Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN
Gangguan perdarahan uterus abnormal merupakan suatu penyakit,
dimana salah satnya adalah Disfungsional Uterine Bleeding. Disfungsi uterine
bleeding

merupakan salah satu perdarahan dari uterus yang tidak ada

hubungannya dengan sebab organik, dimana terjadi perdarahan abnormal di dalam


atau di luar siklus haid oleh karena gangguan mekanisme kerja poros
hipotalamus-hipofisis-ovarium-endometrium. Perdarahan fungsional dapat terjadi
pada setiap umur antara menarch dan menopause. Tetapi kelainan ini lebih sering
dijumpai sewaktu masa permulaan dan masa akhir fungsi ovarium. Dua pertiga
dari wanita-wanita yang dirawat di rumah sakit untuk perdarahan disfungsional
berumur diatas 40 tahun, dan 3% dibawah 20 tahun. Sebetulnya dalam praktek
banyak dijumpai pula perdarahan disfungsional dalam masa pubertas, akan tetapi
karena keadaan ini biasanya dapat sembuh sendiri, jarang diperlukan perawatan di
rumah sakit. Klasifikasi jenis endometrium yaitu jenis sekresi atau nonsekresi
sangat penting dalam hal menentukan apakah perdarahan yang terjadi jenis
ovulatoar atau anovular.1
Perdarahan uterus disfungsional merupakan sebab tersering perdarahan
abnormal per vaginam pada masa reproduksi wanita. Dilaporkan gangguan ini
terjadi pada 5-10% wanita (Dodds, 2004). Lebih dari 50% terjadi pada masa
perimenopause, sekitar 20% pada masa remaja, dan kira-kira 30% pada wanita
usia reproduktif (Chalik, 1998). Ras bukan faktor penting, tetapi insidensi
leiomyoma pada wanita ras Afrika lebih tinggi dan mereka memiliki
kadarestrogen yang lebih banyak, karena itu mereka cenderung untuk lebih sering
mengalami episode perdarahan abnormal pervaginam (Dodds, 2004).2
Diagnosis dari PUD baru dapat ditegakkan bila penyebab organik dan
fungsional

lain

(seperti

kehamilan,

infeksi

maupun

tumor)

dari

perdarahanabnormal tersebut sudah disingkirkan. Karena itu diagnosis PUD


seringkalimembutuhkan waktu yang lama. Terapinya tergantung dari usia
penderita, waktu,dan intensitas perdarahan (Davidson, 1999). Hingga tahun 1980-

an, histerektomisering digunakan untuk mengatasi perdarahan uterus yang berat,


tetapi saat inicara tersebut bukan merupakan pilihan yang utama, terutama pada
wanita yangmasih ingin memiliki anak. Dilatasi dan kuretase juga dapat dilakukan
sebagaiupaya pengobatan, namun di Indonesia cara ini tabu dilakukan pada wanita
yangbelum menikah, karena himen sangat tinggi nilainya, oleh karena itu usaha
pengobatan

secara

hormonal

menjadi

salah

satu

pilihan

walaupun

pemberiannyaharus diawasi secara ketat karena memiliki banyak efek samping


(Ali, 1989). 1

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1

Definisi
Perdarahan uterus disfungsional (PUD) adalah suatu perdarahan

uterus yang berlebihan baik jumlah, frekuensi atau lamanya, yang terjadi baik di
dalam maupun di luar siklus haid, yang merupakan perwujudan klinik dari
gangguan fungsional, tanpa ditemukan adanya kelainan antomik/neoplasma,
infeksi maupun kehamilan, tetapi disebabkan karena gangguan fungsi mekanisme
kerja poros hipotalamus-hipofisis-ovarium-endometrium tanpa disertai kelainan
organik baik dari genital maupun dari ekstragenital. 3,4
Menurut Anwar, perdarahan uterus disfungsi adalah perdarahan cavum
uteri sebagai manifestasi dari siklus ovarium yang anovulatoar tanpa
didapatkannya kelainan medik atau patologik. Tiga kategori besar dari perdarahan
disfungsi tersebut adalah : Estrogen breakthrough bleeding, Estrogen withdrawal
bleeding dan Progestin breakthrough bleeding. 5
Adapun kelainan ini terjadi sejak menars (pertama kali datangnya
haid) hingga memasuki usia reproduksi, yang biasanya berlangsung sampai 3-5
tahun setelah menars dan ditandai dengan siklus haid yang tidak teratur baik
lamanya maupun jumlah darahnya. Siklus anovulatorik adalah siklus dimana
terjadinya haid tanpa didahului ovulasi. 2

Pola dari perdarahan uterus abnormal1


Penggolongan standar dari perdarahan abnormal dibedakan menjadi 7 pola :
1) Menoragia (hipermenorea) adalah perdarahan menstruasiyang banyak dan
memanjang. Adanya bekuan-bekuan darah tidak selalu abnormal, tetapi dapat
menandakan adanya perdarahan yang banyak. Perdarahan yang gushing dan
open-faucet selalu menandakan suatu yang tidak lazim. Mioma submukosa,
komplikasi kehamilan, adenomiosis, IUD, hiperplasia endometrium, tumor
ganas, dan perdarahan disfungsional adalah penyebab tersering dari menoragia.

2) Hipomenorea (kriptomenorea) adalah perdarahan menstruasi yang sedikit, dan


terkadang hanya berupa bercak darah. Obstruksi seperti pada stenosis himen
atau serviks mungkin sebagai penyebab. Sinekia uterus (Ashermans
Syndrome) dapat menjadi penyebab dan diagnosis ditegakkan dengan
histerogram dan histeroskopi. Pasien yang mengalami kontrasepsi oral kadang
mengeluh seperti ini, dan dapat dipastikan ini tidak apa-apa.
3) Metroragia (perdarahan intermenstrual) adalah perdarahan yang terjadi pada
waktu-waktu diantara periode menstruasi. Perdarahan ovulatoar terjadi
sitengah-tengah siklus ditandai dengan beevak darah dan dapat dilacak dengan
memantau suhu tubuh basal. Polip endometrium, karsinoma endometrium dan
karsinoma serviks adalah penyebab yang patologis. Pada beberapa tahun
administrasi esterogen eksogenmenjadi penyebab umum pada perdarahan tipe
ini
4) Polimenorea berarti periode menstruasi yang terjadi terlalu sering. Hal ini
biasanya berhubungan dengan anovulasi dan pemendekan fase luteal pada
siklus menstruasi.
5) Menometroragia adalah perdarahan yang terjadi pada interval yang iregular.
Jumlah dan durasi perdarahan juga bervariasi. Kondidi apapun yang
menyebabkan perdarahan intermentrual dapat menyebabkan menometroragia.
Onset yang tiba-tiba dari periode perdarahan dapat mengindikasikan adanya
keganasan atau komplikasi dari kehamilan.
6) Oligomenorea adalah periode menstruasi yang terjadi lebih dari 35 hari,
Amenorea didiagnosis bila tidak ada mentruasi selama lebih dari 6 bulan.
Volume perdarahan biasanya berkurang dan biasanya berhubungan dengan
anovulasi, baik itu dari faktor endokrin (kehamilan, pituotari-hipotalamus)
ataupun faktor sistemik (penurunan berat badan yang terlalu banyak). Tumor
yang mngsekresikan estrogen menyebabkan oligomenorgea terlebih dahulu,
sebelum, menjadi pola yang lain.
7) Perdarahan kontak (perdarahan post koitus) harus dianggap sebagai tanda dari
kanker rahim sebelum dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Penyebab lain dari
perdarahan kontak yang lebih sering yaitu servikal eversi, polip serviks, infeksi

serviks atau vagina (Tichomonas) atau atropik vaginitis. Hapusan sitologi


negatif tidak menyingkirkan diagnosis kanker serviks invasif, kolposkopi dan
biopsi sangat dianjurkan untuk dilakukan.
II.2

Epidemiologi
Angka kejadian perdarahan uterus disfungsional sebenarnya cukup

tinggi, karena hampir terjadi pada semua wanita. Akan tetapi mengingat sebagian
perdarahan uterus disfungsional dapat berhenti/sembuh sendiri tanpa pengobatan,
maka hanya perdarahan uterus disfungsional yang berat sampai pada keadaan
gawat darurat.2 Sampai saat ini belum ada data mengenai insidens masing-masing
penyebab Perdarahan Uterus Abnormal (PUA) di Indonesia, padahal data ini
penting untuk pelaksanaan yang akurat sesuai dengan kausa penyakit. Menurut
Puspita dkk, didapatkan angka kejadian PUA di Los Angeles, Amerika Serikat
selama tahun 1995 dimana 20% wanita akan mengalami hal ini. 1
II.3

Patofisiologi
Perdarahan uterus disfungsional sering terjadi ketika endometrium

distimulasi untuk bertumbuh oleh hormon estrogen. Ketika paparan estrogen


diperpanjang atau tidak diseimbangkan oleh adanya progesteron, endometrium
akan melanjutkan pertumbuhan sampai melampaui suplai darah kepadanya.
Kemudian akan mengalami pengelupasan, menyebabkan perdarahan yang tidak
teratur. Jika perdarahan cukup deras dan sering, hal ini dapat menyebabkan
anemia. 7
PUD dapat terjadi pada siklus ovulatorik, anovulatorik, maupun pada
keadaan folikel persisten.4
Pada stadium ovulatorik, perdarahan dapat terjadi pada pertengahan
haid maupun bersamaan dengan haid. Perdarahan ini disebabkan karena adanya
korpus luteum persisten dengan kadar estrogen yang rendah, sedangkan
progesteron terus terbentuk.4
Pada siklus anovulatorik, sering dijumpai pada masa perimenopause
dan masa reproduksi. Pada perdarahan anovulatorik, stimulasi estrogen
5

menyebabkan tumbuhnya endometrium. Dengan menurunnya kadar estrogen di


bawah tingkat tertentu, timbul perdarahan yang kadang-kadang bersifat siklis,
kadang-kadang juga tidak teratur sama sekali. Dasar dari perdarahan yang terjadi
pada siklus anovulatorik ini adalah karena tidak terjadinya ovulasi, maka korpus
luteum tidak terbentuk. Dengan sendirinya akan terjadi kadar progesteron yang
rendah dan estrogen yang berlebihan. Keadaan hormon estrogen yang tinggi ini
menyebabkan endometrium mengalami proliferasi berlebihan (hiperplasia).
Dengan rendahnya kadar progesteron, maka tebalnya endometrium tersebut tidak
diikuti dengan terbentuknya penyangga yang baik, kaya akan pembuluh darah dan
kelenjar. Jadi, terjadinya perdarahan pada siklus anovulatorik ini disebabkan oleh
karena endometrium yang tebal dan rapuh, pelepasan endometrium yang tidak
bersamaan, tidak terjadi vasokontriksi yang ritmis dan tidak terjadi kolaps
jaringan.7
Perdarahan uterus disfungsional pada keadaan folikel persisten sering
dijumpai pada masa perimenopause, jarang pada masa reproduksi. Oleh karena
pengaruh estrogen yang terus-menerus, endometrium akan mengalami hiperplasi,
baik simpel, adenomatous maupun yang atipik.8
Atas dasar patofisiologi hormonal terjadinya PUD, SPEROFF
mengelompokkannya dalam 3 bentuk PUD, yaitu :9,10
a. Estrogen breakthrough bleeding (Perdarahan bercak estrogen)
Pada keadaan ini, kenaikan kadar estrogen berlangsung secara lamban,
sehingga mekanisme umpan balik negatif tidak terjadi. Akibatnya kadar FSH dan
LH akan tetap meningkat, walaupun tidak dicapai lonjakan LH. Dengan demikian
rangsangan oleh estrogen akan berkepanjangan (fase proliferasi), sehingga
endometrium akan menjadi hiperplastik. Mekanisme lain yang menyebabkan
terjadinya perdarahan, adalah karena tebal endometrium yang berlebihan, maka
pada suatu saat akan timbul gangguan vaskularisasi di lapisan permukaan,
sehingga terjadi nekrosis dan perdarahan.
b. Estrogen withdrawal bleeding (Perdarahan lucut estrogen)

Kenaikan estrogen pada keadaan ini tidak mampu memacu terjadinya


lonjakan LH, sehingga ovulasi tidak terjadi. Akan tetapi mekanisme umpan balik
negatif tetap terjadi sehingga penurunan kadar FSH akan mengakibatakan
turunnya kadar estrogen secara mendadak, yang mengakibatkan terkelupasnya
lapisan endometrium, walaupun kemudian tidak diikuti proses iskemi pembuluh
darah seperti haid normal, sehingga pengelupasan akan berlangsung secara tidak
sempurna dan berkepanjangan.
c. Progesteron breakthrough bleeding (Perdarahan bercak progesterone)
Perdarahan terjadi akibat tidak seimbangnya perbandingan antara
kadar estrogen dan progesteron.
II.4

Etiologi7
Penyebab dari PUD sulit untuk diketahui dengan pasti. Perdarahan

uterus disfungsional sering dijumpai pada keadaan : sindroma polikistik ovarii


(PCO), obesitas, immaturitas poros hipotalamik-hipofise-ovarium, misalnya pada
masa menars, anovulasi yang terlambat (late anovulation), misalnya pada masa
perimenopause dan gangguan kejiwaan.
Jika sudah dipastikan perdarahan berasal dari endometrium tipe
sekresi tanpa adanya sebab organik, maka harus dipikirkan sebagai etiologinya :
1. Korpus luteum persisten; dalam hal ini dijumpai perdarahan yang sifatnya
kadang-kadang bersamaan dengan ovarium yang membesar
2. Insufisiensi korpus luteum dapat menyebabkan premenstrual spotting,
menoragia atau polimenore. Dasarnya adalah kurangnya produksi
progesteron yang disebabkan oleh gangguan LH releasing factor
3. Apopleksia uteri : pada wanita dengan hipertensi dapat terjadi pecahnya
pembuluh darah dalam uterus
4. Kelainan darah, seperti anemia, purpura trombositopenik dan gangguan
dalam mekanisme pembekuan darah
Perdarahan disfungsional dapat dijumpai pada penderita-penderita
dengan penyakit metabolik, penyakit endokrin, penyakit darah, penyakit umum

kronis, tumor ovarium dan sebagainya. Selain itu stres yang dihadapi dalam
kehidupan sehari-hari dapat menyebabkan perdarahan uterus disfungsional.
Sebab-sebab organik1
Perdarahan dari uterus, tuba, dan ovarium disebabkan oleh kelainan pada :
a) Serviks uteri, seperti polipus servitis uteri, erosio prosionis uteri, ulkus pada
porsio uteri, karsinoma servisis uteri.
b) Korpus uteri, seperti polip endometrium, abortus iminens, abortus inkompletus,
mola hidatidosa, koriokarsinoma, subinvolusio uteri, karsinoma korposis uteri,
sarkoma uteri, mioma uteri.
c) Tuba Falopii, seperti kehamilan ektopik terganggu, radang tuba, tumor tuba.
d) Ovarium seperti radang ovarium, tumor ovarium.
Sebab-sebab fungsional1
Perdarahan dari uterus yang tidak ada hubungannya dengan sebab
organik, dinamakan perdarahan disfungsional. Perdarahan disfungsional dapat
terjadi pada setiap umur antara menarch dan menopause. Tetapi, kelainan ini lebih
sering dijumpai sewaktu masa permulaan dan masa akhir fungsi ovarium. Dua
pertiga dari wanita-wanita yang dirawat di rumah sakit untuk perdarahan
disfungsional berumur diatas 40 tahun, dan 3% dibawah 20 tahun. Sebetulnya
dalam praktek banyak dijumpai pula perdarahan disfungsional dalam masa
pubertas, akan tetapi karena keadaan ini biasanya dapat sembuh sendiri, jarang
diperlukan perawatan di rumah sakit.
II.5

Manifestasi Kinis
Perdarahan dapat terjadi setiap waktu dalam siklus haid, perdarahan

dapat bersifat sedikit-sedikit, terus-menerus atau banyak dan berulang-ulang.


Keadaan ini paling sering dijumpai pada masa menars atau pada masa
perimenopause.
Perdarahan Ovulatoar 2

Perdarahan ini merupakan kurang lebih 10% dari perdarahan


disfungsional dengan siklus pendek (polimenorea) atau panjang (oligomenora).
Untuk menegakkan diagnosis perdarahan ovulatoar, perlu dilakukan kerokan pada
masa mendekati haid. Jika karena perdarahan yang lama dan tidak teratur siklus
haid tidak dikenal lagi, maka kadang-kadang bentuk kurve suhu badan basal dapat
menolong. Jika sudah dipastikan :
1) Korpus luteum persisten, dalam hal ini dijumpai perdarahan kadang-kadang
bersamaan dengan ovarium membesar. Sindrom ini harus dibedakan dari
kehamilan ektopik karena riwayat penyakit dan hasil pemeriksaan panggul
sering menunjukkan banyak persamaan antara keduanya. Korpus luteum
persistens dapat pula menyebabkan pelepasan endometrium tidak teratur
(irregular shedding). Diagnosa irregular shedding dibuat dengan kerokan
yang tepat pada waktunya, yakni menurut Mc Lennon pada hari ke-4
mulainya perdarahan. Pada waktu ini jumpai endometrium dalam tipe sekresi
disamping tipe nonsekresi.
2) Insufiensi korpus luteum dapat menyebabkan premenstrual spotting,
menorgia, atau polimenore. Dasarnya ialah kurangnya produksi progesteron
disebabkan oleh gangguan LH releasing factor. Diagnosis dibuat, apabila
hasil biopsi endometrial dalam fase luteal tidak cocok dengan gambaran
endometrium yang seharusnya didapat pada hari siklus yang bersangkutan.
3) Apopleksia uteri pada wanita dengan hipertensi dapat terjadi pecahnya
pembuluh darah dalam uterus.
4) Kelainan darah seperti anemia, pupura trombositopenik, dan gangguan dalam
mekanisme pembekuan darah.
Perdarahan anovulatoar2
Stimulasi dengan esterogen menyebabkan tumbuhnya endometrium.
Dengan menurunnya kadar esterogen dibawah tingkat tertentu, timbul perdarahan
yang kadang-kadang bersifat siklis, kadang-kadang tidak teratur sama
sekali.Fluktuasi esterogen ada sangkut paunya dengan jumalh folikel yang pada

suatu waktu fungsional aktif. Folikel-folikel ini mengeluarkan esterogen sebelum


mengalami atresia, dan kemungkinan diganti oleh folikel-folikel baru.
Endometium dibawah pengaruh esterogen tumbuh terus, dan dari endometrium
mula-mula proliferatif fapat terjadi endometrium bersifat hiperplasia kistik. Jika
gambaran itu dijumpai pada sediaan yang diperoleh dengan kerokan, dapat
diambil kesimpulan bahwa perdarahan bersifat anovulator. Walaupun perdarahan
disfingsional dapat terjadi pada setiap waktu dalam kehidupan menstrual seorang
wanita, anamun hal ini paling sering terdapat pada masa pubertas dan pada masa
pramenopause. Pada masa pubertas sudah menarche, perdarahan tidak normal
disebabkan oleh gangguan atau terlambatnya proses menstruasi pada hipotalamus,
dengan akibat bahwa pembuatan Releasing Factor dan hormon ganodotropin tidak
sempurna. Pada wanita dalam masa pramenopause proses terhentinya fungsi
ovarium tidak selalu berjalan lancar.
Bila pada masa pubertas kemungkinan keganasan kecil sekali dan ada
harapan bahwa lambat laun keadaan menjadi normal dan siklus haid menjadi
ovulator, pada seorang wanita dewasa dan terutama dalam masa pramenopause
dengan perdarahan tidak teratur mutlak diperlukan kerokan untuk menentukan ada
tidaknya tumor ganas.
Perdarahan fungsional dapat terjumpai pada penderita-penderita
dengan penyakit metabolik, penyakit endokrin, penyakit darah, penyakit umum
yang menahun, tumor-tumor ovarium, dan sebagainya. Akan tetapi, disamping itu,
terpat banyak wanita dengan perdarahan disfungsional tanpa adanya penyakitpenyakit tersebut diatas. Dalam hal ini stress yang dialami dalam kehidupan
sehari-hari, naik didalam maupun diluar pekerjaan, kejadian-kejadian yang
mengganggu keseimbangan emosional seperti kecelakaan, kematian dalam
keluarga, pe,nerian obat penenang terlalu lama, dan lain-lain, dapat meyebabkan
perdarahan anovulator. Biasanya kelainan dalam perdarahan ini hanya sementara
waktu saja.

II.6

Diagnosis

10

Untuk mendiagnosa PUD, berbagai penyebab potensial yang bersifat


organik harus disingkirkan. Ketika semua kelainan-kelainan organik yang
berhubungan dengan kehamilan, infeksi dan tumor (jinak ataupun ganas) telah
disingkirkan, selanjutnya suatu perdarahan dari uterus dianggap disebabkan oleh
perdarahan uterus disfungsional.7
Anamnesa. Pembuatan anamnesa yang cermat penting untuk
menegakkan diagnosa. Diagnosa setiap keadaan menstruasi yang tidak teratur
dimulai dengan pasien itu sendiri. Perlu ditanyakan bagaimana mulainya
perdarahan, apakah didahului oleh siklus yang pendek atau siklus yang panjang,
sifat perdarahan (banyak atau sedikit, sakit atau tidak) dan lama perdarahan.
Tabel 1. Anamnesis
Keluhan dan gejala
Nyeri pelvik
Mual, peningkatan frekuensi berkemih
Peningkatan berat badan, fatigue,
gangguan toleransi
terhadap dingin
Penurunan berat badan, banyak keringat,
palpitasi
Riwayat konsumsi obat antikoagulan
Gangguan pembekuan darah
Riwayat hepatitis, ikterik
Hirsutisme, akne, akantosis nigricans,
obesitas
Perdarahan pasca koitus
Galaktorea, sakit kepala, gangguan lapang
pandang

Masalah
Abortus, kehamilan
ektopik
Hamil
Hipotiroid

Hipertiroid
Koagulopati
Penyakit hati
Sindrom ovarium polikistik
(SOPK)
Displasia serviks, polip endoserviks
Tumor hipofisis

Pada pemeriksaan umum perlu diperhatikan tanda-tanda yang


menunjuk ke arah kemungkinan penyakit metabolik, endokrin dan penyakit
menahun. Kecurigaan terhadap salah satu penyakit tersebut hendaknya menjadi
suatu dorongan untuk melakukan pemeriksaan dengan teliti ke arah penyakit yang

11

bersangkutan. Selain itu perlu juga ditanyakan kehidupan keluarga serta latar
belakang emosionalnya. Perlu juga ditanyakan tentang aktivitas seksual,
penggunaan kontrasepsi, medikasi saat ini dan tindakan bedah yang pernah
dialami.7
Pemeriksaan

Ginekologik.

Pemeriksaan

ini

dilakukan

untuk

menyingkirkan kelainan organik yang dapat menyebabkan perdarahan abnormal,


seperti polip serviks, ulkus, perlukaan, erosi, radang, tumor, abortus dan
keganasan. Untuk menegakkan diagnosa pada gadis tidak perlu dilakukan
kuretase. Pada wanita yang sudah menikah, sebaiknya dilakukan kuret untuk
menegakkan diagnosa. Pada pemeriksaan histopatologis, biasanya didapatkan
endometrium yang hiperplasia. 7

Gambar. 1 Pemeriksaan Ginekologi

12

Selain itu ada beberpa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan


untuk menegakkan diagnosa PUD, diantaranya :7
1. Hysterosalpingography, berguna untuk menguraikan polip endometrial
dan fibroid dan membantu mendeteksi kanker endometrium. Pada
prosedur ini, sinar X diberikan setelah media kontras diinjeksikan ke
dalam serviks. MRI pada regio pelvis dapat juga digunakan untuk
menentukan lokasi fibroid dan tumor.
2. Prosedur infasif. Biopsi endometrium adalah prosedur pengujian yang
paling penting. Jaringan yang diambil kemudian diperiksa untuk
mengetahui apakah terdapat kelainan.
Endometrium, dibawah pengaruh estrogen akan tumbuh terus, dan dari
endometrium yang mula-mula proliferatif dapat terjadi endometrium yang
sifatnya hiperplastik kistik. Jika gambaran ini dijumpai pada sediaan yang
diperoleh dengan kerokan, dapat diambil kesimpulan bahwa perdarahan
bersifat anovulatorik.
3. Dilatase dan kuretase (dilatation and curettage, D&C), jarang dilakukan
saat ini untuk mendiagnosa PUD, karena dilakukan di bawah anestesi
umum atau lokal. Wanita di atas 30 tahun lebih mungkin memerlukan
D&C sebagai bagian prosedur diagnostik, dibandingkan wanita usia
remaja.
Tabel. 2 Pemeriksaan Penunjang

13

II.7

Diagnosa Banding
Semua kelainan yang dapat menimbulkan perdarahan dari uterus.7

II.8

Komplikasi 10

* Anemia
* Adenokarsinoma uteri
* Efek ketergantungan akibat pemakaian kontrasepsi oral
II.9

Penatalaksanaan
Pengobatan PUD tergantung pada penyebab perdarahan dan usia

pasien. Ketika penyebab yang mendasari telah diketahui, barulah gangguan


tersebut diobati, sebaliknya sasaran dari pengelolaan adalah untuk mengurangi
gejala pada suatu derajat dimana perdarahan uterus tidak lagi mengganggu
aktifitas pasien dan menyebabkan anemia.11
Prinsip pengobatan pada PUD adalah :11
-

Membuat diagnosa dengan menyingkirkan kemungkinan kelainan organik

Menghentikan perdarahan

Mengatur haid supaya normal kembali

Bila didapatkan anemia (Hb < 8 gr%), dilakukan transfusi


Menghentikan perdarahan, dapat dilakukan sebagai berikut :

a. Kuret (tidak perlu MRS, kecuali bila akan dilakukan transfusi). Prosedur
dilakukan pada wanita yang telah menikah
b. Obat-obatan
1. Estrogen. Biasanya dipilih estrogen alamiah, seperti estrogen
konjugasi (conjugated estrogen), misalnya Estradiol Valerat
(Premarin). Estrogen jenis ini lebih menguntungkan karena tidak
membebani hepar dan tidak meningkatkan kadar renin maupun
gangguan pembekuan darah. Jenis estrogen yang lain adalah Etinil
Estradiol. Estrogen jenis ini dimetabolisme di hepar, sehingga lebih
mengganggu fungsi hepar. Bila perdarahan banyak (profuse)

14

penderita dirawat inap, diberikan premarin dengan dosis 25 mg i.v,


diulang tiap 3-4 jam, maksimal 4 kali pemberian. Bila perdarahan
tidak banyak dapat diberikan Benzoas Estradiol 20 mg i.m, dan
estrogen konjugasi 2,5 mg per oral selama 7-10 hari
2. Pil Kombinasi. Tujuannya untuk mengkondisikan endometrium
menjadi reaksi pseudodesidual. Dosis yang diberikan bila
perdarahan banyak adalah 4x1 selama 7-10 hari, kemudian
dilanjutkan 1x1 selama 3-6 siklus.
3. Progesteron.
memberikan

Pemberian
keseimbangan

progesteron
pengaruh

dimaksudkan
pemberian

untuk

estrogen.

Progesteron yang dipilih adalah jenis progesteron yang molekulnya


mempunyai progesteron alamiah. Diantaranya progesterone asetat
(MPA) dan diprogesteron. Jenis progesteron yang androgenik
(derivat testosterone) tidak banyak dipakai, karena berefek
timbulnya akne, bulu serta menurunkan HDL kolesterol. Dosis
yang diberikan 10-20 mg MPA perhari selama 7-10 hari atau
nomisteron 3x1 tablet selama 7-10 hari. Bila ada kontraindikasi
pemberian estrogen, dapat diberikan injeksi 100 mg i.m.
progesteron, dengan tujuan untuk katahanan endometrium dan
merangsang kontraksi ritmik pada vasomotor, untuk keperluan ini
dapat dipakai DMPA.
4. Senyawa Anti-Prostaglandin. Pemakaian senyawa ini terutama
diberikan pada penderita dengan kontraindikasi pemberian
estrogen dan progesteron, seperti pada kegagalan fungsi hepar dan
adanya suatu proses keganasan. Obat-obat yang dipakai misalnya
asam mefenamat 3x500 mg peroral per hari, selama 5-7 hari
c. Mengatur haid
Segera setelah perdarahan berhenti, dilanjutkan terapi untuk mengatur
siklus haid. Untuk ini dapat diberikan pil oral selama 3-6 bulan, atau
progesteron 2x1 tablet selama 10 hari, dimulai pada hari ke-14 sampai hari
ke-15 haid.

15

Ketika perdarahan tidak dapat dikontrol oleh pengobatan hormonal, suatu


pembedahan mungkin diperlukan. Dilatasi dan kuretase kadangkala mengurangi
gejala PUD. Jika hal itu gagal, dilakukan pelepasan endometrium dari lapisan
uterus, tetapi tetap mempertahankan uterus. Prosedur ini kadang-kadang
digunakan sebagai pengganti histerektomi. Tetapi histerektomi masih merupakan
pengobatan yang umum untuk PUD yang telah berlangsung lama pada wanita
yang telah punya anak. Pemberian preparat besi juga penting untuk menurunkan
risiko anemia.
NON-HORMONAL6
A). Asam Traneksamat
Obat ini bersifat inhibitor kompetitif pada aktivasi plasminogen.
Plasminogen akan diubah menjadi plasmin yang berfungsi untuk memecah fibrin
menjadi fibrin degradation products (FDPs). Oleh karena itu obat ini berfungsi
sebagai agen

anti

fibrinolitik. Obat ini akan menghambat faktor-faktor yang

memicu terjadinya pembekuan darah, namun tidak akan menimbulkan kejadian


trombosis. Efek samping : gangguan pencernaan, diare dan sakit kepala.

Gambar.2 Mekanisme kerja Obat

16

B). Anti inflamasi non steroid (AINS)


Kadar prostaglandin pada endometrium penderita gangguan haid akan
meningkat. AINS ditujukan untuk menekan pembentukan siklooksigenase, dan
akan menurunkan kadar prostaglandin pada endometrium. AINS dapat
mengurangi jumlah darah haid hingga 20-50 persen. Pemberian AINS dapat
dimulai sejak haid hari pertama dan dapat diberikan untuk 5 hari

atau hingga

haid berhenti. Efek samping : gangguan pencernaan, diare, perburukan asma pada
penderita yang sensitif, ulkus peptikum hingga kemungkinan terjadinya
perdarahan dan peritonitis.
HORMONAL6
A). Estrogen
Sediaan ini digunakan pada kejadian perdarahan akut yang banyak.
Sediaan yang digunakan adalah EEK, dengan dosis 2.5mg per oral 4x1 dalam
waktu 48 jam. Pemberian EEK dosis tinggi tersebut
pemberian obat anti-emetik

dapat

disertai

dengan

sepertipromethazine 25 mg per oral atau intra

muskular setiap 4-6 jam sesuai

dengan kebutuhan. Mekanisme kerja obat

ini belum jelas, kemungkinan aktivitasnya

tidak

terkait

langsung

dengan

endometrium. Obat ini bekerja untuk memicu vasospasme Pembuluh kapiler


dengan cara mempengaruhi kadar fibrinogen, faktor IV, faktor X, proses agregasi
trombosit dan permeabilitas pembuluh kapiler. Pembentukan reseptor Progesteron
akan

meningkat

sehingga

diharapkan

pengobatan

selanjutnya

dengan

menggunakan progestin aka n lebih baik. Efek samping berupa gejala akibat efek
estrogen yang berlebihan seperti perdarahan uterus, mastodinia dan retensi cairan.
B). PKK
Perdarahan haid berkurang pada penggunaan pil kontrasepsi
kombinasi akibat endometrium yang atrofi. Dosis yang dianjurkan pada saat
perdarahan akut adalah 4 x 1 tablet selama 4 hari, dilanjutkan dengan 3 x 1 tablet

17

selama 3 hari, dilanjutkan dengan 2 x 1 tablet selama 2 hari, dan selanjutnya 1 x


1 tablet selama 3 minggu. Selanjutnya bebas pil

selama

dilanjutkan dengan pemberian pil kontrasepsi kombinasi

hari,

kemudian

paling tidak

selama

3 bulan. Apabila pengobatannya ditujukan untuk menghentikan haid, maka obat


tersebut dapat diberikan secara kontinyu, namun dianjurkan setiap 3-4

bulan

dapat dibuat perdarahan lucut. Efek samping dapat berupa perubahan, mood, sakit
kepala, mual, retensi cairan, payudara tegang, deep vein thrombosis, stroke dan
serangan jantung.
C). Progestin
Obat ini akan bekerja menghambat penambahan reseptor estrogen
serta akan mengaktifkan enzim 17-hidroksi steroid

dehidrogenase

pada

sel-sel endometrium, sehingga estradiol akan dikonversi menjadi estron yang efek
biologisnya

lebih rendah dibandingkan dengan estradiol. Meski demikian

penggunaan progestin yang lama dapat memicu efekanti

mitotik,

yang

mengakibatkan terjadinya atrofi endometrium. Progestin dapat diberikan secara


siklik maupun kontinyu. Pemberian siklik diberikan selama 14 hari kemudian
stop selama14 hari,

begitu

berulang-ulang

tanpa

memperhatikan

pola

perdarahannya.
Apabila perdarahan terjadi pada saat sedang mengkonsumsi progestin,
maka dosis progestin dapat dinaikkan. Selanjutnya hitung hari pertama perdarahan
tadi sebagai

hari pertama, dan selanjutnya progestin diminum sampai hari ke

14. Pemberian progestin secara siklik dapat menggantikan pemberian pil


kontrasepsi

kombinasi

apabila

terdapat

kontra-indikasi

(misalkan

hipersensitivitas, kelainan pembekuan darah, riwayat stroke, riwayat penyakit


jantung koroner atau infark miokard, kecurigaan keganasan payudara ataupun
genital, riwayat penyakit kuning

akibat kolestasis, kanker

hati). Sediaan

progestinyang dapat diberikan antara lain MPA 1 x 10 mg, noretisteron asetat


dengan dosis 2-3 x 5mg, didrogesteron 2 x 5 mg atau nomegestrol asetat 1 x 5mg
selama 10 hari per siklus.

Apabila pasien mengalami perdarahan pada saat

kunjungan, dosis progestin dapat

dinaikkan setiap 2 hari hingga perdarahan

18

berhenti. Pemberian dilanjutkan untuk 14 hari dan kemudian berhenti selama 14


hari, demikian selanjutnya berganti-ganti. Pemberian progestin secara kontinyu
dapat dilakukan apabila tujuannya untuk membuat amenorea. Terdapat beberapa
pilihan, yaitu :
-

Pemberian progestin oral : MPA 10-20 mg per hari


Pemberian DMPA setiap 12 minggu
Penggunaan LNG IUS

Efek samping : peningkatan berat badan, perdarahan bercak, rasa begah, payudara
tegang,sakit

kepala, jerawatdan timbul perasaan depresi.

D). Androgen
Danazol adalah suatu sintetik

isoxazol yang berasal dari turunan

17a-etinil testosteron. Obat tersebut memiliki efek androgenik yang berfungsi


untuk menekan produksi estradiol dari ovarium, serta memiliki efek langsung
terhada reseptor estrogen di endometrium dan di luar endometrium. Pemberian
dosis tinggi 200mg atau lebih per hari dapat dipergunakan untuk mengobati PUD.
Efek samping : peningkatan berat badan, kulit berminyak, jerawat, perubahan
suara.
E). Gonadotropine Releasing Hormone (GnRH) agonist
Obat ini bekerja dengan cara mengurangi konsentrasi reseptor GnRH
pada hipofisis melalui mekanisme down regulation terhadap reseptor dan efek
pasca reseptor, yang akan mengakibatkan hambatan pada penglepasan hormon
gonadotropin. Pemberian obat ini biasanya ditujukan untuk membuat penderita
menjadi amenorea. Dapat diberikan leuprolide acetate 3.75 mg
setiap 4 minggu, namun pemberiannya dianjurkan tidak

intra

muskular

lebih dari 6 bulan.

Apabila pemberiannya melebihi 6 bulan, maka dapat diberikantambahan terapi


estrogen dan progestin dosis rendah (add back therapy).
Efek samping : keluhan-keluhan mirip
flushes, keringat yang bertambah,

wanita menopause

(misalkan hot

kekeringan vagina), osteoporosis (terutama

tulang-tulang trabekular apabila penggunaan GnRH agonist lebih dari 6 bulan).

19

Gambar .3 Mekanisme Kerja Obat

20

Emergensi
(Hb < 10,
hemodinamik
tidak stabil)
Stop

Primer
Pasang iv line
resusitasi
cairan dengan
RL rujuk

Sekunder
Transfusi bila
Hb
< 7.5

Tersier

EEK 4x2.5 mg
(bila tidak
berhenti
dalam waktu 24
jam,
lakukan D&K,
harus
ada persetujuan
pada nona)
PKK 4x1 4d
PKK 3x1 3d
PKK 2x1 2d
PKK 1x1 21d
As. traneksamat
3x1 g
AINS 3x500mg
- PKK
-Progestin siklik

edikamentosa
- GnRH agonis
- LNG IUS
- Danazol
Operatif
- D&K
- Ablasi
- Histerektomi

- ingin hamil

tata laksana
infertilitas

tata laksana
infertilitas

- risiko
tinggi kanker
endometrium

D&K (bila
ablasi
dijumpai
endometrium
hiperplasia atipik
histerektomi)
hiperplasia non
atipik

progestin siklik

- gagal
medikamentosa

histerektomi

ablasi
endometrium

- ingin stop
haid

- LNG IUS
- GnRH agonis
- Danazol

ablasi
endometrium

perdarahan

Manajemen
Follow up
- regulasi haid

Tabel. 4 Manajemen

21

II.11 Prognosis
Respon terhadap pengobatan PUD sangat individual dan sulit diprediksi.
Hasil yang diperoleh secara luas tergantung pada kondisi medis dan usia pasien.
Banyak wanita khususnya usia remaja berhasil diobati dengan hormon (biasanya
kontrasepsi oral). Sebagai usaha terakhir, histerektomi dapat menghilangkan
sumber masalah dengan mengangkat uterus, tetapi operasi ini bukannya tanpa
risiko, atau kemungkinan terjadinya suatu komplikasi.11

22

BAB III
PENUTUP
III.1 Kesimpulan
Perdarahan uterus disfungsional (PUD) adalah perdarahan uterus
abnormal dalam hal jumlah, frekuensi, dan lamanya yang terjadi baik di dalam
maupun di luar siklus haid, merupakan gejala klinis yang semata-mata karena
suatu gangguan fungsional mekanisme kerja poros hipotalamus-hipofisis-ovarium
endometrium tanpa adanya kelainan organik alat reproduksi.
Untuk mendiagnosa PUD, berbagai penyebab potensial yang bersifat
organik harus disingkirkan. Dengan melakuan pembuatan anamnesa yang cermat
penting untuk menegakkan diagnosa. Pemeriksaan umum perlu diperhatikan
tanda-tanda yang menunjuk ke arah kemungkinan penyakit metabolik, endokrin
dan penyakit menahun. Kecurigaan terhadap salah satu penyakit tersebut
hendaknya menjadi suatu dorongan untuk melakukan pemeriksaan dengan teliti
ke arah penyakit yang bersangkutan. Selain itu perlu juga ditanyakan kehidupan
keluarga serta latar belakang emosionalnya. Perlu juga ditanyakan tentang
aktivitas seksual, penggunaan kontrasepsi, medikasi saat ini dan tindakan bedah
yang pernah dialami. Pemeriksaan Ginekologik dilakukan untuk menyingkirkan
kelainan organik yang dapat menyebabkan perdarahan abnormal, seperti polip
serviks, ulkus, perlukaan, erosi, radang, tumor, abortus dan keganasan.
Prinsip pengobatan pada PUD adalah membuat diagnosa dengan
menyingkirkan kemungkinan kelainan organic, menghentikan perdarahan,
mengatur haid supaya normal kembali, bila didapatkan anemia (Hb < 8 gr%),
dilakukan transfuse, menghentikan perdarahan, dapat dilakukan, Kuret (tidak
perlu MRS, kecuali bila akan dilakukan transfusi). Prosedur dilakukan pada
wanita yang telah menikah. Obat-obatan, Estrogen, Pil Kombinasi, Progesteron,
Senyawa Anti-Prostaglandin. Mengatur haid

23

DAFTAR PUSTAKA
1.

Jefferey. Ariesta. Putra. Perdarahan Uterus Abnormal. 2015

2.

Anonim. Perdarahan Uterus Disfungsional. Web : repository.maranatha.edu

3.

Simpanjuntak Pandapotan. Gangguan Haid dan Siklusnya. Dalam :


Wiknjosastro Gh. Saifuddin AB, Rachimhadhi T, editor. Ilmu Kandungan.
Edisi 5. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta : 2005

4.

Bulun E Serdar, et al. The Physiology and Pathology of the Female


Reproductive Axis, dalam William Textbook of Endocrinology. Ed 10.
Elseveir : 2003

5.

Chou Betty, Vlahos Nikos. Abnormal Uterin Bleeding, dalam ; The John
Hopkins Manual og Gynecology and Obstetrics. Ed 2 : 2002

6.

Soebijanto S. Panduan Tatalaksana Perdarahan Uterus Disfungsional.


Himpunan Endokrinologi-Reproduksi dan Fertilitas Indonesia Perkumpulan
Obstetri dan Ginekologi Indonesia ; 2007

7. Prabowo dkk. Perdarahan uterus disfungsional Dalam : Pedoman Diagnostik


dan Terapi Lab/UPF Ilmu Kebidanan dan Penyakit Kandungan Surabaya,
1994 : 79-82
8. Prabowo dkk. Perdarahan uterus disfungsional Dalam : Pedoman Diagnostik
dan Terapi Lab/UPF Ilmu Kebidanan dan Penyakit Kandungan Surabaya,
1994 : 79-82
9. Harsino W. Perdarahan uterus disfungsional di tinjau dari segi patologi
anatomi di Rumah Sakit Dokter Kariadi Semarang. Lab/UPF Obstetri dan
Ginekologi FK UNDIP/Rumah Sakit Dr Kariadi Semarang, 1986
10. Nedra D Dysfunctional uterine bleeding. Department of Emergency Medicine,
Northside Hospital Cherokee. Emergency Medicine Reports. Mei 2001
11. John
GA.
Dysfunctional
uterine
bleeding.
http://www.emedicine.com/derm/f.yn.htm.2004

Available

from:

24

25

Anda mungkin juga menyukai