Anda di halaman 1dari 19

MOLA HIDATIDOSA

A. Definisi

Mola hidatidosa adalah suatu kehamilan abnormal akibat


gangguan pertumbuhan plasenta yang secara histologis ditandai :
a) edema stroma villi korionik
b) villi avaskuler
c) jaringan hiperplasia trofoblas (sitotrofoblas dan sinsitiotrofoblas)
yang mengelilingi villi

Mola hidatidosa adalah kehamilan abnormal, dengan ciri-ciri


stroma vilus khorealis langka vaskularisasi dan edematous.Janin
biasanya meninggal, akan tetapi vilus-vilus yang membesar dan
edematous ini hidup dan tumbuh terus, gambaran yang diberikan
adalah seperti segugus buah anggur. Jaringan trofoblast pada vilus
kadang berproliferasi ringan, kadang-kadang keras dan mengeluarkan
hormon human chorionic gonadotropin (hCG) dalam jumlah yang lebih
besar daripada kehamilan biasa. (Cunningham GF et al, 2010)

B. Klasifikasi

• Mola hidatidosa komplet (complete hydatidiform mole)


• Mola hidatidosa parsial (partial hydatidiform mole)

Mola Hidatidosa Komplit


• Gambaran yang khas, yaitu berbentuk kista atau gelembung-
gelembung dengan ukuran antara beberapa milimeter sampai 2-
3cm, berdinding tipis, kenyal, berwarna putih jernih, berisi cairan
seperti cairan edema atau asites. Kalau ukurannya kecil sepeti
kumpulan telur katak, tetapi jika ukurannya besar tampak seperti
rangkaian buah anggur yang bertangkai. Seluruh vili korialis
mengalami degenerasi hidropik sehingga sama sekali tidak

1
ditemukan unsur janin.(Djamhoer M. 2005; Martaadisoebrata, D.
2005; Berkowitz, R et all. 2007)

Mola Hidatidosa Parsial

Sebagian dari vili korialis yang mengalami degenerasi hidropik


sehingga unsur janin selalu ada. Perkembangan janin bergantung
kepada luasnya plasenta yang mengalami degenerasi. Tetapi biasanya
janin tidak dapat bertahan lama dan akan mati dalam rahim. (Djamhoer
M. 2005; Martaadisoebrata, D. 2005; Berkowitz, R et all. 2007)

Tabel 1. Perbedaan antara molahidatidosa komplit dan parsial

Gambaran Mola hidatidosa komplit Mola hidatidosa parsial


Karyotipe 46 xx atau 46 xy 69 xxx atau 69 xxy
Gambaran patologis
Embrio tidak ada ada
Amnion tidak ada ada
Vili korialis bundar berlekuk
Edem viliosa difus umumnya fokal
Proliferasi trofoblas variabel, ringan variabel, fokal ringan
sampai berlebihan sampai sedang
Gambaran klinik
Diagnosis
Ukuran uterus kehamilan mola missed abortion
Kista Lutein 50 % membesar jarang
Penyulit sering jarang

Laboratorium:
ß-hCG sangat tinggi > normal

C. Faktor Risiko

Molahidatidosa dapat terjadi pada semua wanita dalam masa


reproduksi. Pasien termuda yang pernah dilaporkan berusia 12 tahun
(Bobrow) dan tertua 57 tahun (A Pearson).(Djamhoer M. 2005;
Martaadisoebrata, D. 2005; Berkowitz, R et all. 2007)
1. Umur
Penelitian menunjukkan bahwa dalam kaitannya dengan
umur ini ada kelompok umur yang mempunyai risiko lebih tinggi
untuk mendapatkan molahidatidosa, yaitu mereka yang hamil

2
pada usia di bawah 20 tahun, dan diatas 35 tahun. Bahkan
menurut Pritchard dan Smalbraak, pada usia di atas 40 tahun,
insidensinya 4-10 kali dari mereka yang berusia 20-40 tahun.
2. Gizi
Di samping umur, faktor gizi juga dianggap berpengaruh
terhadap kejadian Mola hidatidosa. Acosta Sison, menganggap
bahwa Molahidatidosa adalah suatu kehamilan abnormal yang
berasal dari ovum patologis, sedangkan faktor yang menyebabkan
ovum patologis ini adalah defisiensi protein kualitas tinggi. Acosta
Sison mengaitkan hal ini dengan kenyataan bahwa di Asia banyak
sekali ditemukan Molahidatidosa, yang penduduknya sebagian
termasuk golongan sosioekonomi rendah yang kurang
mengkonsumsi protein.
Secara empiris tampaknya teori ini dapat diterima karena
insidensi mola hidatidosa yang tinggi ditemukan pula di Indonesia,
Meksiko dan Filipina. Tetapi peneliti lain seperti Steigard dan Yen
tidak setuju teori ini karena di Hawaii mola hidatidosa lebih banyak
ditemukan pada etnis jepang dibandingkan pada penduduk asli.
Padahal kalau dilihat dari segi sosioekonomi orang jepang jauh
lebih baik dimana mereka lebih banyak maka protein (ikan).
Reynold mengatakan bahwa bila wanita hamil terutama
antara hari ke 13 dan 21 mengalami kekurangan asam folat dan
histidine akan mengalami gangguan pembentukan timidin yang
merupakan bagian penting dari DNA. Akibat kekurangan gizi ini
akan menyebabkan kematian embrio dan gangguan angiogenesis
yang akhirnya akan menimbulkan perubahan hidropik.
Teori gizi sebagai faktor risiko yang banyak dianut sekarang
adalah yang diajukan oleh Parazzini F (Italia) dan Berkowitz
(USA) yaitu bahwa molahidatidosa banyak terjadi pada mereka
yang kekurangan B-karotene. berdasarkan case control study,
mereka mengatakan bahwa Molahidatidosa banyak ditemukan di
daerah yang kekurangan vitamin A. Hal ini juga menurut mereka

3
sebagian dapat menerangkan mengapa terjadi variasi dalam
insidensi secara regional.
3. Riwayat Obstetri
WHO Scientific group 1983 berkesimpulan bahwa usia dan
gizi, riwayat obstetri juga mempunyai pengaruh terhadap kejadian
Molahidatidosa. Mereka mengatakan bahwa kejadian
Molahidatidosa akan meningkat pada wanita yang pernah
mendapat Molahidatidosa dan kehamilan kembar, tetapi
multiparitas tidak merupakan faktor risiko.
4. Ras/Etnis
Laporan dari US (1970-1977) mengatakan bahwa insidensi
Molahidatidosa pada wanita kulit hitam hanya setengahnya dari
wanita lainnya. Menurut Teoh, di Singapura, insidensi
Molahidatidosa pada wanita Euroasian, dua kali lebih tinggi dari
Cina, Melayu, dan India. Di Indonesia yang terdiri dari berpuluh-
puluh etnis, sampai sekarang belum ada laporan yang
menggambarkan adanya perbedaan insidensi antar suku bangsa.
5. Genetik
Hasil penelitian sitogenetik Kajii et al dan Lawler et al,
menunjukkan bahwa pada kasus MH lebih banyak ditemukan
kelainan Balance Translocation dibandingkan dengan populasi
normal (4,6% dan 0,6%). Ada kemungkinan, pada wanita dengan
kelainan sitogenetik ini, lebih banyak mengalami gangguan proses
meosis berupa nondysfunction, sehingga lebih banyak terjadi
ovum yang kosong atau yang intinya tidak aktif.
Jaringan mola merupakan hasil transformasi dari massa sel
dalam embrionik (inner cell mass) pada tahapan perkembangan
sesaat sebelum pembentukan lapisan endoderm. Pada tahapan
embriogenesis ini inner cell mass memiliki potensi untuk
berkembang menjadi trofoblas, ektoderm, dan endoderm. Apabila
tejadi gangguan, terbentuk jalur perkembangan abnormal.

D. Patofisiologi

4
Menurut konsep terbaru, jaringan mola merupakan hasil
transformasi dari massa sel dalam embrionik (inner cell mass) pada
tahapan perkembangan sesaat sebelum pembentukan lapisan endoderm.
Pada tahapan embriogenesis ini, massa sel dalam memiliki potensi untuk
berkembang menjadi trofoblas, ektoderm, dan endoderm. Ketika proses
perkembangan normal mengalami gangguan, maka kemampuan massa
sel dalam untuk berdiferensiasi menjadi ektoderm dan endoderm akan
menghilang sehingga akan terbentuk suatu jalur perkembangan yang
abnormal. Jadi, jalur ini hanya akan menghasilkan pembentukan trofoblas
yang selanjutnya berkembang menjadi sitotrofoblas dan sinsitiotrofoblas.
Jaringan tersebut kemudian mengalami degenerasi hidropik yang akan
menghasilkan vesikel-vesikel mola hidatidosa.(Aghajanian, 2007)
Seperti halnya pada kehamilan normal, sitotrofoblas dan
sinsitiotrofoblas menghasilkan hormon yang disebut sebagai hormon hCG.
Hormon hCG adalah suatu hormon glikoprotein yang memiliki aktifitas
biologis sangat menyerupai luteinizing hormone (LH) terdiri dari 2 subunit
berbeda yang berikatan secara non-kovalen, yaitu subunit-α (92 asam
amino) dan subunit-β (145 asam amino). Kedua subunit hormon hCG
berikatan secara normal pada reseptor LH-hCG di korpus luteum. Ikatan
pada reseptor ini akan menghasilkan reaksi yang bertujuan untuk
mempertahankan dan memelihara fungsi korpus luteum agar produksi
progesteron bisa terus berlanjut pada kehamilan normal namun akan
menyebabkan timbulnya kista lutein pada mola hidatidosa.(Cunningham,
et al., 2010)
Hormon hCG secara struktural berhubungan dengan ketiga hormon
glikoprotein lainnya, yaitu LH, FSH, dan TSH. Kapasitas stimulasi hCG
terhadap fungsi tiroid kemungkinan muncul akibat modifikasi oligosakarida
hormon itu sendiri. Sebagian asam isoform hormon ini dapat merangsang
aktivitas tiroid dan sebagian bentuk dasarnya juga dapat merangsang
pengambilan iodin. Terdapat juga bukti bahwa kelenjar tiroid juga memiliki
reseptor LH-hCG. Oleh sebab itu, hormon hCG kemungkinan dapat
merangsang aktifitas tiroid baik melalui reseptor TSH maupun reseptor

5
LH-hCG. Oleh sebab itu, pada mola hidatidosa atau koriokarsinoma,
terkadang muncul bukti-bukti biokimia maupun klinis yang menunjukkan
suatu keadaan hipertiroid. Pada awalnya, hal ini dipercaya sebagai akibat
dari pembentukan tirotropin korionik oleh sel-sel trofoblas yang mengalami
neoplasma. Namun, sekarang terbukti bahwa peningkatan kadar hormon
tiroid tersebut ternyata disebabkan oleh adanya ikatan hormon hCG pada
reseptor TSH di kelenjar tiroid. (Cunningham, et al., 2010)
Pada penyakit trofoblas gestasional, kadar hormon hCG serum bisa
mencapai 1000 kali lebih tinggi dibanding dengan kadar pada kehamilan
normal. Kadar serum hormon hCG sebesar 50.000 mIU/mL efeknya
diperkirakan setara dengan kadar serum hormon TSH 35 U/mL. Sekitar
50% wanita dengan penyakit trofoblas gestasional akan memperlihatkan
tanda-tanda biokimia adanya gangguan hipertiroid. (Kaufman, et al., 2003)
Banyak teori telah dikemukakan tentang pathogenesis mola
hidatidosa antara lain :
1. Teori Henling et al, menganggap bahwa pada mola hidatidosa
terjadi insufisiensi pembuluh darah akibat maytinya embrio pada
minggu ketiga (missed abortion) sehingga terjadi penimbunan
cairan dalam jaringan mesenkim vili dan terbentuklah vili-vili kecil
yang makin alama makin besar hingga terbentuklah mola .
sedangkan proliferasi trofoblas merupakan akibat dari tekanan vili
yang edema tadi.
2. Teori park, adanya jaringan trofoblas yang abnormal baik berupa
hiperplasi, displasi, maupun neoplasi. Bentuk abnormal ini disertai
pula dengan fungsi yang abnormal dimana terjadi absorbs cairan
yang berlebihan ke dalam fili. Keadaan ini menekan pembuluh
darah hingga akhirnya menyebabkan kematian embrio.
3. Teori sitogenetik, kehamilan mola hidatidosa komplet terjadi karena
sebuah ovum yang tidak berinti (kosong) atau yang intinya tidak
berfungsi dibuahi oleh sebuah sperma haploid 23x kromosom ini
kemudian mengadakan penggandaan sendiri menjadi 46 xx jadi
kromosom mola hidatidosa komplet berjenis kelamin wanita dengan

6
kedua xnya berasal dari ayah. Jadi tidak ada unsur ibu sehingga
disebut diploid androgenetik.(Djamhoer M. 2005)
Kehamilan yang sempurna harus terdiri dari unsur ibu yang akan
membentuk bagian embrional (anak) dan unsur ayah yang diperlukan
untuk membentuk bagian ekstraembrional (plasenta,air ketuban) secara
seimbang. Karena tidak ada unsur ibu, maka mola hidatidosa komplet
tidak memiliki bagian embrional (janin). Yang ada hanya bagian
ekstraembrional yang patologis berupa vili koriali yang mengalami
degenerasi hidropik seperti anggur.(Martaadisoebrata, D. 2005; Djamhoer
M. 2005)
Mola hidatidosa parsial berbeda dengan mola hidatidosa komplit.
Pada mola hidatidosa parsial dapat ditemukan gambaran yang diploid
atau triploid. Bisa oleh dua haploid 23x, satu haploid 23 x, dan satu
haploid 2y. Hasil konsepsi bisa berupa 69 xxx, 69 xxy, atau 69xyy.
Kromosom 69 yyy tidak pernah ditemukan. (Djamhoer M. 2005;
Cunningham FG, et al. 2010)
Jadi mola hidatidosa parsial mempunyai satu haploid ayah
sehingga disebut Diandro Triploid. Karena disini ada unsur ibu maka
ditemukan bayi dan pembengkakan pada vili yang sifatnya tidak
menyeluruh. Tetapi komposisi unsur ibu dan ayah tidak seimbang satu
berbanding dua. Unsur ayah yang tidak normal tersebut tersebut
menyebabkan pembentukan plasenta tidak wajar yang merupakan
gabungan dari vili korialis yang normal dan mengalami degenerasi
hidropik. Oleh karena itu fungsinya tidak bisa penuh sehingga janin tidak
bisa bertahan sampai besar. Biasanya kematian terjadi sangat dini
koriokarsinoma lebih jarang terjadi paska mola parsial jika dibandingkan
dengan paskamola komplit.(Berkowitz, R et all. 2007; Aghajanian, P 2007;
Syafli dkk. 2006)

7
E. Gambaran Klinis

Manifestasi klinis sebagian besar pasien yang didiagnosis mola


hidatidosa komplit adalah anemia atau ditemukannya ukuran uterus yang
lebih besar dari prediksi usia kehamilan. Diagnosis pada saat itu biasanya
baru ditegakkan pada usia kehamilan 16-17 minggu. (Schorge, 2008)
Manifestasi klinis mola hidatidosa komplit mencakup: (Berkowitz, et
al., 2007)
a. Perdarahan pervaginam.
Gejala ini adalah masalah yang paling sering dikeluhkan
oleh pasien dengan mola hidatidosa (±80-90%). Terpisahnya
jaringan mola dari desidua akan mengakibatkan robeknya
pembuluh darah maternal sehingga terjadi akumulasi darah dalam
kavum uteri. Oleh karena perdarahan dapat berlangsung secara
terus-menerus, pasien bisa mengalami anemia. Namun demikian,
anemia saat ini kenyataannya hanya ditemukan pada 5% pasien.
(Berkowitz, et al., 2007)
b. Ukuran uterus yang lebih besar dari prediksi usia kehamilan.
Gejala ini adalah salah satu tanda klasik mola hidatidosa
komplit meskipun ditemukan hanya pada sebagian kecil pasien (±
28%). Distensi kavum uteri bisa diakibatkan oleh jaringan mola
ataupun akumulasi darah. Gejala ini biasanya berhubungan dengan
peningkatan kadar hCG karena terjadinya pertumbuhan trofoblas
yang berlebihan.(Berkowitz, et al., 2007)
c. Pre-eklampsia.
Manifestasi ini sebelumnya ditemukan pada 27% pasien
mola hidatidosa komplit. Namun demikian, sekarang hanya 1 dari
74 pasien yang dilaporkan mengalami pre-eklampsia. Meskipun
berhubungan dengan hipertensi, proteinuri, dan hiper-refleksi,
jarang terjadi kejang. Manifestasi ini hampir selalu disertai
pembesaran uterus dan peningkatan kadar hCG. (Berkowitz, et al.,
2007)

8
Beberapa literatur mencantumkan preeklampsia sebagai
komplikasi dari mola. Menurut Pitchard, jika ditemui keadaan
preeklamsia pada uterus sebesar 24 minggu, harus dicurigai
adanya suatu mola hidatidosa komplit. Cara penangannya, di
samping evakuasi jaringan mola, tidak berbeda dengan
penanganan preeklampsia akibat kehamilan biasa.
(Martaadisoebrata, 2005)
d. Hiperemesis gravidarum.
Manifestasi hiperemesis terjadi pada 25% pasien mola
hidatidosa komplit, khususnya yang mengalami pembesaran uterus
dan peningkatan kadar hCG. Namun demikian, sekarang hanya 8%
pasien yang mengalami hiperemesis.(Berkowitz, et al., 2007)
e. Embolisasi trofoblas.
Gagal nafas biasanya ditemukan pada pasien dengan
pembesaran uterus dan peningkatan kadar hCG. Pasien-pasien ini
bisa mengalami keluhan nyeri dada, dispneu, takipneu, dan
takikardia yang terjadi selama atau setelah tindakan evakuasi
jaringan mola. Pada pemeriksaan auskultasi, biasanya ditemukan
ronkhi difus dan pada pemeriksaan radiologis ditemukan gambaran
infiltrat di kedua lapang paru. Apabila dilakukan tindakan resusitasi
kardiopulmonal, gagal nafas biasanya akan pulih dalam 72 jam.
Namun demikian, sebagian pasien terkadang harus diberikan
bantuan nafas dengan ventilator. (Berkowitz, et al., 2007)
f. Kista teka lutein ovarium.
Kista yang prominen (diameter 6 cm) dapat ditemukan
pada separuh pasien mola hidatidosa komplit. Kista ini timbul
sebagai akibat dari tingginya kadar hCG serum sehingga
mengakibatkan hiperstimulasi ovarium (luteinizing hormone-like
effect). Oleh karena uterus biasanya juga membesar, maka pada
pemeriksaan fisik terkadang kista sulit ditemukan.
Namun demikian, keberadaan dan ukurannya dapat
ditentukan secara akurat melalui pemeriksaan USG. Kista biasanya
mengalami regresi dalam 2-4 hari setelah tindakan evakuasi
jaringan mola.(Berkowitz, et al., 2007; Kavanagh, et al., 2007)
g. Hipertiroid.

9
Bukti klinis hipertiroid pada awalnya dapat ditemukan pada
7% pasien mola hidatidosa komplit. Para pasien ini biasanya
mengalami keluhan takikardi, kulit hangat, maupun tremor.
Manifestasi ini adalah konsekuensi dari efek hCG yang serupa
dengan efek hormon tirotropin (thyrotropin-like effect). Akibatnya,
tiroksin bebas plasma meningkat dan kadar TSH menurun. Selain
itu yang sering muncul adalah “badai tiroid” bukan tirotoksikosis.
Menurut pengalaman, kadar T4 bebas langsung turun dengan
cepat setelah evakuasi jaringan mola. Saat ini, bukti klinis
hipertiroid ditemukan pada 5% pasien mola hidatidosa.(Berkowitz,
et al., 2007; Schorge, 2008)
Gejala klinis tirotoksikosis pada mola ternyata berbeda dengan
Grave’s disease. Terutama pada kecepatan perkembangannya
yang sangat cepat pada mola. Diagnosis mola hidatidosa komplit
dipersulit karena disertai adanya penyulit-penyulit lain, seperti
preeklampsia, payah jantung, emboli paru-paru, dan anemia yang
masing-masing dapat memberikan gejala seperti tirotoksikosis.
(Martaadisoebrata, 2005)

F. Diagnosis

Kita harus memikirkan mola hidatidosa bila ditemukan hal-hal


dibawah ini(Djamhoer M. 2005; Hurteau, JA. 2003):
1. Anamnesis
Wanita mengeluh :
a. Terlambat haid
b. Adanya perdarahan pervaginam
c. Perut merasa lebih besar dari lamanya amenorea
d. Walaupun perut besar, tidak merasa adanya pergerakan
anak.
2. Klinis Ginekologis
Pada pemeriksaan ditemukan
a. Uterus lebih besar dari tuanya kehamilan

10
b. Tidak ditemukan tanda pasti kehamilan(BJA, balotemen,
gerakananak).
c. Laboratorium : Kadar ß hCG lebih tinggi dari normal.
d. USG

G. Ultrasonografi

Pemeriksaan ini adalah suatu teknik yang terpercaya dan sensitif


bagi penegakaan diagnosis mola hidatidosa, baik komplit maupun parsial.
Pada mola hidatidosa komplit, karena villi korionik mengalami degenerasi
hidropik yang difus, maka akan ditemukan suatu gambaran karakteristik
vesikuler berupa daerah-daerah hipoekoik yang khas. Pola ini dikenal
dengan sebutan gambaran badai salju (snowstorm-like pattern) atau
multikistik (multicystic appearance). Pada pemeriksaan biasanya juga
ditemukan pembesaran ovarium sebagai akibat sekunder dari
pembentukan kista teka lutein. Tidak ditemukan gambaran kantung
kehamilan (gestational sac) maupun janin pada mola hidatidosa komplit.
Pada kasus mola hidatidosa parsial, akan terlihat daerah kistik yang
bersifat fokal disertai kantung kehamilan normal atau janin. (Aghajanian,
2007; Kavanagh, et al., 2007)
Pada mola hidatidosa komplit kita mendapatkan gambaran
diantaranya
- tidak ada janin atau embrio
- tidak ada cairan ketuban
- gambaran vili korialis mengalami degenerasi hidropik
( gambaran badai salju)
- ditemukan kista lutein

11
Gambar 1. USG Mola hidatidosa komplit Hill L. 1989
Snowstorm appearance of complete mole on ultrasound

Pada mola hidatidosa parsial kita mendapatkan gambaran


diantaranya :
- ditemukan janin atau embrio, bisa hidup tapi mengalami
pertumbuhan yang terhambat
- ditemukan cairan ketuban
- tampak gambaran yang menyerupai kista-kista kecil disertai
peningkatan diameter transversa dari kantong janin (gambaran
Swiss Cheese).
- tidak ada kista lutein

Gambar 2. Mola hidatidosa parsialHill L. 1989


Ultrasound of an irregular intrauterine gestational sac
containing an 8-week-sized fetus

12
H. Pemeriksaan β-hCG

Karakter prinsip dari suatu neoplasma trofoblas gestasional,


termasuk mola hidatidosa, adalah kemampuannya dalam memproduksi
hormon β-hCG. Pemeriksaan hCG merupakan bagian dari proses
penegakkan diagnosis dan pemantauan hasil terapi mola hidatidosa.
Melalui pemeriksaan immonuassai, kadar hCG darah dan urin yang
sangat rendah pun dapat dideteksi.Kadar hCG pada kehamilan normal
akan mencapai puncaknya sekitar minggu 10-14 kehamilan namun
nilainya jarang melebihi 100.000 mIU/mL. Oleh sebab itu, kecurigaan
terhadap terjadinya mola hidatidosa, khususnya tipe komplit, harus
dipertimbangkan jika pada pemeriksaan awal ditemukan kadar hCG
>100.000 mIU/mL. Pada mola hidatidosa parsial jarang ditemukan
peningkatan kadar hCG.(Kavanagh, et al., 2007)
Pada 2001, the Society for Gynecologic Oncologists mengeluarkan
peringatan mengenai hasil hCG meragukan. Pengkajian laboratorium
untuk kadar hCG dapat memberi hasil positif palsu , yang dilaporkan
mencapai 800 mIU/mL atau lebih tinggi. Hasil positif palsu ini mungkin
disebabkan oleh antimouse antibody, antibodi heterofil, dan protein
nonspesifik. Selain itu, hasil positif palsu telah dilaporkan dalam alat-alat
yang berbeda dari beberapa pabrik. (Van Tromel N. 2005; Schorge, J O.
2008)
Penanganan penyakit trofoblas gestasional sering berpedoman
pada kadar hCG, ini penting menyingkirkan kemungkinan hasil positif
palsu, khususnya pada kondisi klinis yang berbeda. Diagnosis yang
meragukan pada kehamilan ektopik atau pada PTG menjadi dasar atas
pengobatan yang tidak berguna. Pertimbangan utama adalah untuk
memperoleh kadar hCG urin, karena, zat ini tidak diekskresikan melalui
urin dalam bentuk campuran. (Nandini, D et al. 2009; Cunningham, FG, et
al. 2010)

I. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan mola terdiri dari: (Martaadisoebrata, 2005)

13
1. Perbaiki keadaan umum
Sebelum dilakukannya tindakan evakuasi jaringan mola,
keadaan umum penderita harus distabilkan dahulu. Tergantung
pada bentuk penyulitnya, pada penderita dapat diberikan :
- Transfusi darah untuk mengatasi syok hipovolemik
- Antihipertensi/konvulsi seperti pada terapi preeklampsia
atau eklampsia
- Obat antitiroid, bekerja sama dengan Bagian Penyakit
Dalam.
2. Evakuasi jaringan
- Kuretase
Pada prinsipnya, penanganan definitif kasus mola
hidatidosa adalah evakuasi jaringan mola dari dalam kavum
uteri. Setelah diagnosis kehamilan mola bisa ditegakkan,
maka selanjutnya dilakukan evaluasi cermat untuk mencari
komplikasi medis yang mungkin terjadi dan melakukan
koreksi apabila diperlukan Investigasi terutama ditujukan
untuk menemukan kondisi pre-eklampsia, hipertiroid,
gangguan elektrolit, anemia, insufisiensi kardiopulmoner,
serta gangguan fungsi ginjal dan hepar. Selain itu,
persiapan darah untuk kemungkinan transfusi dan anjuran
pemeriksaan rontgen toraks untuk mencari kemungkinan
terjadinya metastase paru akibat keganasan trofoblas perlu
dilakukan. Apabila kondisi pasien telah stabil, maka
selanjutnya dapat dibuat keputusan mengenai metode
evakuasi yang paling sesuai. (Kavanagh, et al., 2007);
(Berkowitz, et al., 2007); (Aghajanian, 2007)
- Kuret vakum (suction curettage) adalah metode evakuasi
jaringan mola yang lebih sering dilakukan terhadap pasien-
pasien yang masih ingin mempertahankan fertilitasnya.
Metode ini terbukti aman, lebih cepat, dan bisa dilakukan

14
pada hampir semua kasus, terlepas dari besarnya ukuran
uterus. (Berkowitz, et al., 2007; Aghajanian, 2007)
- Histerektomi
Bagi pasien yang fungsi fertilitasnya sudah tidak
akan dipertahankan lagi, tindakan evakuasi jaringan mola
dapat dilakukan dengan tindakan histerektomi. Apabila saat
histerektomi ditemukan kista teka lutein, tidak perlu
dilakukan pengangkatan ovarium. Kista teka lutein
biasanya mengalami regresi spontan kecuali bila terjadi
episode akut, misalnya ruptur. Biasanya kista akan
mengalam regresi dalam waktu kurang lebih 2 bulan
setelah jaringan mola dievakuasi. (Berkowitz, et al., 2007;
Kavanagh, et al., 2007; Cunningham, et al.,
2010)Histerektomi tidak dapat mencegah metastasis dan
sekitar 3-5% masih beriko untuk menjadi khoriokarsinoma,
oleh karena itu pasien masih diharuskan menjalani follow-
up dengan pemeriksaan kadar hCG. (Berkowitz, et al.,
2007; Lurain, 2010)
3. Kemoterapi Profilaksis
Walaupun penggunaan kemoterapi profilaksis saat
dilakukan evakuasi mola masih kontroversi, namun pemberian
kemoterapi profilaksis tidak hanya dapat mencegah metastasis
tapi juga menurunkan insidensi dan morbiditas invasi lokal mola
pada uterus. Pemberian kemoterapi profilaksis juga sangat
berguna dalam menangani kehamilan mola komplit dengan
resiko tinggi, terutama bila pemeriksaan kadar hCG untuk
follow-up tidak dapat dilakukan atau tidak dapat dipercaya.
(Berkowitz, et al., 2007; Schorge, 2008; Lurain, 2010)
Ada dua cara yang dapat dilakukan. Yang pertama
adalah histerektomi, seperti yang telah diuraikan di atas, dan
(Martaadisoebrata, 2005)
yang kedua adalah dengan kemoterapi.

15
Caranya : MTX 20 mg/hari, IM, asam folat 10 mg 3 kali
sehari dan cursila 2 kali sehari selama 5 hari berturut-turut.
Profilaksis dengan tablet MTX dianggap tidak bermanfaat,
asam folat sebagai antidote dari MTX sementara cursila
sebagai hepatoprotektor. Bisa juga di pakai actinomycin D 1
flakon per hari selama 5 hari berturut-turut, tanpa perlu antidote
maupun hepatoprotektor.(Martaadisoebrata, 2005)
Diberikan pada pasien yang jaringan molanya sudah
dikeluarkan yang diperkirakan mempunyai risiko tinggi untuk
menjadi ganas atau pada pasien yang gambaran
histopatologinya meragukan. (Martaadisoebrata, D. 2005)

Prognostik Mola (Gold Stein Mola)


No 1 2 3 4
1 Jenis Mola Partial Klasik Rekuren -
2 Besar uterus <1 bulan >1 bulan >2 bulan >3 bulan
3 Kadar HCG <50000 50000- 105-106 >106
100000
4 Umur pasien 20-40 th <20 th >40 th >50 th
5 Adanya penyerta - 1/lebih - -

Penyerta dari mola: Preeklampsia, hipertiroid, emboli


trofoblas ke paru. Skor <4 jinak, skor >4 cenderung ganas.
Pada pasien yang mengalami perdarahan banyak dilakukan
histerektomi dengan kedua adneksa ditinggalkan dan dilanjutkan
dengan pemberian sitostatika.Obat sitostatika yang diberikan :
Methothrexate, Actinomicin D, Adriamicin, Vincristin, dll.(Djamhoer
M. 2005; Martaadisoebrata, D. 2005)

J. Follow Up Paska Evakuasi Mola

Tujuan follow-up adalah untuk melihat apakah proses involusi


berjalan dengan berjalan secara normal, baik anatomis maupun
laboratoris dan fungsional, seperti involusi uterus, turunnya kadar β-hCG
dan kembalinya fungsi haid. Selain itu juga untuk menentukan adanya

16
transformasi keganasan, terutama pada tingkat yang sangat dini. Durasi
follow-up adalah selama satu tahun dengan jadwal: 3 bulan pertama
setiap 2 minggu sekali, 3 bulan kedua tiap 1 bulan sekali, dan 6 bulan
terakhir setiap 2 bulan sekali. (Martaadisoebrata, 2005) Lebih dari
setengah pasien post evakuasi mola akan mengalami regresi kadar hCG
menjadi normal dalam kurun waktu 2 bulan. Kontrasepsi terpilih adalah
kontrasepsi oral karena dapat mensupresi hormon LH, yang dapat
menganggu pengukuran kadar hCG. Selain itu, penelitian juga
menyebutkan jenis kontrasepsi ini tidak meningkatkan resiko keganasan
trofoblastik postmolar. (Lurain, 2010) Selain kontrasepsi oral, metode lain
yang dapat dipilih adalah metode barier. (Berkowitz, et al., 2007)
Seperti diketahui 15-20% dari penderita pasca mola hidatidosa
komplit bisa mengalami transformasi keganasan. Masa laten terjadinya
keganasan bisa terjadi dalam waktu 1 minggu sampai 3 tahun pasca
evakuasi maka diberlakukan follow up ketat. Pada penderita mola resiko
rendah follow up mulai dilakukan 2 minggu pasca evakuasi dan pada mola
resiko tinggi dimulai 2 minggu setelah mendapat kemoterapi profilaksis.
(Djamhoer M. 2005;Cunningham, FG, et al. 2010)
Tujuan dari follow up ada dua(Djamhoer M. 2005;
Martaadisoebrata, D. 2005)
1. Melihat apakah proses involusi berjalan secara normal baik
anatomis, laboratoris maupun fungsional seperti involusi uterus,
turunnya kadar β hCG dan kembali fungsi haid.
2. Menentukan adanya transformasi keganasan terutama pada
tingkat yang sangat dini.
Pada umumnya para pakar sepakat bahwa lama follow up
berlangsung selama satu tahun tetapi ada juga yang sampai dua tahun.
Follow up dilakukan sebagai berikut:(Martaadisoebrata, D. 2005;
Cunningham, FG, et al. 2010)
1. Mulai minggu ke 2 sampai minggu ke 12 pascaevakuasi jaringan
mola, penderita dianjurkan follow up setiap 2 minggu
Pemeriksaan yang dilakukan adalah :
- Pemeriksaan β hCG dengan cara RIA/EIA
- Pemeriksaan klinis meliputi pemeriksaan:

17
a. Besar dan involusi uterus
b. Ada tidaknya perdarahan (pervaginam atau hemoptoe)
c. Ada tidaknya tanda-tanda metastasis (paru-paru, dll)

Bila pada setiap kali follow up kadar β hCG menurun dan kurvanya
mengikuti pola kurva regresi β hCG RIA yang sama dengan pola kurva
regresi β hCG normal dan secara klinis tidak ada tanda-tanda
pertumbuhan baru jaringan trofoblas maka follow up dilakukan dengan
pola yang sama sampai minggu ke 12 paska evakuasi jaringan mola dan
bila pada minggu ke 12 kadar β hCG ≤ 5 mIU/ml dilanjutkan dengan follow
up tahap berikutnya.(Cunningham, FG, et al. 2010.; Berkowitz, R et all.
2007)
Kriteria diagnosis adanya pertumbuhan baru jaringan trofoblas
dengan pemeriksaan β hCG yaitu :(Djamhoer M. 2005)
- Kadar β hCG ≥ 1000 mIU/ml pada minggu ke 4
- Kadar β hCG ≥ 100 mIU/ml pada minggu ke 6
- Kadar β hCG ≥ 30 mIU/ml pada minggu ke 8
Bila hCG melebihi batas-batas diatas atau secara klinis ditemukan
tanda-tanda pertumbuhan baru jaringan trofoblas maka selanjutnya
penderita dikelola sebagai tumor trofoblas gestasional. Sebaliknya bila
kadar β hCG mengikuti pola kurva regresi yang normal dan tidak terdapat
pertumbuhan baru jaringan trofoblas secara klinik maka follow up
dilanjutkan sebagai berikut : (Djamhoer M. 2005)
 Mulai bulan ke 4 sampai bulan ke 6, follow up dilakukan setiap
bulan dengan tata cara follow up yang sama dengan
sebelumnya. Pada bulan ke 6 dilakukan torak foto AP untuk
menyingkirkan metastasis di paru-paru.
 Mulai bulan 8 sampai bulan ke 12 dianjurkan follow up setiap 2
bulan. Bulan ke 12 dilakukan lagi torak foto AP.
Follow up dihentikan bila sebelum satu tahun wanita hamil normal
lagi atau bila setelah setahun tidak ada keluhan, uterus dan kadar β hCG
dalam batas normal serta fungsi haid sudah normal kembali.
Selama follow up pasien dianjurkan menggunakan KB kondom
supaya tidak hamil dahulu karena dapat menimbulkan salah interpretasi.

18
Pemakaian IUD tidak dianjurkan karena efek samping perdarahan akan
menyulitkan diagnosis adanya pertumbuhan baru jaringan trofoblas
sedangkan penggunaan KB hormonal masih kontroversial karena
dampaknya terhadap timbulnya tumor trofoblas gestasional paskamola
sehingga penggunaan KB kondom dianggap lebih aman. Kontrasepsi
lainnya adalah kontrasepsi oral karena dapat mensupresi hormon LH,
yang dapat menganggu pengukuran kadar hCG. Selain itu, penelitian juga
menyebutkan jenis kontrasepsi ini tidak meningkatkan resiko keganasan
trofoblastik postmolar. (Lurain, 2010) Selain kontrasepsi oral, metode lain
yang dapat dipilih adalah metode barier. (Berkowitz, et al., 2007)
Salah satu ciri adanya keganasan adalah meningginya kembali
kadar β hCG sedangkan pada kehamilan β hCG yang tadinya normal
akan meninggi kembali. Dalam keadaan seperti ini kadang-kadang kita
ragu apakah kenaikan kadar β hCG ini disebabkan oleh kehamilannya
atau proses keganasan. (Djamhoer M. 2005; Martaadisoebrata, D. 2005)

19

Anda mungkin juga menyukai