Anda di halaman 1dari 31

REFERAT

HIV AIDS DALAM KEHAMILAN

Pembimbing:
dr. Jonas Nara Baringbing, SpOG

Oleh:
Suni Christina Widjaya (406162099)

KEPANITERAAN ILMU OBSTETRIK DAN GINEKOLOGI


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH CIAWI
PERIODE 17 JULI 2017 23 SEPTEMBER 2017
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TARUMANAGARA

1
LEMBAR PENGESAHAN

Referat :
HIV AIDS Dalam Kehamilan

Disusun oleh :
Suni Christina Widjaya

Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

Sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian Kepaniteraan Ilmu Obstetrik dan
Ginekologi RSUD Ciawi
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

Ciawi, 2017

dr. Jonas Nara Baringbing, SpOG

2
3
LEMBAR PENGESAHAN

Referat :
HIV AIDS Dalam Kehamilan
Disusun oleh :
Suni Christina Widjaya (406162099)

Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

Sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian Kepaniteraan Ilmu Obstetrik dan
Ginekologi RSUD Ciawi
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

Mengetahui,
Kepala SMF Obstetrik dan Ginekologi

dr. Freddy Dinata, SpOG

4
BAB I

PENDAHULUAN

AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) merupakan suatu kumpulan gejala


penyakit oportunistik akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh oleh infeksi virus HIV
(Human Immunodeficiency Virus). Virus HIV masuk kedalam tubuh manusia terutama
melalui perantara darah, semen, dan sekret vagina.1
AIDS pertama kali dilaporkan pada tahun 1981 ketika sekelompok pasien
diketahui mengalami defek imunitas seluler dan menderita pneumonia Pneumocystic
jirovecii.1 WHO melaporkan pada tahun 2015 kira-kira terdapat 36,7 juta orang yang
menderita HIV sementara pada tahun 2016, 19,5 juta orang dengan HIV mendapat terapi
obat ARV. WHO juga mencatat 7 dari 10 wanita hamil mendapatkan terapi obat ARV.2
Di Asia, sekitar 4,8 juta orang hidup dengan HIV, 49 % dari semua orang yang
hidup dengan HIV di Asia berada di India. Sementara itu di Indonesia, berdasarkan
laporan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, dari bulan Juli-September 2014
jumlah infeksi HIV tertinggi dilaporkan pada kelompok usia 25-49 tahun (69,1 %) diikuti
kelompok umur 20-24 tahun (17,2 %), dan kelompok umur >=50 tahun (5,5 %). Rasio
HIV antara laki-laki dan perempuan adalah 1:1. Persentase faktor HIV tertinggi adalah
hubungan seks beresiko pada heterseksual (57 %), LSL (Lelaki Seks Lelaki) 15%, dan
penggunaan jarum suntik berulang (4 %). Penderita AIDS dari bulan Juli-September 2014
yang dilaporkan adalah sebanyak 176 orang. Persentase AIDS tertinggi pada kelompok
umur 30-39 tahun (42 %), diikuti kelompok umur 20-29 tahun (36,9 %) dan kelompok
umur 40-49 tahun (13,3 %).3
Perkiraan jumlah kasus AIDS yang diperoleh menurun drastis dalam dua dekade
terakhir. Hal ini terutama disebabkan oleh implementasi pemeriksaan HIV pranatal
disertai terapi antivirus yang diberikan kepada wanita hamil dan kemudian neonatusnya.
Dengan dilakukannya pemeriksaan awal sedini mungkin disertai pemberian terapi dan
tatalaksana yang tepat, dapat membuat prognosis yang lebih baik, dan menurunkan angka
kelahiran bayi dengan infeksi HIV.3

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) ialah kumpulan kondisi klinis
akibat menurunnya daya tahan tubuh yang didapat karena infeksi virus HIV (Human
Immunideficiency Virus).3

2.2 ETIOLOGI
Virus HIV adalah virus RNA, famili: Retroviridae, genus: Lentivirus, memiliki
envelope dan berkapsid. Envelope virus mengandung glikoprotein (gp 120 dan gp 41)
yang berfungsi dalam proses perlekatan sel virus pada sel host. Gp 120 berfungi untuk
mengenali secara spesifik reseptor permukaan sel host. Gp 41 berfungsi untuk
mempercepat fusi sel virus ke sel host. Kapsid virus mengandung inti virus (2 kopi RNA)
dan 3 macam enzim: 3
1. Reverse transkriptase berfungsi mengubah RNA virus ke bentuk DNA virus
2. Integrase berfungsi mengabungkan DNA virus ke DNA host
3. Protease berfungsi membentuk virus baru

6
Terdapat 2 jenis virus HIV:
1. HIV-1, merupakan penyebab umum pada sebagian besar kasus diseluruh dunia
2. HIV-2, penyebarannya tidak terlalu luas. Ditemukan pada Afrika Barat dan beberapa
negara Eropa. Biasanya onset penyakit lebih singkat dan lebih virulen.

Virus HIV cenderung menyerang sel jenis tertentu, yaitu sel-sel yang mempunyai antigen
permukaan CD4, terutama limfosit T yang memegang peranan penting dalam mengatur
dan mempertahankan sistem kekebalan tubuh.
HIV terdapat dalam cairan tubuh orang yang terinfeksi, seperti dalam darah, cairan mani,
sekret vagina, ASI yang terinfeksi HIV.3

2.3 CARA PENULARAN


Ada 3 rute utama penularan HIV: 3
- Hubungan seksual
Merupakan jalur utama penularan HIV-AIDS yang paling umum ditemukan. Virus
dapat ditularkan seseorang yang sudah terkena HIV kepada pasangan seksualnya
melalui hubungan seksual tanpa pengaman (kondom).
- Kontak langsung dengan darah, produk darah, atau jarum suntik
- Transmisi vertikal (penyebab tersering infeksi HIV pada bayi dan anak-anak)
Lebih dari 90 % anak yang terinfeksi HIV didapat dari ibunya. HIV dari ibu ke
janin dapat terjadi intrauterine (5-10 %), intrapartum (10-20 %), dan post partum
(5-20 %).
Transmisi intrauterine dimungkinan karena adanya limfosit yang terinfeksi masuk
ke janin melakui sirkulasi uteroplasenta. Transmisi intrapartum terjadi akibat
adanya lesi pada kulit atau mukosa bayi atau bayi tertelan darah ibu selama proses
persalinan. Transmisi post partum dapat juga melalui ASI.

7
Ada 3 faktor utama yang berpengaruh pada penularan HIV dari ibu ke anak, yaitu faktor
ibu, bayi/anak, dan tindakan obstetrik 3,9
1.Faktor Ibu
a. Jumlah virus (viral load)
Jumlah virus HIV dalam darah ibu saat menjelang atau saat persalinan dan jumlah virus
dalam air susu ibu ketika ibu menyusui persalinan dan jumlah virus dalam air susu ibu
ketika ibu menyusui bayinya sangat mempengaruhi penularan HIV dari ibu ke anak.
Resiko penularan HIV menjadi sangat kecil jika kadar HIV rendah (< 1.000 kopi/ml) dan
sebaliknya jika kadar HIV diatas 100.000 kopi/ml.
b. Jumlah sel CD4
Ibu dengan jumlah sel CD4 rendah lebih beresiko menularkan HIV ke bayinya. Semakin
rendah jumlah sel CD4 resiko penularan HIV semakin besar.
c. Status gizi selama hamil
Berat badan rendah serta kekurangan asupan seperti asam folat, vitamin D, kalsium, zat
besi, mineral selama hamil berdampak bagi kesehatan ibu dan janin akibatnya dapat
meningkatkan resiko ibu untuk menderita penyakit infeksi yang dapat meningkatkan
jumlah virus dan resiko penularan HIV ke bayi.
d. Penyakit infeksi selama hamil
Penyakit infeksi seperti sifilis, infeksi menular seksual, infeksi saluran reproduksi lainnya
akan meningkatkan resiko penularan HIV ke bayi. Infeksi menular seksual meningkatkan
kemudahan seseorang terkena HIV, sehingga IMS dianggap sebagai kofaktor HIV. Oleh
karena itu, upaya pengendalian infeksi HIV dapat dilaksanakan dengan melakukan
pengendalian IMS.

8
Kelompok wanita yang beresiko tinggi: 1
- Pemakaian obat suntik
- Memiliki banyak pasangan seksual
- Prostitusi
- Pasangan seksual dicurigai/terbukti terinfeksi HIV
- Terdiagnosa memiliki penyakit menular seksual

2. Faktor Bayi
a. Usia kehamilan dan BBL
Bayi yang lahir prematur dengan BBLR lebih rentan tertular HIV karena sistem organ
dan sistem kekebalan tubuhnya belum berkembang dengan baik.
b. Periode pemberian ASI
Semakin lama ibu menyusui, resiko penularan HIV ke bayi akan semakin besar
c. Adanya luka dimulut bayi

3. Faktor Obstetrik
Pada saat persalinan, bayi terpapar darah dan lendir ibu dijalan lahir. Faktor obstetrik
yang dapat meningkatkan resiko penularan HIV dari ibu ke anak selama persalinan
adalah
a. Jenis persalinan
Resiko penularan persalinan per vaginam lebih besar daripada persalinan melalui bedah
sesar.
b. Lama persalinan
Semakin lama proses persalinan berlangsung resiko penularan HIV dari ibu ke anak
semakin tinggi, karena semakin lama terjadinya kontak antara bayi dengan darah dan
lendir ibu.
c. Ketuban pecah lebih dari 4 jam sebelum persalinan meningkatkan resiko hingga dua
kali lipat dibandingkan jika ketuban pecah kurang dari 4 jam.
d. Tindakan episiotomi, ekstraksi vakum dan forceps meningkatkan resiko penularan HIV
karena berpotensi melukai ibu

9
2.4 PATOGENESIS 3

Virus memasuki tubuh lalu menginfeksi sel yang terutama mempunyai molekul
CD4. Kelompok sel terbesar yang mempunyai molekul CD4 adalah limfosit T.. Setelah
mengikat molekul reseptor CD4 dan mengikat koreseptor CXCR4 dan CCR5, virus
memasuki sel target dan melepaskan selubung luarnya. RNA retrovirus ditrankripsi
menjadi DNA melalui enzim reverse transkriptase.
Beberapa DNA virus yang baru terbentuk saling bergabung dan masuk ke dalam
sel target dengan bantuan enzim integrase dan membentuk provirus. Provirus dapat
menghasilkan protein virus baru yang bekerja menyerupai pabrik-pabrik untuk virus-
virus baru.
Sel target yang normal akan membelah dan memperbanyak diri seperti biasanya
dan dalam proses ini provirus juga ikut menyebar. Secara klinis berarti orang tersebut
terinfeksi untuk seumur hidupnya. Jika sel yang terinfeksi ini dipakai untuk memproduksi
virus, demikian juga sel target (sel hospes) akan dirusak dan virus akan keluar darinya.

10
Virus menyebar dan masuk ke dalam darah menimbulkan viremia akut dan
memicu reaksi imun sehingga dihasilkan antibodi HIV dan kadar virus dalam darah
menurun. Kondisi tersebut menggambarkan seolah-olah infeksi virus dapat di kendalikan
oleh sistem imun tubuh. Saat antibodi mulai diproduksi, muncul gejala yang dikenal
sebagai fase infeksi akut (sindrom retroviral akut) dimana antibodi mulai bekerja
menghadapi virus HIV (demam, malaise, mual-muntah, limfadenopati). Saat kadar virus
HIV dalam darah mulai menurun maka gejala akan membaik, lalu akan memasuki fase
laten (asimptomatik). Namun walaupun tidak bergejala, sebenarnya terdapat sebagian
dari virus tetap hidup dan berkembang dalam sel dendritik pada jaringan limfoid, yang
terus menerus melakukan replikasi dan membentuk virus baru. Virus baru tersebut akan
menyerang sel limfosit T yang memiliki antigen CD4 pada permukaannya dan
menyebabkan kadar limfosit T CD4 menurun. Saat kadar limfosit T CD4 menurun maka

11
tubuh menjadi rentan terhadap berbagai macam infeksi. Kumpulan gejala dari berbagai
penyakit infeksi tersebut yang disebabkan oleh HIV dikenal sebagai AIDS.
Window period adalah masa dimana saat dilakukan pemeriksaan test serologis
antibodi HIV didapatkan hasil negatif namun sebenarnya virus terdapat didalam darah
dan berpotensi menularkan. Hal tersebut terjadi karena kadar antibodi yang terbentuk
belum cukup memadai.

2.5 MANIFESTASI KLINIS 3


Diagnosis Klinis Infeksi HIV pada Orang Dewasa (WHO)

Stadium Gambaran Klinis Skala Aktivitas


Asimptomatik
I Asimptomatik, aktivitas
Limfadenopti generalisata normal
Berat badan menurun < 10%
II Kelainan kulit dan mukosa yang ringan Simptomatik, aktivitas
seperti dermatitis seboroik, prurigo, normal
onikomikosis, ulkus oral yang rekuren,
khilitis angularis
Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir

ISPA seperti sinusitis bakterialis


Berat badan menurun > 10%
III Diare kronis > 1 bulan Pada umumnya lemah,
Demam berkepanjangan > 1 bulan aktivitas di tempat tidur
Kandidiasis orofaringeal < 50%
Oral hairy leukoplakia
TB paru dalam tahun terakhir

Infeksi bakterial berat seperti pneumonia,


piomiositis
HIV wasting syndrome seperti yang
IV didefinisikan CDC Pada umumnya sangat
Pneumonia Pneumocytis carinii lemah, aktivitas di
Toksoplasmosis otak tempat tidur > 50%
Diare kriptoporidiosis > 1 bulan
Kriptokokosis ekstrapulmonal
Retinitis virus cytomegalo
Herpes simpleks mukokutan > 1 bulan

12
Leukoensepalopati multifokal progresif
Mikosis diseminata seperti histoplasmosis
Kandidiasis di esofagus, trakea, bronkus,
dan paru
Mikobakteriosis atipikal diseminata
Septisemia salmonelosis non tifoid
Tuberkulosis di luar paru
Limfoma
Sarkoma kaposi

Ensefalopati HIV

- HIV wasting syndrome: BB > 10 % ditambah diare kronik > 1 bulan atau demam > 1
bulan yang tidak disebabkan penyakit lain.
- Ensefalopati HIV: gangguan kognitif dan atau disfungsi motorik yang menganggu
aktivitas hidup sehari - hari dan bertambah buruk dalam beberapa minggu atau bulan
yang tidak disertai penyakit lain selain HIV.

Kelainan yang terjadi pada janin BBLR, bayi lahir mati, partus preterm, abortus spontan.5

2.6 TAHAPAN KLINIS 3

13
1. Window period ( 6 bulan)
Pada fase ini pasien tetap seronegatif selama beberapa bulan
2. Fase infeksi akut /sindroma retroviral akut ( 3 minggu)
Pada fase ini mulai terjadi serokonversi status antibodi negatif ke positif
Kadar sel T CD4 dan kadar virus dalam darah menurun
Muncul gejala malaise, demam, mual muntah, limfadenopati
3. Fase laten/asimptomatik ( 10 tahun)
Pada fase ini gejala mulai membaik
Kadar sel T CD4 mulai membaik dan kadar virus dalam darah turun sampai suatu "set
point"
Sebagian virus masih ada yang menetap pada sel dendritik di jaringan limfoid akan terus
berkembang perlahan-lahan
4. Fase simptomatik ( 1-2 tahun)
Pada fase ini virus yang berkembang dalam jaringan limfoid mulai menyebar kedalam
darah dan menyerang sel T CD4
Kadar sel T CD4 umumnya akan menurun sampai < 200 sel/mikroliter
Timbul gejala-gejala imunosupresi (AIDS)

2.7 DIAGNOSTIK
- Test diagnosa HIV 2
1. Test screening: test antibodi (rapid test HIV dan ELISA)
2. Test konfirmasi: jika hasil rapid test HI/ ELISA positif maka dapat dilakukan test
konfirmasi Western blot essay, IFA (Immunoflourescence assay)
- Test dan konseling HIV pada ibu hamil dilakukan atas inisiatif petugas kesehatan
(TIPK) atau provider-initiated HIV testing and counseling (PITC).

Didaerah epidemi HIV tinggi, penawaran test HIV oleh tenaga kesehatan
difasilitas kesehatan wajib kepada semua ibu hamil secara inklusif pada
pemeriksaan laboratorium rutin lainnya saat pemeriksaan antenatal atau
menjelang persalinan. Idealnya dilakukannya saat trimester 1 dan dilakukan
pengulangan saat trimester 3, terutama pada wanita yang memiliki resiko tinggi. 2

14

Didaerah epidemi HIV rendah, penawaran test HIV oleh tenaga kesehatan
diproritaskan pada ibu hamil dengan IMS dan TB
- TIKP dilakukan dengan memberikan informasi pra-tes kepada ibu hamil tentang:
1. Resiko penularan penyakit pada bayi
2. Keuntungan diagnosis dini penyakit pada kehamilan bagi bayi yang akan dilahirkan,
termasuk HIV, malaria, dan atau penyakit tidak menular lainnya seperti hipertensi,
diabetes, dan lain-lain
3. Cara mengurangi resiko penularan penyakit dari ibu ke anaknya.
- Test HIV atas inisiatif petugas kesehatan dilakukan secara option out, yaitu bila ibu
menolak, ibu hamil harus menyatakan ketidaksetujuannya secara tertulis dan
diinformasikan serta ditawarkan kembali untuk menjalani test pada kunjungan
berikutnya. Bila ibu tetap menyatakan option out maka diperkenalkan dengan KTS
(Konseling dan Tes Sukarela) dan dirujuk ke KTS.
- Pemeriksaan diagnostik infeksi HIV yang dilakukan di Indonesia umumnya adalah
pemeriksaan serologis menggunakan rapid test HIV atau ELISA. Pemeriksaan
diagnostiknya dilakukan secara serial menggunakan 3 reagen HIV berbeda. Pemilihan
jenis reagen yang digunakan berdasarkan sensitivitas dan spesifisitas yang merujuk pada
Standar Pelayanan Laboratorium Kesehatan Pemeriksa HIV dan Infeksi Oportunistik
Kementrian Kesehatan.
- Hasil pemeriksaan dinyatakan reaktif jika hasil tes dengan reagen 1 (A1), reagen 2
(A2), dan reagen 3 (A3) ketiganya positif.
- Ibu hamil dengan faktor resiko yang hasilnya indeterminate, test diagnostik HIV
dapat diulang dengan bahan baru yang diambil minimal 14 hari setelah yang pertama dan
setidaknya test ulang menjelang persalinan (32-36 minggu)
- Pada ibu hamil yang akan segera melahirkan dan jarang melakukan pemeriksaan
antenatal serta srtatus HIV tidak diketahui, sebaiknya segera dilakukan pemeriksaan
rapid test HIV. Jika hasilnya positif segera siapkan persalinan sectio caesar, pemberian
profilaksis intrapartum zidovudine IV 3 jam sebelum operasi, dan pemberian prolikaksis
post partum pada bayinya.

15
Pemeriksaan HIV untuk bayi biasanya dilakukan pada: 7

Antara 48 jam setelah lahir


Usia 6 minggu (2 minggu pasca penghentian profilaksis)
Usia 12 minggu (2 bulan pasca penghentian profilaksis)
Test antibodi HIV harus dilakukan saat usia 18 bulan (sudah terjadi
serokonversi).

16
Test Diagnostik HIV pada kehamilan 8

No HIV Test Diperiksa Window Hasil Sensitifitas Spesifisitas


period
1 ELISA Ab HIV 3 bulan 1 hari-2 > 99% > 98%
minggu
2 P24 antigen test P24 protein 11 hari - 1 2 hari - 1 90% 100%
virus bulan minggu
3 PCR Material 12 hari 2 hari - 1 > 99% > 99%
genetik minggu
4 Rapid test Ab HIV 3 bulan 20 menit > 99% > 98%

2.8 TATALAKSANA

1. Antiretroviral (ARV) pada Kehamilan 6

Berikan ARV segera kepada semua ibu hamil dengan HIV, tanpa harus mengetahui
nilai CD4 dan stadium klinisnya terlebih dahulu, dan dilanjutkan seumur hidup.
Rekomendasi pengobatan sesuai dengan situasi klinis ibu dapat dilihat ditabel berikut.

17
Profilaksis ARV untuk Bayi:

AZT (zidovudine) 2 mg/kgBB, 2x/hari, mulai hari ke-1 hingga 6 minggu.


Selanjutnya diberikan kortimoksazol profilaksis mulai usia 6 minggu
sampai usia 1 tahun atau diagnosa HIV ditegakkan, dengan dosis 4-6
mg/kgBB, 1x/hari.

Kombinasi ARV:

1. NRTI (Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors) menghambat kuat enzim


reverse transkriptase, contohnya: Zidovudine (AZT), Didanosine (ddl), Tenovofir
(TDF), Lamivudin (3TC)

2. NNRTI (Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor) menghambat


aktivitas enzim reverse transkriptase dengan mengikat secara langsung tempat
aktif pada enzim tanpa aktivasi sebelumnya, contohnya Nevirapine (NVP),
Evafirenz (EFV)

18
3. PI (Protease Inhibitor) menghambat enzim protease yang dibutuhkan untuk
memecah prekursor poliprotein virus dan mencegah virus dilepaskan, contoh
Lopinavir (LPV), Nelfinavir (NFV), Saquinavir (SQV).

19
KEAMANAN DAN TOKSIKSITAS PENGOBATAN HIV DALAM
KEHAMILAN 8

Suatu studi kohort menyatakan adanya hubungan penggunaan ARV


selama kehamilan dengan BBLR, dan persalinan preterm.

20
2. Penanganan Persalinan

Kebanyakan penularan HIV terhadap janin / bayi terjadi saat persalinan, maka
pemberian pengobatan pada saat ini merupakan hal yang sangat penting untuk
melindungi infeksi HIV terhadap bayi. Terapi ARV ibu disertai dengan profilaksis
zidovudin intrapartum telah secara dratis menurunkan resko penularan HIV
perinatal dari sekitar 25% menjadi 2% atau kurang pada wanita.

Regimen yang biasa digunakan adalah three part ZDV regimen menurut
PACTG 076: 2

1. Wanita hamil dengan HIV

ZDV dimulai pada kehamilan 14 34 minggu dengan dosis 5 x 100 mg,


atau 3 x 200 mg, atau 2 x 300 mg dilanjutkan sepanjang kehamilan.

2. Persalinan

Pada saat persalinan, dilakukan pemberian ZDV intravena (i.v), dengan


dosis awal 2 mg/kg dalam 1 jam diikuti oleh infus kontunu 1mg/kg/jam
sampai pelahiran.

Untuk bedah caesar ekektif, zidovudin i.v diberikan paling tidak 3 jam
sebelum pembedahan.

Untuk ketuban pecah dini atau persalinan dengan rencana persalinan


operatif (ekstraksi cunam atau vakum), dosis awal dapat diberikan dalam
1/2 jam sebelumnya.

21
3. Bayi

Bayi yang dilahirkan diberikan ZDV dalam bentuk cair dengan dosis 2
mg/kg/ 6 jam selama 6 minggu setelah dilahirkan.

Bila selama kehamilan wanita hamil dengan HIV positif sudah mendapat
pengobatan anti HIV lain, maka pengobatan tersebut dilanjutkan sesuai jadwal
selama persalinan.

Pilihan persalinan bagi wanita hamil dengan HIV positif, tergantung pada
keadaan kesehatan serta pengobatannya. Persalinan dapat dilakukan pervaginam
maupun secara operatif dengan seksio sesarea. Pemilihan cara persalinan harus
dibicarakan terlebih dahulu selama kehamilan, seawal mungkin. 6

Seksio sesarea direkomendasikan bagi wanita hamil dengan HIV positif dengan:
2,5

Ada indikasi obstetri


Belum pernah mendapat pengobatan ARV atau dimulai pada usia kehamilan >
36 minggu (ARV < 6 bulan)
Viral load tidak diketahui atau > 1000/mL pada usia kehamilan 36 minggu

Untuk lebih efektif dalam mencegah penularan, seksio sesarea sudah harus
dijadwalkan pada kehamilan 38 minggu untuk mengurangi kemungkinan
ruptur ketuban, dan harus dilakukan sebelum ketuban pecah.

Persalinan pervaginam merupakan pilihan persalinan bagi wanita hamil dengan


5
HIV positif dengan:

Pengobatan ARV mulai pada < 14 minggu (ARV > 6 bulan).


Viral load < 1000/mL pada usia kehamilan 36 minggu.

Persalinan pervaginam sebaiknya dilakukan dengan penguat persalinan agar


mempersingkat waktu persalinan. Penggunaan ekstraksi cunam atau vakum

22
sebaiknya dihindari. Perdarahan postpartum ditangani dengan pemberian
oksitosin, penggunaan preparat alkaloid ergotamin (metergin) akan berinteraksi
dengan ARV golongan NRTI dan PI.

Menurut British HIV Association dalam guidines of managment of HIV


infection in pregnant women (2014) menyatakan jika seorang wanita dengan
kadar viral load < 50 kopi RNA/ml tanpa indikasi obstetrik dapat lahir
pervaginam, sementara viral load 50 - 399 kopi RNA/ml disarankan
melakukan SC dengan mempertimbangkan lamanya terapi ARV dan ada
tidaknya indikasi obstetrik, sedangkan viral load >= 400 kopi RNA/ml
dilakukan sectio caesar. 7

Pada semua kasus ketuban pecah pada usia kehamilan cukup bulan, harus
dilakukan percepatan persalinan. Jika kadar viral load < 50 kopi RNA/ml,
pelahiran dengan cara diinduksi harus segera dilakukan. Pada wanita dengan viral
load 50 - 999 kopi RNA/ml, disaranakn pelahiran dengan sectio caesar dengan
mempertimbangkan lamanya terapi ARV dan ada tidaknya indikasi obstetrik. Jika
viral load >= 1000 kopi RNA/ml maka harus dilakukan pelahiran segera dengan
sectio caesar. 7

Jika KPD berlangsung lama (>= 24 jam) pada usia kehamilan >= 34 minggu maka
diperlukan profilaksis antibiotik bakteri Streptococcus hemolitikus. Sedangkan
jika KPD berlangsung lama pada usia kehamilan < 34 minggu maka diperlukan
ditambahkan pemberian streoid IM. 7

Semua cara persalinan mempunyai resiko, namun resiko penularan HIV dari
wanita hamil dengan HIV positif kepada bayinya lebih tinggi pada persalinan
pervaginam dibanding seksio sesarea yang terencana. Bagi ibu, seksio sesarea
meningkatkan resiko infeksi, masalah yang berhubungan dengan anestesia, serta
resiko lain yang berhubungan dengan tindakan operatif. Bagi bayi, seksio sesarea
meningkatkan resiko infant respiratory distress.

23
Bila telah diputuskan untuk melakukan tindakan seksio sesarea yang terjadwal
untuk menghindari penularan virus HIV, ACOG merekomendasikan untuk
melakukannya pada usia kehamilan 38 minggu, dilihat dari keadaan klinik yang
diperkirakan paling baik serta menghindari pecahnya ketuban. Pecahnya ketuban,
meningkatkan kejadian penularan perinatal, terutama pada wanita yang tidak
memperoleh pengobatan antiretroviral. Pada wanita yang memperoleh pengobatan
ZDV, penelitian menunjukan meningkatnya resiko penularan pada ketuban yang
pecah 4 jam atau lebih sebelum persalinan. Prosedur obstetri meningkatkan resiko
pemaparan janin terhadap darah ibu, seperti amniosintesis, serta monitoring
secara invasif harus dihindari. Prosedur ini harus dilakukan hanya jika ada
indikasi. 2

Rekomendasi pencegahan penularan vertikal HIV terhadap janin :9

Usaha memaksimalkan kesehatan wanita hamil, pemberian kombinasi terapi


antiretroviral, diharapkan dapat menurunkan jumlah virus serta angka
penularan vertikal. Penurunan minimum penularan HIV, direkomenndasikan
pemberian regimen ZDV profilaksis.
Tingkat plasma HIV-1 RNA harus dimonitor selama kehamilan sesuai dengan
standar pelaksanaan infeksi HIV pada dewasa.
Penularan HIV perinatal dapat diturunkan dengan tindakan seksio sesarea
terencana, pada wanita dengan tingkat RNA HIV-1 yang tidak diketahui, yang
tidak memperoleh pengobatan antiretroviral, atau hanya memperoleh ZDV
profilaksis.
Wanita dengan tingkat HIV-1 RNA > 1000/ml, harus dikonsultasikan untuk
membicarakan mengenai tindakan seksio sesarea terencana untuk menurunkan
resiko penularan vertikal.
Penatalaksanaan pada wanita yang telah direncanakan untuk tindakan seksio
sesarea dan datang dengan ketuban pecah, atau datang dalam keadaan
persalinan, harus berdasarkan lamanya waktu ketuban pecah, jalannya
persalinan, tingkat plasma HIV-1 RNA, pengobatan antiretroviral sebelumnya,

24
serta faktor klinis lainnya. Masih belum jelas manfaat tindakan seksio sesarea
yang dilakukan setelah ketuban pecah, atau setelah persalinan berlangsung.
Wanita tersebut juga harus memperoleh penjelasan mengenai resiko yang
berhubungan dengan tindakan seksio sesarea. Resiko yang timbul harus
seimbang dengan manfaat yang diperoleh bagi janin.
Wanita tersebut juga harus memperoleh konsultasi mengenai data yang masih
terbatas. Keputusan mengenai persalinan yang akan dijalankan harus
dihormati.

3. Penanganan Pasca Persalinan di Indonesia 6,10

Sesuai dengan Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan


Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan Republik Indonesia, ada
beberapa hal yang harus diperhatikan pasca persalinan, antara lain :

1. Kontrasepsi

Bila bayi tidak disusui, maka efek kontraseptif laktasi akan hilang,
sehingga pasangan tersebut harus memakai kontrasepsi untuk menghindari
atau menunda kehamilan berikutnya. Seorang ODHA sudah harus
menggunakan alat kontrasepsi paling lambat 4 minggu post partum.

2. Menyusui

Bagi ibu yang belum diketahui status serologinya, dianjurkan menyusui


bayinya secara ekslusif selama 6 bulan, dan dapat dilanjutkan sampai 2
tahun atau lebih. Makanan alternatif diberikan sejak bayi berusia 6 bulan.

Bagi ibu dengan HIV positif tidak dianjurkan menyusui bayinya, sebab
dapat terjadi penularan HIV antara 10 20%, apalagi bila terdapat lecet
pada payudara, atau terdapat mastitis.

Pada keadaan dimana ibu tidak bisa membeli susu formula, lingkungan
yang tidak memungkinkan seperti tidak tersedianya air bersih dan

25
sosiokultural, bila pemberian susu formula tidak dapat diterima, tidak
menguntungkan, tidak terjangkau, tidak berkesinambungan, tidak aman,
maka bayi dapat diberi ASI ekslusif sampai usia 4 6 bulan.

Sekitar 50 75% dari bayi yang disusui ibu ODHA, terinfeksi HIV pada 6
bulan pertama kehidupannya, tetapi bayi yang disusui secara ekslusif
selama 6 bulan mempunyai resiko lebih rendah dibandingkan dengan bayi
yang mendapat makanan tambahan. Pada bayi yang mendapat makanan
tambahan pada usia < 6 bulan, dapat terjadi stimulasi imunologis dini
akibat kontak dengan makanan yang terlalu dini sehingga terjadi gangguan
pencernaan yang mengakibatkan peningkatan permiabilitas usus, yang
dapat merupakan tempat masuknya HIV.

Pemberian ASI ekslusif selama 4 6 bulan mengurangi morbiditas dan


mortalitas akibat infeksi selain HIV. Pemberian makanan tambahan juga
berkaitan dengan resiko mastitis, akibat ASI yang terakumulasi pada
payudara ibu. Cara lain menghindari penularan HIV, dengan
menghangatkan ASI di atas 66 C untuk membunuh virus HIV dan
mnyusui hanya dilakukan pada bulan bulan pertama saja.

PASI (Pengganti Air Susu Ibu) dapat disiapkan dari susu hewan seperti
sapi, kerbau, kambing. Susu hewan murni mengandung terlalu banyak
protein, sehingga dapat merusak ginjal dan menganggu usus bayi, maka
susu tersebut harus dicairkan dengan air, dan ditambahkan gula untuk
energi. PASI sebaiknya diberikan dengan cangkir, sebab lebih mudah
dibersihkan dibandingkan botol. Pemberian makanan campuran seperti
susu, makanan, jus, dan air tidak diperkenankan sebab dapat
meningkatkan resiko penularan dan peningkatan angka kematian bayi.

Bila dimungkinkan, diberikan susu formula, bila tidak, dapat dilakukan


pemberian ASI secara ekslusif selama 6 bulan penuh, selanjutnya segera
disapih.

26
3. Terapi antiretroviral dan imunisasi

Bayi harus mendapat imunisasi seperti bayi sehat. Tes HIV harus sudah
dikerjakan saat bayi berusia 12 bulan, dan bila positif diulang saat berusia
18 bulan.

2.9 PENCEGAHAN

Pencegahan Penularan HIV pada Bayi dan Anak 6

Dalam buku Prevention of Mother to Child Transmission of HIV, World


Health Organization menyebutkan bahwa PMTCT (programmes of the
Prevention of Mother to Child Transmission), dapat menurunkan penularan
vertikal HIV, juga menghubungkan wanita dengan infeksi HIV, anak, serta
keluarganya, untuk memperoleh pengobatan, perawatan, serta dukungan. PMTCT
merupakan program yang komperhensif dan mengikuti protokol serta kebijakan
nasional.

Intervensi PMTCT :

Pemeriksaan dan konseling HIV


Antiretroviral
Persalinan yang lebih aman
Menyusui yang lebih aman

Keterlibatan pasangan dalam PMTCT:

Kedua pasangan harus mengetahui pentingnya seks yang aman selama


persalinan dan masa menyusui
Kedua pasangan harus menjalani pemeriksaan dan konseling HIV
Kedua pasangan harus mengetahui dan menjalankan PMTCT

Faktor resiko MTCT selama kehamilan:

Viral load ibu yang tinggi (HIV / AIDS baru atau lanjutan)

27
Infeksi virus, bakteri, maupun parasit melaui plasenta (khususnya malaria)
Infeksi menular seksual
Malnutrisi maternal (secara tidak langsung)

Faktor resiko MTCT selama persalinan:

Viral load ibu yang tinggi (HIV / AIDS baru atau lanjutan)
Pecahnya ketuban > 4 jam sebelum persalinan dimulai
Prosedur persalinan invasif
Janin pertama pada kehamilan multipel
Korioamnionitis

Faktor resiko MTCT selama masa menyusui:

Viral load ibu yang tinggi (HIV / AIDS baru atau lanjutan)
Lama menyusui
Pemberian ASI dengan pemberian makanan pengganti yang awal
Abses payudara / puting yang terinfeksi
Malnutrisi maternal
Penyakit oral bayi (mis: trust atau luka mulut)

WHO mencanangkan empat strategi untuk pencegahan penularan HIV pada bayi dan
anak, yaitu : 6,10

1. Pencegahan primer, dengan melakukan pencegahan agar seluruh wanita


jangan sampai terinfeksi HIV

Merupakan hal yang paling penting, yaitu agar seorang ibu yang sehat
jangan sampai tertular HIV, untuk itu terutama ubah perilaku seksual, setia
pada pasangan, hindari hubungan seksual dengan berganti pasangan, bila hal
ini dilanggar, gunakan kondom. Penyakit yang ditularkan secara seksual harus
dicegah dan diobati dengan segera. Jangan menjadi pengguna narkotika
suntikan, terutama dengan penggunaan jarum suntik bergantian.

28
Untuk petugas kesehatan agar mengikuti kaidah kewaspadaan universal
standar. Dokter, perawat, dan tenaga kesehatan lain yang merawat pasien
dengan HIV / AIDS (ODHA) tidak termasuk kelompok resiko tinggi tertular
HIV, khususnya bila menerapkan prosedur baku kewaspadaan universal
pencegahan penularan infeksi. Semua darah atau cairan tubuh harus dianggap
dapat menularkan HIV atau penyakit lain yang terdapat dalam darah.

Transfusi darah harus memakai darah atau komponen darah yang sudah
dinyatakan bebas HIV dan untuk operasi berencana upayakan transfusi darah
autologus.

Pada pasangan yang ingin hamil, sebaiknya dilakukan tes HIV sebelum
kehamilan, dan bagi yang telah hamil, dilakukan tes HIV pada kunjungan
pertama.

Kunci dari keberhasilan program ini adalah VCT (Voulentary Counseling and
Testing), yaitu konseling dan kesiapan menjalani tes HIV. Sasarannya adalah
wanita muda dan pasangannya, serta ibu hamil dan menyusui.

2. Menghindari kehamilan yang tidak diinginkan pada wanita dengan HIV


positif

Ada tiga strategi:

1. Mencegah kehamilan yang tidak diinginkan

Kebanyakan wanita dengan infeksi HIV di negara berkembang tidak


mengetahui status serologis mereka, maka VCT memegang peranan
penting. Pelayanan KB perlu diperluas untuk semua wanita, termasuk
mereka yang terinfeksi, mendapatkan dukungan dan pelayanan untuk
mencegah kehamilan yang tidak diketahui. Bagi wanita yang sudah
terinfeksi HIV agar mendapat pelayanan esensial dan dukungan

29
termasuk keluarga berencana dan kesehatan reproduksinya sehingga
mereka dapat membuat keputusan tentang kehidupan reproduksinya.

2. Menunda kehamilan berikutnya

Bila ibu tetap menginginkan anak, WHO menyarankan minimal 2


tahun jarak antar kehamilan. Untuk menunda kehamilan :

Tidak diperkenankan memakai alat kontrasepsi dalam rahim sebab


dapat menjalarkan infeksi ke atas sehingga menimbulkan infeksi
pelvis. Wanita yang menggunakan IUD mempunyai kecenderungan
mengalami perdarahan yang dapat menyebabkan penularan lebih
mudah terjadi.
Kontrasepsi yang dianjurkan adalah kondom, sebab dapat mencegah
penularan HIV dan infeksi menular seksual, namun tidak mempunyai
angka keberhasilan yang sama tinggi dengan alat kontrasepsi lainnya
seperti kontrasepsi oral atau noorplant.
Kontrasepsi oral dan kontrasepsi hormonal jangka panjang seperti
noorplant dan depo provera tidak merupakan suatu kontraindikasi pada
wanita yang terinfeksi HIV. Penelitian sedang dilakukan untuk
mengetahui pengaruh penggunaan kontrasepsi hormonal terhadap
perjalanan penyakit HIV.
Spons dan diafragma kurang efektif untuk mencegah kehamilan
maupun mencegah penularan HIV.
Untuk ibu yang tidak ingin punya anak lagi, kontrasepsi yang paling
tepat adalah sterilisasi (tubektomi atau vasektomi).

Bila ibu memilih kontrasepsi lain selain kondom untuk mencegah kehamilan, maka
pemakaian kondom harus tetap dilakukan untuk mencegah penularan HIV. Tindakan
tidak menyusui untuk mencegah penukaran HIV dari ibu ke bayi menyebabkan efek
kontrasepsi laktasi menjadi hilang, untuk itu perlu alat kontrasepsi untuk mencegah
kehamilan.

30
BAB III

DAFTAR PUSTAKA

1. WHO: HIV/AIDS Data and Statistics. Available form: www.who.int/hiv/data/en/


2. Cunningham, FG. William Obstetri Edisi ke 23 volume 2. USA: McGraw Hill,
2015: 1315-1322.
3. Setiadi S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setyohadi B, Syam AF. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Edisi VI. Jakarta: Interna Publishing, 2014
4. Prawiroharjo, S. Edisi ke 4. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawiroharjo, 2016: 932-933.
5. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu Di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan.
Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2013: 162-167.
6. WHO: Prevention of Mother to Child Transmission of HIV, Generic Trainic
Package. Available form: http://who.int/hiv/en.
7. Bristish HIV Association. The Management of HIV Infection In Pregnant Women.
HIV Medicine (2014). 2014 May (cited 2017 August 31); 15 (Suppl. 4), 1-77.
8. Rimawi BH, Haddad L, Badell ML, Chakraborty R. Management of HIV
Infection During Pregnancy in United States: Updated Evidence-Based
Recommendations and Future Potential Practices. Infectious Disease Obstetric
and Gynecology Volume 2016. 2016 June 16 (cited 2017 August 31); pp. 1-7 .
9. Soudeyns H. Understanding Risk Factors For Incident Maternal HIV-1 Infection.
AIDS 2015; 29:2053-2054.
10. Little KM, Kilmarx PH, Taylor AW, Rose CE, Rivadeneira ED, Nesheim SR. A
Review of Transmission of HIV From Child to Breastfeeding Women and
Implication for Prevention. Pediatr Infec Dis J. 2012 September (cited 2017
August 30); 31(9): 938-942.

31

Anda mungkin juga menyukai