Anda di halaman 1dari 20

TUGAS PRAKTIKUM ORAL MEDICINE

JOURNAL READING

MANIFESTASI ORAL PALING UMUM PADA PASIEN ANAK POSITIF


HIV DAN EFEK TERAPI ANTIRETROVIRAL YANG SANGAT AKTIF

Oleh :
Fadhilla Rusmaputeri (141611101008)
Sepma Viraticha (141611101084)
Grace Elissa Arianto (181611101001)
Nawang Lintang (181611101003)

Pembimbing :
drg. Ayu Mashartini Prihanti, Sp.PM
Praktikum Putaran I
Semester Ganjil Tahun Ajaran 2018/2019

BAGIAN ILMU PENYAKIT MULUT


FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS JEMBER
2018
BAB 1
PENDAHULUAN

Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah penyakit sistemik


yang disebabkan oleh Human Immodeodeficiency Virus (HIV), yang
mempengaruhi sistem kekebalan individu dan membuatnya lebih rentan terhadap
penyakit lain yang berasal dari sistemik, seperti lesi oral. Kasus AIDS pertama
dilaporkan pada pertengahan tahun 1980an dan penularan heteroseksualnya
makin berkembang dari waktu ke waktu, mempengaruhi banyak wanita pada usia
melahirkan mampu menularkan virus HIV ke anak mereka. Penularan vertikal,
dari ibu ke anak ini, dianggap sebagai faktor utama meningkatnya prevalensi
penyakit ini pada pasien anak yang dapat terjadi pula pada masa kehamilan,
persalinan, ataupun menyusui.
Infeksi HIV saat ini mempengaruhi lebih dari 2 juta anak di bawah usia 15
tahun di seluruh dunia. Identifikasi awal manifestasi oral, yang biasanya
merupakan tanda pertama dari infeksi ini atau perkembangannya pada anak-anak,
dapat membantu dalam memilih terapi yang tepat dan mengurangi morbiditasnya.
Pasien immunosupressed lebih rentan terhadap infeksi oportunistik,
terutama yang mempengaruhi rongga mulut, seperti oral candidiasis. Masalah ini
menjadi lebih buruk pada pasien anak yang positif HIV karena mereka
menunjukkan sistem imun immature yang membuat mereka lebih rentan terhadap
immunosupression parah dan perkembangan penyakit yang lebih cepat.
Stadium Klinis HIV menurut WHO :

A. Stadium 1 Asimptomatik

1. Tidak ada penurunan berat badan

2. Tidak ada gejala atau hanya limfadenopati generalisata


persisten

B. Stadium 2 Sakit ringan


1. Penurunan BB 5-10%

2. ISPA berulang, misalnya sinusitis atau otitis

3. Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir

4. Luka di sekitar bibir (keilitis angularis)

5. Ulkus mulut berulang

6. Ruam kulit yang gatal

7. Dermatitis seboroik

8. Infeksi jamur kuku

C. Stadium Klinis HIV Stadium 3 Sakit sedang

1. Penurunan berat badan lebih dari 10%

2. Diare dan demam yang tidak diketahui penyebabnya, lebih dari


1 bulan

3. Kandidosis oral atau vaginal

4. Oral hairy leukoplakia

5. TB Paru dalam 1 tahun terakhir

6. Infeksi bakterial yang berat (pneumoni, piomiositis, dll)

7. TB limfadenopati

8. Gingivitis/Periodontitis ulseratif nekrotikan akut

9. Anemia, netropenia, trombositopeni kronis


D. Stadium 4 Sakit berat (AIDS)

1. Sindroma wasting HIV

2. Pneumonia pnemosistis, Pnemoni bakterial yang berat berulang

3. Herpes Simpleks ulseratif lebih dari satu bulan.

4. Kandidosis esophageal

5. TB Extraparu

6. Sarkoma kaposi

7. Retinitis CMV

8. Abses otak Toksoplasmosis

9. Encefalopati HIV

10. Meningitis Kriptokokus

11. Infeksi mikobakteria non-TB meluas

12. Lekoensefalopati mutlifokal progresif (PML)

13. Peniciliosis, kriptosporidiosis kronis, isosporiasis kronis,


mikosis meluas (histoplasmosis ekstra paru, cocidiodomikosis)

14. Limfoma serebral atau B-cell, non-Hodgkin (Gangguan fungsi


neurologis dan tidak sebab lain sering kali membaik dengan
terapi ARV)

15. Kanker serviks invasive

16. Leismaniasis atipik meluas


17. Gejala neuropati atau kardiomiopati terkait HIV

Manifestasi oral penderita HIV/AIDS sangat penting untuk diketahui


karena seringkali merupakan indikasi klinis pertama bahwa seseorang terinfeksi
HIV. Selain itu lesi-lesi oral tertentu dapat memprediksi perkembangan penyakit
dan status imunologi seseorang yang terinfeksi HIV. Manifestasi klinis yang
pertama kali muncul pada penderita HIV positif atau AIDS adalah manisfestasi
pada mukosa oral seperti: candidiasis, leukoplakia, herpes zoster, herpes simpleks,
dan ulkus aphthous. Beberapa manifestasi oral pada pasien anak menyajikan
prevalensi yang berbeda dari pasien dewasa. Prevalensi lesi oral rata-rata 63%
mulai dari 20% hingga 80%. Variasi ini dapat terjadi sesuai dengan wilayah atau
negara dan jenis perawatan lembaga, seperti apakah pasien memiliki akses ke obat
antiretroviral yang lebih kuat atau tidak.
Pengenalan terapi antiretroviral (ART) terkait pengobatan pasien yang
terinfeksi HIV membawa peningkatan dalam kualitas kesehatan mulut mereka,
mengurangi jumlah manifestasi penyakit oral. Kemudian, dibuatlah kombinasi
terapi yang dikenal sebagai highly active antiretroviral therapy (HAART). Terapi
ini memberikan hasil yang lebih efektif, mengubah prevalensi beberapa lesi oral
yang disebabkan oleh HIV, disamping itu juga meningkatkan fungsi kekebalan
tubuh yang mengurangi infeksi oportunistik, morbiditas dan mortalitas.
Berbagai macam lesi oral pada pasien anak terinfeksi HIV yang disebutkan
pada literatur: candidiasis, gingivitis, oral hairy leukoplakia, Kaposi’s sarcoma,
pembesaran parotid, herpes simplex. Data ini juga menunjukkan perbedaan
informasi mengenai mana yang merupakan manifestasi oral yang paling sering
dan bagaimana terapi antiretroviral mengatasinya. Dalam hal ini, penelitian ini
bertujuan untuk mengidentifikasi lesi oral utama yang mempengaruhi pasien anak
dengan HIV, serta efek ART dan HAART pada lesi tersebut.
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Virus HIV/AIDS


Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah suatu penyakit
menular yang disebabkan oleh Human Immuno Deficiency Virus yang dahulu
disebut Lymphadenopaty Associated Virus (LAV) yang kemudian di Amerika
Serikat bernama Human T-Cell Leukemia Virus III (HTLV-III) (suatu retrovirus).
Sampai saat ini telah ditemukan 2 subtipe HIV yaitu HIV-1 dan HIV-2. Virus
tersebut menyebar di dalam darah, air mata, saliva, air susu, cairan spinal, sekresi
vagina dan cairan semen dari orang yang terinfeksi dan menyebar terutama
melalui kontak seksual, darah, atau produk-produk darah, transplantasi organ, atau
secara perinatal. Virus HIV dikenal sebagai virus limfadenopati atau virus
limfotropik sel-T. HIV mempunyai kemampuan melekat dan membunuh limfosit
CD4 sehingga mengurangi imunitas humoral dan imunitas yang diperantarai sel
(Samaranayake dkk, 2008; Little dkk, 2008; Scully, 2008).

2.2 Patogenesis Infeksi HIV/AIDS


Penyakit HIV dimulai dengan infeksi akut yang tidak dapat diatasi
sempurna oleh respons imun adaptif, dan berlanjut menjadi infeksi jaringan
limfoid perifer yang kronik dan progresif. Perjalanan penyakit HIV dapat diikuti
dengan memeriksa jumlah virus di plasma dan jumlah sel T CD4+ dalam darah.
Infeksi primer HIV pada fetus dan neonatus terjadi pada situasi sistim imun
imatur. Infeksi primer terjadi bila virion HIV dalam darah atau cairan tubuh
lainnya dari seseorang masuk ke dalam sel orang lain melalui fusi yang
diperantarai oleh reseptor gp120 atau gp41. Tergantung dari tempat masuknya
virus, sel T CD4+ dan monosit di darah, atau sel T CD4+ dan makrofag di
jaringan mukosa merupakan sel yang pertama terkena. Sel dendrit di epitel tempat
masuknya virus akan menangkap virus kemudian bermigrasi ke kelenjar getah
bening. Sel dendrit mengekspresikan protein yang berperan dalam pengikatan
envelope HIV, sehingga sel dendrit berperan besar dalam penyebaran HIV ke
jaringan limfoid. Di jaringan limfoid, sel dendrit dapat menularkan HIV ke sel T
CD4+ melalui kontak langsung antar sel (Dull dkk, 1991).
Beberapa hari setelah paparan pertama dengan HIV, replikasi virus dalam
jumlah banyak dapat dideteksi di kelenjar getah bening. Replikasi ini
menyebabkan viremia disertai dengan sindrom HIV akut (gejala dan tanda
nonspesifik seperti infeksi virus lainnya). Virus menyebar ke seluruh tubuh dan
menginfeksi sel T subset CD4 atau T helper, makrofag, dan sel dendrit di jaringan
limfoid perifer. Setelah penyebaran infeksi HIV, terjadi respons imun adaptif baik
humoral maupun selular terhadap antigen virus. Respons imun dapat mengontrol
sebagian dari infeksi dan produksi virus, yang menyebabkan berkurangnya
viremia dalam 12 minggu setelah paparan pertama (Dull dkk, 1991).
Setelah infeksi akut, terjadilah fase kedua dimana kelenjar getah bening dan
limpa menjadi tempat replikasi HIV dan destruksi sel. Pada tahap ini, sistem imun
masih kompeten mengatasi infeksi mikroba oportunistik dan belum muncul
manifestasi klinis infeksi HIV, sehingga fase ini disebut juga masa laten klinis
(clinical latency period). Pada fase ini jumlah virus rendah dan sebagian besar sel
T perifer tidak mengandung HIV. Penghancuran sel T CD4+ dalam jaringan
limfoid terus berlangsung dan jumlah sel T CD4+ yang bersirkulasi semakin
berkurang. Lebih dari 90% sel T yang berjumlah 1012 terdapat dalam jaringan
limfoid, dan HIV diperkirakan menghancurkan 1-2 x 109 sel T CD4+ per hari.
Pada awal penyakit, tubuh dapat menggantikan sel T CD4+ yang hancur dengan
yang baru. Namun setelah beberapa tahun, siklus infeksi virus, kematian sel T, dan
infeksi baru berjalan terus sehingga akhirnya menyebabkan penurunan jumlah sel
T CD4+ di jaringan limfoid dan sirkulasi (Dull dkk, 1991).
Pada fase kronik progresif, pasien rentan terhadap infeksi lain, dan respons
imun terhadap infeksi tersebut akan menstimulasi produksi HIV dan destruksi
jaringan limfoid. Transkripsi gen HIV dapat ditingkatkan oleh stimulus yang
mengaktivasi sel T, seperti antigen dan sitokin. Sitokin (misalnya TNF) yang
diproduksi sistem imun alamiah sebagai respons terhadap infeksi mikroba, sangat
efektif untuk memacu produksi HIV. Jadi,pada saat sistem imun berusaha
menghancurkan mikroba lain, terjadi pula kerusakan terhadap sistem imun oleh
HIV. Penyakit HIV berjalan terus ke fase akhir dan letal yang disebut AIDS
dimana terjadi destruksi seluruh jaringan limfoid perifer, jumlah sel T CD4+
dalam darah kurang dari 200 sel/mm3, dan viremia HIV meningkat drastis. Pasien
AIDS menderita infeksi oportunistik, neoplasma, kaheksia (HIV wasting
syndrome), gagal ginjal (nefropati HIV), dan degenerasi susunan saraf pusat
(ensefalopati HIV) (Dull dkk, 1991).

2.3 Manifestasi Oral Infeksi HIV/AIDS


Pasien pediatrik yang terinfeksi HIV akan menunjukkan beberapa jenis lesi
oral non-spesifik pada masa kecil mereka, yang akan membantu mengidentifikasi
diagnosis dari sindrom dan untuk menemukan terapi antiviral yang paling cocok.
Lesi yang paling sering ditemukan adalah kandidiasis oral berbagai bentuk,
gingivitis, herpes akut gingivostomatitis, linear gingival erytema, oral hairy
leukoplakia, Kaposi sarcoma dan pembesaran parotis. Namun, hampir semuanya
melaporkan bahwa kandidiasis oral merupakan manifestasi yang paling sering
ditemukan.
Mengenai kondisi periodontal, dapat diamati ketika pasien dengan
imunosupresi dapat mengalami gingivitis bahkan ketika oral hygienenya baik dan
tidak ada biofilm. Dalam studi longitudinal, Vaseliu et al. menjelaskan bahwa
gingivitis adalah lesi oral yang paling sering terjadi (49%). Penulis belum
mengetahui hubungan gingivitis dengan infeksi pediatrik. Di sisi lain, Sowole et
al. Menjelaskan gingivitis (25,5%) merupakan lesi terbanyak kedua, diikuti oleh
pembesaran kelenjar parottis (3,6%). Beberapa penulis juga menjelaskan bahwa
linear gingiva erytema sebagai manifestasi oral umum pada pasien ini. Selain itu
juga dianggap sebagai tanda khusus pada pasien seropositif oleh Tonelli et al.
Karakteristik ini memperkuat kebutuhan akan evaluasi klinis yang cermat
mengenai kondisi periodontal untuk kemungkinan awal diagnosis keberadaan
virus HIV pada pasien anak.

2.3.1 Kandidiasis Oral


Kandidiasis oral merupakan gejala awal dari infeksi HIV, yang etiologinya
adalah jamur Candida albicans. Jumlah Candida albicans dalam saliva pada
penderita HIV positif dan tampaknya meningkat bersamaan dengan menurunnya
rasio limfosit CD4 : CD8. Jenis pseudomembranosus tampak sebagai membran
putih atau kuning yang melekat dan dapat dikelupas dengan jalan mengeroknya,
meninggalkan mukosa eritematus di bawahnya. Keadaan ini terjadi pada mukosa,
lidah, dan palatum. Bentuk eritmatus ditandai oleh daerah merah dan gundul pada
bagian dorsum lidah. Kandidiasis hiperplastik kronis pada HIV merupakan sub
tipe yang paling langka, tetapi dapat menimbulkan bercak putih pada mukosa
bukal. Semua jenis kandidiasis dapat diikuti dengan terjadinya keilitis angularis
yang tampak sebagai fisur merah dan sakit pada sudut mulut, terutama pada
penderita HIV positif (Scully, 2008; Neville dkk, 2003; Vaseliu dkk, 2010).
Perbedaan kandidiasis oral pada penderita HIV/AIDS dibandingkan dengan
non-HIV/AIDS antara lain :

1. Pada umumnya, kandidiasis bersifat superfisial, dan dapat sembuh


sempurna tetapi pada individu dengan imunosupresi yang berlangsung
lama, jamur ini dapat masuk ke aliran darah dan menyebabkan infeksi
sistemik dan sulit disembuhkan (Harlina dkk, 2013).

2. Penderita HIV/AIDS dengan kandidiasis ini dapat mengeluhkan rasa


terbakar pada mulut. Kandidiasis seperti ini sering diderita oleh pasien
dengan sistem imun rendah, seperti HIV/AIDS, pada pasien yang
mengkonsumsi kortikosteroid, dan menerima kemoterapi (Scully, 2008;
Neville dkk, 2003; Vaseliu dkk, 2010). Contohnya pada Acute
pseudomembranous candidiasis (thrush) yang gejala klinisnya tampak
plak atau pseudomembran, putih, mengenai mukosa bukal, lidah dan
permukaan oral lainnya. Perbedaannya pada penderita HIV/AIDS, bila
plak diangkat tampak dasar mukosa eritematosa atau mungkin berdarah
dan terasa nyeri sekali (Suyoso, 2011).

Gambar. Pseudomembranous candidiasis pada penderita AIDS (Langlais dkk,


2009).

2.3.2 Oral Hairy Leukoplakia


Kehadiran Oral Hairy Leukoplakia (OHL) adalah tanda imunosupresi berat.
Gambaran klinisnya berupa lesi putih, tidak berbatas jelas, berkerut, menonjol
pada tepi lateral lidah dan berkaitan dengan virus Epstein Barr (EBV) dan infeksi
HIV. Lesi awal tampak sebagai plak vertikal, putih, besar, pada tepi lateral lidah,
dan umumnya bilateral. Bagian lateral lidah merupakan lokasi tersering OHL.
Perkembangan OHL pada lidah dapat dikaitkan dengan akumulasi saliva pada
dasar mulut dan posisi istirahat lidah pada genangan saliva yang terinfeksi
EBV.Lesi-lesi tersebut dapat menutup permukaan lateral dan dorsal lidah, meluas
ke mukosa pipi dan palatum. Lesi tidak menunjukkan gejala spesifik dan CD4
kurang dari 350 sel/mm3 (Scully, 2008; Neville dkk, 2003; Vaseliu dkk, 2010;
Regezi dkk, 2008).
Penampakan khas OHL disebabkan oleh hipertrofi papila lidah. Secara
umum lesi ini bersifat tidak nyeri dan tidak dapat dihilangkan dengan manipulasi
tumpul. Lesi OHL menjadi simtomatik jika didapatkan koinfeksi dengan kandida.
OHL adalah lesi jinak dengan ciri khas berupa replikasi produktif EBV dalam
jumlah banyak. EBV (human herpes virus ) berasal dari Herpesviridae subfamily
gamma. Virus ini laten seumur hidup dengan bertempat pada sel memori limfosit
B di darah perifer, dan berfungsi sebagai reservoir seluler infeksi laten persisten
EBV. Virus ini ditularkan melalui ekskresi mukosa, saliva, dan sel orofaring yang
terinfeksi EBV saat terjadi reaktivasi virus. EBV diduga bisa berasal dari
reaktivasi strain laten epitel lidah, melalui kontak dengan saliva yang terinfeksi
EBV, atau melalui limfosit B yang bersirkulasi dengan positif EBV. Penelitian
terbaru menunjukkan adanya sel-sel monosit, makrofag, atau sel Langerhans
terinfeksi pada darah perifer bermigrasi melalui lamina propria menuju epitel oral,
kemudian menginfeksi sel yang berdiferensiasi akhir pada bagian atas lapisan
spinosa. Hal tersebut dapat memicu replikasi virus yang produktif dan terjadinya
EBV diseminata. Sel-sel ini dapat menjadi sumber reaktivasi dari replikasi
produktif EBV (Mendoza dkk, 2008; Jiang dkk, 2006; Walling dkk, 2007; Tugizoy
dkk, 2007; Walling dkk, 2004; Cruchley, 1989).
Perbedaan Oral Hairy Leukoplakia pada penderita HIV/AIDS dibandingkan
dengan non-HIV/AIDS antara lain :

1. Pada tubuh yang sehat ada keseimbangan antara replikasi EBV dengan
penghancuran EBV oleh sistem imun seperti limfosit-T sehingga tidak
menimbulkan gejala. Pada penderita AIDS, keseimbangan ini tidak
mungkin tercapai sehingga EBV berubah sifat dari organisme komensial
menjadi patogen. Hilangnya kemampuan sel T karena infeksi HIV,
menyebabkan kemampuan untuk menghadapi fase produktif dan siklus
kehidupan yang tidak terkendali (Axell dkk, 1996).

2. Manifestasi OHL sering didiagnosis sebagai kandidiasis oral yang resisten


terhadap antijamur, sementara OHL merupakan manifestasi khas pada
infeksi HIV (Mendoza dkk, 2008; Jiang dkk, 2006; Walling dkk, 2007;
Tugizoy dkk, 2007; Walling dkk, 2004; Cruchley, 1989).
Gambar. Oral Hairy Leukoplakia pada penderita AIDS (Langlais dkk, 2009).
Oral Hairy Leukoplakia ( OHL) biasanya tidak memerlukan pengobatan
apapun, tetapi dalam kasus yang parah dianjurkan untuk memberikan antiviral
sistemik. Ketika OHL dikaitkan dengan kandidiasis oral, manajemen terapi
kandidiasis oral diperlukan (Vaseliu dkk, 2010).

2.3.3.HIV-Associated Periodontal Disease


Penyakit periodontal merupakan penyakit umum di antara pasien yang
terinfeksi HIV. Hal ini ditandai dengan gusi berdarah, bau mulut, nyeri /
ketidaknyamanan, gigi goyang, dan kadang-kadang luka. Prevalensi luas berkisar
antara 0% dan 50%. Jika tidak diobati, HIV-Associated Periodontal Disease dapat
berkembang menjadi infeksi yang mengancam jiwa, seperti angina ludwig dan
noma (cancrum oris). Gambaran klinis dari HIV-Associated Periodontal Disease
terdiri dari 4 (empat) bentuk yaitu:
1. Linear gingival erythema ditandai dengan terdapatnya garis merah
sebesar 2-3 mm sepanjang marginal gingiva, berhubungandengan eritema
difus pada attached gingiva dan mukosa mulut. Perawatannya dapat
dilakukan scaling dan root planning serta penggunaan chlorhexidin
gluconat 0,5 oz dikumur selama 30 detik dandibuang setiap 12 jam.
2. NUG (Necrotizing Ulcerative Gingivitis) lebih sering terjadi pada orang
dewasa dibandingkan anak. Hal ini ditandai dengan adanya ulserasi,
pengelupasan, dan nekrosis satu atau lebih papila interdental, disertai rasa
sakit, pendarahan, dan halitosis berbau busuk. Terapi dengan debridement
saja atau dikombinasi dengan metronidazol jika terdapat demam, malaise,
dan anoreksia
3. NUP (Necrotizin Ulcerative Periodontitis) ditandai hilangnya jaringan
lunak dan gigi secara luas dan cepat
4. Necrotizing Stomatitis merupakan kelanjutan yang parah dari NUP yang
tidak diobati. Hal ini ditandai dengan lesi ulceronecrotic akut dan sakit
pada mukosa oral yang menyebabkan terbukanya tulang alveolar.
Pengelolaan dan pengendalian HIV Associated Periodontal Disease
dimulai dengan menjaga kebersihan mulut yang baik setiap hari. Hal

tersebut dapat dilakukan dengan menyikat gigi, flossing dan penggunaan


obat kumur yang merupakan cara yang efektif untuk mencegah dan
mengendalikan penyakit periodontal (Neville dkk, 2003; Vaseliu dkk,
2010).

Gambar Necrotizing Ulcerative Gingivitis dan Necrotizing Ulcerative


Periodontitis

2.3.4 Herpes Simplex Virus (HSV)


HSV (herpes simplex virus) ini ada di mana-mana, mudah beradaptasi
dengan host-nya dan dapat menimbulkan berbagai variasi penyakit. Terdapat dua
serotipe, yakni HSV-1 dan HSV-2. Umumnya HSV-1 dikaitkan dengan penyakit
orofasial, sedangkan HSV-2 dikaitkan dengan penyakit genital, namun lokasi lesi
tidak selalu menunjukkan jenis virus. Sekitar 80% infeksi HSV bersifat
asimptomatik. Infeksi simptomatik akan menimbulkan morbiditas dan rekurensi
yang bermakna. Pada pasien yang imunokompromais, infeksi HSV dapat
menimbulkan komplikasi yang berbahaya. HSV-2 juga diketahui dapat berperan
sebagai kofaktor infeksi HIV, sehingga pengobatannya akan bermanfaat bagi
penanganan infeksi HIV (Salvaggio dkk, 2018; Azwa dkk, 2009).
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa adanya antibodi terhadap HSV-2
akan meningkatkan risiko terinfeksi HIV, tidak tergantung pada ada atau tidaknya
ulkus genital. HSV-2 dan HIV telah terbukti saling mempengaruhi. Infeksi HSV- 2
meningkatkan risiko penularan HIV baru sekitar 3 kali lipat. Selain itu, pasien
dengan koinfeksi HIV dan HSV-2 lebih mungkin menularkan HIV kepada orang
lain. HSV- 2 merupakan infeksi yang paling sering terjadi pada pasien HIV, terjadi
pada 60- 90% pasien. Gejala klinik infeksi HSV-2 pada pasien HIV (dan
imunokompromais) seringkali lebih berat serta lebih sering mengalami rekuren.
Pada penyakit HIV lanjut, HSV-2 dapat menyebabkan komplikasi lebih serius,
meskipun jarang, seperti meningoensefalitis, esofagitis, hepatitis, pneumonitis,
nekrosis retina, atau infeksi diseminata (Nagot dkk, 2007; Baeten dkk, 2008).

Perbedaan Infeksi HSV pada penderita HIV/AIDS dibandingkan dengan


non-HIV/AIDS antara lain :

1. Infeksi HSV dapat bersifat primer (herpes gingivostomatitis) atau


sekunder (herpes labialis). Adanya infeksi HSV selama lebih dari 1 bulan
merupakan suatu gejala terjadinya AIDS. Virus ini terdapat dalam jumlah yang
besar pada penyakit mulut yang diderita oleh pasien AIDS (Neville dkk, 2003;
Vaseliu dkk, 2010).

2. Infeksi HSV membentuk sekelompok vesikel biasanya terlokalisasi yang


terjadi pada mukosa berkeratin (palatum keras, gingiva) dan batas vermillion bibir
dan kulit perioral. Vesikel pecah dan membentuk luka yang menyakitkan tidak
teratur dan seringkali terjadi penggabungan vesikel-vesikel tersebut menjadi ulkus
yang besar. Hal ini menyebabkan terganggunya proses pengunyahan dan
penelanan yang akan mengakibatkan terjadinya penurunan asupan oral dan dan
dehidrasi (Neville dkk, 2003; Vaseliu dkk, 2010).

Pengobatan dilakukan dengan terapi sistemik acyclovir 800mg peroral


setiap 4 jam selama 10 hari. Pada kasus resisten acyclovir bisa difunakan
foscarnet 24-40mg/kg peroral setiap 8 jam. Obat antivirus topikal dapat digunakan
untuk lesi herpes labial dan perioral. Pengobatan ini lebih efektif jika dilakukan
dalam tahap infeksi prodromal (Vaseliu dkk, 2010).

2.3.5 Reccurent Aphthous Ulcers (RAU)


Ditandai dengan ulser yang sakit pada mukosa oral tidak berkeratin, seperti
mukosa labial dan bukal, langit-langit lunak, dan ventral lidah. Lesi aphthous
berulang yang parah biasanya terjadi bila jumlah limfosit CD4 + kurang dari 100
sel / uL. Gambaran klinisnya bisa berupa ulser minor, mayor atau herpetiform.
Ulkus aphthous kecil adalah ulkus kurang dari 5 mm ditutupi oleh
pseudomembran dan dikelilingi oleh halo eritematosa. Biasanya sembuh secara
spontan tanpa jaringan parut .
Ulkus aphthous besar menyerupai ulkus aphthous kecil, tetapi jumlahnya
lebih sedikit dan ukuran lebih besar dengan diameter (1-3 cm), lebih sakit serta
bertahan lebih lama. Ulkus ini mengganggu pengunyahan, menelan, dan
berbicara. Penyembuhan terjadi lebih 2-6 minggu. Ulkus aphthous herpetiform
berupa lesi kecil (1-2 mm) yang tersebar di langit-langit lunak, amandel, lidah,
dan mukosa bukal. Pengobatan. Pengobatan awal bagi kasus ini adalah kontrol
nyeri dan pencegahan superinfeksi. Pengobatan secara topikal dengan pasta
triamcinolon 0,1%, bethametason fosfat, fluocinonide 0,05%, dexamethasone
elixir 0,5mg/ml (Vaseliu dkk, 2010).
Perbedaan Reccurent Aphthous Ulcers (RAU) pada penderita HIV/AIDS
dibandingkan dengan non-HIV/AIDS antara lain :

1. Lesi tidak sering timbul pada penderita HIV dibandingkan pada penderita
non-HIV ,

2. Self –limiting disease berubah dan penampilannya lebih parah, serta


sembuh lebih parah,

3. Pada ulser yang minor, karena rendahnya reaksi radang yang timbul
maka ciri lesi ulser yang dikelilingi oleh halo erithema tidak tampak
(Vaseliu dkk, 2010).
2.3.6 Sarkoma Kapossi
Dalam kasus HIV/AIDS, sarkoma kapossi adalah neoplasma/ umor sel
endotelial ganas yang hampir selalu terjadi pada penderita HIV positif.
Etiologinya diduga kuat adalah virus herpes-8 (HHV-8). Sarkoma kapossi erat
kaitannya dengan rendahnya limfosit CD4 yaitu kurang dari 200 sel/mm3.
Perubahan klinis dari makula datar menjadi nodular juga dikaitkan dengan makin
buruknya imunitas tubuh. Keganasan itu adalah tumor dari proliferasi vaskuler
yang terjadi pada kulit maupun jaringan mukosa. Lesi terjadi pada palatum,
tampak sebagai bercak berdarah/ungu pada tahap awal yang akan berubah
menjadi eksofitik.
Penyebabnya belum diketahui, namun diperkirakan berkaitan dengan CMV.
Sarkoma Kapossi ditandai oleh 3 tahap yaitu awalnya, keganasan merupakan
makula merah tanpa gejala, selanjutnya membesar menjadi plak merah, biru, atau
ungu. Lesi yang lanjut nampak sebagai nodula biru ungu, berlobus, berulserasi,
dan menyebabkan sakit. Perawatannya adalah paliatif dengan memakai radiasi
dan kemoterapi (Scully dkk, 2009; Langlais dkk, 2009; Neville dkk, 2003; Vaseliu
dkk, 2010).

Terapi antiretroviral (mono, double atau triple/sangat aktif) terbukti menjadi


faktor protektif yang signifikan terhadap manifestasi oral dan yang terakhir
(triple/sangat aktif) menunjukkan efek menguntungkan yang lebih baik dalam
mencegah kandidias pada pasien anak HIV-positif.
Menurut Pinheiro et al, penggunaan HAART secara signifikan mengurangi
manifestasi oral terkait dengan AIDS, karena perbaikan dalam sistem kekebalan
tubuh terjadi dan akibatnya terjadi penurunan insiden dan prevalensi oportunistik
infeksi. Temuan semacam itu dilaporkan dalam penelitian lain yang
membandingkan manifestasi oral pada anak HIV positif dengan atau tanpa
penggunaan terapi ini, di mana mereka yang menerima HAART memiliki
prevalensi oral yang lebih rendah daripada anak-anak yang tidak menerima
pengobatan HAART. Jose et al membandingkan pasien yang menggunakan dan
tidak menggunakan ART dan mengamati bahwa pada obat ini memiliki
manifestasi oral dengan intensitas sedang, dengan kejadian kandidiasis oral yang
lebih rendah. Selain itu, pengurangan kehadiran lesi oral dengan pengobatan
HAART lebih panjang, khususnya dalam periode yang melebihi lima bulan.
Penelitian Ogumbosi et al menunjukkan bahwa tingginya jumlah kematian
terjadi ketika era pra-antiretroviral dan tingkat kematian yang lebih rendah ketika
pengobatan ART dilakukan. Penggunaan HAART dapat dikaitkan dengan
prevalensi yang lebih rendah pada mumculnya lesi oral dibandingkan dengan
penggunaan ART.

BAB 3
KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan
Manifestasi oral yang paling banyak terjadi pada anak yang terinfeksi HIV
adalah candidiasis oral, diikuti oleh perubahan seperti gingivitis, oral hairy
leukoplakia, Kaposi’s sarcoma, pembesaran parotid, herpes simplex. Candidiasis
oral dianggap sebagai penanda perkembangan penyakit. Pencegahan dan
pemeriksaan gigi dan mulut secara rutin juga diperlukan, untuk mempertahankan
kesehatan dan mencapai kualitas hidup pasien yang terinfeksi yang lebih baik.
Sebagai tambahan, HAART tampaknya dapat mengurangi prevalensi dari
munculnya lesi oral.

DAFTAR PUSTAKA

Azwa A, Barton SE. Aspects of herpes simplex virus: A clinical review. J Fam
Plann Reprod Health Care 2009;35(4):237-42.

Baeten JM, Strick LB, Lucchetti A, Whittington WL, Sanchez J, Coombs RW, et
al. Herpes simplex virus (HSV)-suppressive therapy decreases plasma and
genital HIV-1 levels in HSV-2/HIV-1 coinfected women: A randomized,
placebo-controlled, cross-over trial. J Infect Dis. 2008;198(12):1804-8.

Center for Disease Control and Prevention. 2009. Epidemiology of HIV Infection
Through. Available from:

http://www/cdc.gov/hiv/topics/surveillance/resources/slides/general/general.
pdf.
Daili, F., 2009. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.

Kumar, V., A. K. Abbas, dan J. C. Aster. 2013. Robbins Basic Pathology. Ninth
Edition. Philadelphia: Elsevier Saunders. Hal: 20

Kusumastuti, Endah. 2016. Gingivostomatitis Herpetika Primer Pada Ny. N Usia


32 Tahun. Jurnal Wiyata. vol 3(2).

Langlais RP, Miller CS, Nield-Gehrig JS. 2009. Colour Atlas of Common Oral
Disease. Fourth ed. Philadelphia: Lippincot Williams&Wilkins; p. 182-85.

Little JW, Falace DA, Miller CS, Rhodus NL. 2008. Dental Management of The
Medically Compromised Patient. Seventh ed. St. Louis, Missouri: Mosby; p.
280-301.

Mansjoer A., Suprohaita, Wardhani WI., Setiowulan W. 2000. AIDS. Dalam:


Kapita Selekta Kedokteran. Edisi Ketiga Jilid 2. Penerbit Media
Aeskulapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. Hal: 162-
6.

Nagot N, Ouedraogo A, Foulongne V, Konate I, Weiss HA, Vergne L. Reduction


of HIV-1 RNA levels with therapy to suppress herpes simplex virus. N Engl
J Med. 2007;356(8):790-9.

Nasronudin. 2012. HIV/AIDS Pendekatan Biologi Molekuler, Klinis, dan Sosial.


Surabaya: Airlangga University Press.

Neville BW, Damm DD, White DK. 2003. Color Atlas of Clinical Oral Pathology.
second ed. Hamilton, London: BC Decker Inc; p. 150-59.

Regezi JA, Sciubba JJ, Jordan RCK. 2008. Oral Phatology Clinical Pathologic
Correlation. fifth ed. St. Louis, Missouri: Saunders Elsevier; p. 80-81.

Regezi, J. dan Sciubba, J., 2008, Oral Pathology: Clinical Pathology Correlations,
WB. Saunders, USA

Salvaggio MR, Lutwick LI, Seenivasan M, Kumar S. Herpes simplex. Medscape


[Internet]. [cited 2016 October 12]. Available from URL:
http://www.emedicine. medscape.com/article/218580-overview.

Samaranayake L, Huber MA, Redding SW. 2008. Infectious Disease. Burket's


Oral Medicine.Eleventh ed. Hamilton: BC Decker Inc; 2008. p. 502-07.
Scully C. 2008. Oral and Maxillofacial Medicine The Basis of Diagnosis and
Treatment. Second ed. Philadelphia: Elsevier; p. 305-14.

Sterling, TR., Chaisson, RE. (2010) ‘General Clinical Manifestation of HIV


Infections (including retroviral syndrome and oral, cutaneous, renal, ocular,
metabolic and cardiac disease)’, In : Mandell GL, Bennett JE, Dolin R.
Principles and practice of infectious diseases. 7th ed, United States:
Churchill Livingston . pp.1705-1726.

Thantawi, Amelia., Khairiati., Nova, Mela Meri., Marlisa, Sri., dan Bakar, Abu.
2014. Stomatitis Apthosa Rekuren (SAR) Minor Multiple PreMenstruasi.
Odonto Denta Journal. vol 1 (2).

Vaseliu N, Kamiru H, Kabue M. 2010. Oral Manifestations of HIV Infecti on In:


Baylor International Pediatric AIDS Initiative, editor. HIV Curriculum for
The Health Professional. Houston, Texas, U.S.A: Baylor College of
Medicine; p. 184-93.

Anda mungkin juga menyukai