“HIV/AIDS”
KELOMPOK III:
Nama :
Diyanatul Multalamah (2018000043)
Faradila Stoffel (2018000049)
Fitri Maria Agustina (2018000055)
Handy Sumarta Gunawan (2018000061)
Kenny Maryanto (2018000067)
Muthi’ah Hafidza Husna (2018000073)
Notatema Generasi Larosa (2018000079)
Muhamad Fahrul (2018000132)
Kelas :B
JAKARTA
2018
BAB I
PENDAHULUAN
A. PENGERTIAN HIV/AIDS
HIV merupakan retrovirus bersifat limfotropik khas yang menginfeksi sel-sel dari
sistem kekebalan tubuh, menghancurkan atau merusak sel darah putih spesifik yang
disebut limfosit T-helper atau limfosit pembawa faktor T4 (CD4). Selama infeksi
berlangsung, sistem kekebalan tubuh menjadi lemah dan orang menjadi lebih
rentan terhadap infeksi.Tingkat HIV dalam tubuh dan timbulnya berbagai infeksi
tertentu merupakan indikator bahwa infeksi HIV telah berkembang menjadi AIDS.
AIDS merupakan kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh
menurunnya kekebalan tubuh akibat virus HIV.Sebagian besar orang yang terkena
HIV, bila tidak mendapat pengobatan, akan menunjukkan tanda-tanda AIDS dalam
waktu 8-10 tahun.
B. EPIDEMIOLOGI
Kasus HIV/AIDS pertama di dunia dilaporkan pada tahun 1981. Menurut UNAIDS,
salah satu bagian dari WHO yang mengurus tentang AIDS menyebutkan bahwa
perkiraan jumlah penderita yang terinfeksi HIV/AIDS di seluruh dunia sampai
dengan akhir tahun 2010 mencapai 34 juta. Dilihat dari tahun 1997 hingga tahun
2011 jumlah penderita HIV/AIDS mengalami peningkatan hingga 21%. Pada tahun
2011, UNAIDS memperkirakan jumlah penderita baru yang terinfeksi HIV/AIDS
sebanyak 2,5 juta. Jumlah orang yang meninggal karena alasan yang terkait AIDS
pada tahun 2010 mencapai 1,8 juta, menurun dibandingkan pada pertengahan tahun
2000 yang mencapai puncaknya yaitu sebanyak 2,2 juta. Di Indonesia, jumlah
penderita HIV/AIDS terus meningkat dari tahun ke tahun tetapi jumlah kasus baru
yang terinfeksi HIV/AIDS relatif stabil bahkan cenderung menurun.Kasus HIV dan
AIDS menurut jenis kelamin lebih banyak pada laki-laki. Pada tahun 2012 angka
kematian AIDS mengalami penurunan menjadi 0,9% dibandingkan dengan tahun
2011.
C. ETIOLOGI
AIDS disebabkan oleh HIV. HIV adalah virus sitopatik yang diklasifikasikan dalam
famili Retroviridae, subfamili Lentivirinae, genus Lentivirus. HIV termasuk virus
Ribonucleic Acid (RNA) dengan berat molekul 9,7 kb (kilobases). Strukturnya
terdiri dari lapisan luar atau envelop yang terdiri atas glikoprotein gp120 yang
melekat pada glikoprotein gp4. Dibagian dalamnya terdapat lapisan kedua yang
terdiri dari protein p17. Setelah itu terdapat inti HIV yang dibentuk oleh protein
p24. Didalam inti terdapat komponen penting berupa dua buah rantai RNA dan
enzim reverse transcriptase. Bagian envelope yang terdiri atas glikoprotein, ternyata
mempunyai peran yang penting pada terjadinya infeksi oleh karena mempunyai
afinitas yang tinggi terhadap reseptor spesifik CD4 dari sel Host. Molekul RNA
dikelilingi oleh kapsid berlapis dua dan suatu membran selubung yang mengandung
protein.
Jenis virus RNA dalam proses replikasinya harus membuat sebuah salinan
Deoxyribo Nucleic Acid (DNA) dari RNA yang ada di dalam virus. Gen DNA
tersebut yang memungkinkan virus untuk bereplikasi. Seperti halnya virus yang
lain, HIV hanya dapat bereplikasi didalam sel induk. Di dalam inti virus juga
terdapat enzim-enzim yang digunakan untuk membuat salinan RNA, yang
diperlukan untuk replikasi HIV yakni antara lain: reverse transcriptase, integrase,
dan protease. RNA diliputi oleh kapsul berbentuk kerucut terdiri atas sekitar 2000
kopi p24 protein virus. Dikenal dua tipe HIV yaitu HIV -1 yang ditemukan pada
tahun 1983dan HIV-2 yang ditemukan pada tahun 1986 pada pasien AIDS di Afrika
Barat.Epidemi HIV secara global terutama disebabkan oleh HIV-1, sedangkan HIV-
2 tidak terlalu luas penyebarannya, hanya terdapat di Afrika Barat dan beberapa
negara Eropa yang mempunyai hubungan erat dengan Afrika Barat.
HIV-1 dan HIV-2 mempunyai struktur yang hampir sama tetapi mempunyai
perbedaan struktur genom. HIV-1 punya gen vpu tapi tidak punya vpx , sedangkan
HIV-2 sebaliknya.Perbedaan struktur genom ini walaupun sedikit, diperkirakan
mempunyai peranan dalam menentukan patogenitas dan perbedaan perjalanan
penyakit diantara kedua tipe HIV. Karena HIV-1 yang lebih sering ditemukan,
maka penelitian–penelitian klinis dan laboratoris lebih sering sering dilakukan
terhadap HIV-1.
Jumlah limfosit T penting untuk menentukan progresifitas penyakit infeksi HIV ke
AIDS. Sel T yang terinfeksi tidak akan berfungsi lagi dan akhirnya mati. Infeksi
HIV ditandai dengan adanya penurunan drastis sel T dari darah tepi.
D. FAKTOR RESIKO
Faktor risiko epidemiologis infeksi HIV adalah sebagai berikut :
1. Perilaku berisiko tinggi :
a. Hubungan seksual dengan pasangan berisiko tinggi tanpa menggunakan
kondom
b. Pengguna narkotika intravena, terutama bila pemakaian jarum secara
bersama tanpa sterilisasi yang memadai.
c. Hubungan seksual yang tidak aman : multi partner, pasangan seks individu
yang diketahui terinfeksi HIV, kontaks seks per anal.
2. Mempunyai riwayat infeksi menular seksual.
3. Riwayat menerima transfusi darah berulang tanpa penapisan.
4. Riwayat perlukaan kulit, tato, tindik, atau sirkumsisi dengan alat yang tidak
disterilisasi.
Virus HIV berada terutama dalam cairan tubuh manusia. Cairan yang berpotensial
mengandung virus HIV adalah darah, cairan sperma, cairan vagina dan air susu ibu.
Sedangkan cairan yang tidak berpotensi untuk menularkan virus HIV adalah cairan
keringat, air liur, air mata dan lain-lain.
E. PATOGENESIS
HIV dapat diisolasi dari darah, cairan serebrospinalis semen, air mata, sekresi
vagina atau serviks, urine, ASI, dan air liur. Penularan HIV terjadi melalui
hubungan seksual, transfusi darah, jarum suntik, dan dari ibu hamil ke bayinya.
Efektivitas penularan paling tinggi adalah melalui transfusi darah. Salah satu cara
penularan yang sekarang ini semakin penting di Indonesia adalah penggunaan
jarum suntik bersama di kalangan pecandu narkotika. Jumlah kasus infeksi HIV
baru pada akhir tahun 1999 meningkat tajam karena tingginya angka HIV positif
pada pecandu narkotika suntikan. Kebiasaan menggunakan jarum suntik bersama
dan jarum yang tidak steril pada pecandu narkotika suntikan menyebabkan
kelompok ini rentan terhadap penularan HIV.
Dasar utama terinfeksinya HIV adalah berkurangnya jenis Limfosit T helper
yang mengandung marker CD4 (Sel T4). Limfosit T4 adalah pusat dan sel utama
yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam menginduksi fungsi
imunologik. Menurun atau menghilangnya sistem imunitas seluler, terjadi karena
virus HIV menginfeksi sel yang berperan membentuk antibodi pada sistem
kekebalan tersebut, yaitu sel Limfosit T4. Setelah virus HIV meningkatkan diri
pada molekul CD4, virus masuk ke dalam target dan melepaskan bungkusnya
kemudian dengan enzim reverse transkriptase virus tersebut merubah bentuk RNA
(Ribonucleic Acid) agar dapat bergabung dengan DNA (Deoxyribonucleic Acid) sel
target. Selanjutnya sel yang berkembang biak akan mengandung bahan genetik
virus. Infeksi HIV dengan demikian menjadi irreversibel dan berlangsung seumur
hidup.
Pada awal infeksi, virus HIV tidak segera menyebabkan kematian dari sel
yang diinfeksinya, tetapi terlebih dahulu mengalami replikasi sehingga ada
kesempatan untuk berkembang dalam tubuh penderita tersebut dan lambat laun
akan merusak limfosit T4 sampai pada jumlah tertentu. Masa ini disebut masa
inkubasi. Masa inkubasi adalah waktu yang diperlukan sejak seseorang terpapar
virus HIV sampai menunjukkan gejala AIDS. Pada masa inkubasi, virus HIV tidak
dapat terdeteksi dengan pemeriksaan laboratorium kurang lebih 3 bulan sejak
tertular virus HIV yang dikenal dengan masa “window period”. Setelah beberapa
bulan sampai beberapa tahun akan terlihat gejala klinis pada penderita sebagai
dampak dari infeksi HIV tersebut. Pada sebagian penderita memperlihatkan gejala
tidak khas pada infeksi HIV akut, 3-6 minggu setelah terinfeksi. Gejala yang terjadi
adalah demam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare,
atau batuk. Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimptomatik (tanpa
gejala). Masa tanpa gejala ini umumnya berlangsung selama 8-10 tahun, tetapi ada
sekelompok kecil penderita yang memiliki perjalanan penyakit amat cepat hanya
sekitar 2 tahun dan ada juga yang sangat lambat (non-progressor).
Secara bertahap sistem kekebalan tubuh yang terinfeksi oleh virus HIV akan
menyebabkan fungsi kekebalan tubuh rusak. Kekebalan tubuh yang rusak akan
mengakibatkan daya tahan tubuh berkurang bahkan hilang, sehingga penderita akan
menampakkan gejala-gejala akibat infeksi oportunisitik.
F. PATOFISIOLOGI
Dasar utama terinfeksinya HIV adalah berkurangnya jenis Limfosit T helper yang
mengandung marker CD4 (Sel T4). Limfosit T4 adalah pusat dan sel utama yang
terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam menginduksi fungsi
imunologik. Menurun atau menghilangnya sistem imunitas seluler, terjadi karena
virus HIV menginfeksi sel yang berperan membentuk antibodi pada sistem
kekebalan tersebut, yaitu sel Limfosit T4. Setelah virus HIV mengikatkan diri pada
molekul CD4, virus masuk ke dalam target dan melepaskan bungkusnya kemudian
dengan enzim reverse transkriptase virus tersebut merubah bentuk RNA
(Ribonucleic Acid) agar dapat bergabung dengan DNA (Deoxyribonucleic Acid) sel
target. Selanjutnya sel yang berkembang biak akan mengandung bahan genetik
virus. Infeksi HIV dengan demikian menjadi irreversibel dan berlangsung seumur
hidup.
Pada awal infeksi, virus HIV tidak segera menyebabkan kematian dari sel yang
diinfeksinya, tetapi terlebih dahulu mengalami replikasi sehingga ada kesempatan
untuk berkembang dalam tubuh penderita tersebut dan lambat laun akan merusak
limfosit T4 sampai pada jumlah tertentu. Masa ini disebut dengan masa inkubasi.
Masa inkubasi adalah waktu yang diperlukan sejak seseorang terpapar virus HIV
sampai menunjukkan gejala AIDS. Pada masa inkubasi, virus HIV tidak dapat
terdeteksi dengan pemeriksaan laboratorium kurang lebih 3 bulan sejaktertular
virus HIV yang dikenal dengan masa “window period”. Setelah beberapa bulan
sampai beberapa tahun akan terlihat gejala klinis pada penderita sebagai dampak
dari infeksi HIV tersebut.20 Pada sebagian penderita memperlihatkan gejala tidak
khas pada infeksi HIV akut, 3-6 minggu setelah terinfeksi. Gejala yang terjadi
adalah demam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare,
atau batuk. Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimptomatik (tanpa
gejala). Masa tanpa gejala ini umumnya berlangsung selama 8-10 tahun, tetapi ada
sekelompok kecil penderita yang memliki perjalanan penyakit amat cepat hanya
sekitar 2 tahun dan ada juga yang sangat lambat (non-progressor).
Secara bertahap sistem kekebalan tubuh yang terinfeksi oleh virus HIV akan
menyebabkan fungsi kekebalan tubuh rusak. Kekebalan tubuh yang rusak akan
mengakibatkan daya tahan tubuh berkurang bahkan hilang, sehingga penderita akan
menampakkan gejala-gejala akibat infeksi oportunistik.
G. MANIFESTASI KLINIS
Tanda dan gejala klinis yang ditemukan pada penderita AIDS umumnya sulit
dibedakan karena bermula dari gejala klinis umum yang didapati pada penderita
penyakit lainnya. Secara umum dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Rasa lelah dan lesu
2. Berat badan menurun secara drastis
3. Demam yang sering dan berkeringat waktu malam
4. Mencret dan kurang nafsu makan
5. Bercak-bercak putih di lidah dan di dalam mulut
6. Pembengkakan leher dan lipatan paha
7. Radang paru
8. Kanker kulit
Manifestasi klinik utama dari penderita AIDS umumnya meliputi 3 hal yaitu:
1. Manifestasi tumor
a. Sarkoma Kaposi : Kanker pada semua bagian kulit dan organ tubuh. Penyakit ini
sangat jarang menjadi sebab kematian primer.
b. Limfoma ganas : Timbul setelah terjadi Sarkoma Kaposi dan menyerang saraf
serta dapat bertahan kurang lebih 1 tahun.
2. Manifestasi oportunistik
a. Manifestasi pada Paru
1) Pneumoni pneumocystis (PCP)
Pada umumnya 85% infeksi oportunistik pada AIDS merupakan infeksi paru
PCP dengan gejala sesak nafas, batuk kering, sakit bernafas dalam dan
demam.
2) Cytomegalovirus (CMV)
Pada manusia 50% virus ini hidup sebagai komensal pada paru-paru tetapi
dapat menyebabkan pneumocystis. CMV merupakan 30% penyebab
kematian pada AIDS.
3) Mycobacterium avilum
Menimbulkan pneumoni difus, timbul pada stadium akhir dan sulit
disembuhkan.
4) Mycobacterium tuberculosis
Biasanya timbul lebih dini, penyakit cepat menjadi milier dan cepat
menyebar ke organ lain di luar paru.
b. Manifestasi gastrointestinal
Tidak ada nafsu makan, diare kronis, penurunan berat badan >10% per bulan.
3. Manifestasi neurologis
Sekitar 10% kasus AIDS menunjukkan manifestasi neurologis yang biasanya timbul
pada fase akhir penyakit. Kelainan saraf yang umum adalah ensefalitis, meningitis,
demensia, mielopati, neuropati perifer.
Lebih dari separuh orang yang terinfeksi HIV akan menunjukkan gejala
infeksi primer. Biasanya gejala ini timbul setelah beberapa hari terinfeksi dan
gejala ini berlangsung selama 2-6 minggu setelah terinfeksi. Gejala ini dapat ringan
samapi berat dan sekitar 42% penderita memerlukan perawatan di rumah sakit.
Gejala-gejala infeksi primer ini dapat dibagi menjadi gejala umum berupa demam,
nyeri otot, nyeri sendi dan rasa lemah. Sedangkan gejalan lain berupa kelainan
neurologi berupa nyeri kepala, nyeri di belakang mata, fotofobia dan depresi.
Beberapa tes HIV adalah Full Blood Count (FBC), pemeriksaan fungsi hati,
pemeriksaan fungsi ginjal : Ureum dan Creatinin, analisa urin, pemeriksaan feses
lengkap. Pemeriksaan Penunjang adalah tes antibodi terhadap HIV, Viral load,
CD4/CD8.Gejala dan tanda klinis yang patut diduga infeksi HIV menurut WHO
SEARO 2007:
1. Keadaan umum :
Kehilangan berat badan > 10% dari berat badan dasar
Demam (terus menerus atau intermitten, temperatur oral > 37,5 oC) yang
lebih dari satu bulan,
Diare (terus menerus atau intermitten) yang lebih dari satu bulan.
Limfadenopati meluas
2. Kulit :
Post exposure prophylaxis (PPP) dan kulit kering yang luas merupakan dugaan kuat
infeksi HIV. Beberapa kelainan seperti kulit genital (genital warts), folikulitis dan
psoriasis sering terjadi pada orang dengan HIV/AIDS(ODHA) tapi tidak selalu
terkait dengan HIV.
3. Infeksi
Infeksi Jamur : Kandidiasis oral, dermatitis seboroik, kandidiasis vagina
berulang
Infeksi viral : Herpes zoster,
herpes genital (berulang), moluskum kotangiosum, kondiloma.
Gangguan pernafasan : batuk lebih dari 1 bulan, sesak nafas, tuberkulosis,
pneumonia berulang, sinusitis kronis atau berulang.
I. PERJALANAN PENYAKIT
Perjalanan penyakit infeksi HIV dapat dibagi dalam:
1. Transmisi Virus
2. Infeksi HIVPrimer (sindrom retroviral akut)
3. Serokonversi
4. Infeksi Kronik asimtomatik
5. Infeksi Kronik Simtomatik
6. AIDS (Indikator sesuai dengan CDC 1993 atau jumlah CD4 <200/mm3)
3
7. Infeksi HIV lanjut ditandai oleh jumlah CD4<50/mm
J. PENATALAKSANAAN
1. Penatalaksaan Umum
Pengobatan HIV/AIDS dapat dibagi dalam:
a. Pengobatan Suportif
b. Pengobatan infeksi oportunistik
c. Pengobatan antiretroviral (ART)
PCP Kotrimoksazol
K. TERAPI
Sasaran terapi adalah mencapai efek penekanan maksimum replikasi HIV. Sasaran
sekunder adalah peningkatan limfosit CD4 dan perbaikan kualitas hidup. Sasaran
akhir adalah penurunan hortalitas dan morbiditas. Pengukuran peridik, teratur
tingkat RNA HIV di plsma dan hitung CD4 untuk menentukan kemajuan terapi dan
untuk mengawali atau memodifikasi regimen terapi.Penetuan terapi harus secara
individual berdasarkan CD4 dan beban virus.Penggunaan kombinasi ARV poten
untuk menekan replikasi HIV sampai dibawah tingkat sensitivitas penetapan virus
HIV membatasi kemampuan memilih variant HIV yang resisten terhadap ARV,
yaitu faktor utama yang membatasi kemampuan ARV menghambat replikasi virus
dan menghambat perbaikan. Setiap ARV digunakan dalam kombinasi harus selalu
digunakan sesuai dengan regimen dosis . Setiap orang yang terinfeksi HIV, bahkan
dengan beban virus di bawah batas yang dapat terdeteksi, harus dipertimbangkan
dapat menularkan dan harus diberi konsultasi untuk menghindari perilaku seks dan
penggunaan obat yang berkaitan dengan penularan HIV dan infeksi patogen lain.
Terapi direkomendasikan pada seluruh penderita HIV dapat dilihat pada tabel
dibawah ini
Tabel Rekomendasi untuk memulai terapi dengan Antiretroviral (ARV) pada remaja dan dewasa
berdasarkan fase klinik dan tanda imunologi
Fase klinik WHO Test CD4 tidak tersedia Test CD4 tidak tersedia
1 Tidak diterapi Terapi bila CD4 < 200
3
2 Tidak diterapi sel/mm
3 Terapi Pertimbangkan terapi bila
3
CD4 < 350 sel/mm dan
terapi bila CD4 turun < 200
3
sel/mm
L. TERAPI FARMAKOLOGI
Terapi dengan kombinasi ARV menghambat replikasi virus adalah strategi yang
sukses pada terapi HIV. Ada tiga golongan obat ARV yaitu:
1. Reverse Transcriptase Inhibitor(RTI)
a. analog nukleosida (NARTI) analog nukleotida (NtARTI)
b. non nukleosida (NNRTI)
2. HIV Protease inhibitor (PI)
3. Fusion inhibitor
Bila terjadi kegagaln terapi yang dapat disebabkan oleh resistensi atau pasien di
tidak dapat menoleransi reaksi obat yang tidak dinginkan maka terap
tukar. Regimen yang direkomendasikan dan perubahan terapi dapat dilihat pada
tabel dibawah ini:
Rekomendasi regimen lini pertama terapi dan perubahan terapi ke lini kedua
infeksi HIV pada orang dewasa
3TC lamivudine, ABC abacavir, AZT zidovudine (also known as ZDV), d4T
stavudine, ddI didanosine, NFV nelfinavir, NNRTI non-nucleoside reverse
transcriptase inhibitor, NRTI nucleoside reverse transcriptase inhibitor, NVP
nevirapine, PI protease inhibitor, /r: ritonavir dosis rendah, TDF tenofovir
disoproxil fumarate.
Catatan:
Jangan memulai TDF jika creatine clearance test hitung < 50 ml/menit /
pada kasus diabetes lama, hipertensi tidak terkontrol, & gagal ginjal.
Catatan:
Zidovudine merupakan pilihan utama. Namun bila Hb anak < 7.5g/dl
maka dipertimbangkan pemberian Stavudine
Tenofovir saat ini dapat digunakan pada anak > 2 tahun. Selain itu perlu
dipertimbangkan efek samping osteoporosis pada tulang anak yang
sedang bertumbuh karena penggunaan ARV diharapkan tidak
menganggu pertumbuhan tinggi badan
Lini kedua
ABC (atau TDF) + 3TC (atau FTC) + LPV/r
HIV dan Koinfeksi TB Berbasis AZT atau d4T TDF + 3TC (atau FTC) + LPV /r dosis ganda
Berbasis TDF AZT + 3TC + LPV/r dosis ganda
HIV dan HBV koinfeksi Berbasis TDF AZT + TDF +3TC (atau FTC) + LPV/r
b. LAMIVUDIN
Indikasi:
Infeksi HIV proresif, dalam bentuk sediaan kombinasi dengan obat-
obatan antiretroviral lainnya
Peringatan:
Kelainan fungsi ginjal, penyakit hati yang disebabkan infeksi hepatitis B
kronis (risiko kembalinya hepatitis saat penghentian pengobatan);
kehamilan (dianjurkan untuk dihindari pada trimester pertama)
Interaksi:
Lihat Interaksi Antimikroba Peringatan
Kontraindikasi:
Wanita menyusui
Efek samping:
Mual, muntah, diare, nyeri perut, batuk; sakit kepala insomia; malaise,
nyeri muskuloskelatal; gejala nasal dilaporkan adanya neuropati periferal
pankreatitis (jarang bila terjadi hentikan pengobatan); neutropenia dan
anemia (dalam kombinasi dengan zidovudin); trombositopenia;
dilaporkan terjadinya peningkatan enzim hati dan amilase serum.
Dosis:
150 mg dua kali sehari (sebaiknya tidak bersama makanan); Anak
dibawah 12 tahun kéamanan dan khasiatnya belum diketahui.
Sediaan Beredar:
3TC (Glaxo Wellcome UK) Sirup 10 mg/ml; Tablet 10 mg. 150 mg (K)
c. ZALSITABIN
Indikasi:
Infeksi HIV lanjut pada dewasa yang tidak tahan terhadap zidovudin
(anemia, netropenia) atau pada pasien yang gagal diobati dengan
zidovudin (perburuk klinis, penurunan status imunologis progresif)
Peringatan:
Pasien dengan risiko neuropati perifer; pankreatitis monitor amilase
serum,alkoholisme, nutrisi parenteral kardiomiopati, riwayat gagal
jantung kongesif, hepatotoksitas amilan (wanita usia produktif harus
menggunaka kontrasepsi yang aman), gangguan fungsi ginjal.
Interaksi:
Neuropati perifer. Hentikan obat dengan segera bila timbul gejala-gejala
neuropati rasa kesemutan, baal, panas, rasa ditusuk-tusuk Perhatian
khusus dan pengawasan ketat harus dilakukan pada pasien dengan risiko
neuropati (terutama bila perhitungan sel CD4 rendah karena resikonya
lebih besar). Pankreatitis, bila timbul pankreatitis, obat harus dihentikan
secara permanen. Tangguhkan pemberian obat bila terjadi peningkatan
amilase, gula darah. Trigliserida; penurunan kalsium serum atau gejala
lain yang berhubungan dengan pankreatitis. Tunda pemberian obat bila
dalam waktu bersamaan diperlukan obat yang potensial toksik terhadap
pankreas (misalnya Pentamidin isothionat ntavena). Hepatotoksisitas,
pernah dilaporkan asidosis laktat yang potensial fatal dan hepatomegali,
hati-hati bila ada hepatitis, peningkatan enzim hati, riwayat alkoholisme.
Hentikan obat bila terjadi perburukan fungsi hati, hepatomegali atau
asidosis laktat yang tidak bisa diterangkan.
Kontraindikasi:
Neuropati perifer, ibu menyusui
Efek samping:
Neuropati perifer, ulkus mulut, mual, muntah, disfagia, anoreksia, diare,
sakit perut, konstipasi, faringitis, sakit kepala,pusing. mialgia, artragia,
ruam, pruritus, hiperhidrosis. Penurunan berat badan, lesu, demam, nyeri
dada, anemia, leukopenia, trombositopenia, gangguan fungsi hati,
pankreatitis, ulkus esofagus, ikterus dan kerusakan hepatoselular.
Gangguan pengecapan,takkardi, kardiomiopati, astenia, tremor,
gangguan pergerakan, gangguan penglihatan dan pendengaran,
hiperurisemia dan gangguan ginjal
Dosis:
750 mcg tiga kali sehari, Usia lanjut dan anak di bawah 13 tahun
keamanan belum terbukti
Sediaan Beredar:
Hivid (Hoffman a Roche Switzerland) Tablet 0,75 mg (K)
d. ZIDOVUDIN
Indikasi:
Pengobatan infeksi HIV lanjut (AIDS), HIV awal dan HIV asimtomatik
dengan tanda-tanda risiko progresif, infeksi HIV asimtomatik dan
simtomatik pada anak dengan tanda-tanda imuno defisiensi yang nyata;
dapat dipertimbangkan untuk transmisi HIV maternofetal (mengobati
wanita hamil dan bayi
Peringatan:
Toksisitas hematologis (lakukan uji darah tiap 2 minggu selama 3 bulan
pertama, selanjutnya sebulan sekali pemeriksaan darah dapat lebih jarang,
tiap 1-3 bulan, pada infeksi dini dengan fungsi sum-sum tulang yang baik);
defisiensi vitamin B12 (risiko neutropenia); kurang dosis atau berikan terapi
intermiten bila terjadi anemia atau mielosupresi; gangguan fungsi hati,
fungsi ginjal, awasi dengan ketat pasien dengan resiko
penyakit hati (terutama wanita gemuk) termasuk pasien dengan
hepatomegali dan hepatitis: risiko asidosis laktat; usia lanjut; kehamilan;
tidak dianjurkan menyusui selama pengobatan.
Interaksi:
Lihat Interaksi Antimikroba
Kontraindikasi:
Neutropenia dan atau añemia berat, neonatus dengan hiperbilirubinemia
yang memerlukan terapi selain fototerapi atau dengan peningkatan
transaminase
Efek samping:
Anemia (ada kalanya memerlukan transfusi), neutropenia dan lekopenia
(lebih sering pada dosis tingi dan penyakit lanjut mual, muntah,
anoreksia, sakit perut, dispepsia, sakit kepala, demam, mialgia,
parestesia, insomnia, lesu. Pernah dilaporkan kejang, miopati, pigmentasi
pada kuku, kulit dan mukosa, pansitopenia (dengan hipoplasia sum-sum
tulang dan kadang-kadang trombositopenia): gangguan hati berupa
perlemakan dan kenaikan bilirubin dan enzim hati (tangguhkan
pengobatan bila terjadi hepatomegali atau peningkatan transaminase
progresif); asidosis laktat
Dosis:
- Oral: dosis bervariasi, 500-600 mg/hari dalam 2-5 kali pemberian atau
1 gram/hari dalam 2 kali pemberian. Anak diatas 3 bulan: 120-180
2
mg/m tiap 6 jam (maksimum 200 mg tiap 6 jam).
- Kehamilan lebih dari 14 minggu: oral: 100 mg 5 kali sehari sampai
saat persalinan, kemudian pada fase persalinan dan setelah bayi lahir.
Intravena: dimulai dengan 2 mg/kg selama 1 jam, kemudian 1 mg/kg
sampai saat penjepitan tali pusat. Untuk operasi sesar selektif:
berikan 4 jam sebelum operasi. Neonatus: mulai dalam 12 jam setelah
lahir : per oral 2 mg/kg tiap 6 jam sampai berumur 6 minggu. Atau
intravena selama 30 menit dengan dosis 1,5 mg/kg tiap 6 jam.
- Pasien yang sewaktu-waktu tidak dapat minum obat per oral:
Berikan injeksi intravena selama 1 jam dengan dosis 1-2 mg/kg tiap 4
jam, biasanya tidak lebih dari 2 minggu.
Sediaan Beredar:
Adovi (Tempo) Kapsul 100 mg. Avirzid (Sanbe) Kapsul 100 mg (K).
Retrovir (Glaxo Wellcome UK) Kapsul 100 mg, 250 mg, sirup 50
mg/5ml (K)
Efavirenz Strocrin Sustiva NNRTI Kapsul 50, 100,200 1 x 600 mg, malam hari
(EFV, EFZ) dan 600 mg