Pembimbing:
dr. Jonas Nara Baringbing, SpOG
Oleh:
Suni Christina Widjaya (406162099)
1
LEMBAR PENGESAHAN
Referat :
HIV AIDS Dalam Kehamilan
Disusun oleh :
Suni Christina Widjaya
Sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian Kepaniteraan Ilmu Obstetrik dan
Ginekologi RSUD Ciawi
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Ciawi, 2017
2
3
LEMBAR PENGESAHAN
Referat :
HIV AIDS Dalam Kehamilan
Disusun oleh :
Suni Christina Widjaya (406162099)
Sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian Kepaniteraan Ilmu Obstetrik dan
Ginekologi RSUD Ciawi
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Mengetahui,
Kepala SMF Obstetrik dan Ginekologi
4
BAB I
PENDAHULUAN
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) ialah kumpulan kondisi klinis
akibat menurunnya daya tahan tubuh yang didapat karena infeksi virus HIV (Human
Immunideficiency Virus).3
2.2 ETIOLOGI
Virus HIV adalah virus RNA, famili: Retroviridae, genus: Lentivirus, memiliki
envelope dan berkapsid. Envelope virus mengandung glikoprotein (gp 120 dan gp 41)
yang berfungsi dalam proses perlekatan sel virus pada sel host. Gp 120 berfungi untuk
mengenali secara spesifik reseptor permukaan sel host. Gp 41 berfungsi untuk
mempercepat fusi sel virus ke sel host. Kapsid virus mengandung inti virus (2 kopi RNA)
dan 3 macam enzim: 3
1. Reverse transkriptase berfungsi mengubah RNA virus ke bentuk DNA virus
2. Integrase berfungsi mengabungkan DNA virus ke DNA host
3. Protease berfungsi membentuk virus baru
6
Terdapat 2 jenis virus HIV:
1. HIV-1, merupakan penyebab umum pada sebagian besar kasus diseluruh dunia
2. HIV-2, penyebarannya tidak terlalu luas. Ditemukan pada Afrika Barat dan beberapa
negara Eropa. Biasanya onset penyakit lebih singkat dan lebih virulen.
Virus HIV cenderung menyerang sel jenis tertentu, yaitu sel-sel yang mempunyai antigen
permukaan CD4, terutama limfosit T yang memegang peranan penting dalam mengatur
dan mempertahankan sistem kekebalan tubuh.
HIV terdapat dalam cairan tubuh orang yang terinfeksi, seperti dalam darah, cairan mani,
sekret vagina, ASI yang terinfeksi HIV.3
7
Ada 3 faktor utama yang berpengaruh pada penularan HIV dari ibu ke anak, yaitu faktor
ibu, bayi/anak, dan tindakan obstetrik 3,9
1.Faktor Ibu
a. Jumlah virus (viral load)
Jumlah virus HIV dalam darah ibu saat menjelang atau saat persalinan dan jumlah virus
dalam air susu ibu ketika ibu menyusui persalinan dan jumlah virus dalam air susu ibu
ketika ibu menyusui bayinya sangat mempengaruhi penularan HIV dari ibu ke anak.
Resiko penularan HIV menjadi sangat kecil jika kadar HIV rendah (< 1.000 kopi/ml) dan
sebaliknya jika kadar HIV diatas 100.000 kopi/ml.
b. Jumlah sel CD4
Ibu dengan jumlah sel CD4 rendah lebih beresiko menularkan HIV ke bayinya. Semakin
rendah jumlah sel CD4 resiko penularan HIV semakin besar.
c. Status gizi selama hamil
Berat badan rendah serta kekurangan asupan seperti asam folat, vitamin D, kalsium, zat
besi, mineral selama hamil berdampak bagi kesehatan ibu dan janin akibatnya dapat
meningkatkan resiko ibu untuk menderita penyakit infeksi yang dapat meningkatkan
jumlah virus dan resiko penularan HIV ke bayi.
d. Penyakit infeksi selama hamil
Penyakit infeksi seperti sifilis, infeksi menular seksual, infeksi saluran reproduksi lainnya
akan meningkatkan resiko penularan HIV ke bayi. Infeksi menular seksual meningkatkan
kemudahan seseorang terkena HIV, sehingga IMS dianggap sebagai kofaktor HIV. Oleh
karena itu, upaya pengendalian infeksi HIV dapat dilaksanakan dengan melakukan
pengendalian IMS.
8
Kelompok wanita yang beresiko tinggi: 1
- Pemakaian obat suntik
- Memiliki banyak pasangan seksual
- Prostitusi
- Pasangan seksual dicurigai/terbukti terinfeksi HIV
- Terdiagnosa memiliki penyakit menular seksual
2. Faktor Bayi
a. Usia kehamilan dan BBL
Bayi yang lahir prematur dengan BBLR lebih rentan tertular HIV karena sistem organ
dan sistem kekebalan tubuhnya belum berkembang dengan baik.
b. Periode pemberian ASI
Semakin lama ibu menyusui, resiko penularan HIV ke bayi akan semakin besar
c. Adanya luka dimulut bayi
3. Faktor Obstetrik
Pada saat persalinan, bayi terpapar darah dan lendir ibu dijalan lahir. Faktor obstetrik
yang dapat meningkatkan resiko penularan HIV dari ibu ke anak selama persalinan
adalah
a. Jenis persalinan
Resiko penularan persalinan per vaginam lebih besar daripada persalinan melalui bedah
sesar.
b. Lama persalinan
Semakin lama proses persalinan berlangsung resiko penularan HIV dari ibu ke anak
semakin tinggi, karena semakin lama terjadinya kontak antara bayi dengan darah dan
lendir ibu.
c. Ketuban pecah lebih dari 4 jam sebelum persalinan meningkatkan resiko hingga dua
kali lipat dibandingkan jika ketuban pecah kurang dari 4 jam.
d. Tindakan episiotomi, ekstraksi vakum dan forceps meningkatkan resiko penularan HIV
karena berpotensi melukai ibu
9
2.4 PATOGENESIS 3
Virus memasuki tubuh lalu menginfeksi sel yang terutama mempunyai molekul
CD4. Kelompok sel terbesar yang mempunyai molekul CD4 adalah limfosit T.. Setelah
mengikat molekul reseptor CD4 dan mengikat koreseptor CXCR4 dan CCR5, virus
memasuki sel target dan melepaskan selubung luarnya. RNA retrovirus ditrankripsi
menjadi DNA melalui enzim reverse transkriptase.
Beberapa DNA virus yang baru terbentuk saling bergabung dan masuk ke dalam
sel target dengan bantuan enzim integrase dan membentuk provirus. Provirus dapat
menghasilkan protein virus baru yang bekerja menyerupai pabrik-pabrik untuk virus-
virus baru.
Sel target yang normal akan membelah dan memperbanyak diri seperti biasanya
dan dalam proses ini provirus juga ikut menyebar. Secara klinis berarti orang tersebut
terinfeksi untuk seumur hidupnya. Jika sel yang terinfeksi ini dipakai untuk memproduksi
virus, demikian juga sel target (sel hospes) akan dirusak dan virus akan keluar darinya.
10
Virus menyebar dan masuk ke dalam darah menimbulkan viremia akut dan
memicu reaksi imun sehingga dihasilkan antibodi HIV dan kadar virus dalam darah
menurun. Kondisi tersebut menggambarkan seolah-olah infeksi virus dapat di kendalikan
oleh sistem imun tubuh. Saat antibodi mulai diproduksi, muncul gejala yang dikenal
sebagai fase infeksi akut (sindrom retroviral akut) dimana antibodi mulai bekerja
menghadapi virus HIV (demam, malaise, mual-muntah, limfadenopati). Saat kadar virus
HIV dalam darah mulai menurun maka gejala akan membaik, lalu akan memasuki fase
laten (asimptomatik). Namun walaupun tidak bergejala, sebenarnya terdapat sebagian
dari virus tetap hidup dan berkembang dalam sel dendritik pada jaringan limfoid, yang
terus menerus melakukan replikasi dan membentuk virus baru. Virus baru tersebut akan
menyerang sel limfosit T yang memiliki antigen CD4 pada permukaannya dan
menyebabkan kadar limfosit T CD4 menurun. Saat kadar limfosit T CD4 menurun maka
11
tubuh menjadi rentan terhadap berbagai macam infeksi. Kumpulan gejala dari berbagai
penyakit infeksi tersebut yang disebabkan oleh HIV dikenal sebagai AIDS.
Window period adalah masa dimana saat dilakukan pemeriksaan test serologis
antibodi HIV didapatkan hasil negatif namun sebenarnya virus terdapat didalam darah
dan berpotensi menularkan. Hal tersebut terjadi karena kadar antibodi yang terbentuk
belum cukup memadai.
12
Leukoensepalopati multifokal progresif
Mikosis diseminata seperti histoplasmosis
Kandidiasis di esofagus, trakea, bronkus,
dan paru
Mikobakteriosis atipikal diseminata
Septisemia salmonelosis non tifoid
Tuberkulosis di luar paru
Limfoma
Sarkoma kaposi
Ensefalopati HIV
- HIV wasting syndrome: BB > 10 % ditambah diare kronik > 1 bulan atau demam > 1
bulan yang tidak disebabkan penyakit lain.
- Ensefalopati HIV: gangguan kognitif dan atau disfungsi motorik yang menganggu
aktivitas hidup sehari - hari dan bertambah buruk dalam beberapa minggu atau bulan
yang tidak disertai penyakit lain selain HIV.
Kelainan yang terjadi pada janin BBLR, bayi lahir mati, partus preterm, abortus spontan.5
13
1. Window period ( 6 bulan)
Pada fase ini pasien tetap seronegatif selama beberapa bulan
2. Fase infeksi akut /sindroma retroviral akut ( 3 minggu)
Pada fase ini mulai terjadi serokonversi status antibodi negatif ke positif
Kadar sel T CD4 dan kadar virus dalam darah menurun
Muncul gejala malaise, demam, mual muntah, limfadenopati
3. Fase laten/asimptomatik ( 10 tahun)
Pada fase ini gejala mulai membaik
Kadar sel T CD4 mulai membaik dan kadar virus dalam darah turun sampai suatu "set
point"
Sebagian virus masih ada yang menetap pada sel dendritik di jaringan limfoid akan terus
berkembang perlahan-lahan
4. Fase simptomatik ( 1-2 tahun)
Pada fase ini virus yang berkembang dalam jaringan limfoid mulai menyebar kedalam
darah dan menyerang sel T CD4
Kadar sel T CD4 umumnya akan menurun sampai < 200 sel/mikroliter
Timbul gejala-gejala imunosupresi (AIDS)
2.7 DIAGNOSTIK
- Test diagnosa HIV 2
1. Test screening: test antibodi (rapid test HIV dan ELISA)
2. Test konfirmasi: jika hasil rapid test HI/ ELISA positif maka dapat dilakukan test
konfirmasi Western blot essay, IFA (Immunoflourescence assay)
- Test dan konseling HIV pada ibu hamil dilakukan atas inisiatif petugas kesehatan
(TIPK) atau provider-initiated HIV testing and counseling (PITC).
Didaerah epidemi HIV tinggi, penawaran test HIV oleh tenaga kesehatan
difasilitas kesehatan wajib kepada semua ibu hamil secara inklusif pada
pemeriksaan laboratorium rutin lainnya saat pemeriksaan antenatal atau
menjelang persalinan. Idealnya dilakukannya saat trimester 1 dan dilakukan
pengulangan saat trimester 3, terutama pada wanita yang memiliki resiko tinggi. 2
14
Didaerah epidemi HIV rendah, penawaran test HIV oleh tenaga kesehatan
diproritaskan pada ibu hamil dengan IMS dan TB
- TIKP dilakukan dengan memberikan informasi pra-tes kepada ibu hamil tentang:
1. Resiko penularan penyakit pada bayi
2. Keuntungan diagnosis dini penyakit pada kehamilan bagi bayi yang akan dilahirkan,
termasuk HIV, malaria, dan atau penyakit tidak menular lainnya seperti hipertensi,
diabetes, dan lain-lain
3. Cara mengurangi resiko penularan penyakit dari ibu ke anaknya.
- Test HIV atas inisiatif petugas kesehatan dilakukan secara option out, yaitu bila ibu
menolak, ibu hamil harus menyatakan ketidaksetujuannya secara tertulis dan
diinformasikan serta ditawarkan kembali untuk menjalani test pada kunjungan
berikutnya. Bila ibu tetap menyatakan option out maka diperkenalkan dengan KTS
(Konseling dan Tes Sukarela) dan dirujuk ke KTS.
- Pemeriksaan diagnostik infeksi HIV yang dilakukan di Indonesia umumnya adalah
pemeriksaan serologis menggunakan rapid test HIV atau ELISA. Pemeriksaan
diagnostiknya dilakukan secara serial menggunakan 3 reagen HIV berbeda. Pemilihan
jenis reagen yang digunakan berdasarkan sensitivitas dan spesifisitas yang merujuk pada
Standar Pelayanan Laboratorium Kesehatan Pemeriksa HIV dan Infeksi Oportunistik
Kementrian Kesehatan.
- Hasil pemeriksaan dinyatakan reaktif jika hasil tes dengan reagen 1 (A1), reagen 2
(A2), dan reagen 3 (A3) ketiganya positif.
- Ibu hamil dengan faktor resiko yang hasilnya indeterminate, test diagnostik HIV
dapat diulang dengan bahan baru yang diambil minimal 14 hari setelah yang pertama dan
setidaknya test ulang menjelang persalinan (32-36 minggu)
- Pada ibu hamil yang akan segera melahirkan dan jarang melakukan pemeriksaan
antenatal serta srtatus HIV tidak diketahui, sebaiknya segera dilakukan pemeriksaan
rapid test HIV. Jika hasilnya positif segera siapkan persalinan sectio caesar, pemberian
profilaksis intrapartum zidovudine IV 3 jam sebelum operasi, dan pemberian prolikaksis
post partum pada bayinya.
15
Pemeriksaan HIV untuk bayi biasanya dilakukan pada: 7
16
Test Diagnostik HIV pada kehamilan 8
2.8 TATALAKSANA
Berikan ARV segera kepada semua ibu hamil dengan HIV, tanpa harus mengetahui
nilai CD4 dan stadium klinisnya terlebih dahulu, dan dilanjutkan seumur hidup.
Rekomendasi pengobatan sesuai dengan situasi klinis ibu dapat dilihat ditabel berikut.
17
Profilaksis ARV untuk Bayi:
Kombinasi ARV:
18
3. PI (Protease Inhibitor) menghambat enzim protease yang dibutuhkan untuk
memecah prekursor poliprotein virus dan mencegah virus dilepaskan, contoh
Lopinavir (LPV), Nelfinavir (NFV), Saquinavir (SQV).
19
KEAMANAN DAN TOKSIKSITAS PENGOBATAN HIV DALAM
KEHAMILAN 8
20
2. Penanganan Persalinan
Kebanyakan penularan HIV terhadap janin / bayi terjadi saat persalinan, maka
pemberian pengobatan pada saat ini merupakan hal yang sangat penting untuk
melindungi infeksi HIV terhadap bayi. Terapi ARV ibu disertai dengan profilaksis
zidovudin intrapartum telah secara dratis menurunkan resko penularan HIV
perinatal dari sekitar 25% menjadi 2% atau kurang pada wanita.
Regimen yang biasa digunakan adalah three part ZDV regimen menurut
PACTG 076: 2
2. Persalinan
Untuk bedah caesar ekektif, zidovudin i.v diberikan paling tidak 3 jam
sebelum pembedahan.
21
3. Bayi
Bayi yang dilahirkan diberikan ZDV dalam bentuk cair dengan dosis 2
mg/kg/ 6 jam selama 6 minggu setelah dilahirkan.
Bila selama kehamilan wanita hamil dengan HIV positif sudah mendapat
pengobatan anti HIV lain, maka pengobatan tersebut dilanjutkan sesuai jadwal
selama persalinan.
Pilihan persalinan bagi wanita hamil dengan HIV positif, tergantung pada
keadaan kesehatan serta pengobatannya. Persalinan dapat dilakukan pervaginam
maupun secara operatif dengan seksio sesarea. Pemilihan cara persalinan harus
dibicarakan terlebih dahulu selama kehamilan, seawal mungkin. 6
Seksio sesarea direkomendasikan bagi wanita hamil dengan HIV positif dengan:
2,5
Untuk lebih efektif dalam mencegah penularan, seksio sesarea sudah harus
dijadwalkan pada kehamilan 38 minggu untuk mengurangi kemungkinan
ruptur ketuban, dan harus dilakukan sebelum ketuban pecah.
22
sebaiknya dihindari. Perdarahan postpartum ditangani dengan pemberian
oksitosin, penggunaan preparat alkaloid ergotamin (metergin) akan berinteraksi
dengan ARV golongan NRTI dan PI.
Pada semua kasus ketuban pecah pada usia kehamilan cukup bulan, harus
dilakukan percepatan persalinan. Jika kadar viral load < 50 kopi RNA/ml,
pelahiran dengan cara diinduksi harus segera dilakukan. Pada wanita dengan viral
load 50 - 999 kopi RNA/ml, disaranakn pelahiran dengan sectio caesar dengan
mempertimbangkan lamanya terapi ARV dan ada tidaknya indikasi obstetrik. Jika
viral load >= 1000 kopi RNA/ml maka harus dilakukan pelahiran segera dengan
sectio caesar. 7
Jika KPD berlangsung lama (>= 24 jam) pada usia kehamilan >= 34 minggu maka
diperlukan profilaksis antibiotik bakteri Streptococcus hemolitikus. Sedangkan
jika KPD berlangsung lama pada usia kehamilan < 34 minggu maka diperlukan
ditambahkan pemberian streoid IM. 7
Semua cara persalinan mempunyai resiko, namun resiko penularan HIV dari
wanita hamil dengan HIV positif kepada bayinya lebih tinggi pada persalinan
pervaginam dibanding seksio sesarea yang terencana. Bagi ibu, seksio sesarea
meningkatkan resiko infeksi, masalah yang berhubungan dengan anestesia, serta
resiko lain yang berhubungan dengan tindakan operatif. Bagi bayi, seksio sesarea
meningkatkan resiko infant respiratory distress.
23
Bila telah diputuskan untuk melakukan tindakan seksio sesarea yang terjadwal
untuk menghindari penularan virus HIV, ACOG merekomendasikan untuk
melakukannya pada usia kehamilan 38 minggu, dilihat dari keadaan klinik yang
diperkirakan paling baik serta menghindari pecahnya ketuban. Pecahnya ketuban,
meningkatkan kejadian penularan perinatal, terutama pada wanita yang tidak
memperoleh pengobatan antiretroviral. Pada wanita yang memperoleh pengobatan
ZDV, penelitian menunjukan meningkatnya resiko penularan pada ketuban yang
pecah 4 jam atau lebih sebelum persalinan. Prosedur obstetri meningkatkan resiko
pemaparan janin terhadap darah ibu, seperti amniosintesis, serta monitoring
secara invasif harus dihindari. Prosedur ini harus dilakukan hanya jika ada
indikasi. 2
24
serta faktor klinis lainnya. Masih belum jelas manfaat tindakan seksio sesarea
yang dilakukan setelah ketuban pecah, atau setelah persalinan berlangsung.
Wanita tersebut juga harus memperoleh penjelasan mengenai resiko yang
berhubungan dengan tindakan seksio sesarea. Resiko yang timbul harus
seimbang dengan manfaat yang diperoleh bagi janin.
Wanita tersebut juga harus memperoleh konsultasi mengenai data yang masih
terbatas. Keputusan mengenai persalinan yang akan dijalankan harus
dihormati.
1. Kontrasepsi
Bila bayi tidak disusui, maka efek kontraseptif laktasi akan hilang,
sehingga pasangan tersebut harus memakai kontrasepsi untuk menghindari
atau menunda kehamilan berikutnya. Seorang ODHA sudah harus
menggunakan alat kontrasepsi paling lambat 4 minggu post partum.
2. Menyusui
Bagi ibu dengan HIV positif tidak dianjurkan menyusui bayinya, sebab
dapat terjadi penularan HIV antara 10 20%, apalagi bila terdapat lecet
pada payudara, atau terdapat mastitis.
Pada keadaan dimana ibu tidak bisa membeli susu formula, lingkungan
yang tidak memungkinkan seperti tidak tersedianya air bersih dan
25
sosiokultural, bila pemberian susu formula tidak dapat diterima, tidak
menguntungkan, tidak terjangkau, tidak berkesinambungan, tidak aman,
maka bayi dapat diberi ASI ekslusif sampai usia 4 6 bulan.
Sekitar 50 75% dari bayi yang disusui ibu ODHA, terinfeksi HIV pada 6
bulan pertama kehidupannya, tetapi bayi yang disusui secara ekslusif
selama 6 bulan mempunyai resiko lebih rendah dibandingkan dengan bayi
yang mendapat makanan tambahan. Pada bayi yang mendapat makanan
tambahan pada usia < 6 bulan, dapat terjadi stimulasi imunologis dini
akibat kontak dengan makanan yang terlalu dini sehingga terjadi gangguan
pencernaan yang mengakibatkan peningkatan permiabilitas usus, yang
dapat merupakan tempat masuknya HIV.
PASI (Pengganti Air Susu Ibu) dapat disiapkan dari susu hewan seperti
sapi, kerbau, kambing. Susu hewan murni mengandung terlalu banyak
protein, sehingga dapat merusak ginjal dan menganggu usus bayi, maka
susu tersebut harus dicairkan dengan air, dan ditambahkan gula untuk
energi. PASI sebaiknya diberikan dengan cangkir, sebab lebih mudah
dibersihkan dibandingkan botol. Pemberian makanan campuran seperti
susu, makanan, jus, dan air tidak diperkenankan sebab dapat
meningkatkan resiko penularan dan peningkatan angka kematian bayi.
26
3. Terapi antiretroviral dan imunisasi
Bayi harus mendapat imunisasi seperti bayi sehat. Tes HIV harus sudah
dikerjakan saat bayi berusia 12 bulan, dan bila positif diulang saat berusia
18 bulan.
2.9 PENCEGAHAN
Intervensi PMTCT :
Viral load ibu yang tinggi (HIV / AIDS baru atau lanjutan)
27
Infeksi virus, bakteri, maupun parasit melaui plasenta (khususnya malaria)
Infeksi menular seksual
Malnutrisi maternal (secara tidak langsung)
Viral load ibu yang tinggi (HIV / AIDS baru atau lanjutan)
Pecahnya ketuban > 4 jam sebelum persalinan dimulai
Prosedur persalinan invasif
Janin pertama pada kehamilan multipel
Korioamnionitis
Viral load ibu yang tinggi (HIV / AIDS baru atau lanjutan)
Lama menyusui
Pemberian ASI dengan pemberian makanan pengganti yang awal
Abses payudara / puting yang terinfeksi
Malnutrisi maternal
Penyakit oral bayi (mis: trust atau luka mulut)
WHO mencanangkan empat strategi untuk pencegahan penularan HIV pada bayi dan
anak, yaitu : 6,10
Merupakan hal yang paling penting, yaitu agar seorang ibu yang sehat
jangan sampai tertular HIV, untuk itu terutama ubah perilaku seksual, setia
pada pasangan, hindari hubungan seksual dengan berganti pasangan, bila hal
ini dilanggar, gunakan kondom. Penyakit yang ditularkan secara seksual harus
dicegah dan diobati dengan segera. Jangan menjadi pengguna narkotika
suntikan, terutama dengan penggunaan jarum suntik bergantian.
28
Untuk petugas kesehatan agar mengikuti kaidah kewaspadaan universal
standar. Dokter, perawat, dan tenaga kesehatan lain yang merawat pasien
dengan HIV / AIDS (ODHA) tidak termasuk kelompok resiko tinggi tertular
HIV, khususnya bila menerapkan prosedur baku kewaspadaan universal
pencegahan penularan infeksi. Semua darah atau cairan tubuh harus dianggap
dapat menularkan HIV atau penyakit lain yang terdapat dalam darah.
Transfusi darah harus memakai darah atau komponen darah yang sudah
dinyatakan bebas HIV dan untuk operasi berencana upayakan transfusi darah
autologus.
Pada pasangan yang ingin hamil, sebaiknya dilakukan tes HIV sebelum
kehamilan, dan bagi yang telah hamil, dilakukan tes HIV pada kunjungan
pertama.
Kunci dari keberhasilan program ini adalah VCT (Voulentary Counseling and
Testing), yaitu konseling dan kesiapan menjalani tes HIV. Sasarannya adalah
wanita muda dan pasangannya, serta ibu hamil dan menyusui.
29
termasuk keluarga berencana dan kesehatan reproduksinya sehingga
mereka dapat membuat keputusan tentang kehidupan reproduksinya.
Bila ibu memilih kontrasepsi lain selain kondom untuk mencegah kehamilan, maka
pemakaian kondom harus tetap dilakukan untuk mencegah penularan HIV. Tindakan
tidak menyusui untuk mencegah penukaran HIV dari ibu ke bayi menyebabkan efek
kontrasepsi laktasi menjadi hilang, untuk itu perlu alat kontrasepsi untuk mencegah
kehamilan.
30
BAB III
DAFTAR PUSTAKA
31