Oleh
Sutria Nirda Syati
1618012090
Pembimbing
dr. M. Zulkarnain H, Sp.OG
BANDARLAMPUNG
2017
KATA PENGANTAR
AssalamualaikumWr. Wb.
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat dan rahmat-Nya
lah penulis dapat menyelesaikan Refarat berjudul Kehamilan dengan Bekas SC.
Adapun penulisan laporan kasus ini merupakan bagian dari tugas Kepaniteraan Klinik
di Bagian Obstetri dan Ginekologi di RSUD Dr. H. Abdoel Moeloek Provinsi
Lampung.
WassalamualaikumWr. Wb.
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL iv
DAFTAR GAMBAR... v
BAB 1 PENDAHULUAN... 1
DAFTAR PUSTAKA......... 27
DAFTAR TABEL
Halaman
Halaman
BAB I
PENDAHULUAN
Tindakan SC merupakan pilihan utama bagi tenaga medis untuk menyelamatkan ibu
dan janin. Sectio caesaria adalah tindakan operasi untuk mengeluarkan bayi dengan
melalui insisi pada dinding perut dan dinding rahim dengan syarat rahim dalam
keadaan utuh serta berat janin diatas 500 gram. Persalinan SC hanya dilakukan
apabila terdapat indikasi ibu yang berupa panggul sempit, penyulit kehamilan seperti
eklamsi, ruptur uteri, plasenta previa, dan indikasi janin berupa malpresentasi dan
gawat janin. Tindakan operasi ini memiliki konsekuensi pada involusi uterus ibu
pasca kehamilan dan untuk kehamilan selanjutnya (Wiknojosastro, 2008).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Indikasi lain dari seksio sesarea adalah indikasi sosial dimana menurut penelitian
suatu badan di Washington DC, Amerika Serikat pada tahun menunjukkan bahwa
setengah dari jumlah persalinan seksio sesarea secara medis tidak diperlukan
artinya tidak ada kegawatdaruratan persalinan untuk menyelamatkan ibu dan janin
yang dikandungnya. Hal ini terjadi karena permintaan pasien sendiri terkait misalnya
ingin melahirkan pada tanggal dan jam tertentu, atau tidak ingin mengalami rasa sakit
saat melahirkan (RCOG, 2015).
Selain dari indikasi absolut, relatif, dan sosial. Sectio Caesaria juga memiliki indikasi
lainnya yaitu indikasi ibu dan indikasi janin (Wiknojosastro, 2008).
Indikasi ibu :
1. Kelainan letak
2. Gawat janin
Pada umumnya sectio caesarea tidak dilakukan pada :
1. Janin mati
2. Ibu syok, anemia berat sebelum diatasi
3. Kelainan kongenital berat
4. Kelainan pembekuan darah
Kontra indikasi seksio sesarea pada umumnya seksio sesarea tidak dilakukan pada
janin mati, syok, anemi berat, sebelum diatasi, kelainan kongenital berat (monster).
Kontraindikasi untuk dilakukan seksio sesarea ada tiga, yaitu kalau janin sudah mati
atau berada dalam keadaan jelek sehingga kemungkinan hidup kecil, tidak ada alasan
untuk dilakukan operasi berbahaya yang tidak diperlukan, kalau jalan lahir ibu
mengalami infeksi yang luas dan tidak tersedia fasilitas untuk sesarea
ekstraperitoneal, serta dokter bedah tidak berpengalaman dan keadaan tidak
menguntungkan bagi pembedahan, atau tidak tersedia tenaga asisten yang memadai
(Wiknojosastro, 2008).
serta selaput ketuban. Insisi melintang tersebut ditutup dengan jahitan catgut
bersambung satu lapis atau dua lapis. Lipatan vesicouterina kemudian dijahit kembali
pada dinding uterus sehingga seluruh luka insisi terbungkus dan tertutup dari rongga
peritoneum generalisata. Keuntungan dari insisi ini adalah insisi dilakukan pada
segmen bawah uterus, otot tidak dipotong tetapi dipisah ke samping, cara ini
mengurangi perdarahan. Lapisan otot yang tipis dari segmen bawah rahim lebih
mudah dirapatkan kembali dibanding segmen atas yang tebal sehingga keseluruhan
luka insisi terbungkus oleh lipatan vesicouterina sehingga mengurangi perembesan ke
dalam cavumperitonia generalisata (Hidayat, 2000).
proliferasi dan infiltrasi fibroblast, kemudian jaringan yang terbentuk tersebut akan
menyatu dengan otot (Naji, 2013).
Pada proses penyembuhan luka ini terdapat faktor mekanik yang berperan berupa
kontraksi dan retraksi. Uterus akan mengecil dan sayatan longitudinal sepanjang 10
cm dapat mengecil membentuk bekas sepanjang 2 cm. Namun, sayatan pada segmen
bawah rahim (SBR) mengecil lebih lambat karena memiliki konsistensi otot yang
lebih sedikit dari corpus. Pada kehamilan berikutnya serabut-serabut otot mengalami
pemanjangan dan perubahan konsistensi. Daerah jaringan parut relatif statis,
konsistensi jaringan parut mengalami perubahan ringan menjadi lebih lunak mirip
dengan perubahan yang dialami jaringan fibromuskular pada serviks di kala I saat
awal persalinan (Naji 2013).
Pada seksio sesarea insisi kulit pada dinding abdomen biasanya melalui sayatan
horizontal, kadang-kadang pemotongan atas bawah yang disebut insisi kulit vertikal.
Kemudian pemotongan dilanjutkan sampai ke uterus. Daerah uterus yang ditutupi
oleh kandung kencing yaitu SBR, hampir 90 % insisi uterus dilakukan di tempat ini
berupa sayatan horizontal (seperti potongan bikini). Cara pemotongan uterus seperti
ini disebut "Low Transverse Cesarean Section". Insisi uterus ini ditutup/jahit akan
sembuh dalam 2 6 hari. Insisi uterus dapat juga dibuat dengan potongan vertikal
yang dikenal dengan seksio sesarea klasik, irisan ini dilakukan pada otot uterus. Luka
pada uterus dengan cara ini mungkin tidak dapat pulih seperti semula dan dapat
terbuka lagi sepanjang kehamilan atau persalinan berikutnya (NICE, 2011).
suatu garis tipis pada permukaan luar dan dalam uterus tanpa ditemukannya sikatrik
diantaranya (Cunningham, 2010). Kekuatan sikatrik pada uterus pada penyembuhan
luka yang baik adalah lebih kuat dari miometrium itu sendiri. Hal ini telah
dibuktikannya dengan memberikan regangan yang ditingkatkan dengan penambahan
beban pada uterus bekas seksio sesarea (hewan percobaan). Dari laporan-laporan
klinis pada uterus gravid bekas seksio sesarea yang mengalami ruptura selalu terjadi
pada jaringan otot miometrium sedangkan sikatriknya utuh. Yang mana hal ini
menandakan bahwa jaringan sikatrik yang terbentuk relatif lebih kuat dari jaringan
miometrium itu sendiri (Srinivas, 2007).
Pada sikatrik uterus yang tidak mempengaruhi aktivitas selama kontraksi uterus.
Aktivitas uterus pada multipara dengan bekas seksio sesarea sama dengan multipara
tanpa seksio sesarea yang menjalani persalinan pervaginal. Pada infeksi, aseptik
bukan satu-satunya faktor yang mencegah infeksi, hal ini juga dipengaruhi oleh
persiapan tindakan bedah yang baik, keadaan umum dan imunitas penderita,
pencegahan perdarahan, dan faktor sistemik. Penyembuhan luka pada uterus
ditentukan oleh 1) asupan oksigen jaringan, 2) suhu, 3) adanya infeksi, 4) kerusakan
jaringan, dan 5) sirkulasi darah (Hidayat, 2000).
Selain tinggi fundus, penundaan kemampuan untuk berjalan pada pasien dan dilatasi
serviks yang tidak memadai mengganggu pengeluaran lokia dan berhubungan dengan
penundaan kembalinya uterus pada posisi anteversi. Pada masa nifas setelah SC,
tinggi fundus akan menyusut 11 cm setiap hari dari hari pertama nifas hingga hari
kedua dan beberapa millimeter pada hari berikutnya. Sedangkan pada kelahiran
pervaginam, uterus menyusut pada kisaran 1 cm setiap harinya (Shitami, 2016).
b. Perubahan warna lokia
Warna merah pada lokia adalah warna normal hingga hari keempat pada masa nifas
and akan berubah menjadi warna coklat hingga hari kedelapan. Pada kasus setelah
SC, warna lokia akan tetap berwarna merah hingga hari keenam pada masa nifas. Hal
ini berkaitan dengan perubahan tinggi uterus yang perlahan menyusut (Shitami,
2016).
Gambar 2. Ilustrasi yang menggambarkan bekas lukas SC pada dimensi sagittal (a) dan
transversal (b). A, lebar bagian hypoechoic dari bekas luka pada potongan sagittal. B,
kedalaman bagian hypoechoic dari bekas luka. C, panjang bagian hypoechoic dari
bekas luka. D, ketebalan myometrium residual pada potongan sagittal.
Dari waktu ke waktu, terdapat perubahan bekas luka yang menunjukkan peningkatan
lebar rata-rata 1,8 mm pada bagian hypoechoic dari bekas luka per trimester.
Sedangkan kedalaman dan panjang bagian hypoechoic mengalami penurunan dengan
rata-rata 1,8 mm dan perpanjangan 1,9 mm per trimester. Ketebalan myometrium
residual menurun rata-rata 1,1 mm per trimester. Dalam dua kasus yang dilaporkan
ruptur bekas luka, penurunan KMR antara pertama dan kedua trimester adalah 2,7 dan
2,5 mm, masing-masing (Naji, 2013)
pertolongan persalinan atau ruptur uteri violenta. Secara klinis ruptur uteri dapat
menyebabkan adanya hubungan langsung antara kavum uteri dengan rongga
peritoneum (ruptur uteri kompleta) atau tetap terpisah oleh peritoneum viseral yang
menutupi uterus atau uptura uteri inkomplet (ASMS, 2015)
Penting untuk membedakan antara ruptur pada parut SC dan terbukanya (dehiscence)
parut pada bekas SC. Ruptur uteri merujuk pada terpisahnya insisi lama pada uterus
hampir sepanjang seluruh jaringan parut tersebut, diikuti dengan robeknya selaput
fetal sehingga kavum uteri berhubungan langsung dengan rongga peritoneum. Pada
keadaan ini seluruh atau sebagian dari janin berada di rongga peritoneum. Sebagai
tambahan, biasanya terdapat perdarahan yang signifikan dari pinggiran luka ke arah
uterus. Sebaliknya pada dehisens selaput fetal tidak robek dan janin tidak masuk ke
rongga peritoneum. Biasanya pada dehisens jaringan yang terpisah tidak meliputi
seluruh lapisan parut, peritoneum yang melapisi defek tersebut tetap intak dan tidak
ditemukan adanya perdarahan atau minimal (RCOG, 2015).
Ruptur uteri pada bekas SC sering sukar sekali didiagnosa, karena tidak ada gejala-
gejala khas seperti pada rahim yang utuh. Mungkin hanya ada perdarahan yang lebih
dari perdarahan pembukaan atau ada perasaan nyeri pada daerah bekas luka. Ruptur
semacam ini disebut silent rupture, di mana gambaran klinisnya sangat berbeda
dengan gambaran klinis ruptur uteri pada uterus yang utuh. Hal ini dikarenakan
15
biasanya ruptur pada bekas luka SC terjadi sedikit demi sedikit dan lagi pula
perdarahan pada ruptur bekas luka SC profunda terjadi retroperitoneal hingga tidak
menyebabkan gejala perangsangan pada peritoneum. Maka sebaiknya pada semua
penderita bekas SC yang bersalin pervaginam dilakukan eksplorasi kavum uteri.
Ruptur uteri merupakan keadaan gawat darurat obstetrik yang berbahaya karena
angka kematiannya tinggi. Penyebab kematian ruptur uteri terutama adalah
perdarahan dan infeksi. Pertolongan pertama pada ruptur uteri terutama adalah
transfusi darah dan antibiotika yang adekuat. Setelah keadaan umum penderita baik,
segera dilakukan histerektomi (Wiknojosastro, 2008)
Pada nyatanya, uterus pada dua orang yang berbeda dapat memberikan repson yang
berbeda juga terhadap bekas luka SC terutama respon terhadap sitokin dan mediator
inflamasi, kejadian stress oksidatif. Hal ini dapat berdampak pada pertumbuhan dan
rekonstruksi desidua basalis dan kemampuan desidua untuk menampung dan
memodulasi infiltrasi trofoblas. Hal ini terbukti pada penelitian melalui ultrasound
transabdominal yang memberikan kesan bahwa ketebalan dinding uterus wanita bekas
SC lebih tipis daripada uterus wanita dengan persalinan pervaginam. Ketebalan
dinding uterus yang tipis setelah SC ini dapat menyebabkan terjadinya plasenta akreta
ataupun perkreta (Yang, 2007).
Selain dari kelainan perlekatan plasenta, remodelisasi kondisi uterus pasca SC dapat
menyebabkan kelainan pada letak plasenta, yaitu plasenta previa. Hal ini dapat terjadi
pasca SC dengan insisi segmen bawah rahim yang membuat modulasi dari SBR
menipis sehingga menyebabkan plasentosis menyebar hingga ke permukaan rendah
uterus. Ligasi pembuluh rahim pada saat SC dapat lebih meningkatkan risiko
kerusakan pada lapisan rahim endometrium dan miometrium, atau keduanya, yang
16
dapat mempengaruhi ke implantasi rendah plasenta di rahim. Selain itu, bagian otot
rahim selama persalinan perabdomina mengganggu fisiologis peregangan dari otot,
dan membatasi pergerakan pertumbuhan plasenta sehingga menjauh dari segmen atas
uterus pada kehamilan berikutnya. Bahaya plasenta previa ini dapat menyebabkan
perdarahan antepartum dan menjadi indikasi untuk dilakukan kembali persalinan
perabdomina pada kehamilan selanjutnya. Tingkat plasenta previa meningkat dengan
peningkatan jumlah operasi caesar sebelumnya. Dalam 153 kasus plasenta previa
dengan operasi caesar sebelumnya, terjadi peningkatan risiko sebesar 3,5% pada satu
kali SC, 22,5% pada dua kali SC sebelumnya, 28% pada tiga kali SC, dan 50% pada
empat kali SC sebelumnya (Yang, 2007).
Insisi pada segmen bawah rahim diterapkan pada lebih dari 90% kasus. Tipe insisi ini
banyak dipilih karena tidak membahayakan segemen bagian atas uterus dan
memberikan kemungkinan pilihan persalinan percobaan pada kehamilan berikutnya.
Apabila insisi diperlebar ke lateral, maka laserasi dapat terjadi pada salah satu atau
kedua arteri uterina. Pada umumnya insisi transversal pada segmen bawah rahim: (1)
menyebabkan lebih sedikit perdarahan, (2) lebih mudah diperbaiki, (3) lokasinya pada
tempat dengan kemungkinan ruptur paling kecil pada kehamilan selanjutnya, dan (4)
tidak menyebabkan perlengketan ke usus atau omentum pada garis insisi. Daerah
segmen bawah rahim memiliki vaskularisasi lebih sedikit dan pada saat persalinan
mengalami peregangan secara perlahan-lahan, sehingga memiliki kecenderungan
yang lebih kecil untuk terjadinya ruptur (RCOG, 2015).
18
Insisi vertikal dilakukan bila segmen bawah rahim tidak terbentuk dengan baik atau
apabila janin dalam posisi backdawn transverse. Insisi vertikal merupakan pilihan
yang bijaksana kecuali bila segmen bawah rahim telah terbentuk dengan baik. Insisi
klasik adalah insisi yang melibatkan segmen uterus bagian atas. Kekurangannya
adalah bahwa insisi klasik memiliki kecenderungan terjadinya perlengketan yang
lebih besar dan memiliki resiko ruptur yang lebih besar pada kehamilan selanjutnya.
Dalam kehamilan berikutnya, ruptur lebih sering terjadi pada insisi vertikal yang
melebar ke miometrium bagian atas daripada segmen bawah rahim, khususnya pada
saat persalinan. Insisi vertikal atau insisi klasik memiliki jaringan parut yang lebih
19
tebal dan terletak pad asegmen atas uterus yang lebih kontraktil. VBAC Guidelines
membagi pasien-pasien kandidat TOLAC menjadi tiga kelompok berdasarkan resiko
(RCOG, 2015).:
1. Kelompok resiko rendah, yaitu pasien-pasien dengan:
a. saat mulainya persalinan berlangsung spontan
b. satu kali persalinan SSTP
c. tidak memerlukan augmentasi persalinan
d. tidak terdapat kelainan pola denyut jantung anak yang berulang
e. riwayat persalinan pervaginam pasca seksio sesarea
2. Kelompok resiko sedang, yaitu pasien-pasien dengan :
a. induksi persalinan secara mekanik atau dengan oksitosin
b. augmentasi persalinan dengan oksitosin
c. 2 kali persalinan SSTP
d. Jarak antara SC sebelum kehamilan ini dengan waktu persalinan
saat ini < 18 bulan.
Kelompok resiko tinggi, yaitu pasien-pasien dengan :
a. Kelainan pola DJA yang meragukan dan berulang yang tidak
responsif terhadap intervensi pengobatan
b. Perdarahan yang menunjukkan tanda-tanda terjadinya solusio
plasenta
c. Dua jam tanpa perubahan serviks dalam fase aktif walaupun his
adekuat.
Bila penyebabnya menetap seperti pada kasus panggul sempit kita harus melakukan
SC primer, namun bila penyebabnya tidak menetap, wanita tersebut boleh melahirkan
pervaginam dengan ketentuan sebagai berikut (RCOG, 2015) :
1. Tidak dibenarkan pemakaian oksitosin dalam kala I untuk memperbaiki
his, apabila digunakan, maka bunyi jantung janin harus diawasi ketat, bila
terjadi bradikardi atau variabel deselerasi, maka hal ini menunjukkan tanda
awal ruptur uteri, sehingga harus segera dioperasi. Beberapa penelitian
melaporkan bahwa penggunaan prostaglandin dan oksitosin pada bekas SC
memperbesar terjadinya ruptur uteri.
2. Kala II harus dipersingkat
20
Ibu diperbolehkan mengedan selama 15 menit. Jika dalam waktu 15 menit ini bagian
janin turun dengan pesat, maka Ibu ini diperbolehkan mengedan lagi selama 15 menit
lagi. Jika setelah 15 menit kepala tidak turun dengan cepat, dapat dilakukan ekstraksi
forceps atau vakum bila syarat-syarat terpenuhi (RCOG, 2015).
Jenis parut
Jumlah SC sebelumnya
Berapa jumlah SC yang masih dianggap aman untuk P4S sampai saat ini masih
belum jelas, karena terdapatnya hasil yang berbeda dari berbagai penelitian. Akan
tetapi dikatakan bahwa resiko ruptur lebih besar pada wanita dengan riwayat
seksio. Resiko ruptur pada wanita 2 kali seksio 5 kali lebih besar dari wanita
dengan riwayat seksio 1 kali.
21
Interval persalinan
Jarak antara waktu persalinan seksio sesarea yang lalu dengan taksiran partus
kehamilan sekarang sekurang-kurangnya 18 bulan untuk memastikan kekuatan
uterus pada kehamilan sekarang.
Infeksi setelah SC
Infeksi setelah SC merupakan suatu predisposisi penyembuhan luka yang jelek dan
pada beberapa tempat hal ini merupakan kontraindikasi untuk dilakukannya P4S.
Umur
Suatu studi oleh Shipp dkk menyakan bahwa usia diatas 30 tahun mungkin
berhubungan dengan kejadian ruptura yang lebih tinggi, dengan membandingkan
insidens ruptura uteri pada wanita <30 tahun 0,5% dengan wanita >30 tahun 1,4%.
Wanita >30 tahun berisiko 3,2 kali mengalami ruptura uteri dibandingkan dengan
<30 tahun (OR ; 3,2 angka kepercayaan 95 %). Wanita >40 tahun memiliki
kemungkinan 3 kali lebih besar untuk gagal melakukan VBAC dibanding dengan
wanita <40 tahun.
Anomali uterus
Terdapat kejadian ruptur yang lebih tinggi pada wanita dengan anomali uterus.
Makrosomia
Risiko ruptura uteri akan meningkat dengan meningkatnya berat badan janin
karena terjadinya distensi uterus.
Risiko terjadinya ruptura 0% bila ketebalan SBU > 4,5 mm, 10% bila 2,6-3,5 mm
dan 16% pada ketebalan <2,5mm.
Percobaan P4S dapat dilakukan pada sebagian besar wanita dengan insisi
uterus transversal rendah dan tidak ada kontraindikasi persalinan pervaginam.
22
Kriteria seleksi pasien yang mencoba P4S menurut Royal College of Obstetricians
and Gynecologists, yaitu (RCOG, 2015).:
BAB III
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
Sectio caesarea merupakan prosedur bedah untuk pelahiran janin dengan insisi
melalui abdomen dan uterus. Operasi SC ini memiliki indikasi absolut, relatif, sosial,
ibu dan janin. Tipe-tipe dari operasi SC adalah Insisi melintang, insisi membujur, dan
insisi klasik. Pada tipe operasi SC yang ada, insisi melintang pada segmen bawah
rahim dengan metode Pfannenstiel merupakan metode terbaik dengan lebih sedikit
komplikasi pasca operasi dan kehamilan selanjutnya.
Pada antenatal care perlu dilakukan konseling mengenai komplikasi yang bisa terjadi,
pengecekan dan pengaturan pertumbuhan berat badan. Dan pada persalinan dengan
bekas SC dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu perabdomina yaitu SC elektif atau
percobaan persalinan pervaginam pada bekas SC (TOLAC). Apabila TOLAC tidak
berhasil dilakukan maka akan diterminasi melalui perabdomina.
27
DAFTAR PUSTAKA
Flamm BL, Geiger AM. 1997. Vaginal Birth After Cesarean Delivery : An Admission
Scoring System. Obstet Gynecol. 90 : 907 10.
Hidayat ST. 2000. Persalinan Pasien Pasca Bedah Caesar. Thesis. Universitas
Diponegoro: Program pendidikan dokter spesialis -1 FK Undip.
Liu S, Liston RM, Joseph KS, Heaman M, Sauve R, Kramer MS. 2007. Maternal
mortality and severe morbidity associated with low-risk planned cesarean
delivery versus planned vaginal delivery at term. CMAJ. 176: 45560.
National Institute for Health and Clinical Excellence (NICE). 2011. Caesarean
section. NICE clinical guideline 132. Manchester: NICE.
Royal College of Obstetrician and Gynaecologist (RCOG). 2015. Birth after Previous
Caesarian Birth: Greentop Guideline No.45. London: RCOG Obstet Gynecol.
28
Srinivas SK, Stamilio DM, Stevens EJ, Odibo AO, Peipert JF, Macones GA. 2007.
Predicting failure of a vaginal birth attempt after cesarean delivery. Obstet
Gynecol. 109:8005.
Yang Q, Wen SW, Oppenheimer L, Chen XK, Black D, et al. 2007. Association of
caesarean delivery for first birth with placenta praevia and placenta abruption in
second pregnancy. BJOG. 606-613.