Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN Penyakit Trofoblastik Gestasional merupakan penyakit yang terjadi pada wanita hamil, ditandai oleh kelainan pada vili korialis yang terdiri dari proliferasi trofoblastik dengan derajat yang bervariasi dan edema stroma vilus.1 Salah satu penyakit trofoblas gestasional yang sering ditemukan adalah mola hidatidosa. Angka kejadian mola di rumah sakit besar di Indonesia kira-kira 1 di antara 80 persalinan normal.1 Angka kejadian tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan dengan USA, di mana angka kejadian mola di negara tersebut sebesar 1: 2000.2,3 Secara umum angka kejadian mola pada wanita Asia lebih tinggi daripada negara barat. Wanita yang berusia kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun mempunyai resiko 10 kali lebih besar untuk menderita mola. Angka kejadian juga lebih tinggi pada wanita sosial ekonomi rendah.1,2 80% mola bersifat jinak. Meskipun demikian kemungkinan keganasan pada kasus mola juga harus dipikirkan. Salah satu komplikasi molahidatidosa adalah terjadinya degenerasi keganasan pasca molahidatidosa, kejadian keganasan pasca molahidatidosa berkisar 20 %. Kehamilan pada wanita yang berumur >45 tahun akan meningkatkan kehamilan mola 10x lebih besar dibanding pada wanita berusia 20-40 tahun. Penelitian pada beberapa negara menunjukkan bahwa resiko kejadian mola hidatidosa meningkat secara progresif pada wanita berumur >40 tahun, mencapai hampir 1 dari 3 persalinan normal pada wanita yang berumur >50 tahun. (6) Komplikasi keganasan ini membawa dampak negatif terhadap angka kesakitan dan kematian ibu. Melakukan usaha untuk menurunkan kejadian keganasan (koriokarsinoma) pasca mola hidatidosa lebih baik karena mola hidatidosa merupakan penyakit wanita dalam masa reproduksi yang umumnya terjadi pada usia muda ( kurang lebih 20 tahun, bahkan angka kejadian ini juga cenderung tinggi pada wanita yang berusia <15 tahun) dan belum mempunyai anak. Menurut penelitian, usaha menurunkan kejadian keganasan ini dapat dilakukan dengan pemberian retinol palmitat. Pengobatan dengan sitostatika merupakan pengobatan yang mahal dengan kegagalan pengobatan berkisar 20,30%.

Kegagalan ini umumnya disebabkan karena penyebaran keganasan ke organ tubuh yang jauh. Oleh karena itu, perlu dilakukan usaha penanganan kasus mola harus tuntas dalam penatalaksanaan post evakuasi mola hidatidosa dimana follow-up pasien sangat diperlukan untuk memantau perkembangan penyakit tersebut dan pencegahan keganasan sebelum dan sesudah terdiagnosa mola hidatidosa. (Andrijono, www.lontar.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?id=76384&lokasi=lokal).L Referat ini dibuat dengan tujuan agar para pembaca mengetahui, mengenali ,dan memahami penatalaksanaan mola hidatidosa terkini yang dapat diaplikasikan dalam praktek sehari-hari.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


A. DEFINISI Mola berasal dari bahasa Latin yang berarti massa, sedangkan hidatidosa berasal dari kata hydatis (Yunani) yang berarti tetesan air. 2 Mola hidatidosa adalah kehamilan abnormal, dengan ciri-ciri stroma villus korialis langka vaskularisasi, dan edematus. Jaringan trofoblast pada villus, kadangkadang berproliferasi ringan kadang-kadang keras, dan mengeluarkan hormon yaitu Human Chorionic GonadootrophinI (HCG) dalam jumlah yang lebih besar daripada kehamilan biasa. Janin biasanya meninggal, akan tetapi villus-villus yang membesar dan edematus itu hidup dan tumbuh terus. Gambaran yang diberikan ialah sebagai segugusan buah anggur. Mola hidatidosa termasuk dalam klasifikasi penyakit trofoblastik gestasional berdasarkan histologi dan klinis. 7 B. ETIOLOGI Penyebab mola hidatidosa belum diketahui. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan mola hidatidosa, antara lain : 7 1. Faktor Ovum : ovum memang sudah patologik sehingga mati, tetapi terlambat dikeluarkan 2. 3. 4. 5. 6. Imunoselektif dari trofoblas Keadaan sosioekonomi yang rendah Paritas tinggi Kekurangan protein Infeksi virus dan faktor kromosom yang belum jelas Berdasakan penelitian Andrijono yang ditilik dari segi nutrisi, defisiensi vitamin A (retinol) dapat mengakibatkan mola hidatidosa karena mola hidatidosa merupakan kehamilan yang abnormal yang pada pemeriksaan histopatologi ditandai

dengan proliferasi sel sitotrofoblas, sinsitiotrofoblas, dan intermediate trofoblas. Vitamin A mengontrol proliferasi sel, dan penurunan kadar vitamin A menyebabkan proliferasi tidak terkontrol. D. FAKTOR RESIKO Walaupun etiologi penyakit ini belum diketahui, telah lama diketahui bahwa penderita penyakit ini mempunyai faktor resiko tertentu. Telah diketahui bahwa penyakit ini banyak ditemukan pada golongan sosio ekonomi rendah, umur di bawah 20 tahun dan di atas 34 tahun, dan dengan paritas tinggi. Karena adanya faktor risiko ini, maka walaupun etiologi belum diketahui, insiden penyakit ini dapat diturunkan dengan suatu upaya preventif berupa pencegahan kehamilan di bawah 20 tahun dan di atas 34 tahun dengan jumlah anak tidak lebih dari tiga, disamping usaha pemerintah untuk menaikkan tingkat hidup masyarakat akan pula menurunkan insiden.9 Juga disebutkan defisiensi lemak hewani dan karotene merupakan faktor resiko. Secara singkat dapat disimpulkan bahwa peran graviditas, paritas, faktor reproduksi lain, status estrogen, kontrasepsi oral dan faktor makanan dianggap sebagai faktor resiko walaupun masih belum jelas hubungannya. E. PATOGENESIS (mola patogen) Karakteristik mola hidatidosa adalah adanya konseptus jaringan trofoblastik hiperplastik yang tertanam pada plasenta.. Hasil konsepsi ini tidak memiliki inner cell mass.1 Saat ini, Mola hidatidosa dianggap berasal dari trofoblas ekstraembrionik. Persamaan histologis antara vesikel mola dan villi korionik mendukung kalau kedua hal tersebut saling berhubungan. Meskipun begitu, gambaran patologi hasil histerektomi memberikan konsep baru mengenai pembentukan mola hidatidosa sebagai transformasi dari embryonic inner cell mass Sesaat sebelum pembentukan endoderm. Pada saat ini, embryonic inner cell mass berpotensi untuk berdiferensiasi menjadi lapisan ekto,meso, dan endoderm. Namun jika terjadi gangguan, maka perubahan tersebut gagal terjadi maka terjadilah pembentukan trofoblas (yang berasal dari embryonic inner cell mass) yang akan berkembang menjadi sitotrofoblas dan

sinsitiotrofoblas, and masih mampu untuk membentuk ektraembrionik mesoderm yang akhirnya akan membentuk vesikel dari mola dengan mesoderem yang longgar pada inti villinya.7 Tabel 2. Gambaran Trofoblas Normal

Keterangan : Kotak atas : Gambaran Mikroskopis Trofoblas Normal

Kotak tengah : Gambaran Ilustrasi Trofoblas Kotak bawah : Proses Invasi Trofoblas Mola hidatidosa terdiri dari dua tipe yaitu mola sempurna (complete mole) dan mola parsial (partial mole). 1 1. Mola sempurna (complete mole) memiliki pola kromosom diploid, dengan seluruh kromosom berasal dari ayah melalui fertilisasi monosperma maupun disperma. Pada fertilisasi monosperma, satu sperma haploid membuahi ovum tanpa nukleus dan kemudian menggandakan kromosomnya. Fertilisasi monospermia selalu menghasilkan kariotipe 46XX karena kariotip zigot 46XY kekurangan gen X-linked yang penting untuk pertumbuhan (Larsen, 1997). Pada fertilisasi disperma, 2 sperma akan membuahi ovum tanpa nukleus. Fertilisasi ini dapat menghasilkan kariotip 46XX ataupun 46XY. Kariotip 46XX ditemukan pada 90% mola sempurna (complete mole). Penemuan ini menandakan bahwa fertilisasi monosperma merupakan mekanisme genetik dominan (Szulman, 1978). Bentuk yang jarang dari mola sempurna (complete mole) yang rekuren adalah asal biparietal dan dihasilkan dari misekspresi gen yang tidak dicetak (imprinted genes). Mola tipe ini terbentuk bila kehilangan maternal imprints ovum. Walaupun hasil konsepsi memiliki gen dari kedua orangtuanya, kehilangan maternal imprinting memberikan fungsi sejajar 2 genom paternal. Kehamilan mola rekuren tipe ini merupakan familial dan diturunkan secara autosomal resesif. Regio yang berperan adalah 19q13.4.3 Penelitian terbaru membuktikan adanya resesi pada gen di lokus 19q13.4 dimana NALP7 yang merupakan bagian dari protein CATERPILLAR yang berperan dalam proses apoptosis dan Pathogeninduced Inflamation. Meskipun peran dari NALP7 belum diketahui, namun diduga berkaitan dengan oogenesis atau proses invasi trofoblast di endometrium dan pembentukan desidua.6 Mola sempurna (complete mole) terbentuk tanpa formasi jaringan fetal.

Gambaran inilah yang membedakannya dengan mola parsial. Pada evaluasi patologi, mola sempurna (complete mole) memperlihatkan vili korionik yang

membengkak dengan gambaran-mirip-anggur grapes ("cluster of grapes" atau "honeycombed uterus" atau "snow-storm")1 dan dengan adanya jaringan trofoblast hiperplasia tanpa adanya bagian fetal yang dapat teridentifikasi atau membran amnion.2,4 Melalui mikroskop terlihat vili korion hidrofik dengan edema interstitial. Pembuluh darah fetus tidak ada pada stroma villi. 4 Semua mola hidatidosa mengeluarkan hCG. Marker inilah yang digunakan untuk memonitor regresi tumor setelah evakuasi.4 Komplikasi utama dari mola sempurna ini adalah 2% kemungkinan progresi kearah keganasan yaitu koriokarsinoma.1

Gambar1. Kajii et al; 1977 karyotiping yang menyatakan mola sejati berasal dari paternal. 2. Mola parsial biasanya memiliki kariotip tripoid (69XXX, 69XXY, atau

69XYY) yang merupakan hasil fertilisasi telur normal dengan 2 sperma. Maka dari itu, mola parsial berisi 2 set kromosom paternal dan 1 set kromosom maternal. 10% mola parsial memiliki tetraploid atau kariotip lebih banyak yang terdiri dari set multipel dari kromosom paternal yang dikombinasikan dengan 1 set kromosom maternal. Jaringan fetal biasanya muncul sebagai mola parsial nemun fetus nonviable, pertumbuhan sangat terhambat atau memiliki banyak

kelainan. Pada analisa patologi, mola parsial memperlihatkan pembengkakan vili korion, hiperplasia trofoblas dengan atau tanpa atipia, villous scalloping, inklusi stroma trofoblas dan embrio/fetus yang dapat diidentifikasi.2,5 F. KLASIFIKASI(1) Berdasarkan ada tidaknya janin, maka mola hidatidosa diklasifikasikan sebagai: 1. Mola hidatidosa komplet2,9 Angka kejadian mola hidatidosa komplet lebih sering daripada mola hidatidosa parsial. Resiko untuk berkembang menjadi tumor trofoblas darimola hidatidosa komplit sekitar 20%. Mola hidatidosa komplet merupakan hasil konsepsi abnormal tanpa disertai embrio. Ditandai gambaran sekelompok buah anggur. Villi koriales berkembang menjadi masa vesikel yang jernih. Vesikel tersebut tumbuh besar sampai mengisi seluruh kavum uterus. Vesikel tersebut terdiri dari berbagai ukuran dari yang hampir tidak terlihat sampai beberapa sentimeter diameternya. Struktur histologisnya berrsifat: a. Degenerasi hidropik dan edema stroma villi b. Tidak adanya pembuluh darah pada villi yang edema c. Proliferasi dari epitel trofoblas menjadi berbagai tingkatan d. Tidak adanya fetus atau amnion Secara singkatnya dapat disebutkan perubahan histologis yang terlihat berupa: a. Degenerasi hidropikdan edema stroma villi b. Tidak adanya pembuluh darah pada villi yang edema c. Proliferasi dari epitel trofoblast menjadi berbagai tingkatan d. Tidak adanya fetus atau amnion Pada kehamilan mola dilakukan penelitian sitogenik dan ditemukan komposisi kromosom yang paling sering adalah 46xx, dengan kromosom seluruhnya berasal dari ayah sehingga secara keseluruhan menggantikan kontribusi dari ibu. Biasanya hal ini terjadi sebagai hasil dari fertilisasi telur yang kosong oleh satu spermatozoa. Meskipun jarang, dapat juga

dijumpai komposisi kromosom 46xy. Dalam hal ini, dua spermatozoa telah membuahi satu ovum yang mengalami kekurangan kromosom. 2. Mola hidatidosa parsial2,9 Merupakan suatu hasil konsepsi abnormal dengan disertai adanya embrio atau janin yang cenderung untuk mati lebih awal. Hiperplasia trofoblastik yang terjadi, lebih bersifat fokal daripada generalisata, kariotipe secara khas lebih triploid, yaitu 69 xxy atau 69 xyy, dengan satu komplemen haploid maternal tapi biasanya dengan dua komplemen haploid maternal. Janin secara khas menunjukkan stigmata triploid yang mencakup malformasi kongenital multipel dan retardasi pertumbuhan. Mola ini mengalami perubahan yang bersifat fokal dan kurang agresif pertumbuhannya dibanding dengan mola hidatidosa komplet. Mungkin dijumpai beberapa jaringan fetus, biasanya minimal ditemukan kantong amnion. Hiperplasia trofoblastik bersifat fokal daripada umum. Angka kejadian koriokarsinoma pada mola hidatidosa parsial cenderung lebih rendah. Dari 3000 kasus mola hidatidosa parsial hanya 2 kasus dilaporkan yang berlanjut menjadi koriokarsinoma. Struktur histologisnya bersifat: 1. Abnormal villi.Terlihat campuran dari sel villi besar dan

kecil; jumlahnya tidak menentu. Meningkatnya inklusi pseudovilli. Kemudian akan terlihat pembuluh darah angioma melingkari villi avaskular lainnya. stroma villi mempunyai struktur retikular, beberapa villi bersifat fibrotik. 2. Proliferasi trofoblastik berlebihan. Lebih sedikit bila

dibandingkan dengan mola hidatidosa komplit, biasanya fokal dan kadang-kadang tidak ada. 3. Perubahan hidropik. Bersifat fokal, membesar pada

trimester kedua. Pada trimester pertama biasanya kecil, ireguler dan mempunyai villi fibrotik. Pada mola yang telah lama terdapat sisterna yang besar, jarang terlihat pada aborsi hidropik.

4.

Adanya fetus atau bagian janin yang nekrotik atau sel

merah bernukleus juga amnion.

Tabel karakteristik mola hidatidosa bentuk komplet dan parsial 5 No. Gambaran Mola komplet tidak ada difus difus tidak ada tidak ada Paternal 46xx (96%) Mola parsial ada fokal fokal ada ada Paternal & maternal 46xy (4%) 69xxy 7. Neoplasia trofoblastik 20 % 5% (koriokarsinoma jarang)

1. Jaringan embrio atau janin 2. Pembengkakan hidatidosa pada villi 3. Hiperplasia trofoblastik 4. Inklusi stroma 5. Lekukan vilosa 6. Kariotipe

Klasifikasi FIGO (FIGO, 2000) Pembagian stadium dari Federation International Gynecolog Obsteterician 1982 sifatnya sederhana dan menggunakan kriteria yang sama dengan keganasan ginekologi yanglain. Pembagian ini mengacu pada pemeriksaan klinis dan hasil pemeriksaan radiologi dantidak menggunakan langkah-langkah rumit yang mungkin tidak dapat dilakukan dinegara-negara yang sedang berkembang. Tabel 7. Modifikasi kombinasi sistem skor WHO dengan staging FIGO Stadium I Stadium II Stadium III Tumor semata-mata terdapat dalam uterus Tumor menyebar ke adneksa, atau keluar dari uterus namun terbatas padastruktur genital Tumor menyebar ke paru-paru dengan atau tanpa penyebaran ke

10

Stadium IV

traktus genitalis Tumor menyebar ke tempat-tempat lain

Kelemahan - kelemahan pembagian ini : a) Diagnosis TTG pasca evakuasi jaringan mola semata-mata mengacu pada gambaranregresi hCG yang abnormal tampa harus mencari letak pertumbuhan jaringantrofoblasnya baik secara klinis maupun radiologi. b) Klasifikasi ini tidak menjelaskan bagaimana caranya menemukan pertumbuhan di luar uterus. c) Cara penyebaran TTG berbeda dari cara penyebaran keganasan ginekologi yang lain,metastasis di luar pelvis bisa terjadi tanpa harus ada penyakit primernya baik uterusmaupun dalam pelvis. d) Sistem ini tidak melibatkan faktor-faktor prognosis seperti kadar hCG; masa laten darikehamilan terakhir dan jenis kehamilan sebelumnya, sehingga sebagai akibatnyapengobatan kurang adekuat. Pada tahun 1991, FIGO menambahkan faktor prognostik kedalam sistem staging anatomik yang klasik dengan faktor prognostik, yaitu nilai hCG urin > 100.000mIU/ml dan HCG serum > 40.000 mIU/ml dan lamanya waktu dari terminasi kehamilannya hingga terdiagnosis > 6 bulan 1. e) Staging harus berdasarkan riwayat kehamilan, pemeriksaan klinis, pendekatan laboratorium dan radiologis. Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan : a) Riwayat kemoterapi pada PTG sebelumnya. b) Jika tumor ditempat implantasi plasenta (harus dilaporkan terpisah). c) Konfirmasi histologik tidak bermakna. Pada tahun 2000, FIGO menerima sistem skor WHO berdasar pada faktor prognostik.Sistem ini pertama kali diungkapkan oleh Prof. Kenneth Bagshawe. Nilai skor untuk faktor resiko yaitu 1, 2, 3 dan 4. Golongan darah tidak digunakan dalam sistem skor ini. Metastaseke hepar mendapatkan skor 4. Batasan skor antara resiko rendah dan resiko tinggi ditetapkanoleh FIGO Cancer Committee Announcement pada Juni 2002 . Skor 6 termasuk dalamresiko rendah dan hanya

11

mendapat single agent kemoterapi. Skor 7 termasuk dalam resiko tinggi dan membutuhkan kemoterapi kombinasi. Tidak ada lagi golongan resiko sedang.Kombinasi antara sistem skor faktor resiko WHO dengan stadium FIGO diterima oleh FIGO staging and Nomenclature committee pada September 2002. (Hoskins, 1989)

12

H. DIAGNOSIS(2,3,5) 1. Anamnesis 1,6,8,9 - terdapat gejala-gejala hamil muda yang kehamilan biasa - terdapat perdarahan yang sedikit atau banyak, tidak teratur, warna tengguli tua atau kecoklatan - pembesaran rahim yang tidak sesuai (lebih besar) bila dibandingkan dengan usia kehamilan seharusnya - keluar jaringan mola seperti buah anggur atau mata ikan (tidak selalu ada) yang merupakan diagnosa pasti 2. Gejala klinik a. Perdarahan b. Pembesaran uterus c. Tidak adanya aktifitas janin d. Eklampsia dan preeklmpsia e. Hiperemesis f. Tirotoksikosis g. Embolisasi h. Mola hidatidosa sering disertai dengan kista lutein, baik unilateral maupun bilateral. Mola hidatidosa komplet Perdarahan pervaginam : gejala umum dari mola komplet. jaringan mola terpisah dari desidua, menyebabkan perdarahan. Uterus mungkin membesar karena sejumlah besar darah dan cairan gelap masuk ke dalam vagina. Gejala ini muncul pada 97% kasus. Hiperemesis : karena peningkatan secara ekstrem kadar hCG Hipertiroidisme : kira-kira 7% pasien mengalami takikardi, tremor dan kulit yang hangat. Mola hidatidosa parsial kadang-kadang lebih nyata dari

13

Pasien dengan mola hidatidosa parsial tidak memiliki gejala yang sama dengan mola komplet. Pasien ini biasanya mempunyai gejala dan tanda seperti abortus inkomplet atau missed abortion.

Perdarahan pervaginam Adanya denyut jantung janin

3. Pemeriksaan fisik 1,2,7,9 Pada pemeriksaan fisik ditemukan: Inspeksi Muka dan kadang-kadang badan kelihatan pucat kekuning-kuningan yang disebut muka mola (mola face) Kalau gelembung mola keluar dapat dilihat jelas Uterus membesar tidak sesuai dengan usianya, terasa lembek Tidak teraba bagian-bagian janin dan balotemen dan juga gerak janin Adanya fenomena harmonika : darah dan gelembung mola keluar, dan fundus uteri turun, lalu naik lagi karena terkumpulnya darah baru Auskultasi Tidak terdengar bunyi denyut jantung janin Terdengar bising dan bunyi khas Pastikan besarnya rahim, rahim terasa lembek, tidak ada bagian-bagian janin, terdapat perdarahan dan jaringan dalam kanalis servikalis dan vagina, serta evakuasi keadaan serviks. 4. Pemeriksaan Penunjang 1,2,7,9 A. Pemeriksaan laboratorium Pengukuran kadar -hCG tidak lagi digunakan untuk menegakkan diagnosis mola karena sudah digantikan oleh USG. Pemeriksaan serial diperlukan untuk mendeteksi penyakit PTG yang pengeluaran mola. persisten setelah Palpasi

Pemeriksaan dalam

14

Yang harus diperhatikan di sini adalah hormon -hCG, karena karakteristik yang terpenting dari penyakit ini adalah kemampuannya dalam memproduksi hormon -hCG, sehingga jumlah hormon ini lebih meningkat bila dibandingkan dengan kehamilan normal pada usia kehamilan tersebut. Hormon ini dapat dideteksi di urin maupun dalam serum penderita. Namun pemeriksaan yang dilakukan pada serum terpengaruh oleh lebih sedikit variabel daripada yang di urin. Terdapat tiga jenis pemeriksaan -hCG, yaitu : - -hCG kualitatif serum, yang dapat mendeteksi kadar hCG > 5 10 mIU/ml - -hCG kualitatif urin, yang mIU/ml dapat mendeteksi kadar hCG > 25-50

- -hCG kuantitatif urin, yang dapat mendeteksi kadar hCG > 5-2 juta mIU/ml Hasilnya harus dibandingkan dengan kadar -hCG serum kehamilan normal pada usia kehamilan yang sama. Bila kadar -hCG kuantitatif >100.000 mIU/L mengindikasikan pertumbuhan ukuran yang berlebihan dari trofoblastik dan meningkatkan kecurigaan adanya kehamilan mola namun kadang-kadang kehamilan mola dapat memiliki nilai hCG normal. Biasanya tes -hCG normal setelah 8 minggu post evakuasi mola. Bila jauh lebih tinggi dari rentangan kadar normal pada tingkat kehamilan tersebut, suatu persangkaan diagnosa mola hidatidosa dibuat. Kadar hormon -hCG sangat tinggi dalam serum, 100 hari atau lebih setelah menstruasi terakhir. Pemantauan secara hati-hati dari kadar -hCG, penting untuk diagnosis, penatalaksanaan dan tindak lanjut pada semua kasus penyakit trofoblastik. Jumlah hormon -hCG yang ditemukan pada serum atau urin berhubungan dengan jumlah sel-sel tumor yang ada. B. Ultrasonografi Pada kehamilan mola, bentuk karakteristik yang ada berupa gambaran seperti badai salju tanpa disertai kantong gestasi atau janin. Pemeriksaan USG sebaiknya dilakukan pada setiap pasien yang pernah mengalami perdarahan pada trisemester awal kehamilan dan memiliki ukuran uterus yang lebih besar daripada usia kehamilannya.

15

USG dapat menjadi pemeriksaan yang spesifik untuk membedakan antara kehamilan normal dengan mola hidatidosa. Namun harus diingat bahwa beberapa struktur lainnya dapat memperlihatkan gambaran yang serupa dengan mola hidatidosa termasuk myoma uteri dengan kehamilan ini dan kehamilan janin > 1. Pada kehamilan trimester I gambaran mola hidatidosa tidak spesifik sehingga seringkali sulit dibedakan dari kehamilan anembrionik, missed abortion, abortus incomplitus atau mioma uteri. Pada kehamilan trimester II gambaran mola hidatidosa umumnya lebih spesifik, kavum uteri berisi massa ekogenik bercampur bagian-bagian anekhoik vesikuler berdiameter antara 5-10 mm. Gambaran tersebut dapat dibayangkan seperti gambaran sarang tawon (honey comb) atau badai salju (snow storm). 9 Pada 20-50% kasus dijumpai adanya massa kistik multilokuler di daerah adneksa. Massa tersebut berasal dari kista teka lutein. Kista ini tidak dapat tidak dapat diketahui keberadaannya jika hanya dengan pemeriksaan palpasi bimanual. USG dapat mendeteksi adanya kita teka lutein oleh karena itu untuk mengetahui ada tidaknya kista teka lutein dipergunakan USG. C. Foto rontgen Pada kehamilan 3-4 bulan, tidak ditemukan adanya gambaran tulang-tulang janin. Organ-organ janin mulai dibentuk pada usia kehamilan 8 minggu dan selesai pada usia kehamilan 12 minggu. Oleh karena itu pada kehamilan normal seharusnya dapat terlihat gambaran tulang-tulang janin pada foto rontgen. D. Uji sonde Dengan perasat Hanifa Winkjosastro, kita masukkan sonde uterus. Jika sonde masuk ke dalam kavum uteri tanpa tahanan dan dapat diputar 360 o dengan deviasi sonde kurang dari 10o, berarti merupakan kehamilan mola. E. Amniografi Dengan menggunakan bahan radioopague yang dimasukkan ke dalam uterus secara transabdominal, akan memberikan gambaran radiografik yang khas untuk mola hidatidosa. Kavum uterus ditembus dengan jarum amniosentesis. Suntikan 20 ml hypague segera. Dibuat foto anteroposterior 5-10 menit kemudian. Pola sinar X yang terjadi seperti sarang tawon, yang ditimbulkan oleh bahan kontras yang mengelilingi gelombang-gelombang

16

korion. Amniografi ini sekarang sudah jarang digunakan lagi semenjak adanya USG yang lebih mudah. I. KRITERIA DIAGNOSTIK Pada beberapa kasus, vesikel hidatidosa yang berupa gambaran anggur dikeluarkan sebelum mola secara spontan abortus atau dikeluarkan dengan operasi. Pengeluaran secara spontan umum terjadi pada minggu ke-16 dan jarang setelah 28 minggu. Penemuan klinik berupa perdarahan yang menetap dan pembesaran uterus lebih dari usia kehamilan harus dicurigai sebagai kehamilan mola. Harus juga dipikirkan apakah pembesaran uterus tersebut disebabkan oleh kesalahan data menstruasi, mioma uteri, hidramnion, atau kehamilan ganda. Penegakan diagnosis yang akurat ialah dengan pemeriksaan USG. Umumnya struktur lain mungkin memiliki penampilan serupa dengan mola, termasuk diantaranya mioma uteri dan kehamilan ganda. Sebagai kesimpulan, kriteria diagnostik dari mola hidatidosa komplet sebagai berikut: 1. Perdarahan yang terus-menerus pada kehamilan kurang lebih 12 minggu yang biasanya bersifat masif dan berwarna kecoklatan 2. Pembesaran uterus melebihi usia kehamilan 3. Tidak adanya bagian janin dan denyut jantung janin walaupun uterus membesar setinggi pusat atau lebih. Gambaran USG yang khas : badai salju 5. Kadar serum hCG yang lebih tinggi daripada kadar umum berdasarkan masa kehamilan Preeklampsi dan eklampsi yang muncul sebelum minggu ke-24 Hiperemesis gravidarum Diagnosa pasti ditegakkan bila kita melihat lahirnya gelembung-gelembung mola. Tetapi bila kita menunggu sampai gelembung mola keluar biasanya sudah terlambat, karena pengeluaran gelembung umumnya disertai perdarahan yang banyak dan keadaan umum pasien menurun. Yang baik ialah bila dapat mendiagnosis mola sebelum keluar gelembung. J. DIAGNOSA BANDING 1,2,7,9,10 - Kehamilan normal - Kehamilan dengan mioma uteri - Hidramnion - Gemelli

4.

6. 7.

17

Abortus Kehamilan ektopik terganggu

K. KOMPLIKASI Perforasi uterus selama kuret hisap sering muncul karena uterus yang membesar. Jika hal ini terjadi prosedur penanganannya harus dalam bimbingan laparaskopi. Perdarahan sering pada evakuasi mola, karenanya oksitosin IV harus diberikan sebelum prosedur dimulai. Methergin atau Hemabase dapat juga diberikan. Penyakit trofoblastik ganas terjadi pada 20 % kehamilan mola, karenanya pemeriksaan kuantitatif hCG serial dilakukan selama 1 tahun post evakuasi sampai hasilnya negatif. DIC, karena jaringan mola melepaskan faktor yang bersifat fibrinolitik. Semua pasien harus diperiksa kemungkinan adanya koagulopati. Emboli trofoblastik dapat menyebabkan insufisiensi pernafasan akut. Faktor resiko terbesar ialah pada ukuran uterus yang lebih besar dari yang diharapkan pada usia kehamilan 16 minggu. Kondisi ini dapat berakhir fatal. Anemia, karena perdarahan yang berulang-ulang Perdarahan dan syok. Penyebab perdarahan ini mungkin disebabkan oleh pelepasan jaringan mola tersebut dengan lapisan desidua, perforasi uterus oleh karena keganasan, atonia uteri atau perlukaan pada uterus karena evakuasi jaringan mola. Infeksi sekunder Perforasi, karena keganasan atau karena tindakan Keganasan, baik menjadi koriokarsinoma ataupun menjadi mola invasif

L. PENATALAKSANAAN 1,2,3,4,5,6,7,8,9,10 Penatalaksanaan mola hidatidosa terdiri dari 4 tahap, yaitu: 1. Perbaikan keadaan umum Yang termasuk usaha ini misalnya transfusi darah pada anemia berat dan syok hipovolemik karena perdarahan atau menghilangkan penyulit seperti preeklampsia dan tirotoksikosis. Preeklampsia diobati seperti pada kehamilan biasa, sedangkan untuk tirotoksikosis diobati sesuai protokol penyakit dalam. 2. Pengeluaran jaringan mola

18

a.

b.

Bila diagnosis telah ditegakkan, kehamilan mola harus segera diakhiri. Ada dua cara evakuasi, yaitu: a) kuret hisap, b) histerektomi Kuret hisap Kuret hisap merupakan tindakan pilihan untuk mengevakuasi jaringan mola, dan sementara proses evakuasi berlangsung berikan infus 10 IU oksitosin dalam 500 ml NaCl atau RL dengan kecepatan 40-60 tetes/menit. Oksitosi diberikan untuk menimbulkan kontraksi uterus mengingat isinya akan dikeluarkan. Tindakan ini dapat mengurangi perdarahan dari tempat implantasi dan dengan terjadinya retraksi miometrium, dinding uterus akan menebal dan dengan demikian resiko perforasi dapat dikurangi 8.Bila sudah terjadi abortus maka kanalis servikalis sudah terbuka. Bila belum terjadi abortus, kanalis servikalis belum terbuka sehingga perlu dipasang laminaria atau servikalis dilator (setelah 10 jam baru terbuka 2-5 cm). Setelah jaringan mola dikeluarkan secara aspirasi dan miometrium memperlihatkan kontraksi dan retraksi, biasanya dilakukan kuretase yang teliti dan hati-hati dengan menggunakan alat kuret yang tajam dan besar. Jaringan yang diperoleh diberi label dan dikirim untuk pemeriksaan. Kuretase kedua dilakukan apabila kehamilan seusia lebih dari 20 minggu, atau tidak diyakini bersih. Kuret ke-2 dilakukan kira-kira 10-14 hari setelah kuret pertama. Pada waktu itu uterus sudah mengecil sehingga lebih besar kemungkinan bahwa kuret betulbetul menghasilkan uterus yang bersih. Jika terdapat mola hidatidosa yang besar (ukuran uterus >12 minggu, dan dievakuasi dengan kuret hisap, laparatomi harus dipersiapkan, atau mungkin diperlukan ligasi arteri hipogastrika bilateral bila terjadi perdarahan atau perforasi. Sebelum kuret sebaiknya disediakan persediaan darah untuk menjaga kemungkinan terjadi perdarahan masif selama kuretase berlangsung. Histerektomi Sebelum kuret hisap digunakan, histerektomi sering dipakai untuk pasien dengan ukuran uterus di luar 12-14 minggu. Namun histerektomi tetap merupakan pilihan pada wanita yang telah cukup umur dan cukup mempunyai anak. Alasan untuk melakukan histerektomi ialah karena umur tua dan paritas tinggi karena hal tersebut merupakan predisposisi timbulnya keganasan. Batasan yang dipakai ialah umur 35 tahun dengan anak hidup tiga. Tidak jarang bahwa pada sediaan histerektomi bila dilakukan pemeriksaan histopatologi sudah tampak adanya tanda-tanda mola invasif.

19

Ada beberapa ahli yang menganjurkan agar pengeluaran jaringan dilakukan melalui histerektomi. Tetapi cara ini tidak begitu populer dan sudah ditinggalkan. Walau histerektomi tidak dapat mengeliminasi sel-sel tumor trofoblastik, namun mampu untuk mengurangi kekambuhan penyakit ini. 3. Terapi profilaksis dengan sitostatika Diberikan pada kasus mola dengan resiko tinggi akan terjadinya keganasan di bawah pengawasan dokter.3 Misalnya umur tua dan paritas tinggi yang menolak untuk dilakukan histerektomi atau kasus dengan hasil histopatologi yang mencurigakan. Biasanya diberikan Methotrexate atau Actinomycin D. Tidak semua ahli setuju dengan cara ini, dengan alasan jumlah kasus mola yang menjadi ganas tidak banyak dan sitostatika merupakan obat yang berbahaya. Goldstein berpendapat bahwa pemberian sitostatika profilaksis dapat menghindarkan keganasan metastasis serta mengurangi terjadinya koriokarsinoma di uterus sebanyak 3 kali. Kadar hCG >100.000 IU/L praevakuasi dianggap sebagai resiko tinggi untuk perubahan ke arah keganasan. Stadium I, risiko rendah, PTG non metastasis Kemoterapi tunggal Methotrexate 15 mg/m2/hari, IM/IV, selama 5 hari, interval 2 minggu Dactinomycin 0,5 mg/hari, selama 5 hari, interval 2 minggu Etoposide 200 mg/m2/hari, selama 5 hari, interval 2 minggu Methotrexate 1 mg/kgBB (>70 mg), IM/IV, hari 1,3,5,7 + asam folat 0,1 mg/kgBB, IM/IV, hari 2,4,6,8, interval 2 minggu Stadium II-III, risiko sedang, PTG metastasis risiko rendah Kemoterapi kombinasi dua obat Methotrexate 15 mg/m2/hari + Dactinomycin 0,5 mg/hari, IV, selama 5 hari, interval 2 minggu Methotrexate 15 mg/m2/hari + Etoposide 200 mg/m2/hari, IV, selama 5 hari, interval 2 minggu Stadium IV, risiko tinggi, PTG metastasis risiko tinggi Multikemoterapi MAC, setiap hari selama 5 hari Methotrexate 0,3 mg Dactinomycin 0,5 mg Cyclophosphamide 3 mg/kg atau Chlorambucil 0,15 mg/kg

20

EMA-CO Hari 1 Etoposide 100 mg/m2, IV, dalam 30 menit Methotrexate 100 mg/m2, IV, bolus Methotrexate 100 mg/m2, drip dalam 12 jam Dactinomycin 0,5 mg, IV bolus Hari 2 Etoposide 100 mg/m2, IV, dalam 30 menit Dactinomycin 0,5 mg, IV bolus Leucovorin 15 mg, IV/IM/oral, setiap 12 jam, 4 dosis terbagi, 24 jam setelah pemberian methotrexate Hari 8 Cyclophosphamide 600 mg/m2, IV, dalam 30 menit Vincristine 1 mg/m2, IV bolus EHMMAC Seri 1 Etoposide 100 mg/m2/hari, selama 5 hari Seri 2 Hydroxyurea 0,5 mg, peroral, diulang 12 jam kemudian pada hari 1 Methotrexate 50 mg, IM, diulang setiap 48 jam (hari 2,4,6,8) Seri 3 Dactinomycin 0,5 mg, setiap hari selama 5 hari Seri 4 Vincristine 1 mg/m2, hari 1 dan 3 Cyclophosphamide 400 mg/m2, IV, hari 1 dan 3 Mola hidatidosa merupakan kehamilan abnormal yang pada pemeriksaan histologi didapatkan proliferasi sel trofoblas. Sejumlah 80% penderita mola hidatidosa akan mengalami regresi pasca evakuasi. Regresi spontan pasca evakuasi disebabkan karena sel trofoblas mempunyai aktifitas apoptosis. Sejumlah 20% penderita mola hidatidosa menderita degenerasi keganasan yang secara klinis disebut PTG. Degenerasi keganasan ini mungkin disebabkan karena aktifitas proliferasi yang dominan sehingga proliferasi terjadi berkelanjutan pasca evakuasi. Mekanisme apoptosis pada mola hidatidosa belum diketahui sepenuhnya. Asam retinoat yang merupakan zat aktif retinol atau vitamin A mempunyai aktifitas merangsang pengistirahatan siklus sel dan merangsang apoptosis. Penelitian yang dilakukan oleh

21

Andrijono telah membuktikan adanya keberadaan reseptor Retinol Binding Protein (RBP) pada sel trofoblas molahidatidosa. Ekspresi reseptor RBP dijumpai pada membran sel dan sitoplasma. Ekspresi reseptor RBP pada sel sinsitiotrofoblas lebih kuat jika dibandingkan dengan sel sitotrofoblas. 4. Pemeriksaan tindak lanjut (follow up) Tujuan utama follow up untuk mendeteksi adanya perubahan yang mengarah keganasan. Metode umum follow up adalah sebagai berikut: - Mencegah kehamilan selama periode follow up, minimal 1 tahun - Pengukuran kadar serum -HCG setiap 2 minggu - Mempertahankan terapi selama kadar serum menurun. Peningkatan atau pendataran kadar membutuhkan evaluasi dan terapi lanjut - Jika kadar normal (mencapai batas rendah dari pengukuran, dilakukan pengukuran setiap bulan sekali selama 6 bulan dan tiap 2 bulan selama 1 tahun - Follow up dapat dihentikan dan kehamilan diijinkan 1 tahun kemudian Setiap periksa ulang penting diperhatikan :7 1. Gejala klinik: keadaan umum dan perdarahan 2. Lakukan pemeriksaan dalam dan pemeriksaan inspekulo: tentang keadaan serviks, uterus cepat bertambah kecil atau tidak 3. Reaksi biologis atau imunologis air seni, kalau reaksi titer tetap (+) maka harus dicurigai adanya keganasan. Keganasan masih dapat timbul setelah 3 tahun pasca terkenanya mola hidatidosa. Menurut Harahap tumor timbul 34,5% dalam 6 minggu, 62,1% dalam 12 minggu, dan 79,4% dalam 24 minggu serta 97,2% dalam 1 tahun setelah mola keluar. Lama pengawasan berkisar antara satu atau dua tahun, mengingat kemungkinan terjadi keganasan setelah mola hidatidosa (20%). Gejala-gejala koriokarsinoma yang harus diwaspadai setelah dilakukan kuretase mola adalah perdarahan yang terus menerus, involusi rahim tidak terjadi, kadang-kadang malahan nampak metastasis di vagina berupa tumortumor yang biru ungu, rapuh, dan mudah berdarah sebesar kacang Bogor.1 Selama pengawasan, secara berkala dilakukan ginekologis, kadar -HCG dan radiologi. Cara yang paling peka saat ini adalah dengan pemeriksaan HCG yang menetap untuk beberapa lama. Jika masih meninggi, hal ini berarti masih ada sel-sel trofoblas yang aktif. Cara yang umum dipakai sekarang ini

22

adalah dengan radioimmunoassay terhadap -HCG sub-unit. Pemeriksaan kadar -HCG diselenggarakan setiap minggu sampai kadar menjadi negatif selama 3 minggu dan selanjutnya setiap bulan selama 6 bulan. Mungkin juga timbul metastasis di paru-paru yang menimbulkan batuk dan haemoptoe. Oleh karena itu, bila ada gejala-gejala yang mencurigakan harus dibuat foto rontgen paru.1 SKEMA MANAJEMEN PADA MOLA HIDATIDOSA (6)

Dalam proses ekspulsi - sedatif - infus - tranfusi darah percepat evakuasi (pengeluaran) oxytocin drip + suction - pasien muda - ingin mempunyai anak Kuretase (antara hari 5-7) evakuasi (selektif)

Uterus - koreksi anemia (tranfusi darah) - darah tetap di pertahankan menjelang pengeluaran

- umur 35 tahun

Hysterektomi

Vaginal

Abdominal Hysterotomy

Cervik baik Oxytocin drip + Suction evakuasi

cervik tak baik dilatasi lambat Pada cervik (laminaria)

- cervic tidak baik - perdarahan

23

+ suction evakuasi kuretase antara hari 5-7

kuretase secepatnya

Kontrol rutin (kurang lebih untuk 2 tahun)

M. PROGNOSIS WHO SCORING SISTEM 5 1. 2. 3. 4. 5. 6. Faktor Prognosis Usia Kehamilan sebelumnya Interval -hCG ABO maternal-paternal Ukuran tumor terbesar 0 < 39 th Mola < 4 bl < 1000 1 > 39 th Aborsi 4-6 bl < 10.000 OxA, AxO 3-5 Limpa, ginjal 1-4 2 Aterm 7-12 bln < 100.000 B, AB >5 GIT, hati 4-8 Tunggal 3

> 12 bln > 100.000

7. Lokasi metastase 8. Angka metastase 9. Kemoterapi terdahulu Total skor : 0-4 resiko rendah 5-7 resiko sedang > 8 resiko tinggi

Otak >8 Multipel

Data mortalitas berkurang secara drastis mencapai 0 dengan diagnosa dini dan terapi yang adekuat. Dengan kehamilan mola yang lanjut, pasien cenderung untuk menderita anemia dan perdarahan kronis. Infeksi dan sepsis pada kasus-kasus ini dapat menyebabkan tingkat morbiditas yang tinggi. Evaluasi dini tidak menghilangkan kemungkinan berkembangnya tumor persisten. Hampir 20% mola komplet berlanjut menjadi tumor gestasional trofoblastik. Lurain and Colleagues (1987) melaporkan setelah evakuasi mola

24

hidatidosa, 81% mengalami regresi spontan dan 19% berlanjut menjadi tumor trofolastik gestasional. Pemantauan yang dilihat pada pasien mola hidatidosa yang telah menjalani evakuasi mengindikasikan bahwa tindakan ini bersifat kuratif pada lebih dari 80% pasien. Mola hidatidosa yang berulang terjadi pada 0,5 2,6%, dengan resiko yang lebih besar untuk menjadi mola invasif atau koriokarsinoma. Terjadinya proses keganasan bisa berlangsung antara 7 hari sampai 3 tahun pasca mola, tetapi yang paling banyak dalam 6 bulan pertama. Kurang lebih 10-20% mola hidatidosa komplet menjadi metastastik koriokarsinoma yang potensial invasif. Kematian pada kasus mola disebabkan karena perdarahan, infeksi, preeklampsia, payah jantung, emboli paru atau tirotoksikosis. Di negara maju, kematian karena mola hampir tidak ada lagi, tetapi di negara berkembang masih cukup tinggi, yaitu berkisar 2,2-5,7%. Pasien mola dianggap sehat kembali, sampai sekarang belum ada kesepakatan. Curry mengatakan sehat bila kadar -HCG dua kali berturut-turut normal. Ada pula yang mengatakan bila sudah melahirkan anak yang normal.

25

BAB V KESIMPULAN
Penyebab mola hidatidosa belum diketahui secara pasti sehingga tidak dapat diketahui usaha pencegahan yang harus dilakukan, oleh karena itu sangatlah penting untuk dapat mendeteksi dan menangani kasus ini sedini mungkin terutama karena kecenderungannya menjadi ganas. Perdarahan yang terjadi selama kehamilan muda (walaupun tanpa pembesaran uterus yang tidak sesuai dengan umur kehamilan) harus dicurigai terhadap kemungkinan adanya penyakit mola hidatidosa. Walau tidak tertutup kemungkinan adanya kehamilan ganda, kesalahan HPHT, hidramnion, Abortus imminen, dll. Demikian juga adanya gejala-gejala preeklamsia dan eklamsi dini pada kehamilan yang lebih muda harus diwaspadai adanya mola hidatidosa. Diagnosa ditegakkan melalui anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Diagnosa pasti ditegakkan bila adanya gelembung-gelembung mola atau jaringan mola yang keluar. Bila masih terdapat keraguan dalam penegakkan diagnosa, cara yang sangat membantu yaitu pemeriksaan USG yang akan memberikan gambaran badai salju. Pengukuran kadar B-hCG secara serial digunakan dalam mendeteksi penyakit trofoblas ganas yang terjadi setelah evakuasi jaringan mola. Penanganan yang cepat dan tepat dibutuhkan karena biasanya pasien datang setelah terjadinya perdarahan. Selain itu informed consent pada pasien dan keluarga pasien juga perlu diperhatikan dalam prosedur tindakan medis. Disarankan kepada penderita untuk kontrol secara teratur dan memeriksakan kadar -HCGnya secara teratur untuk mengevaluasi adanya kemungkinan keganasan.

26

DAFTAR PUSAKA
1. Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, et al. Gestational Trophoblastic Disease : Williams Obstetrics.21th ed. Conneticut, Appleton & Lange, 2001; 835843. 2. Bagian Obstetri Ginekologi FK UNPAD. Mola Hidatidosa; Obstetri Patologi; 1983; 38-42. 3. Konar Hiralal Gestational Trophoblastic Diseases (GID) D.C. Dutta 4 th ed New Central book Agency Calcuta, 1998; 206-215 4. Rustam Muchtar. Penyakit Trofoblas : Sinopsis Obstetri. Edisi 2, Jilid 1. Penerbit buku Kedokteran. EGC. Hal. 238-243. 5. Shaw R, Soutter P, Stanton S, et al. Trophoblastic disease : Gynaecology. London, Churchill Livingstone, 1992 ; 557-566. 6. Winkjosastro H. Mola Hidatidosa ; Ilmu Kebidanan. Edisi ke-3. Jakarta. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 1999 : Hal: 142, 339- 348. 7. Winkjosastro H. Mola Hidatidosa ; Ilmu Kebidanan. Edisi ke-3. Jakarta. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 1999; Hal. 262-264 Konar Hiralal. Gestational Trophoblastic Diseases (GID) in Textbook of Obstetrics D.C. Dutta 4th ed New Central book Agency Calcutta. 1998 ; 206 215. Lapsus
A. 1.

Winkjosastro H. Mola Hidatidosa; Ilmu Kebidanan. Edisi ke-1. Jakarta. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 1997; 342 348. Cunningham FG, MacDonald PC, Gant NF, et al. Gestational Trophoblastic Disease in Williams Obstetrics. 20th ed. Connecticut, Appleton & Lange. 1997; 676 677. Konar Hiralal. Gestational Trophoblastic Diseases (GID) in Textbook of Obstetrics D.C. Dutta 4th ed New Central book Agency Calcutta. 1998 ; 206 215.

2.

3.

27

4.

Wiknjosastro H. Mola Hidatidosa; Ilmu Kandungan. Edisi ke-2. Jakarta. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 1997; 262 266. H Alan, De Cherney, Nathan L. Gestational Trophoblastic Disease in Current Obstetric an Gynecologic Diagnose and Treatment. 9th ed. Lange. Baltimore NY. Mc Graw Hill. 2000; 947 958. Jonathan SB, Neville FH. Gestational Trophoblastic Neoplasia in Practical Gynaecologic Oncology. 3rd ed. Philadelphia. Lippincott Williams and Wilkins. 2000; 615 638. Bagian Obstetri Ginekologi FK UNPAD. Koriokarsinoma; Obstetri Patologi; 1983; 38 42. Mola Hidatidosa dan

5.

6.

7.

8.

Mochtar rustam, Penyakit Trofoblas Sinopsis Obstetri edisi 2; EGC Penerbit Buku kedokteran; 1998 : 238 243. http://www.emedicine.com Hydatiform Mole by Lisa E Moore, MD http://www.emedicine.com Gestational Trophoblatic Disease by William M. Rich, MD

9. 10.

28

Anda mungkin juga menyukai