DISUSUN OLEH
Hariyanti (18123446A)
DOSEN PENGAMPU
FAKULTAS FARMASI
SURAKARTA
2015
I. PENDAHULUAN
Definisi
Human Imunodeficiency Virus (HIV) adalah sejenis retrovirus yang
termasuk dalam family lintavirus, retrovirus memiliki kemampuan mrnggunakan
RNA nya dan DNA penjamu untuk membentuk virus DNA dan dikenali selama
masa inkubasi yang panjang. Seperti retrovirus lainnya HIV menginfeksi dalam
proses yang panjang (klinik laten), dan utamanya penyebab munculnya tanda dan
gejala AIDS. HIV menyebabkan beberapa kerusakan sistem imun dan
menghancurkannya. Hal ini terjadi dengan menggunakan DNA dari CD4+ dan
limfosit untuk mereplikasikan diri. Dalam proses itu, virus tersebut
menghancurkan CD4+ dan limfosit.
Epidemiologi
Kasus pertama AIDS di Indonesia dilaporkan dari Bali pada bulan April
tahun 1987. Penderitanya adalah seorang wisatawan Belanda yang meninggal di
RSUP Sanglah akibat infeksi sekunder pada paru-parunya. Sampai dengan akhir
tahun 1990, peningkatan kasus HIV/AIDS menjadi dua kali lipat. Sejak
pertengahan tahun 1990 mulai terlihat peningkatan tajam akibat penggunaan
narkotika suntik.
Fakta yang mengkhawatirka adalah pengguna narkotika ini sebagian
besar adalah remaja dan dewasa muda yang merupakan kelompok usia produktif.
Pada akhir Maret 2005 tercatat 6789 kasus HIV/AIDS yang dilaporkan. Sampai
akhir Desember 2008, jumlah kasus sudah mencapai 16.110 kasus AIDS dan
6.554 kasus HIV. Sedangkan jumlah kematian akibat AIDS yang tercatat sudah
mencapai 3.362 orang. Dari seluruh penderita AIDS tersebut, 12.061 penderita
adalah laki-laki dengan penyebaran tertinggi melalui hubungan seks.
Klasifikasi1
Klasifikasi Stadium Klinis WHO untuk Bayi dan Anak yang Terinfeksi HIV
Stadium Gambaran Klinis
I 1. Asimptomatik
2. Limfadenopati generalisata persisten
II 1. Hepatosplenomegali persisten yang tidak dapat
dijelaskan
2. Erupsi pruritik popular
3. Infeksi virus wart luas
4. Angular cheilitis
5. Moluskum kontagiosum luas
6. Ulserasi oral berulang
7. Pembesaran kelenjar parotis persisten yang tidak dapat
dijelaskan
8. Eritema gingival lineal
9. Herpes zoster
10. Infeksi saluran napas atas kronik/berulang
11. Infeksi kuku oleh fungus
IV 1. Malnutrisi
2. Pneumonia pneumosistis
3. Infeksi bacterial berat yg berulang
4. Infeksi herper simplex kronik
5. TB ekstrapulmonar
6. Sarcoma Kaposi
7. Kandodiasis esophagus
8. Toksoplasmosis susunan saraf pusat
9. Ensefalopati HIV
10. Infeksi sitomegalovirus
11. Kriptokokosis ekstrapulmonar termasuk meningitis
12. Mikosis endemic diseminata
13. Kriptosporidiosis kronik
14. Isosporiasis kronik
15. Infeksi mikrobakteria non-tuberkulosis diseminata
16. Kardiomiopati atau nefropati yg dihubungkan dengan
HIV yg simtomatik
17. Limfoma sel B non-Hodgkin atau limfoma serebral
18. Progressive multifocal leukoencephalopathy
Faktor resiko
HIV berada terutama dalam cairan tubuh manusia. Cairan yang
berpotensial mengandung HIV adalah darah, cairan sperma, cairan vagina dan air
susu ibu.
Penularan HIV dapat terjadi melalui berbagai cara, yaitu : kontak seksual,
kontak dengan darah atau sekret yang infeksius, ibu ke anak selama masa
kehamilan, persalinan dan pemberian ASI (Air Susu Ibu).
1. Seksual
Penularan melalui hubungan heteroseksual adalah yang paling dominan dari
semua cara penularan. Penularan melalui hubungan seksual dapat terjadi
selama senggama laki-laki dengan perempuan atau laki-laki dengan laki-laki.
Senggama berarti kontak seksual dengan penetrasi vaginal, anal (anus), oral
(mulut) antara dua individu. Resiko tertinggi adalah penetrasi vaginal atau anal
yang tak terlindung dari individu yang terinfeksi HIV.
2. Melalui transfusi darah atau produk darah yang sudah tercemar dengan virus
HIV.
3. Melalui jarum suntik atau alat kesehatan lain yang ditusukkan atau tertusuk ke
dalam tubuh yang terkontaminasi dengan virus HIV, seperti jarum tato atau
pada pengguna narkotik suntik secara bergantian. Bisa juga terjadi ketika
melakukan prosedur tindakan medik ataupun terjadi sebagai kecelakaan kerja
(tidak sengaja) bagi petugas kesehatan.
4. Melalui silet atau pisau, pencukur jenggot secara bergantian hendaknya
dihindarkan karena dapat menularkan virus HIV kecuali benda-benda tersebut
disterilkan sepenuhnya sebelum digunakan.
5. Melalui transplantasi organ pengidap HIV
6. Penularan dari ibu ke anak
Kebanyakan infeksi HIV pada anak didapat dari ibunya saat ia dikandung,
dilahirkan dan sesudah lahir melalui ASI.
7. Penularan HIV melalui pekerjaan: Pekerja kesehatan dan petugas laboratorium.
II. PATOFISIOLOGI
Etiologi &Patogenesis
Human Immunodeficiency Virus (HIV) dianggap sebagai virus penyebab
AIDS. Virus ini termaksuk dalam retrovirus anggota subfamili lentivirinae. Ciri
khas morfologi yang unik dari HIV adalah adanya nukleoid yang berbentuk
silindris dalam virion matur. Virus ini mengandung 3 gen yang dibutuhkan untuk
replikasi retrovirus yaitu gag, pol, env. Terdapat lebih dari 6 gen tambahan
pengatur ekspresi virus yang penting dalam patogenesis penyakit. Satu protein
replikasi fase awal yaitu protein Tat, berfungsi dalam transaktivasi dimana produk
gen virus terlibat dalam aktivasi transkripsional dari gen virus lainnya.
Transaktivasi pada HIV sangat efisien untuk menentukan virulensi dari infeksi
HIV. Protein Rev dibutuhkan untuk ekspresi protein struktural virus. Rev
membantu keluarnya transkrip virus yang terlepas dari nukleus. Protein Nef
menginduksi produksi khemokin oleh makrofag, yang dapat menginfeksi sel yang
lain.
Gejala
Menurut KPA (2007) gejala klinis terdiri dari 2 gejala yaitu gejala mayor
(umum terjadi) dan gejala minor (tidak umum terjadi):
Gejala mayor:
a. Berat badan menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan
b. Dermatitis generalisata
d. Kandidias orofaringeal
f. Limfadenopati generalisata
Manifestasi klinik
Perjalanan alamiah infeksi HIV-AIDS pada pasien yang tidak mendapat
pengobatan adalah khas. Hal ini merupakan kombinasi dari kompetisi antara
patogenitas virus dan imunopatogenitas yang berlangsung selama penyakit ini
yang dimulai saat infeksi primer yang berkembang sampai stadium lanjut, yang
bersifat kompleks dan bervariasi. Penting untuk dipahami bahwa mekanisme
pathogenesis HIV-AIDS adalah multifaktorial dan multifasik, serta berbeda pada
masing-masing stadium yang berbeda.
Replikasi virus yang sangat aktif pada beberapa minggu pertama infeksi
dan kerusakan yang cepat dari sel CD4 di sirkulasi perifer. Hal ini disebabkan
tidak adanya kontrol dari T cytotoxic terhadap sel-sel yang terinfeksi HIV. Di
samping itu, peranan imunitas alamiah yang mensekresi IFN tidak banyak
berfungsi secara in vivo. Konsekuensi klinis dari infeksi HIV meliputi suatu
spectrum yang dimulai dengan munculnya sindrom akut yang berkaitan dengan
suatu infeksi primer, diikuti oleh suatu masa tanpa gejala yang panjang dan
diakhiri oleh suatu stadium lanjut yang berat.
Selama masa tanpa gejala (Iaten) yang panjang, peranan cytotoxic T cell
penting sedangkan antibodi terhadap HIV sering tidak protektif. Meskipun viral
load rendah, tetapi replikasi virus terus berlangsung di jaringan limfoid dan sel
CD4 mengalami kerusakan secara bertahap. Pada saat kontrol T cytotoxic dapat
dihindari oleh HIV karena sel CD4 tidak dapat sepenuhnya membantu T cytotoxic
maka viral load dalam plasma mulai meningkat dan diikuti dengan menurunnya
jumlah sel CD4. Saat ini mulailah muncul kembali gejala-gejala konstitusional.
Apabila sel CD4 jumlahnya <400/uL, pasien mengalami gejala-gejala
oportunistik seperti kandidiasis dan herpes zoster. Pada saat sel CD4<200/ul,
timbullah pneumonia oleh Pneumocystis jiroveci, yang merupakan tanda dari
AIDS. Pasien AIDS juga akan mengalami keganasan seperti limfoma sel Bdan
sarcoma Kaposi yang dipengaruhi munculnya oleh Epstein Barr virus (EBV) dan
Human Herpes Virus 8 (HHV8).
Diagnosis
Diagnosis adanya infeksi HIV ditegakkan dilaboratorium dengan
ditemukannya antibody yang khusus terhadap virus tersebut.
a. Untuk pemeriksaan pertama biasanya digunakan Rapid tes untuk elakukan uji
tapis. Saat ini tes yang cukup sensitive dan juga memiliki spesifitas yang
tinggi. Hasil yang positif akan diperiksa ulang dengan menggunakan tes yang
memiliki prinsip dasar tes yang berbeda untuk meminimalkan adanya hasil
positif palsu yaitu ELISA. Rapid Tes hasilnya bisa dilihat dalam waktu kurang
lebih 20 menit.
b. ELISA bereaksi terhadap adanya antbodi dalam serum dengan memperlihatkan
warna yang lebih jelas apabila terdeteksi jumlah virus yang lebih besar.
Biasanya hasil uji ELISA mungkin masih akan negative 6 sampai 12 minggu
setelah pasien terinfeksi. Karena hasil positif palsu dapat menimbulkan dampak
psikologis yang besar, maka hasil uji ELISA yang positif diulang dan apabila
keduanya positif maka dilakukan uji yang lebih spesifik yaitu Westtern Blot.
c. Western Blot merupakan elektroporesis gel poliakrilamid yang digunakan
untuk mendeteksi rantai protein yang spesifik terhadap DNA. Jika tidak ada
rantai protein yang ditemukan berarti tes negative. Sedangkan bila hamper atau
semua rantai protein ditemukan berarti western blot positif. Tes ini diulangi
lagi setelah 2 minggu dengan sampel yang sama. Jika western blot tetap tidak
bisa disimpulkan maka tes western blot diulangi lagi setelah 6 bulan. Jika tes
tetap negative maka pasien dianggap HIV negative.
d. PCR untuk DNA dan RNA sangat sensitive dan spesifik untuk infeksi HIV.ntes
ini sering digunakan bila tes yang lain tidak jelas.
Komplikasi
Tuberkulosis (TBC)
Pneumocystis jiroveci (dahulu carinii) pneumonia (PCP)
Lymphoid interstitial pneumonitis (LIP)
Infeksi jamur (kandidiasis, meningitis, dll)
Sarkoma Kaposi
V. STRATEGI TERAPI
Melakukan pengobatan farmakologi dengan ARV dan nonfarmakologi.
Tatalaksana terapi
Nonfarmakologi
Imunisasi/vaksin (Imunisasi Aktif dan Pasif)
Nutrisi
Fototerapi
Jika timbul luka di mulut, bersihkan mulut minimal 4 kali sehari
dengan menggunakan kain bersih yang digulung seperti sumbu dan
dibasahi dengan air bersih atau larutan garam.
Farmakologi
Bayi umur < 18 bulan yang didiagnosis terinfeksi HIV dengan cara
presumtif harus SEGERA mendapat terapi ARV. Segera setelah diagnosis
konfirmasi dapat dilakukan (mendapat kesempatan pemeriksaan PCR
DNA sebelum umur 18 bulan atau menunggu sampai umur 18 bulan untuk
dilakukan pemeriksaan antibodi HIV ulang); maka dilakukan penilaian
ulang apakah pasien PASTI terdiagnosis HIV atau tidak. Bila hasilnya
negatif maka pemberian ARV dihentikan.
Guideline
Pada regimen diatas dilakukan Indikasi pemberian Highly Active Antiretroviral
Therapy (HAART). Karena ada indikasi pemberian obat antiretrovirus maka harus
diberikan highly active antiretroviral therapy. Obat yang disarankan adalah 2
nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NRTIs) dan 1 protease :
(Tatalaksana HIV pada bayi dan anak, 2009)
VI. PENYELESAIAN KASUS
Kasus :
Bayi YY 1 bulan, 4 kg, didiagnosa menderita HIV karena terinfeksi melalui
ibunya yang juga menderita HIV. Hasil pemeriksaan bayi YY diketahui CD4 turun
sampai 217 sel/mm3, dan viral loadnya 510.000 copies/mL. tubuh bayi berwarna
kuning sejak dia lahir dan belum mendapat terapi. Setiap malam selalu menangis
dan bayi YY mendapat susu formula, hanya sesekali mendapat ASI dari ibunya.
Keluhan lain : thrush dimulut +, hiperbilirubuin, demam.
ANALISIS KASUS :
Penyelesaian kasus dengan menggunakan metode SOAP (Subjective,
Objective, Assesment, dan Plan) pada kasus ini adalah sebagai berikut:
SUBJEKTIF
Nama : YY
Usia : 1 bulan
Jenis kelamin :-
Keluhan : setiap malam selalu menangis
Riwayat keliuarga : ibu menderita HIV
OBJEKTIF
Pemeriksaan Data pasien Nilai normal Keterangan
Bb 4 kg 3,7-4 kg normal
ASSESMENT
Berdasarkan keluhan dan berdasarkan data laboratorium juga didiagnosis
mengalami infeksi HIV yang didapat secara prenatal dari ibunya.
PLANNING
Melakukan penatalaksanaan secara farmakologi dengan ARV juga
profilaksik dengan kotrimoksazole dan non farmakologi
Tatalaksana terapi
Nonfarmakologi
Imunisasi/vaksin (Imunisasi Aktif dan Pasif)
Nutrisi
Fototerapi
Jika timbul luka di mulut, bersihkan mulut minimal 4 kali sehari
dengan menggunakan kain bersih yang digulung seperti sumbu dan
dibasahi dengan air bersih atau larutan garam.
Farmakologi
Bayi umur < 18 bulan yang didiagnosis terinfeksi HIV dengan cara
presumtif harus SEGERA mendapat terapi ARV. Segera setelah diagnosis
konfirmasi dapat dilakukan (mendapat kesempatan pemeriksaan PCR
DNA sebelum umur 18 bulan atau menunggu sampai umur 18 bulan untuk
dilakukan pemeriksaan antibodi HIV ulang); maka dilakukan penilaian
ulang apakah pasien PASTI terdiagnosis HIV atau tidak. Bila hasilnya
negatif maka pemberian ARV dihentikan.
ABC/ ABACAVIR
Golongan obat : Nucleoside analogue reverse transcriptase
inhibitors (NRTI)
Indikasi : Antiretroviral
Dosis : 32 mg 2 x sehari maksimal 300 mg
Interaksi obat :-
Efek samping : hipersensitifitas
Alasan pemilihan : karena efek samping yang lebih kecil
dibandingkan dengan yang lain.
Harga :-
3TC/LAMIVUDINE
Golongan obat : Nucleoside analogue reverse transcriptase
inhibitors (NRTI)
Indikasi : Antiretroviral
Dosis : 16 mg, 2x/hari
Interaksi obat :-
Efek samping : Sakit kepala, nyeri perut, pankreatitis.
Alasan pemilihan : golongan NRTI dan mudah ditoleransi
Harga : (EPIVIR) Rp.2.500/tab
NFV / Nelvinavir
Golongan obat : Protease Inhibitor
Indikasi : Antiretroviral
Dosis : 80-1200 mg 3x sehari
Interaksi obat :-
Efek samping : Diare, muntah, ruam.
Alasan pemilihan : pemilihan dari golongan PI dan dimana es lebih
kecil
Harga :-
IX. PENCEGAHAN
Dewi Laraswati
Pertanyaan : bagaimana dosis yang diberikan pada bayi tersebut, sesuai
atau tidak ?
Jawaban : pada dosis ini diberikan dengan penyesuaian umur pada
bayi, dan juga berat badan. Yang dimana disesuaikan berdasarkan dengan
referensi yang digunakan.
XI. KESIMPULAN
Elin Y.S, Retnosari A, Joseph I Sigit, I Ketut Adnyana, A. Adji P.S, Kusnandar.,
Iso farmakoterapi Buku 1, PT. ISFI Penerbitan, Jakarta, Indonesia, 2008.
Kemenkes, 2014, Pedoman Penerapan Terapi HIV Pada Anak, Kementrian
Kesehatan RI
Pudjiadi, H,. Hegar, B., Handryastuti,. Dkk. 2011, Pedoman Pelayanan Medis ,
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI)
Tim penyusun. 2010. Informasi Spesialite Obat, volume 45. Ikatan Sarjana
Farmasi Indonesia. Jakarta
World Health Organization, 2009,. BUKU SAKU : Pelayanan Kesehatan Anak di
Rumah Sakit, Department of Child and Adolescent Health and
Development (CAH), WHO