Anda di halaman 1dari 10

1.

Pengertian Molahidatidosa

Molahidatidosa adalah bagian dari penyakit trofoblastik gestasional dimana


kehamilan berkembang tidak wajar, tidak ditemukan janin pada pemeriksaan, dan hampir
seluruh vili korialis mengalami perubahan berupa degenerasi hidropik. Keunikan dari
penyakit ini adalah karena tumor berasal justru dari jaringan gestasional, bukan berasal dari
jaringan maternal. Bentuk lain dari penyakit trofoblas gestasional adalah koriokarsinoma
yang bersifat ganas serta invasif. Mola hidatidosa termasuk jenis penyakit yang tergolong
jinak, namun dikenal pula sebagai bentuk premaligna yang berpotensi menjadi ganas dan
invasif.

2. Patofisologi

Patofisiologi molahidatidosa berkaitan dengan gangguan proliferasi trofoblas saat


pembentukan plasenta. Molahidatidosa merupakan bentuk hiperplasia trofoblas difus, dimana
vili-vili yang terbentuk sebagian besar bersifat hidropik. Bagaimana terjadinya masalah saat
proliferasi hingga kini belum dapat dijelaskan secara pasti, tetapi faktor mutasi genetik
diduga berperan.

Patofisiologi Mola Hidatidosa:

Sekitar 5-6 hari setelah konsepsi pada manusia, zigot yang terbentuk akan
berkembang menjadi blastosis. Sel perifer dari blastosis ini akan berdiferensiasi menjadi dua
lapisan yaitu trofoblas seluler (sitotrofoblas) dan sinsitiotrofoblas yang kemudian menginvasi
endometrium dan pembuluh darah uterus. Kedua jaringan yang berkaitan dengan mesoderm
ekstraembrional ini merupakan awal mula terbentuknya plasenta. Ketika proliferasi yang
terjadi tidak terkontrol, sel-sel trofoblas dapat menjadi mola hidatidosa. Mola merupakan
hiperplasia trofoblas difus, dimana vili yang terbentuk bersifat hidropik. Trofoblas yang
mengalami disorganisasi ini juga ditambah dengan gangguan pematangan struktur vaskular,
sehingga muncul banyak pembuluh darah imatur pada vili korionik yang kemudian
membentuk vili hidropik. Hal inilah yang terjadi pada mola hidatidosa komplit.

Sedangkan pada mola hidatidosa parsial, anomali trofoblas lebih jarang muncul dan
biasanya terdapat jaringan janin maupun embrionik yang masih dapat diidentifikasi.
3. Jenis-jenis Mola Hidatidosa
Secara umum, mola hidatidosa terbagi menjadi dua jenis yaitu mola hidatidosa
komplit dan mola hidatidosa parsial. Keduanya dibedakan berdasarkan keberadaan fetus
pada pemeriksaan ultrasonografi (USG).
a. Molahidatidosa Komplit
Mola hidatidosa komplit biasanya diploid dan bersifat androgenetik atau berasal dari
genetik ayah. Kebanyakan memiliki kariotipe 46,XX dan hanya sedikit di antaranya
yang memiliki kariotipe 46,XY.
Pada mola hidatidosa komplit, ditemukan vili korionik hidropik difus dengan
hiperplasia trofoblas membentuk massa dengan vesikel multipel. Vili hidropik yang
terbentuk biasanya berukuran sedang hingga besar, dengan hiperplasia trofoblas yang
ekstensif dan pembentukan sisterna vili sentralis, pleomorfisme inti trofoblas, dan
pseudoinklusi trofoblas.
Dalam kondisi ini tidak ditemukan adanya fetus dan perkembangan embrional.
Hanya saja, pada trimester pertama dapat ditemukan stromal karyorrhectic debris,
irregular budding architecture of the villi, dan pembuluh darah vili yang tampak kolaps.
b. Mola Hidatidosa Parsial
Mola hidatidosa parsial biasanya triploid, dengan satu maternal dan dua paternal
haploid yang berasal dari fertilisasi dispermik maupun fertilisasi dengan sperma diploid
yang tidak tereduksi.
Kariotipe pada mola hidatidosa parsial adalah 90% triploid yaitu 69,XXX atau
69,XXY. Karena itu, pada bentuk mola hidatidosa parsial ditemukan janin beserta
plasenta yang besar dan vili korionik yang sebagian bersifat hidropik.
Pada mola hidatidosa parsial, vili korionik hidropik tampak lebih sedikit
dibandingkan pada tipe komplit serta didapatkan sebagian vili korionik normal. Janin
biasanya akan meninggal dalam hitungan minggu setelah konsepsi.
Pada kasus yang sangat jarang, mola hidatidosa parsial dapat berasal dari dua
maternal dan satu paternal haploid (diginik), yang mengakibatkan plasenta yang
terbentuk kecil, vili hidropik minimal, dan janin mengalami restriksi pertumbuhan.
Bentuk yang sangat jarang inilah masih mungkin ditemukan janin yang selamat hingga
persalinan, namun meninggal pada saat berusia neonatus.
4. Etiologi
Hingga kini, penyebab mola hidatidosa belum diketahui secara pasti akan tetapi
diakaitkan dengan faktor lingkungan dan mutasi genetik. Sebuah penelitian terbaru di
Jepang menyatakan bahwa mola hidatidosa berulang berkaitan dengan mutasi gen
Terjadinya mola hidatidosa juga dikaitkan dengan disregulasi produksi hCG, dimana
pada mola hidatidosa komplit didapatkan peningkatan HhCG (hyperglycosylated hCG)
hingga lebih dari 5% dan 4% pada mola hidatidosa parsial. Transisi menjadi tumor ganas
yang invasif juga dikaitkan dengan peningkatan signifikan HhCG, yaitu hingga 30-35%
pada mola hidatidosa invasif dan hingga 100% pada koriokarsinoma.

Meskipun secara pasti etiologi mola hidatidosa masih belum dapat dijelaskan, beberapa
faktor risiko dinyatakan berkaitan melalui berbagai penelitian, yaitu:

 Usia maternal: >35 tahun atau <20 tahun


 Riwayat obstetri: riwayat mola sebelumnya, abortus spontan, dan infertilitas
 Populasi Asia berisiko lebih tinggi mengalami mola hidatidosa komplit, namun jarang
mengalami mola hidatidosa parsial.
 Faktor nutrisi dan diet: defisiensi karoten (prekursor vitamin A) dan lemak hewan

5. Epidemilogo
Epidemiologi molahidatidosa bervariasi di berbagai negara akan tetapi data
memperkirakan insiden tertinggi penyakit ini terjadi di Asia. Sementara itu, data
epidemiologi mola hidatidosa di Indonesia secara umum masih terbatas. Berdasarkan data
terminasi kehamilan di Amerika Serikat, kasus mola hidatidosa diperkirakan terjadi 1 per
1200 kehamilan. Di Eropa, insidensi mola hidatidosa bervariasi antara 0,6-1,1 per 1000
kehamilan, sementara di Jepang insidensnya mencapai 2 per 1000 kehamilan. Insidensi
mola hidatidosa di India dan Timur Tengah mencapai 1 di antara 160 kehamilan.
Sebuah studi di Thailand pada tahun 2015 melaporkan bahwa insidensi mola
hidatidosa berdasarkan data di rumah sakit tersier adalah sebesar 1,7 per 1000 persalinan.
Epidemiologi nasional molahidatidosa di Indonesia masih belum diketahui. Namun,
studi menunjukkan bahwa defisiensi protein, malnutrisi, dan status sosioekonomi rendah
berkaitan dengan distribusi geografis penyakit ini meskipun faktor genetik juga berperan.
Sejak kemajuan teknologi dan akses yang lebih mudah terhadap pemeriksaan
ultrasonografi (USG), angka mortalitas mola hidatidosa di negara maju hampir mendekati
0%. Hanya saja, hingga kini di negara berkembang, angka kematian akibat mola hidatidosa
masih berkisar antara 2,2%-5,7%. Dilaporkan bahwa 20% mola hidatidosa komplit
berkembang menjadi keganasan trofoblas.

6. Diagnosis Molahidatidosa
Diagnosis molahodatidosa ditegakkan pada trimester pertama dengan gejala yang paling
sering muncul adalah perdarahan pervaginam abnormal. Selain dengan pemeriksaan fisik,
konfirmasi diagnosis milahidatidosa ditetapkan melalui pemeriksaan penunjang laboratorium
dan pemeriksaan radiologi.

Anamnesis

Pada anamnesis, sangat penting untuk menanyakan status obstetri pasien, seperti hari
pertama haid terakhir (HPHT), riwayat gestasi, dan riwayat kehamilan sebelumnya

Perdarahan Pervaginam

Perdarahan pervaginam kerap kali menjadi keluhan utama yang menyebabkan pasien
datang ke rumah sakit. Gejala perdarahan ini biasanya muncul pada trimester pertama,
dengan rata-rata terjadi pada usia kehamilan 12-14 minggu.

Volume perdarahan yang terjadi dapat bervariasi, sebagian muncul sedikit-sedikit dan
bersifat intermiten. Akan tetapi, tidak sedikit pula yang datang dengan perdarahan hebat
hingga menyebabkan syok dan kematian.

Gejala yang Menyertai Kehamilan

Selanjutnya, perlu ditanyakan lebih lengkap keluhan yang saat ini dialami pasien.
Pada mulanya, gejala mola hidatidosa tidak berbeda dengan kehamilan normal, misalnya
mual, muntah, dan pusing.

Hanya saja, derajat keluhan yang dirasakan seringkali lebih hebat. Pasien dengan
mola hidatidosa cenderung mengalami hiperemesis gravidarum akibat tingginya kadar hCG
dalam darah.
Gejala Berat

Molahidatidosa yang terlambat didiagnosis (misalnya pada usia kehamilan 14-16


minggu) dapat disertai dengan gejala dan tanda hipertiroidisme seperti takikardia dan tremor.
Selain itu, mola hidatidosa dapat berkaitan dengan kemunculan preeklampsia dini.

Pada beberapa kasus yang sangat jarang terjadi, pasien datang dengan distres napas
berat akibat emboli paru yang dikarenakan jaringan trofoblas masuk ke sirkulasi darah hingga
ke paru.

Mola hidatidosa sering disertai dengan kista lutein, baik unilateral maupun bilateral.
Umumnya kista menghilang setelah jaringan mola dikeluarkan. Kasus mola dengan kista
lutein memiliki risiko 4 kali lebih besar untuk menjadi keganasan di kemudian hari
dibandingkan kasus mola tanpa kista.[5-7]

Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik, lebih dari 50% mola hidatidosa muncul dengan ukuran uterus
yang lebih besar bila dibandingkan usia kehamilan. Hal ini disebabkan perkembangan mola
hidatidosa yang lebih pesat sehingga pada umumnya uterus tampak lebih besar dari usia
kehamilan. Meskipun demikian, pada kasus dying mole, dapat ditemukan uterus yang
berukuran lebih kecil atau sama besar dengan usia kehamilan dikarenakan perkembangan
jaringan trofoblas yang tidak begitu aktif.

Diagnosis Banding

Diagnosis banding mola hidatidosa berkaitan dengan gejala perdarahan pervaginam di


antaranya adalah abortus komplit, abortus inkomplit, abortus akibat inkompetensi serviks.
Hanya saja, ketiganya biasanya tidak mengakibatkan peningkatan kadar serum hCG yang
signifikan.

Pemeriksaan USG juga mampu membedakan perdarahan pervaginam akibat abortus


dengan perdarahan pervaginam akibat mola hidatidosa. Gejala mual muntah hebat yang
terjadi pada hiperemesis gravidarum dapat pula terjadi pada pasien dengan mola hidatidosa
sehingga harus selalu dipikirkan kemungkinannya.
Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang pada mola hidatidosa meliputi pemeriksaan laboratorium dan


pemeriksaan radiologi.

Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan radiologi yang berperan penting dalam penegakkan diagnosis mola


hidatidosa adalah ultrasonografi (USG).

Pada mola hidatidosa komplit, temuan khas yang didapatkan melalui pemeriksaan
USG adalah massa heterogen pada kavum uteri dengan daerah anekoik multipel, atau sering
dikenal sebagai “snowstorm appearance” atau “honeycomb appearance”.

Gambaran daerah anekoik yang muncul sebenarnya berasal dari vili hidropik. Selain
itu, tidak ditemukan adanya embrio atau janin serta tidak terdapat cairan amnion.

Pada mola hidatidosa parsial dapat ditemukan gambaran janin, cairan amnion, serta
pembesaran plasenta, disertai dengan cystic spaces atau dikenal dengan sebutan “swiss
cheese appearance”. Pada 20-50% kasus ditemukan massa kistik multilokuler di daerah
adneksa yang merupakan kista teka-lutein.

Pemeriksaan Laboratorium

Secara umum, pada pasien hamil yang mengalami perdarahan pervaginam harus
diperiksa darah perifer lengkap serta kadar hCG serum secara kuantitatif. Peningkatan kadar
hCG serum hingga >100.000 seringkali ditemukan pada mola hidatidosa komplit. Sementara
itu pada mola hidatidosa parsial, kadar hCG serum dapat saja ditemukan normal.

Melalui pemeriksaan darah perifer lengkap, dapat diketahui kadar hemoglobin dan
trombosit pasien. Bila ada tanda anemia, dapat dilakukan penatalaksanaan segera. Selain itu,
pemeriksaan golongan darah dan rhesus perlu dilakukan mengingat sebagian pasien dengan
mola hidatidosa mengalami perdarahan berat hingga syok yang dapat memerlukan transfusi
darah.

Pada kasus yang cukup jarang, bisa muncul tanda-tanda hipertiroidisme akibat mola
hidatidosa. Pada keadaan ini perlu dilakukan pemeriksaan hormon tiroid. Pemeriksaan fungsi
liver, fungsi ginjal, dan urinalisis dapat pula dilakukan bila terdapat tanda-tanda preeklampsia
dini.
7. Penatalaksanaan Molahidatidosa
Penatalaksanaan molahidatidosa diutamakan untuk memastikan klinis pasien stabil yang
kemudian dapat dilanjutkan dengan penentuan kebutuhan untuk tindakan dilatasi dan
kuretase. Terminasi kehamilan dengan suction curettage apabila pasien masih menginginkan
untuk hamil lagi.

Prinsip Penatalaksanaan Mola Hidatidosa :

Perbaikan Keadaan Umum

Perbaikan keadaan umum dilakukan dengan mengevaluasi tanda vital, rehidrasi, dan
resusitasi cairan bila didapatkan tanda-tanda syok. Bila pada hasil pemeriksaan darah
didapatkan anemia berat, perlu dipertimbangkan pemberian transfusi darah dengan packed
red cell (PRC).

Bila didapatkan tanda distres pernapasan dan edema pulmoner, berikan segera non-
invasive positive pressure ventilation atau ventilasi mekanik. Pada pasien dengan gejala
eklampsia termasuk kejang, lakukan manajemen meliputi pemberian benzodiazepin dan
magnesium sulfat.

Pengeluaran Jaringan Mola dengan Vakum Kuretase

Vakum kuretase atau suction curettage merupakan metode pilihan dalam evakuasi
jaringan mola hidatidosa tanpa mempedulikan ukuran uterus bagi pasien yang ingin
mempertahankan status fertilitasnya.

Tidak disarankan menggunakan kuret tajam serta obat-obatan oksitosik untuk


meminimalisir risiko menyebarnya jaringan secara hematogen yang dapat berujung
metastasis.

Total Histerektomi dapat Menjadi Pilihan untuk Mengurangi Risiko Keganasan

Bagi wanita berusia >40 tahun yang tidak lagi menginginkan hamil, total histerektomi
dapat menjadi pilihan karena risiko terjadinya keganasan secara signifikan meningkat pada
kelompok populasi ini. Meskipun demikian, histerektomi hanya dapat mengeliminasi risiko
penyakit yang bersifat lokal-invasif dan tidak dapat mencegah metastasis.
Pemeriksaan Tindak Lanjut

Mengingat adanya kemungkinan keganasan muncul setelah mola hidatidosa, tindak


lanjut menjadi penting dilakukan dengan memantau kadar hCG pasien. Tes hCG harus
mencapai nilai normal kembali 8 minggu setelah evakuasi. Tindak lanjut dapat diteruskan
hingga kisaran 1 tahun setelah evakuasi.

Selama 6 bulan setelah evakuasi, pasien disarankan untuk tidak hamil terlebih dahulu
agar tidak terjadi bias selama pemantauan kadar serum hCG. Oleh karena itu, penggunaan
alat kontrasepsi yang efektif harus diinformasikan kepada pasien.

Saat ini, Federation of Gynecologists and Obstetricians (FIGO) mengeluarkan kriteria


diagnosis penyakit trofoblas setelah mola hidatidosa, yaitu :

o Kadar hCG menetap pada 4 kali pemeriksaan dalam durasi 3 minggu, yaitu pada hari
ke 1, 7, 14, dan 21
o Kadar hCG meningkat lebih dari 10% pada 3 kali pemeriksaan yang dihitung dalam
durasi 2 minggu, yaitu hari ke 1,7, dan 14
o Kadar hCG yang persisten, yaitu tetap terdeteksi selama lebih dari 6 bulan setelah
evakuasi mola
8. Prognosis Molahidatidosa
Prognosis mola hidatidosa bergantung pada jenis mola dan faktor risiko yang dimiliki
oleh pasien, serta bergantung dengan kadar serum hCG pasien selama masa tindak lanjut.
Komplikasi mola hidatidosa seringkali berkaitan dengan tindakan kuretase seperti
perdarahan dan perforasi uterus.
Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi biasanya akibat kuretase yang dilakukan, yaitu terjadi
perforasi uterus. Selain itu, perdarahan masif dapat pula terjadi baik akibat mola itu sendiri
maupun saat dilakukannya kuretase.
Disisi lain, molahidatidosa berkaitan dengan penyakit keganasan trofoblas. Karena
itu, pemantauan pemeriksaan kadar serum hCG jangka panjang setelah penegakkan
diagnosis dan evakuasi jaringan mola perlu dilakukan.
Pada kasus yang sangat jarang, komplikasi yang dapat terjadi berupa emboli paru
akibat jaringan trofoblas yang masuk ke dalam sirkulasi darah dan badai thyroid.
Prognosis

Mola hidatidosa komplit memiliki risiko yang lebih besar untuk berkembang menjadi
invasif dan keganasan dibandingkan dengan mola hidatidosa parsial. Faktor yang secara
klinis berhubungan dengan risiko keganasan adalah usia maternal >35 tahun, kadar serum
hCG >100.000 mlU/mL, eklampsia, hipertiroidisme, dan kista teka-lutein bilateral. Selain
itu, seseorang yang pernah menderita mola hidatidosa memiliki risiko menderita mola
hidatidosa ulang sekitar 1,2–1,4%
Referensi

- Candelier JJ. The Hydatidiform mole. Cell Adh Migr. 2016; 10(1-2): 226–235.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4853053/

- Santaballa A, García Y, Herrero A, et al. SEOM clinical guidelines in gestational trophoblastic


disease. Clinical and Translational Oncology, 2017. 20(1): 38–46. doi:10.1007/s12094-017-1793-
0Moore L, Hernandez E. Talavera F, Barnes AD. Huh WK, Pritzker JG. Hydatidiform mole.
Medscape, 2021. https://emedicine.medscape.com/article/254657-overview#a4

- Seckl MJ, Sebire NJ, Fisher RA, et al. Gestational trophoblastic disease: ESMO Clinical Practice
Guidelines for diagnosis, treatment and follow-up. Annals of Oncology, 2013. 24(suppl 6): vi39–
vi50. doi:10.1093/annonc/mdt345

- Joneborg U. Hydatidiform mole: prevalence and outcome. Stockholm: Karolinska Institutet. 2016
https://openarchive.ki.se/xmlui/bitstream/handle/10616/45164/Thesis_Ulrika_Joneborg.pdf?
sequence=4&isAllowed=y

Anda mungkin juga menyukai