Anda di halaman 1dari 21

REFERAT

ILMU KEBIDANAN DAN KANDUNGAN

MOLA HIDATIDOSA

Disusun oleh:

Praditya Satrya Putra

Pembimbing:

dr. F.C. Christofani Ekapatria, Sp.OG-KFER.

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEBIDANAN DAN KANDUNGAN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN

SILOAM HOSPITAL LIPPO VILLAGE – RUMAH SAKIT UMUM SILOAM

PERIODE 30 SEPTEMBER – 7 DESEMBER 2019


TANGERANG

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN................................................................................................... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................ 4
I. DEFINISI ....................................................................................................................... 4
II. EPIDEMIOLOGI .......................................................................................................... 4
III. ETIOLOGI .................................................................................................................... 4
IV. KLASIFIKASI ............................................................................................................. 4
V. PATOGENESIS ............................................................................................................. 6
VI. MANIFESTASI KLINIS .............................................................................................. 7
VII. PEMERIKSAAN PENUNJANG ................................................................................ 8
VIII.DIAGNOSIS ................................................................. Error! Bookmark not defined.
IX. TATALAKSANA ...................................................................................................... 13
X. KOMPLIKASI ............................................................................................................. 16
XI. PROGNOSIS .............................................................................................................. 16
XII. KESIMPULAN ......................................................................................................... 18
BAB III DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 19

2
BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit trofoblas merupakan penyakit yang dimana sel-sel trofoblas


mengalami sebuah kelainan dalam konsepsi plasenta yang disertai dengan sedikit
atau tidak adanya perkembangan embryo maupun janin. Pada tubuh wanita sel
trofoblas hanya didapatkan saat wanita sedang mengandung. Adapula sel trofoblas
yang bisa didapatkan dari teratoma ovarium. Tingkat kejadian mola pada umumnya
lebih sering terjadi pada beberapa bagian Asia, dilaporkan bahwa terjadi kejadian
ini sebanyak 1 pada 500 kehamilan1 . Dibandingkan dengan kejadian di benua
Eropa dan Amerika Utara yang hanya terjadi kurang dari 1 pada 1000 kehamilan.
Namun demikian, angka kejadian ini dilaporkan menurun pada beberapa negara
bagian Asia, diduga karena perkembangan ekonomi dan pola diet, serta angka
kelahiran1 .
Amerika Serikat terdapat kejadian mola pada setiap 1 dari 1500 kehamilan,
sedangkan Asia Tenggara dan Jepang merupakan lokasi dengan insiden mola
tertinggi yaitu pada 2 dari 1000 kehamilan2 . Di Indonesia sendiri didapatkan
kejadian mola pada 1:100 kehamilan3. Faktor risiko yang paling jelas adalah usia
dan riwayat kehamilan mola sebelumnya4. Insiden dari Mola Hidatidosa lebih
sering terjadi pada wanita yang berusia 15-20 tahun, dan bahkanm meningkat secara
dramatis pada wanita usia lebih dari 40 tahun5.
Pada negara yang sudah maju, dengan diagnosis dini dan terapi yang tepat
membuat mortalitas karena Mola hidatidosa hampir tidak ada6. Akan tetapi di
negara berkembang kematian akibat mola masih cukup tinggi yaitu berkisar antara
2,2% dan 5,7%. Kematian pada mola hidatidosa biasanya disebabkan oleh karena
perdarahan, infeksi, eklamsia dan tirotoksikosis.

3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. DEFINISI
Mola hidatidosa merupakan sebuah kelainan pada kehamilan yang
mana terjadi perkembangan parsial atau tidak ditemukan adanya
pertumbuhan janin, disertai dengan ciri tidak wajar seperti terjadinya
kelainan proliferasi trofoblas dan pembengkakan vesikular pada vili
korialis.7 Mola hidatidosa termasuk dalam salah satu subkategori penyakit
yang disebut sebagai non-invasive form of gestational trophoblastic
disease.8 Walaupun mola hidatidosa dianggap jinak, mereka bersifat
premalignant dan memiliki potensi untuk menjadi ganas dan invasif.

II EPIDEMIOLOGI
Insiden terjadinya mola hidatidosa berbeda berdasarkan lokasi dan
etnis. Tingkat kejadian mola pada umumnya lebih sering terjadi pada
beberapa bagian Asia, dilaporkan bahwa terjadi kejadian ini sebanyak 1 :
500 kehamilan. Dibandingkan dengan kejadian di benua Eropa dan
Amerika Utara yang hanya terjadi kurang dari 1 pada 1000 kehamilan1.
Frekuensi umum mola sangat bervariasi di negara berkembang, di mana
dapat terjadi hingga 1 : 100 kehamilan di beberapa negara Asia atau Afrika9.
Studi epidemiologi menunjukan terdapat beberapa faktor risiko
seperti usia ibu, riwayat keguguran, etnis dari ibu, pemakaian dari
kontrasepsi secara oral, pola makan. Yang mana usia ibu yang sudah lanjut
menjadi faktor risiko yang paling kuat 5.
III ETIOLOGI
Sampai saat ini, masih belum ditemukan penyebab terjadinya mola
hidatidosa, namun telah ditemukan beberapa faktor risiko yang berpotensi
untuk meningkatkan risiko seorang wanita menderita mola hidatidosa5.
Faktor risiko tersebut adalah:
• Wanita usia dibawah 20 tahun dan usia lebih dari 35 tahun4

4
• Faktor diet seperti rendah diet atau defisiensi protein, asam folat
dan vitamin A5.

• Riwayat hamil mola hidatidosa yang sebelumnya meningkatkan


risiko seseorang hamil mola sebesar 1 – 2% di kehamilan
berikutnya, dan 15 – 20% pada kehamilan ketiga10.
IV. KLASIFIKASI
Mola hidatidosa dapat diklasifikasikan menjadi 2, complete mole
bila tidak disertai janin maka, partial mole bila disertai janin atau bagian
dari janin disebut mola parsialis10. Perbedaan dari kedua mola tersebut dapat
dilihat dalam tabel berikut:
Feature Complete Mole Partial Mole
Karyotype 46,XX or 46, XY 69,XXX or 69,XXY
Clinical Presentation
Diagnosis Molar gestation Missed abortion
Uterine Size Large for dates Small for dates
Theca-lutein cysts 25-30% of cases Rare
Initial hCG levels > 100,000 mIU/mL < 100,000 mIU/mL
Medical Uncommon Rare
Complications*
Rate of subsequent 15-20% of cases 1-5% of cases
GTN
Conversion to 2–4 % or 10–15% Rare
choriocarcinoma
Pathology
Embryo-fetus Absent Often present
Amnion, fetal Absent Often present
erythrocytes
Villous edema Widespread Focal
Trophoblastic Slight to severe Focal, slight to
proliferation moderate
Trophoblast atypia Marked Mild
P57KIP2 Negative Positive
Immunostaining11
*Anemia, hipertiroidisme, hyperemesis gravidarum, pre-eclampsia, infeksi

5
Secara histopatologis, mola hidatidosa dapat dibedakan menjadi
mola hidatidosa komplit/parsial, mola invasif, choriocarcinoma, PSTT
(placental site trophoblastic tumor), ETT (epitheloid trophoblastic tumor),
MTL (Miscellaneous trophoblastic lesions-exaggerated placental site,
placental site nodule/plaque), dan unclassified12.

V. PATOFISIOLOGI

Mola Hidatidosa berasal dari jaringan ketika ibu sedang hamil. Pada
Complete Mole tidak terdapat jaringan janin, sedangkan pada Partial Mole
terdapat jaringan janin yang tidak aktif. Keduanya disebabkan proliferasi dari
vili korialis yang membengkak, akibatnya produksi hCG menjadi meningkat13.
Analisis sitogenetik pada jaringan yang diperoleh dari kehamilan mola
memberikan beberapa petunjuk mengenai asal mula dari lesi ini. Kebanyakan
mola hidatidosa adalah Complete Mole dan mempunyai 46 kariotipe XX.
Penelitian khusus menunjukkan bahwa kedua kromosom X itu diturunkan dari
ayah. Secara genetik, sebagian besar mola hidatidosa komplit berasal dari
pembuahan pada suatu “telur kosong” (yakni, telur tanpa kromosom) oleh satu
sperma haploid (23 X), yang kemudian berduplikasi untuk memulihkan
komplemen kromosom diploid (46 XX). Hanya sejumlah kecil lesi adalah 46
XY2.
Pada mola yang Partial Mole atau sebagian, kariotipe biasanya suatu
triploid, sering 69 XXY (80%). Kebanyakan lesi yang tersisa adalah 69 XXX
atau 69 XYY. Kadang-kadang terjadi pola mozaik. Lesi ini, berbeda dengan
mola lengkap, sering disertai dengan janin yang ada secara bersamaan. Janin itu
biasanya triploid dan cacat2.

6
VI. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis dari MHK dan MHP ada beberapa perbedaan.
Pada kenyataannya, kebanyakan dari MHP terdiagnosa sebagai abortus
spontan dan baru diketahui sebagai mola setelah didapatkan laporan
histopatologis dari jaringan janin14.
Gejala yang paling sering muncul pada pasien dengan MHK adalah
perdarahan pervaginam di trimester pertama, yang disebabkan karena
perpisahan antara jaringan mola dan desidua, menyebabkan terjadinya
perdarahan. Sebutan yang khas pada perdarahan pervaginam pada MHK
dideskripsikan sebagai “prune juice” appearance. Gejala lain yang biasa
ditemukan yaitu hiperemesis akibat kadar hormon hCG yang sangat tinggi
dalam peredaran darah15. Pasien dapat juga mengalami pengeluaran jaringan
dari jalan lahir yang sering dideskripsikan seperti kelompok anggur atau
vesikel. Apabila usia kehamilan mencapai 14 sampai 16 minggu, timbul
tanda dan gejala dari hipertiroidisme seperti takikardia dan tremor, sekali
lagi disebabkan karena tingginya kadar hCG dalam darah. Presentasi klinis
lain yang dapat muncul antara lain pre-eclampsia yaitu hipertensi yang
disertai dengan proteinuria setelah usia kehamilan 20 minggu. Pada kasus
yang sangat jarang, pasien dapat tambil dengan gangguan pernapasan berat

7
yang diakibatkan karena terjadi emboli dari jaringan tropoblastik ke dalam
paru-paru16.
Pada MHP, gejala yang muncul biasa mirip dengan pasien yang
datang dengan keluhan abortus insipiens atau abortus imminens dengan
perdarahan pervaginam. Karena pada MHP terdapat janin, maka dapat
ditemukan adanya detak jantung janin yang dapat didengar jelas dengan
penggunaan doppler17.
Pemeriksaan fisik yang bermakna pada MHK ataupun MHP adalah
adanya ketidaksesuaian ukuran rahim dan usia kehamilan. Pada MHK,
ukuran uterus biasa lebih besar daripada usia kehamilan yang ditafsirkan,
sedangkan pada MHP ukuran uterus bisa lebih kecil daripada usia
kehamilannya4.

VII. Diagnosis

1. Anamnesis
Ada kehamilan disertai gejala dan tanda kehamilan muda yang
berlebihan, perdarahan pervaginam berulang cenderung berwarna coklat dan
kadang bergelembung seperti busa.
- terdapat gejala-gejala hamil muda yang kadang-kadang lebih nyata dari
kehamilan biasa
- terdapat perdarahan yang sedikit atau banyak, tidak teratur, warna
tengguli tua atau kecoklatan
- pembesaran rahim yang tidak sesuai (lebih besar) bila dibandingkan
dengan usia kehamilan seharusnya
- keluar jaringan mola seperti buah anggur atau mata ikan (tidak selalu
ada) yang merupakan diagnosa pasti

(1) Perdarahan vaginal. Gejala klasik yang paling sering pada mola komplet
adalah perdarahan vaginal. Jaringan mola terpisah dari desidua,
menyebabkan perdarahan. Uterus membesar (distensi) oleh karena

8
jumlah darah yang banyak, dan cairan gelap bisa mengalir melalui vagina.
Gejala ini terdapat dalam 97% kasus.
(2) Hiperemesis. Penderita juga mengeluhkan mual dan muntah yang berat.
Hal ini merupakan akibat dari peningkatan secara tajam hormon β-HCG.
(3) Hipertiroid. Setidaknya 7% penderita memiliki gejala seperti takikardi,
tremor dan kulit yang hangat. Didapatkan pula adanya gejala preeklamsia
yang terjadi pada 27% kasus dengan karakteristik hipertensi ( TD >
140/90 mmHg), protenuria (>300 mg.dl), dan edema dengan
hiperefleksia

2. Pemeriksaan Fisik
 Inspeksi
 Palpasi :
 Uterus membesar tidak sesuai dengan tuanya kehamilan, teraba lembek
 Tidak teraba bagian-bagian janin dan ballotement dan gerakan janin.
 Auskultasi : tidak terdengar bunyi denyut jantung janin
 Pemeriksaan dalam :
 Memastikan besarnya uterus
 Uterus terasa lembek
 Terdapat perdarahan dalam kanalis servikalis

3. Pemeriksaan Laboratorium
 Pemeriksaan kadar B-hCG
BetaHCG urin > 100.000 mlU/ml
Beta HCG serum > 40.000 IU/ml
Berikut adalah gambar kurva regresi hCG normal yang menjadi
parameter dalam penatalaksanaan lanjutan mola hidatidosa.

9
Gambar : Nilai rata-rata dari 95 % confidence limit yang
menggambarkan kurva regresi normal gonadotropin korionik subunit β
pasca mola.
 Pemeriksaan kadar T3 /T4
B-hCG > 300.000 mIU/ml mempengaruhi reseptor thyrotropin,
mengakibatkan aktifitas hormon-hormon tiroid (T3/T4) meningkat.
Terjadi gejala-gejala hipertiroidisme berupa hipertensi, takikardia,
tremor, hiperhidrosis, gelisah, emosi labil, diare, muntah, nafsu makan
meningkat tetapi berat badan menurun dan sebagainya. Dapat terjadi
krisis hipertiroid tidak terkontrol yang disertai hipertermia, kejang,
kolaps kardiovaskular, toksemia, penurunan kesadaran sampai delirium-
koma.

4. Pemeriksaan Imaging

a. Diagnosis
Diagnosis mola hidatidosa dapat dicurigai melalui pemeriksaan
ultrasonografi, namun untuk diagnosa definitif perlu dilakukan
pemeriksaan histopatologis pada jaringan kehamilan. Pada
ultrasonografi, ciri khasnya adalah adanya gambaran “cluster of grapes”
atau “honeycomb uterus” atau “snow-storm appearance”. Pada
pemeriksaan histopatologis, ditemukan villi korionik yang bengkak

10
dengan gambaran seperti anggur, disertai dengan jaringan tropoblas
yang hiperplastik.

Terkadang gejala hipertiroidisme dapat tampak akibat tingginya kadar β-


hCG dalam darah, sehingga dapat meniru TSH atau thyroid-stimulating
hormone.

b. Pemeriksaan Histopatologis
Pemeriksaan histopatolois merupakan standar emas untuk
mengkonfirmasi diagnosa mola hidatidosa. Oleh karena itu seluruh
produk konsepsi dari kehamilan mola wajib. Secara mikroskopis, pada
MHK dan MHP tampak villi korionik yang bengkak dengan gambaran
seperti anggur, disertai dengan jaringan tropoblas yang hiperplastik. Pada
MHP bisa ditemukan adanya jaringan janin, yang biasanya tidak bisa
bertahan hidup.

Secara makroskopis MHK mempunyai gambaran yang khas, yaitu


berbentuk kista atau gelembung-gelembung dengan ukuran antara
beberapa mm sampai 2-3cm, berdinding tipis, kenyal, berwarna putih
jernih, berisi cairan seperti cairan asites atau edema. Kalau ukurannya
kecil, tampak seperti kumpulan telur katak, tetapi kalau besar tampak
seperti serangkaian buah anggur yang bertangkai. Oleh karena itu
MHK disebut juga kehamilan anggur. Tangkai tersebut melekat pada
endometerium. Umumnya seluruh endometerium dikenai, bila
tangkainya putus terjadilah perdarahan. Kadang-kadang gelembung-

11
gelembung tersebut diliputi oleh darah merah atau coklat tua yang
sudah mengering.

Ultrasonografi (20)
Diagnosis menggunakan ultrasonografi (USG) pada kehamilan
dini mola hidatidosa komplit seringkali dihubungkan dengan abortus
atau kehamilan nirmudigah. Molahidatidosa komplit dapat
berhubungan dengan kelainan pada USG placenta. Namun, USG
memiliki keterbatasan dalam memprediksi molahidatidoa parsial.
Pada kehamilan ganda dengan janin yang dapat hidup dan suatu
kehamilan mola, maka kehamilan tersebut dianjurkan untuk
diteruskan.1 Gambaran yang didapatkan dinamakan sebagai
”Snowstorm appearance”. Mola parsial memiliki gambaran dengan
placenta multi kistik yang menebal disertai dengan fetus atau
setidaknya jaringan fetus.2 Misdiagnosa yang paling sering terjadi
adalah bahwa mola hidatidosa dilihat sebagai missed abortion atau
incomplete abortion. Sering juga kelahamilan mola dikira sebagai
kehamilan dengan multifetus atau leiomyoma uterin dengan
degenerasi kistik4.

12
IX. TATALAKSANA
Penatalaksanaan pada pasien dengan mola hidatidosa terdiri dari
berbagai tahap, yaitu:
1. Perbaikaan keadaan umum
Dalam tahap ini termasuk usaha untuk memperbaiki kondisi
penyerta lain seperti anemia berat ataupun syok hypovolemia
karena perdarahan. Perlu juga dilakukan tatalaksana
komprehensif terhadap penyulit lain seperti pre-eklamsia dan
tirotoksikosis.(18)
2. Terminasi kehamilan mola
Terminasi kehamilan mola merupakan terapi definitif untuk
pasien dengan mola hidatidosa. Ada dua cara evakuasi
jaringan, yaitu:
a) Kuret hisap(12)
Kuret hisap merupakan tindakan pilihan
untuk mengevakuasi jaringan mola. Sebelum
tindakan perlu dilakukan anesthesia yang adekuat,
akses vena dan cadangan darah perlu dipersiapkan.
Dilatasi serviks biasanya tidak diperlukan karena
mulu rahim cukup lunak.
Sebuah kateter hisap berukuran 10 - 14 mm,
biasanya cukup untuk mengevakuasi semua jaringan
mola. Kuret dapat digunakan juga untuk
mengevakuasikan jaringan mola namun perlu
diperhatikan untuk tidak menggunakan kuret yang
tajam untuk menghindari perforasi uterus. Kuretase
dengan lembut tetapi menyeluruh dilaksanakan. (5)
Ketika evakuasi dimulai, oksitosin diinfuskan pada
cairan intravena untuk membantu mengkontrol
perdarahan. Pengunaan sonografi intraoperatif

13
disarankan untuk memastikan kavum uterus sudah
kosong.
Setelah tindakan evakuasi, wanita dengan Rh
D-negatif diberikan anti-D
immunoglobulin
(Rhogam). (18)

b) Histerektomi(5)
Histerektomi dapat diindikasikan pada berbagai
kondisi berikut:
• Wanita multiparitas usia > 40 tahun yang tidak ingin
hamil lagi di masa depan
• Wanita dengan mola hidatidosa yang ingin steril/KB
• Pasien dengan infeksi berat atau perdarahan yang
tidak terkontrol
• Pasien dengan penyakit mola persisten
nonmetastatik yang sudah melahirkan anak atau
sudah tidak peduli tentang menjaga kesuburan

Pada tindakan histerektomi, apabila pasien juga


memiliki kista theca-lutein maka kista-kista tersebut
tidak perlu diangkat, karena akan secara spontan
menghilang setelah terminasi. Namun, dapat dilakukan
aspirasi pada kista yang lebih besar untuk
meminimalisir nyeri dan risiko torsio ovarium.(12)

3. Terapi profilaksis/kemoterapi(12)
Pemberian obat kemoterapi perlu memperhatikan
beberapa indikasi seperti:
• Pola regresi kadar hCG yang abnormal (peningkatan
kadar hCG 10% atau lebih; atau kadar hCG yang

14
menunjukkan gambaran plateu yang mencakup tiga
angka stabil selama dua minggu)
• Diagnosa histopatologis menunjukan
choriocarcinoma atau placental site tumor.
• Penemuan metastasis di otak, hati,
saluran gastrointestinal, paru-paru, dinding
vagina atau vulva

• Kadar hCG yang tinggi (lebih dari 20,000 mIU/mL


setelah 4 minggu pasca evakuasi.
• Peningkatan kadar hCG yang persisten 6 bulan pasca
evakuasi

Pada wanita yang akan menjalani kemoterapi,


disarankan agar tidak hamil dahulu setidaknya satu tahun
setelah dilaksanakan evakuasi kehamilan. Pasien dapat
menggunakan alat kontrasepsi seperti pil maupun suntik.

4. Pemeriksaan tindak lanjut (follow-up)


Setelah menjalani prosedur evakuasi, wajib dilakukan
pemeriksaan tindak lanjut dengan memonitoring kadar βhCG
serial untuk memastikan terjadi remisi komplit. Nilai βhCG
biasa akan kembali normal ± 8 minggu pasca tindakan
evakuasi. Pada GTD tipe jinak, pemeriksaan serial kadar
βhCG serum dan urin dilakukan setiap minggu pasca
evakuasi hingga didapatkan tiga hasil sesuai dengan nilai
yang diharapkan, kemudian diteruskan setiap bulan sekali
disertai dengan pemeriksaan pelvis dan kadar β-hCG dalam
urine hingga periode 6 bulan. Selama kadar β-hCG menurun
terus, tidak perlu dilakukan tindakan operatif berulang atau
berlanjut.(22)

15
Pada pasien dengan GTD tipe ganas, dapat menunjukkan
kadar β-hCG dengan gambaran plateu atau meningkat terus
melewati 8 minggu. Pada kelompok pasien tersebut perlu
dilakukan pemeriksaan bulanan dalam bentuk pemeriksaan
pelvis dan kadar β-hCG dalam urine selama setidaknya 2
tahun. (23)
Penggunaan kontrasepsi perlu dilaksanakan dan pasien
dianjurkan untuk menghindari kehamilan sampai kadar
βhCG sudah berada dalam batas normal selama 6 bulan.
Pemeriksaan ultrasonografi di awal kehamilan berikut wajib
dilakukan karena adanya resiko kekambuan sekitar 1%.
Estimasi kadar β-hCG perlu dilakukan pada saat 6 dan 10
minggu kehamilan karena adanya peningkatan risiko
terjadinya choriocarcinoma pada pasien tersebut.(24)

X. KOMPLIKASI
Bentuk yang jinak dari mola hidatidosa dapat mengakibatkan
komplikasi seperti infeksi uterus, sepsis, syok hemoragik dan preeklamsia,
yang mungkin terjadi selama kehamilan awal. GTD tidak mengganggu
kesuburan atau mempengaruhi komplikasi prenatal atau perinatal (misalnya,
malformasi kongenital, aborsi spontan, dll). Komplikasi paling penting yang
terkait dengan GTD adalah perkembangan gestational trophoblastic tumors
(GTT), yang mencakup kondisi seperti invasive mole, choriocarcinoma, dan
plasental site trophoblastic tumor (PSTT). Semua ini dapat bermetastasis
dan berpotensi fatal jika tidak ditangani.(25)(15)

XI. PROGNOSIS
Lebih dari 80% pasien menderita mola yang bersifat jinak. Hasil
setelah pengobatan yang adekuat biasanya sangat baik. Follow up lebih
lanjut sangat penting untuk memastikan semua pengobatan yang telah
dilakukan berhasil.(26) Pasien yang memiliki riwayat mola sebelumnya

16
memiliki risiko untuk mengalami mola di kehamilan berikutnya, oleh
karena itu direkomendasikan setelah pengobatan, pasien menggunakan alat
kontrasepsi untuk mencegah kehamilan setidaknya 6 hingga 12 bulan. (26)
Dalam 10 – 15% kasus, mola hidatiodas dapat berkembang menjadi
invasive mole. Kondisi tersebut dinamakan persistent trophoblastic disease
(PTD). Mola tersebut dapat menginvasi ke dinding rahim sehingga dapat
terjadi perdarahan besar ataupun komplikasi lainnya. Untuk menilai apakah
terjadinya berbagai komplikasi tersebut, pasca operasi dapat dilakukan
pemeriksaan x-ray abdomen dan dada.(8)
Dalam 2 – 3% kasus, mola hidatidosa dapat berkembang menjadi
choriocarcinoma, yaitu merupakan suatu bentuk kanker ganas yang
perkembangannya sangat cepat dan dapat menyebar luas ke berbagai organ
tubuh. Walaupun terjadinya perubahan menjadi choriocarcinoma yang
bersifat ganas, prognosis tidak buruk karena tingkat kesembuhan setelah
perawatan dengan kemoterapi tinggi.
Lebih dari 90% wanita dengan kanker ganas non-metastatik dapat
bertahan hidup dan mempertahankan kemampuan mereka untuk hamil dan
melahirkan anak-anak. Pada mereka dengan kanker metastatik
(penyebaran), remisi berada pada 75 hingga 85%, meskipun kemampuan
melahirkan mereka biasanya hilang.

17
XII. KESIMPULAN
Mola hidatidosa merupakan sebuah kelainan pada kehamilan yang
mana terjadi perkembangan parsial atau tidak ditemukan adanya
pertumbuhan janin, disertai dengan ciri tidak wajar seperti terjadinya
kelainan proliferasi trofoblas dan pembengkakan vesikular pada vili
korialis. Mola hidatidosa dibagi menjadi 2 klasifikasi yaitu, complete mole
dan partial mole.
Penyebab mola hidatidosa belum diketahui secara pasti. Faktor
penyebab yang diakui berhubungan dengan mola hidatidosa adalah usia ibu,
riwayat hamil mola sebelumnya, faktor nutrisi. Manifestasi yang dapat
terjadi yaitu perdarahan pervaginam, hiperemesis, hipertiroid dan gejala
preeklamsi seperti hipertensi, proteinuria, edema dan hiperefleksia.
Penatalaksanaan mola terdiri atas 4 tahap yaitu perbaikan keadaan umum,
evakuasi jaringan mola, terapi profilaksis/kemoterapi dan follow up.
Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien mola hidatidosa berupa perforasi
uterus, perdarahan, DIC, kista lutein, emboli trofoblastik dan lain-lain.
Prognosis tergantung pada kecepatan diagnosa dan ketepatan terapi.

18
BAB III DAFTAR PUSTAKA

1. Ngan, H. Y. S., Seckl, M. J., Berkowitz, R. S., Xiang, Y., Golfier, F.,
Sekharan, P. K., & Lurain, J. R. (2015). Update on the diagnosis and
management of gestational trophoblastic disease. International Journal of
Gynecology & Obstetrics, 131, S123–S126. doi:10.1016/j.ijgo.2015.06.008
2. Bruce, S., Sorosky, J. (2019). Gestational Trophoblastic Disease. Abington
Hospital.
3. Pradjatmo, H., Dasuki, D., Dwianingsih, E. K., Triningsih, E. (2015).
Malignancy Risk Scoring of Hydatidiform Moles. Asian Pacific Journal of
Cancer Prevention, Vol 16, 2015.
4. F. Gary Cunningham, Kenneth J. Leveno, Steven L. Bloom, Catherine Y.
Spoong, Jodi S. Dashe, Barbara L. Hoffman, Brian M. Casey, Jeanne S.
Sheffield. Williams Obstetrics. 24th ed. USA: McGraw-Hill Education;
2014. 1376 p.
5. Nguyen, N. M. P., Bolze, P.-A., & Slim, R. (2019). Hydatidiform Moles.
Textbook of Autoinflammation, 485–497. doi:10.1007/978-3-319-98605-
0_27
6. Cagayan MS. Hydatidiform mole and its complications: review of patient
profiles and management at the university of the Philippines-Philippine
General Hospital. J Reprod Med. 2014;59(5–6):235–40.
7. Lirain, J. R. (2019). Hydatidiform Mole: Recognition and Management,
64(3).
8. American Cancer Society. Gestational Trophoblastic Disease [Internet].
2018 [cited 2018 Aug 29]. Available from:
https://www.cancer.org/cancer/gestational-trophoblasticdisease/about/what-
is-gtd.html
9. Ito Y, Maehara K, Kaneki E et al. Novel nonsense mutation in the NLRP7
gene associated with recurrent hydatidiform mole. Gynecol Obs Invest.
2016;81(4):353–8.
10. Candelier J-J. The hydatidiform mole. Cell Adh Migr [Internet]. 2016;10(1–
2):226–35. Available from:
https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/19336918.2015.1093275
11. Madi J, Braga A, Paganella M, Litvin I, Wendland E. Accuracy of p57 KIP 2
compared with genotyping to diagnose complete hydatidiform mole: a
systematic review and meta-analysis. BJOG An Int J Obstet Gynaecol
[Internet]. 2018;125(10):1226–33. Available from:
http://doi.wiley.com/10.1111/1471-0528.15289
12. Heller DS. Update on the pathology of gestational trophoblastic disease.

19
Apmis [Internet]. 2018;126(7):647–54. Available from:
http://doi.wiley.com/10.1111/apm.12786 .
13. Ghassemzadeh, S., Kang, M., (2019). Hydatidiform Mole. Riverside Comm
Hospital, UC Riverside.
14. Lelic M, Fatusic Z, Iljazovic E, Ramic S, Markovic S, Alicelebic S.
Challenges in the Routine Praxis Diagnosis of Hydatidiform Mole: a Tertiary
Health Center Experience. Med Arch [Internet]. 2017;71(4):256. Available
from: http://www.ejmanager.com/fulltextpdf.php?mno=274809
15. Li XL, Du DF, Chen SJ, Zheng SH, Lee AC, Chen Q. Trends in ectopic
pregnancy, hydatidiform mole and miscarriage in the largest obstetrics and
gynaecology hospital in China from 2003 to 2013. Reprod Health [Internet].
2016;13(1):1–6. Available from: http://dx.doi.org/10.1186/s12978-
0160181-5
16. Sassan Ghassemzadeh, Michael Kang. Hydatidiform Mole. NCBI
Bookshelf. 2017;5.
17. Mangili G, Giorgione V, Gentile C, Bergamini A, Pella F, Almirante G, et
al. Hydatidiform mole: Age-related clinical presentation and high rate of
severe complications in older women. Acta Obstet Gynecol Scand.
2014;93(5):503–7.
18. Ross JA, Unipan A, Clarke J, Magee C, Johns J. Ultrasound diagnosis of
molar pregnancy. Ultrasound [Internet]. 2018;26(3):153–9. Available from:
http://journals.sagepub.com/doi/10.1177/1742271X17748514
19. J. S. K. Woo C. Hsu L. L. Y. Fung H. K. Ma. Partial Hydatidiform Mole:
Ultrasonographic Features. ANZOG. 1983;23(2):103–7.
20. Sebire NJ, Foskett M, Short D, et al. Shortened duration of human chorionic
gonadotrophin surveillance following complete or partial hydatidiform mole:
evidence for revised protocol of a UK regional trophoblastic disease unit.
BJOG An Int J Obstet Gynaecol. 2007;114(6):760–2.
21. Batorfi J, Vegh G, Szepesi J, et al., Batorfi J, Vegh G, Szepesi J, et al. How
long should patients be followed after molar pregnancy? Analysis of serum
hCG follow-up data. Eur J Obs Gynecol Reprod Biol. 2004;112(1):95–7.
22. Feltmate CM, Batorfi J, Fulop V et al. Human chorionic gonadotropin
follow-up in patients with molar pregnancy: a time for reevaluation. Obs
Gynecol. 2003;101(4):732–6.
23. Twiggs LB, Paul Morrow C, Schlaerth JB. Acute pulmonary complications
of molar pregnancy. Am J Obstet Gynecol [Internet]. 1979 Sep
15;135(2):189–94. Available from:
https://doi.org/10.1016/00029378(79)90341-7
24. Cavaliere A, Ermito S, Dinatale A, Pedata R. Management of molar
pregnancy. J Prenat Med [Internet]. 2009;3(1):15–7. Available from:

20
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3279094/

21

Anda mungkin juga menyukai