Anda di halaman 1dari 11

Laporan Diskusi

Isu HIV (Human Immunodeficiency Virus) pada Ibu Hamil

Kelompok 2

1. Anggun Widia Utami NIM I1A019033


2. Aulia Latifa Oktaviani NIM I1A019079
3. Ida Rosilawati NIM I1A019098
4. Jogita Cendrawani S. NIM I1A019103
5. Annisa Faizul Hidayah NIM I1A019117

Jurusan Kesehatan Masyarakat


Fakultas Ilmu-ilmu Kesehatan
Universitas Jenderal Soedirman
2022
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan penyakit menular yang
dapat ditularkan dengan pertukaran cairan tubuh dari seseorang yang telah
terinfeksi. Cairan tersebut dapat berupa darah, ASI (Air Susu Ibu), semen dan
cairan vagina. Virus HIV merupakan virus yang menginfeksi sel darah putih
sehingga kekebalan tubuh manusia menurun (WHO 2022). Apabila seseorang
yang telah terinfeksi HIV tidak tertangani dengan baik maka berpotensi terkena
Acquired Immune Deficiency Deficiency Syndrome (AIDS). AIDS merupakan
sekumpulan gejala yang timbul akibat menurunnya kekebalan tubuh yang
dikarenakan infeksi virus HIV. Infeksi HIV dapat dilakukan melalui ibu ke
anaknya baik saat kehamilan maupun persalinan (Kemenkes RI 2020). Infeksi
HIV pada Ibu hamil tentu lebih mengkhawatirkan karena dapat menyebabkan 2
orang terindikasi menderita HIV. Secara global, ada 1,3 juta [970.000-1,6 juta]
wanita hamil dengan HIV pada tahun 2020, di mana diperkirakan 85% [63->98%]
menerima obat antiretroviral untuk mencegah penularan dari ibu ke anak (WHO
2022).
Sebuah studi di beberapa kota di Indonesia menunjukkan bahwa sebanyak
80.5% wanita hamil sudah mengetahui bahwa HIV dapat ditularkan melalui
hubungan seks berganti pasangan. Dari jumlah tersebut, hampir separuh wanita
hamil mengetahui penularan HIV dapat melalui jarum suntik bersama. Akan
tetapi, masih sedikit yang mengetahui bahwa ibu hamil positif HIV dapat
menularkan HIV kepada anak yang dikandungnya melalui kehamilan, persalinan,
dan menyusui. Selain itu, sebagian kecil (15.2%) tidak tahu sama sekali (Pasaribu
et al. 2016).
Terdapat banyak faktor yang dapat mempengaruhi penularan HIV pada
ibu hamil, seperti lama dan pola menyusui. Semakin lama durasi ibu menyusui
bayi, maka paparan terhadap virus yang ada di ASI akan semakin meningkat.
Risiko penularan dapat naik apabila semala pemberian ASI dicampur dengan susu
formula. WHO menyatakan bahwa pemberian susu formula bisa mengurangi
risiko penularan pada bayi. Apabila hal tersebut tidak memungkinkan, maka
setelah bayi diberi ASI eksklusif 6 bulan bisa diganti dengan susu formula dan
makanan pendamping ASI (WHO 2016). Selain itu, lama terapi ARV <6 bulan,
adanya gejala klinis AIDS pada ibu hamil dengan HIV, usia kehamilan preterm,
cara persalinan vaginal, tidak diberikan ARV profilaksis pada bayi, dan
pemberian ASI secara klinis bermakna meningkatkan risiko penularan HIV dari
ibu ke bayi (Tania, Hadiati & Siswishanto 2015).
B. Tujuan
1. Tujuan Umum: Mengetahui isu HIV pada ibu hamil
2. Tujuan Khusus:
a. Mengetahui besaran kasus HIV pada ibu hamil
b. Mengetahui pengungkapan status HIV pada anak
c. Mengatahui penyebab dan faktor risiko terjadinya HIV pada ibu hamil
d. Mengatahui dampak HIV pada ibu hamil
e. Mengetahui cara pengobatan, cara persalinan, dan KB pada ibu hamil
dengan HIV
f. Mengetahui tes HIV untuk anak dan ibu hamil
g. Mengetahui terapi ARV pada ibu hamil
h. Mengetahui pencegahan HIV pada ibu hamil
i. Mengetahui kebijakan/program mengenai HIV pada ibu hamil
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Overview Kasus
Penularan HIV dari ibu yang terinfeksi HIV ke bayinya juga cenderung
meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah perempuan HIV positif yang
tertular baik dari pasangan maupun akibat perilaku yang berisiko. Ibu hamil
dengan penderita HIV positif di negara berkembang tidak memiliki akses
pengobatan untuk mencegah penularan HIV. Hal ini mengakibatkan 370.000
kasus HIV baru di antara bayi setiap tahun dari sekitar 1,5 juta ibu hamil yang
positif HIV setiap tahun di negara berkembang. Akhir tahun 2016 sebanyak
26.997 anak yang dilahirkan dari ibu yang terinfeksi HIV. Penularan HIV tidak
hanya berlaku pada ibu menyusui, tetapi bisa juga menular pada
pasangan/istrinya. Dengan melihat data tersebut, maka pelayanan pencegahan
penularan HIV dari ibu ke anak (PPIA) semakin menjadi perhatian. Di Indonesia
juga terjadi peningkatan yang cepat. Risiko penularan HIV dari ibu ke bayi sekitar
24-25%. Walaupun prevalensi HIV perempuan di Indonesia hanya 16 %, tetapi
mayoritas 92,54% ODHA berusia reproduksi aktif (15-49 tahun), maka
diperkirakan jumlah kehamilan dengan HIV positif akan meningkat.(Kemenkes
RI, 2012).

B. Pembahasan
1. Besaran Kasus HIV pada Ibu Hamil
Berdasarkan laporan perkembangan HIV/AIDS dan Penyakit Infeksi
Menular Seksual (PIMS) Triwulan I tahun 2021 yang dipublikasikan oleh
Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian
Kesehatan RI, besaran kasus HIV pada ibu hamil periode Januari-Maret 2021
adalah sebagai berikut:
a. Jumlah ibu hamil dites HIV sebanyak 520.974 orang.
b. Jumlah ibu hamil HIV positif sebanyak 1.590 orang.
c. Jumlah ibu hamil HIV positif mendapat ART sebanyak 395 orang.
d. Jumlah bayi lahir dari ibu HIV positif sebanyak 99 orang.
e. Jumlah bayi dari ibu HIV positif mendapat profilaksis ARV sebanyak 73
bayi.
f. Jumlah bayi dari ibu HIV positif dites diagnostik dini HIV sebanyak 287
bayi.
g. Jumlah bayi HIV positif sebanyak 7 bayi (Direktur Jenderal P2P 2021).
2. Pengungkapan Status HIV pada Anak
Pemeriksaan ada atau tidaknya penularan HIV dari ibu ke anak dapat
dilakukan sesuai waktunya masing-masing. Infeksi HIV dilakukan dengan
pemeriksaan PCR DNA kualitatif menggunakan sediaan darah (serum) atau
Dried Blood Spot (DBS) pada bayi usia 6 minggu atau lebih dan dinyatakan
terinfeksi HIV jika hasil pemeriksaan positif (Kemenkes RI 2017).
Pemeriksaan laboratorium sebagai deteksi dini eliminasi penularan dilakukan
secara inklusif bersama pemeriksaan rutin lainnya yang dilakukan pada ibu
hamil sesuai dengan T8 pada pelayanan antenatal terpadu lengkap.
Pemeriksaan laboratorium pada ibu hamil dan bayinya merupakan misi negara
sehingga ditetapkan sebagai standar bagi setiap ibu hamil di fasilitas
pelayanan kesehatan milik pemerintah maupun masyarakat/swasta
(Kemenkes RI 2017).
3. Penyebab HIV pada Ibu Hamil
a. Hubungan seksual tanpa pengaman
Penggunaan kondom saat melakukan hubungan seksual
merupakan suatu bentuk perlindungan dari penularan HIV terhadap
pasangan. Karena pada prinsipnya hubungan seksual baik oral, vaginal
maupun anal jika dilakukan tanpa menggunakan pengaman memiliki
potensi terjadinya penularan HIV/AIDS.
b. Penggunaan jarum suntik yang tidak higienis (Amira & Himma 2022).
Penggunaan jarum suntuk sebagai salah satu penyebab terjadinya
HIV pada ibu hamil berhubunga dengan perilaku ibu sebelum terjadinya
kehamilan. Kasus penulara HIV melalui jarum suntik cenderung terjadi di
kalangan penasun. Jarum yang digunakan bersama-sama berpotensi
meninggalkan sisa-sisa darah yang berisiko mengandung virus HIV.
Sehingga terjadi perpindahan virus HIV dari satu orang ke orang lain
(Kemala 2021).
c. Tranfusi darah dan transplantasi organ
Infeksi HIV akibat transplantasi dra atau donor organ sangat jarang
terjadi karena sebelum digunakan sebagai donor darah atau organ sudah di
cek terlebih dahulu. Namun, penularan ini masih tetap berisiko
menyebabkan ibu hamil mengalami infeksi HIV karena pengecekan yang
kurang teliti atau adanya kesalah tenaga kesehatan (CDC 2022).
d. Penggunaan alat tato atau tindik
Infeksi HIV pada ibu hamil melalui tato atau tindik dapat terjadi
apabila alat tato atau tindik mengandung darah orang lain yang terinfeksi
HIV/AIDS. Kasus ini berpotensi terjadi pada seseorang yang melakukan
tato atau tindik mandiri tanpa melakukan prosedur atau standar keamanan
(CDC 2022).
4. Dampak HIV pada Ibu Hamil
a. Infeksi Oportunistik dan komplikasi
Infeksi oportunistik terjadi akibat imun ibu yang lemah karena
virus HIV. Infeksi oportunistik yang mungkin terjadi yaitu pneumonia,
toksoplasmosis, TBC, penyakit kelamin, hingga kanker (UNAIR 2020)
b. Penularan HIV ke janin
Penularan HIV dari ibu kejanin atau bayi terjadi saat ibu hamil,
melahirkan ataupun pada saat ibu menyusui. Penularan saat kehamilan
terjadi melalui plasenta yang mengubungkan antara bayi dan ibu.
Penularan saat kehamilan terjadi melahirkan, dimana risiko penularan
akan lebih tinggi saat ibu melakukan ppersalinan secara normal (CDC
2022).
c. Toksoplasmosis
Toksoplasmosis merupakan infeksi yang disebabkan parasit
Toxoplasma gondii yang ditemukan di kotoran kucing, sayuran dan buah-
buahan yang tidak dicuci atau daging yang belum matang. Parasit T. gondii
dapat dikendalikan oleh sistem kekebalan yang baik, namun ibu hamil
dengan HIV cenderung memeiliki imun atau kekebalan tubuh yang terus
menurun. Sehingga infeksi toksoplasmosis akan berpotensi tinggi terjadi
pada ibu hamil dengan HIV (Pittara 2021).
5. Tes HIV pada Ibu Hamil
TIPK merupakan tes HIV atas inisiatif pemberina pelayanan kesehatan
dan konseling kepada pasien untuk kesehatan dan pengobatannya. TIPK
dilakukan dengan memperhatikan prinsip 3C (Confidental, consent, dan
counseling) dan 2 R yakni (Recording reporting dan referral). Penawaran tes
HIV pada ibu hamil dilakukan pada saat pemeriksaan antenatal atau menjelang
persalinan. Apabila ibu menolak pemeriksaan, ibu dapat menuliskan surat
pernyataan menolak tes HIV. Segala pilihan ibu hamil pihak fasyankes akan
tetap memberikan bantuan dan tatalaksana klinis sesuai dengan kondisi ibu.
Pada setiap kunjungan ibu akan tetap diberikan penjelasan mengenai
petingnya tes HIV demi keselamatan diri dan bayinya (Kementrian Kesehatan
RI 2014). TIPK memiliki langkah-langkah seperti:
a. Pemberian informasi sebelum tes
b. Pengambilan darah
c. Penyampaian hasil tes
d. Konseling.
6. Ibu Hamil dengan HIV : Pengobatan, Cara Persalinan, dan KB
a. Pengobatan Ibu Hamil dengan HIV
Ibu hamil dengan HIV akan diberikan perawatan berupa terapi ARV
tanpa memeriksakan jumlah CD4 dan viral load terlebih dahulu. Hal ini
dikarenakan kehamilan merupakan indikasi pemberian ARV yang
dilanjukan selama seumur hidup. Pemeriksaan CD4 hanya dilakukan
untuk memantau pengobatan bukan acuan untuk memulai terapi
(Kementrian Kesehatan RI 2014). Untuk memulai terapi ARV perlu
memperhatikan hal-hal berikut:
1) Persiapan klien secara fisik atau mental untuk menjalani terapi melalui
edukasi sebelum pemberian ARV.
2) Apabila ditemukan infeksi oportunistik maka infeksi tersebut harus
diobati terlebih dahulu. Setelah infeksi tersebut stabil maka terapi
ARV baru bisa dilakukan.
3) Ibu hamil dengan tuberculosis akan diberikan OAT terlebih dahulu
sampai kondisi klinis pasien memungkinkan menggunakan fungsi hati
untuk dimulainya terapi ARV.
Pemberian ARV pada ibu hamil harus dilakukan dengan SADAR, yaitu:
1) Siap: Menerima ARV dengan mengetahui efek ARV terhadap infeksi
HIV.
2) Adherence: kepatuhan minum obat
3) Disiplin: Minum obat dan kontrol ke dokter
4) Aktif: Menanyakan dan berdiskusi dengan dokter mengenai terapi.
5) Rajin: memeriksakan diri jika terdapat keluhan.
b. Perencanaan persalinan yang aman pada Ibu Hamil dengan HIV
Perencanaan persalinan memiliki tujuan untuk menurunkan risiko
penularan HIV dari ibu ke bayi, Ibu ke tim medis, dan ke pasien lainnya.
Persalinan bedah sesar memiliki risiko yang lebih kecil terhadap penularan
bayi namun juga menambah risiko lain untuk ibunya. Apabila ibu
melakukan ARV dengan rutin selama 6 bulan maka proses pervaginaan
cukup aman. Hal yang perlu diperhatikan dalam memberikan pertolongan
persalinan pada ibu, yaitu:
1) Pelaksanaan persalinan baik secaa sesar atau pervaginam maka perlu
memperhatikan kondisi fisik ibu dan indikasi obstetrik.
2) Ibu hamil dengan HIV harus diberikan dan mendapatkan informasi
mengenai keputusannya dalam menjalani persalinan, baik secara sesar
atau pervaginam.
3) Tindakan menolong persalinan ibu dengan HIV harus memperhatikan
kewaspadaan umum untuk seluruh jenis persalinan.
7. Terapi Anti Retroviral pada Ibu Hamil
Terapi Anti Retroviral dilakukan untuk mencegah replikasi virus HIV
dan menjaga kekebalan tubuh ibu. Terdapat perbedaan pemberian ART pada
ibu hamil dibandingkan penyintas HIV lainnya. Perbedaan tersebut antara lain
(Christi 2019):
a. Ibu dengan HIV harus segera melakuka ART, meskipun sudah memasuki
trisemester pertama
b. Ibu hamil trisemester pertama lebih baik menghindari evavirenz dan
menggantinya dengan nevirapine untuk menghindari cacat pada janin.
c. Pada minggu ke-28 ibu hamil memulai terapi AZT untuk mengurangi
potensi penularan HIV kepada janin.
d. Jika ibu hamil baru mnegetahui terinfeksi HIV pada akhir masa kehamilan,
ibu hamil akan diberikan terapi AZT dan lamicudine pada minggu ke-36,
dengan risiko terjadinya resistensi terhadap obat karena tidak dipakai
dalam satu rangkaian ART.
e. Terapi ART pada ibu hamil akan cenderung lebih lama daripada terapi
ART pada umumnya. Hal tersebut dilakukan untuk mencegah terjadinya
kecacatan atau keguguran pada janin.
8. Pencegahan
a. Terapi ART diberikan kepada ibu hamil yang positif mengidap HIV
dengan tujuan untuk mencegah penularan HIV ke janin selama masa
kehamilan dan menyusui
b. Pemberian profilaksis ARV kepada ibu atau anak untuk mengurangi risiko
penularan HIV selama masa menyusui
c. Berkonsultasi dengan dokter kandungan untuk menentukan metode
persalinan, yaitu operasi caesar atau persalinan normal
d. Menjalani terapi kombinasi antiretroviral atau highly active antiretroviral
therapy (HAART) selama hamil
e. Tidak memberikan ASI ke bayi
9. Kebijakan Program
a. Pelaksanaan program PPIA (Program Nasional Pengendalian HIV-AIDS
dan IMS dan upaya kesehatan ibu dan anak). Program Pencegahan
Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA) merupakan salah satu intervensi
yang sangat efektif untuk mencegah penularan HIV dari ibu ke anak. Di
negara maju risiko anak tertular HIV dari ibu dapat ditekan hingga kurang
dari 2% karena tersedianya intervensi PPIA dengan layanan optimal. Di
negara berkembang atau negara miskin, dengan minimnya akses
intervensi, risiko penularan masih berkisar antara 20% dan 50%. Upaya
pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak telah dilaksanakan di
Indonesia sejak tahun 2004, khususnya di daerah dengan tingkat
epidemi HIV tinggi, namun hingga akhir tahun 2011 baru terdapat 94
layanan PPIA, yang baru menjangkau sekitar 7% dari perkiraan jumlah
ibu yang memerlukan layanan PPIA. (Kemenkes RI, 2011).
b. Pelaksanaan program PMTCT (Prevention Mother To Child
Transmission) merupakan program pemerintah yang dilakukan untuk
mencegah penularan HIV ibu kepada bayi, bayi yang terlahir dari ibu HIV
positif dapat terselamatkan dan tidak tertular virus HIV.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kasus HIV pada ibu hamil masih menjadi masalah serius yang harus
segera dipecakan. Sebanyak 1.590 ibu hamil di Indonesia terinfeksi HIV dan
berpotensi menularkan HIV kepada janin. Infeksi HIV pada ibu hamil, cenderung
terjadi karena perilaku ibu sebelum terjadinya kehamilan, antara lain melakukan
hubungan seks tidak aman, memakai tindik dan tato, menggunakan jarum suntik
tidak higienis, dll. Dampaknya ibu dapat menularkan HIV kepada janin dan
mengalami infeksi oportunistik hingga komplikasi. Untuk mencegah dampak
tersebut, Tes HIV pada trisemester awal sangat dianjurkan, dan jika ditemukan
hasil positif HIV diharapkan ibu segera melakukan terapi ART dengan tujuan
untuk menghindari keguguran dan penularan HIV kepada janin. Selain terapi
ART, pemberian profilaksis ARV juga disarankan untuk mengurangi penularan
HIV selama masa menyusui.
DAFTAR PUSTAKA

Amira, L. & Himma, V. 2022, ‘Penularan HIV/AIDS Pada Ibu Hamil’, Universitas
Airlangga.
Barus, B.J.P. & Biafri, V. sylvia 2020, ‘Pembinaan Kemandirian Terhadap Narapidana
Lanjut Usia Di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Medan’, NUSANTARA : Jurnal
Ilmu Pengetahuan Sosial, vol. 7, no. 1, pp. 135–48.
CDC 2022, ‘Ways HIV Can Be Transmitted’, CDC.
Christi, A.J. 2019, ‘Pengobatan HIV Saat Hamil’, skata.info.
Direktur Jenderal P2P 2021, Laporan Perkembangan HIV AIDS & Penyakit lnfeksi
Menular Seksual (PIMS) Triwulan I Tahun 2021, Kementerian Kesehatan RI.
Kemala, F. 2021, ‘Berbagai Cara Penularan HIV, dari yang Umum Sampai Tak Terduga’,
hallosehat.
Kemenkes RI 2020, ‘Infodatin HIV AIDS’, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,
pp. 1–8.
Kementerian Kesehatan RI. 2011. Data HIV/AIDS Indonesia. Ditjen P2PL. Jakarta:
Kemenkes RI
Kementerian Kesehatan, RI. 2012. Laporan Pemodelan Matematika epidemi HIV di
Indonesia. Jakarta: Departemen Kesehatan Indonesia.
Kementrian Kesehatan RI 2014, Pedoman Pelaksanaan Pencegahan Penularan HIV dan
Sifilis dari Ibu ke Anak Bagi Tenaga Kesehatan, Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, vol. 85.
Pasaribu, L.R., Dyah, S.L., Sunarno, Faika, R., Roselinda, Hariastuti, N.I., Hananto, M.,
Yunianto, A., Nova, L.S., Fitriana, Perwitasari, D. & Khariri 2016, Prevalensi
Infeksi Saluran Reproduksi dan HIV pada Wanita Hamil di Beberapa Kota di
Indonesia, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 2017 Tentang
Eliminasi Penularan Human Deficiency Virus, Sifilis Dan Hepatitis B Dari Ibu Ke
Anak 2017 .
Pittara 2021, ‘Toksoplasmosis’, Alodokter.
Tania, I.M., Hadiati, D.R. & Siswishanto, R. 2015, ‘Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Penularan HIV dari Ibu ke Bayi pada Program Pencegahan Penularan HIV dari Ibu
ke Anak di Yogyakarta’, Universitas Gadjah Mada.
UNAIR 2020, ‘WASPADAI BAHAYA VIRUS HIV DI MASA KEHAMILAN’,
UNAIR: Fakultas Keperawatan.
WHO 2016, HIV/AIDS: Infant feeding and nutrition, viewed 8 June 2022,
<https://www.who.int/news-room/questions-and-answers/item/hiv-aids-infant-
feeding-and-nutrition>.
WHO. 2022. “Data on the HIV/AIDS response”.
https://www.who.int/data/gho/data/themes/hiv-aids/data-on-the-hiv-aids
response#:~:text=Globally%2C%20there%20were%201.3%20million,mother%2
Dto%2Dchild%20transmission.
WHO. 2022. “HIV/AIDS”. https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/hiv-
aids#:~:text=The%20human%20immunodeficiency%20virus%20(HIV,infected%
20individuals%20gradually%20become%20immunodeficient.

Anda mungkin juga menyukai