Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PRAKTIKUM

FARMAKOTERAPI INFEKSI DAN TUMOR


HIV pada Bayi

DISUSUN OLEH

FKK-2 Kelompok C-3

Fitri Handayani Aspar (18123445A)

Hariyanti (18123446A)

Yunita Andika Muktiningsih (18123447A)

Ardianti Khusnul K (18123448A)

Ratih Ayu Aminah (18123450A)

DOSEN PENGAMPU

Inaratul RH , M.Sc., Apt.

Hari, tanggal praktikum : Rabu, 17 November 2015

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SETIA BUDI

SURAKARTA

2015
I. PENDAHULUAN

Definisi
Human Imunodeficiency Virus (HIV) adalah sejenis retrovirus yang
termasuk dalam family lintavirus, retrovirus memiliki kemampuan mrnggunakan
RNA nya dan DNA penjamu untuk membentuk virus DNA dan dikenali selama
masa inkubasi yang panjang. Seperti retrovirus lainnya HIV menginfeksi dalam
proses yang panjang (klinik laten), dan utamanya penyebab munculnya tanda dan
gejala AIDS. HIV menyebabkan beberapa kerusakan sistem imun dan
menghancurkannya. Hal ini terjadi dengan menggunakan DNA dari CD4+ dan
limfosit untuk mereplikasikan diri. Dalam proses itu, virus tersebut
menghancurkan CD4+ dan limfosit.

Human Imunodeficiency Virus (HIV) adalah retrovirus yang termasuk


golongan virus RNA yaitu virus yang menggunakan RNA sebagai molekul
pembawa informasi genetik. Sebagai retrovirus HIV memiliki sifat yang khas
karena memiliki enzim reverse transcriptase yaitu enzim yang memungkinkan
virus mengubah informasi genetiknya yang berada dalam RNA ke dalam bentuk
DNA yang kemudian diintregasikan kedalam informasi genetic sel limfosit yang
diserang. Dengan demikian HIV dapat memanfaatkan mekanisme sel limfosit
untuk mengkopi dirinya menjadi virus baru yang yang memiliki ciri- ciri HIV.

Human Imunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang merusak sistem


kekebalan tubuh manusia dengan akibat turunya atau hilangnya daya tahan tubuh
sehingga mudah terjangkit dan meninggal karena infeksi, kanker dan lain- lain.
Sampai saat ini belum ditemukan vaksin 7 7 pencegahannya. Pengobatan yang
ada hanya untuk menghambat virus didalam darah. Jangka waktu antara terkena
infeksi dan munculnya gejala penyakit HIV umumnya orang dewasa memakan
waktu rata- rata 6 - 10 tahun. Cara penularan HIV adalah melalui hubungan
seksual yang tidak aman, penggunaan jarum suntik yang tidak steril, tranfusi
darah yang terinfeksi HIV dan penularan dari ibu yang terinfeksi HIV ke janinnya
dan bayinya. Semua cara penularan HIV berkaitan dengan perilaku sehingga
identifikasi perilaku beresiko.

Epidemiologi
Kasus pertama AIDS di Indonesia dilaporkan dari Bali pada bulan April
tahun 1987. Penderitanya adalah seorang wisatawan Belanda yang meninggal di
RSUP Sanglah akibat infeksi sekunder pada paru-parunya. Sampai dengan akhir
tahun 1990, peningkatan kasus HIV/AIDS menjadi dua kali lipat. Sejak
pertengahan tahun 1990 mulai terlihat peningkatan tajam akibat penggunaan
narkotika suntik.
Fakta yang mengkhawatirka adalah pengguna narkotika ini sebagian
besar adalah remaja dan dewasa muda yang merupakan kelompok usia produktif.
Pada akhir Maret 2005 tercatat 6789 kasus HIV/AIDS yang dilaporkan. Sampai
akhir Desember 2008, jumlah kasus sudah mencapai 16.110 kasus AIDS dan
6.554 kasus HIV. Sedangkan jumlah kematian akibat AIDS yang tercatat sudah
mencapai 3.362 orang. Dari seluruh penderita AIDS tersebut, 12.061 penderita
adalah laki-laki dengan penyebaran tertinggi melalui hubungan seks.

Klasifikasi1
Klasifikasi Stadium Klinis WHO untuk Bayi dan Anak yang Terinfeksi HIV
Stadium Gambaran Klinis
I 1. Asimptomatik
2. Limfadenopati generalisata persisten
II 1. Hepatosplenomegali persisten yang tidak dapat
dijelaskan
2. Erupsi pruritik popular
3. Infeksi virus wart luas
4. Angular cheilitis
5. Moluskum kontagiosum luas
6. Ulserasi oral berulang
7. Pembesaran kelenjar parotis persisten yang tidak dapat
dijelaskan
8. Eritema gingival lineal
9. Herpes zoster
10. Infeksi saluran napas atas kronik/berulang
11. Infeksi kuku oleh fungus

III 1. Malnutrisi sedang yang tidak dapat dijelaskan, tidak


berespons secara adkuat terhadap terapi standar
2. Diare persisten yang tidak dapat dijelaskan
3. Demam persisten yang tidak dapat dijelaskan (lebih
dari 37,5o C intermiten/konstan >1 bulan)
4. Kandidosis oral persisten (diluar saat 6-8 minggu
pertama kehidupan)
5. Oral hairy leukoplakia
6. Periodontitis/gingivitis ulseratif nekrotikans akut
7. TB kelenjar
8. TB paru
9. Pneumonia bacterial yg berat dan berulang
10. Penyakit paru ynag berhubungan dengan HIV yang
kronik termasuk bronkiektasis

IV 1. Malnutrisi
2. Pneumonia pneumosistis
3. Infeksi bacterial berat yg berulang
4. Infeksi herper simplex kronik
5. TB ekstrapulmonar
6. Sarcoma Kaposi
7. Kandodiasis esophagus
8. Toksoplasmosis susunan saraf pusat
9. Ensefalopati HIV
10. Infeksi sitomegalovirus
11. Kriptokokosis ekstrapulmonar termasuk meningitis
12. Mikosis endemic diseminata
13. Kriptosporidiosis kronik
14. Isosporiasis kronik
15. Infeksi mikrobakteria non-tuberkulosis diseminata
16. Kardiomiopati atau nefropati yg dihubungkan dengan
HIV yg simtomatik
17. Limfoma sel B non-Hodgkin atau limfoma serebral
18. Progressive multifocal leukoencephalopathy

Faktor resiko
HIV berada terutama dalam cairan tubuh manusia. Cairan yang
berpotensial mengandung HIV adalah darah, cairan sperma, cairan vagina dan air
susu ibu.
Penularan HIV dapat terjadi melalui berbagai cara, yaitu : kontak seksual,
kontak dengan darah atau sekret yang infeksius, ibu ke anak selama masa
kehamilan, persalinan dan pemberian ASI (Air Susu Ibu).

1. Seksual
Penularan melalui hubungan heteroseksual adalah yang paling dominan dari
semua cara penularan. Penularan melalui hubungan seksual dapat terjadi
selama senggama laki-laki dengan perempuan atau laki-laki dengan laki-laki.
Senggama berarti kontak seksual dengan penetrasi vaginal, anal (anus), oral
(mulut) antara dua individu. Resiko tertinggi adalah penetrasi vaginal atau anal
yang tak terlindung dari individu yang terinfeksi HIV.
2. Melalui transfusi darah atau produk darah yang sudah tercemar dengan virus
HIV.
3. Melalui jarum suntik atau alat kesehatan lain yang ditusukkan atau tertusuk ke
dalam tubuh yang terkontaminasi dengan virus HIV, seperti jarum tato atau
pada pengguna narkotik suntik secara bergantian. Bisa juga terjadi ketika
melakukan prosedur tindakan medik ataupun terjadi sebagai kecelakaan kerja
(tidak sengaja) bagi petugas kesehatan.
4. Melalui silet atau pisau, pencukur jenggot secara bergantian hendaknya
dihindarkan karena dapat menularkan virus HIV kecuali benda-benda tersebut
disterilkan sepenuhnya sebelum digunakan.
5. Melalui transplantasi organ pengidap HIV
6. Penularan dari ibu ke anak
Kebanyakan infeksi HIV pada anak didapat dari ibunya saat ia dikandung,
dilahirkan dan sesudah lahir melalui ASI.
7. Penularan HIV melalui pekerjaan: Pekerja kesehatan dan petugas laboratorium.

II. PATOFISIOLOGI

Etiologi &Patogenesis
Human Immunodeficiency Virus (HIV) dianggap sebagai virus penyebab
AIDS. Virus ini termaksuk dalam retrovirus anggota subfamili lentivirinae. Ciri
khas morfologi yang unik dari HIV adalah adanya nukleoid yang berbentuk
silindris dalam virion matur. Virus ini mengandung 3 gen yang dibutuhkan untuk
replikasi retrovirus yaitu gag, pol, env. Terdapat lebih dari 6 gen tambahan
pengatur ekspresi virus yang penting dalam patogenesis penyakit. Satu protein
replikasi fase awal yaitu protein Tat, berfungsi dalam transaktivasi dimana produk
gen virus terlibat dalam aktivasi transkripsional dari gen virus lainnya.
Transaktivasi pada HIV sangat efisien untuk menentukan virulensi dari infeksi
HIV. Protein Rev dibutuhkan untuk ekspresi protein struktural virus. Rev
membantu keluarnya transkrip virus yang terlepas dari nukleus. Protein Nef
menginduksi produksi khemokin oleh makrofag, yang dapat menginfeksi sel yang
lain.

Gambar. Struktur anatomi HIV


Gen HIV-ENV memberikan kode pada sebuah protein 160-kilodalton
(kD) yang kemudian membelah menjadi bagian 120-kD(eksternal) dan 41-kD
(transmembranosa). Keduanya merupakan glikosilat, glikoprotein 120 yang
berikatan dengan CD4 dan mempunyai peran yang sangat penting dalam
membantu perlekatan virus dangan sel target. Setelah virus masuk dalam tubuh
maka target utamanya adalah limfosit CD4 karena virus mempunyai afinitas
terhadap molekul permukaan CD4. Virus ini mempunyai kemampuan untuk
mentransfer informasi genetik mereka dari RNA ke DNA dengan menggunakan
enzim yang disebut reverse transcriptase. Limfosit CD4 berfungsi
mengkoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yang penting. Hilangnya fungsi
tersebut menyebabkan gangguan respon imun yang progresif.
Setelah infeksi primer, terdapat 4-11 hari masa antara infeksi mukosa dan
viremia permulaan yang dapat dideteksi selama 8-12 minggu. Selama masa ini,
virus tersebar luas ke seluruh tubuh dan mencapai organ limfoid. Pada tahap ini
telah terjadi penurunan jumlah sel-T CD4. Respon imun terhadap HIV terjadi 1
minggu sampai 3 bulan setelah infeksi, viremia plasma menurun, dan level sel
CD4 kembali meningkat namun tidak mampu menyingkirkan infeksi secara
sempurna. Masa laten klinis ini bisa berlangsung selama 10 tahun. Selama masa
ini akan terjadi replikasi virus yang meningkat. Diperkirakan sekitar 10 milyar
partikel HIV dihasilkan dan dihancurkan setiap harinya. Waktu paruh virus dalam
plasma adalah sekitar 6 jam, dan siklus hidup virus rata-rata 2,6 hari. Limfosit T-
CD4 yang terinfeksi memiliki waktu paruh 1,6 hari.
Karena cepatnya proliferasi virus ini dan angka kesalahan reverse
transcriptase HIV yang berikatan, diperkirakan bahwa setiap nukleotida dari
genom HIV mungkin bermutasi dalam basis harian. Akhirnya pasien akan
menderita gejala-gejala konstitusional dan penyakit klinis yang nyata seperti
infeksi oportunistik atau neoplasma. Level virus yang lebih tinggi dapat terdeteksi
dalam plasma selama tahap infeksi yang lebih lanjut. HIV yang dapat terdeteksi
dalam plasma selama tahap infeksi yang lebih lanjut dan lebih virulin daripada
yang ditemukan pada awal infeksi. Infeksi oportunistik dapat terjadi karena para
pengidap HIV terjadi penurunan daya tahan tubuh sampai pada tingkat yang
sangat rendah, sehingga beberapa jenis mikroorganisme dapat menyerang bagian-
bagian tubuh tertentu. Bahkan mikroorganisme yang selama ini komensal bisa jadi
ganas dan menimbulkan penyakit.

Gejala
Menurut KPA (2007) gejala klinis terdiri dari 2 gejala yaitu gejala mayor
(umum terjadi) dan gejala minor (tidak umum terjadi):
Gejala mayor:
a. Berat badan menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan

b. Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan

c. Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan

d. Penurunan kesadaran dan gangguan neurologis

e. Demensia/ HIV ensefalopati


Gejala minor:
a. Batuk menetap lebih dari 1 bulan

b. Dermatitis generalisata

c. Adanya herpes zoster multisegmental dan herpes zoster berulang

d. Kandidias orofaringeal

e. Herpes simpleks kronis progresif

f. Limfadenopati generalisata

g. Retinitis virus Sitomegalo

Menurut Mayo Foundation for Medical Education and Research


(MFMER) (2008), gejala klinis dari HIV/AIDS dibagi atas beberapa fase.
a. Fase awal
Pada awal infeksi, mungkin tidak akan ditemukan gejala dan tanda-tanda
infeksi. Tapi kadang-kadang ditemukan gejala mirip flu seperti demam, sakit
kepala, sakit tenggorokan, ruam dan pembengkakan kelenjar getah bening.
Walaupun tidak mempunyai gejala infeksi, penderita HIV/AIDS dapat
menularkan virus kepada orang lain.
b. Fase lanjut
Penderita akan tetap bebas dari gejala infeksi selama 8 atau 9 tahun atau
lebih. Tetapi seiring dengan perkembangan virus dan penghancuran sel imun
tubuh, penderita HIV/AIDS akan mulai memperlihatkan gejala yang kronis
seperti pembesaran kelenjar getah bening (sering merupakan gejala yang khas),
diare, berat badan menurun, demam, batuk dan pernafasan pendek.
c. Fase akhir
Selama fase akhir dari HIV, yang terjadi sekitar 10 tahun atau lebih
setelah terinfeksi, gejala yang lebih berat mulai timbul dan infeksi tersebut
akan berakhir pada penyakit yang disebut AIDS.

Terdapat resiko penularan melalui pekerjaaan yang kecil namun defenitif,


yaitu pekerja kesehatan, petugas laboratorium, dan orang lain yang bekerja
dengan spesimen/bahan terinfeksi HIV, terutama bila menggunakan benda tajam.
Tidak terdapat bukti yang meyakinkan bahwa air liur dapat menularkan infeksi
baik melalui ciuman maupun pajanan lain misalnya sewaktu bekerja pada pekerja
kesehatan. Selain itu air liur terdapat inhibitor terhadap aktivitas HIV.
Menurut WHO (1996), terdapat beberapa cara dimana HIV tidak dapat
ditularkan antara lain:
1. Kontak fisik
Orang yang berada dalam satu rumah dengan penderita HIV/AIDS, bernapas
dengan udara yang sama, bekerja maupun berada dalam suatu ruangan dengan
pasien tidak akan tertular. Bersalaman, berpelukan maupun mencium pipi,
tangan dan kening penderita HIV/AIDS tidak akan menyebabkan seseorang
tertular.
2. Memakai milik penderita
Menggunakan tempat duduk toilet, handuk, peralatan makan maupun peralatan
kerja penderita HIV/AIDS tidak akan menular.
3. Digigit nyamuk maupun serangga dan binatang lainnya.
4. Mendonorkan darah bagi orang yang sehat tidak dapat tertular HIV.

Manifestasi klinik
Perjalanan alamiah infeksi HIV-AIDS pada pasien yang tidak mendapat
pengobatan adalah khas. Hal ini merupakan kombinasi dari kompetisi antara
patogenitas virus dan imunopatogenitas yang berlangsung selama penyakit ini
yang dimulai saat infeksi primer yang berkembang sampai stadium lanjut, yang
bersifat kompleks dan bervariasi. Penting untuk dipahami bahwa mekanisme
pathogenesis HIV-AIDS adalah multifaktorial dan multifasik, serta berbeda pada
masing-masing stadium yang berbeda.

Replikasi virus yang sangat aktif pada beberapa minggu pertama infeksi
dan kerusakan yang cepat dari sel CD4 di sirkulasi perifer. Hal ini disebabkan
tidak adanya kontrol dari T cytotoxic terhadap sel-sel yang terinfeksi HIV. Di
samping itu, peranan imunitas alamiah yang mensekresi IFN tidak banyak
berfungsi secara in vivo. Konsekuensi klinis dari infeksi HIV meliputi suatu
spectrum yang dimulai dengan munculnya sindrom akut yang berkaitan dengan
suatu infeksi primer, diikuti oleh suatu masa tanpa gejala yang panjang dan
diakhiri oleh suatu stadium lanjut yang berat.

Diperkirakan sekitar 50-70% pasien mengalami suatu gejalagejala akut


3-6 minggu setelah infeksi primer. Gejala yang paling primer adalah demam dan
rash, serta limfadenopati selama berlangsungnya serokonversi HIV. Gambaran
klinis yang dapat ditemukan bisa bervariasi dari ringan sampai berat. yang
umumnya dibedakan dalam kelompok umum/konstitusional, sermatologik, dan
neurologik. Gejala-gejala konstitusional adalah demam, faringitis, limfadenopati,
sakit kepaIa/retroorbitaI, artraIgia/miaIgia, lethargy / maIaise anoreksia /
penurunan berat badan, nausea / vomitus / diare. Gejala gejala dermatologik bisa
berupa erythematous maculopapular rash dan mucocutaneus ulceration. Gejala-
gejala neurologik mungkin meningitis, encepalitis, neuropati perifer, dan
myelopathy.

Selama masa tanpa gejala (Iaten) yang panjang, peranan cytotoxic T cell
penting sedangkan antibodi terhadap HIV sering tidak protektif. Meskipun viral
load rendah, tetapi replikasi virus terus berlangsung di jaringan limfoid dan sel
CD4 mengalami kerusakan secara bertahap. Pada saat kontrol T cytotoxic dapat
dihindari oleh HIV karena sel CD4 tidak dapat sepenuhnya membantu T cytotoxic
maka viral load dalam plasma mulai meningkat dan diikuti dengan menurunnya
jumlah sel CD4. Saat ini mulailah muncul kembali gejala-gejala konstitusional.
Apabila sel CD4 jumlahnya <400/uL, pasien mengalami gejala-gejala
oportunistik seperti kandidiasis dan herpes zoster. Pada saat sel CD4<200/ul,
timbullah pneumonia oleh Pneumocystis jiroveci, yang merupakan tanda dari
AIDS. Pasien AIDS juga akan mengalami keganasan seperti limfoma sel Bdan
sarcoma Kaposi yang dipengaruhi munculnya oleh Epstein Barr virus (EBV) dan
Human Herpes Virus 8 (HHV8).

Diagnosis
Diagnosis adanya infeksi HIV ditegakkan dilaboratorium dengan
ditemukannya antibody yang khusus terhadap virus tersebut.
a. Untuk pemeriksaan pertama biasanya digunakan Rapid tes untuk elakukan uji
tapis. Saat ini tes yang cukup sensitive dan juga memiliki spesifitas yang
tinggi. Hasil yang positif akan diperiksa ulang dengan menggunakan tes yang
memiliki prinsip dasar tes yang berbeda untuk meminimalkan adanya hasil
positif palsu yaitu ELISA. Rapid Tes hasilnya bisa dilihat dalam waktu kurang
lebih 20 menit.
b. ELISA bereaksi terhadap adanya antbodi dalam serum dengan memperlihatkan
warna yang lebih jelas apabila terdeteksi jumlah virus yang lebih besar.
Biasanya hasil uji ELISA mungkin masih akan negative 6 sampai 12 minggu
setelah pasien terinfeksi. Karena hasil positif palsu dapat menimbulkan dampak
psikologis yang besar, maka hasil uji ELISA yang positif diulang dan apabila
keduanya positif maka dilakukan uji yang lebih spesifik yaitu Westtern Blot.
c. Western Blot merupakan elektroporesis gel poliakrilamid yang digunakan
untuk mendeteksi rantai protein yang spesifik terhadap DNA. Jika tidak ada
rantai protein yang ditemukan berarti tes negative. Sedangkan bila hamper atau
semua rantai protein ditemukan berarti western blot positif. Tes ini diulangi
lagi setelah 2 minggu dengan sampel yang sama. Jika western blot tetap tidak
bisa disimpulkan maka tes western blot diulangi lagi setelah 6 bulan. Jika tes
tetap negative maka pasien dianggap HIV negative.
d. PCR untuk DNA dan RNA sangat sensitive dan spesifik untuk infeksi HIV.ntes
ini sering digunakan bila tes yang lain tidak jelas.

Komplikasi
Tuberkulosis (TBC)
Pneumocystis jiroveci (dahulu carinii) pneumonia (PCP)
Lymphoid interstitial pneumonitis (LIP)
Infeksi jamur (kandidiasis, meningitis, dll)
Sarkoma Kaposi

III. SASARAN TERAPI


Human Immunodeficiency Virus/HIV
Limfosit CD4

IV. TUJUAN TERAPI


Memperpanjang masa hidup penderita
Menahan perkembangan penyakit
Menurunkan komplikasi akibat HIV
Mengurangi laju penularan HIV di masyarakat
Memulihkan dan/atau memelihara fungsi imunologis (stabilisasi/
peningkatan sel CD4)
Menekan replikasi virus secara maksimal dan secara terus menerus
Menjaga serta memperbaiki kualitas hidup penderita

V. STRATEGI TERAPI
Melakukan pengobatan farmakologi dengan ARV dan nonfarmakologi.

Tatalaksana terapi
Nonfarmakologi
Imunisasi/vaksin (Imunisasi Aktif dan Pasif)
Nutrisi
Fototerapi
Jika timbul luka di mulut, bersihkan mulut minimal 4 kali sehari
dengan menggunakan kain bersih yang digulung seperti sumbu dan
dibasahi dengan air bersih atau larutan garam.

Farmakologi
Bayi umur < 18 bulan yang didiagnosis terinfeksi HIV dengan cara
presumtif harus SEGERA mendapat terapi ARV. Segera setelah diagnosis
konfirmasi dapat dilakukan (mendapat kesempatan pemeriksaan PCR
DNA sebelum umur 18 bulan atau menunggu sampai umur 18 bulan untuk
dilakukan pemeriksaan antibodi HIV ulang); maka dilakukan penilaian
ulang apakah pasien PASTI terdiagnosis HIV atau tidak. Bila hasilnya
negatif maka pemberian ARV dihentikan.

Guideline
Pada regimen diatas dilakukan Indikasi pemberian Highly Active Antiretroviral
Therapy (HAART). Karena ada indikasi pemberian obat antiretrovirus maka harus
diberikan highly active antiretroviral therapy. Obat yang disarankan adalah 2
nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NRTIs) dan 1 protease :
(Tatalaksana HIV pada bayi dan anak, 2009)
VI. PENYELESAIAN KASUS

Kasus :
Bayi YY 1 bulan, 4 kg, didiagnosa menderita HIV karena terinfeksi melalui
ibunya yang juga menderita HIV. Hasil pemeriksaan bayi YY diketahui CD4 turun
sampai 217 sel/mm3, dan viral loadnya 510.000 copies/mL. tubuh bayi berwarna
kuning sejak dia lahir dan belum mendapat terapi. Setiap malam selalu menangis
dan bayi YY mendapat susu formula, hanya sesekali mendapat ASI dari ibunya.
Keluhan lain : thrush dimulut +, hiperbilirubuin, demam.

ANALISIS KASUS :
Penyelesaian kasus dengan menggunakan metode SOAP (Subjective,
Objective, Assesment, dan Plan) pada kasus ini adalah sebagai berikut:

SUBJEKTIF
Nama : YY
Usia : 1 bulan
Jenis kelamin :-
Keluhan : setiap malam selalu menangis
Riwayat keliuarga : ibu menderita HIV

OBJEKTIF
Pemeriksaan Data pasien Nilai normal Keterangan

CD4 217 sel/mm3 800-1500 sel/mm3 Menurun

Viral load 510.000 copies/ml 50-70 Meningkat

Bb 4 kg 3,7-4 kg normal

Suhu >38 36-37 demam

ASSESMENT
Berdasarkan keluhan dan berdasarkan data laboratorium juga didiagnosis
mengalami infeksi HIV yang didapat secara prenatal dari ibunya.

PLANNING
Melakukan penatalaksanaan secara farmakologi dengan ARV juga
profilaksik dengan kotrimoksazole dan non farmakologi
Tatalaksana terapi
Nonfarmakologi
Imunisasi/vaksin (Imunisasi Aktif dan Pasif)
Nutrisi
Fototerapi
Jika timbul luka di mulut, bersihkan mulut minimal 4 kali sehari
dengan menggunakan kain bersih yang digulung seperti sumbu dan
dibasahi dengan air bersih atau larutan garam.

Farmakologi
Bayi umur < 18 bulan yang didiagnosis terinfeksi HIV dengan cara
presumtif harus SEGERA mendapat terapi ARV. Segera setelah diagnosis
konfirmasi dapat dilakukan (mendapat kesempatan pemeriksaan PCR
DNA sebelum umur 18 bulan atau menunggu sampai umur 18 bulan untuk
dilakukan pemeriksaan antibodi HIV ulang); maka dilakukan penilaian
ulang apakah pasien PASTI terdiagnosis HIV atau tidak. Bila hasilnya
negatif maka pemberian ARV dihentikan.

Penggunaan Obat Rasional


Evaluasi Obat Terpilih :
Kotrimoksazol
Golongan obat : antibiotik
Indikasi : untuk pengobatan infeksi yag disebabkan bakteri:
infeksi saluran urin; infeksi saluran nafas bawah,sinusistis akut; infeksi
kulit dll.
Dosis : 15 to 20 mg/kg/hari 1 x sehari pada malam hari
Interaksi obat :-
Efek samping : gangguan pencernaan (mual, muntah, anorexia),
reaksi dermatologi (rash atau urticaria)
Alasan pemilihan : sebagai profilaksis untuk mencegah PCP
Harga : Rp. 44.000 / 100 biji

ABC/ ABACAVIR
Golongan obat : Nucleoside analogue reverse transcriptase
inhibitors (NRTI)
Indikasi : Antiretroviral
Dosis : 32 mg 2 x sehari maksimal 300 mg
Interaksi obat :-
Efek samping : hipersensitifitas
Alasan pemilihan : karena efek samping yang lebih kecil
dibandingkan dengan yang lain.
Harga :-

3TC/LAMIVUDINE
Golongan obat : Nucleoside analogue reverse transcriptase
inhibitors (NRTI)
Indikasi : Antiretroviral
Dosis : 16 mg, 2x/hari
Interaksi obat :-
Efek samping : Sakit kepala, nyeri perut, pankreatitis.
Alasan pemilihan : golongan NRTI dan mudah ditoleransi
Harga : (EPIVIR) Rp.2.500/tab

NFV / Nelvinavir
Golongan obat : Protease Inhibitor
Indikasi : Antiretroviral
Dosis : 80-1200 mg 3x sehari
Interaksi obat :-
Efek samping : Diare, muntah, ruam.
Alasan pemilihan : pemilihan dari golongan PI dan dimana es lebih
kecil
Harga :-

VII. KOMUNIKASI INFORMASI EDUKASI

Memberikan informasi kepada pasien tentang obat yang harus diminum


seperti nama obat, dosis, aturan pakai dan cara penggunaan obat.
Memberikan informasi kepada pasien mengenai efek samping yang
mungkin bisa muncul selama terapi
Menyarankan/membantu pasien untuk mematuhi terapi non farmakologi
guna menunjang keberhasilan terapi
Memberi dukungan terhadap keluarga, terutama ibu untuk membantu
dalam mengatasi masalah psikologis yang sangat komplek dan kebutuhan
sosial
Bimbingan dan konseling terus menerus perlu diberikan bagi anggota
keluarga yang lain agar mereka memahami penyakit HIV dan mendukung
keluarga yang mengasuh anak HIV.
Umumnya orangtua dan anak lain dalam keluarga inti tersebut juga
terinfeksi HIV, maka penting bagi manajer program untuk memfasilitasi
akses terhadap terapi untuk anggota keluarga lainnya. Kepatuhan berobat
umumnya didapat dengan pendekatan terapi keluarga.
Nutrisi : Anak harus makan makanan yang kaya energi dan meningkatkan
asupan energi mereka. Orang dewasa dan anak dengan infeksi HIV harus
dianjurkan untuk makan berbagai variasi makanan yang menjamin asupan
mikronutrien.
Jika ibu menentukan untuk memberi susu formula, beri konseling pada ibu
tentang cara pemberian yang benar dan peragakan cara penyiapan yang
aman.

VIII. MONITORING DAN EVALUASI

1. Monitoring efek samping yang dapat muncul selama terapi


2. Monitoring tanda-tanda vital
3. Monitoring BB dan TB sesuai dengan pertumbuhan, karenanya
penghitungan dosis harus dilakukan setiap kontrol. Dosis yang terlalu
rendah akan berpotensi menimbulkan resistensi.
4. Monitoring obat lain seperti profilaksis kotrimoksazol setiap kunjungan.
Juga harus dipantau kemungkinan adanya interaksi dengan obat ART
5. Obat yang diminum bersamaan harus dievaluasi setiap kali kunjungan;
seperti apakah kotrimoksazol diminum (pada anak yang terindikasi) atau
ada obat lain yang potensial berinteraksi dengan ARV
6. Monitoring Kepatuhan minum obat ditanyakan dengan cara menanyakan
dosis yang terlewat dan waktu anak minum obat. Yang ideal adalah
menghitung sisa tablet atau puyer.
7. Pemeriksaan kimia darah lengkap meliputi enzim-enzim hati, fungsi ginjal,
glukosa, profil lipid, amilase, lipase dan elektrolit serum.
8. Pemantauan CD4 dianjurkan dilakukan pada saat awal diagnosis dan setiap
6 bulan sesudahnya. Bila pemeriksaan CD4 tidak tersedia, gunakan
parameter klinis untuk pemantauan.
9. Monitoring Pertumbuhan, perkembangan dan gizi sebaiknya dipantau setiap
bulan
10. Pemantauan laboratorium untuk toksisitas sebaiknya dituntun oleh gejala

IX. PENCEGAHAN

Pencegahan ditujukan kepada ibu-ibu terinfeksi HIV.


Melakukan konseling dan tes laboratorium pada ibu hamil yang
mengunjungi klinik antenatal akan dapat menjaring ibu-ibu yang terinfeksi
HIV, sehingga usaha pencegahan dapat dilakukan sedini mungkin. Dengan
demikian, penularan dari ibu ke anak juga dapat dicegah
Pada ibu terinfeksi HIV yang hamil harus dilakukan pencegahan untuk
mengurangi penularan dari ibu ke janin atau bayi. Beberapa bulan sebelum
melahirkan dan sesaat sebelum melahirkan ibu harus diberikan profilaksis
antiretrovirus.
Cara persalinan harus direncanakan dan sebaiknya dengan cara bedah
saesar karena persalinan pervaginam mempunyai risiko penularan dua kali
lipat lebih tinggi dibanding bedah saesar.
Dalam perawatan kehamilan, cegah terjadinya pecah ketuban dini, karena
dapat mempermudah terjadinya penularan.
Untuk mencegah penularan melalui ASI maka ibu dilarang memberikan
ASI kepada bayinya, yaitu mengganti dengan susu formula.
Cara lain adalah dengan memanaskan air susu ibu yang akan diberikan
kepada bayi. Dengan pemanasan diperkirakan HIV akan mengalami
denaturasi, sehingga bila tertelan virus tidak dapat berkembang di dalam
tubuh bayi
Program pencegahan dan pengobatan HIV/AIDS dibuat dan dilaksanakan
oleh seluruh keluarga penderita dan bekerjasama dengan seluruh petugas
kesehatan yang terlibat.

Pecegahan penyakit infeksi yang lain :


Anggota keluarga yang merawat memegang peranan penting dalam pencegahan
penyakit oportunistik pada penderita. Untuk mengurangi penularan infeksi
oportunistik kepada penderita, maka disarankan kepada keluarga yang merawat
untuk tidak mengkonsumsi daging mentah, makanan laut yang tidak dimasak,
susu yang tidak dipasteurisasi, dan semua makanan yang ditangani dengan tidak
bersih agar tidak terjadi infeksi saluran cerna. Juga disarankan agar tidak
memelihara hewan yang dapat menularkan penyakit, seperti anjing, kucing, dan
kura-kura, untuk mengurangi terjadinya penularan penyakit toksoplasmosis.
Kepada penderita juga disarankan untuk tidak berenang di tempat yang kotor agar
tidak tertular penyakit yang berasal dari air tempat berenang seperti
Cryptosporidium atau Giardia. Juga disarankan untuk hidup sehat dengan selalu
mencuci tangan.

X. PERTANYAAN DAN JAWABAN SAAT DISKUSI

Dewi Laraswati
Pertanyaan : bagaimana dosis yang diberikan pada bayi tersebut, sesuai
atau tidak ?
Jawaban : pada dosis ini diberikan dengan penyesuaian umur pada
bayi, dan juga berat badan. Yang dimana disesuaikan berdasarkan dengan
referensi yang digunakan.

Nur Itchiani Harlin


Pertanyaan : Bagaiamana cara minum obatnya ?
Jawaban : Cara minumnya sama seperti biasa untuk minum obat
pada bayi, yaitu dengan penggunaan oral (puter yang
dilarutkan/sirup/dcampur dengan makanan).
Irfan
Pertanyaan : apa saja vaksin yang harus diberikan ? bagaiaman
penilaian CD4 ?
Jawaban : vaksin yang diberikan sama seperti anak pada umumnya,
untuk menghindari infeksi oportunistik yang lain. Untuk cara penilaian
CD4 sama seperti pada orang dewasa namun karena pasien masih bayi,
secara umum penilaian HIV bisa secara presumtif.

XI. KESIMPULAN

Berdasarkan kasus diatas diketahui bahwa bayi YY mengalami infeksi HIV


yang tertular melalui kehamilan yang dimana ibunya menderita HIV positif.
Untuk pengobatannya digunakan ART yaitu 2 NRTI + 1 PI dan diberikan
kotrimoksazol utnuk mencegah infeksi oportunistik terutama PCP yang biasanya
paling sering menyerang pada bayi yang menderita HIV.

XII. DAFTAR PUSTAKA

Dipiro,. Pharmacotherapy Handbook Seventh Edition, The University of


Mississippi Oxford, Mississippi ISBN: 978-0-07-164326-9.

Elin Y.S, Retnosari A, Joseph I Sigit, I Ketut Adnyana, A. Adji P.S, Kusnandar.,
Iso farmakoterapi Buku 1, PT. ISFI Penerbitan, Jakarta, Indonesia, 2008.
Kemenkes, 2014, Pedoman Penerapan Terapi HIV Pada Anak, Kementrian
Kesehatan RI
Pudjiadi, H,. Hegar, B., Handryastuti,. Dkk. 2011, Pedoman Pelayanan Medis ,
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI)

Tim penyusun. 2010. Informasi Spesialite Obat, volume 45. Ikatan Sarjana
Farmasi Indonesia. Jakarta
World Health Organization, 2009,. BUKU SAKU : Pelayanan Kesehatan Anak di
Rumah Sakit, Department of Child and Adolescent Health and
Development (CAH), WHO

Anda mungkin juga menyukai