Anda di halaman 1dari 32

Konferensi Ilmiah

PILIHAN PERSALINAN
PADA KEHAMILAN ATERM
DENGAN KORIOAMNIONITIS

Oleh :

Iwan Kurnia
Peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis I
Obstetri dan Ginekologi
Pembimbing :

dr. Med. Damar Prasmusinto, SpOG

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia


Department Obstetri dan Ginekologi
Jakarta, Juni 2006

BAB I
PENDAHULUAN
Infeksi bakteri pada rongga amnion adalah salah satu penyebab terpenting
terjadinya peningkatan mortalitas perinatal dan morbiditas maternal. Bahkan dalam
beberapa penelitian terakhir diketahui adanya hubungan klinis antara infeksi
dengan kelainan neurologis jangka panjang dari bayi baru lahir termasuk
diantaranya serebral palsi.1 Terdapat berbagai sinonim untuk korioamnionitis di
beberapa kepustakaan, beberapa diantaranya "amnionitis", "intrapartum infection",
"amniotic fluid infection" dan intra-amniotic infection".Korioamnionitis merupakan
infeksi akut pada cairan ketuban, janin dan selaput korioamnion yang disebabkan
terutama oleh bakteri. Pada kehamilan cukup bulan, korioamnionitis didiagnosa
pada sekitar 5%-7% kehamilan. Korioamnionitis dihubungkan dengan ketuban
pecah dini dan persalinan lama. Periode ketuban pecah yang lama merupakan
faktor risiko yang paling tinggi peranannya dalam patogenesis korioamnionitis.
Makin lama jarak antara ketuban pecah dengan persalinan, makin tinggi pula risiko
morbiditas dan mortalitas ibu dan janin. 2-6 Risiko yang dapat terjadi pada janin
akibat infeksi ini adalah sepsis, respiratory distress, kejang, perdarahan
intraventrikular dan cedera neurologis yang lain. Pada ibu, risiko yang dapat terjadi
adalah sepsis, endometritis pasca persalinan, pelvik thrombophlebitis septik dan
infeksi luka7,8.
Korioamnionitis merupakan masalah yang seringkali menyebabkan inisiasi
persalinan untuk terminasi kehamilan segera, terutama dengan cara pervaginam
atau bahkan terjadi pada periode intrapartum. Infeksi biasanya terjadi karena
infeksi asending mikroorganisme dari serviks dan vagina, dapat pula transplasental
dan iatrogenik, misalnya pada pemeriksaan amniosentesis dan kordosentesis.
Bakteri penyebabnya biasanya polimikrobial dan biasanya mencakup bakteri
fakultatif dan anaerob. 5,9
Korioamnionitis mengakibatkan mortalitas perinatal yang signifikan, saat ini
mencapai 5-25% terutama pada neonatus dengan berat lahir rendah. Walaupun
mortalitas maternal jarang terjadi, namun korioamnionitis merupakan penyebab
signifikan terjadinya morbiditas maternal. Oleh karena itu penatalaksanan

koriamnionitis berupa pemberian antibiotik dan pengakhiran kehamilan harus


dipertimbangkan sebaik mungkin.9,10,11
Faktor

ras

secara

tunggal

tidak

menjadi

faktor

resiko

terjadinya

korioamnionitis. Usia ibu lebih memiliki peranan penting sebagai faktor resiko. Ibu
yang hamil di usia muda memiliki perilaku yang relatif kurang baik dalam menjaga
higiene urogenitalnya, sehingga meningkatkan risiko bakterial vaginosis, infeksi
saluran kemih, dan infeksi asendens.11
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk membahas tatalaksana infeksi
intrauterin, pemberian antibiotik dan pilihan untuk terminasi kehamilan serta faktorfaktor yang mempengaruhi dalam pengambilan keputusan pilihan terminasi.

BAB II
ILUSTRASI KASUS
Ilustrasi Kasus I
Ny. W, 42 tahun (MR 303-24-29), datang ke instalasi gawat darurat (IGD)
kebidanan RSCM pada tanggal 7 Mei 2006 pukul 09.00 WIB dirujuk bidan dengan
keterangan keluar air-air sejak 36 jam sebelum masuk rumah sakit (SMRS) dan
gagal induksi. Pasien mengaku hamil 9 bulan dengan hari pertama haid terakhir
(HPHT) 20 Juli 2005 dan taksiran partus (TP) 27 April 2006, sesuai dengan hamil
41 minggu.

Selama ini pasien memeriksakan kehamilannya di bidan secara

teratur. Pada pasien tidak ada keluhan demam, batuk pilek dan keputihan. Buang
air besar dan buang air kecil pasien juga tidak ada keluhan. Sebelumnya pasien
pernah diinduksi dengan oksitosin 1 kolf di bidan namun tidak ada kemajuan
persalinan, kemudian dirujuk ke RSCM. Riwayat penyakit dahulu dan keluarga
tidak ada yang bermakna. Pasien adalah seorang ibu rumah tangga, kehamilan ini
merupakan kehamilan yang ketiga. Anak pertama dan kedua lahir spontan di bidan
dengan berat lahir masing-masing 3700 gram dan 3600 gram. Pasien menikah
satu kali pada bulan Juni 1994. Pasien belum pernah menggunakan kontrasepsi
sebelumnya. Siklus haid sebelum hamil teratur dengan siklus 28 hari, lama
menstruasi 5 hari, 4 kali ganti pembalut perhari dan tidak ada keluhan nyeri haid
sebelumnya. Pasien haid pertama kali di usia 12 tahun.
Melalui hasil pemeriksaan fisik pasien pada saat datang didapatkan
keadaan umum baik, kesadaran kompos mentis, tekanan darah 120/80 mmHg,
frekuensi nadi 92 kali permenit, suhu 36,9 0C dan frekuensi nafas 20 kali permenit
dengan status generalis lain dalam batas normal. Pada pemeriksaan status
obstetrikus didapatkan tinggi fundus uteri (TFU) 34 cm, presentasi kepala, taksiran
berat janin (TBJ) 3400 gram, his 3x/10 menit lamanya 40 detik dengan kekuatan
sedang relaksasi baik, dan denyut jantung janin (DJJ) 140 dpm. Hasil inspeksi
vulva dan uretra tenang, hasil pemeriksaan inspekulo didapatkan porsio licin,
ostium uteri terbuka 1 jari, tampak air ketuban mengalir jernih dan tidak berbau,
tidak ada fluor maupun fluxus dilakukan pemeriksaan LEA dengan hasil negatif
dan pH 7,5. Pada pemeriksaan dalam diperoleh porsio lunak, arah aksial, tebal

porsio 2 cm, pembukaan 3 cm dengan kepala di Hodge I-II dan selaput ketuban
negatif.
Pemeriksaan ultrasonography (USG) lantai 3 IGD RSCM tampak janin
presentasi kepala tunggal hidup intra uterin dengan diameter biparietal (DBP) 9,4
cm, abdominal circumference (AC) 34 cm, femur length (FL) 7,1 cm, head
circumference (HC) 34,2 cm dengan taksiran berat janin (TBJ) 3300 gram,
plasenta di korpus belakang dan index cairan amnion (ICA) 6. Kesan hamil aterm
janin presentasi kepala tunggal hidup (JPKTH), air ketuban berkurang.
Pemeriksaan laboratorium ditemukan hemoglobin 11,8 g/dl, hematokrit 34%,
leukosit 18.200/ul, trombosit 261.000/ul, MCV 91 fl, MCH 32 pg, dan MCHC 35
g/dl, gula darah sewaktu 103 mg/dl Hasil urinalisis didapatkan protein positif satu.
Hasil cardiotokography (CTG) janin tidak reaktif dengan frekuensi dasar 140,
variabilitas 5 -10 tanpa akselerasi dengan deselerasi variabel ringan.
Berdasarkan data yang ada ditegakkan diagnosis G3P2 hamil 41 minggu,
janin presentasi kepala tunggal hidup dengan ketuban pecah 36 jam, air ketuban
berkurang, PK I laten pasca induksi pematangan serviks dengan oksitosin. Setelah
dilakukan analisis terhadap masalah tersebut diputuskan untuk dilakukan terapi
akselerasi persalinan oksitosin, pemberian antibiotik intra vena ampicillin
sulbaktam 2 x 1,5 gram dan resusitasi janin intrauterin.
Dalam 4 jam observasi pasien mengalami demam (39,1 0C), frekuensi nadi
108 x/mnt dan terdapat takikardi janin 180 dpm dengan hasil CTG ulang tidak
reaktif takikardi. Hasil pemeriksaan darah tepi ulang didapatkan leukosit 20.000/L.
Ditegakkan diagnosis korioamnionitis dan direncanakan untuk dilakukan persalinan
perabdominam. Dalam persiapan operasi (1 jam kemudian), pasien ingin meneran
dan pada pemeriksaan dalam sesuai dengan PK II, kepala di Hodge III-IV dan
ubun-ubun kiri depan dengan djj 100 dpm. Ditegakkan masalah hipoksia janin
pada PK II dan direncanakan untuk mempercepat persalinan dengan ekstraksi
forsep. Dengan ekstraksi forsep lahir bayi laki-laki dengan berat lahir 3150 gram
dengan apgar score 6 dan 7. Lima belas menit kemudian lahir plasenta lengkap
450 gram dengan panjang tali pusat 48 cm dan ukuran 17 cm x 16 cm x 3 cm.
Pada eksplorasi selanjutnya didapatkan ruptur perineum grade II. Perdarahan kala
III-IV 200 cc.

Pasien sempat dirawat 2 hari di ruangan dan kemudian pulang dengan


bayinya dalam keadaan baik.
Ilustrasi Kasus II
Ny. S, 24 tahun (MR 296-59-97), datang ke IGD kebidanan RSCM pada
tanggal 29 Oktober 2005 pukul 10.00 WIB dirujuk bidan dengan keterangan
ketuban pecah sejak 22 jam SMRS pada G1 hamil 36 minggu. Pasien mengaku
hamil 9 bulan dengan HPHT 18 Februari 2005 dan TP tanggal 25 November 2005,
sesuai dengan hamil 36 minggu. Pasien memeriksakan kehamilannya di bidan
tidak teratur. Pasien mengeluhkan mules-mules sejak 1 hari SMRS dan keluar airair hijau dan berbau amis dari kemaluan sejak 22 jam SMRS, keluar lendir darah
(+) dan gerakan janin (+). Buang air besar dan buang air kecil pasien tidak ada
keluhan. Keputihan (+) gatal dan tidak berbau. Riwayat penyakit dahulu dan
keluarga tidak ada yang bermakna. Pasien adalah seorang ibu rumah tangga,
kehamilan ini merupakan kehamilan yang pertama. Pasien menikah satu kali pada
bulan Agustus 2001. Pasien tidak mempunyai riwayat penggunaan kontrasepsi.
Siklus haid sebelum hamil teratur dengan siklus 28 hari, lama menstruasi 7 hari, 3
kali ganti pembalut perhari dan tidak ada keluhan nyeri haid sebelumnya. Pasien
menarche usia 13 tahun.
Melalui hasil pemeriksaan fisik pasien pada saat datang didapatkan
keadaan umum baik, kesadaran kompos mentis, tekanan darah 110/70 mmHg,
frekuensi nadi 120 kali permenit, suhu 38,4 0C dan frekuensi nafas 20 kali permenit
dengan status generalis lain dalam batas normal.
Pada pemeriksaan status obstetrikus didapatkan TFU 30 cm, presentasi
kepala, TBJ 2800 gram, dan DJJ 180 dpm his 1-2x/10 menit. Hasil inspeksi vulva
dan uretra tenang, hasil pemeriksaan inspekulo didapatkan porsio licin, ostium
uteri terbuka, tampak air ketuban mengalir hijau dan berbau, dilakukan
pemeriksaan LEA dengan hasil positif 2 dan pH 6,5. Pada pemeriksaan dalam
diperoleh porsio kenyal, arah aksial, tebal porsio 3 cm, pembukaan 3 cm dengan
kepala di Hodge II dan selaput ketuban negatif, hasil pelvimetri klinis sesuai
dengan panggul normal dan imbang feto-pelvik (IFP) baik.

Pemeriksaan USG lantai 3 IGD RSCM tampak janin presentasi kepala


tunggal hidup intra uterin dengan DBP 92 cm, AC 314 mm, HC 310 mm FL 67 mm
Tbj 2750 gram plasenta difundus dan air ketuban habis. Kesan hamil 36-37
minggu, janin presentasi kepala tunggal hidup, dengan air ketuban habis.
Pemeriksaan laboratorium ditemukan hemoglobin 10 g/dl, hematokrit 30 %,
leukosit 19.500/ul, trombosit 396.000/ul, MCV 92 fl, MCH 28 pg, dan MCHC 34 g/dl
dengan gula darah sewaktu 122 mg/dl, hasil urinalisis dalam batas normal.
Berdasarkan data yang ada ditegakkan diagnosis G1 hamil 36 minggu, janin
presentasi kepala tunggal hidup dengan ketuban pecah 22 jam, air ketuban habis,
PK I laten dan korioamnionitis. Setelah dilakukan analisis terhadap masalah
tersebut diputuskan untuk dilakukan terapi terminasi kehamilan perabdominam
dengan pemberian antibiotik intra vena ampisillin sulbaktam 3x1,5 gram;
gentamisin 2x80 mg dan metronidazol 3x500 mg sampai 24 jam postpartum.
Dengan operasi sesar lahir bayi laki-laki dengan berat lahir 2700 gram dan
apgar score 9 dan 10. Pasien sempat dirawat sampai dengan hari ke 3 bebas
demam di ruangan dan kemudian pulang bersama bayinya dalam keadaan baik.
Ilustrasi Kasus III
Ny. W, 26 tahun (MR 296-97-27), datang ke IGD kebidanan RSCM pada
tanggal 14 Desember 2005 pukul 00.15 WIB dirujuk bidan dengan keterangan
ketuban pecah sejak 25 jam SMRS pada G1 hamil 39 minggu. Pasien mengaku
hamil 9 bulan dengan HPHT 15 Maret 2005 dan TP tanggal 22 Desember 2005,
sesuai dengan hamil 39 minggu. Pasien memeriksakan kehamilannya di bidan
secara teratur. Pasien mengeluhkan mules-mules sejak 1 hari SMRS dan keluar
air-air dari kemaluan sejak 25 jam SMRS, keluar lendir darah (+) dan gerakan janin
(+). Buang air besar dan buang air kecil pasien tidak ada keluhan. Keputihan (+)
tidak gatal dan tidak berbau. Riwayat penyakit dahulu dan keluarga tidak ada yang
bermakna. Pasien adalah seorang ibu rumah tangga, kehamilan ini merupakan
kehamilan yang pertama. Pasien menikah satu kali pada bulan Januari 2005.
Pasien tidak mempunyai riwayat penggunaan kontrasepsi. Siklus haid sebelum
hamil teratur dengan siklus 28 hari, lama menstruasi 7 hari, 4 kali ganti pembalut

perhari dan tidak ada keluhan nyeri haid sebelumnya. Pasien menarche usia 13
tahun.
Melalui hasil pemeriksaan fisik pasien pada saat datang didapatkan
keadaan umum baik, kesadaran compos mentis, tekanan darah 130/70 mmHg,
frekuensi nadi 108 kali permenit, suhu 38,5 0C dan frekuensi nafas 20 kali permenit
dengan status generalis lain dalam batas normal.
Pada pemeriksaan status obstetrikus didapatkan TFU 32 cm, presentasi
kepala, TBJ 3100 gram, his negatif dan DJJ 186 dpm. Hasil inspeksi vulva dan
uretra tenang, hasil pemeriksaan inspekulo didapatkan porsio licin, ostium uteri
terbuka, tampak air ketuban mengalir hijau, dilakukan pemeriksaan LEA dengan
hasil positif 2 dan pH 8. Pada pemeriksaan dalam diperoleh portio kenyal, arah
aksial, tebal porsio 2 cm, pembukaan 2 cm dengan kepala di Hodge I-II dan
selaput ketuban negatif, hasil pelvimetri klinis sesuai dengan panggul normal dan
IFP baik.
Pemeriksaan USG lantai 3 IGD RSCM tampak janin presentasi kepala
tunggal hidup intra uterin dengan DBP 90 cm, AC 321 mm, HC 315 mm plasenta
difundus, TBJ 2950 gram dan ICA 2. Kesan hamil aterm, janin presentasi kepala
tunggal hidup, dengan oligohidramnion.
Pemeriksaan laboratorium ditemukan hemoglobin 8,4 g/dl, hematokrit 29 %,
leukosit 21.500/ul, trombosit 274.000/ul, MCV 62 fl, MCH 19 pg, dan MCHC 30 g/dl
dengan gula darah sewaktu 113 mg/dl, hasil urinalisis dalam batas normal.
Berdasarkan data yang ada ditegakkan diagnosis G1 hamil 39 minggu, janin
presentasi kepala tunggal hidup dengan ketuban pecah 25 jam belum inpartu,
oligohodramnion dan korioamnionitis. Setelah dilakukan analisis terhadap masalah
tersebut diputuskan untuk dilakukan terapi terminasi kehamilan perabdominam
dengan pemberian antibiotik intra vena ampisillin sulbaktam 3x1,3 gram sampai 24
jam postpartum.
Dengan operasi sesar lahir bayi laki-laki dengan berat lahir 3100 gram dan
apgar score 8 dan 9. Pasien sempat dirawat sampai dengan hari ke 2 bebas
demam di ruangan dan kemudian pulang bersama bayinya dalam keadaan baik.

Ilustrasi Kasus IV
Ny. R, 27 tahun (MR 296-96-45), datang ke IGD kebidanan RSCM pada
tanggal 14 Desember 2005 pukul 00.45 WIB dirujuk bidan dengan keterangan
ketuban pecah sejak 1 jam SMRS pada G1 hamil 39-40 minggu. Pasien mengaku
hamil 9 bulan dengan HPHT 3 Maret 2005 dan TP tanggal 10 Desember 2005,
sesuai dengan hamil 40 minggu. Pasien memeriksakan kehamilannya di bidan
secara teratur. Pasien mengeluhkan mules-mules sejak 1 hari SMRS dan keluar
air-air kehijauan dari kemaluan sejak 1 jam SMRS, keluar lendir darah (+) dan
gerakan janin (+). Buang air besar dan buang air kecil pasien tidak ada keluhan.
Riwayat penyakit dahulu dan keluarga tidak ada yang bermakna. Pasien adalah
seorang ibu rumah tangga, kehamilan ini merupakan kehamilan yang pertama.
Pasien belum menikah namun melakukan hubungan suami istri satu kali 1 tahun
yang lalu dengan pasangan tetap. Siklus haid sebelum hamil teratur dengan siklus
30 hari, lama menstruasi 5 hari, 2 kali ganti pembalut perhari dan tidak ada
keluhan nyeri haid sebelumnya. Pasien menarche usia 12 tahun.
Melalui hasil pemeriksaan fisik pasien pada saat datang didapatkan
keadaan umum baik, kesadaran kompos mentis, tekanan darah 120/70 mmHg,
frekuensi nadi 80 kali permenit, suhu 37,1 0C dan frekuensi nafas 20 kali permenit
dengan status generalis lain dalam batas normal.
Pada pemeriksaan status obstetrikus didapatkan TFU 30 cm, presentasi
kepala, TBJ 2800 gram, his negatif dan DJJ 142 dpm. Hasil inspeksi vulva dan
uretra tenang, hasil pemeriksaan inspekulo didapatkan porsio licin, ostium uteri
terbuka, tampak air ketuban mengalir kuning dan tidak berbau, dilakukan
pemeriksaan LEA dengan hasil negatif dan pH 6,5. Pada pemeriksaan dalam
diperoleh porsio kenyal, arah aksial, tebal porsio 2 cm, pembukaan 1 cm dengan
kepala di Hodge I-II dan selaput ketuban negatif, hasil pelvimetri klinis sesuai
dengan panggul normal dan IFP baik.
Pemeriksaan USG lantai 3 IGD RSCM tampak janin presentasi kepala
tunggal hidup intra uterin dengan DBP 92 cm, AC 320 mm, FL 74 mm plasenta
difundus, TBJ 2950 gram, dan ICA 6. Kesan hamil aterm, janin presentasi kepala
tunggal hidup, dengan air ketuban berkurang.

Pemeriksaan laboratorium ditemukan hemoglobin 11,7 g/dl, hematokrit 35


%, leukosit 12.400/ul, trombosit 236.000/ul, MCV 80 fl, MCH 27 pg, dan MCHC 33
g/dl dengan gula darah sewaktu 102 mg/dl, hasil urinalisis dalam batas normal.
Berdasarkan data yang ada ditegakkan diagnosis G1 hamil 40 minggu, janin
presentasi kepala tunggal hidup dengan ketuban pecah 1 jam, air ketuban
berkurang, belum inpartu. Setelah dilakukan analisis terhadap masalah tersebut
diputuskan untuk dilakukan terapi terminasi kehamilan pervaginam dengan
pemberian antibiotik intra vena ampisillin sulbaktam dilanjutkan oral 2 x 375 mg
dan pematangan serviks dengan misoprostol 4 x 25 g.
Hasil pemeriksaan CTG didapatkan kesan non reaktif dengan frekuensi
dasar 145 dpm tanpa akselerasi dengan deselerasi variabel sehingga dilakukan
resusitasi intrauterin. Pasca resusitasi dilakukan pemeriksaan CTG ulang dengan
hasil yang masih sama, sehingga diambil sikap untuk amnioinfusi. Setelah
dilakukan amnioinfusi dengan NaCl 0,9% 500 cc diulang pemeriksaan CTG
dengan kesan NST reaktif. Karena ditakutkan dapat menyebabkan takisistol maka
pematangan servix diganti modalitasnya dengan pemberian oksitosin 5 IU/500 cc
RL 8 tetes permenit.
Dalam 11 jam observasi pasien kemudian demam dengan tekanan darah
110/70 mmHg, frekuensi nadi 106 x/mnt dan suhu 38 0 C dengan pernafasan 20
x/mnt, status generalis lain didapatkan normal. Hasil pemeriksaan DPL ulang
dengan leukosit 20.500/L dengan DJJ 170 x/mnt, his 2x/10 mnt dengan lama 30
detik dan tampak keluar air-air dari kemaluan berwarna kehijauan.
Berdasarkan masalah tersebut ditegakkan diagnosis G1H41 minggu janin
presentasi kepala tunggal hidup dalam pematangan serviks dengan oksitosin dan
korioamnionitis. Direncanakkan tindakan terminasi kehamilan perabdominam.
Dengan operasi sesar lahir bayi laki-laki dengan berat lahir 2900 gram dan
apgar score 8 dan 9. Pasien sempat dirawat sampai dengan hari ke 3 bebas
demam di ruangan dan kemudian pulang bersama bayinya dalam keadaan baik.

B A B III
TINJAUAN PUSTAKA
Korioamnion
Pada kehamilan aterm korioamnion berbentuk selaput yang licin dan kuat.
Selaput amnion merupakan selaput terdalam yang langsung kontak dengan cairan
amnion. Selaput ini avaskuler tetapi berperan penting dalam proses kehamilan
untuk mempertahankan tegangan selaput janin. Oleh karena itu perkembangan
komponen-komponen selaput amnion yang mencegah ruptur atau robek
merupakan hal yang penting untuk keberhasilan kehamilan.
Struktur lapisan jaringan amnion
Bourne (1962) menjelaskan 5 lapisan jaringan amnion, yaitu :
Permukaan dalam yang langsung kontak dengan cairan amnion adalah lapisan
yang terdiri dari selapis sel kuboid yang berasal dari ektoderm embrional. Lapisan
epitel ini melekat erat pada membran basalis yang berhubungan dengan lapisan
jaringan padat aseluler yang disusun oleh kolagen.
Pada sisi lain lapisan padat tersebut, terdapat rangkaian sel mesenkim yang
menyerupai fibroblast (fibroblast-like mesenchymal cells). Lapisan terluar dari
amnion adalah zona spongiosa aseluler yang langsung berhubungan dengan
selaput janin yang kedua yaitu : chorion leave. Elemen penting yang 'hilang' dalam
amnion manusia adalah sel otot, polos, syaraf, limfe dan pembuluh darah.
Pembuluh darah ditemukan di lapisan retikuler yang merupakan bagian dari
lempeng korion/chorionic plate plasenta. Sebagaimana terlihat pada gambar 1
selaput korion terdiri dari lapisan seluler, lapisan retikuler, dan psedobasemen
membran yang langsung berbatasan dengan lapisan trofoblas. Dari semua lapisan
korioamnion, terdapat 2 lapisan yang paling menarik perhatian yaitu: epitel amnion
karena kontak langsung dengan cairan amnion sehingga merupakan lapisan yang
paling depan, dan lapisan spongiosa karena lapisan ini mempunyai peran penting
dalam pembentukan amniotic strands/jerat amnion.

10

Gambar 1. Struktur membran fetal pada saat aterm 12

Selaput ketuban terutama dibentuk oleh jaringan amnion yaitu jaringan yang
memberikan kekuatan dan kelenturan pada selaput ketuban, karena itu
pengetahuan tentang perkembangan perangkat jaringan amnion yang memberikan
perlindungan terhadap risiko pecahnya ketuban sebelum proses persalinan,
sangat penting untuk dipahami. Walaupun tidak mengandung pembuluh darah,
jaringan amnion memiliki aktivitas metabolik yang aktif Jaringan ini secara aktif
mempertahankan homeostasis cairan amnion melalui pertukaran solute dan air
pada lapisan epitel. Jaringan ini juga menghasilkan senyawa-senyawa bioaktif
termasuk peptida vasoaktif, faktor-faktor pertumbuhan (growth factors) dan sitokin.
Definisi dan Prevalensi
Korioamnionitis merupakan infeksi akut pada cairan ketuban, janin dan
selaput korioamnion yang disebabkan oleh bakteri. 2 Pada kehamilan cukup bulan,
korioamnionitis didiagnosa pada sekitar 5% kehamilan. 6 Infeksi ini merupakan
manifestasi suatu infeksi intrauterin dan seringkali berhubungan dengan ketuban
pecah dini dan persalinan lama. Bila lekosit mononuklear dan polimorfonuklear

11

menembus

korion,

secara

mikroskopis

sudah

dapat

dikatakan

sebagai

korioamnionitis. Sekitar 25% infeksi intrauterin disebabkan oleh ketuban pecah


dini. Makin lama jarak antara ketuban pecah dengan persalinan, makin tinggi pula
resiko morbiditas dan mortalitas ibu dan janin.

2-5

Gambar 2. Tempat-tempat yang berpotensi terjadinya infeksi bakteri dalam uterus 13

Etiologi
Bakteri penyebabnya biasanya polimikrobial dan biasanya mencakup
bakteri fakultatif dan anaerob. Bakteri yang paling sering ditemukan adalah
bakterial

vaginosis

yang

mencakup

spesies

Bacteroides,

Fusobacterium,

Gardnerella vaginalis dan M. Hominis. Bakteria fakultatif yang sering ditemukan


adalah Streptococcus grup B dan E. Coli. 5,9,12,13

12

Korioamnionitis seringkali merupakan suatu proses polimikrobial dimana


organisme penyebabnya seringkali multipel. Mikrobiologi korioamnionitis telah
banyak diteliti, akan tetapi hasilnya masih sering kontroversial. Organisme
penyebab sepsis puerperalis dan korioamnionitis adalah Streptokokus hemolitikus,
yang sejak tahun 1930-1949 disebut Streptokokus serta hemolitikus (Grup B).
Selanjutnya beberapa bakteri lain seperti Streptokokus anaerobik, Chlamydia
trachomatis, Mycoplasma dan Cytoplasma dan Cytomegalovirus juga disebutkan
sebagai penyebab korioamnionitis. Gibbs dan kawan-kawan pada tahun 1982
mengidentifikasi mikroorganisme yang ditemukan dalam air ketuban pasien
dengan korioamnionitis dengan hasil Bacteriodes Sp (25%), Gardnerella vaginalis
(24%), grup streptokokkus (GBS) (12%), streptokokus aerobik jenis lain (13%), E
coli (10%), dan Gram negatif lain (10%).14
Hampir semua bakteri dominan dalam penelitian tersebut merupakan
bakteri-bakteri dominan pula yang ditemukan pada apus vagina wanita dengan
vaginosis bakterial. Sehingga banyak penelitian menghubungkan kejadian dengan
vaginosis bakterial dengan komplikasi korioamniotis.
Akhir-akhir ini diketahui bahwa Streptokokus epidemis yang dianggap
sebagai bakteri komensal juga dapat menyebabkan infeksi plasenta dan janin.
Patofisiologi
Infeksi biasanya terjadi karena infeksi asending dari mikroorganisme dari
serviks dan vagina setelah terjadinya ketuban pecah dan persalinan. 5,9 Penyebab
yang lebih jarang adalah infeksi transplasental yang merupakan penyebaran
hemotogen dari bakteremia maternal dan induksi bakteri pada cairan amnion
akibat iatrogenik pada pemeriksaan amniosentesis dan kordosentesis. Faktor
resiko terjadinya korioamnionitis adalah meningkatnya durasi pecahnya ketuban
dan persalinan, penggunaan monitor fetal internal, jumlah pemeriksa dalam
selama persalinan, nulipara, dan adanya bakterial vaginosis.
Kolonisasi bakteri yang abnormal pada rektum dan anus selama kehamilan
dapat menyebabkan lingkungan mikrobiologi vagina dan serviks menjadi abnormal
pula. Lebih dari 2 dekade yang lalu terdapat penelitian yang membuktikan bahwa
kolonisasi rekto-vagina dari Grup B Streptokokus (GBS) selama kehamilan

13

memiliki hubungan yang bermakna dengan angka kejadian infeksi pada bayi baru
lahir.11
Korioamnionitis terjadi paling sering saat persalinan sesudah pecahnya
selaput ketuban. Selain itu, pada keadaan yang jarang korioamnionitis dapat
terjadi pasca amniosentesis alau pasca transfusi intrauterin Pada keadaan yang
sangat jarang dapat juga terjadi korioamnionitis walaupun selaput ketuban intak.
Selama kehamilan, mukus serviks dan selaput ketuban berfungsi sebagai barier
yang efektif mencegah invasi kuman ke rongga amnion. Sebelum masa
persalinan, sangat jarang ditemukan bakteri dalam rongga amnion. Saat selaput
ketuban sudah pecah, maka infeksi asendens bakteri sangat mudah dan cepat
terjadi.15
Bakteremia dapat terjadi pada 3 % neonatus yang lahir dari ibu dengan
korioamnionitis dengan pecahnya selaput ketuban pada kurang dari 24 jam prapersalinan. Bila pecahnya selaput ketuban terjadi lebih dari 24 jam sebelumnya
maka 17 % neonatus akan mengalami bakteremia.15
Untuk

menghadapi

invasi

bakteri pada

rongga amnion,

leukosit

polimorfonuklear bermigrasi ke cairan amnion segera setelah pecahnya selaput


ketuban. Infeksi bakteri sangat mudah terjadi bila terdapat inokulasi organisme
patogen dalam jumlah besar atau pada keadaan menurunnya status imun host.
Namun demikian, sulit diprediksikan pasien mana yang akan mengalami infeksi
sebelum hal tersebut terjadi. Pemeriksaan vagina dapat memberikan petunjuk
adanya infeksi selama proses persalinan dan pasca pecahnya selaput ketuban.
Pada keadaan selaput ketuban yang masih intak, korioamnionitis sangat
jarang terjadi. Kalaupun ada, hal tersebul mungkin disebabkan oleh infeksi Listeria
monosytogenes, batang Gram positif anaerob. Listeria dapat menginfeksi janin
secara hematogen (infeksi transplasental) dan dapat menyebabkan kematian
janin. Gejala pada ibu bisa hanya berupa demam ringan dan jarang menyebabkan
sepsis pada ibu. Pada beberapa kasus, dapat pula ditemukan ibu yang
asimptomatik. Selain Listeria, Streptokokus group A juga dapat menyebabkan
infeksi janin dan rongga amnion pada selaput ketuban yang masih intak.
Persalinan prematur terjadi pada sebagian kasus yang mengalami kolonisasi
bakteri pada cairan amnion.15

14

Ketika korioamnionitis sudah terjadi, maka janin memiliki risiko tinggi


terhadap terjadinya pneumonia neonatal ataupun kongenital akibat aspirasi cairan
amnion yang terinfeksi. Komplikasi lain dapat berupa sepsis dan meningitis.
Komplikasi pada ibu akibat korioamnionitis yang terjadi meliputi miometrisis,
peritonitis, septis flebitis pelvik, sepsis, hingga kematian ibu.
Dengan dimulainya persalinan atau bila terjadi pecahnya ketuban sebelum
waktunya maka koloni bakteri baik komensal maupun patologi dapat "naik" ke
dalam jalan lahir dan masuk kedalam rongga amnion. Kejadian ini adalah
patogenesis utama dari korioamnionitis. Selain itu korioamnionitis dapat juga
merupakan suatu proses transplasental hematogen seperti pada infeksi L.
Monocytogenes. Korioamnionitis juga merupakan konsekuensi dari prosedur
obstetri lain seperti misalnya, akibat dari pemasangan cervical cerclage (2-8%),
akibat dari amniosentesis (1%), dan sekitar 5% pada pasien pasca transfusi
intrauterin.14
Organisme penyebab infeksi menyebar pertama kali ke dalam ruang
koriodesidual, pada beberapa kasus mereka dapat melintas melalui membran
korioamnion yang masih utuh dan masuk kedalam cairan amnion. Hal ini secara
absolut menyebabkan infeksi pada fetus. 13
Setiap kehamilan yang diketahui memiliki korioamnionitis akan membawa
faktor risiko lanjut berupa :
1. Prematuritas
2. Ketuban pecah dini.
Banyak penelitian yang menghubungkan antara korioamnionitis dengan
persalinan prematur. Teori yang paling banyak dipergunakan saat ini adalah teori
yang menyatakan bahwa invasi bakteri dari ruang koriodesiduallah yang memulai
terjadinya proses persalinan preterm. Hal ini dikarenakan pelepasan endoktoksin
dan eksotoksin oleh bakteri akan mengaktivasi desidua dan membran fetus untuk
memproduksi beberapa sitokin. Diantaranya tumor necrosis factor- (TNF-),
interleukin-1 , interleukin l , interleukin-6, interleukin-8 dan granulocyte colonystimulating faktor (GCsF). Kemudian seluruh sitokin, endotoksin dan eksotoksin
akan menstimulasi sintesa prostaglandin dan pelepasannya dan juga menginisiasi
kemotaksis, infiltrasi dan aktivasi netrofil. Yang akan terakumulasi dengan sintesa
dan pelepasan metaloproteases dan komponen bioaktif lainnya. 13

15

Gambar 3. Mekanisme terjadinya PROM12

Prostaglandin

akan

menstimulasi

kontraksi

uterus

sementara

metalloprotease akan menyerang mebran korioamnion yang akan menyebabkan


pecahnya membran. Metalloprotease juga akan membentuk kolagen di serviks
yang menyebabkan terjadinya perlunakan serviks. 13
Hipotesis lain mengenai infeksi yang menyebabkan terjadinya persalinan
prematur melibatkan janin itu sendiri. Pada janin yang terinfeksi terjadi peningkatan
kadar sekresi kortikotropin fetal akibat dari peningkatan kumulatif Corticotrophin
Releasing Hormone (CRH) dari hipotalamus janin dan produksi CRH plasenta. Hal
ini pada akhirnya meningkatkan kadar produksi adrenal fetus berupa peningkatan
kortisol. Peningkatan kadar kortisol berhubungan dengan peningkatan kadar
prostaglandin.13

16

Gambar 4. Mekanisme terjadinya preterm delivery 13

Mortalitas Maternal dan Perinatal


Korioamnionitis

mengakibatkan

mortalitas

perinatal

yang

signifikan,

terutama pada neonatus dengan berat lahir rendah. Secara umum terjadi
peningkatan 3-4 kali lipat kematian perinatal diantara neonatus dengan berat lahir
rendah yang dilahirkan oleh ibu dengan korioamnionitis. 4,9 Selain itu terjadi juga
peningkatan

kejadian

respiratory

distress

syndrome

(RDS),

hemoragia

intraventrikular, dan sepsis neonatal.


Berlawanan dengan kejadian pada bayi dengan berat lahir rendah, di
negara maju neonatus cukup bulan yang lahir dari ibu dengan korioamnionitis
dapat bertahan dengan baik. Hanya sedikit bahkan tidak terjadi peningkatan
mortalitas perinatal, risiko sepsis dan pneumonitis juga jarang terjadi pada

17

neonatus cukup bulan. Namun pada negara berkembang, dilaporkan pneumonia


kongenital akibat infeksi intraamnion merupakan salah satu penyebab tersering
kematian pada neonatus cukup bulan.9
Korioamnionitis

jarang

mengakibatkan

mortalitas

maternal,

namun

merupakan penyebab signifikan terjadinya morbiditas maternal. Bakteremia terjadi


pada 2-5% kasus dan terjadi peningkatan kejadian infeksi postpartum. 9
Korioamnionitis intrapartum meningkatkan resiko infeksi purpuralis setelah
persalinan pervaginam menjadi 13%, dibandingkan dengan 6% jika tidak ada
korioamnionitis intrapartum.10,16
Diagnosis
Dari berbagai penelitian diketahui tanda dan gejala klinis korioamnitis meliputi 11 :
1. Demam (suhu intrapartum > 100.4F atau > 37.8C)
2. Tahikardi maternal yang signifikan (> 120 x/menit)
3. Tahikardia fetus (> 160 x/menit)
4. Cairan ketuban atau lendir vagina berbau atau tampak purulen
5. Uterus teraba tegang
6. Leukositosis maternal (Leukosit 15000-18000 sel/mm3)
Bila 2 dari 6 gejala tersebut ditemukan pada kehamilan maka risiko
terjadinya neonatal sepsis meningkat.
Namun korioamnionitis seringkali bukan suatu gejala akut namun
merupakan suatu proses kronis dan tidak menunjukkan gejala sampai persalinan
dimulai atau terjadi pecah ketuban dini. Bahkan sampai setelah persalinan
sekalipun pada wanita yang terbukti memiliki korioamnionitis (melalui pemeriksaan
histologis atau kultur) dapat tidak ditemukan tanda klasik diatas selain tanda-tanda
prematuritas. Ibu datang tanpa demam, nyeri perut, leukositosis dan tanpa
tahikardi janin13,17.
Leukositosis pada kasus korioamnionitis merupakan suatu parameter yang
inkonsisten. Sehingga dicari beberapa metode laboratorium lain yang diharapkan
dapat membantu penegakan diagnosis, beberapa diantaranya seperti pemeriksaan
serum CRP (C-Reactive Protein) maternal, pemeriksaan esterase leukosit cairan
amnion, deteksi asam organik bakterial dengan kromatografi gas-likuid, dan
pemeriksaan biophysical profile secara ultrasonografi. 11,18

18

Pemeriksaan langsung dari cairan amnion dapat memberikan kriteria yang


lebih pasti dari korioamnionitis. Pemeriksaan dilakukan dengan aspirasi cairan
amnion menggunakan intrauterine pressure cathether pada 50% kasus. Pada
pasien dengan suspek korioamnionitis, kadar glukosa cairan amnion yang rendah
merupakan prediktor yang baik dari hasil positif kultur cairan amnion namun
merupakan prediktor yang buruk untuk korioamnionitis secara klinis 14.
Diagnosis korioamnionitis terutama berdasarkan kriteria klinis. Yang
terpenting adalah demam (suhu tubuh >= 38C) pada ibu, tanpa adanya bukti
penyebab lain. Demam maternal hampir selalu terjadi. Gejala klinis lain yaitu
leukositosis perifer maternal, takikardi fetal dan atau maternal, nyeri rahim atau
bau busuk pada cairan amnion. Namun, gejala klinis lain ini tidak selalu muncul
dan ketidakmunculannya tidak mengeksklusi diagnosis korioamnionitis.

4,5,9

Karena gejala klinis muncul tidak konsisten, beberapa tes laboratorium telah
digunakan untuk membantu diagnosis :

5,9

- C-reactive protein. Peningkatan kadar C-reaktif protein memiliki spesifisitas yang


tinggi untuk diagnosis korioamnionitis. Kadar C-reaktif protein rata-rata pada
kehamilan adalah 0,7 - 0,9 mg/dl. Terdapat peningkatan sedikit selama persalinan.
- Pemeriksaan langsung cairan amnion untuk pewamaan gram dan pemeriksaan
leukosit.

Ditemukannya

bakteri

apapun

merupakan

diagnostik

untuk

korioamnionitis. Ditemukannya bakteri gram positif memiliki nilai prediktif positif


(positive predictive value=PPV) 93,3% dan gram negatif 85,4% nilai prediktif
negatif (negative predictive value=NPV). Akurasi tes ini tergantung dari konsentrasi
bakteri saat pengambilan sampel, pada tahap awal infeksi mungkin didapatkan
hasil negatif. Ditemukannya leukosit pada cairan amnion bukan merupakan indeks
yang akurat untuk infeksi. Namun jika didapatkan peningkatan leukosit tanpa
ditemukannya bakteri dapat dicurigai infeksi oleh Mycoplasma. Jika tidak
ditemukan bakteri dan leukosit pada pewarnaan kemungkinan infeksi < 5%.
- Leukosit Esterase Antigen pada cairan amnion. Tes positifmemiliki sensitifitas
91% dan nilai prediktifpositif (PPV) 95%.
- Kultur cairan amnion. Dapat mengidentifikasi mikroorganisme penyebab infeksi
dan dapat pula digunakan untuk menilai sensitivitas mikroorganisme terhadap
antibiotik.

19

- Pengukuran konsentrasi glukosa cairan amnion. Kadar yang rendah merupakan


tanda lain terjadinya infeksi intra amnion
- Deteksi asam organik bakteri dengan menggunakan kromatografi gas-cairan.
Tehnik ini cukup sensitif namun memerlukan alat yang rumit dan tidak praktis.
- Pemeriksaan profil biofisik janin. Tidak adanya pernafasan dan gerak badan
dalam durasi observasi 30 menit, diasosiasikan dengan korioamnionitis pada
hampir 100% kasus. Jika didapatkan hal tersebut selama 30 detik atau lebih dalam
durasi observasi 30 menit, kemungkinan infeksi < 5%. Selain itu, tanda awal
adanya infeksi fetus mengancam adalah NST yang tidak reaktif dan episode gerak
hanya beberapa detik saja.
Hasil pemeriksaan mikroskopik yang menunjang diagnosis korioamnionitis
adalah

ketika

terlihat

set

leukosit

mononuklear

dan

polimonorfonuklear

menginfiltrasi selaput korion. Sebelum 20 minggu hampir semua sel leukosit


polimorfonuklear adalah sel yang berasal dari ibu, sedangkan selanjutnya
merupakan respon inflamasi dari janin.8
Namun tidak satupun yang cukup sensitif dan spesifik digunakan secara
independen

terlepas

dari

gejala

dan

tanda

klinis

untuk

mendiagnosis

korioamnionitis.
Telah

disebutkan

sebelumnya

bahwa

terjadinya

korioamnionitis

berhubungan dengan ketuban pecah dini. Untuk mendiagnosa adanya ketuban


pecah dapat dilakukan pemeriksaan inspekulo (untuk melihat adanya genangan
atau rembesan cairan amnion), nitrazin tes, tes daun pakis, tes evaporasi, USG,
fluoresen intraamnitik, tes diamin oksidase, fibronektin janin dan pemeriksaan AFP
pada sekret vagina. 5,19
Sejumlah faktor-faktor yang hadir bersamaan dapat menyulitkan diagnosis
misalnya, pemeriksaan fundus berulang dapat menyebabkan nyeri tekan uterus,
pemberian kortikosteroid dapat menyebabkan leukositosis ringan, dan persalinan
sendiri

dapat

dikaitkan

dengan

ieukositosis.

Bila

diagnosis

amnionitis

meragukan,dapat dilakukan amniosentesis untuk mencari bukti yang lebih pasti. 20

20

Penatalaksanaan
Prenatal dan Persalinan
Wanita dengan korioamnionitis sebaiknya mendapat terapi antimikroba dan
janin

dilahirkan

tanpa

memandang

usia

gestasi.3,9,19,21

Mengingat

bahwa

penyebabnya adalah polimikrobial, sebaiknya digunakan antibiotika intravena


berspektrum luas. Untuk sebagian besar kasus, cukup digunakan antibiotika
tunggal. Regimen intravena yang direkomendasikan termasuk cefoxitin (4x2gr),
cefotetan (2x2gr), piperasilin atau mezlocilin (4x3-4gr), ampisilin sulbaktam
(4x3gr), tikarsilin/klavulanat (4x3gr). Namun untuk kasus yang lebih serius
misalnya sepsis atau infeksi anaerob serius dengan adanya cairan amnion berbau
busuk, terapi kombinasi yang terdiri dari penisilin atau ampisilin, aminoglikosida
dan agen anaerob seperti klindamisin (3x900gr) sebaiknya digunakan. 9 Dosis
ampisilin yang digunakan adalah 2 gr tiap 4 atau 6 jam, gentamisin 1,5mg/kg tiap 8
jam.22 Literatur lain menganjurkan pemberian gentamisin 5mg/kgBB/hari dosis
tunggal.2,23

Altematif lain pengganti terapi kombinasi adalah terapi tunggal

menggunakan imipenam/cilastatin (4x500gr), namun penggunaannya

pada

kehamilan belum banyak diteliti.9


Antibiotika

seharusnya

diberikan

secepatnya

setelah

diagnosis

korioamnionitis ditegakkan. Sebab dari penelitian telah dibuktikan bahwa


pemberian terapi intrapartum dibandingkan dengan postpartum akan menurunkan
kejadian sepsis & pneumonia neonatal dan morbiditas postpartum ibu. 9,24
Pemberian antibiotika sesegera mungkin (tanpa menunggu bayi lahir) memberi
dampak pada terapi antibiotika pada janin. Jika antibiotika diberikan intrapartum,
maka pemberian antibiotika untuk bayi diberikan terus menerus selama 7 hari.
Namun jika antibiotika ibu diberikan setelah kelahiran bayi, maka dapat diperiksa
kultur darah bayi dan antibiotika dapat dihentikan pada hari ke-3 jika kultur tidak
tumbuh.9
Durasi pemberian antibiotika pada kasus korioamnionitis belum ada protokol
yang

baku. Suatu literatur menyebutkan pemberian antibiotika intravena

dilanjutkan hingga 48-72 jam bebas demam, kemudian dilanjutkan dengan


antibiotika oral.27 Literatur menyarankan pemberian terapi parenteral hingga 1-2
hari postpartum, tanpa tambahan antibiotika oral sesudahnya. 9

21

Persalinan sebaiknya pervaginam4,5,9. Jika persalinan tidak timbul spontan,


maka dilakukan induksi persalinan.2,4 Induksi persalinan dapat dilakukan dengan
medikamentosa dan dapat pula dengan cara mekanik. Pemberian medikamentosa
dilakukan dengan pemberian prostaglandin E2 ( Dinoproston ), prostaglandin E1
(Misoprostol) dan Oksitosin. Cara mekanik adalah dengan balon kateter
transservikal, dapat ditambahkan dengan infus salin ekstra amnion, laminaria dan
striping membran.28
Persalinan perabdominam meningkatkan resiko demam postpartum akibat
infeksi (endometritis) pada ibu. Seksio sesarea sendiri meningkatkan resiko
endometritis dari 10% (pada persalinan pervaginam) menjadi 30%, dan
kejadiannya semakin meningkat dengan adanya korioamnionitis pada saat
dilakukan seksio.15 Terjadi peningkatan morbiditas ibu 5 kali lipat jika dibandingkan
dengan persalinan pervaginam.

3,5

Keputusan pengakhiran kehamilan sangat dipengaruhi oleh riwayat pasien,


gambaran klinis dan kemampuan perinatologi yang tersedia. Pilihan ini juga perlu
mempertimbangkan kehamilan dan persalinan berikutnya pada pasangan tersebut.
Data di RSCM pada tahun 2005 terdapat 33 bayi yang lahir hidup dengan berat
kurang dari 1000 gram, dengan presentase kematian bayi sebesar 48,48% (16 dari
33 bayi).27
Persalinan perabdominam dilakukan berdasarkan indikasi obstetrik. 4 Seksio
sesarea dapat pula dipertimbangkan bila diperkirakan persalinan belum selesai
dalam interval 12 jam setelah diagnosis ditegakkan. Hal ini didasarkan dari suatu
penelitian yang mengemukakan tidak terdapatnya peningkatan infeksi neonatus
jika interval antar diagnosis dan persalinan kurang dari 12 jam, namun peningkatan
kejadian infeksi neonatus setelah interval 12 jam belum dapat dipastikan.
Sehingga, jika interval antara diagnosis dengan persalinan diperkirakan lebih dari
12 jam, persalinan perabdominam bijaksana untuk dipertimbangkan. 5,9 Penelitian
tahun 2004 menunjukkan bahwa lamanya durasi diagnosis korioamnionitis dan
seksio sesarea berhubungan dengan terjadinya atonia uteri, transfusi darah ibu,
perawatn ibu di ICU dan skor apgar menit < 3.21

22

Masa Nifas
Durasi pemberian antibiotika setelah persalinan belum dapat dipastikan.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, salah satu literatur menyarankan
pemberian terapi parenteral hingga 1-2 hari postpartum, tanpa tambahan
antibiotika oral sesudahnya. 9 Literatur menyebutkan pemberiannya dilanjutkan
hingga 48-72 jam bebas demam dan dilanjutkan dengan antibiotika oral. 26 Namun
penelitian oleh Turnquest dkk 28 menyimpulkan bahwa pemberian antibiotika pada
pasien pascaseksio sesarea dengan korioamnionitis tidak menurunkan risiko
terjadinya endometritis dibandingkan dengan dosis preoperatif tunggal.
Buku panduan praktis pelayanan kesehatan maternal dan neonatal
membedakan pemberian antibiotika masa nifas berdasarkan jenis persalinan.
Pada persalinan pervaginam pemberian antibiotika dihentikan pasca persalinan.
Namun jika persalinan dengan seksio sesarea, diberikan tambahan metronidazol
3x500mg IV hingga 48 jam bebas demam.23

23

PEMBAHASAN KHUSUS
Diagnosa korioamnionitis pada kasus I s/d IV ditegakkan atas dasar
ditemukannya demam pada ibu dengan temperatur >= 38 C. Demam pada ibu
hampir selalu ditemukan pada seluruh kasus korioamnionitis. Selain itu didapatkan
takikardi ibu, takikardi janin dan leukositosis ibu >= 18.000/uL dan ditemukannya
air ketuban yang berbau. Pada kasus-kasus ini tidak didapatkan nyeri pada uterus
namun tidak ditemukannya tanda tersebut, seperti yang diterangkan pada tinjauan
pustaka, tidak mengeksklusi diagnosis korioamnionitis.
Risiko terjadinya korioamnionitis pada kasus-kasus ini adalah ketuban
pecah dini yang terjadi sebelum masuk rumah sakit. Terjadinya ketuban pecah dini
pada kasus-kasus tersebut dapat diketahui dari anamnesis, pemeriksaan fisk
maupun pemeriksaan penunujang. Berdasarkan anamnesis didapatkan keluhan
keluar air-air terus-menerus secara tiba-tiba dan tidak dapat ditahan dari
kemaluan. Berdasarkan pemeriksaan fisik, didapatkan bukti telah terjadinya
ketuban pecah dengan tidak ditemukannya selaput ketuban pada pemeriksaan
dalam

serta

ditemukannya

rembesan

air

ketuban

berwarna

kehijauan.

Pemeriksaan penunjangpun dapat dilakukan untuk mengetahui terjadinya pecah


ketuban dengan melakukan fern test atau nitrazin tes, suatu tes yang sederhana
dan murah. Pada kasus I dan IV pasien datang tidak dalam keadaan demam
namun setelah observasi beberapa jam di IGD pasien mengeluh demam, maka
pada kasus tersebut dapat dipikirkan kemungkinan adanya suatu infeksi iatrogenik,
karena itu akan lebih baik bila pada kasus-kasus tersebut turut dilampirkan hasil
pemeriksaan bakterial vaginosis.
Persalinan pada kasus I dipilih pervaginam yang dipercepat (akselerasi)
dengan oksitosin drip dan diharapkan bayi sudah dapat lahir dalam waktu kurang
dari tujuh jam. Dalam empat jam observasi pasien mengalami korioamnionitis
dengan hasil CTG non reaktif takikardi dan direncanakan seksio sesarea cito. Dari
rekam medis didapatkan keterangan bahwa operasi seksio sesaria terlambat
dikerjakan oleh karena kurangnya tenaga anestesi (pada saat itu sedang
berlangsung 2 operasi) sehingga dalam persiapan seksio sesarea pasien ingin
meneran dan masuk dalam fase kala II persalinan sehingga diputuskan untuk
mempercepat persalinan dengan ekstraksi forcep sehingga lahir bayi dengan

24

apgar score 6 dan 7. Pasien sempat dirawat 2 hari di ruangan dan pulang bersama
bayinya dalam keadaan baik.
Persalinan pada kasus-kasus berikutnya dipilih perabdominam segera
setelah ibu didiagnosis korioamnionitis dan dilahirkan bayi dengan apgar score
yang lebih baik dari kasus I. Pasien-pasien ini umumnya dirawat sampai 2-3 hari
bebas demam di ruangan dan pulang bersama bayinya dalam keadaan baik. Pada
bkasus keempat dapat dipikirkan kemungkinan adanya infeksi akibat tindakan
amnioinfusi, karena itu sangat penting untuk dipikirkan akan risk and benefit dalam
menentukan suatu tindakan yang akan dilakukan, termasuk dalam melakukan
suatu pemeriksaan dalam.
Pada kasus-kasus ini penatalaksanaan yang dilakukan sudah sesuai
dengan literatur yaitu pemberian antibiotika dan terminasi kehamilan. Persalinan
sebaiknya dilakukan pervaginam bila dipikirkan persalinan dapat terjadi dalam
waktu kurang dari 12 jam dengan monitoring ketat keadaan janin dan ibu, namun
bila persalinan tidak dapat terjadi dalam waktu kurang dari 12 jam dan atau
terdapat tanda-tanda distress janin maka persalinan perbdominam dapat dilakukan
Jenis antibiotika yang dipakai juga sesuai, yaitu ampisilin sulbaktam yang memiliki
spektrum luas. Dari literatur disebutkan persalinan sebaiknya pervaginam 4,5,9.
Persalinan perabdominam meningkatkan resiko demam postpartum akibat infeksi
(endometritis) pada ibu. Seksio sesarea sendiri meningkatkan resiko endometritis
dari 10% (pada persalinan pervaginam) menjadi 30%, dan kejadiannya semakin
meningkat dengan adanya korioamnionitis pada saat dilakukan seksio. 29
Persalinan perabdominam dilakukan berdasarkan indikasi obstetrik. 4 Seksio
sesarea dapat pula dipertimbangkan bila diperkirakan persalinan belum selesai
dalam interval 12 jam setelah diagnosis ditegakkan. Pada kasus-kasus ini akan
lebih baik bila dilakukan kultur cairan amnion untuk menentukan etiologi dan juga
sensitivitas mikroorganisme terhadap antibiotika
Dari literatur didapatkan kejadian distress pada janin pada kasus ketuban
pecah dini sebesar 7,9%, pada kasus pertama mungkin telah terjadi komplikasi
dari infeksi intra uterin berupa distress pada janin. Kondisi ini memerlukan
terminasi kehamilan secepat mungkin dengan seksio sesarea. Diagnosis distress
pada janin pada kasus infeksi intra uterin secara klinis sulit untuk ditegakkan
karena kriteria gejala klinis hampir sama, sehingga sebaiknya dapat dilakukan

25

pemeriksaan penunjang diagnosis yang lebih baik menggunakan penentuan profile


biofisik janin. Dengan pemeriksaan penunjang tersebut diharapkan kondisi distress
pada janin dapat diketahui dengan segera dan dapat dilakukan tatalaksana
dengan segera.
Antibiotika pada kasus-kasus ini umumnya diberikan sampai dengan 1-2
hari postpartum, namun kerna belum ada kesepakatan mengenai pemberian
antibiotik postpartum, maka tindakan pemberian antibiotik tersebut tidak dapat
disalahkan, bahkan ada kepustakaan yang menyebutkan bahwa pemberian
antibiotik postparum tidak akan menurunkan angka kejadian endometriosis.
Setelah persalinan, pada pasien dengan riwayat korioamnionitis harus benar-benar
diperhatikan kemungkinan terjadinya demam purpuralis akibat endometritis yang
meningkat kejadiannya terutama setelah persalinan perabdominam. Pada kasus
ini tidak ditemukan adanya tanda-tanda infeksi masa nifas. Selama perawatan di
ruangan suhu badan berkisar antara 36,7 - 36.8 C dan tidak ditemukan nyeri
uterus dan lokia yang berbau. Walaupun demikian sesuai dengan defenisinya,
demam purpuralis masih dapat terjadi hingga 10 hari pertama masa nifas, karena
itu sebelum pasien pulang akan lebih baik bila pesien diedukasi tentang kapan
harus datang lagi ke poliklinik untuk kontrol dan kemungkinan terjadinya
endometritis yaitu suhu >= 38,5 oC pada 2 kali pengukuran dengan jarak waktu 4
jam, dan atau disertai dengan nyeri abdomen terutama di uluhati dan atau
abdomen kanan atau kiri atau kedua-duanya, lokia yang berbau (purulen) atau
terjadinya suatu peningkatan leukosit darah 29.

26

Alur Penatalaksanaan Pasien Korioamnionitis pada Kehamilan Aterm


Ketuban pecah

Ditemukan minimal 2 dari tanda berikut :


Demam (>37,8 derajat C)
Takikardi ibu
Takikardi Janin
Cairan ketuban atau lendir vagina berbau atau purulen
Uterus teraba tegang
Leukositosis ibu (>18.000/mm3)

Korioamnionitis
Antibiotik intravena *

CTG
Fetal Distress (-)

Fetal Distress (+)

PS < 5

In partu
/PK I aktif

PK I Laten

Belum in partu

PS >= 5

Monitoring ketat
janin

Monitoring
ketat janin

Induksi/akselerasi

Fetal Distress (+)

SC CITO

Partus pervaginam

* Pemberian antibiotik ini bersifat terapeutik, jadi harus diberikan 1 siklus pemberian (sampai
selesai).

27

KESIMPULAN
1. Diagnosa korioamnionitis terutama berdasarkan temuan klinis berupa demam
pada ibu. Temuan yang lain adalah takikardi ibu & janin, leukositosis perifer, nyeri
rahim atau cairan amnion berbau busuk. Pemeriksaan LEA vagina mungkin bisa
menjadi acuan dalam deteksi dini korioamnionitis dengan sensitivitas dan
spesifisitas tertentu.
2. Terapi korioamnionitis adalah pemberian antibiotika berspektrum luas dan
persalinan. Persalinan diupayakan pervaginam dan jika perlu dapat dilakukan
induksi persalinan. Persalinan perabdominam dapat dipikirkan bila diperkirakan
bayi tidak lahir dalam durasi 12 jam setelah diagnosis ditegakkan.
3. Korioamnionitis merupakan suatu keadaan yang jika dibiarkan dapat
membahayakan ibu dan janin. Salah satu faktor risiko terjadinya korioamnionitis
adalah ketuban pecah dini dan bakterial vaginosis, maka perlu dijelaskan kepada
ibu hamil untuk segera ke rumah sakit jika terjadi pecah ketuban (keluar air-air)
dan diberikan pengobatan jika didapatkan keputihan yang patologis saat
kunjungan antenatal.
4. Faktor risiko lain yang dapat meningkatkan terjadinya korioamnionitis adalah
pemeriksaan dalam dan adanya bakterial vaginosis. Dalam hal ini, bagi penyedia
layanan kesehatan harus memperhatikan untuk membatasi jumlah pemeriksaan
dalam dan memperhatikan a dan antisepsis selama persalinan terutama bagi
pasien dengan selaput ketuban pecah yang sudah pecah. Dengan kata lain
pemeriksaan dalam hanya boleh dilakukan sesuai indikasi dan partograf.
5. Distress pada janin ditemukan sekitar 7,9% pada kasus dengan ketuban pecah
dini. Bila ditemukan distress pada janin maka harus segera dilakukan pengakhiran
proses persalinan.
6. Diagnosis dini distress pada janin sangat berpengaruh terhadap keluaran janin,
sehingga diperlukan metode diagnostik penunjang yang dapat digunakan dalam
mendiagnosis diatress pada janin secara dini.

28

DAFTAR PUSTAKA
1. Huleihel M, Golan H, Hallak M, et al. Intra uterine infection/inflammation during
pregnancy and offspring brain damage : Possible mechanisms involved.
Reproductive

biology

and

endrocrinology.

BioMed

Central

2004.

http://www.rbej.com
2. Infeksi dalam persalinan. Dalam: Saifudin AB ed. Buku Acuan Nasional
Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo; 2001: 255-8
3. Abnormalitis of the placenta, umbilical cord and membranes. In: Cunningham
FG, Gant NE, Leveno KJ, Bloom SL, et al eds. Williams Obstetrics. 22 nd ed. New
York: McGraw Hill; 2005: 625
4. Preterm brirth. In: Cunningham FG, Gant NE, Leveno KJ, Bloom SL, et al eds
Williams Obstetrics. 22nd ed. New York: McGraw Hill; 2005: 855-80
5. Premature rupture of the membrane. In: Arias F ed. Practical guide to high-risk
pregnancy and delivery. 2nd ed. St. Louis: Mosby Year Book; 1993: 100-113
6. Alexander JM, Mclntire DM, Leveno KJ. Chorioamnionitis and the prognosis of
term infant. Obstet Gynecol 1999;94:274-8
7. Leveno KJ et al. Chorioamnionitis. Williams Manual of Obstetrics, 21 st ed Boston
McGraw-Hill. 2003
8. Williams obstetrics 21st ed. Cunningham, Norman FG, et al. 2001. NY. McGraw
Hill, P 814-5.
9. Gravett NG, Sampson JE. Other infectious conditions. In: James DK, Steer PJ,
Weiner CP, et al. High Risk Pregnancy Management Options. London: WB
Saunders Co Ltd ; 1996: 513-5
10. Pueperal infection. In: Cunningham FG, Gant NE, Leveno KJ, Bloom SL, et al
eds Williams Obstetrics. 22nd ed. New York: McGraw Hill; 2005: 712
11. Sherman MP, Otsuki K. Maternal Chorioamnionitis. E-Medicine 2003.
http://www.emedicine.com/specialties/neonatology.
12. Parry S, Strauss JF. Premature rupture of the fetal membrane. New Engl J Med
1998; 338 (10): 663-70. http://www.nejm org

29

13. Goldenberg RL, Hauth JC, Andrews WW. Intrauterine infection and preterm
delivery. New England Journal Of Medicine. 2000. http://www.nejm org
14. Gibbs RS, Sweet RL, DufFWP. Maternal and Fetal Infectious Disorder. In :
Creasy RK, Resnik R, eds. Matemal-Fetal Medicine. 5th ed. Philladelphia : WB
Saunders.2004 : pp 741-99
15. Gibs RS. Chorioamnionitis and infectious Morbidity Associated with Intrauterine
Monitoring. Dalam: MonifGRG. Infectious disease in Obsetrics and Gynecology. 2 nd
ed. Harper & Row Publishers. Philadelphia. 1982: 363-76.
16. Maberry MC, Gilstrap LC, Bawdon RE, et al. Anaerobic coverage for intraamniotic infection: maternal and perinatal impact. Am J Perinatol 1991; 8: 338
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/entrez/query.fcgi
17. Sampson JE, Gravett MG. Other infectious condition in pregnancy. In : James
DK, Steer PJ, Weiner CP, eds. High Risk Pregnancy Management Options. 2 nd ed.
London : W.B.Saunders, 1999 : p 1231-46
18. Cunningham FG. Abnormalities of the plasenta, umbilical cord and
membrane. In: Williams obstetrics, 22 nd ed. New York : Mc. Graw-Hill; 2005:
619-30.
19. Labor and delivery. In: Sakala EP. Obstetrics and gynecology. 2 nd ed.
Philadelphia: Lippincot William & Wilkins; 2000: 189-92
20.

Roman AS, Pemoll ML. Late Pregnancy Complications. In: De Chorney AH,

Nathan L. Current Obstetric&Gynecologic Diagnosis & Treatment, 9 st ed. Boston;


Mc.Graw-Hill. 2003.
21. Rouse DJ, Landon M, Leveno KJ, et al. The maternal-fetal medicine units
cesarean registry: chorioamnionitis at term and its duration-relationship to
outcomes. Am J Obstet Gynecol 2004: 191:211-6
22. Gardner K. Emergency delivery, preterm labor and postpartum hemorrage. In:
Pearlman MD, Tintinalli JE, Dyne PL. Obstetric & Gynecologic Emergencies
Diagnosis & Management. New York: McGraw-Hill; 2004: 320
23. Ketuban pecah dini. Dalam: Saifuddin AB ed. Buku Panduan Praktis Pelayanan
Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohadjo: M-115

30

24. Gibbs RS, Dinsmoor MJ. Newton ER, Ramamurthy RS. A randomized trial of
intrapartum versus immediate postpartum treatment of woman with intra-amniotic
infection. Obstet Gynecol 1988; 72: 823-8
25. Hammer G. Bacterial infection. In: Cohen R ed. Cherry and Merkatz's
Complications of Pregnancy. Philadelphia: Williams & Wilkins; 2000: 752-3
26. Cunningham FG. Induction of Labor. In: Williams obstetrics, 22 nd ed. New
York : Mc. Graw-Hill; 2005: 535-46.
27. Laporan fetomaternal di Rumah Sakit Rujukan Cipto Mangunkusumo. 2005.
28. Turnquest MA, How HY, Cook CR, O'Rourke TP, et al. Chorioamnionitis: is
continuation antibiotic therapy necessary after cesarean section? Am J Obstet
Gynecol 1998:179:1261-6. http://www.ajog.com
29.Post partum complication. In : Arias F ed. Practical guide to high-risk pregnancy
and delivery. 2nd ed. St. Louis : Mosby Year Book; 1993 : 442-4.

31

Anda mungkin juga menyukai