Anda di halaman 1dari 43

Tinjauan Pustaka II

Diagnostik dan Tatalaksana pada Cesarean Scar Pregnancy

Oleh:
dr. Royan Mechi Varendra

Narasumber:
DR. dr. Agus Sulistyono, SpOG(K)
dr. Rozi Aditya Aryananda, SpOG

DEPARTEMEN / KSM ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
RSUD DR.SOETOMO
SURABAYA
2021
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ii

DAFTAR GAMBAR iii

DAFTAR TABEL iv

DAFTAR SINGKATAN v

BAB I Pendahuluan 1

BAB II Patogenesis CSP 3

BAB III Diagnosis CSP 6

3.1. Kriteria Cesarean Scar Pregnancy 7

3.2. Pemeriksaan penunjang pada CSP 9

3.3. Prognosis Caesarean Scar Pregnancy 16

BAB IV Tatalaksana CSP 19

4.1. Terapi yang direkomendasikan untuk CSP 23

4.1.1. Terapi Bedah 23

4.1.2. Terapi Medikamentosa 25

4.1.2. Pilihan Terapi Lainnya 26

4.2. CSP pada Wanita yang Menolak Pengobatan 28

4.3. Resiko Jangka Panjang Pada CSP 28

4.4. Bagan Rekomendasi Tatalaksana Kehamilan pada Bekas Caesar 30

BAB V Ringkasan 32

DAFTAR PUSTAKA 33

ii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Pola Implantasi 4

Gambar 2.2 Angiogenesis plasenta normal berdasarkan usia kehamilan 4

Gambar 3.1 Sonoanatomi Uterus 8

Gambar 3.2 Diagram kantong kehamilan pada CSP 9

Gambar 3.3 Perubahan USG Transvaginal pada UK 5-7mgg 10

Gambar 3.4 Perubahan USG Transvaginal pada UK 8-10mgg 11

Gambar 3.5 Grading CSP. 12

Gambar 3.6 USG TVS dengan pencitraan doppler berwarna. 13

Gambar 3.7 USG 3D kantung gestasional yang menonjol ke kandung kemih 14

Gambar 3.8 MRI pada kasus CSP 15

Gambar 4.1 Double balloon catheter 24

iii
DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Kriteria USG untuk CSP

Tabel 3.2 Sistem staging USG prenatal untuk gangguan placenta accreta
spectrum (PAS) dan temuan pada histopatologi.

Tabel 3.3 Posisi kantung kehamilan dalam kaitannya dengan bekas luka
operasi cesar yang terlihat pada USG trimester pertama

Tabel 4.1 Pilihan. terapi untuk CSP

19

Tabel 4.2 Algoritma pada Cesarean Scar Pregnancy

30

iv
DAFTAR SINGKATAN

AVM Arteriovenous malformation

bHCG Beta Human chorionic gonadotropin

CS Cesarean Section

CSP Cesarean Scar Pregnancy

HIFU High Intensity Focused Ultrasound

MRI Magnetic Resonance Imaging

MTX Methotrexate

NSAID Non-Steroid Antiinflammation Drugs

PAS Placenta Accreta Spectrum

RCT Random Controlized Trial

TVS Transvaginal Sonography

UAE Uterine Artery Embolization

USG Ultrasonography

v
vi
BAB I

Pendahuluan

Cesarean Scar Pregnancy (CSP) adalah bentuk kehamilan ektopik yang jarang terjadi,

yakni ketika kehamilan terimplantasi pada jaringan dalam rahim yang telah rusak akibat dari

bekas luka dari operasi cesar sebelumnya. Bila diikuti dengan penetrasi dan implantasi lebih

lanjut, hal ini kemudian dapat menimbulkan resiko besar bagi pasien yang disebabkan oleh

pertumbuhan vaskularisasi yang meningkat secara masif di dalam rahim. Begitu perdarahan

dimulai, hampir tidak mungkin untuk mengontrolnya tanpa beberapa bentuk intervensi

operasi. (Hegde, 2017; Wang, 2017).

Insiden terjadinya Cesarean Scar Pregnancy (CSP) menjadi meningkat karena

peningkatan prosedur yang bisa berpotensi merusak endometrium seperti operasi caesar. Hal

ini memerlukan perbaikan dalam teknik pemeriksaan melalui ultrasound sehingga

kesempatan untuk mendeteksi adanya CSP menjadi lebih baik. Diagnosis CSP seringkali sulit

untuk dilakukann, sehingga kecurigaan dini adanya kemungkinan terjadinya CSP sangat

penting karena kesalahan dalam mendiagnosis dapat menyebabkan komplikasi parah yang

mengancam nyawa seperti terjadinya ruptur uterus, plasenta yang melekat dalam rahim,

perdarahan hebat dan syok hipovolemik dengan konsekuensi morbiditas dan kehilangan

kesuburan di masa depan. (So Yun Kim et al, 2018).

Diagnosis munculnya CSP seringkali sulit untuk dilakukan, dan diagnosis negatif palsu

dapat menyebabkan komplikasi yang besar di kemudian hari, hingga dapat terjadinya

tindakan histerektomi pada pasien. Diagnosis didasarkan pada penemuan kantung kehamilan

di lokasi bekas luka operasi cesar sebelumnya dengan adanya rongga rahim dan serviks yang

kosong, serta miometrium tipis yang berdekatan dengan kandung kemih, (Timor Tritsch et al,

2012).

1
2

Meskipun telah banyak kasus terjadinya CSP dan terdapat penanganan dengan

modalitas yang berbeda telah dilaporkan, pengelolaan CSP yang optimal masih kontroversial

karena prevalensinya yang masih rendah, (So Yun Kim et al, 2018). Penanganan secara

optimal pada pasien trimester pertama kehamilan dengan diagnosis CSP masih belum pasti.

Hingga saat ini terdapat beberapa modalitas pengobatan yang telah diusulkan antara satu

pengobatan utama saja atau kombinasinya dengan modalitas pengobatan lain namun masih

perlu penelitian lebih lanjut, (Timor Tritsch et al, 2012).


BAB II

PATOGENESIS CSP

Meskipun patogenesis Cesarean Scar Pregnancy (CSP) belum sepenuhnya dipahami,

mekanisme yang telah dikemukakan yakni melibatkan implantasi blastokista dalam saluran

dehiscence mikroskopis di bekas luka dari sesar sebelumnya. Karena sifat fibrosa dari

jaringan parut, tempat implantasi yang tidak sempurna ini berisiko mengalami dehiscence dan

perdarahan saat CSP membesar. CSP dan plasenta akreta memiliki jalur penyakit yang

serupa. Dalam suatu studi dimana kehamilan dengan CSP atau Placenta Accreta Spectrum

(PAS) dini menjalani analisis histopatologi oleh ahli patologi, dengan hasil temuannya yakni

tidak terdapat perbedaan antar kedua kasus tersebut. Analisis histopatologi keduanya ditandai

dengan invasi vili miometrium atau jaringan parut dengan sedikit maupun tanpa intervensi

desidua, (Timor-Tritsch et al, 2020).

Pola implantasi CSP dapat dikategorikan sebagai endogenik (juga disebut sebagai

"pada bekas luka") atau eksogenik (pada "niche") (Gambar 2.1). Endogenik didefinisikan

sebagai tumbuh di dalam rongga rahim dan eksogenik yang timbul dari kantung kehamilan

yang tertanam dalam ke dalam bekas luka yang mungkin tumbuh ke arah kandung kemih atau

rongga perut. Penampilan ultrasonografi ini dapat mempengaruhi prognosis obstetri. Telah

disarankan baru-baru ini bahwa penentuan trimester pertama awal apakah CSP tumbuh pada

"bekas luka" maupun "niche" dari histerotomi sesar sebelumnya dapat digunakan untuk

memprediksi hasil kehamilan selanjutnya. Dalam sebuah pengalaman retrospektif, pasien

dengan kehamilan yang tumbuh padai “bekas luka” memiliki hasil obstetrik yang bervariasi,

sedangkan mereka yang kehamilannya tumbuh di dalam niche semuanya menjalani

histerektomi dengan PAS saat persalinan, (Agten et al, 2017).

3
4

A B

Gambar 2.1 Pola Implantasi


A. Pola implantasi pada bekas luka ; B. Pola implantasi pada niche, (Agten et al, 2017)

Plasenta terletak di dalam rahim dan memodulasi lingkungan dalam rahim untuk

memberikan nutrisi yang dibutuhkan janin untuk perkembangan yang optimal. Jaringan

pembuluh darah yang padat di dalam plasenta bertanggung jawab untuk pertukaran gas

pernapasan, nutrisi, dan limbah antara ibu dan janin saat kehamilan, hal-hal tersebut

merupakan kebutuhan yang penting untuk pertumbuhan janin. Selama masa kehamilan,

pembuluh darah plasenta ada dan terus berkembang untuk mengakomodasi kebutuhan janin

(Pereira RD et al, 2015).

Gambar 2.2 Angiogenesis plasenta normal berdasarkan usia kehamilan (Pereira RD et al, 2015).

Tanda pertama angiogenesis plasenta normal terjadi pada usia kehamilan 3 minggu

ditandai dengan terbentuknya lacuna dalam ukuran kecil dan hal ini merupakan interaksi

awal dengan pembuluh darah ibu. Namun mulai sekitar 12 minggu dan seterusnya, pembuluh
5

darah menonjol ke arah lapisan trofoblas vili, di mana pertukaran darah antara sirkulasi ibu

dan janin optimal. Dari sekitar 9-23 minggu kehamilan, terjadi perluasan tempat kapiler

janin. Dari usia kehamilan 23-24 minggu, perubahan terbesar dalam perkembangan pembuluh

darah dan komposisi vili diamati. Angiogenesis berlanjut sampai cukup bulan dengan

pematangan pembuluh darah dan perkembangan jaringan vaskular yang lebih kompleks

untuk memfasilitasi pertumbuhan janin secara eksponensial (Pereira RD et al, 2015).


BAB III

DIAGNOSIS CSP

Diagnosis dan pengobatan kehamilan bekas luka sesar (CSP) telah menjadi tantangan

bagi kebidanan kontemporer. Dengan peningkatan yang signifikan dalam persentase

kehamilan yang diakhiri dengan operasi caesar dan dengan perkembangan ultrasonografi

transvaginal (TVS), frekuensi diagnosis CSP juga meningkat. Kehamilan bekas luka caesar

adalah jenis kehamilan ektopik dimana sel telur yang telah dibuahi ditanamkan di otot atau

jaringan fibrosa bekas luka setelah operasi caesar sebelumnya, (Piotr, et al, 2018). Diagnosis

kehamilan dengan luka caesar berdasarkan gejala dan pemeriksaan panggul saja sulit

dilakukan karena CSP tidak menunjukkan gejala pada fase awal. Tanda-tanda kehamilan

jenis ini seringkali tidak spesifik. Perdarahan vagina dan sakit perut juga sering muncul pada

kondisi kebidanan lainnya. Berkat kemajuan pencitraan Ultrasonografi (USG) transvaginal,

penegakan diagnosis CSP yang tepat menjadi jauh lebih mudah (Piotr, et al, 2018).

CSP didiagnosis ketika rongga rahim dan saluran serviks kosong dan kantung

kehamilan berada di bagian anterior isthmus uterus. Ketebalan miometrium di tempat

implantasi dapat diukur di lokasi antara kantung kehamilan dan kandung kemih, dapat

disebut abnormal bila ukurannya kurang dari delapan milimeter. Sekitar dua pertiga kasus

CSP memiliki ketebalan miometrium kurang dari lima milimeter. Implantasi abnormal ini

terjadi ketika blastokista ditanamkan ke dalam jaringan parut dari luka bekas operasi caesar

sebelumnya. Wanita yang telah menjalani beberapa kali prosedur operasi caesar memiliki

risiko lebih tinggi mengalami implantasi abnormal ke dalam jaringan parut fibrotic (Hoffman

et al, 2020).

6
7

3.1. Kriteria Caesarean Scar Pregnancy

Beberapa kriteria diagnostik CSP, yaitu kavum uteri kosong dan tertutup serta kanalis

servikalis kosong, plasenta dan kantong kehamilan tertanam pada skar bekas operasi caesar

dan dikelilingi oleh miometrium, dan kantong kehamilan berbentuk segitiga atau bulat atau

oval yang mengisi niche. Adapun kriteria lainnya, yaitu lapisan miometrium tipis atau tidak

ada miometrium di antara kantong kehamilan dan vesika urinaria, yolk sac, embrio dan

aktivitas kardiak dapat ada ataupun tidak, terdapat bukti adanya trofoblastik atau sirkulasi

plasenta pada pemeriksaan doppler. MRI kadang diperlukan ketika diagnosis melalui USG

sulit dilakukan misalnya fibroid yang besar atau usia kehamilan lebih lanjut, (Satgas Akreta,

2019).

Tabel 3.1 Kriteria USG untuk CSP

Kriteria USG untuk diagnosis bekas luka operasi Caesar (Osborn et al, 2012).

1. Rongga rahim kosong dengan endometrium yang divisualisasikan dengan jelas

2. Saluran serviks kosong

3. Kantung kehamilan tertanam di segmen bawah rahim anterior di lokasi bekas luka

sayatan operasi Caesar

4. Miometrium terlihat tipis bahkan sampai dengan tidak terlihat diantara kantung

kehamilan dan kandung kemih. (Mayoritas kasus memiliki ketebalan miometrium

<5 milimeter)
8

Gambar 3.1 Sonoanatomi Uterus

CSP dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis berdasarkan temuan pencitraan dan

perkembangan kehamilan. Tipe 1, atau endogenik, CSP dimana tempat implantasi terjadi

pada luka bekas operasi caesar dan kantung kehamilan tumbuh menuju serviko-isthmik atau

kavum uteri. Tipe 2, atau eksogenik, CSP terjadi ketika kantung kehamilan tertanam lebih

dalam pada luka bekas operasi caesar hingga miometrium di sekitarnya dan tumbuh menuju

kandung kemih. Pada tipe eksogenik, lapisan miometrium dapat terlihat di antara kantung

kehamilan dan kandung kemih, namun myometrium dapat tervisualisasi tipis bahkan sampai

dengan tidak terlihat, dengan tonjolan kantung kehamilan melalui celah saat kehamilan

berlangsung, sehingga membawa risiko lebih besar terjadinya ruptur (Satgas Akreta, 2019).

Hubungan antara kantung kehamilan CSP, skar SC dan dinding uterus anterior

dianalisis untuk menentukan apakah dapat memprediksi evolusi CSP. Untuk melakukan ini,

Cali G. dkk. menggunakan tanda sonografi baru, Cross over sign (COS). Pada pandangan

sagital rahim, garis lurus ditarik menghubungkan orifisium uteri internal dan fundus uteri

melalui endometrium (garis endometrium) (Gambar 1). Kantung kehamilan diidentifikasi dan

diameter superior-inferior (S-I), tegak lurus terhadap garis endometrium, dilacak. Pasien
9

dikategorikan menurut hubungan antara garis endometrium dan diameter S-I dari kantung

kehamilan menjadi dua kelompok: (1) COS-1, di mana kantung kehamilan ditanamkan pada

skar SC, dan setidaknya dua pertiga dari diameter S-I dari kantung kehamilan berada di atas

garis endometrium, menuju dinding rahim anterior (Gambar 1 dan 2); dan (2) COS-2, di

mana kantung kehamilan terimplantasi dalam skar SC, dan kurang dari dua pertiga dari

diameter S–I kantung kehamilan berada di atas garis endometrium. Kasus-kasus ini kemudian

dibagi menjadi dua kategori yang berbeda sesuai dengan ada (COS-2 +) atau tidak adanya

(COS- 2-) dari

persimpangan antara diameter S-I dari kantung kehamilan dan garis endometrium.

Gambar 3.2. Diagram kantong kehamilan, pada CSP dan


10

dinding rahim anterior, didefinisikan sebagai crossover sign (COS), dalam plasenta yang
lengket (Satgas Akreta, 2019)

3.2. Pemeriksaan penunjang pada CSP

Penegakan diagnosis Cesarean Scar Pregnancy pada trimester pertama jarang

dilaporkan sehingga tidak ada konsensus tentang penanda awal terjadinya kondisi ini.

Sehingga pemeriksaan untuk memprediksi di awal kehamilan harus dipertimbangkan untuk

menilai terjadinya Cesarean Scar Pregnancy. Beberapa penelitian telah menggambarkan

bahwa posisi kantung di dalam niche (atau di bekas luka operasi cesar), ketebalan

miometrium, munculnya lakuna pada awal plasentasi dan hipervaskularitas pada area

permukaan uterus dan kandung kemih adalah modalitas ultrasonografi yang paling tepat

dilakukan pada usia kehamilan 11-14 minggu pertama terkait dengan diagnosis Plasenta

Akreta dini. Baru-baru ini penilaian yang dipublikasikan dari skrining dan diagnostik dua

tahap protokol untuk Cesarean scar pregnancy juga menunjukkan akurasi yang tinggi untuk

memprediksi kemungkinan terjadinya Cesarean Scar Pregnancy dengan memakai

ultrasonografi pada trimester pertama (tingkat false positive 0,1%). Dalam penelitian yang

pernah dilakukan, semua kasus dari Plasenta akreta dikaitkan, pada saat penilaian diagnostik

dini usia kehamilan 12 minggu di klinik khusus Plasenta akreta, dengan modalitas

ultrasonografi, terdapat intraplacental lacunae, retroplacental arteri-trofoblas blood flow dan

vaskularisasi yang tidak teratur pada plasenta (Timor tritsch et al, 2019).
11

Gambar 3.3 Perubahan USG Transvaginal pada saat usia kehamilan 5-7 minggu (Timor tritsch et al,
2019)

Penanda ultrasonografi pada awal kehamilan Cesarean scar pregnancy (CSP) trimester

pertama muncul antara 5-7 minggu kehamilan. Pada gambar (a) CSP di 5/6 minggu: bagian

tengah kantung (X dengan panah putih panjang) terlihat di bawah garis kuning putus-putus

yang menandai bagian tengah rahim secara sagittal. (b) CSP pada 6/7 minggu, menunjukkan

rongga uterus kosong dan lokasi bekas luka, dengan garis kandung kemih sedikit terdistorsi

oleh kantung kehamilan. (c) CSP pada 6/7 minggu: pencitraan Doppler warna dalam kasus

yang sama seperti pada (b), mengungkapkan pembuluh darah di sekitar kantung; beberapa

dekat dengan kandung kemih. (d) CSP pada 7/8 minggu: bagian longitudinal uterus dengan

kantung kehamilan diam di posisi rendah anterior. (e) CSP pada 7/8 minggu: plasenta previa

anterior bawah sudah menunjukkan lakuna; panah kecil menguraikan bagian uterus. (f) CSP

pada 7/8 minggu, menunjukkan plasenta ditanamkan jauh ke dalam niche dari persalinan

caesar sebelumnya (Timor tritsch et al, 2019).

Gambar 3.4 Perubahan USG Transvaginal pada saat usia kehamilan 8-10 minggu (Timor tritsch et al,
2019)

Penanda ultrasonografi kehamilan pada trimester pertama Cesarean scar pregnancy

(CSP) muncul antara 8-10 minggu kehamilan. (a) CSP di 8/9 minggu: plasenta previa dengan

rongga kosong terlihat di bidang sagital uterus. (b) CSP pada 8/9 minggu: penampang
12

melintang menunjukkan ketidakberaturan garis kandung kemih dengan kantung kehamilan.

(c) CSP pada 9/10 minggu, menunjukkan posisi rendah anterior dari kantung kehamilan. (d)

CSP pada 10 minggu: bagian melintang uterus dengan kantung kehamilan menonjol ke dalam

kandung kemih. (e) CSP pada 10/11 minggu, menunjukkan anterior rendah plasenta, dengan

lakuna plasenta dan tidak ada ruang kosong miometrium anterior. (f) CSP pada 10/11

minggu: selain lacuna, konsentrasi anterior pembuluh darah terlihat pada sambungan

kandung kemih-uterus pada pencitraan Doppler (Timor tritsch et al, 2019).

Cesarean Scar Pregnancy dapat dikategorikan menjadi empat grade berdasarkan

temuan ultrasonografi. Definisi Cesarean Scar Pregnancy grade I saat gestational sac (GS)

tertanam kurang dari setengah ketebalan miometrium. grade II CSP menunjukkan bahwa

Cesarean Scar Pregnancy menempati lebih dari setengah kedalaman miometrium yang

ditanamkan. grade III Cesarean Scar Pregnancy, GS menonjol keluar dari atasnya

miometrium dan serosa. Cesarean Scar Pregnancy grade IV menunjukkan bahwa GS

menjadi tumor amorf dengan vaskularisasi yang kaya di lokasi bekas luka cesar sebelumnya,

(JC Shih et al, 2017).

Gambar 3.5 Grading CSP (JC Shih et al, 2017)

Deskripsi sistem penilaian ultrasound pada Cesarean Scar Pregnancy. Grade I

Cesarean Scar Pregnancy mewakili kedalaman Cesarean Scar Pregnancy tertanam dalam

ketebalan kurang dari setengah korpus anterior bawah dan dapat terjadi pada usia kehamilan
13

± 5-7 minggu. Grade II Cesarean Scar Pregnancy tertanam lebih dari setengah ketebalan

korpus anterior bawah dan dapat terjadi pada usia kehamilan ± 7-9 minggu. Grade III

Cesarean Scar Pregnancy, GS menonjol keluar dari miometrium atasnya dan serosa Rahim

dan dapat terjadi pada usia kehamilan ± 7-10 minggu. Pada Cesarean Scar Pregnancy Grade

IV, GS menjadi tumor amorf dengan vaskularisasi yang kaya pada Cesarean Scar Pregnancy

dan dapat terjadi pada usia kehamilan ± 9-11 minggu. Hal ini menunjukkan bahwa, grading

Cesarean Scar Pregnancy berhubungan dengan usia kehamilan, (Shin Yu Lin et al, 2018).

Publikasi menyarankan bahwa USG kehamilan dini pada pasien setelah operasi caesar

harus dilakukan dengan probe 5-12 MHz karena mereka optimal untuk deteksi CSP.

Pemeriksaan Doppler penting untuk menegakkan diagnosis yang benar karena menunjukkan

vaskularisasi kualitatif dan kuantitatif di sekitar bekas luka seksio Caesar. Dalam CSP,

pencitraan Doppler warna menunjukkan vaskularisasi fungsional plasenta yang disebabkan

oleh peningkatan aliran darah dengan kecepatan sistolik puncak / Peak Systolic Velocity

(PSV) lebih besar dari 20 cm/s dan pulsatililty index (PI) lebih rendah dari 1. Dalam banyak

kasus, aliran turbulen berkecepatan tinggi dan impedansi (aliran bolak-balik) rendah relatif

tidak berubah sampai β-hCG kembali ke nilai normal. Pasien dengan gambaran aliran ini

harus diberi tahu tentang risiko ruptur uterus dan perdarahan internal akibat aliran yang

memiliki kecepatan tinggi bahkan jika β-hCG menurun secara bertahap selama observasi.

Selain itu, kecepatan puncak sistolik yang tinggi harus menjadi tanda peringatan yang jelas

untuk tidak melakukan dilatasi dan kuretase (D&C) untuk penghentian CSP karena risiko

perdarahan hebat dari area tersebut (Piotr et al, 2018).


14

Gambar 3.6 USG


TVS dengan
pencitraan Doppler
berwarna. Bagian

longitudinal uterus dengan CSP (minggu ke-6 hari ke-3). CSP menonjol ke arah kandung kemih dengan sinyal
Doppler warna perifer yang kuat, (Piotr et al, 2018).

Saat melakukan pemeriksaan ultrasonografi, operator harus memvisualisasikan rahim

pada bagian sagital, memperhatikan leher rahim dan tubuh rahim serta rongga rahim dan

saluran serviks. Ciri khas untuk CSP adalah sebagai berikut : Tidak ada kantung kehamilan di
15

dalam rongga rahim dan saluran serviks, visualisasi kantung kehamilan dan / atau plasenta di

bekas luka seksio sesarea, lapisan otot yang sangat tipis antara kantung kehamilan dan

dinding kandung kemih (1 hingga 4,6 mm) dan vaskularisasi intensif di sekitar bekas luka

operasi Caesar (Niche). Tanda-tanda lain yang menunjukkan CSP termasuk apa yang disebut

negative organ sliding sign, yaitu kurangnya gerakan kantung kehamilan pada tekanan

lembut dengan probe di vagina. Kriteria ini mengeksklusi diagnosis lain, seperti kehamilan

serviks, atau aborsi spontan (Piotr et al, 2018).

Gambar 3.7 USG 3D Kantung gestasional yang menonjol ke arah kandung kemih (Piotr et al, 2018).

Diagnosis CSP pada pasien untuk manajemen terapeutik yang tepat juga menggunakan

ultrasonografi tiga dimensi (3D), meskipun teknik pencitraan ini tidak dapat menggantikan

teknik dua dimensi, teknik ini dapat memberikan manfaat yang besar seperti memvisualisasi

lokasi yang tepat dari kantung kehamilan dan penilaian hubungannya dengan dinding

kandung kemih dan struktur panggul bawah lainnya (Piotr et al, 2018).

Ultrasound transvaginal 3 dimensi dan pencitraan power ultrasound 3 dimensi telah

digunakan untuk menambah akurasi dari diagnosa CSP, terdapat berbagai laporan kasus yang

mendukung kegunaan teknik ini. Namun, karena keterbatasan pengalaman yang dipublikasi

dengan pendekatan ini, belum ada cukup data untuk mendukung manfaat penggunaan rutin
16

pencitraan ultrasound 3 dimensi untuk diagnosis atau tatalaksana CSP, (Timor-Tritsch et al,

2020).

Gambar 3.8 MRI pada kasus CSP (minggu 8 hari 3) di segmen bawah dinding rahim anterior di bekas luka
Caesar (panah). Miometrium tipis antara kantung kehamilan dan kandung kemih (Piotr et al, 2018).

Selain itu, magnetic resonance imaging (MRI) juga terbukti berguna dalam

mendiagnosis CSP. Hal ini memungkinkan pengukuran yang akurat dari jarak antara kandung

kemih, miometrium dan kantung kehamilan, dan memberikan visualisasi yang baik dari

rongga rahim hingga saluran serviks, (Piotr et al, 2018).

MRI telah digunakan sebagai tambahan di samping pencitraan dengan ultrasound untuk

diagnosis CSP, meskipun manfaat tambahannya melalui pencitraan ultrasound saja masih

tidak diketahui. Baik gambar dengan pembobotan T1 dan T2 dapat mendemonstrasikan

kantung kehamilan tertanam di dalam rahim bagian bawah segmen pada tingkat niche bekas

luka sesar sebelumnya dan sebuah rongga endometrium kosong dan endoserviks. MRI juga

dapat memberikan informasi yang berguna utnuk membuktikan adanya PAS dan juga tingkat

invasi. Kebanyakan penulis tidak merekomendasikan MRI sebagai komponen rutin evaluasi

CSP, oleh karena Pencitraan USG transvaginal dengan Doppler berwarna diyakini dapat

diandalkan dalam penegakan diagnosa. Namun, dalam kasus di mana pencitraan USG tidak

meyakinkan, MRI dapat dianggap sebagai studi tambahan. Mengingat risiko yang dapat
17

muncul oleh karena diagnostik yang tertunda, penggunaan berbagai pendekatan pencitraan

baik ultrasound dan modalitas lain, seperti MRI, mungkin lebih disukai daripada pemeriksaan

ultrasonografi serial, (Timor-Tritsch et al, 2020).

Diagnositik CSP telah dilaporkan juga dengan tindakan histeroskopi dan laparoskopi.

Meskipun demikian, metode ini tidak disarankan jika hanya bertujuan untuk diagnostik,

metode ini dapat digunakan pada saat dilakukan intervensi operasi yang telah direncanakan

setelah pasien terdiagnosis untuk mengkonfirmasi diagnosis CSP yang telah ditegakkan.

Dengan pemeriksaan laparoskopi, CSP digambarkan sebagai tonjolan ekimotik dengan

tampilan "merah-salmon" di bawah kandung kemih di tingkat bekas luka sesar sebelumnya

dengan uterus yang tampak normal, (Timor-Tritsch et al, 2020).

3.3. Prognosis Caesarean Scar Pregnancy

Terdapat pengembangan sistem staging USG pada prenatal untuk mengetahui adanya

gangguan placenta accreta spectrum (PAS) pada wanita dengan plasenta previa dan

mengevaluasi hubungan dengan hasil tindakan bedah, invasi plasenta dan stadium klinis

untuk gangguan PAS. Wanita dengan plasenta previa dengan adanya gangguan pada placenta

accreta spectrum (PAS), memiliki tanda ultrasonografi PAS yang diklasifikasikan sebagai

PAS 0, yakni plasenta previa tanpa adanya tanda-tanda invasi pada pemeriksaan

ultrasonografi atau adanya lakuna pada plasenta tetapi tidak ada bukti kelainan pada

permukaan uterus dan kandung kemih. PAS1, yakni terdapat setidaknya dua lakuna pada

plasenta, loss of clear zone atau bladder wall interruption. PAS2, yakni PAS1 ditambah

dengan adanya hipervaskularitas uterovescical; PAS3, yakni PAS1/PAS2 ditambah adanya

peningkatan vaskularisasi di bagian inferior segmen bawah uterus yang berpotensi meluas ke

regio parametrial, (Cali et al, 2019).


18

Tabel 3.2: Sistem staging USG prenatal untuk gangguan placenta accreta spectrum (PAS) dan temuan pada
histopatologi.
PAS Staging Ultrasonografi Kemungkinan Histopathologi
Staging
PAS 0 Plasenta previa tanpa adanya tanda-tanda Implantasi normal / Retensi
invasi pada pemeriksaan ultrasonografi atau placenta
adanya lakuna pada plasenta tetapi tidak ada
bukti kelainan pada permukaan uterus dan
kandung kemih
PAS 1 Terdapat setidaknya dua lakuna pada Plasenta Akreta/Inkreta
plasenta, loss of clear zone atau bladder wall
interruption
PAS 2 PAS1 + adanya hipervaskularitas Plasenta Perkreta fokal/ difus
uterovescical
 
PAS 3 PAS1/PAS2 + adanya peningkatan Plasenta perkreta menginvasi
vaskularisasi di bagian inferior segmen sepertiga inferior segmen
bawah uterus yang berpotensi meluas ke bawah rahim dan dinding
regio parametrial panggul lateral (atau
parametrium)

Terdapat suatu analisis retrospektif yang dilakukan oleh Cali dkk, dengan

mengumpulkan data dari wanita dengan kasus plasenta previa, riwayat operasi cesar, maupun

pada wanita yang sebelumnya pernah mengalami operasi pada uterus, Yang saat ini sedang

hamil pada trimester pertama (5-7 minggu gestasi) dilakukan pemeriksaan melalui USG.

Hubungan antara posisi kantung kehamilan dan bekas luka operasi cesar dapat dinilai

menggunakan tiga penanda USG yang dilakukan pada trimester pertama, yang telah

dilaporkan oleh Cali et al. (crossover sign (COS)), Kaelin Agten et al. (implantation of the

gestational sac on the scar vs in the niche of the CS) and Timor-Tritsch et al. (position of the

center of the gestational sac below vs above the midline of the uterus). Tujuan utama dari

penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi hubungan antara temuan USG pada trimester

pertama dengan staging Placenta Accreta Spectrum (PAS) pada USG trimester ketiga.

Tujuan kedua dari penelitian tersebut adalah untuk menjelaskan apakah kombinasi

pemeriksaan USG pada trimester pertama dan staging USG pada Placenta Accreta Spectrum

dapat memprediksi hasil pembedahan, (Cali et al, 2020).


19

Tabel 3.3 : Posisi kantung kehamilan dalam kaitannya dengan bekas luka operasi cesar yang terlihat pada USG
trimester pertama

Pada tabel 3.2 menunjukkan distribusi berbagai jenis COS pada USG trimester pertama,

menurut staging USG trimester ketiga dari PAS. Semua wanita dengan implantasi kantung

kehamilan normal pada USG trimester pertama diklasifikasikan sebagai PAS 0 pada trimester

ketiga. Hanya 7,7% (3/39) dari kasus yang diklasifikasikan sebagai COS-1 pada trimester

pertama ditemukan menjadi PAS 1 pada trimester ketiga, dibandingkan dengan 92,3%

(36/39) dari kasus COS-2 (P <0,01). Lebih penting lagi, 79,6% (43/54) kasus dengan COS-1

pada penilaian trimester pertama ditemukan PAS 3 pada USG trimester ketiga, dibandingkan

dengan 20,4% (11/54) kasus COS-2 (P <0,01). Perbandingan implantasi kantung kehamilan

pada niche di bekas operasi cesar sebelumnya dengan implantasi kantung kehamilan pada

bekas luka, terdapat 23,1% (9/39) wanita dengan implantasi di dalam niche, dibandingkan

dengan 76,9% ( 30/39) wanita dengan implantasi kehamilan pada bekas luka, pada USG

trimester ketiga didapatkan kategori PAS 1 (P <0,001). Sebaliknya, terdapat 94,4% (51/54)

wanita dengan implantasi kantung kehamilan pada niche dikategori sebagai PAS 3,

dibandingkan dengan wanita dengan implantasi pada bekas luka (P <0,01) yang hanya 5,6%

dikategorikan sebagai PAS 3 (3/54). Yang terakhir, terdapat 100% wanita (54/54) dengan

posisi kantung kehamilan yang berada di bawah garis tengah uterus didiagnosis dengan
20

kategori PAS 3, dibandingkan PAS 1 dengan 17,9% (7/39) dan PAS 2 dengan 87,5% (14/16),

(Cali et al, 2020).


BAB IV

TATALAKSANA CSP

Karena risiko tingginya morbiditas pada ibu, pilihan manajemen dengan melanjutkan

kehamilan tidak dianjurkan untuk CSP yang telah diketahui, dan penghentian kehamilan

umumnya disarankan segera setelah pasien terdiagnosa. Pada kasus yang diduga CSP namun

diagnosisnya masih belum yakin, maka follow up dengan interval yang pendek, second

opinion, atau pencitraan tambahan dengan MRI dapat dipertimbangkan untuk membuat

diagnosis yang tepat waktu tanpa adanya penundaan yang tidak semestinya, (Timor-Tritsch et

al, 2020).

Pada kasus CSP yang secara definitif terdiagnosis sebagai nonviable, manajemen yang

diharapkan dapat ditegakkan melalui ultrasonografi serial, pengukuran kuantitatif pengukuran

beta-human chorionic gonadotropin (beta-hCG), dan pemantauan gejala maternal seperti

perdarahan atau nyeri panggul. Namun, harus diakui bahwa waktu yang dibutuhkan dapat

berjalan hingga beberapa bulan pada nonviable CSP untuk dapat berakhir secara spontan, dan

manajemen mempertahankan kehamilan dari nonviable CSP telah dikaitkan dengan

perkembangan Arteriovenous malformation (AVM) pada uterus. AVM uterus dalam konteks

klinis telah dikaitkan dengan perdarahan persisten pada vagina yang mungkin memerlukan

Tindakan embolisasi arteri umbilikalis atau bahkan histerektomi. Pada penelitian yang dibuat

oleh Timor-Tritsch dkk, 20% (2/10 wanita) dirawat dengan mempertahankan kehamilan

mengalami AVM, (Timor-Tritsch et al, 2020).

Meskipun terdapat beragam pililhan untuk manajemen CSP yang telah dilaporkan,

namun pengobatan yang optimal masih belum diketahui. Terapi pembedahan, medis, dan

terapi invasif minimal dan berbagai kombinasi perawatan tersebut telah dijelaskan. Namun,

literatur medis yang tersedia sebagian besar berupa rangkaian kasus, dengan jumlah RCT

21
22

yang terbatas dalam membandingkan berbagai pendekatan pengobatan tersebut. Pada studi

dari kasus-kasus ini juga ini dipengaruhi oleh level variabel pengalaman klinis, kemampuan

fasilitas kesehatan, keterampilan operator, dan kompleksitas kasus, yang menjadi tantangan

tersendiri dalam menentukan perbandingan antar studi. Kesimpulan tentang terapi CSP yang

optimal selanjutnya juga masih dibatasi oleh kurangnya perbandingan langsung antara terapi

medikamentosa dan terapi bedah (Timor-Tritsch et al, 2020).

Modalitas yang telah dijelaskan untuk pengobatan CSP di antaranya termasuk:

histeroskopi, laparoskopi, laparotomi, operasi terbuka, operasi transvaginal, kuretase

(termasuk kuretase tajam dan teknik aspirasi vakum), embolisasi arteri uterina (UEA),

metotreksat (termasuk injeksi terpandu lokal dan pemberian sistemik), injeksi kalium klorida

(KCl), dekompresi kantung kehamilan dengan panduan jarum, pencitraan ultrasound terfokus

intensitas tinggi, penggunaan kateter balon, dan kombinasi dari metode-metode ini. Dalam

salah satu review, penulis melaporkan bahwa pemilihan terapi dipengaruhi oleh spesialisasi

dokter, para ahli bedah ginekologi memilih melakukan kuretase, laparoskopi, dan

histeroskopi dan dokter kandungan lebih siap melakukan suntikan berbasis jarum dan

keterlibatan radiologi intervensi, (Timor-Tritsch et al, 2020).

Tabel 4.1: Pilihan terapi untuk CSP (Timor-Tritsch et al, 2020)


23

Studi
Metode Serial kasus RCT Jumlah subjek, Efikasi Komplikasi
n % %
Expectant management 5 0 41 41,5 53,7
Metotreksat sistemik 18 3 339 75 13
Aspirasi jarum metotreksat sistemik 6 0 148 84,5 15,5
Kuretase 21 0 243 48 21
Histeroskopi 7 0 95 83 3,2
Reseksi ransvagina 6 0 118 >99 0,9
Embolisasi a. uterina + kuretase 5 2 295 93,6 3,4
Embolisasi a. uterina + histeroskopi 1 1 87 95,4 1,2
Embolisasi a. uterina + metotreksat 13 1 427 68,6 2,8
sistemik
Metotreksat lokal dan sistemik 2 0 34 75 2,3
Laparoskopi 7 0 69 97,1 0
Metotreksat lokal 2 1 74 64,9 4,1
HIFU 1 0 16 100 0
HIFU + kuretase suction dengan 1 0 52 100 0
histeroskopi
Double cervical ripening balloon 2 0 48 97,7 4,2
catheter

Keputusan tatalaksana CSP memiliki tujuan utama untuk menjaga kesehatan ibu,

diikuti dengan tujuan sekunder yaitu menjaga fertilitas bila memungkinkan. Keputusan

manajemen harus ditentukan setelah mempertimbangkan viabilitas kehamilan, usia

kehamilan, kesehatan ibu, pengaturan kehamilan selanjutnya keterampilan dan pengalaman

dokter, dan sumber daya institusional. Manajemen yang dipilih mungkin berbeda antar

institusi berdasarkan sumber daya, personel, dan klinis pengalaman. Bahkan dengan upaya

untuk menyesuaikan strategi pengobatan pasien individu dan presentasi klinis, masih ada

risiko besar untuk komplikasi dengan penatalaksanaan apapun pendekatan, (Timor-Tritsch et

al, 2020).

Tinjauan sistematis masih belum konsisten dikarenakan identifikasi modalitas

pengobatan CSP yang dilakukan masih berupa terapi tunggal dan masih dicari mana yang

optimal dan terbaik dengan menyeimbangkan tingkat keberhasilan dan resiko prosedural.

Dalam ulasan oleh Timor-Tritsch dan Monteagudo yang mencakup 751 dilaporkan kasus

CSP dan 31 pendekatan pengobatan yang berbeda, terdapat tingkat komplikasi sebanyak

44,1% yang telah dilaporkan secara keseluruhan. Komplikasi termasuk operasi darurat yang
24

tidak direncanakan itu termasuk histerektomi (4,8%), laparotomi (5,3%), dan EAU (2,9%).

Prosedur yang telah dilakukan dengan tingkat komplikasi yang tinggi ialah prosedur dengan

terapi tunggal methotrexate intramuskular (54/87 kasus; 62,1%), terapi tunggal kuretase atau

dalam kombinasi dengan modalitas lain (189/305 kasus; 61,9%), dan terapi tunggal EAU atau

kombinasi dengan modalitas lain (30/64 kasus; 46,9%). Adapun tingkat komplikasi yang

paling rendah di antara terapi lini pertama yakni dengan tindakan histeroskopi saja atau

dalam kombinasi (22/119 kasus; 18,4%) dan injeksi metotreksat intragestasional lokal atau

KCl (8/81 kasus; 9,6%). Berdasarkan hasil observasi dari tingkat komplikasi, pada sebuah

ulasan mendukung penggunaan methotrexate lokal dan pendekatan berbasis histeroskopi

untuk pengobatan CSP dan tidak menganjurkan penggunaan methotrexate sistemik tunggal,

kuretase, dan UEA. Dari catatan, sebagian besar literatur tersedia tidak membedakan antara

kuretase sharp dan suction, meskipun tingkat komplikasi tampak lebih rendah dengan

kuretase hisap, (Timor-Tritsch et al, 2020).

Kesimpulan yang dicapai dalam tinjauan sistematis dengan mengumpulkan 2037 kasus

CSP, dengan sebagian besar usia kehamilan terdeteksi pada trimester pertama. Pengobatan

modalitas diringkas menjadi 14 pendekatan utama. Dinyatakan berhasil apabila dengan

modalitas pengobatan lini pertama sudah dapat menangani kasus CSP. Komplikasi mayor

didefinisikan Ketika dilakukannya histerektomi, perdarahan masif > 1000 mL, atau

dibutuhkannya transfusi darah. Dari hasil pengamatan, tingkat keberhasilan terendah terjadi

pada expectant management atau menunggu terjadi keguguran dengan sendirinya tanpa

pengobatan (41,5% keberhasilan, 53,7% komplikasi), kuretase (n=243; 48,1% keberhasilan,

21% komplikasi), EAU dan metotreksat (n=427; 68,6% sukses, 2,8% komplikasi), sistemik

metotreksat (n=339; 75,2% sukses, 13% komplikasi), dan gabungan metotreksat lokal dan

sistemik (n=34; 76,5% sukses, 2,3% komplikasi). Diantara terapi yang dilaporkan, tingkat

keberhasilan tertinggi adalah dengan reseksi CSP transvaginal (n=118; 99,2% sukses, 0,9%
25

komplikasi), laparoskopi (n=69; 97,1% berhasil, 0% komplikasi), EAU dengan kuretase,

histeroskopi, atau keduanya (n=85; 95,4% sukses, 1,2% komplikasi), dan EAU sendiri

(n=295; 93,6% sukses, 3,4% komplikasi). Berbasis pada studi kasus tersebut, dapat

disimpulkan bahwa pendekatan intervensi tampak lebih unggul daripada terapi

medikamentosa. Pengobatan dengan kateter balon ganda serviks yang dapat menghentikan

kehamilan sambil memampatkan suplai darah ke kantung kehamilan juga telah dilaporkan

efektif. Beberapa kasus telah dilaporkan dengan tingkat komplikasi yang rendah (4.2%) dan

tingkat keberhasilan yang tinggi (97,7%) dengan digunakannya teknik ini, (Birch et al, 2016).

Perlu ditekankan dalam penanganan CSP, modalitas reseksi transvaginal, EAU, dan

laparoskopi saja maupun kombinasi tampaknya lebih unggul dibanding terapi medis dan

tindakan minimal invasive, namun modalitas ini membutuhkan sumber daya seperti

perlengkapan khusus ruang prosedural atau ruang operasi, peralatan canggih, ketersediaan

anestesi, dan staf terlatih. Akibatnya, beberapa intervensi ini tidak tersedia secara luas, dan

mungkin saja menjadi mahal. Selain itu, hanya ada sedikit penelitian yang membandingkan

metode ini secara langsung, seperti suntikan lokal methotrexate intragestasional atau KCl.

Rekomendasi pendekatan CSP kemudian dapat kita diferensiasi menjadi pendekatan Bedah

(surgical) dan Medikamentosa (medical), (Timor-Tritsch et al, 2020).

4.1. Terapi yang direkomendasikan untuk CSP

4.1.1. Terapi bedah

Baik pilihan pengobatan medis dan intervensi telah dijelaskan untuk pengelolaan CSP.

Diantaranya bedah pilihan penatalaksanaan, transvaginal dan laparoskopi. Reseksi CSP

memiliki tingkat komplikasi yang rendah, meskipun data yang dipublikasikan tentang teknik

ini terbatas. Keuntungan potensial dari pendekatan ini adalah agar jaringan parut dapat

diangkat dan bagian sekitar miometrium dapat direkonstruksi kembali pada saat
26

pengangkatan CSP. Tidak diketahui apakah praktik ini mengurangi risiko CSP terulang

Kembali, (Timor-Tritsch et al, 2020).

Kuretase saja, tanpa perawatan adjuvan, yang telah dilakukan dapat mengakibatkan

komplikasi yang tinggi, yang meliputi perdarahan dan perforasi, karena ketidakmampuan

untuk sepenuhnya mengakses dan membuang jaringan trofoblas di luar rongga endometrium

dan karena jaringan parut berkontraksi dengan buruk setelah kuretase. Kuretase yang tajam

dapat merusak dinding pembuluh darah yang cukup dalam dan mengakibatkan pasien

mengalami pendarahan aktif. Disamping tingkat komplikasinya yang tinggi, perawatan

tambahan diperlukan pada 52% kasus kuretase. Perlu dicatat bahwa literatur yang telah

dipublikasikan belum sepenuhnya membedakan antara kuretase tajam dan vakum aspirasi,

yang memiliki tingkat keberhasilan dan komplikasi yang berbeda pada manajemen CSP.

Tindakan reseksi operatif (Dengan transvaginal atau pendekatan laparoskopi bila

memungkinkan) atau vakum aspirasi dengan panduan ultrasound lebih disarankan untuk

pertimbangan manajemen bedah pada CSP dibandingkan dengan Tindakan tunggal kuretase

tajam yang harus dihindari, (Timor-Tritsch et al, 2020).

Meskipun kuretase tajam saja tidak direkomendasikan sebagai pengobatan CSP primer,

manfaat yang lebih tinggi dan tingkat komplikasi yang lebih rendah telah dilaporkan dengan

panduan ultrasound vakum aspirasi. Dalam seri yang melibatkan 191 perempuan dengan CSP

yang menjalani kuretase hisap, sebanyak 4,7% membutuhkan transfusi darah dan satu kasus

histerektomi karena perdarahan. Di antara wanita yang kembali untuk tindak lanjut, terdapat

6% kasus operasi berulang karena hasil konsepsi yang tertinggal. Histerektomi merupakan

pilihan bedah alternatif yang dapat dipertimbangkan untuk pengelolaan CSP definitif.

Pendekatan ini mungkin sangat tepat untuk tahap awal kasus CSP pada trimester kedua atau

pada wanita yang sudah tidak menginginkan kesuburan di masa depan, (Timor-Tritsch et al,

2020).
27

4.1.2. Terapi Medikamentosa

Saat menjalani perawatan medis CSP, tindakan yang dilakukan ialah injeksi

methotrexate lokal atau intragestasional, dengan atau tanpa methotrexate sistemik yang

menyertai. Methotrexate sistemik yang berdiri sendiri tidak disarankan karena risiko yang

dilaporkan lebih tinggi dari manfaatnya, meskipun dalam RCT kecil methotrexate sistemik

dibanding lokal tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dalam angka kesembuhan

secara keseluruhan, Sebuah studi menunjukkan risiko komplikasi yang tinggi dengan

methotrexate intramuskular saja, dan methotrexate lokal tampaknya menjadi pendekatan yang

lebih efektif. Dalam tinjauan literatur oleh Cheung dari 96 kasus intragestasional

methotrexate untuk CSP, keberhasilan terapi diraih pada 73,9% subjek setelah injeksi

methotrexate lokal tunggal dan meningkat menjadi 88,5% setelah tambahan injeksi

methotrexate lokal atau intramuskular. Tidak ada karakteristik klinis lain yang ditemukan

selain kadar serum beta-hCG> 100.000 IU / L, yang dikaitkan dengan kegagalan pengobatan.

Injeksi intragestasional dilakukan biasanya dengan jarum ukuran 20g di bawah panduan

ultrasound menggunakan pendekatan transvaginal. Aspirasi kantung dapat dilakukan sebelum

injeksi untuk mengkonfirmasi letak penempatan jarum yang tepat. Terdapat suatu data

terbatas mengenai dosis optimal untuk injeksi metotreksat lokal, dengan dosis 1 mg / kg berat

ibu dan hingga 50 mg. Berbagai dosis Methotrexate sistemik telah dilaporkan dalam

tatalaksana CSP, namun secara umum dosis ini sebanding dengan dosis yang digunakan pada

kehamilan ektopik. Dilakukan pengamatan pada pasien dengan CSP yang telah dirawat

secara medis, masa kehamilan dapat memakan waktu berminggu-minggu untuk berakhir.

Peningkatan pada level beta-hCG dan ukuran massa CSP dapat diamati setelah terapi

Methotrexate. Pemahaman tentang kuretase pasca terapi yang diantisipasi ini dapat

membantu meminimalkan perawatan tambahan yang tidak perlu. Selama pasca perawatan
28

periode observasi, pasien harus dipantau mengenai gejala seperti perdarahan atau AVM

uterus. (Timor-Tritsch et al, 2020).

KCl Intragestasional dilakukan untuk pengobatan CSP dalam sejumlah kecil kasus.

Pendekatan ini mungkin secara khusus sesuai untuk manajemen CSP dengan intrauterin yang

hidup, karena paparan Methotrexate memiliki efek embriosidal atau teratogenik untuk

kehamilan. Seperti halnya Methotrexate, dengan panduan ultrasound Injeksi KCl dapat

disertai dengan aspirasi kantung. Di sebuah laporan kasus dan tinjauan literatur, 5 kasus CSP

dilakukan tindakan dengan injeksi KCl lokal. Semua menghasilkan kelahiran hidup yang

sehat, meskipun 2 kasus terdapat komplikasi perdarahan postpartum, dengan 1 kasus

dilakukan tindakan histerektomi karena plasenta akreta, (Timor-Tritsch et al, 2020).

4.1.3. Pilihan Terapi Lainnya

Uterine Embolization Artery (UEA) adalah prosedur invasif minimal yang telah

digunakan di berbagai kombinasi untuk mengobati CSP. UEA telah dilaporkan sebagai

prosedur yang berdiri sendiri dan dikombinasikan dengan kuretase, methotrexate, dan

histeroskopi, yang menjadi komplikasi perbandingan antar studi. Satu ulasan menunjukkan

keberhasilan yang tinggi dan tingkat komplikasi yang rendah saat UEA dilakukan tanpa

methotrexate atau dengan dan tanpa kuretase. Ketika methotrexate ditambahkan ke UAE,

terdapat risiko yang lebih tinggi (31,4%) sehingga membutuhkan perawatan yang lebih lama,

(Timor-Tritsch et al, 2020).

Gambar 4.1 : Double balloon catheter. A) Kateter dengan 3 ports. B) Balon yang telah dikembangkan, bagian
atas diisi dengan 25cc dan bagian bawah diisi dengan 15cc normal saline, (Cali et al, 2018).
29

Metode yang dilakukan Cali dkk memberikan cara yang aman dan efektif untuk kasus

CSP. Dengan memakai double balloon catheter untuk menekan CSP. Metode yang dilakukan

dengan cara pemberian NSAID berkisar dua jam sebelum tindakan, pada beberapa pasien

juga diberikan sedasi secara intravena. Spekulum diletakkan pada portio dan dibersihkan

dengan antiseptic. Kateter dimasukkan melalui cervix sampai dengan bagian fundus uterus

dengan memakai guiding transabdominal ultrasonography, Setelah kateter masuk, balon

bagian atas diisi dengan normal saline sebanyak 10-25ml, setelah itu balon bagian bawah

dapat diisi dengan normal saline sebanyak 10-20ml sehingga gestasional sac pada CSP

terkompresi. Pada beberapa pasien mendapat kombinasi terapi MTX (1mg/kgBB), lalu

antibiotik juga diberikan. Pasien diobservasi selama 1 sampai 2 jam untuk mengevaluasi

adanya perdarahan maupun tanda akut abdomen. Kateter diletakkan selama 1 sampai 3 hari

dengan pemberian antinyeri yang rutin, dan evaluasi serial bHCG dan USG dilakukan setiap

minggu, (Cali et al, 2018).

Teknik ini digunakan pada kehamilan sebelum usia kehamilan 10 minggu, oleh karena

itu, keberhasilan dalam mengobati kehamilan di luar usia kehamilan ini belum telah dipelajari

saat ini. Timor-Tritsch et al melaporkan tindakan balon dan kateter Foley dengan panduan

ultrasound untuk merusak kantung kehamilan CSP yang memiliki komplikasi perdarahan

atau sebagai suatu tindakan profilaksis. Hasil studi menunjukkan teknik tersebut dapat

ditoleransi dengan baik dan efektif, yang mendukung opsi potensial yang membutuhkan studi

lebih lanjut. Kesederhanaan dan penerapan rawat jalan teknik ini mungkin menjadi sangat

relevan karena banyak pasien datang dengan CSP tinggal jauh dari pusat tersier dan dengan

demikian dapat dikelola secara efektif, (Timor-Tritsch et al, 2020).


30

4.2. CSP Pada Wanita yang Menolak Pengobatan

Wanita yang menolak pengobatan CSP harus diberi konseling tentang risiko komplikasi

kebidanan yang signifikan, yang meliputi PAS, perdarahan masif, ruptur uterus, morbiditas

ibu yang parah, dan kemungkinan kematian ibu. Manajemen kasus seperti itu harus

memasukkan indeks yang sangat tinggi kecurigaan untuk PAS dengan manajemen

antepartum yang tepat dan perencanaan pengiriman. Wanita harus diberi konseling mengenai

tanda dan gejala persalinan prematur atau lainnya gejala yang menunjukkan ruptur uterus.

Tindakan operasi caesar dianjurkan antara usia kehamilan 34 dan 35 minggu. Pemberian

betametason dianjurkan sebelum persalinan. Persalinan harus dilakukan Rumah Sakit dengan

fasilitas keahlian dan sumber daya yang sesuai, termasuk kemampuan untuk menangani

perdarahan masif. Tim multidisiplin sangat direkomendasikan, dan tim harus siap

menghadapi potensi kebutuhan untuk histerektomi cesar dan transfusi masif, (Timor-Tritsch

et al, 2020).

4.3. Resiko Jangka Panjang Pada CSP

Wanita tetap bisa hamil meski telah dilakukan tatalaksana CSP seperti yang telah

direkomendasikan, walaupun terdapat peningkatan risiko untuk terjadinya CSP berulang dan

resiko munculnya morbiditas berat pada ibu. Terdapat laporan bahwa tingkat kekambuhan

CSP sebanyak 5% di antara 21 kehamilan yang dicapai setelah konservatif sebelumnya.

Kasus lain yang telah dilaporkan juga terdapat 7 kehamilan di antara 14 wanita dengan CSP

sebelumnya yang diperlakukan secara konservatif, interval rata-rata antara CSP dan

kehamilan berikutnya adalah 13 bulan (kisaran, 0-34 bulan), dilaporkan sebagai berikut :

Empat kehamilan intrauterine, dengan satu kehamilan kembar, semua dilahirkan dengan

operasi caesar tanpa komplikasi persalinan antara usia kehamilan 35 dan 36 minggu, dua

kehamilan lainnya dipersulit oleh plasenta akreta: yang satu merupakan kehamilan triplet

(melibatkan kembar intrauterine dan berulang CSP) yang menghasilkan histerektomi sesar
31

dan perdarahan masif pada usia kehamilan 32 minggu, meskipun akreta lain yang terlibat

dicatat pada saat persalinan sesar yang tidak memerlukan histerektomi pada usia kehamilan

37 minggu, kehamilan terakhir melibatkan seorang wanita yang hamil tiga bulan setelah itu

dilakukan kuretase dan tindakan balon serviks untuk CSP, pada kehamilan berikutnya dia

mengalami ruptur uterus spontan dan meninggal karena syok hipovolemik, dengan janin lahir

mati, (Timor-Tritsch et al, 2020).

Dalam sebuah tinjauan pustaka dilaporkan terdapat 59 kehamilan (81%) di antara 73

wanita dengan CSP dengan rahim yang dipertahankan, dari jumlah tersebut, terdapat 15 kasus

(25%) kasus dengan CSP berulang. Sebuah penelitian dengan kasus 10 kehamilan spontan

pada 8 wanita dengan riwayat CSP, didapatkan 4 (40%) dengan kasus CSP berulang. Wanita

yang mempertimbangkan kehamilan setelah CSP harus diberi informasi bahwa terdapat risiko

kekambuhan yang signifikan dan morbiditas pada ibu, (Sadeghi et al, 2017).

Meskipun interval pendek antara keberhasilan pengelolaan CSP konservatif dan

kehamilan berikutnya dapat meningkatkan risiko CSP atau PAS berulang, tidak ada

konsensus tentang berapa lama menunggu sebelum mencoba kehamilan lain untuk wanita

yang menginginkan kehamilan lagi setelah konseling tentang risiko. Namun beberapa ahli

telah merekomendasikan menunggu 12-24 bulan sebelumnya mencoba hamil lagi, meskipun

terdapat bukti pendukung yang sangat terbatas. Mengingat peningkatan risiko kekambuhan

CSP, beberapa menganjurkan evaluasi uterus dan bekas luka cesar oleh sonohisterografi infus

saline sebelum kehamilan berikutnya. Jika seorang wanita dengan riwayat CSP telah hamil

kembali, monitoring ketat ultrasonografi sangat direkomendasikan untuk mengkonfirmasi

adanya kehamilan intrauterine dan untuk menyingkirkan CSP berulang. Pemeriksaan USG

awal direkomendasikan idealnya pada usia kehamilan kurang dari 8 minggu, untuk

memastikan lokasi kehamilan normal intrauterine, (Timor-Tritsch et al, 2020).


32

4.4. Bagan Rekomendasi Tatalaksana Kehamilan pada Bekas Caesar

Kehamilan pada Bekas


Caesar DJJ (-)

DJJ (+)

Konseling berdasarkan bukti yang ada Cek ulang DJJ


dalam 3 hari

Pasien menginginkan DJJ (-) setelah 3


Pasien memilih melanjutkan hari
untuk mengakhiri kehamilan pemeriksaan / 7
kehamilan minggu dengan
penanggalan
yang tepat

Tentukan apakah plasenta /


Pilih regimen yang kantung kehamilan ada di
sesuai bekas luka atau niche
Hentikan DJJ tanpa Lanjutkan
Ukur ketebalan miometrium dengan USG
penundaan: Suntik
Obat; double baloon : dan
Gravid Histerotomi pemeriksaan
atau Histerektomi ? hCG sampai
nol

Monitor hCG dan USG


tiap minggu. Pada Niche : Risiko Pada Bekas Luka :
Perhatikan tinggi terjadi PAS Risiko rendah terjadi
kemungkinan EMV (inkreta, perkreta) PAS (akreta) dan
dan caesarean caesarean
histerektomi histerektomi

Tabel 4.2. Algoritma pada Cesarean Scar Pregnancy (Cali et al, 2018)
33

Rekomendasi terkait kehamilan pada bekas operasi Caesar di bagi menjadi dua, yang

pertama mengevaluasi apakah terdapat aktifitas kardiak pada janin atau tidak adanya aktifitas

kardiak pada janin. Bila tidak didapatkan detak jantung janin, maka dilakukan pengulangan

pemeriksaan detak jantung janin dalam tiga hari, bila dalam tiga hari berikutnya atau tujuh

minggu usia kehamilan tidak didapatkan detak jantung janin maka dilanjutkan dengan

pemeriksaan USG dan pemeriksaan bhCG sampai kadar bhCG menjadi nol. Namun bila

didapatkan detak jantung janin, tindakan pertama yang dilakukan ialah melakukan konseling

kepada pasien berdasarkan temuan yang ada, berikan pilihan pada pasien, apakah pasien

menginginkan kehamilan dilanjutkan atau lebih memilih untuk mengakhiri kehamilan.

Apabila pasien lebih memilih melanjutkan kehamilan, maka lakukan pemeriksaan lanjutan

apakah kehamilan terdapat pada bekas luka operasi atau terdapat pada niche, berikan

konseling terhadapt pasien mengenai kemungkinan resiko rendah maupun tinggi terjadinya

plasenta akreta, inkreta atau perkreta dan rencana tatalaksana yang akan diberikan.

Berikutnya bila pasien memilih untuk mengakhiri kehamilan, maka hentikan detak jantung

janin sesegera mungkin tanpa penundaan dengan tindakan yang sesuai, setelah itu evaluasi

kadar bhCG dan lakukan pemeriksaan USG tiap minggu, (Cali et al, 2018).
34
BAB V

RINGKASAN

Seiring dengan meningkatnya angka kelahiran caesar di seluruh dunia yang tinggi,

maka hal ini berbanding lurus terhadap peningkatan insiden CSP. Di mana CSP itu sendiri

cukup sulit untuk didiagnosis secara tepat waktu, padahal kasus CSP itu sendiri sangat time

sensitive, yakni memerlukan penananganan yang mungkin berbeda di tiap-tiap usia

kehamilan. Diagnosis CSP harus dipertimbangkan pada wanita dengan persalinan sesar

sebelumnya yang menjalani ultrasonografi trimester pertama awal.

Beberapa perawatan bedah dan medis telah dijelaskan untuk gangguan ini. Namun, saat

ini, pengelolaan yang optimal masih belum pasti. Terdapat berbagai terapi yang

direkomendasikan untuk CSP. Di mana pilihan terapi juga dipengaruhi oleh banyak hal, di

antaranya level variabel pengalaman klinis, kemampuan fasilitas kesehatan, keterampilan

operator, dan kompleksitas kasus.

Adapun pilihan terapi yang tersedia terdiri dari pembedahan, medikamentosa dan terapi

tambahan lain seperti tindakan yang minimal invasif yakni double balloon catheter untuk

menekan CSP. Pilihan terapi CSP yang optimal juga masih belum diketahui, karena masih

kurangnya publikasi perbandingan langsung antara terapi medikamentosa dan terapi bedah.

Belum konsistennya tinjauan sistematis ini dikarenakan identifikasi modalitas pengobatan

CSP yang dilakukan masih berupa terapi tunggal dan masih dicari mana yang optimal dan

terbaik dengan menyeimbangkan tingkat keberhasilan dan resiko prosedural.

Konseling juga berperan penting dalam penatalaksanaan CSP secara komprehensif.

diharapkan dengan diagnosa yang tepat dapat diperkirakan bagaimana perkembangan natural

history CSP di kemudian hari sehingga segera dapat diambil keputusan terbaik sesuai dengan

waktu dan kondisi maternal saat itu.

35
36

DAFTAR PUSTAKA

Andrea Kaelin Agten, Giuseppe Cali, Ana Monteagudo, Johana Oviedo, Joanne Ramos, Ilan
Timor-Tritsch. The Clinical Outcome of Cesarean Scar Pregnancies Implanted “on
the Scar” versus “in the Niche”, American Journal of Obstetrics and Gynecology,
Volume 216, Issue 5, 2017, Pages 510.e1-510.e6, ISSN 0002-9378,
https://doi.org/10.1016/j.ajog.2017.01.019.

Birch Petersen K, Hoffmann E, Rifbjerg Larsen C, Svarre Nielsen H. Cesarean Scar


Pregnancy: A Systematic Review of Treatment Studies. Fertil Steril 2016;105:958–
67

Cali. G, Forlani.F, Lees. C, et. al. Prenatal Ultrasound Staging System for Placenta Accrete
Spectrum Disorders. Ultrasound Obstet Gynecol 2019; 53: 752–760.

Cali. G, Timor-Tritsch IE, Forlani.F, et.al. Value of First-Trimester Ultrasound in Prediction


of Third-Trimester Sonographic Stage Of Placenta Accreta Spectrum Disorder and
Surgical Outcome. Ultrasound Obstet Gynecol 2020; 55: 450–45.

Calì, G., Timor-Tritsch, I. E., Palacios-Jaraquemada, J., Monteaugudo, A., Buca, D., Forlani,
F., et al. (2018). Outcome of Cesarean Scar Pregnancy Managed Expectantly:
Systematic Review and Meta-Analysis. Ultrasound in Obstetrics & Gynecology,
51(2), 169–175. doi:10.1002/uog.17568 (https://doi.org/10.1002/uog.17568)

Hoffman T, Lin J. Cesarean Scar Ectopic Pregnancy: Diagnosis With Ultrasound. Clin Pract
Cases Emerg Med. 2020;4(1):65-68. Published 2020 Jan 15.
doi:10.5811/cpcem.2019.10.43988

Jurkovic D, Knez J, Appiah A, Farahani L, Mavrelos D, Ross JA. Sur- gical treatment of
cesarean scar ectopic pregnancy: efficacy and safety of ultrasound-guided suction
curettage. Ultrasound Obstet Gynecol 2016;47:511–7.

Kim SY, Yoon SR, Kim MJ, Chung JH, Kim MY, Lee SW. Cesarean scar pregnancy;
Diagnosis and management between 2003 and 2015 in a single center. Taiwan J
Obstet Gynecol. 2018 Oct;57(5):688-691. doi: 10.1016/j.tjog.2018.08.013. PMID:
30342652.

Monteagudo A, Cali G, Rebarber A, et al. Minimally invasive treatment of cesarean scar and
cervical pregnancies using a cervical ripening double balloon catheter: expanding
the clinical series. J Ultrasound Med 2019;38: 785–93.

Osborn DA, Williams TR, Craig BM. Cesarean scar pregnancy: sonographic and magnetic
resonance imaging findings, complications, and treatment. J Ultrasound Med. 2012
Sep;31(9):1449-56. doi: 10.7863/jum.2012.31.9.1449. PMID: 22922626.

Pędraszewski P, Wlaźlak E, Panek W, Surkont G. Cesarean scar pregnancy - a new challenge


for obstetricians. J Ultrason. 2018;18(72):56-62. doi:10.15557/JoU.2018.0009/
37

Sadeghi H, Rutherford T, Rackow BW, et al. Cesarean scar ectopic pregnancy: case series
and review of the literature. Am J Perinatol 2010;27:111–20.

Shih, Jin-Chung, et al. New Ultrasound Grading System For Cesarean Scar Pregnancy And
Its Implications For Management Strategies: An Observational Cohort Study. 2018.
University School of Medicine, China. PLoS ONE 13(8): e0202020.

Timor-Tritsch IE, Monteagudo A, Santos R, et al. The Diagnosis, Treatment, And Follow-Up
Of Cesarean Scar Pregnancy. Am J Obstet Gynecol 2012;207:44.e1-13.

Timor-Tritsch IE, Cali G, Monteagudo A, et al. Foley Balloon Catheter To Prevent Or


Manage Bleeding During Treatment for Cervical And Cesarean Scar Pregnancy.
Ultrasound Obstet Gynecol 2015;46:118–23.

Timor-Tritsch IE, Monteagudo A, Bennett TA, Foley C, Ramos J, Kaelin Agten A. A New
Minimally Invasive Treatment for Cesarean Scar Pregnancy and Cervical
Pregnancy. Am J Obstet Gynecol 2016;215:351.e1–8.

Timor-Tritsch IE, Khatib N, Monteagudo A, Ramos J, Berg R, Kovacs S. Cesarean scar


pregnancies: experience of 60 cases. Journal of ultrasound in medicine : official
journal of the American Institute of Ultrasound in Medicine. 2015;34(4):601-610.

Anda mungkin juga menyukai