tinja
- Monitor tanda dan gejala
hypovolemia (mis.
Takikardi, nadi teraba lemah,
turgor kulit turun, mukosa
mulut kering, CRT
melambat)
- Monitor jumlah pengeluaran
diare
Terapeutik
- Berikan asupan cairan oral
(mis. larutan garam gula,
oralit, renalyte)
- Pasang jalur intravena
- Berikan cairan intravena
(mis. Ringer asetat, RL), jika
perlu
- Ambil sampel darah untuk
pemeriksaan darah lengkap
dan elektrolit
Edukasi
- Anjurkan makan porsi kecil
dan sering secara bertahap
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian obat
antimotilitas (mis.
Loperamide)
- Kolaborasi pemberian obat
pengeraas feses (mis.
Atapulgit, smektit, kaolin-
pektin)

Resikoketidakseimbangancaira Manajemen cairan


n Tindakan :
Observasi
- Monitor status hidrasi (mis.
Akral, pengisian kapiler,
turgor kulit, mukosa)
- Monitor berat badan harian
- Monitor hasil pemeriksaan
laboratorium (mis.
Hematokrit, Na, K, CL)
- Monitor status hemodinamik
Terapeutik
- Catat input-output dan hitung
balans cairan 24 jam
- Beri asupan cairan, sesuai
kebutuhan
- Berikan cairan intravena, jika
perlu
Defisit nutrisi Manajemen Nutrisi
Tindakan :
Observasi
- Identifikasi status nutrisi
- Identifikasi alergi dan
intoleransi makanan
- Identifikasi makanan yang
disukai
- Identifikasi kebutuhan kalori
dan jenis nutrien
- Monitor asupan makanan
dan BB
Terapeutik
- Lakukan oral hygiene
sebelum makan, jika perlu
- Sajikan makanan secara
menarik dan suhu yang
sesuai
- Berikan suplemen makanan,
jika perlu
- Hentikan pemberian
makanan melalui NGT jika
asupan oral dapat ditoleransi
Edukasi
- Anjurkan posisi duduk, jika
mampu
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian
medikasi sebelum makan
- Kolaborasi dengan ahli gizi
untuk menentukan jumlah
kalori dan jenis nutrien yang
dibutuhkan
Implementasi

Tanggal/ No Implementasi Evaluasi


hari Dx
19 Mei 1 1. Mengkajifaktorpenyebabdiare S :pasienmengatakan badan
2017 2. Mencatatwarna, frekuensi, konsistensi dan terasalemah dan letih
Jam jumlahfesessetiap kali BAB
09.45 3. Memantaujumlah dan frekuensidari BAB O :tampaklemah dan letih
WIB setiap 7 jam
4. Memberitahuibuuntukmemberikanoralitke A
padaanakanaksetiap kali setelah BAB :masalahpasienbelumbisasepenu
hnyateratasi
1. Memberikancairan oral dan parenteral
sesuaidengan program rehidrasi P :lakukanintervensikembali
2. Memantau intake output
3. Mengkajitanda vital, tanda /
gejaladehidrasi dan
2 hasilpemeriksaanlaboratorium

25 Mei 1 1. Mengkajifaktorpenyebabdiare S :pasienmengakatanmasihdiare,


2017 2. Mencatatwarna, frekuensi, konsistensi dan mengeluhmasihlemah dan letih,
Jam jumlahfesessetiap kali BAB nafsumakanmenurun dan berat
11.00 3. Memantaujumlah dan frekuensidari BAB badan berkurang.
WIB setiap 7 jam
4. Memberitahuibuuntukmemberikanoralitke O :klientampaklemah dan letih
padaanakanaksetiap kali setelah BAB
A
1. Memberikancairan oral dan parenteral :masalahpasienbelumbisasepenu
2 sesuaidengan program rehidrasi hnyateratasi
2. Memantau intake output
3. Mengkajitanda vital, tanda / P :LakukanIntervensiKembali
gejaladehidrasi dan
hasilpemeriksaanlaboratorium
3
1. Mengobservasikeadaanumum dan TTV
2. Mengkajitanda-tandakekurangannutrisi
(hidrasi, warnarambut, teksturkulit)
3. Kajiberat badan ideal anak
4. Menganjurkanibuuntukmeningkatkanistira
hat pada anaknya
5. Menganjurkanibumeningkatkankebersihan
dirianak dan kebersihanalat-alatmakananak
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Banyak anak dan bayi terjangkit HIV/AIDS salah satu faktornya yaitu ketidaktahuan atau
kurangnya informasi mengenai penyakit HIV/AIDS. Ketidaktahuan tersebut berdampak pada
keturunan dari seorang wanita yang tidak tahu bahwa dirinya terjangkit HIV/AIDS, dan tetap
memberikan ASI pada anaknya yang menyebabkan anak tersebut ikut terjangkit penyakit
yang sama. Selain terdampak fisik, anak yang terjangkit HIV/AIDS juga sangat terdampak
secara mental. Penyakit HIV/AIDS yang dianggap aib tentu akan menimbulkan stigma di
masyarakat dan lingkungan sekitar penderita. Dalam hal ini keluarga sangat diharapkan bisa
mendukung anak penderita HIV/AIDS ini untuk menghadapi stigma masyarakat dan juga
dalam proses pengobatannya. Namun, masih banyak keluarga yang justru menelantarkan
anak penderita HIV/AIDS karena dianggap aib keluarga, sehingga ada begitu banyak anak
yang terlantar bahkan diusia yang sangat masih belia.
DAFTAR PUSTAKA

Alamsyah, agus, dkk. 2020. MENGKAJI HIV AIDS DARI TEORI HINGGA PRAKTIK.
Indramayu : Cv. Adanu Abimata.

Yuliyanasari, Nurma. 2017. GLOBAL BURDEN DESEASE – HUMAN


IMMUNODEFICIENCY VIRUS — ACQUIRED IMMUNE DEFICIENCY SYNDROME
(HIV-AIDS). Jurnal kedokteran universitas muhamadiyah surabaya,1(1): 2-4

Wulandari, N., & Setyorini, E. (2016). Asuhan Keperawatan Pada Odha ( Orang Dengan Hiv /
Aids ) (M. K. N. Ning Arti Wulandari & M. K. N. Erni Setiyorini (eds.)). Media Nusa Creative.

Hapsari, A.T. & Muhammad, A. (2017). Praktik Terapi Antiretroviral Pada Anak Penderita
HIV/AIDS. Higeia, Public Health Reaseach, (2), 1–10.

https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/higeia/article/view/13997

Anda mungkin juga menyukai