Anda di halaman 1dari 19

Tinjauan Pustaka

MOLA HIDATIDOSA

Oleh:

Taufik Novri Effendi, S.Ked

1730912310131

Pembimbing:

dr. Budi Zulhardi, Sp.OG (K)

BAGIAN/SMF ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNLAM/RSD IDAMAN


BANJARBARU 2019
BAB I
PENDAHULUAN

Penvakit trofoblas ialah penyakit yang mengenai sel-sel trofoblas dimana terjadi suatu
keabnormalan konsepsi plasenta yang disertai sedikit atau bahkan tanpa perkembangan janin.
Di dalam tubuh wanita sel trofoblas hanya ditemukan bila wanita itu hamil. Di luar kehamilan
sel-sel trofoblas dapat ditemukan pada teratoma dari ovarium, karena itu penyakit trofoblas
yang berasal dari kehamilan disebut sebagai Gestational Trophoblastic Disease, sedangkan
yang berasal dari teratoma disebut Non Gestational Throphoblastic Disease.

Penyakit trofoblas mempunyai potensi yang cukup besar untuk menjadi ganas dan
menimbulkan berbagai bentuk metastase keganasan dengan berbagai variasi (Manuaba, 2007).
Prevalensi mola hidatidosa lebih tinggi di Asia, Afrika, dan Amerika Latin dibandingkan
dengan negara-negera Barat. Di negara-negara Barat dilaporkan 1:2000 kehamilan. Frekuensi
mola umumnya pada wanita di Asia lebih tinggi sekitar 1: 120 kehamilan. Di Amerika Serikat
dilaporkan insidensi mola sebesar 1 pada 1000-1200 kehamilan. Di Indonesia sendiri
didapatkan kejadian mola pada 1 : 85 kehamilan. Biasanya dijumpai lebih sering pada usia
reproduktif (15-45 tahun); dan pada multipara. Jadi dengan meningkatnya paritas kemungkinan
menderita mola akan lebih besar. Mola hidatidosa terjadi pada 1-3 dalam setiap 1000
kehamilan. Sekitar 10% dari seluruh kasus akan cenderung mengalami transformasi ke arah
keganasan, yang disebut sebagai gestational trophoblastic neoplasma.

Di negara maju, kematian karena mola hidatidosa hampir tidak ada, mortalitas akibat mola
hidatidosa ini mulai berkurang oleh karena diagnosis yang lebih dini dan terapi yang tepat. Akan
tetapi di negara berkembang kematian akibat mola masih cukup tinggi yaitu berkisar antara 2,2%
dan 5,7%. Kematian pada mola hidatidosa biasanya disebabkan oleh karena perdarahan, infeksi,
eklamsia, payah jantung dan tirotoksikosis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi
Mola hidatidosa adalah suatu kehamilan yang berkembang tidak wajar dimana
terjadi keabnormalan dalam konsepsi plasenta yang disertai dengan perkembangan
parsial atau tidak ditemukan adanya pertumbuhan janin, hampir seluruh vili korialis
mengalami perubahan berupa degenerasi hidropobik. Janin biasanya meninggal akan
tetapi villus-villus yang membesar dan edematus itu hidup dan tumbuh terus, gambaran
yang diberikan adalah sebagai segugus buah anggur. Jaringan trofoblast pada vilus
berproliferasi dan mengeluarkan hormon human chononic gonadotrophin (HCG) dalam
jumlah yang lebih besar daripada kehamilan biasa.

2. Epidemiologi
Frekuensi mola hidatidosa umumnya di wanita Asia lebih tinggi (1 per 120
kehamilan) daripada wanita di negara Barat (1 per 2.000 kehamilan). Di Indonesia, mola
hidatidosa dianggap sebagai penyakit yang penting dengan insiden yang tinggi (data RS
di Indonesia, 1 per 40 persalinan), faktor risiko banyak, penyebaran merata serta sebagian
besar data masih berupa hospital based. Faktor risiko mola hidatidosa terdapat pada usia
kurang dari 20 tahun dan di atas 35 tahun, gizi buruk, riwayat obstetri, etnis dan genetik

3. Etiologi
Penyebab mola hidatidosa tidak diketahui secara pasti, namun faktor penyebabnya
yang kini telah diakui adalah :
1. Faktor ovum : ovum memang sudah patologik sehingga mati, tetapi terlambat
dikeluarkan.
2. Usia ibu yang terlalu muda atau tua (36-40 tahun) beresiko 50% terkena penyakit
ini.
3. Imunoselektif dari sel trofoblast
4. Keadaan sosioekonomi yang rendah
5. Paritas tinggi
6. Defisiensi vitamin A
7. kekurangan protein
8. infeksi virus dan factor kromosom yang belum jelas.
Berbagai teori telah diajukan, misalnya teori infeksi, defisiensi zat makanan,
terutama protein tinggi. Teori yang paling cocok dengan keadaan adalah teori dari Acosta
Sison, yaitu defisiensi protein, karena kenyataan membuktikan bahwa penyakit ini lebih
banyak ditemukan pada wanita dari golongan sosio ekonomi rendah. Akhir-akhir ini
dianggap bahwa kelainan tersebut terjadi karena pembuahan sebuah sel telur dimana
intinya telah hilang atau tidak aktif lagi oleh sebuah sel sperma yang mengandung 23x
(haploid) kromosom, kemudian membelah menjadi 46xx, sehingga mola hidatidosa
bersifat homozigot, wanita dan androgenesis. Kadang-kadang terjadi pembuahan oleh 2
sperma, sehingga terjadi 46xx atau 46xy.
Telah diketahui bahwa penyakit ini banyak ditemukan pada golongan sosio
ekonomi rendah, umur di bawah 20 tahun dan di atas 34 tahun, dan dengan paritas tinggi.
insiden penyakit ini dapat diturunkan dengan suatu upaya preventif berupa pencegahan
kehamilan di bawah 20 tahun dan di atas 34 tahun dengan jumlah anak tidak lebih dari
tiga
Juga disebutkan defisiensi lemak hewani dan karotene, kebiasaan merokok,
pemakaian pil kontrasepsi kombinasi merupakan faktor resiko. Secara singkat dapat
disimpulkan bahwa peran graviditas, paritas, faktor reproduksi lain, status estrogen,
kontrasepsi oral dan faktor makanan dianggap sebagai faktor resiko walaupun masih
belum jelas hubungannya.

4. Klasifikasi
Mola hidatidosa dapat diklasifikasikan menjadi 2 yaitu bila tidak disertai janin
maka disebut mola hidatidosa atau Complete mole, sedangkan bila disertai janin atau
bagian dari janin disebut mola parsialis atau Parsials mole

Gambaran Mola Komplit Mola Parsial


Kariotipe 46,XX atau 46,XY Umumnya 69,XXX
atau 69,XXY (tripoid)
Patologi

Edema villus Difus Bervariasi,fokal


Proliferasi trofoblastik Bervariasi, ringan s/d berat Bervariasi, fokal,
ringan s/d sedang
Janin Tidak ada Sering dijumpai
Amnion, sel darah Tidak ada Sering dijumpai
merah janin
Gambaran klinis

Diagnosis Gestasi mola Missed abortion


Ukuran uterus 50% besar untuk masa Kecil untuk masa
kehamilan kehamilan
Kista teka-lutein 25-30% Jarang
Penyulit medis Sering jarang
Penyakit pascamola 20% <5-10%
Kadar hCG Tinggi Rendah – tinggi

5. Patofisiologi
Patofisiologi dari kehamilan mola hidatidosa yaitu karena tidak sempurnanya
peredaran darah fetus, yang terjadi pada sel telur patologik yaitu : hasil pembuahan
dimana embrionya mati pada umur kehamilan 3 – 5 minggu dan karena pembuluh darah
villi tidak berfungsi maka terjadi penimbunan cairan di dalam jaringan mesenkim villi.

Analisis sitogenetik pada jaringan yang diperoleh dari kehamilan mola


memberikan beberapa petunjuk mengenai asal mula dari lesi ini. Kebanyakan mola
hidatidosa adalah mola “lengkap” dan mempunyai 46 kariotipe XX. Penelitian khusus
menunjukkan bahwa kedua kromosom X itu diturunkan dari ayah. Secara genetik,
sebagian besar mola hidatidosa komplit berasal dari pembuahan pada suatu “telur
kosong” (yakni, telur tanpa kromosom) oleh satu sperma haploid (23 X), yang kemudian
berduplikasi untuk memulihkan komplemen kromosom diploid (46 XX). Hanya
sejumlah kecil lesi adalah 46 XY.

Pada mola yang “tidak lengkap” atau sebagian, kariotipe biasanya suatu triploid,
sering 69 XXY (80%). Kebanyakan lesi yang tersisa adalah 69 XXX atau 69 XYY.
Kadang-kadang terjadi pola mozaik. Lesi ini, berbeda dengan mola lengkap, sering
disertai dengan janin yang ada secara bersamaan. Janin itu biasanya triploid dan cacat.
Gambar Susunan sitogenetik dari mola hidatidosa. A. Sumber kromosom dari mola lengkap.
B. Sumber kromosom dari mola sebagian yang triploid

Ada beberapa teori yang diajukan untuk menerangkan patogenesis dari penyakit
trofoblas:

1. Teori missed abortion.


Teori ini menyatakan bahwa mudigah mati pada usia kehamilan 3-5 minggu
(missed abortion). Hal inilah yang menyebabkan gangguan peredaran darah
sehingga terjadi penimbunan cairan dalam jaringan mesenkim dari villi dan
akhirnya terbentuklah gelembung-gelembung. Menurut Reynolds, kematian
mudigah itu disebabkan karena kekurangan gizi berupa asam folik dan histidine
pada kehamilan hari ke 13 dan 21. Hal ini menyebabkan terjadinya gangguan
angiogenesis.

2. Teori neoplasma
Teori ini pertama kali dikemukakan oleh Park. Pada penyakit trofoblas, yang
abnormal adalah sel-sel trofoblas dimana fungsinya juga menjadi abnormal. Hal
ini menyebabkan terjadinya reabsorpsi cairan yang berlebihan kedalam villi
sehingga menimbulkan gelembung. Sehingga menyebabkan gangguan peredaran
darah dan kematian mudigah.

Secara makroskopik, mola hidatidosa mudah dikenal yaitu berupa gelembung-


gelembung putih, tembus pandang, berisi cairan jernih, sehingga menyerupai buah
anggur, atau mata ikan. Karena itu disebut juga hamil anggur atau mata ikan. Ukuran
gelembung-gelembung ini bervariasi dari beberapa milimeter sampai 1-2 cm. Secara
mikroskopik terlihat trias: (1) Proliferasi dari trofoblas; (2) Degenerasi hidropik dari
stroma villi dan kesembaban; (3) Hilangnya pembuluh darah dan stroma. Sel-sel
Langhans tampak seperti sel polidral dengan inti terang dan adanya sel sinsitial giantik
(syncytial giant cells). Pada kasus mola banyak dijumpai ovarium dengan kista lutein
ganda berdiameter 10 cm atau lebih (25-60%). Kista lutein akan berangsur-angsur
mengecil dan kemudian hilang setelah mola hidatidosa sembuh.

6. Gambaran Klinik
a. Perdarahan
Perdarahan uterus merupakan gejala mola hidatidosa yang paling umum ditemui.
Mulai dari sekedar spotting hingga perdarahan masif. Gejala perdarahan biasanya
terjadi antara bulan pertama sampai bulan ke tujuh dengan rata-rata minggu ke 12-
14. Dapat dimulai sesaat sebelum aborsi atau lebih sering dapat muncul secara
intermiten, sedikit-sedikit atau sekaligus banyak hingga menyebabkan syok atau
kematian. Sebagai akibat dari perdarahan tersebut gejala anemia sering dijumpai
terutama pada wanita malnutrisi. Efek dilusi dari hipervolemia terjadi pada wanita
dengan mola yang lebih besar. Anemia defisiensi Fe sering ditemukan, demikian pula
halnya dengan kelainan eritropoiesis megaloblastik, diduga akibat asupan yang tidak
mencukupi karena adanya mual dan muntah disertai peningkatan kebutuhan asam
folat karena cepatnya proliferasi trofoblas. Perdarahan juga sering disertai
pengeluaran jaringan mola. Darah yang keluar berwarna kecoklatan.
b. Ukuran uterus bisa lebih besar atau lebih kecil (tidak sesuai usia kehamilan)
Pertumbuhan ukuran uterus sering lebih besar dan lebih cepat daripada kehamilan
normal, hal ini ditemukan pada setengah dari semua pasien mola. Ada pula kasus-
kasus yang uterusnya lebih kecil atau sama besarnya dengan kehamilan normal,
walaupun jaringannya belum dikeluarkan. Dalam hal ini perkembangan trofoblas
tidak terlalu aktif sehingga perlu dipikirkan kemungkinan adanya dying mole. Uterus
mungkin sulit untuk diidentifikasikan secara pasti dengan palpasi, terutama pada
wanita nullipara. Hal ini disebabkan karena konsistensinya yang lembut di bawah
dinding perut yang kaku. Pembesaran uterus karena kista theca lutein multiple akan
membuat sulit perbedaaan dengan pembesaran uterus biasa.
c. Tidak adanya aktifitas janin
Walaupun pembesaran uterus mencapai bagian atas simfisis, tidak ditemukan
adanya denyut jantung janin. Meskipun jarang, mungkin terdapat plasenta ganda
dengan kehamilan mola komplet yang bertumbuh bersamaan, sementara plasenta
yang satu dan janin terlihat normal. Juga walaupun jarang, mungkin terdapat mola
inkomplet pada plasenta yang disertai janin hidup.
d. Eklamsia dan preeklamsia
Preeklampsia pada kehamilan mola timbul pada trisemester ke 2. Eklamsia atau
preeklamsia pada kehamilan normal jarang terlihat sebelum usia kehamilan 24
minggu. Oleh karenanya preeklamsia yang terjadi sebelum waktunya harus dicurigai
sebagai mola hidatidosa.
e. Hiperemesis
Mual dan muntah yang signifikan dapat timbul sebagai salah satu gejala mola
hidatidosa.
f. Tirotoksikosis
Kadar tiroksin plasma pada wanita dengan kehamilan mola sering meningkat,
namun gejala hipertiroid jarang muncul. Menurut Curry insidennya 1%, tetapi
Martaadisoebrata menemukan angka lebih tinggi yaitu 7,6%. Terjadinya
tirotoksikosis pada mola hidatidosa berhubungan erat dengan besarnya uterus. Makin
besar uterus makin besar kemungkinan terjadinya tirotoksikosis. Oleh karena kasus
mola dengan uterus besar masih banyak ditemukan, maka Martaadisoebrata
menganjurkan agar pada tiap kasus mola hidatidosa dicari tanda-tanda tirotoksikosis
secara aktif.
Mola yang disertai tirotoksikosis mempunyai prognosis yang lebih buruk, baik dari
segi kematian maupun kemungkinan terjadinya keganasan. Biasanya penderita
meninggal karena krisis tiroid. Peningkatan tiroksin plasma mungkin karena efek
dari estrogen seperti yang dijumpai pada kehamilan normal. Serum bebas tiroksin
yang meningkat sebagai akibat thyrotropin-like effect dari Chorionic Gonadotropin
hormone. Terdapat korelasi antara kadar hCG dan fungsi endogen tiroid tapi hanya
kadar hCG yang melebihi 100.000 iu/L yang bersifat tirotoksis.
 Mola hidatidosa komplet
- Perdarahan pervaginam : gejala umum dari mola komplet.
Jaringan mola terpisah dari desidua, menyebabkan perdarahan. Uterus mungkin
membesar karena sejumlah besar darah dan cairan gelap masuk ke dalam vagina.
Gejala ini muncul pada 97% kasus.
- Hiperemesis : karena peningkatan secara ekstrem kadar hCG
- Hipertiroidisme : kira-kira 7% pasien mengalami takikardi, tremor dan kulit yang
hangat.
 Mola hidatidosa parsial
- Pasien dengan mola hidatidosa parsial tidak memiliki gejala yang sama dengan
mola komplet. Pasien ini biasanya mempunyai gejala dan tanda seperti abortus
inkomplet atau missed abortion.
- Perdarahan pervaginam
- Adanya denyut jantung janin

7. Diagnosis

1. Anamnesis
Ada kehamilan disertai gejala dan tanda kehamilan muda yang berlebihan,
perdarahan pervaginam berulang cenderung berwarna coklat dan kadang
bergelembung seperti busa.

- terdapat gejala-gejala hamil muda yang kadang-kadang lebih nyata dari kehamilan
biasa
- terdapat perdarahan yang sedikit atau banyak, tidak teratur, warna tengguli tua atau
kecoklatan
- pembesaran rahim yang tidak sesuai (lebih besar) bila dibandingkan dengan usia
kehamilan seharusnya
- keluar jaringan mola seperti buah anggur atau mata ikan (tidak selalu ada) yang
merupakan diagnosa pasti

(1) Perdarahan vaginal. Gejala klasik yang paling sering pada mola komplet adalah
perdarahan vaginal. Jaringan mola terpisah dari desidua, menyebabkan
perdarahan. Uterus membesar (distensi) oleh karena jumlah darah yang banyak,
dan cairan gelap bisa mengalir melalui vagina. Gejala ini terdapat dalam 97%
kasus.
(2) Hiperemesis. Penderita juga mengeluhkan mual dan muntah yang berat. Hal ini
merupakan akibat dari peningkatan secara tajam hormon β-HCG.
(3) Hipertiroid. Setidaknya 7% penderita memiliki gejala seperti takikardi, tremor
dan kulit yang hangat. Didapatkan pula adanya gejala preeklamsia yang terjadi
pada 27% kasus dengan karakteristik hipertensi ( TD > 140/90 mmHg),
protenuria (>300 mg.dl), dan edema dengan hiperefleksia

2. Pemeriksaan Fisik
 Inspeksi
 Palpasi :
 Uterus membesar tidak sesuai dengan tuanya kehamilan, teraba lembek
 Tidak teraba bagian-bagian janin dan ballotement dan gerakan janin.
 Auskultasi : tidak terdengar bunyi denyut jantung janin
 Pemeriksaan dalam :
 Memastikan besarnya uterus
 Uterus terasa lembek
 Terdapat perdarahan dalam kanalis servikalis

3. Pemeriksaan Laboratorium
 Pemeriksaan kadar B-hCG
BetaHCG urin > 100.000 mlU/ml

Beta HCG serum > 40.000 IU/ml

Berikut adalah gambar kurva regresi hCG normal yang menjadi parameter
dalam penatalaksanaan lanjutan mola hidatidosa.
Gambar : Nilai rata-rata dari 95 % confidence limit yang menggambarkan kurva
regresi normal gonadotropin korionik subunit β pasca mola (Cunningham,
2006).
 Pemeriksaan kadar T3 /T4
B-hCG > 300.000 mIU/ml mempengaruhi reseptor thyrotropin, mengakibatkan
aktifitas hormon-hormon tiroid (T3/T4) meningkat. Terjadi gejala-gejala
hipertiroidisme berupa hipertensi, takikardia, tremor, hiperhidrosis, gelisah,
emosi labil, diare, muntah, nafsu makan meningkat tetapi berat badan menurun
dan sebagainya. Dapat terjadi krisis hipertiroid tidak terkontrol yang disertai
hipertermia, kejang, kolaps kardiovaskular, toksemia, penurunan kesadaran
sampai delirium-koma (Cunningham, 2006).

4. Pemeriksaan Imaging

a. Ultrasonografi
 Gambaran seperti sarang tawon tanpa disertai adanya janin

 Ditemukan gambaran snow storm atau gambaran seperti badai salju.

b. Plain foto abdomen-pelvis: tidak ditemukan tulang janin

8. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan mola hidatidosa terdiri dari 4 tahap, yaitu:
1. Perbaikan keadaan umum
Yang termasuk usaha ini misalnya transfusi darah pada anemia berat dan srok
hipovolemik karena perdarahan. Atau menghilangkan penyulit seperti preeklamsia
dan tirotoksikosis. Preeklamsia diobati seperti pada kehamilan biasa, sedangkan
untuk tirotoksikosis diobati sesuai protokol penyakit dalam, antara lain dengan
inderal.
2. Pengeluaran jaringan mola
Bila diagnosis telah ditegakkan, kehamilan mola harus segera diakhiri. Ada
dua cara evakuasi, yaitu: a) kuret hisap, b) histerektomi
a. Kuret hisap
Kuret hisap merupakan tindakan pilihan untuk mengevakuasi jaringan mola,
dan sementara proses evakuasi berlangsung berikan infus 10 IU oksitosin dalam
500 ml NaCl atau RL dengan kecepatan 40-60 tetes/menit. Oksitosi diberikan
untuk menimbulkan kontraksi uterus mengingat isinya akan dikeluarkan
Tindakan ini dapat mengurangi perdarahan dari tempat implantasidan dengan
terjadinya retraksi miometrium, dinding uterus akan menebal dan dengan
demikian resiko perforasi dapat dikurangi 8.Bila sudah terjadi abortus maka
kanalis servikalis sudah terbuka. Bila belum terjadi abortus, kanalis servikalis
belum terbuka sehingga perlu dipasang laminaria atau servikalis dilator (setelah
10 jam baru terbuka 2-5 cm). Setelah jaringan mola dikeluarkan secara aspirasi
dan miometrium memperlihatkan kontraksi dan retraksi, biasanya dilakukan
kuretase yang teliti dan hati-hati dengan menggunakan alat kuret yang tajam dan
besar. Jaringan yang diperoleh diberi label dan dikirim untuk pemeriksaan.
Kuretase kedua dilakukan apabila kehamilan seusia lebih dari 20 minggu, atau
tidak diyakini bersih. Kuret ke-2 dilakukan kira-kira 10-14 hari setelah kuret
pertama. Pada waktu itu uterus sudah mengecil sehingga lebih besar
kemungkinan bahwa kuret betul-betul menghasilkan uterus yang bersih.
Jika terdapat mola hidatidosa yang besar (ukuran uterus >12 minggu, dan
dievakuasi dengan kuret hisap, laparatomi harus dipersiapkan, atau mungkin
diperlukan ligasi arteri hipogastrika bilateral bila terjadi perdarahan atau
perforasi. Sebelum kuret sebaiknya disediakan persediaan darah untuk menjaga
kemungkinan terjadi perdarahan masif selama kuretase berlangsung.

b. Histerektomi
Sebelum kuret hisap digunakan, histerektomi sering dipakai untuk pasien
dengan ukuran uterus di luar 12-14 minggu. Namun histerektomi tetap
merupakan pilihan pada wanita yang telah cukup umur dan cukup mempunyai
anak.
Alasan untuk melakukan histerektomi ialah karena umur tua dan paritas
tinggi karena hal tersebut merupakan predisposisi timbulnya keganasan.
Batasan yang dipakai ialah umur 35 tahun dengan anak hidup tiga. Tidak jarang
bahwa pada sediaan histerektomi bila dilakukan pemeriksaan histopatologi
sudah tampak adanya tanda-tanda mola invasif.
Ada beberapa ahli yang menganjurkan agar pengeluaran jaringan dilakukan
melalui histerektomi. Tetapi cara ini tidak begitu populer dan sudah
ditinggalkan. Walau histerektomi tidak dapat mengeliminasi sel-sel tumor
trofoblastik, namun mampu untuk mengurangi kekambuhan penyakit ini.
3. Terapi profilaksis dengan sitostatika
Diberikan pada kasus mola dengan resiko tinggi akan terjadinya keganasan
di bawah pengawasan dokter.3 Misalnya umur tua dan paritas tinggi yang menolak
untuk dilakukan histerektomi, atau kasus dengan hasil histopatologi yang
mencurigakan. Biasanya diberikan Methotrexate atau Actinomycin D. Tidak
semua ahli setuju dengan cara ini, dengan alasan jumlah kasus mola yang menjadi
ganas tidak banyak dan sitostatika merupakan obat yang berbahaya. Goldstein
berpendapat bahwa pemberian sitostatika profilaksis dapat menghindarkan
keganasan metastasis, serta mengurangi terjadinya koriokarsinoma di uterus
sebanyak 3 kali. Kadar hCG >100.000 IU/L praevakuasi dianggap sebagai resiko
tinggi untuk perubahan ke arah keganasan, pertimbangan untuk memberikan
Methotrexate (MTX) 3-5 mg/kgBB atau 25 mg IM dosis tunggal. Metastasis yang
hanya ke paru dapat diobati dengan agen kemoterapi tunggal sedangkan metastasis
lainnya memerlukan 3 agen kemoterapi.
4. Pemeriksaan tindak lanjut (follow up)
Tujuan utama follow up untuk mendeteksi adanya perubahan yang mengarah
keganasan. Metode umum follow up adalah sebagai berikut:
- Mencegah kehamilan selama periode follow up, minimal 1 tahun, mematuhi
jadwal kontrol selama 2-3 tahun (1x pada triwulan pertama, tiap 2 minggu
pada triwulan kedua, tiap bulan pada 6 bulan berikutnya,tiap 2 bulan pada
tahun berikutnya, selanjutnya tiap 3 bulan
- Pengukuran kadar serum B-hCG setiap 2 minggu
- Mempertahankan terapi selama kadar serum menurun. Peningkatan atau
pendataran kadar membutuhkan evaluasi dan terapi lanjut
- Jika kadar normal (mencapai batas rendah dari pengukuran, dilakukan
pengukuran setiap bulan sekali selama 6 bulan dan tiap 2 bulan selama 1
tahun
- Follow up dapat dihentikan dan kehamilan diijinkan 1 tahun kemudian
Setiap periksa ulang penting diperhatikan :
1. Gejala klinik: keadaan umum, perdarahan, dan lain-lain
2. Lakukan pemeriksaan dalam dan pemeriksaan inspekulo: tentang keadaan
serviks, uterus cepat bertambah kecil atau tidak, dan lain-lain
3. Reaksi biologis atau imunologis air seni,
1x seminggu sampai hasil negatif, 1x2 minggu selama triwulan
selanjutnya, 1x sebulan dalam 6 bulan selanjutnya, 1x 3 bulan selama tahun
berikutnya. Kalau reaksi titer tetap (+) maka harus dicurigai adanya
keganasan. Keganasan masih dapat timbul setelah 3 tahun pasca terkenanya
mola hidatidosa. Menurut Harahap tumor timbul 34,5% dalam 6 minggu,
62,1% dalam 12 minggu, dan 79,4% dalam 24 minggu serta 97,2% dalam 1
tahun setelah mola keluar.
Lama pengawasan berkisar antara satu atau dua tahun, mengingat
kemungkinan terjadi keganasan setelah mola hidatidosa (20%). Gejala-gejala
choriocarsinoma yang harus diwaspadai setelah dilakukan kuretase mola:
perdarahan yang terus menerus,involusi rahim tidak terjadi, kadang-kadang
malahan nampak metastasis di vagina berupa tumor-tumor yang biru ungu,
rapuh dan mudah berdarah.2
Selama pengawasan, secara berkala dilakukan ginekologis, kadar -
hCG dan ultrasonografi. Cara yang paling peka saat ini adalah dengan
pemeriksaan -hCG yang menetap untuk beberapa lama. Jika masih
meninggi, hal ini berarti masih ada sel-sel trofoblas yang aktif. Cara yang
umum dipakai sekarang ini adalah dengan radioimmunoassay terhadap -
hCG sub-unit. Pemeriksaan kadar -hCG diselenggarakan setiap minggu
sampai kadar menjadi negatif selama 3 minggu dan selanjutnya setiap bulan
selama 6 bulan. Mungkin juga timbul metastasis di paru-paru yang
menimbulkan batuk dan haemoptoe, oleh karena itu bila ada gejala-gejala
yang mencurigakan harus dibuat foto rontgen paru.
Gambar 1. Skema tatalaksana mola hidatidosa
9. Komplikasi
 Perforasi uterus selama kuret hisap sering muncul karena uterus yang membesar.
Jika hal ini terjadi prosedur penanganannya harus dalam bimbingan laparaskopi.
 Perdarahan sering pada evakuasi mola, karenanya oksitosin IV harus diberikan
sebelum prosedur dimulai. Methergin atau Hemabase dapat juga diberikan.
 Penyakit trofoblastik ganas terjadi pada 20 % kehamilan mola, karenanya
pemeriksaan kuantitatif hCG serial dilakukan selama 1 tahun post evakuasi sampai
hasilnya negatif.
 DIC, karena jaringan mola melepaskan faktor yang bersifat fibrinolitik. Semua
pasien harus diperiksa kemungkinan adanya koagulopati.
 Emboli trofoblastik dapat menyebabkan insufisiensi pernafasan akut. Faktor resiko
terbesar ialah pada ukuran uterus yang lebih besar dari yang diharapkan pada usia
kehamilan 16 minggu. Kondisi ini dapat berakhir fatal.
 kista lutein, baik unilateral maupun bilateral. Kista lutein dapat menyebabkan
pembesaran pada satu atau kedua ovarium dengan ukuran yang beragam, dari
diameter mikroskopik sampai ukuran 10 cm atau lebih. Hal ini terjadi pada 25-60%
penderita mola. Kista teka lutein multiple pada 15-30% penderita mola
menyebabkan pembesaran satu atau kedua ovarium dan menjadi sumber rasa nyeri.
Ruptur, perdarahan atau infeksi mudah terjadi.
Kista lutein ini diperkirakan terjadi akibat rangsangan elemen lutein yang
berlebihan oleh hormon korionik-gonadotropin dalam jumlah besar yang disekresi
oleh trofoblas yang berproliferasi dengan pemeriksaan klinis, insiden kista lutein +
10,2%, tetapi bila menggunakan USG angkanya meningkat sampai 50%. Kasus
mola dengan kista lutein mempunyai resiko empat kali lebih besar untuk mendapat
degenerasi keganasan di kemudian hari daripada kasus-kasus tanpa kista. Involusi
dari kista terjadi setelah beberapa minggu yang biasanya seiring dengan penurunan
kadar B-hCG. Tindakan bedah hanya dilakukan bila ada ruptur dan perdarahan atau
ovarium yang membesar tadi mengalami infeksi. umumnya ukuran kembali normal
dalam 12 minggu.
 Anemia, karena perdarahan yang berulang-ulang
 Perdarahan dan syok. Penyebab perdarahan ini mungkin disebabkan oleh pelepasan
jaringan mola tersebut dengan lapisan desidua, perforasi uterus oleh karena
keganasan, atonia uteri atau perlukaan pada uterus karena evakuasi jaringan mola.
 Infeksi sekunder

10. Prognosis
__________________________________________________________________
Prognosis baik Prognosis buruk
Kehamilan terakhir < 4 bulan > 4 bulan
B-hCG < 40.000 > 40.000
Kehamilan sebelumnya mola term
Terapi sebelumnya tidak ada gagal
Metastase tidak ada, kadang paru otak, hati

WHO SCORING SYSTEM


Faktor prognosis 0 1 2 4
1. Usia < 35 th >35 th
2. Kehamilan sebelumnya mola aborsi term
3. Interval <4bln 4-6 bln 7-12 bln >12 bln
4. B-hCG <1000 <10.000 <100.000 >100000
5. ABO maternal-paternal OxA,AxO B,AB
6. Ukiran tumor terbesar 3-5 >5
7. Angka metastase 1-4 4-8 >8
8. Kemoterapi terdahulu tunggal multiple

Total score : 0-4 resiko rendah


5-7 resiko sedang
> 8 resiko tinggi

Data mortalitas berkurang secara drastis mencapai 0 dengan diagnose dini dan
terapi yang adekuat. Dengan kehamilan mola yang lanjut, pasien cenderung untuk
menderita anemia dan perdarahan kronis. Infeksi dan sepsis pada kasus-kasus ini dapat
menyebabkan tingkat morbiditas yang tinggi.
Evaluasi dini tidak menghilangkan kemungkinan berkembangnya tumor persisten.
Hampir 20% mola komplet berlanjut menjadi tumor gestasional trofoblastik. Lurain and
Colleagues (1987) melaporkan setelah evakuasi mola hidatidosa, 81% mengalami regresi
spontan dan 19% berlanjut menjadi tumor trofolastik gestasional.
Pemantauan yang dilihat pada pasien mola hidatidosa yang telah menjalani
evakuasi mengindikasikan bahwa tindakan ini bersifat kuratif pada lebih dari 80% pasien.
Mola hidatidosa yang berulang terjadi pada 0,5 – 2,6%, dengan resiko yang lebih besar
untuk menjadi mola invasif atau koriokarsinoma. Terjadinya proses keganasan bisa
berlangsung antara 7 hari sampai 3 tahun pasca mola, tetapi yang paling banyak dalam 6
bulan pertama. Kurang lebih 10-20% mola hidatidosa komplet menjadi metastastik
koriokarsinoma yang potensial invasif.
Kematian pada kasus mola disebabkan karena perdarahan, infeksi, preeklamsia,
payah jantung, emboli paru atau tirotoksikosis. Di negara maju, kematian karena mola
hampir tidak ada lagi, tetapi di negara berkembang masih cukup tinggi, yaitu berkisar
2,2-5,7%.
DAFTAR PUSTAKA

1 .Cunninngham. F.G. dkk. 2006. “Mola Hidatidosa” Penyakit Trofoblastik Gestasional


Obstetri Williams. Edisi 21. Vol 2. EGC: Jakarta.

2. Departemen Obstetri & Ginekologi FK UNPAD. 2015. Panduan Praktik Klinis Obstetri dan
Ginekologi. FK UNPAD : Bandung.

3. Prawirohadjo S, Wiknjosastro H. 2009. “Mola Hidatidosa”. Ilmu Kandungan. Yayasan Bina


Pustaka Sarwono Prawirohadjo: Jakarta

4. Sumapraja S, Martaadisoebrata D. 2011. Penyakit Serta Kelainan Plasenta dan Selaput Janin,
dalam: Ilmu Kebidanan, Edisi ketiga, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo:
Jakarta

5. Hamilton, C. Mary, 1995, Dasar-dasar Keperawatan Maternitas, edisi 6, EGC, Jakarta

6.Kavanagh J. J., Gershenson D. M., Gestational trophoblastic disease: Hydatidiform Mole,


Nonmetastatic and Metastatic Gestational Trophoblastic Tumor: Diagnosis and Management;
Katz V. L., Lentz G. M., Lobo R. A., Gershenson D. M., Comprehensive Gynecology. 5th
edition; Mosby Elsevier; Philadelphia, 2007.

7.Copeland L. J., Landon M. B.. Malignant diseases and pregnancy. Gabbe S.G., Niebyl J. R.,
Simpson J. L., Obstetrics - Normal and Problem Pregnancies. 5th edition; Elsevier Churchill
Livingstone; Philadelphia, 2007.

Anda mungkin juga menyukai