Halaman sampul.......................................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................2
BAB I.......................................................................................................................3
PENDAHULUAN...................................................................................................3
1.1 Latar Belakang..........................................................................................3
1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................4
1.3 Tujuan........................................................................................................4
BAB II......................................................................................................................5
PEMBAHASAN......................................................................................................5
2.1 Pengertian..................................................................................................5
2.2 Etiologi......................................................................................................5
2.3 Macam infeksi HIV...................................................................................7
2.4 Patofisiologi..............................................................................................8
2.5 Periode Penularan HIV pada Ibu hamil.....................................................9
2.6 Gejala HIV AIDS....................................................................................11
2.7 Pemeriksaan diagnostic...........................................................................12
2.8 Pengobatan..............................................................................................12
2.9 Konsep Asuhan Keperawatan.................................................................14
BAB III..................................................................................................................20
PENUTUP..............................................................................................................20
3.1 Kesimpulan..............................................................................................20
3.2 Saran........................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................21
BAB I
PENDAHULUAN
HIV berarti virus yang dapat merusak sistem kekebalan tubuh manusia. Ini
adalah retrovirus, yang berarti virus yang mengunakan sel tubuhnya sendiri untuk
memproduksi kembali dirinya. Asal dari HIV tidak jelas, penemuan kasus awal
adalah dari sampel darah yang dikumpulkan tahun 1959 dari seorang laki–laki
dari Kinshasa di Republik Demokrat Congo. Tidak diketahui bagaimana ia
terinfeksi.
Saat ini terdapat dua jenis HIV: HIV–1 dan HIV–2. HIV–1 mendominasi
seluruh dunia dan bermutasi dengan sangat mudah. Keturunan yang berbeda–beda
dari HIV–1 juga ada, mereka dapat dikategorikan dalam kelompok dan sub–jenis
(clades). Terdapat dua kelompok, yaitu kelompok M dan O. Dalam kelompok M
terdapat sekurang–kurangnya 10 sub–jenis yang dibedakan secara turun temurun.
Ini adalah sub–jenis A–J. Sub–jenis B kebanyakan ditemukan di America, Japan,
Australia, Karibia dan Eropa. Sub–jenis C ditemukan di Afrika Selatan dan India.
HIV–2 teridentifikasi pada tahun 1986 dan semula merata di Afrika Barat.
Terdapat banyak kemiripan diantara HIV–1 dan HIV–2, contohnya adalah bahwa
keduanya menular dengan cara yang sama, keduanya dihubungkan dengan
infeksi–infeksi oportunistik dan AIDS yang serupa. Pada orang yang terinfeksi
dengan HIV–2, ketidakmampuan menghasilkan kekebalan tubuh terlihat
berkembang lebih lambat dan lebih halus. Dibandingkan dengan orang yang
terinfeksi dengan HIV–1, maka mereka yang terinfeksi dengan HIV–2 ditulari
lebih awal dalam proses penularannya.
HIV dapat menular melalui kontak darah, namun disini kami akan mencoba
membahas bagaiamana HIV AIDS yang dialami ibu hamil dan bagaimana
melakukan sebuah proses keperawatan pada ibu hamil dengan HIV AIDS.
2
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan
3
BAB II
PEMBAHASAN
1.4 Pengertian
Infeksi pada kehamilan adalah penyebab morbiditas ibu dan neonatal yang
sudah diketahui. Banyak kasus dapat dicegah, dan dalam makalah ini akan
dibahas mengenai penyakit infeksi yang sering ditemukan yang dapat terjadi
dalam kehamilan.
1.5 Etiologi
4
sebagai retrovirus dan disebut HIV-1. Pada tahun 1986 di Afrika ditemukan lagi
retrovirus baru yang diberi nama HIV-2. HIV-2 dianggap sebagai virus kurang
pathogen dibandingkaan dengan HIV-1. Maka untuk memudahkan keduanya
disebut HIV.
Transmisi infeksi HIV dan AIDS terdiri dari lima fase yaitu :
1. Periode jendela. Lamanya 4 minggu sampai 6 bulan setelah infeksi.
Tidak ada gejala.
2. Fase infeksi HIV primer akut. Lamanya 1-2 minggu dengan gejala
flu likes illness.
3. Infeksi asimtomatik. Lamanya 1-15 atau lebih tahun dengan gejala
tidak ada.
4. Supresi imun simtomatik. Diatas 3 tahun dengan gejala demam,
keringat malam hari, B menurun, diare, neuropati, lemah, rash,
limfadenopati, lesi mulut.
5. AIDS. Lamanya bervariasi antara 1-5 tahun dari kondisi AIDS
pertama kali ditegakkan. Didapatkan infeksi oportunis berat dan
tumor pada berbagai system tubuh, dan manifestasi neurologist.
5
Penularan secara perinatal:
1. Ibu hamil yang terinfeksi HIV dapat menularkan HIV pada bayi
yang dikandungnya.
2. Penularan dari ibu terjadi terutama pada saat proses melahirkan,
karena pada saat itu terjadi kontak secara lansung antara darah ibu
dengan bayi sehingga virus dari ibu dapat menular pada bayi.
3. Bayi juga dapat tertular virus HIV dari ibu sewktu berada dalam
kandungan atau juga melalui ASI
4. Ibu dengan HIV dianjurkan untuk PASI
Atas dasar interaksi HIV dengan respon imun pejamu, infeksi HIV dibagi
menjadi tiga Tahap :
a. Tahap dini, fase akut, ditandai oleh viremia transien, masuk ke dalam
jaringan limfoid, terjadi penurunan sementara dari CD4+ sel T diikuti
serokonversi dan pengaturan replikasi virus dengan dihasilkannya CD8+ sel
T antivirus. Secara klinis merupakan penyakit akut yang sembuh sendiri
dengan nyeri tenggorok, mialgia non-spesifik, dan meningitis aseptik.
Keseimbangan klinis dan jumlah CD4+ sel T menjadi normal terjadi dalam
waktu 6-12 minggu.
6
b. Tahap menengah, fase kronik, berupa keadaan laten secara klinis dengan
replikasi. virus yang rendah khususnya di jaringan limfoid dan hitungan
CD4+ secara perlahan menurun. Penderita dapat mengalami pembesaran
kelenjar limfe yang luas tanpa gejala yang jelas. Tahap ini dapat mencapai
beberapa tahun. Pada akhir tahap ini terjadi demam, kemerahan kulit,
kelelahan, dan viremia. Tahap kronik dapat berakhir antara 7-10 tahun.
c. Tahap akhir, fase krisis, ditandai dengan menurunnya pertahanan tubuh
penderita secara cepat berupa rendahnya jumlah CD4+, penurunan berat
badan, diare, infeksi oportunistik, dan keganasan sekunder. Tahap ini
umumnya dikenal sebagai AIDS. Petunjuk dari CDC di Amerika Serikat
menganggap semua orang dengan infeksi HIV dan jumlah sel T CD4+
kurang dari 200 sel/µl sebagai AIDS, meskipun gambaran klinis belum
terlihat. ( Robbins, dkk, 1998 : 143 )
1.7 Patofisiologi
7
c. Respons tubuh secara alamiah terhadap suatu infeksi adalah untuk
melawan sel–sel yang terinfeksi dan mengantikan sel–sel yang telah
hilang. Respons tersebut mendorong virus untuk menghasilkan
kembali dirinya.
d. Jumlah normal dari sel–sel CD4+T pada seseorang yang sehat adalah
800–1200 sel/ml kubik darah. Ketika seorang pengidap HIV yang sel–
sel CD4+ T–nya terhitung dibawah 200, dia menjadi semakin mudah
diserang oleh infeksi–infeksi oportunistik.
e. Infeksi–infeksi oportunistik adalah infeksi–infeksi yang timbul ketika
sistem kekebalan tertekan. Pada seseorang dengan sistem kekebalan
yang sehat infeksi–infeksi tersebut tidak biasanya mengancam hidup
mereka tetapi bagi seorang pengidap HIV hal tersebut dapat menjadi
fatal.
1. Periode Prenatal
Tes HIV sebaiknya ditawarkan kepada wanita beresiko tinggi pada awal
mereka memasuki perawatan prenatal. Namun, soronegativitas pada uji prenatal
8
pertama bukan jaminan untuk titer negative yang berlangsung. Misalnya, seorang
wanita berusia 24 tahun yang mendapatkan perawatan prenatal selama 8 minggu
mempunyai hasil tes western blot yang negative. Namun, setelah terinfeksi HIV,
serum antibody membutuhkan waktu sampai 12 minggu untuk berkembang. Tes
western blot harus diulangi dalam 1 atau 2 bulan dan pada trimester ketiga. Tes
prenatal rutin dapat membantu mengidentifikasi wanita yang terinfeksi HIV
(Foster, 1987; Kaplan et al, 1987; Minkoff, 1987; Rhoads et al, 1987).
Tes ini juga dapat mengungkap Gonhorhea, Siphilis, Herpes yang tetap
dan menjadi lebih lama, C.Trakomatis, Hepatic B, Micobacterium tuberculosis,
Candidiasis (oropharingeal atau infeksi Vagian Chronic), Cytomegalo Virus
(CMV), dan Toxophlasmosis. Sekitar separuh penderita AIDS mengalami
peningkatan titer CMV. Karena masuknya penyakit CMV memiliki bahaya yang
serius terhadap janin, para wanita hamil dianjurkan dengan yang terinfeksi HIV.
Sejarah vaksinasi dan kekebalan telah didokumentasikan. Titer untuk cacar dan
rubella ditentukan dan tes kulit tuberkulosa (Derivasi protein yang
dimurnikan/puriviet protein derivatif (PPD)) telah dilakukan vaksinasi
sebelumnya dengan vaksin rekonbivak Hb dicatat karena vaksin tersebut berisi
produk darah manusia (Vaksin ini sekarang bebas dari darah manusia dan produk-
produk darah). Wanita dapat menjadi calon yang menerima Rho D
Imunoglobulin. Penularan HIV belum ditemukan adanya vaksin Rh. Proses
persiapan melibatkan alcohol ethyl yang membuat virus tidak aktif. Vaksin ini
dibuat dari darah yang diambil dari kelompok donor regular yang tidak dikenali.
Darah yang digunakan untuk memproduksi vaksin menjalani tes darah yang dapat
mendeteksi darah adanya HIV (Francis, Chin, 1987, MMWR, 1987). Beberapa
ketidaknyamanan yang dihadapi pada masa prenatal (seperti kelelahan, anoreksia,
dan penurunan berat badan) menyiratkan tanda-tanda dan gejal-gejala infeksi
HIV.
2. Periode Intrapartum
9
didasarkan hanya pada pertimbangan obstetric karena virus melalui plasenta pada
awal kehamilan. Fokus utama pencegahn penyebaran HIV nosocomial dan
perlindungan terhadap pelaku perawatan. Resiko penularan HIV dianggap rendah
selama kelahiran vaginal.. EPM (Elektrinic Fetal Monitoring) eksternal dilakukan
jika EPM diperlukan. Terdapat kemungkinan inokulasi virus ke dalam neonatus
jika dilakukan pengambilan sempel darah pada bayi dilakukan atau jika elektroda
jangat kepala bayi diterapkan. Disamping itu, seseorang yang melakukan prosedur
ini berada pada resiko tertular virus HIV.
3. Periode Postpartum.
1. Gejala mayor
10
a. BB menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan
b. Diare kronik yang berlangsung lebih dari 1 bulan
c. Penurunan kesadaran dan adanya gangguan neurologis
d. Demensia / HIV Ensefalopati
2. Gejala minor
a. Batuk menetap lebih dari 1 bulan
b. Dermatitis generalist
c. Adanya herpes zoster yang berulang
d. Kandidiasis orofaringeal
e. Herpes simplex kronik progresif
f. Limfadenopati generalist
g. Infeksi jamur berulang pada kelamin wanita
h. Retinitis Cytomegalovirus
1.10Pemeriksaan diagnostic
1.11Pengobatan
11
dari pengobatan ARV biasanya secara medis direkomendasikan ketika
jumlah sel CD4 dari orang yang mengidap HIV/AIDS adalah 200 atau
lebih rendah. Untuk lebih efektif, maka suatu kombinasi dari tiga atau
lebih ARV dikonsumsi, secara umum ini adalah mengenai terapi
Antiretroviral yang sangat aktif (HAART). Kombinasi dari ARV berikut
ini dapat mengunakan:
a. Nucleoside Analogue Reverse Transcriptase Inhibitors (NRTI'),
mentargetkan pencegahan protein reverse transcriptase HIV dalam
mencegah perpindahan dari viral RNA menjadi viral DNA (contohnya
AZT, ddl, ddC & 3TC).
b. Non–nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NNRTI's)
memperlambat reproduksi dari HIV dengan bercampur dengan reverse
transcriptase, suatu enzim viral yang penting. Enzim tersebut sangat
esensial untuk HIV dalam memasukan materi turunan kedalam sel–sel.
Obat–obatan NNRTI termasuk: Nevirapine, delavirdine (Rescripta),
efavirenza (Sustiva).
c. Protease Inhibitors (PI) mengtargetkan protein protease HIV dan
menahannya sehingga suatu virus baru tidak dapat berkumpul pada sel
tuan rumah dan dilepaskan.
2. Pencegahan perpindahan dari ibu ke anak (PMTCT): seorang wanita yang
mengidap HIV(+) dapat menularkan HIV kepada bayinya selama masa
kehamilan, persalinan dan masa menyusui. Dalam ketidakhadiran dari
intervensi pencegahan, kemungkinan bahwa bayi dari seorang wanita yang
mengidap HIV(+) akan terinfeksi kira–kira 25%–35%. Dua pilihan
pengobatan tersedia untuk mengurangi penularan HIV/AIDS dari ibu ke
anak. Obat–obatan tersebut adalah:
a. Ziduvidine (AZT) dapat diberikan sebagai suatu rangkaian panjang dari
14–28 minggu selama masa kehamilan. Studi menunjukkan bahwa hal
ini menurunkan angka penularan mendekati 67%. Suatu rangkaian
pendek dimulai pada kehamilan terlambat sekitar 36 minggu menjadi
50% penurunan. Suatu rangkaian pendek dimulai pada masa persalinan
12
sekitas 38%. Beberapa studi telah menyelidiki pengunaan dari
Ziduvidine (AZT) dalam kombinasi dengan Lamivudine (3TC)
b. Nevirapine: diberikan dalam dosis tunggal kepada ibu dalam masa
persalinan dan satu dosis tunggal kepada bayi pada sekitar 2–3 hari.
Diperkirakan bahwa dosis tersebut dapat menurunkan penularan HIV
sekitar 47%. Nevirapine hanya digunakan pada ibu dengan membawa
satu tablet kerumah ketika masa persalinan tiba, sementara bayi tersebut
harus diberikan satu dosis dalam 3 hari.
A. Pengkajian
1. Biodata Klien
2. Riwayat Penyakit
Jenis infeksi sering memberikan petunjuk pertama karena sifat kelainan
imun. Umur kronologis pasien juga mempengaruhi imunokompetens.
Respon imun sangat tertekan pada orang yang sangat muda karena belum
berkembangnya kelenjar timus. Pada lansia, atropi kelenjar timus dapat
meningkatkan kerentanan terhadap infeksi. Banyak penyakit kronik yang
berhubungan dengan melemahnya fungsi imun. Diabetes meilitus, anemia
aplastik, kanker adalah beberapa penyakit yang kronis, keberadaan penyakit
seperti ini harus dianggap sebagai factor penunjang saat mengkaji status
imunokompetens pasien.
13
1) Gejala : Penyembuhan yang lambat (anemia), perdarahan lama pada
cedera.
2) Tanda : Perubahan TD postural,menurunnya volume nadi perifer,
pucat / sianosis, perpanjangan pengisian kapiler.
c) Integritas dan Ego
1) Gejala : Stress berhubungan dengan kehilangan,mengkuatirkan
penampilan, mengingkari doagnosa, putus asa,dan sebagainya.
2) Tanda : Mengingkari,cemas,depresi,takut,menarik diri, marah.
d) Eliminasi
1) Gejala : Diare intermitten, terus menerus, sering dengan atau tanpa
kram abdominal, nyeri panggul, rasa terbakar saat miksi
2) Tanda : Feces encer dengan atau tanpa mucus atau darah, diare pekat
dan sering, nyeri tekan abdominal, lesi atau abses rectal, perianal,
perubahan jumlah, warna dan karakteristik urine.
e) Makanan / Cairan
1) Gejala : Anoreksia, mual muntah, disfagia
2) Tanda : Turgor kulit buruk, lesi rongga mulut, kesehatan gigi dan gusi
yang buruk, edema
f) Hygiene
1) Gejala : Tidak dapat menyelesaikan AKS
2) Tanda : Penampilan tidak rapi, kurang perawatan diri.
g) Neurosensoro
1) Gejala : Pusing, sakit kepala, perubahan status mental,kerusakan
status indera,kelemahan otot,tremor,perubahan penglihatan.
2) Tanda : Perubahan status mental, ide paranoid, ansietas, refleks tidak
normal,tremor,kejang,hemiparesis,kejang.
h) Nyeri / Kenyamanan
1) Gejala : Nyeri umum / local, rasa terbakar, sakit kepala,nyeri dada
pleuritis.
2) Tanda : Bengkak sendi, nyeri kelenjar,nyeri tekan,penurunan rentan
gerak,pincang.
14
i) Pernafasan
1) Gejala : ISK sering atau menetap, napas pendek progresif, batuk,
sesak pada dada.
2) Tanda : Takipnea, distress pernapasan, perubahan bunyi napas, adanya
sputum.
j) Seksualitas
1) Gejala : Riwayat berprilaku seks dengan resiko tinggi, menurunnya
libido, penggunaan pil pencegah kehamilan.
2) Tanda : Kehamilan,herpes genetalia.
k) Interaksi Sosial
1) Gejala : Masalah yang ditimbulkan oleh diagnosis, isolasi, kesepian,
adanya trauma AIDS.
2) Tanda : Perubahan interaksi.
4. Pemeriksaan Diagnostik
a. Tes Laboratorium
Telah dikembangkan sejumlah tes diagnostic yang sebagian masih
bersifat penelitian. Tes dan pemeriksaan laboratorium digunakan untuk
mendiagnosis Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan memantau
perkembangan penyakit serta responnya terhadap terapi Human
Immunodeficiency Virus (HIV)
1) Tes antibody serum
Skrining Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan ELISA. Hasil tes
positif, tapi bukan merupakan diagnosa
2) Tes blot western
Mengkonfirmasi diagnosa Human Immunodeficiency Virus (HIV)
3) Sel T limfosit
Penurunan jumlah total
4) Sel T4 helper
15
Indikator system imun (jumlah <200>
5) T8 ( sel supresor sitopatik )
Rasio terbalik ( 2 : 1 ) atau lebih besar dari sel suppressor pada sel helper
( T8 ke T4 ) mengindikasikan supresi imun.
6) P24 ( Protein pembungkus HIV)
Peningkatan nilai kuantitatif protein mengidentifikasi progresi infeksi
b. Pemeriksaan lain :
1) EEG, MRI, CT Scan otak, EMG (pemeriksaan saraf)
2) Tes Lainnya
3) Sinar X dada
4) Menyatakan perkembangan filtrasi interstisial dari PCP tahap lanjut
atau adanya komplikasi lain
5) Tes Fungsi Pulmonal
6) Deteksi awal pneumonia interstisial
7) Skan Gallium Ambilan difusi pulmonal terjadi pada PCP dan
bentuk pneumonia lainnya.
8) Biopsis
9) Diagnosa lain dari sarcoma Kaposi
10) Bronkoskopi / pencucian trakeobronkial Dilakukan dengan biopsy
pada waktu PCP ataupun dugaan kerusakan paru-paru
B. Diagnosa Keperawatan
1. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan imunosupresi, malnutrisi dan
pola hidup yang beresiko.
2. Resiko tinggi penularan infeksi pada bayi berhubungan dengan adanya
kontak darah dengan bayi sekunder terhadap proses melahirkan.
3. Resiko tinggi defisit volume cairan berhubungan dengan output cairan
berlebih sekunder terhadap diare
16
C. Rencana Keperawatan
17
infeksi dengan kriteria hasil: 2. Gunakan darah transimisi infeksi
nonopportunisitik - kontak pasien dan cairan tubuh HIV ke orang lain
yang dapat dan tim kesehatan precaution bial merawat
ditransmisikan. tidak terpapar HIV pasien. Gunakan
- Tidak terinfeksi masker bila perlu.
patogen lain seperti
TBC.
3 Resiko tinggi Defisit volume 1. Kaji konsistensi 1. Mendeteksi
defisit volume cairan dapat teratasi dan frekuensi feses dan adanya darah
cairan berhubungan setelah dilakukan adanya darah. dalam feses
dengan output tindakan 2. Auskultasi 2. Hipermotilit
cairan berlebih keperawatan selama bunyi usus i mumnya dengan
sekunder terhadap 1×24 jam dengan 3. Atur agen diare
diare criteria hasil: antimotilitas dan 3. Mengurangi
- perut lunak psilium (Metamucil) motilitas
- tidak tegang sesuai order usus, yang pelan,
- feses lunak, 4. Berikan emperburuk
warna normal ointment A dan D, perforasi pada
- kram perut vaselin atau zinc oside intestinal
hilang, 4. Untuk
menghilangkan
distensi
D. Implementasi
Didasarkan pada diagnosa yang muncul baik secara aktual, resiko,
atau potensial. Kemudian dilakukan tindakan keperawatan yang
sesuai berdasarkan NCP.
E. Evaluasi
Disimpulkan berdasarkan pada sejauh mana keberhasilan mencapai
kriteria hasil, sehingga dapat diputuskan apakah intervensi tetap
18
dilanjutkan, dihentikan, atau diganti jika tindakan yang sebelumnya tidak
berhasil.
19
BAB III
PENUTUP
1.13 Kesimpulan
1.14 Saran
Dengan dibuatnya makalah HIV pada ibu hamil ini, diharapkan nantinya
akan memberikan manfaat bagi para pembaca terutama pemahaman yang
berhubungan dengan bagaimana melakukan sebuah proses asuhan keperawatan
maternitas terutama pada ibu hamil yang juga menderita HIV.
20
DAFTAR PUSTAKA
21
22