PILIHAN PERSALINAN
PADA KEHAMILAN ATERM
DENGAN KORIOAMNIONITIS
Oleh :
Iwan Kurnia
Peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis I
Obstetri dan Ginekologi
Pembimbing :
BAB I
PENDAHULUAN
Infeksi bakteri pada rongga amnion adalah salah satu penyebab terpenting
terjadinya peningkatan mortalitas perinatal dan morbiditas maternal. Bahkan dalam
beberapa penelitian terakhir diketahui adanya hubungan klinis antara infeksi
dengan kelainan neurologis jangka panjang dari bayi baru lahir termasuk
diantaranya serebral palsi.1 Terdapat berbagai sinonim untuk korioamnionitis di
beberapa kepustakaan, beberapa diantaranya "amnionitis", "intrapartum infection",
"amniotic fluid infection" dan intra-amniotic infection".Korioamnionitis merupakan
infeksi akut pada cairan ketuban, janin dan selaput korioamnion yang disebabkan
terutama oleh bakteri. Pada kehamilan cukup bulan, korioamnionitis didiagnosa
pada sekitar 5%-7% kehamilan. Korioamnionitis dihubungkan dengan ketuban
pecah dini dan persalinan lama. Periode ketuban pecah yang lama merupakan
faktor risiko yang paling tinggi peranannya dalam patogenesis korioamnionitis.
Makin lama jarak antara ketuban pecah dengan persalinan, makin tinggi pula risiko
morbiditas dan mortalitas ibu dan janin. 2-6 Risiko yang dapat terjadi pada janin
akibat infeksi ini adalah sepsis, respiratory distress, kejang, perdarahan
intraventrikular dan cedera neurologis yang lain. Pada ibu, risiko yang dapat terjadi
adalah sepsis, endometritis pasca persalinan, pelvik thrombophlebitis septik dan
infeksi luka7,8.
Korioamnionitis merupakan masalah yang seringkali menyebabkan inisiasi
persalinan untuk terminasi kehamilan segera, terutama dengan cara pervaginam
atau bahkan terjadi pada periode intrapartum. Infeksi biasanya terjadi karena
infeksi asending mikroorganisme dari serviks dan vagina, dapat pula transplasental
dan iatrogenik, misalnya pada pemeriksaan amniosentesis dan kordosentesis.
Bakteri penyebabnya biasanya polimikrobial dan biasanya mencakup bakteri
fakultatif dan anaerob. 5,9
Korioamnionitis mengakibatkan mortalitas perinatal yang signifikan, saat ini
mencapai 5-25% terutama pada neonatus dengan berat lahir rendah. Walaupun
mortalitas maternal jarang terjadi, namun korioamnionitis merupakan penyebab
signifikan terjadinya morbiditas maternal. Oleh karena itu penatalaksanan
ras
secara
tunggal
tidak
menjadi
faktor
resiko
terjadinya
korioamnionitis. Usia ibu lebih memiliki peranan penting sebagai faktor resiko. Ibu
yang hamil di usia muda memiliki perilaku yang relatif kurang baik dalam menjaga
higiene urogenitalnya, sehingga meningkatkan risiko bakterial vaginosis, infeksi
saluran kemih, dan infeksi asendens.11
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk membahas tatalaksana infeksi
intrauterin, pemberian antibiotik dan pilihan untuk terminasi kehamilan serta faktorfaktor yang mempengaruhi dalam pengambilan keputusan pilihan terminasi.
BAB II
ILUSTRASI KASUS
Ilustrasi Kasus I
Ny. W, 42 tahun (MR 303-24-29), datang ke instalasi gawat darurat (IGD)
kebidanan RSCM pada tanggal 7 Mei 2006 pukul 09.00 WIB dirujuk bidan dengan
keterangan keluar air-air sejak 36 jam sebelum masuk rumah sakit (SMRS) dan
gagal induksi. Pasien mengaku hamil 9 bulan dengan hari pertama haid terakhir
(HPHT) 20 Juli 2005 dan taksiran partus (TP) 27 April 2006, sesuai dengan hamil
41 minggu.
teratur. Pada pasien tidak ada keluhan demam, batuk pilek dan keputihan. Buang
air besar dan buang air kecil pasien juga tidak ada keluhan. Sebelumnya pasien
pernah diinduksi dengan oksitosin 1 kolf di bidan namun tidak ada kemajuan
persalinan, kemudian dirujuk ke RSCM. Riwayat penyakit dahulu dan keluarga
tidak ada yang bermakna. Pasien adalah seorang ibu rumah tangga, kehamilan ini
merupakan kehamilan yang ketiga. Anak pertama dan kedua lahir spontan di bidan
dengan berat lahir masing-masing 3700 gram dan 3600 gram. Pasien menikah
satu kali pada bulan Juni 1994. Pasien belum pernah menggunakan kontrasepsi
sebelumnya. Siklus haid sebelum hamil teratur dengan siklus 28 hari, lama
menstruasi 5 hari, 4 kali ganti pembalut perhari dan tidak ada keluhan nyeri haid
sebelumnya. Pasien haid pertama kali di usia 12 tahun.
Melalui hasil pemeriksaan fisik pasien pada saat datang didapatkan
keadaan umum baik, kesadaran kompos mentis, tekanan darah 120/80 mmHg,
frekuensi nadi 92 kali permenit, suhu 36,9 0C dan frekuensi nafas 20 kali permenit
dengan status generalis lain dalam batas normal. Pada pemeriksaan status
obstetrikus didapatkan tinggi fundus uteri (TFU) 34 cm, presentasi kepala, taksiran
berat janin (TBJ) 3400 gram, his 3x/10 menit lamanya 40 detik dengan kekuatan
sedang relaksasi baik, dan denyut jantung janin (DJJ) 140 dpm. Hasil inspeksi
vulva dan uretra tenang, hasil pemeriksaan inspekulo didapatkan porsio licin,
ostium uteri terbuka 1 jari, tampak air ketuban mengalir jernih dan tidak berbau,
tidak ada fluor maupun fluxus dilakukan pemeriksaan LEA dengan hasil negatif
dan pH 7,5. Pada pemeriksaan dalam diperoleh porsio lunak, arah aksial, tebal
porsio 2 cm, pembukaan 3 cm dengan kepala di Hodge I-II dan selaput ketuban
negatif.
Pemeriksaan ultrasonography (USG) lantai 3 IGD RSCM tampak janin
presentasi kepala tunggal hidup intra uterin dengan diameter biparietal (DBP) 9,4
cm, abdominal circumference (AC) 34 cm, femur length (FL) 7,1 cm, head
circumference (HC) 34,2 cm dengan taksiran berat janin (TBJ) 3300 gram,
plasenta di korpus belakang dan index cairan amnion (ICA) 6. Kesan hamil aterm
janin presentasi kepala tunggal hidup (JPKTH), air ketuban berkurang.
Pemeriksaan laboratorium ditemukan hemoglobin 11,8 g/dl, hematokrit 34%,
leukosit 18.200/ul, trombosit 261.000/ul, MCV 91 fl, MCH 32 pg, dan MCHC 35
g/dl, gula darah sewaktu 103 mg/dl Hasil urinalisis didapatkan protein positif satu.
Hasil cardiotokography (CTG) janin tidak reaktif dengan frekuensi dasar 140,
variabilitas 5 -10 tanpa akselerasi dengan deselerasi variabel ringan.
Berdasarkan data yang ada ditegakkan diagnosis G3P2 hamil 41 minggu,
janin presentasi kepala tunggal hidup dengan ketuban pecah 36 jam, air ketuban
berkurang, PK I laten pasca induksi pematangan serviks dengan oksitosin. Setelah
dilakukan analisis terhadap masalah tersebut diputuskan untuk dilakukan terapi
akselerasi persalinan oksitosin, pemberian antibiotik intra vena ampicillin
sulbaktam 2 x 1,5 gram dan resusitasi janin intrauterin.
Dalam 4 jam observasi pasien mengalami demam (39,1 0C), frekuensi nadi
108 x/mnt dan terdapat takikardi janin 180 dpm dengan hasil CTG ulang tidak
reaktif takikardi. Hasil pemeriksaan darah tepi ulang didapatkan leukosit 20.000/L.
Ditegakkan diagnosis korioamnionitis dan direncanakan untuk dilakukan persalinan
perabdominam. Dalam persiapan operasi (1 jam kemudian), pasien ingin meneran
dan pada pemeriksaan dalam sesuai dengan PK II, kepala di Hodge III-IV dan
ubun-ubun kiri depan dengan djj 100 dpm. Ditegakkan masalah hipoksia janin
pada PK II dan direncanakan untuk mempercepat persalinan dengan ekstraksi
forsep. Dengan ekstraksi forsep lahir bayi laki-laki dengan berat lahir 3150 gram
dengan apgar score 6 dan 7. Lima belas menit kemudian lahir plasenta lengkap
450 gram dengan panjang tali pusat 48 cm dan ukuran 17 cm x 16 cm x 3 cm.
Pada eksplorasi selanjutnya didapatkan ruptur perineum grade II. Perdarahan kala
III-IV 200 cc.
perhari dan tidak ada keluhan nyeri haid sebelumnya. Pasien menarche usia 13
tahun.
Melalui hasil pemeriksaan fisik pasien pada saat datang didapatkan
keadaan umum baik, kesadaran compos mentis, tekanan darah 130/70 mmHg,
frekuensi nadi 108 kali permenit, suhu 38,5 0C dan frekuensi nafas 20 kali permenit
dengan status generalis lain dalam batas normal.
Pada pemeriksaan status obstetrikus didapatkan TFU 32 cm, presentasi
kepala, TBJ 3100 gram, his negatif dan DJJ 186 dpm. Hasil inspeksi vulva dan
uretra tenang, hasil pemeriksaan inspekulo didapatkan porsio licin, ostium uteri
terbuka, tampak air ketuban mengalir hijau, dilakukan pemeriksaan LEA dengan
hasil positif 2 dan pH 8. Pada pemeriksaan dalam diperoleh portio kenyal, arah
aksial, tebal porsio 2 cm, pembukaan 2 cm dengan kepala di Hodge I-II dan
selaput ketuban negatif, hasil pelvimetri klinis sesuai dengan panggul normal dan
IFP baik.
Pemeriksaan USG lantai 3 IGD RSCM tampak janin presentasi kepala
tunggal hidup intra uterin dengan DBP 90 cm, AC 321 mm, HC 315 mm plasenta
difundus, TBJ 2950 gram dan ICA 2. Kesan hamil aterm, janin presentasi kepala
tunggal hidup, dengan oligohidramnion.
Pemeriksaan laboratorium ditemukan hemoglobin 8,4 g/dl, hematokrit 29 %,
leukosit 21.500/ul, trombosit 274.000/ul, MCV 62 fl, MCH 19 pg, dan MCHC 30 g/dl
dengan gula darah sewaktu 113 mg/dl, hasil urinalisis dalam batas normal.
Berdasarkan data yang ada ditegakkan diagnosis G1 hamil 39 minggu, janin
presentasi kepala tunggal hidup dengan ketuban pecah 25 jam belum inpartu,
oligohodramnion dan korioamnionitis. Setelah dilakukan analisis terhadap masalah
tersebut diputuskan untuk dilakukan terapi terminasi kehamilan perabdominam
dengan pemberian antibiotik intra vena ampisillin sulbaktam 3x1,3 gram sampai 24
jam postpartum.
Dengan operasi sesar lahir bayi laki-laki dengan berat lahir 3100 gram dan
apgar score 8 dan 9. Pasien sempat dirawat sampai dengan hari ke 2 bebas
demam di ruangan dan kemudian pulang bersama bayinya dalam keadaan baik.
Ilustrasi Kasus IV
Ny. R, 27 tahun (MR 296-96-45), datang ke IGD kebidanan RSCM pada
tanggal 14 Desember 2005 pukul 00.45 WIB dirujuk bidan dengan keterangan
ketuban pecah sejak 1 jam SMRS pada G1 hamil 39-40 minggu. Pasien mengaku
hamil 9 bulan dengan HPHT 3 Maret 2005 dan TP tanggal 10 Desember 2005,
sesuai dengan hamil 40 minggu. Pasien memeriksakan kehamilannya di bidan
secara teratur. Pasien mengeluhkan mules-mules sejak 1 hari SMRS dan keluar
air-air kehijauan dari kemaluan sejak 1 jam SMRS, keluar lendir darah (+) dan
gerakan janin (+). Buang air besar dan buang air kecil pasien tidak ada keluhan.
Riwayat penyakit dahulu dan keluarga tidak ada yang bermakna. Pasien adalah
seorang ibu rumah tangga, kehamilan ini merupakan kehamilan yang pertama.
Pasien belum menikah namun melakukan hubungan suami istri satu kali 1 tahun
yang lalu dengan pasangan tetap. Siklus haid sebelum hamil teratur dengan siklus
30 hari, lama menstruasi 5 hari, 2 kali ganti pembalut perhari dan tidak ada
keluhan nyeri haid sebelumnya. Pasien menarche usia 12 tahun.
Melalui hasil pemeriksaan fisik pasien pada saat datang didapatkan
keadaan umum baik, kesadaran kompos mentis, tekanan darah 120/70 mmHg,
frekuensi nadi 80 kali permenit, suhu 37,1 0C dan frekuensi nafas 20 kali permenit
dengan status generalis lain dalam batas normal.
Pada pemeriksaan status obstetrikus didapatkan TFU 30 cm, presentasi
kepala, TBJ 2800 gram, his negatif dan DJJ 142 dpm. Hasil inspeksi vulva dan
uretra tenang, hasil pemeriksaan inspekulo didapatkan porsio licin, ostium uteri
terbuka, tampak air ketuban mengalir kuning dan tidak berbau, dilakukan
pemeriksaan LEA dengan hasil negatif dan pH 6,5. Pada pemeriksaan dalam
diperoleh porsio kenyal, arah aksial, tebal porsio 2 cm, pembukaan 1 cm dengan
kepala di Hodge I-II dan selaput ketuban negatif, hasil pelvimetri klinis sesuai
dengan panggul normal dan IFP baik.
Pemeriksaan USG lantai 3 IGD RSCM tampak janin presentasi kepala
tunggal hidup intra uterin dengan DBP 92 cm, AC 320 mm, FL 74 mm plasenta
difundus, TBJ 2950 gram, dan ICA 6. Kesan hamil aterm, janin presentasi kepala
tunggal hidup, dengan air ketuban berkurang.
B A B III
TINJAUAN PUSTAKA
Korioamnion
Pada kehamilan aterm korioamnion berbentuk selaput yang licin dan kuat.
Selaput amnion merupakan selaput terdalam yang langsung kontak dengan cairan
amnion. Selaput ini avaskuler tetapi berperan penting dalam proses kehamilan
untuk mempertahankan tegangan selaput janin. Oleh karena itu perkembangan
komponen-komponen selaput amnion yang mencegah ruptur atau robek
merupakan hal yang penting untuk keberhasilan kehamilan.
Struktur lapisan jaringan amnion
Bourne (1962) menjelaskan 5 lapisan jaringan amnion, yaitu :
Permukaan dalam yang langsung kontak dengan cairan amnion adalah lapisan
yang terdiri dari selapis sel kuboid yang berasal dari ektoderm embrional. Lapisan
epitel ini melekat erat pada membran basalis yang berhubungan dengan lapisan
jaringan padat aseluler yang disusun oleh kolagen.
Pada sisi lain lapisan padat tersebut, terdapat rangkaian sel mesenkim yang
menyerupai fibroblast (fibroblast-like mesenchymal cells). Lapisan terluar dari
amnion adalah zona spongiosa aseluler yang langsung berhubungan dengan
selaput janin yang kedua yaitu : chorion leave. Elemen penting yang 'hilang' dalam
amnion manusia adalah sel otot, polos, syaraf, limfe dan pembuluh darah.
Pembuluh darah ditemukan di lapisan retikuler yang merupakan bagian dari
lempeng korion/chorionic plate plasenta. Sebagaimana terlihat pada gambar 1
selaput korion terdiri dari lapisan seluler, lapisan retikuler, dan psedobasemen
membran yang langsung berbatasan dengan lapisan trofoblas. Dari semua lapisan
korioamnion, terdapat 2 lapisan yang paling menarik perhatian yaitu: epitel amnion
karena kontak langsung dengan cairan amnion sehingga merupakan lapisan yang
paling depan, dan lapisan spongiosa karena lapisan ini mempunyai peran penting
dalam pembentukan amniotic strands/jerat amnion.
10
Selaput ketuban terutama dibentuk oleh jaringan amnion yaitu jaringan yang
memberikan kekuatan dan kelenturan pada selaput ketuban, karena itu
pengetahuan tentang perkembangan perangkat jaringan amnion yang memberikan
perlindungan terhadap risiko pecahnya ketuban sebelum proses persalinan,
sangat penting untuk dipahami. Walaupun tidak mengandung pembuluh darah,
jaringan amnion memiliki aktivitas metabolik yang aktif Jaringan ini secara aktif
mempertahankan homeostasis cairan amnion melalui pertukaran solute dan air
pada lapisan epitel. Jaringan ini juga menghasilkan senyawa-senyawa bioaktif
termasuk peptida vasoaktif, faktor-faktor pertumbuhan (growth factors) dan sitokin.
Definisi dan Prevalensi
Korioamnionitis merupakan infeksi akut pada cairan ketuban, janin dan
selaput korioamnion yang disebabkan oleh bakteri. 2 Pada kehamilan cukup bulan,
korioamnionitis didiagnosa pada sekitar 5% kehamilan. 6 Infeksi ini merupakan
manifestasi suatu infeksi intrauterin dan seringkali berhubungan dengan ketuban
pecah dini dan persalinan lama. Bila lekosit mononuklear dan polimorfonuklear
11
menembus
korion,
secara
mikroskopis
sudah
dapat
dikatakan
sebagai
2-5
Etiologi
Bakteri penyebabnya biasanya polimikrobial dan biasanya mencakup
bakteri fakultatif dan anaerob. Bakteri yang paling sering ditemukan adalah
bakterial
vaginosis
yang
mencakup
spesies
Bacteroides,
Fusobacterium,
12
13
memiliki hubungan yang bermakna dengan angka kejadian infeksi pada bayi baru
lahir.11
Korioamnionitis terjadi paling sering saat persalinan sesudah pecahnya
selaput ketuban. Selain itu, pada keadaan yang jarang korioamnionitis dapat
terjadi pasca amniosentesis alau pasca transfusi intrauterin Pada keadaan yang
sangat jarang dapat juga terjadi korioamnionitis walaupun selaput ketuban intak.
Selama kehamilan, mukus serviks dan selaput ketuban berfungsi sebagai barier
yang efektif mencegah invasi kuman ke rongga amnion. Sebelum masa
persalinan, sangat jarang ditemukan bakteri dalam rongga amnion. Saat selaput
ketuban sudah pecah, maka infeksi asendens bakteri sangat mudah dan cepat
terjadi.15
Bakteremia dapat terjadi pada 3 % neonatus yang lahir dari ibu dengan
korioamnionitis dengan pecahnya selaput ketuban pada kurang dari 24 jam prapersalinan. Bila pecahnya selaput ketuban terjadi lebih dari 24 jam sebelumnya
maka 17 % neonatus akan mengalami bakteremia.15
Untuk
menghadapi
invasi
bakteri pada
rongga amnion,
leukosit
14
15
Prostaglandin
akan
menstimulasi
kontraksi
uterus
sementara
16
mengakibatkan
mortalitas
perinatal
yang
signifikan,
terutama pada neonatus dengan berat lahir rendah. Secara umum terjadi
peningkatan 3-4 kali lipat kematian perinatal diantara neonatus dengan berat lahir
rendah yang dilahirkan oleh ibu dengan korioamnionitis. 4,9 Selain itu terjadi juga
peningkatan
kejadian
respiratory
distress
syndrome
(RDS),
hemoragia
17
jarang
mengakibatkan
mortalitas
maternal,
namun
18
4,5,9
Karena gejala klinis muncul tidak konsisten, beberapa tes laboratorium telah
digunakan untuk membantu diagnosis :
5,9
Ditemukannya
bakteri
apapun
merupakan
diagnostik
untuk
19
ketika
terlihat
set
leukosit
mononuklear
dan
polimonorfonuklear
terlepas
dari
gejala
dan
tanda
klinis
untuk
mendiagnosis
korioamnionitis.
Telah
disebutkan
sebelumnya
bahwa
terjadinya
korioamnionitis
dapat
dikaitkan
dengan
ieukositosis.
Bila
diagnosis
amnionitis
20
Penatalaksanaan
Prenatal dan Persalinan
Wanita dengan korioamnionitis sebaiknya mendapat terapi antimikroba dan
janin
dilahirkan
tanpa
memandang
usia
gestasi.3,9,19,21
Mengingat
bahwa
pada
seharusnya
diberikan
secepatnya
setelah
diagnosis
21
3,5
22
Masa Nifas
Durasi pemberian antibiotika setelah persalinan belum dapat dipastikan.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, salah satu literatur menyarankan
pemberian terapi parenteral hingga 1-2 hari postpartum, tanpa tambahan
antibiotika oral sesudahnya. 9 Literatur menyebutkan pemberiannya dilanjutkan
hingga 48-72 jam bebas demam dan dilanjutkan dengan antibiotika oral. 26 Namun
penelitian oleh Turnquest dkk 28 menyimpulkan bahwa pemberian antibiotika pada
pasien pascaseksio sesarea dengan korioamnionitis tidak menurunkan risiko
terjadinya endometritis dibandingkan dengan dosis preoperatif tunggal.
Buku panduan praktis pelayanan kesehatan maternal dan neonatal
membedakan pemberian antibiotika masa nifas berdasarkan jenis persalinan.
Pada persalinan pervaginam pemberian antibiotika dihentikan pasca persalinan.
Namun jika persalinan dengan seksio sesarea, diberikan tambahan metronidazol
3x500mg IV hingga 48 jam bebas demam.23
23
PEMBAHASAN KHUSUS
Diagnosa korioamnionitis pada kasus I s/d IV ditegakkan atas dasar
ditemukannya demam pada ibu dengan temperatur >= 38 C. Demam pada ibu
hampir selalu ditemukan pada seluruh kasus korioamnionitis. Selain itu didapatkan
takikardi ibu, takikardi janin dan leukositosis ibu >= 18.000/uL dan ditemukannya
air ketuban yang berbau. Pada kasus-kasus ini tidak didapatkan nyeri pada uterus
namun tidak ditemukannya tanda tersebut, seperti yang diterangkan pada tinjauan
pustaka, tidak mengeksklusi diagnosis korioamnionitis.
Risiko terjadinya korioamnionitis pada kasus-kasus ini adalah ketuban
pecah dini yang terjadi sebelum masuk rumah sakit. Terjadinya ketuban pecah dini
pada kasus-kasus tersebut dapat diketahui dari anamnesis, pemeriksaan fisk
maupun pemeriksaan penunujang. Berdasarkan anamnesis didapatkan keluhan
keluar air-air terus-menerus secara tiba-tiba dan tidak dapat ditahan dari
kemaluan. Berdasarkan pemeriksaan fisik, didapatkan bukti telah terjadinya
ketuban pecah dengan tidak ditemukannya selaput ketuban pada pemeriksaan
dalam
serta
ditemukannya
rembesan
air
ketuban
berwarna
kehijauan.
24
apgar score 6 dan 7. Pasien sempat dirawat 2 hari di ruangan dan pulang bersama
bayinya dalam keadaan baik.
Persalinan pada kasus-kasus berikutnya dipilih perabdominam segera
setelah ibu didiagnosis korioamnionitis dan dilahirkan bayi dengan apgar score
yang lebih baik dari kasus I. Pasien-pasien ini umumnya dirawat sampai 2-3 hari
bebas demam di ruangan dan pulang bersama bayinya dalam keadaan baik. Pada
bkasus keempat dapat dipikirkan kemungkinan adanya infeksi akibat tindakan
amnioinfusi, karena itu sangat penting untuk dipikirkan akan risk and benefit dalam
menentukan suatu tindakan yang akan dilakukan, termasuk dalam melakukan
suatu pemeriksaan dalam.
Pada kasus-kasus ini penatalaksanaan yang dilakukan sudah sesuai
dengan literatur yaitu pemberian antibiotika dan terminasi kehamilan. Persalinan
sebaiknya dilakukan pervaginam bila dipikirkan persalinan dapat terjadi dalam
waktu kurang dari 12 jam dengan monitoring ketat keadaan janin dan ibu, namun
bila persalinan tidak dapat terjadi dalam waktu kurang dari 12 jam dan atau
terdapat tanda-tanda distress janin maka persalinan perbdominam dapat dilakukan
Jenis antibiotika yang dipakai juga sesuai, yaitu ampisilin sulbaktam yang memiliki
spektrum luas. Dari literatur disebutkan persalinan sebaiknya pervaginam 4,5,9.
Persalinan perabdominam meningkatkan resiko demam postpartum akibat infeksi
(endometritis) pada ibu. Seksio sesarea sendiri meningkatkan resiko endometritis
dari 10% (pada persalinan pervaginam) menjadi 30%, dan kejadiannya semakin
meningkat dengan adanya korioamnionitis pada saat dilakukan seksio. 29
Persalinan perabdominam dilakukan berdasarkan indikasi obstetrik. 4 Seksio
sesarea dapat pula dipertimbangkan bila diperkirakan persalinan belum selesai
dalam interval 12 jam setelah diagnosis ditegakkan. Pada kasus-kasus ini akan
lebih baik bila dilakukan kultur cairan amnion untuk menentukan etiologi dan juga
sensitivitas mikroorganisme terhadap antibiotika
Dari literatur didapatkan kejadian distress pada janin pada kasus ketuban
pecah dini sebesar 7,9%, pada kasus pertama mungkin telah terjadi komplikasi
dari infeksi intra uterin berupa distress pada janin. Kondisi ini memerlukan
terminasi kehamilan secepat mungkin dengan seksio sesarea. Diagnosis distress
pada janin pada kasus infeksi intra uterin secara klinis sulit untuk ditegakkan
karena kriteria gejala klinis hampir sama, sehingga sebaiknya dapat dilakukan
25
26
Korioamnionitis
Antibiotik intravena *
CTG
Fetal Distress (-)
PS < 5
In partu
/PK I aktif
PK I Laten
Belum in partu
PS >= 5
Monitoring ketat
janin
Monitoring
ketat janin
Induksi/akselerasi
SC CITO
Partus pervaginam
* Pemberian antibiotik ini bersifat terapeutik, jadi harus diberikan 1 siklus pemberian (sampai
selesai).
27
KESIMPULAN
1. Diagnosa korioamnionitis terutama berdasarkan temuan klinis berupa demam
pada ibu. Temuan yang lain adalah takikardi ibu & janin, leukositosis perifer, nyeri
rahim atau cairan amnion berbau busuk. Pemeriksaan LEA vagina mungkin bisa
menjadi acuan dalam deteksi dini korioamnionitis dengan sensitivitas dan
spesifisitas tertentu.
2. Terapi korioamnionitis adalah pemberian antibiotika berspektrum luas dan
persalinan. Persalinan diupayakan pervaginam dan jika perlu dapat dilakukan
induksi persalinan. Persalinan perabdominam dapat dipikirkan bila diperkirakan
bayi tidak lahir dalam durasi 12 jam setelah diagnosis ditegakkan.
3. Korioamnionitis merupakan suatu keadaan yang jika dibiarkan dapat
membahayakan ibu dan janin. Salah satu faktor risiko terjadinya korioamnionitis
adalah ketuban pecah dini dan bakterial vaginosis, maka perlu dijelaskan kepada
ibu hamil untuk segera ke rumah sakit jika terjadi pecah ketuban (keluar air-air)
dan diberikan pengobatan jika didapatkan keputihan yang patologis saat
kunjungan antenatal.
4. Faktor risiko lain yang dapat meningkatkan terjadinya korioamnionitis adalah
pemeriksaan dalam dan adanya bakterial vaginosis. Dalam hal ini, bagi penyedia
layanan kesehatan harus memperhatikan untuk membatasi jumlah pemeriksaan
dalam dan memperhatikan a dan antisepsis selama persalinan terutama bagi
pasien dengan selaput ketuban pecah yang sudah pecah. Dengan kata lain
pemeriksaan dalam hanya boleh dilakukan sesuai indikasi dan partograf.
5. Distress pada janin ditemukan sekitar 7,9% pada kasus dengan ketuban pecah
dini. Bila ditemukan distress pada janin maka harus segera dilakukan pengakhiran
proses persalinan.
6. Diagnosis dini distress pada janin sangat berpengaruh terhadap keluaran janin,
sehingga diperlukan metode diagnostik penunjang yang dapat digunakan dalam
mendiagnosis diatress pada janin secara dini.
28
DAFTAR PUSTAKA
1. Huleihel M, Golan H, Hallak M, et al. Intra uterine infection/inflammation during
pregnancy and offspring brain damage : Possible mechanisms involved.
Reproductive
biology
and
endrocrinology.
BioMed
Central
2004.
http://www.rbej.com
2. Infeksi dalam persalinan. Dalam: Saifudin AB ed. Buku Acuan Nasional
Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo; 2001: 255-8
3. Abnormalitis of the placenta, umbilical cord and membranes. In: Cunningham
FG, Gant NE, Leveno KJ, Bloom SL, et al eds. Williams Obstetrics. 22 nd ed. New
York: McGraw Hill; 2005: 625
4. Preterm brirth. In: Cunningham FG, Gant NE, Leveno KJ, Bloom SL, et al eds
Williams Obstetrics. 22nd ed. New York: McGraw Hill; 2005: 855-80
5. Premature rupture of the membrane. In: Arias F ed. Practical guide to high-risk
pregnancy and delivery. 2nd ed. St. Louis: Mosby Year Book; 1993: 100-113
6. Alexander JM, Mclntire DM, Leveno KJ. Chorioamnionitis and the prognosis of
term infant. Obstet Gynecol 1999;94:274-8
7. Leveno KJ et al. Chorioamnionitis. Williams Manual of Obstetrics, 21 st ed Boston
McGraw-Hill. 2003
8. Williams obstetrics 21st ed. Cunningham, Norman FG, et al. 2001. NY. McGraw
Hill, P 814-5.
9. Gravett NG, Sampson JE. Other infectious conditions. In: James DK, Steer PJ,
Weiner CP, et al. High Risk Pregnancy Management Options. London: WB
Saunders Co Ltd ; 1996: 513-5
10. Pueperal infection. In: Cunningham FG, Gant NE, Leveno KJ, Bloom SL, et al
eds Williams Obstetrics. 22nd ed. New York: McGraw Hill; 2005: 712
11. Sherman MP, Otsuki K. Maternal Chorioamnionitis. E-Medicine 2003.
http://www.emedicine.com/specialties/neonatology.
12. Parry S, Strauss JF. Premature rupture of the fetal membrane. New Engl J Med
1998; 338 (10): 663-70. http://www.nejm org
29
13. Goldenberg RL, Hauth JC, Andrews WW. Intrauterine infection and preterm
delivery. New England Journal Of Medicine. 2000. http://www.nejm org
14. Gibbs RS, Sweet RL, DufFWP. Maternal and Fetal Infectious Disorder. In :
Creasy RK, Resnik R, eds. Matemal-Fetal Medicine. 5th ed. Philladelphia : WB
Saunders.2004 : pp 741-99
15. Gibs RS. Chorioamnionitis and infectious Morbidity Associated with Intrauterine
Monitoring. Dalam: MonifGRG. Infectious disease in Obsetrics and Gynecology. 2 nd
ed. Harper & Row Publishers. Philadelphia. 1982: 363-76.
16. Maberry MC, Gilstrap LC, Bawdon RE, et al. Anaerobic coverage for intraamniotic infection: maternal and perinatal impact. Am J Perinatol 1991; 8: 338
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/entrez/query.fcgi
17. Sampson JE, Gravett MG. Other infectious condition in pregnancy. In : James
DK, Steer PJ, Weiner CP, eds. High Risk Pregnancy Management Options. 2 nd ed.
London : W.B.Saunders, 1999 : p 1231-46
18. Cunningham FG. Abnormalities of the plasenta, umbilical cord and
membrane. In: Williams obstetrics, 22 nd ed. New York : Mc. Graw-Hill; 2005:
619-30.
19. Labor and delivery. In: Sakala EP. Obstetrics and gynecology. 2 nd ed.
Philadelphia: Lippincot William & Wilkins; 2000: 189-92
20.
Roman AS, Pemoll ML. Late Pregnancy Complications. In: De Chorney AH,
30
24. Gibbs RS, Dinsmoor MJ. Newton ER, Ramamurthy RS. A randomized trial of
intrapartum versus immediate postpartum treatment of woman with intra-amniotic
infection. Obstet Gynecol 1988; 72: 823-8
25. Hammer G. Bacterial infection. In: Cohen R ed. Cherry and Merkatz's
Complications of Pregnancy. Philadelphia: Williams & Wilkins; 2000: 752-3
26. Cunningham FG. Induction of Labor. In: Williams obstetrics, 22 nd ed. New
York : Mc. Graw-Hill; 2005: 535-46.
27. Laporan fetomaternal di Rumah Sakit Rujukan Cipto Mangunkusumo. 2005.
28. Turnquest MA, How HY, Cook CR, O'Rourke TP, et al. Chorioamnionitis: is
continuation antibiotic therapy necessary after cesarean section? Am J Obstet
Gynecol 1998:179:1261-6. http://www.ajog.com
29.Post partum complication. In : Arias F ed. Practical guide to high-risk pregnancy
and delivery. 2nd ed. St. Louis : Mosby Year Book; 1993 : 442-4.
31