Anda di halaman 1dari 36

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum w.w

Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan yang menciptakan manusia dan menambah ilmu
pengetahuan bagi mereka yang berusaha mendapatkannya. Salawat dan salam senantiasa tercurahkan
kepada Rasulullah, penghulu dan mahaguru bagi kita semua. Alhamdulillah Pedoman Kerja
Pelayanan HIV AIDS Tahun 2019 Rumah Sakit Siaga Raya telah kita miliki. Pedoman ini diharapkan
menjadi acuan dalam peningkatan mutu pelayanan di lingkungan Rumah Sakit Siaga Raya yang kita
cintai ini.

Ucapan terima kasih kepada Tim HIV AIDS yang telah menyelesaikan Pedoman Kerja
Pelayanan HIV AIDS Tahun 2019 di Rumah Sakit Siaga Raya ini. Kami percaya bahwa tidak ada
yang sempurna kecuali Allah SWT, saran dan masukan dari kita sangat diharapkan untuk
kesempurnaan pedoman ini untuk masa yang akan datang.

Wassalamu’alaikum w. w.

Jakarta, Januari 2019


Direktur Utama

dr. Isa An Najib Sp.OT


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

HIV dan AIDS adalah masalah darurat global. Di seluruh dunia lebih dari 20 juta orang
meninggal sementara 40 juta orang telah terinfeksi. Fakta yang lebih memprihatinkan adalah bahwa di
seluruh dunia setiap hari virus HIV menular kepada sekitar 2000 anak di usia 15 tahun, terutama
berasal dari penularan ibu-bayi, menewaskan 1400 anak di bawah 15 tahun, dan menginfeksi lebih
dari 6000 orang muda dalam usia produktif antara 15-24 tahun yang juga merupakan mayoritas dari
orang-orang yang hidup dengan HIV dan AIDS (ODHA). Estimasi yang dilakukan pada tahun 2003
diperkirakan di Indonesia terdapat sekitar 90.000-130.000 orang terinfeksi HIV, sedangkan data yang
tercatat oleh Departemen Kesehatan RI sampai dengan Maret 2005 tercatat 6.789 orang hidup dengan
HIV/AIDS.
Untuk mengantisipasi dan menghadapi ancaman epidemi ini Indonesia telah menyusun dan
melaksanakan Strategi Penanggulangan HIV dan AIDS melalui dua periode yang dimuat dalam
Strategi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS 1994-2003 dan tahun 2003-2007.
Di tahun-tahun mendatang tantangan yang dihadapi dalam upaya penanggulangan HIV dan
AIDS semakin besar dan rumit. Mengembangkan hasil-hasil yang telah dicapai dan menjabarkan
paradigma baru dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS menjadi upaya yang komprehensif,
terpadu, dan diselenggarakan secara sinergis oleh semua pemangku kepentingan (stakeholders).
Akselerasi upaya perawatan, pengobatan dan dukungan kepada ODHA dijalankan bersamaan dengan
akselerasi upaya pencegahan baik di lingkungan sub-populasi berperilaku risiko tinggi maupun yang
berperilaku risiko rendah dan masyarakat umum.
Tingginya tingkat penyebaran HIV dan AIDS pada kelompok manapun berarti bahwa
semakin banyak orang menjadi sakit, dan membutuhkan jasa pelayanan kesehatan. Melihat tingginya
prevalensi di atas maka masalah HIV/AIDS merupakan masalah kesehatan masyarakat yang sangat
luas. Oleh karena itu penanganan tidak hanya dari segi medis tetapi juga dari psikososial dengan
berdasarkan pendekatan kesehatan kesehatan masyarakat melalui upaya pencehan primer, sekunder,
dan tertier.
Mengetahui status HIV lebih dini memungkinkan pemanfaatan pelayanan HIV AIDS terkait
dengan pencegahan, perawatan, dukungan, dan pengobatan merupakan salah satu upaya dalam
penanggulangan HIV AIDS. Perubahan perilaku seseorang dari beresiko menjadi kurang beresiko
terhadap kemungkinan tertular HIV memerlukan bantuan perubahan emosional dan pengetahuan
dalam suatu proses yang mendorong nurani dan logika. Proses mendorong ini sangat unik dan
membutuhkan pendekatan individual.
Oleh karena itu perlu adanya program-program pencegahan HIV AIDS yang efektif dan
memiliki jangkauan layanan yang semakin luas seperti, program pengobatan, perawatan dan
dukungan yang komprehensif bagi ODHA untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Sehubungan
dengan permasalahan tersebut maka TIM HIV AIDS Rumah Sakit Siaga Raya menyusun pedoman
pelayanan terkait dengan Pelayanan HISV AIDS.

1.2. TUJUAN
a. Umum :
Meningkatkan mutu layanan di Rumah Sakit Siaga Raya berkaitan dengan Pelayanan HIV
AIDS di Rumah Sakit
b. Khusus :
1. Sebagai Pedoman bagi semua jajaran pelaksana pelayanan di Rumah Sakit Siaga Raya
dalam hal pelayanan HIV AIDS di RS.
2. Menurunkan angka kesakitan HIV di RS terkait dengan MDG’s 6.

1.3. SASARAN

Pimpinan, pengambil kebijakan di rumah sakit, petugas kesehatan dan pelaksana kesehatan
lainnya di Rumah Sakit Siaga Raya
BAB II
SITUASI HIV AIDS DI INDONESIA

2.1 EPIDEMIOLOGI HIV AIDS DI INDONESIA


Penyakit HIV-AIDS hingga kini tetap belum dapat disembuhkan, tercatat oleh WHO secara
kumulatif jumlah kematian akibat AIDS di dunia pada tahun 2006 mencapai lebih dari 25 juta jiwa.
Penularan HIV/AIDS dapat terjadi melalui tiga jalur utama masuknya virus HIV ke dalam tubuh,
yaitu melalui hubungan seksual berisiko, paparan dengan cairan atau jaringan tubuh yang terinfeksi
(misalnya penggunaan jarum suntik yang tidak steril dan tranfusi darah), serta dari ibu ke janin atau
bayi (perinatal) selama dalam kandungan melalui placenta, saat persalinan melalui cairan genital dan
saat menyusui melalui pemberian ASI.
Jumlah HIV/AIDS yang tercatat sebenarnya jauh lebih kecil dari prevalensi sesungguhnya
yang dibaratkan sebagai fenomena gunung es. Indonesia termasuk dalam kategori epidemi dengan
tingkat prevalensi HIV yang rendah di dunia, yaitu sekitar 0,2%. Jumlah kasus baru AIDS di
Indonesia dalam kurun waktu tiga tahun terakhir mengalami turun naik yaitu pada tahun 2008
sebanyak 4.969 kasus, tahun 2009 sebanyak 3.863 kasus, tahun 2010 sebanyak 4.158 kasus. Secara
kumulatif jumlah HIV positif di Indonesia hingga Desember 2010 tercatat sebanyak 44.292 kasus dan
AIDS sebanyak 24.131 kasus, diantaranya berdasarkan jenis kelamin laki-laki sebesar 73,04%,
perempuan sebesar 26,58%, dan sisanya tidak diketahui sebesar 0,38%, usia reproduksi aktif (15-49
tahun) sebesar 62,5%, transmisi perinatal sebesar 2,60%, balita (<4 tahun) sebesar 1,99% dengan total
kematian sebesar 18,81% dari jumlah total 24.131 kasus.
Saat ini perkembangan epidemi HIV di Indonesia termasuk yang tercepat diAsia. Indonesia
berada pada level epidemi HIV terkonsentrasi (concentratedepidemic) kecuali Tanah Papua yang
termasuk epidemi HIV yang meluas. Sebagian besar infeksi baru diperkirakan terjadi pada beberapa
sub-populasi berisiko tinggi yaitu pengguna napza suntik, hetero dan homoseksual ( WPS/waria ).
Sejak tahun 2000, prevalensi HIV mulai konstan di atas 5% pada beberapasub-populasi berisiko
tinggi tertentu. Di Tanah Papua (Provinsi Papua dan Papua Barat), prevalensi HIV menunjukkan
tingkat epidemi yang meluas(generalized epidemic) yaitu lebih besar dari 1% pada masyarakat umum.
Hasil estimasi jumlah ODHA di Indonesia tahun 2011 berkisar 591.823ODHA. Penularan melalui
heteroseksual menjadi faktor risiko utama (59,8%)diikuti penggunaan jarum suntik (18%) pada akhir
Maret 2013.Menurut data Kementerian Kesehatan RI hingga Maret 2013, secara kumulatif jumlah
kasus AIDS yang dilaporkan berjumlah 43.347 kasus dengan infeksi penyerta terbanyak adalah TB
yaitu sebesar 3.997 kasus (30,9%).

Peningkatan jumlah penderita HIV/AIDS tersebut tidak menunjukkan indikasi kearah


pencapaian target Millennium Development Goals untuk HIV dan AIDS, dimana akan dicapai
pengendalian penyebaran dan mulai penurunan jumlah kasus baru HIV/AIDS hingga tahun 2015.
Jumlah wanita yang terinfeski HIV lebih sedikit dibanding laki-laki namun demikian penderita
HIV/AIDS pada usia reproduksi aktif (15-49 tahun) tinggi. Kondisi tersebut berpotensi pada
penularan HIV melalui ibu ke bayi cenderung meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah
perempuan HIV positif yang tertular dari pasangan sexnya.
Berdasarkan hasil proyeksi dari Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, diperkirakan ibu
hamil HIV positif sebanyak 5.730 orang pada tahun 2010 akan meningkat menjadi 8.170 orang pada
tahun 2014.Lebih dari 90% kasus bayi yang terinfeksi HIV, akibat penularan dari ibu ke bayi. Di
negara maju, risiko seorang bayi tertular HIV dari ibunya sekitar 1-2% karena tersedia layanan
optimal pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi. Tetapi di negara berkembang atau negara miskin,
tanpa adanya akses intervensi, risikonya antara 25%-45%.5 Bayi HIV positif kemungkinan akan
terjadi gangguan tumbuh kembang karena lebih sering mengalami infeksi bakteri maupun virus,
mendapat hukuman sosial berupa stigmatisasi, diskriminasi dari masyarakat dan tentunya akan
kehilangan ibunya.
BAB III
PROGRAM PELAYANAN HIV AIDS

3.1. KEBIJAKAN
Program Pelayanan HIV AIDS di Rumah Sakit Siaga Raya berdasarkan pada SK Direktur
Rumah Sakit Siaga Raya tentang kebijakan pelayanan HIV AIDS dengan kebijakan‐kebijakan sebagai
berikut :
1. Peningkatan penyelenggaraan pelayanan kesehatan HIV – AIDS yang berkesinambungan
yang berfokus kepada pasien, Rumah Sakit Siaga Raya melihat kebutuhan pasien selama
perawatan, baik di rawat jalan maupun rawat inap.
2. Untuk pasien yang sedang dirawat inap dan melihat ada gejala gejala infeksi opportunistik ,
maka Rumah Sakit Siaga Raya melalui tim medis atau keperawatan dapat melakukan
pemeriksaan rapid test tanpa melalui konseling dengan menggunakan konsep Test Inisiatif
Petugas Kesehatan (TIPK)
3. Untuk pasien yang sudah di diagnosa dengan Orang Dengan HIV-AIDS (ODHA) atau pun
pasangannya yang ingin mempunyai keturunan maka dianjurkan untuk mengikuti Program
Pencegahan Penularan Ibu Anak (PPIA)
4. Untuk pasien yang mendapat layanan ke rumah sakit, maka Rumah Sakit Siaga Raya
memberi konseling, informasi dan edukasi kepada pasien dan keluarga yang tepat tentang
tindak lanjut pelayanan atau perawatan
5. Untuk pasien yang tidak langsung dirujuk ke rumah sakit lain, maka Rumah Sakit Siaga Raya
memberi informasi dan edukasi kepada pasien dan keluarga yang tepat tentang tindak lanjut
pelayanan atau perawatan
6. Untuk merujuk pasien kerumah sakit Rumah Sakit Siaga Raya menentukan bahwa rumah
sakit penerima dapat menyediakan kebutuhan pasien yang akan dirujuk
7. Untuk pasien yang sudah didiagnosis orang dengan HIV-AIDS (ODHA), maka setiap
kunjungan dilakukan skrening TB
8. Untuk pasien yang sudah didiagnosa dengan ODHA maka konselor / petugas Rumah Sakit
Siaga Raya harus merujuk ke kelompok dukungan sebaya/ pendamping (LSM) yang sudah
bekerjasama degan RS.
9. Untuk peningkatan mutu layanan diperlukan monitoring dan evaluasi serta pelaporan kegiatan
dan dilaksanakan pertemuan triwulan.
10. Kebijakan ini secara teknis pelaksanaannya dijabarkan lebih lanjut dalam bentuk Standar
Prosedur Operasional (SPO)
3.2 PELAYANAN HIV DAN AIDS

Pelayanan kesehatan primer yang komprehensif (Comprehensive Primary Health Care)


adalah strategi untuk meningkatkan kesehatan masyarakat secara menyeluruh. Hal tersebut dilakukan
dengan memandang penting berbagai masalah sosial yang berpengaruh terhadap masalah kesehatan,
melibatkan masyarakat dan menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan secara meratayang dapat
menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Pelayanan kesehatan primer yang komprehensif pada
dasarnya adalah strategi meningkatkan derajat kesehatan individu dan masyarakat melalui aktifitas
menyeluruhyang mencakup promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Hal tersebut dilakukan
dengan memfokuskan perhatian pada upaya mengentaskan masalah mendasar (underlying)yang
menjadi penyebab masalah kesehatanmasyarakat.
Pelayanan kesehatan primer yang komprehensiftersebut dilakukan melalui kerja sama
berbagaisektor serta keterlibatan pemerintah, kekuatan politikdan partisipasi masyarakat.Strategi
pelayanan kesehatanprimer yang komprehensif perlu memperhatikan mekanismemendasar yang
menjadi penyebab munculnyamasalah HIV/AIDS tersebut. Selanjutnya, dilakukan berbagailangkah
edukasi dan promosi kesehatan pada seluruhlapisan masyarakat, khususnya kelompok yang
berisikosangat tinggi. Selain itu, juga perlu dilakukan pengobatandan rehabilitasi terhadap para
penderita HIV/AIDS
Pelayanan di tingkat puskemas merupakan pelayanan HIV dasar yang tentunya pada tahap
tertentu memerlukan rujukan ke tingkat pelayanan sekunder atau tertier (rumah sakit) serta melibatkan
seluruh pihak seperti KPA, SKPD lainnya, LSM, Kelompok Dampingan Sebaya, masyarakat maupun
keluarga.
Rumah Sakit Siaga Raya memberikan pelayanan rujukan terkait HIV AIDS, yaitu :
1. Pelayanan Konseling dan Test HIV ( KTS)
Konseling dalam KTS adalah kegiatan konseling yang menyediakan dukungan psikologis,
informasi dan pengetahuan HIV/AIDS, mencegah penularan HIV, mempromosikan
perubahan perilaku yang bertanggung jawab, pengobatan ARV dan memastikan pemecahan
berbagai masalah terkait dengan HIV/AIDS.
Konseling dan Testing Sukarela yang dikenal sebagai Voluntary Counselling and Testing
(VCT) merupakan salah satu strategi kesehatan masyarakat dan sebagai pintu masuk ke
seluruh layanan kesehatan HIV/AIDS berkelanjutan.

2. Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA)


Layanan ini mencakup pelayanan Ante Natal Care (ANC) dan melakukan tes HIV bagi ibu
hamil, Pelaksanakan layanan PPIA dengan menitikberatkan pada upaya promotif dan
preventif.
BAB IV
PENGENALAN PENYAKIT HIV AIDS

4.1 DEFINISI HIV AIDS.


HIV adalah singkatan dari Human Immunodeficiency Virus yaitu virus yang termasuk
kelompok keluarga retrovirus dan dapat menyebabkan penyakit AIDS. Seseorang yang terinfeksi
HIV,akan mengalami infeksi seumur hidup. Banyak ODHA tetap asimptomatik (tanpa tanda dan
gejala darisuatu penyakit) untuk jangka waktu panjang dan tidak mengetahui bahwa dirinya terinfeksi.
Meskipun demikian, mereka dapat menulari orang lain.

AIDS adalah singkatan dari Acquired Immune Deficiency Syndrome. Acquired artinya tidak
diturunkan tetapi ditularkan dari satu ke orang lainnya; Immune adalah sistem daya tahan tubuh atau
kekebalan tubuh terhadap penyakit; Deficiency artinya tidak cukup atau kurang; dan Syndrome adalah
kumpulantanda dan gejala penyakit. Acquired Immune Deficiency Syndrome adalah bentuk lanjut dari
infeksi HIV. AIDS merupakan kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh virus HIV (Human
Immunodeficiency Virus) yang mengakibatkan rusaknya/menurunnya sistem kekebalan tubuh
terhadap berbagai penyakit. Apabila HIV ini masuk ke dalam peredaran darah seseorang, maka HIV
tersebut menyerap sel-sel darah putih. Sel-sel darah putih ini adalah bagian dari sistem kekebalan
tubuh yang berfungsi melindungi tubuh dari serangan penyakit. HIV secara berangsur-angsur merusak
sel darah putih hingga tidak bisa berfungsi dengan baik.

4.2 SEJARAH HIV AIDS


Penyakit ini pertama kali timbul di Afrika, Haiti, dan Amerika Serikat pada tahun 1978.Pada
tahun 1979 pertama kali dilaporkan adanya kasus-kasus Sarkoma Kaposi dan penyakitpenyakitinfeksi
yang jarang terjadi di Eropa, penyakit ini menyerang orang-orang Afrika yangbermukim di Eropa.
Sampai saat ini belum disadari oleh para ilmuwan bahwa kasus-kasustersebut adalah AIDS.
Sindrom yang kini telah menyebar ke seluruh dunia ini pertama kali dilaporkan olehGotlieb
dan kawan-kawan di Los Angeles pada tahun 1981. Orang yang terinfeksi virus HIV akanberpotensi
sebagai pembawa dan penular virus selama hidupnya walaupun orang tersebut tidakmerasa sakit dan
tampak sehat.Dalam tahun yang sama yaitu pada tahun 1981 Amerika Serikat melaporkan
adanyakasus Sarkoma Kapusi dan penyakit infeksi yang jarang terjadi di kalangan homoseksual. Hal
inimenimbulkan dugaan yang kuat bahwa transmisi penyakit ini terjadi melalui hubungan
seksual.Pada tahun 1982 CDC-USA (Centers for Disease Control) Amerika Serikat untukpertamakali
membuat defenisi kasus AIDS. Sejak tahun 1982 dilakukan surveilans terhadapkasus-kasus AIDS.
Pada tahun 1982 –1983 mulai diketahui adanya transmisi diluar jalur hubungan seksual,yaitu
melalui transfusi darah, penggunaan jarum suntik secara bersama oleh parapenyalahgunaan narkotik
dan obat-obat terlarang. Pada tahun ini juga Luc Montagnier dariPasteur Institute, Paris Institute
menemukan bahwa penyebab kelainan ini adalah LAV(Lymphadenopathy Associated Virus).
Pada tahun 1984 diketahui adanya transmisi heteroseksual di Afrika dan pada tahun
yangsama diketahui bahwa HIV menyerang sel limfosit T penolong. Pada tahun itu juga Gallo dkk
dariNational Institute of Health, Bethesda, Amerika Serikat menemukan HTLV III (Human T
CellLymphotropic Virus Type III) sebagai penyebabkan kelainan ini. Pada tahun 1985
ditemukanantigen untuk melakukan tes Elisa, pada tahun itu juga diketahui bahwa HIV juga
menyerang selotak.
Pada tahun 1986 International Committee on Taxonomy of Virus memutuskan namapenyebab
penyakit AIDS adalah HIV sebagai pengganti LAV dan HLTV.AIDS (Acquired Immune Deficiency
Syndrome) atau SIDA (Syndrom Imuno DeficiencyAkuisita) adalah sebuah penyakit yang dengan
cepat menyebar keseluruhan dunia (pandemi).Di Indonesia pertama kali mengetahui adanya kasus
AIDS pada bulan April tahun 1987,pada seorang warganegara Belanda yang meninggal di RSUP
Sanglah Bali akibat infeksi sekunderpada paru-paru, sampai pada tahun 1990 penyakit ini masih
belum mengkhawatirkan, namunsejak awal tahun 1991telah mulai adanya peningkatan kasus
HIV/AIDS menjadi dua kali lipat(doubling time) kurang dari setahun, bahkan mengalami peningkatan
kasus secara ekponensial.

4.3 PERJALANAN ALAMIAH HIV


Secara umum tahapan perjalanan alamiah infeksi HIV sebagai berikut:
Sindroma retroviral akut terjadi 2 – 3 minggu setelah terinfeksi virus, berupa demam, sakit kepala,
ruam, diare dll (flu-like syndrome) pada sekitar 30-50%pasien, yang berlangsung selama 2 – 3
minggu. Dalam waktu 4-12 mingguakan terjadi pembentukan antibodi HIV (serokonversi), periode ini
yang disebut sebagai masa jendela (window period). Kemudian pasien akan mengalami infeksi HIV
kronik asimptomatik (periode laten) selama rata-rata 5-10 tahun sebelum akhirnya menjadi
simptomatik akibat terjadinya infeksi oportunistik yang menuju ke arah AIDS (Aquired Immune
DeficiencySyndrome) . Infeksi HIV simptomatik (AIDS) akan berlangsung selama ratarata 2 tahun,
kemudian akan meninggal dunia. HIV berjalan sangat progresif merusak sistem kekebalan tubuh.
Sebagian besar orang dengan HIV akan meninggal dalam beberapa tahun setelahAIDS muncul, bila
tidak diberi pengobatan dan perawatan yang memadai. Sesudah HIV memasuki tubuh seseorang maka
tubuh itu terinfeksi dan virus mulai bereplikasi terutama dalam sel limfosit T CD4 dan makrofag.
HumanImmunodeficiency Virus akan mempengaruhi sistem kekebalan tubuh dengan
menghasilkan antibodi untuk HIV. Masa antara masuk virus sampai terbentuknya antibodi yang dapat
dideteksi melalui pemeriksaan laboratorium adalah selama 4-12 minggu. Masa ini disebut sebagai
masa jendela (windowperiod). Selama masa jendela, pasien sangat infeksius, mudah menularkanHIV
kepada orang lain, meskipun hasil pemeriksaan laboratorium antibodimasih negatif.Orang yang
terinfeksi HIV dapat tetap tanpa gejala untuk jangka waktu yang cukup lama bahkan sampai 10 tahun
atau lebih. Orang ini sangat mudah menularkan infeksinya kepada orang lain dan hanya dapat dikenali
dari pemeriksaan antibodi HIV. Kemudian virus memperbanyak diri secara cepat(replikasi) dan
diikuti dengan perusakan sel limfosit T CD4 dan sel kekebalan lainnya sehingga terjadilah sindroma
penurunan daya tahan tubuh yang progresif (progressive immunodeficiency syndrome).
Progresivitas tergantung beberapa faktor seperti usia (sangat cepat pada usiakurang dari 5
tahun atau di atas 40 tahun), infeksi lainnya dan adanya faktor genetik (herediter).

4.4 CARA PENULARAN


Penularan HIV terjadi melalui kontak seksual, darah, penularan dari ibu keanak selama masa
kehamilan, persalinan dan pemberian ASI. HumanImmunodeficiency Virus tidak ditularkan dari orang
ke orang lain melalui bersalaman, berpelukan, bersentuhan atau berciuman. Tidak ada bukti
bahwaHIV dapat ditularkan melalui penggunaan toilet, kolam renang, alat makan atau minum secara
bersama atau gigitan serangga seperti nyamuk.
Penularan melalui hubungan heteroseksual adalah cara yang paling dominandari semua cara
penularan. Penularan melalui hubungan seksual dapatterjadi selama kontak seksual denganpenetrasi
vaginal, anal, oral seksualantara dua individu. Risiko tertinggi adalah penetrasi vaginal atau anal
yangtidak menggunakan alat pelindung bagi yang terinfeksi HIV.
Penularan dari darah dapat terjadi jika darah donor tidak dilakukanpemeriksaan antibodi HIV,
penggunaan ulang jarum dan semprit suntikatau penggunaan alat medis lainnya. Kejadian diatas dapat
terjadi padasemua pelayanan kesehatan.
Kebanyakan infeksi HIV pada anak didapat dari ibunya selama dalamkandungan, saat
persalinan dan saat menyusui. Risiko penularan dari ibu keanak tanpa intervensi program sangat
bervariasi diantara negara danumumnya diperkirakan antara 25-40% di negara berkembang dan < 2%
diEropa dan Amerika Utara. Pada umumnya risiko terbesar terjadi pada saatpersalinan.
Infeksi Menular Seksual (IMS) diketahui mempermudah penularan HIV yangselanjutnya
dapat berkembang menjadi AIDS dengan tingkat kematian yangtinggi. Infeksi menular seksual juga
merupakan petunjuk tentang terdapatnyaperilaku seksual berisiko tinggi. Secara umum, IMS dapat
meningkatkan risikopenularan HIV melalui hubungan seksual sebanyak 3 - 5 kali lebih besar.Oleh
karena itu, jika dijumpai pasien TB dengan gejala IMS harus segeradirujuk ke layanan IMS. Infeksi
Menular Seksual yang paling sering dijumpaiadalah herpes genitalis, HIV dan sifilis, gonore dan
klamidia.

4.5 KELOMPOK BERISIKO


Penyebaran HIV dipengaruhi oleh perilaku berisiko pada kelompokmasyarakat. Berdasarkan
perilaku dan potensi tertular HIV, masyarakatdapat dikelompokkan sebagai berikut:
a. Kelompok tertular (infected people) adalah mereka yang sudah terinfeksiHIV.
b. Kelompok berisiko tertular atau rawan tertular (high-risk people) adalahmereka yang
berperilaku sangat berisiko untuk tertular HIV. Dalamkelompok ini termasuk penjaja seks
baik perempuan, laki-laki dan wariaserta pelanggannya, pengguna napza suntik (penasun).
Narapidanatermasuk dalam kelompok ini.
c. Kelompok rentan (vulnerable people) adalah kelompok masyarakat yangkarena lingkup
pekerjaan, lingkungan, ketahanan dan atau kesejahteraankeluarga yangrendah dan status
kesehatan yang labil sehingga rentanterhadap penularan HIV. Termasuk dalam kelompok
rentan adalah orangdengan mobilitas tinggi baik sipil maupun militer, perempuan,
remaja,anak jalanan, pengungsi, ibu hamil, penerima transfusi darah dan petugaspelayanan
kesehatan.
d. Masyarakat Umum (general population) adalah mereka yang tidaktermasuk dalam ketiga
kelompok yang telah disebutkan di atas.

4.6 UPAYA PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN AIDS.


Pencegahan tentu saja harus dikaitkan dengan cara-cara penularan HIV seperti yangsudah
dikemukakan. Ada beberapa cara pencegahan HIV/AIDS, yaitu :
a. Pencegahan penularan melalui hubungan seksual, infeksi HIV terutama terjadi
melaluihubungan seksual, sehingga pencegahan AIDS perlu difokuskan pada hubungan
seksual.Untuk ini perlu dilakukan penyuluhan agar orang berperilaku seksual yang aman
danbertanggung jawab, yakni : hanya mengadakan hubungan seksual dengan pasangan
sendiri(suami/isteri sendiri), kalau salah seorang pasangan anda sudah terinfeksi HIV, maka
dalammelakukan hubungan seksual perlu dipergunakan kondom secara benar, mempertebal
imanagar tidak terjerumus ke dalam hubungan-hubungan seksual di luar nikah.
b. Pencegahan penularan melalui darah dapat berupa : pencegahan dengan cara
memastikanbahwa darah dan produk-produknya yang dipakai untuk transfusi tidak tercemar
virus HIV,jangan menerima donor darah dari orang yang berisiko tinggi tertular AIDS,
gunakan alat-alatkesehatan seperti jarum suntik, alat cukur, alat tusuk untuk tindik yang
bersih dan suci hama.
c. Pencegahan penularan dari Ibu-Anak (Perinatal).Ibu-ibu yang ternyata mengidap virus
HIV/AIDS disarankan untuk tidak hamil atau mengikuti program Pencegahan penularan ibu-
anak (PPIA)
Selain dari berbagai cara pencegahan yang telah diuraikan diatas, ada beberapa
carapencegahan lain yang secara langsung maupun tidak langsung ikut mencegah penularan atau
penyebaran HIV/AIDS.Kegiatan tersebut berupa kegiatan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE)
yang dalamimplementasinya berupa : konseling AIDS dan upaya mempromosikan kondomisasi,
yangditujukan kepada keluarga dan seluruh masyarakat yang potensial tertular HIV/AIDS
melaluihubungan seksual yang dilakukannya.Dengan cara ini keluarga dan masyarakat secara terus
menerus akan mendapatinformasi yang baru (up to date) tentang HIV/AIDS sehingga keluarga akan
lebih waspada danmampu mengembangkan langkah –langkahpraktis untuk melindungi anggota
keluarganyadari penularan HIV serta untuk mengurangi tumbuhnya sikap yang menganggap
bahwakeluarganya sendiri tidak mungkin akan terinfeksi oleh virus AIDS ini.
BAB V
PENATALAKSANAAN PELAYANAN HIV AIDS

5.1 Pelayanan Konseling dan Test HIV ( KTS)


Konseling dan Testing Sukarela yang dikenal sebagai Voluntary Counselling and Testing
(VCT) merupakan salah satu strategi kesehatan masyarakat dan sebagai pintu masuk ke seluruh
layanan kesehatan HIV/AIDS berkelanjutan. Konseling dalam VCT adalah kegiatan konseling yang
menyediakan dukungan psikologis, informasi dan pengetahuan HIV/AIDS, mencegah penularan
HIV, mempromosikan perubahan perilaku yang bertanggung jawab, pengobatan ARV dan
memastikan pemecahan berbagai masalah terkait dengan HIV/AIDS.

Masyarakat yang membutuhkan pemahaman diri akan status HIV agar dapat mencegah
dirinya dari penularan infeksi penyakit yang lain dan penularan kepada orang lain. Masyarakat yang
datang ke pelayanan VCT disebut dengan klien. Sebutan klien dan bukan pasien merupakan salah
satu pemberdayaan dimana klien akan berperan aktif dalam proses konseling. Tanggung jawab klien
dalam konseling adalah bersama mendiskusikan hal-hal yang terkait dengan informasi akurat dan
lengkap tentang HIV/AIDS, perilaku berisiko, testing HIV dan pertimbangan yang terkait dengan
hasil negative atau positif .

a. Model layanan VCT di Rumah Sakit Siaga Raya, terdiri dari :


1. Mobile VCT (Penjangkauan dan keliling)
Layanan Konseling dan Testing HIV/AIDS Sukarela model penjangkauan dan keliling
(mobile VCT) yang dilaksanakan rumah sakit bekerjasama dengan LSM atau layanan kesehatan lain
yang langsung mengunjungi sasaran kelompok masyarakat yang memiliki perilaku beresiko atau
beresiko tertular HIV/AIDS diwilayah tertentu. Layanan ini diawali dengan survey atau penelitian
atas kelompok masyarakat di wilayah tertentu dan survey tentang layanan kesehatan dan layanan
dukungan lainnya di daerah setempat.

2. Status VCT (Klinik VCT tetap)


Pusat Konseling dan Testing HIV/AIDS Sukarela terintegrasi di poliklinik VCT RSUD Prof
DR M Ali Hanafiah SM BatusangkarPoliklinik ini telah berjalan dalam memberikan pelayanan
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan Konseling dan Testing HIV/AIDS, layanan
pencegahan, perawatan, dukungan dan pengobatan terkait dengan HIV/AIDS.

b. Tahapan Pelayanan VCT


Alur penatalaksanaan VCT dan keterampilan melakukan konseling pra testing dan konseling pasca
testing perlu memperhatikan tahapan berikut ini :
Perencanaan Rawatan

Psikososial anjutan

Konseling Pasca-testing

Koseling Pra-testing

Penilaian Risiko Klinik

Keterampilan Mikro Konseling Dasar

Komunikasi Perubahan Perilaku

Alasan di lakukannya VCT

Informasi Dasar HI

Tahapan Penatalaksanaan :

1. Penerimaan klien :
a. Informasikan kepada klien tentang pelayanan tanpa nama (anonimus) sehingga nama
tidak ditanyakan
b. Pastikan klien datang tepat waktu danusahakan tidak menunggu
c. Jelaskan tentang prosedur VCT .
d. Buat catatan rekam medik klien dan pastikan setiap klien mempunyai nomor kodenya
sendiri.
 Kartu periksa Konseling dan Testing
 Klien mempunyai kartu dengan nomor kode.
 Data ditulis oleh konselor. Untuk meminimalkan kesalahan, kode harus diperiksa
ulang oleh konselor dan perawat/pengambil darah.
2. Konseling pra testing HIV/AIDS
a. Periksa ulang nomor kode klien dalam formulir.
b. Perkenalan dan arahan
c. Membangun kepercayaan kilen pada konselor yang merupakan dasar utama bagi
terjaganya kerahasiaan sehingga terjalin hibungan baik dan terbin sekap saling
memahami.
d. Alasan kunjungan dan klarisifikasi tentang fakta dan mitos tentang HIV/AIDS
e. Penilaian risko untuk membantu klien mengetahui factor resiko dan menyiapkan diri
untuk pemeriksaan darah
f. Memberikan pengetahuan akan implikasi terinfeksi atau tidak terinfeksi HIV dan
memfasilitasi diskusi tentang cara menyesuaikan diri dengan status HIV
g. Di dalam konseing pra testing seorang konselor VCT harus dapat membuat keseimbangan
antara pemberian informasi, penilaian resiko dan merespon kebutuhan emosi klien.
h. Konselor VCT melakukan penilaian sistem dukunagn
i. Klien memberika persetujuan tertulisnya (Informed Consent) sebelum dilakukannya
testing HIV/AIDS.

Konseling Pra testing HIV/AIDS dalam keadaan khusus atau sedang dirawat inap di Rumah
Sakit Siaga Raya :

a. Dalam keadaan klien sedang dalam rawat inap maka konseling dapat dilakukan di
ruangan pasien dirawat oleh konselor samping tempat tidur atau dengan memindahkan
tempat tidur klien ke ruang yang nyaman dan terjaga kerahasiaanya
b. Dalam keadaan klien tidak stabil maka VCT dapat dilakukan langsung kepada klien
dengan prinsip Provider‐initiated HIV testing and counselling (PITC) yaitu suatu tes
HIV dan konseling yang diprakarsai oleh petugas kesehatan kepada pasien sebagai bagian
dari standar pelayanan medis. Tujuan utamanya adalah untuk membuat keputusan klinis
dan/atau menentukan pelayanan medis khusus yang tidak mungkin dilaksanakan tanpa
mengetahui status HIV pasien. Apabila pasien yang datang atau dirawat inap
menunjukkan adanya gejala yang mengarah ke HIV maka tanggung jawab dasar dari
petugas kesehatan adalah menawarkan tes dan konseling HIV kepada pasien tersebut
sebagai bagian dari tatalakasana klinis. Sebagai contoh petugas kesehatan memprakarsai
tes dan konseling HIV kepada pasien TB dan pasien suspek TB, pasien IMS, pasien gizi
buruk, pasien dengan gejala atau tanda IO lainnya.
3. Informed Concent
a. Semua klien sebelum menjalani testing HIV harus memberikan persetujuan tertulisnya.
b. Informed Consent pada anakyaitu orangtua dapat memberikan persetujuan konseling dan
testing HIV/AIDS untuk anaknya
4. Testing HIV dalam VCT
Prinsip testing HIV adalah sukarela dan terjaga kerahasiaannya. Testing dimaksud untuk
menegakkan diagnose. Terdapat serangkaian testing yang berbeda-beda karena perbedaan prinsip
metoda yang di gunakan. Testing yang digunakan adalah testing serologis untuk mendeteksi antibody
HIV dalam serum atau plasma. Spesimen adalah darah klien yang di ambil secara intravena, plasma
atau serumnya. Penggunaan metode testing cepat (rapid testing) memungkinkan klien mendapatkan
hasil testing pada hari yang sama. Tujuan testing HIV ada 4 yaitu untuk membantu menegakkan
diagnosis, pengamanan darah donor (skrining), untuk surveilans, dan untuk penelitian. Hasil testing
yang disampaikan kepada klien adalah benar milik klien. Petugas laboratorium harus menjaga mutu
dan kofidensialitas. Hindari terjadinya kesalahan, baik teknis (technical error) maupun manusia
(human error). Petugas laboratorium (perawat) (mengambil) darah setelah klien menjalani konseling
pra testing.

5. Konseling Pasca Testing


Konseling pasca testing membantu klien memahami dan menyesuaikan diri dengan hasil
testing. Konselor mempersiapkan klien untuk menerima hasil testing, memberikan hasil testing,
memberikan hasil testing, dan menyediakan informasi selanjutnya. Konselor mengajak klien
mendiskusikan strategi untuk menurunkan penularan HIV.

1. Kunci utama dalam menyampaikan hasil testing.


a. Periksa ulang seluruh hasil klien dalam catatan medic. Lakukan hal ini sebelum bertemu
klien, untuk memastikan kebenarannya.
b. Sampaikan hasil hanya kepada klien secara tatap muka.
c. Berhati-hatilah dalam memanggail klien dari ruang tunggu
d. Seorang konselor tak diperkenankan memberikan hasil pada klien atau lainnya secara
verbal dan non verbal selagi berada di uang tunggu
e. Hasil testing tertulis.
2. Tahapan penatalaksanaan konseling pasca testing
a. Pedoman penyampaian hasil testing negative
 Periksa kemungkinan terpapar dalam periode jendela
 Buatlah ikhtisar dan gali lebih lanjut berbagai hambatan untuk seks aman, pemberian
makanan pada bayi dan penggunaan jarum suntik yang aman
 Periksa kembali reaksi emosi yang ada
 Buatlah rencana lebih lanjut
b. Pedoman penyampaian hasil testing positif
 Perhatian komunikasi non verbal saat menggali klien memasuki ruang konseling
 Pastikan klien siap menerima hasil .
 Tekanan kerahasiaan .
 Lakukan secara jelas dan langsung .
 Sediakan waktu cukup untuk menyerap informasi tentang hasil,
Selanjutnya :

a. Periksa apa yang diketahui klien tentang hasil testing .


b. Dengan tenang bicarakan apa arti hasil pemeriksaan .
c. Galilah ekspresi dan ventilasikan emosi .
d. Terangkan secara ringkas tentang : Tersedianya fasilitas untuk tindak lanjut dan dukungan,
24 jam pendampingan, dukungan informasi verbal dengan informasi tertulis, rencana nyata,
ddanya dukungan dan orang terdekat,aApa yang akan dilakukan klien dalam 48 jam, strategi
mekanisme penyesuaian diri, tanyakan apakah klien masih ingin bertanya, beri kesempatan
klien untuk mengajukan pertanyaan dikemudian hari, rencanakan tindak lanjut atau rujukan
jika diperlukan.

5.2 Perawatan, Dukungan dan Pengobatan (PDP)


HIV merupakan penyakit yang kronik yang akan disandang selama hidup ODHA.
Sepertihalnya penyakit kronik yang lain maka HIV memerlukan perawatan dan pemantauan
statuskesehatannya secara terus menerus secara berkesinambungan, seperti halnya perawatanuntuk
penyakit kronik yang lain.

1. Definisi perawatan berkesinambungan


Perawatan komprehensif berkesinambungan adalah perawatan yang dilakukansecara holistik
dan terus menerus sejak dari rumah hingga ke rumah sakit (RS)dan sebaliknya melalui sistem jejaring
yang bertujuan memperbaiki danmemelihara kualitas hidup ODHA dan keluarganya. Perawatan
komprehensimeliputi pelayanan medis, keperawatan dan pelayanan pendukung lainnyaseperti aspek
promosi kesehatan, pencegahan penyakit, perawatanpenyembuhan dan rehabilitasi untuk memenuhi
kebutuhan fisik, psikologi, sosialdan kebutuhan spritual individu termasuk perawatan paliatif.
2. Komponen perawatan berkesinambungan
a. Konseling dan tes HIV secara sukarela untuk memudahkan pasien masuk kedalam
keperawatan komprehensif berkesinambungan.
b. Manajemen gejala klinis melalui diagnosis secara dini dan pengobatansecara tepat serta
dukungan lainnya.
c. Asuhan keperawatan untuk menghilangkan ketidaknyamanan fisis yang sakit,hygiene,
peningkatan pengendalian infeksi, perawatan paliatif dan terminal,pelatihan untuk keluarga di
rumah, pendidikan pencegahan dan promosikondom.
d. Perawatan di rumah dan masyarakat, meliputi pelatihan keluarga dan tenagasukarela dalam
peningkatan kesehatan, pengobatan gejala umum danperawatan paliatif.
e. Promosi nutrisi yang baik, dukungan psikogis dan emosional, dukunganspiritual dan
konseling.
f. Membentuk kelompok pendukung di masyarakat untuk memberikandukungan emosi pada
ODHA dan keluarganya.
g. Eliminasi stigma HIV/AIDS dan mengembangkan sikap positif dalam masyarakat bagi
ODHA dan keluarganya.
h. Pendidikan keperawatan dalam HIV/AIDS bagi pemberi asuhan HIV/AIDS,anggota keluarga,
tetangga dan tenaga sukarela/volunteer.
i. Membangun kemitraan diantara pemberi pelayanan (klinik, sosial, kelompokpendukung) agar
rujukan dapat dilakukan secara baik.

3. Tempat dan sarana perawatan berkesinambungan


RumahPerawatan rumah adalah perawatan kepada orang sakit di rumah merekasendiri. Perawatan ini
melibatkan orang mereka sendiri atau keluarga,saudara, tetangga, perawat, bidan, pekerja kesehatan
dan pekerja sosial lain.Perawatan diberikan seperti perawatan fisik, psikososial, spiritual dan paliatif.

Komunitasperawatan komunitas adalah perawatan yang diberikan oleh komunitas.Perawatan ini


dapat diberikan oleh perawat, bidan, petugas kesehatanmasyarakat, tokoh masyarakat, tokoh agama,
LSM dan lain lain

PuskesmasPerawatan untuk ODHA di fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) dasar.

Rumah SakitPelayanan bagi ODHA yang diberikan di RS oleh dokter, perawat, konselor,pekerja
sosial dan pelayanan pendidikan.

4. Manfaat Perawatan berkesinambungan untuk perawatan HIV/AIDS


Bila perawatan komprehensif dan berkesinambungan berhasil dibangun akanmemberikan banyak
keuntungan untuk ODHA antara lain:

 Mengurangi beban perawatan pada keluarga.


 Memperbaiki kualitas hidup ODHA.
 Mengurangi stigma dan diskriminasi.

5.3 Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA)


Sejak pertama kali ditemukan pada tahun 1987 sampai dengan tahun 2011, kasus AIDS telah
tersebar di 368 (73,9%) dari 498 kabupaten/kota.Pada tahun 2011 tercatat kasus AIDSterbesar justru
terjadi pada kelompokibu rumah tangga (22%) dan 2,7% kasusAIDS ditularkan dari ibu HIV positif
kebayinyanya. 2,53%).Lebih dari 90% kasus anak yangterinfeksi HIV, ditularkan melalui
prosespenularan dari ibu ke anak. Virus HIVdapat ditularkan dari ibu yang terinfeksiHIV kepada
anaknya selamakehamilan, pada saat persalinan, danselama menyusui.

Dampak buruk dari penularan HIV dari ibu ke bayi dapat dicegah apabila:
1. Terdeteksi dini
2. Terkendali (ibu melakukan prilaku hidup sehat, ibu mendapatkan ARV profilaksis secara
teratur, ibu melakukan ANC secara teratur, petugas kesehatan menerapkan pencegahan
infeksi sesuai Kewadaan Standar).
3. Penatalaksanaan persalinan yang aman.
4. Pembarian makanan bayi yang aman dan sesuai (PASI atau susu formula), dengan konseling
mengenai manfaat risiko pemberian ASI dan susu formula. Perlu dukungan bagi ibu
mengenai keputusan terhadap pilihan pemberian makanan bayi. Jika pilihan ibu adalah ASI
ekslusif, maka diberikan konseling manajeman laktasi; jika pilihan ibu susu formula ekslusif,
maka dijelaskan mengenai AFASS.
5. Pemantauan ketat tumbung-kembang bayi dang balita dari ibu dengan HIV.
6. Adanya dukungan dan perhatian yang berkesinambungan kepada ibu, bayi dan keluarganya.
Menurut WHO ada empat prog yang perlu diupayakan untuk mencegah terjadinya penularan
HIV dari ibu ke anak, meliputi.
a. Mencegah terjadinya penularan HIV pada perempuanusia reproduksi.
b. Mencegah kehamilan yang tidak direncanakan pada ibu dengan HIV.
c. Mencegah terjadinya penularan HIV dari ibu hamil dengan HIV ke bayi yang dikandungnya.
d. Memberikan dukungan psikologis, sosial dan perawatan kepada ibu dengan HIV beserta bayi
dan keluarganya.

A. Mencegah terjadinya penularan HIV pada perempuan usia reproduksi.


Memberikan pengertian dan penjelasan kepada perempuan dalam usia reproduksi mengenai:
1. Setiap perempuan dalam usia reproduksi menghindari perilaku berisiko terkena HIV dan
IMS dan pasangan yang mempunyai pasangan yang beresiko.
2. Jangan berhubungan seksual dengan pria berisiko tinggi atau saiapapum tanpa mengetahui
status HIV .
3. Setiap perempuan dalam usia reproduksi untuk tidak menggunakan alat suntik tidak steril.
Beberapa kegiatan yang dapat dilakukan dalam upaya pencegahan primer antara lain:
1. Sosialisasi mengenai HIV/AIDS dilakukan pada usia dini mengenai kesehatan reproduksi,
HIV/AIDS dan napza disesuaikan dengan tingkat umur.
2. Informasi dan pendidikan kesehatan umum.
3. Tes HIV dan konseling.
4. Tes rutin bagi yang pernah melakukan kegiatan berisiko.
5. Konseling pasangan dan tes kepada pasangan.
6. Mempraktekan kegiatan seks yang aman.
7. Menunda kegiatan seksual.
8. Komunikasi perubahan perilaku untuk menghindari perilaku risiko tinggi.
B. Mencegah kehamilan yang tidak direncanakan pada ibu dengan HIV
Beberapa kegiatan yang dapat dilakukan dalam upaya pencegahan kehamilan yang tidak
direncanakan pada ibu dengan HIV:
1. Menyediakan konseling dan layanan perencanaan keluarga untuk meyakinkan perempuan
dengan HIV membuat keputusan berdasarkan informasi yang benar.
2. Mempraktekan kegiatan seks yang aman.
3. Memberikan informasi alat kontrasepsi yang dianjurkan.
4. Mengatur kehamilan bagi odha dan pasanganya.
Pembelian alat kontrasepsi yang aman dan efketif serta konseling yag bekualitas akan
membantu ODHA dalam melakukan seks yang aman, mempertimbangkan jumlah anak yang
dilahirkanya, serta menghindari lahirnya anak yang terinfeksi HIV.
Alat kontrasepsi yang dianjurkan bagi ibu/pasangan dengan HIV adalah kondom, karena bersifat
proteksi ganda. Jenis kontrasepsi lainya (kontrasepsi hormonal jangka panjang (pil, suntik dan
implan ) bukan kontraindikasi bagi ODHA. Namun, interaksi obat ARV dengan kontrasepsi
hormonal (terutama yang menggandung estrogen) perlu diperhatikan.
Menurut panduan WHO tahun 2004 perempuan dengan HIV umumnya dapat menggunakan alat
kontrasepsi dalam rahim (AKDR) dengan beberapa kondisi khusus, yaitu:
 Insersi AKDR dapat dilakukan pada perempuan dengan HIV tanpa gejala-gejala AIDS.
 Insersi AKDR dapat dilakukan pada perempuan dengan HIV yang meminum ARV dan
secara klinis baik.
 Insersi AKDR tidak direkomendasikan pada perempuan dengan AIDS dan tidak mendapat
ARV.
 AKDR juga tidak direkomendasikan untuk perempuan yang mendapat ARV tetapi secara
klinis tidak baik.
 Jika seorang pengguna AKDR terinfeksi HIV atau jika pengguna AKDR dengan HIV
kemudian menderita AIDS,AKDR tidak harus dicabut. Namun, perempuan tersebut harus
dipantau kemungkinan terkena PID.
Pasca persalinan perlu konseling ulang mengenai pertimbangan jumlah anak yang akan
dilahirkannya. Jika ibu dengan HIV tetap ingin memiliki ana, dianjurkan jarak antar kelahiran
minimal 2 tahun.

C. Mencegah terjadinya penularan dari ibu dengan HIV kepada bayi


Bentuk intervensi berupa:
a. Pelayanan kesehatan ibu dan anak yang komprehensif
b. Layanan konseling dan tes HIV secara sukarela (VCT) maupun konseling singkat dari
petugas kesehatan
c. Pemberian obata anti retroviral(ARV)
d. Persalinan yang aman
e. Konseling tentang HIV dan makanan bayi, serta pemberian makanan bayi

D. Memberikan dukungan psiokologis, sosial dan perawatan kepada ibu dengan HIV, beserta
bayi dan kerluarganya
Upaya PMTCT tidak berhenti setelah ibu melahirkan, karena ibu tersebut terus menjalani
hidup dengan HIV di tubuhya, maka dukungan psikologis, sosial dan perawatan sepanjang waktu
tetap dibutuhkan. Jika bayi dari ibu tersebut tidak terinfeksi HIV, masa depanya tetap perlu
dipikirkan, karena adanya kemungkinan orang tua bayi meninggal dunia. Sedangkan bila bayi
terinfeksi HIV, pengobatan ARV diperlukan seperti odha lainya.
Dengan dukungan prikososial yang baik, ibu dengan HIV akan bersikap optimis dan
bersemangat mengisi kehidupanya, sehingg ia akan betindak bijak dan positif untuk senantiasa
menjaga kesehatan diri dan anaknya, dan berperilaku sehat agar tidak terjadi penularan HIV dari
dirinya ke orang lain.

Pemberian Obat Antiretroviral Bagi Ibu Hamil Dengan HIV


Tanpa intrvensi, risiko penularan dari ibu dengan HIV ke anak selama kehamilan, persalinan
dan menyusui mencapai lebih dari 40%. Penggunaan obat antiretroviral (ARV), intervensi obstetrik,
dan tidak menyusui dalam upaya pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak dapat mengurangi risiko
penularan hingga kurang dari 2% di negara – negara maju.Pemberian ARV pada ibu hamil dengan
HIV mempunyai tujuan profilaksi dan terapi.Profilaksis ARV adalah penggunaan obat antiretroviral
jangka pendek yang digunakan perempuan hamil dengan HIV selama masa kehamilan untuk
mengurangi risiko penularan HIV ke janin yang dikandungya. Sedangkan terapi ARV dalam program
PMTCT mempunyai manfaat serupa dengan terapi ARV untuk pasien HIV pada umumnya,yaitu:
1. Memperbaiki status kesehatan dan kualitas hidup
2. Menurunkan rawat inap akibat HIV
3. Menurunkan kematian terkait AIDS
4. Menurunkan angka penularan HIV dari ibu ke anak.
Pemberian Terapi ARV
Pedoman WHO tahun 2006 merekomendasikan AZT + 3TC + NVP sebagai regimen lini
pertama untuk perempuan hamil. Berdasarkan pedoman tahun 2010, regimen lini pertama anak
direkomendasikan oleh WHO adalah:
 AZT + 3TC + NVP atau
 AZT + 3TC + EFV atau
 TDF + 3TC (atau FTC) + NVP
 TDF + 3TC (atau FTC) + EFV
Selain perbedaan dalam pilihan regimen, perbedaan antara pedoman ARV WHO tahun 2006 dan
2010 juga terdapat pada waktu memulai terapi ARV.
Pembelian Profilaksi ARV
Pedoman WHO 2006 menganjurkan untuk memulai profilaksis ARV pada trimester ke-3 (28
minggu) kehamilan. Regimen yang direkomendasikan adalah zidovudin (AZT) 2X1 dosis tunggal
nerapine pada onset persalinan, kombinasi AZT + 3TC selama persalinan dan satu minggu pascasalin.
Pedoman tahun 2010 meliputi dua pilihan, keudanya sebaiknya dimulai lebih awal pada
kehamilan 14 minggu dan kedua pilihan memberikan reduksi bermakna pada penularan dari ibu ke
anak.
a. Pilihan A. AZT 2X sehari untuk profilaksis ibu dan bayi dengan AZT atau NVP selama 6
minggu setelah lahir jika bayi tidak menyusu. Jika bayi menyusu, NVP untuk profilaksis bayi
sebaiknya dilanjutkan sampai satu minggu setelah pemberian ASI dihentikan.
b. Pilihan B. Regimen profilaktik yang terdiri dari tiga obat diberikan selama kehamilan dan
selama menyusui.
Penatalaksanaan Obstetri
Untuk mencegah penularan HIV ke anak, beberapa hal perlu diperhatikan.
a. Upaya menurunkan kdar viral load serendah – rendahnya dengan:
- Deteksi dini
- ARV (Anti Retroviral)
- Pola hidup sehat .
b. Pemilihan metode kelahiran tergantung:
- Viral Load
- Kesiapan sarana kesehatan: kewaspadaan universal, saran dan prasarana, SDM medis dan
non medis.
- Status obstetrik
Penelitian meta-analisis 15 studi kohort prospektif tahun 1999 yang melibatkan 7800
pasangan ibu-bayi menunjukan, bahwa seksiko sesarea terjadwal atau elektif, yaitu seksio sesarea
yang dilakukan sebelum onset persalinan dan/atau pecah ketuban, dikaitkan dengan berkurangnya
penularan dari ibu ke anak sekitar 55-80% tanpa profilaksis ARV dan dengan ZDV saja. Penelitian
lain tahun 2004 yang melibatkan 2900 kehamilan mendaptkan, bahwa terapi ARB kombinasi
dikaitkan dengan kejadian penularan yang sangat rendah dan dengan viral load <1000 kopi/ml, angka
penularan dari ibu ke anak secara bermakna lebih rendah dengan ARV kombinasi dibanding dengan
ARV tunggal (0,6% vs 2,2%) tetapi tidak berbeda dengan cara persalinan. Data observasional dari
4500 perempuan pada European collaborative study menemukan diantara perempuan dengan viral
load yang tidak terdetksi, seksio sesarea elektif tidak menunjukan keuntungan tambahan dalam
menurunkan penularan.
Seksio sesarea elektif sebaiknya dilakukan pada kehamilan 38 minggu, berdasarkan pemeriksaan
klinis dan USG, untuk meminimalkan risiko timbulnya persalinan atau pecah ketuban sebelum
prosedur seksio sesarea. Perempuan yang direncanakan seksio sesarea tetapi datang dengan tanda-
tanda persalinan atau pecah ketuban dini sebaiknya dikonseling dan dikelola sesuai dengan kadar viral
load terakhir, terapi ARV, dan perkiraan lama persalinan(dilatasi serviks, pendaratan seviks, dan
lamanya pecah ketuban). Seksio sesarea setelah pecah ketuban ≥4 jam kurang memberikan
keuntungan dalam menurunkan risiko penularan dari ibu ke anak.
Penentuan cara persalinan memerlukan konseling keuntungan dan kerugian cara persalinan
pervaginam atau seksio sesarea, termasuk mobiditas dan mortalitas maternal, serta besaran resiko
penularan bayi. Persalinan pervaginam dimungkinkan, bila:
1. Ada persetujuan tindakan medis dengan informasi yang sejelas-jelasnya (informend consent)
2. Viral load tidak terdeteksi (HIV-RNA <1000 kopi/ml)dan/atau meminum ARV secara teratus
sesuai prosedur minimal 4 minggu.
Pemberian Makanan Bayi
Di negara-negara maju pengaruh sinergis ARV pada ibu dan bayi, seksio sesarea, dan tidak
menyusui memberikan hasil penurunan angka penularan hingga <2%. Pada era HAART High Active
Antiretroviral Therapy), angka penularan bisa lebih rendah lagi <1% kemungkinan karena efek
HAART yang kuat pada viral load.
Rekomendasi-rekomendasi dalam hal memberi makan bayi bagi ibu dengan HIV
a. Air susu ibu/ASI adalah asupan yang paling baik untuk bayi, karena komposisinya yang
lengkap dan ideal bukan hanya bagi pertumbuhan serta perkembangan otak yang optimal,
tetapi juga untuk perlindungan dari sebagai penyakit.
b. Pada ibu dengan HIV dan AIDS , maka terdapat risiko transmisi HIV melalui ASI(5-20%).
c. Pada ODHA tidak dianjurkan untuk memberikan ASI, bila pemberian susu formula
memenuhi syarat AFASS, yaitu:
 Acceptable(dapat diterima), artinya tidak ada hambatan sosial budaya bagi ibu untuk
memberikan susu formula pada bayinya.
 Feasible (layak), artinya ibu dan keluarga punya waktu pengetauan, dan keterampilan
memadai untuk menyiapkan dan memberikan susu formula kepada bayi.
 Affodarble (terjangkau) artinya ibu dan keluarga mampu membeli susu formula, tersedia
air bersih, bahan bakar untuk memasak dan perlengkapan lain yang dieperlukan untuk
menyapkan susu formula yang memenuhi syarat.
 Sustainable (berkelanjutan) artinya susu formula dijamin dapat diberikan setiap hari,
siang dan malam selama usia bayi belum mencapai 6 bulan dan diberikan dalam bentuk
segar, serta suplai dan distribusi susu formula dijamin keberadaanya hingga bayi berusia
setidaknya 6 bulan.
 Save (aman), artinya susu formula harus disimpan secara higienis, tidak terkontaminasi,
saat penyiapanya tersedia air bersih dan takaranya dapat mencukupi kebutuhan gizi bayi,
disuapan dengan tangan dengan peraltan bersih, serta tidak berdampak peningkatkan
penggunaan susu formula pada masyarakat, khususnya para ibu menyusui.
d. Bila syarat AFASS tidak dapat dipenuhi maka dianjurkan kepada ibu dengan HIV untuk
menyusui ekslusif selama 6 bulan
e. Bila ibu memilih untuk menyusui ekslusif maka ibu harus mendapat ART.
f. Bila ibu memilih menyusui ekslusif, hentikan pemberian ASI sesegera mungkin apabila
syarat AFASS sudah terpenuhi dan beralih ke susu formula.
g. Sangat tidak dianjurkan menyusui campur (pemberian ASI bersama dengan susu formula
ataupun makanan/minuman lain), karenan memiliki risiko penularan HIV pada bayi yang
tertinggi. Hal ini disebabkan pemberian susu formula yang merupakan benda asing dapat
menimbulkan perubahan mukosa dinding usus yang mempermudah masuknya HIV yang ada
di dalam ASI ke peredaran darah bayi.
h. Pilihan apapun yang diambil oleh seorang ibu, setelah mendapat informasi dan konseling
secara lengkap, harus didukung oleh semua pihak.

Jenis-jenis metode pemberian makanan pada bayi dari ibu dengan HIV
a. Tersedia pengganti ASI yang memenuhi syarat AFASS (affordable,
feasible,acceptable,sustainable,safe).
b. Bila kondisi AFASS tidak terpenuhi, maka dapat dipertimbangkan pemberian ASI ekslusif
yang jangka pemberianya singkta atau alternatif ASI lainya, yaitu:
 Pasteusasi/memanaskan ASI perah.
 Mencari ibu Susu (perempuan lain untuk menyusui bayinya) yang telah dibuktikan
HIV negatif.
c. Bila ibu memilih menyusui bayi, ibu harus memahami teknik menyusui yang benar untuk
menhindarkan peradangan payudara (mastitis) dan lecet pada puting yang dapat
mempertinggi risiko bayi tertular HIV.

5.4 Pencegahan HIV Melalui Transmisi Seksual (PMTS)


Program pencegahan HIV melalui transmisi seksual masih belum optimal. Penggunaan
kondom pada perilaku seksual berisiko masih rendah, kejadian infeksi menular seksual juga tinggi.
Akibatnya, banyak perempuan yang monogami dan bukan pengguna narkoba suntik, tertular HIV
dan selanjutnya berisiko menularkan HIV kepada bayi yang dilahirkannya.

Situasi ini membutuhkan pendekatan yang penuh dengan inovasi baru. Pendekatan program
tidak hanya menjangkau pekerja seks perempuan tetapi juga menyasar kepada kelompok berisiko
lainnya, termasuk waria, laki-laki yang seks dengan laki-laki (LSL) dan laki-laki berisiko tinggi
(LBT) sebagai pembeli seks. LBT kita kenal sebagai 4 M (mobile man with money in macho
environment), yaitu kelompok laki-laki yang karena pekerjaan atau profesinya berada jauh dari
keluarga. Hal ini dikarenakan LBT dikhawatirkan akan terjadi peningkatan penularan HIV melalui
hubungan heteroseksual di tahun-tahun mendatang.

Perubahan pendekatan yang sudah lama berjalan ke pendekatan baru membutuhkan kerja
keras, kesungguhan dan dedikasi tinggi. Namun, apabila kita yakin bahwa perjuangan meningkatkan
kesehatan masyarakat adalah suatu tujuan yang mulia dan kita berupaya mencegah dan lebih banyak
orang tidak tertular, maka tak ada kata menyerah. Buku pedoman ini menjadi panduan untuk
membuat perubahan tersebut menjadi lebih lancar dan berhasil. Pada akhirnya epidemi HIV dapat
terkendali sehingga mampu mencapai nol infeksi HIV baru, nol kematian karena AIDS dan nol
stigma dan diskriminasi.

4 Elemen Kunci PMTS Komprehensif

1. Komunikasi Perubahan Perilaku


2. Penguatan pemangku kepentingan setempat (kepemimpinan, kebijakan lokal, Perda,
keterlibatan pemilik wisma, mucikari, PPS, dll)
3. Pengelolaan  kondom dan pelicin  (pemasokandan distribusi)
4. Skrining dan layanan IMS & PPT.

Komponen program PMTS Paripurna disusun dalam kerangkaprogram pencegahan melalui


transmisi seksual yang bersifat komprehensif,efektif dan integratif.
1. Komponen I (Komunikasi Perubahan Perilaku)
2. Komponen II (Penguatan Pemangku Kepentingan)
3. Komponen III (Manajemen Rantai Pasokan Kondom dan Pelicin)
4. Komponen IV (Skrining dan Pengobatan IMS dan PPT)

Semua komponen program PMTS Paripurna tersebut harus dilaksanakan secara


komprehensif, integratif dan efektif. Setiap komponen saling mendukung satu sama lain, untuk
memungkinkan dan memfasilitasi terjadinya perubahan perilaku pada populasi kunci. Penjelasan
komponen program PMTS secara lengkap adalah sebagai berikut:
Komponen 1. Peningkatan Peran Pemangku Kepentingan
Pemangku kepentingan adalah segenap pihak, baik secara peroranganmaupun organisasi
(instansi pemerintah, swasta, organisasi komunitas) yangmemiliki peran strategis dalam
penanggulangan HIV dan AIDS di suatuwilayah program.Tujuan komponen ini adalah menciptakan
lingkungan yang kondusifuntuk peningkatan pemakaian kondom dan penurunan prevalensi IMS
danHIV bagi LBT, WPS, LSL dan waria secara berkesinambungan.Peningkatan peran positif
pemangku kepentingan berarti meningkatkankepedulian, komitmen, keberpihakan para pemangku
kepentingan dalam pencegahan IMS dan HIV yang terkoordinir di populasi LBT, WPS, LSL
danwaria, baik ditempat kerja maupun di hotspot.Dukungan dan keterlibatan pemangku kepentingan
merupakan motorpendorong pelaksanaan program. Dukungan dan keterlibatan aktif pemangku
kepentingan diwujudkan dalam bentuk kepemimpinan dan komitmen untuk membuat program
berhasil.

Komponen 2. Komunikasi Perubahan Perilaku (KPP)


KPP adalah berbagai macam kegiatan komunikasi yang direncanakandan dilakukan secara
sistematis untuk memenuhi kebutuhan populasi kunciagar selalu berperilaku aman. KPP fokus pada
pola pikir, nilai-nilai yangdianut dan perilaku.KPP dilakukan melalui proses interaktif yang
melibatkan populasikunci dalam hal ini adalah LBT, WPS, LSL dan waria untuk
mempromosikan,mengembangkan dan memelihara perilaku aman.Tujuan KPP adalah mengubah
perilaku populasi kunci secara kolektifbaik tingkat individu, kelompok dan komunitas sehingga
kerentanan populasikunci terhadap HIV akan berkurang.
Komponen 3. Manajemen Pasokan Kondom dan Pelicin
Tujuan komponen ini adalah untuk menjamin ketersediaan dan akseskondom dan pelicin bagi
populasi kunci LBT, WPS, LSL dan waria dalamjumlah yang cukup.KPA bersama dengan semua
pihak terkait melakukan promosipenggunaan kondom pada populasi LBT, WPS, LSL dan
waria.Penyediaan kondom baik kondom subsidi maupun kondom mandiribagi LBT, WPS, LSL dan
waria akan difasilitasi oleh KPA. Manajemen rantaipasok kondom dan pelicin menentukan tingkat
keberhasilan pelaksanaankomponen 3 ini.
Komponen 4: Penatalaksanaan IMS dan HIV
Dampak dari KPP pada populasi LBT, WPS, LSL dan waria adalahkemandirian populasi
tersebut untuk mencari layanan kesehatan yangmenyediakan layanan pemeriksaan dan pengobatan
IMS dan layanan tes HIVsesuai kebutuhan populasi kunci. Dalam pelaksanannya, Komponen 4
inimengacu pada pedoman penatalaksanaan IMS yang dilaksanakan oleh Kementerian Kesehatan RI.
Monitoring dan Evaluasi
Monitoring dan evaluasi dilakukan secara bersama sesuai dengankebutuhan Program PMTS
Paripurna. Monitoring dan evaluasi dilakukansecara periodik/sesuai kebutuhan. Monitoring dan
evaluasi menggunakan toolsprogram, dengan menggunakan penilaian mandiri PMTS dan
ataumenggunakan tools monitoring kualitas program PMTS.

5.5 Pelayanan Obat Obatan Anti Retroviral (ARV)


Prinsip pengobatan antiretroviral atau ART secara umum adalah sebagai berikut:
Tujuan Pengobatan ARV :
1. Mengurangi laju penularan HIV di masyarakat
2. Memulihkan dan/atau memelihara fungsi imunologis (stabilisasi/ peningkatan selCD4)
3. Menurunkan komplikasi akibat HIV
4. Memperbaiki kualitas hidup ODHA
5. Menekan replikasi virus secara maksimal dan secara terus menerus
6. Menurunkan angka kesakitan dan kematian yang berhubungan dengan HIV

Manfaat ARV
Antiretroviral merupakan suatu revolusi dalam perawatan ODHA. Terapi dengan
antiretroviral atau disingkat ARV telah menyebabkan penurunan angka kematian dan kesakitan bagi
ODHA. Manfaat terapi antiretroviral adalah sebagai berikut :
1. Menurunkan morbiditas dan mortalitas
2. Pasien dengan ARV tetap produktif
3. Memulihkan sistem kekebalan tubuh sehingga kebutuhan profilaksis infeksioportunistik
berkurang atau tidak perlu lagi
4. Mengurangi penularan karena viral load menjadi rendah atau tidak terdeteksi,namun ODHA
dengan viral load tidak terdeteksi, namun harus dipandang tetapmenular
5. Mengurangi biaya rawat inap dan terjadinya yatim piatu
6. Mendorong ODHA untuk meminta tes HIV atau mengungkapkan status HIV-nyasecara
sukarela

Macam dan Paduan obat ARV

a. Macam Obat ARV


Macam obat ARV yang digunakan di Indonesia serta cara kerjanya sebagai berikut:

Nucleoside dan non-nucleoside inhibitors (NRTI dan NNRTI): keduanya mempunyai "target”
enzim yang sama (reverse transcriptase inhibitor). Obat tersebut mencegah HIV RNA menjadi DNA
sehingga HIV tidak dapat masuk ke inti sel tubuh manusia untuk membuat virus baru.

Protease inhibitors (PI): Pada saat inti sel tubuh manusia membuat materi HIV,bagian tersebut harus
dipotong dan disatukan kembali sebelum membentuk HIVyang baru keluar dari sel. PI mencegah
proses “pemotongan dan penyatuan kembali”, sehingga bagian-bagian virus yang baru saja terbentuk
tidak dapat dipotong untuk membentuk ‘badan virus’.

b. Paduan Obat ARV


Prinsip dalam pemberian ARV adalah :

1. Paduan obat ARV harus menggunakan 3 jenis obat yang terserap dan beradaalam dosis
terapeutik. Prinsip tersebut untuk menjamin efektivitas penggunaanobat
2. Membantu pasien agar patuh minum obat antara lain dengan mendekatkanakses pelayanan
ARV .
3. Menjaga kesinambungan ketersediaan obat ARV dengan menerapkanmanajemen logistik
yang baik.
Paduan ART untuk orang dewasa yang ditetapkan oleh pemerintah untuk lini pertama adalah:2 NRTI
+ 1 NNRTI

Mulailah terapi antiretroviral dengan paduan di bawah ini:


TDF + 3TC (atau FTC) + EFV (Tenofovir + Lamivudine/atau ATAU
Emtricitabine) + Efavirenz)

Paduan di bawah ini dapat digunakan sebagai alternatif dari paduan di atas.

AZT + 3TC + EFV) (Zidovudine + Lamivudine + Efavirenz ATAU


ATAU

AZT + 3TC + NVP (Zidovudine + Lamivudine +


Nevirapine)

TDF + 3TC (atau FTC) + (Tenofovir + Lamivudine/atau ATAU


NVP Emtricitabine + Nevirapine)

Persyaratan lain sebelum memulai terapi ARV

a. mendapat terapi ARV pasien harus dipersiapkan secara matangdengan konseling kepatuhan,
sehingga pasien paham benar akan manfaat, carapenggunaan, efek samping obat, tanda-tanda
bahaya dan lain sebagainya yangterkait dengan terapi ARV
b. Pasien yang akan mendapat terapi ARV harus memiliki pengawas minum obat(PMO), yaitu
orang dekat pasien yang akan mengawasi kepatuhan minum obat.
c. Pasien yang mendapat terapi ARV harus menjalani pemeriksaan untukpemantauan klinis
dengan teratur.
Pengetahuan Dasar Penggunaan ARV
ART atau antiretroviral sampai saat ini merupakan satu-satu obat yang memberikanmanfaat
besar dalam pengobatan ODHA. Namun penggunaan ARV menuntutadherence dan kesinambungan
berobat yang melibatkan peran pasien, dokter ataupetugas kesehatan, pendamping dan ketersediaan
obat. Beberapa hal khusus yangharus diperhatikan dalam penggunaan antiretroviral adalah sebagai
berikut:
1. Replikasi HIV sangat cepat dan terus menerus sejak awal infeksi, sedikitnyaterbentuk
sepuluh milyar virus setiap hari,namun karena waktu paruh (half life)virus bebas (virion)
sangat singkat, maka sebagian besar virus akan mati. Walauada replikasi yang cepat, sebagian
pasien merasa tetap sehat tanpa ART selamakekebalan tubuhnya masih berfungsi dengan
baik.
2. Replikasi yang terus menerus mengakibatkan kerusakan sistem kekebalan tubuhsemakin
berat, sehingga semakin rentan terhadap infeksi oportunistik (IO),kanker, penyakit saraf,
kehilangan berat badan secara nyata (wasting) danberakhir dengan kematian.
3. Viral load menunjukkan tingginya replikasi HIV sehingga penurunan CD4menunjukkan
kerusakan sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh HIV.
4. Nilai viral load menggambarkan progresivitas penyakit dan risiko kematian.Pemeriksaan
secara berkala jumlah CD4 dan viral load (jika memungkinkan)dapat menentukan
progresivitas penyakit dan mengetahui syarat yang tepatuntuk memulai atau mengubah
rejimen ART
5. Tingkat progresivitas penyakit pada ODHA dapat berbeda-beda. Keputusanpengobatan harus
berdasarkan pertimbangan individual dengan memperhatikangejala klinik, hitung limfosit
total dan bila memumgkinkan jumlah CD4.
6. Terapi kombinasi ART dapat menekan replikasi HIV hingga di bawah tingkatyang tidak
dapat dideteksi oleh pemeriksaan yang peka (PCR). Penekanan virussecara efektif ini
mencegah timbulnya virus yang resisten terhadap obat danmemperlambat progresivitas
penyakit. Jadi tujuan terapi adalah menekanperkembangan virus secara maksimal.
7. Cara paling efektif untuk menekan replikasi HIV secara terus menerus adalahmemulai
pengobatan dengan kombinasi ARV yang efektif. Semua obat yangdipakai harus dimulai
pada saat yang bersamaan pada pasien yang baru. Padapasien yang tidak pernah diterapi,
tidak boleh menggunakan obat yang memilikiresistensi silang dengan obat yang pernah
dipakai.
8. Terapi kombinasi ARV harus menggunakan dosis dan jadwal yang tepat.
9. Prinsip pemberian ART diperlakukan sama pada anak maupun dewasa,walaupun pengobatan
pada anak perlu perhatian khusus.
10. Walaupun viral load tidak terdeteksi, ODHA yang mendapat ART harus tetapdianggap
menular. Mereka harus dikonseling agar menghindari seks yang tidakaman, atau penggunaan
NAPZA suntik yang dapat menularkan HIV ataupatogen menular lain.
11. Untuk menghindari timbulnya resistensi, ART harus dipakai terus menerusdengan kepatuhan
(adherence) yang sangat tinggi, walaupun sering dijumpaiefek samping ringan.
12. Pemberian ART harus dipersiapkan secara baik dan matang dan harusdigunakan seumur
hidup.
13. Disamping ART, maka infeksi oportunistik harus pula mendapat perhatian danharus diobati.

Memulai ARV
Sebelum memulai terapi, perlu dilakukan hal-hal sebagai berikut:
1. Penggalian riwayat penyakit secara lengkap
2. Pemeriksaan fisik lengkap
3. Pemeriksaan laboratorium rutin
4. Hitung limfosit total (Total Lymphocite Count/TLC) dan bila mungkinpemeriksaan CD4.
Penilaian klinis yang mendukung adalah sebagai berikut:
1. Menilai stadium klinis infeksi HIV
2. Mengidentifikasi penyakit yang berhubungan erat dengan HIV di masa lalu
3. Mengidentifikasi penyakit yang terkait dengan HIV saat ini yang membutuhkanpengobatan
4. Mengidentifikasi pengobatan lain yang sedang dijalani yang dapatmempengaruhi pemilihan
terapi
Riwayat Penyakit
Pertanyaan tentang riwayat penyakit meliputi :
1. Kapan dan dimana diagnosis HIV ditegakkan
2. Kemungkinan sumber infeksi HIV
3. Gejala dan keluhan pasien saat ini
4. Riwayat penyakit sebelumnya, diagnosis dan pengobatan yang diterimatermasuk infeksi
oportunistik
5. Riwayat penyakit dan pengobatan TB termasuk kemungkinan kontak denganTB sebelumnya
6. Riwayat kemungkinan infeksi menular seksual (IMS)
7. Riwayat dan kemnugkinan adanya kehamilan
8. Riwayat penggunaan ART termasuk riwayat rejimen untuk PMTCT sebelumnya
9. Riwayat pengobatan dan penggunaan kontrasepsi oral pada perempuan
10. Kebiasaan sehari-hari dan riwayat perilaku seksual
11. Riwayat penggunaan NAPZA suntik

Pemeriksaan Fisik
1. Berat badan, tanda vital
2. Kulit : herpes zoster, sarkoma Kaposi, dermatitis HIV, pruritic papular eruption(PPE),
dermatitis saborik berat, jejas suntikan (needle track) atau jejas sayatan
3. Limfadenopati
4. Selaput lendir orafaringeal, kandidiasis, sarkoma kaposi, hairy leukiplakia, HSV
5. Pemeriksaan jantung, paru dan abdomen
6. Pemeriksaan sistem saraf dan otot rangka ; keadaan kejiwaan, berkurangnyafungsi motoris
dan sensoris
7. Pemeriksaan fundus mata : retinitis dan papil edema
8. Pemeriksaan saluran kelamin/ alat kandungan

Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang harus dilakukan sebelum memulai terapidengan antiretroviral
adalah :
1. Pemeriksaan serologi untuk HIV dengan menggunakan strategi 2 atau strategi 3 sesuai
pedoman
2. Limfosit total atau CD4 (jika tersedia)
3. Pemeriksaan darah lengkap (terutama HB) dan kimia darah (terutamafungsi hati) dan fungsi
ginjal
4. Pemeriksaan kehamilan

Indikasi ART
ODHA dewasa seharusnya segera mulai ART manakala infeksi HIV telah ditegakkan secara
laboratoris disertai salah satu kondisi berikut :
1. Secara klinis sebagai penyakit tahap lanjut dari infeksi HIV :
2. Infeksi HIV stadium IV, tanpa memandang jumlah CD4
3. Infeksi HIV stadium III dengan jumlah CD4<350/mm3
4. Infeksi stadium I atau II dengan jumlah CD4<200 mm3
Artinya bahwa ART untuk penyakit stadium IV (kriteria WHO disebut AIDSklinik) tidak
seharusnya tergantung pada jumlah CD4. Untuk stadium III, bilatersedia sarana pemeriksaan CD4
akan sangat membantu untuk menentukansaat pemberiaan terapi yang lebih tepat. Tuberkulosis paru
dapat timbul padatahapan dengan jumlah CD4 berapapun, bila jumlah CD4 tersebut dapatterjaga
dengan baik (misalnya >350/mm3), maka terapi dapat ditunda denganmeneruskan pemantauan pasien
secara klinis. Nilai ambang untuk kondisiStadium III adalah 350/mm3 karena pada nilai nilai
dibawahnya biasanya kondisi pasien mulai menunjukkan perkembangan penyakit yang cepat
memburuk dan sesuai dengan pedoman yang ada. Bagi pasien dalam stadium I atau II, maka jumlah
CD4<200/mm3 merupakan indikasi pemberian terapi.Apabila tidak ada sarana pemeriksaan CD4,
maka yang digunakan sebagaiindikator pemberian terapi pada infeksi HIV simptomatik adalah jumlah
limfosittotal 1200/mm3 atau kurang (misalnya pada stadium II). Sedangkan pada pasien asimptomatik
jumlah limfosit total kurang berkorelasi dengan jumlah CD4. Namun bila dalam stadium simptomatik
baru akan bermanfaat sebagaipetanda prognosis dan harapan hidup. Pemeriksaan viral load (misalnya
dengan menggunakan kadar RNA HIV-1dalam plasma) tidak dianggap perlu sebelum dimulainya
ART dan tidakdirekomendasikan oleh WHO sebagai tindakan rutin untuk memandupengambilan
keputusan terapi karena mahal dan pemeriksaannya rumit.Diharapkan pada masa mendatang dapat
berkembang cara pemeriksaan viralload yang lebih terjangkau sehingga cara memantau pengobatan
tersebut dapat diterapkan secara luas. Perlu diperhatikan bahwa sistem pentahapan infeksi HIV
menurut WHO bagi orang dewasa tersebut dikembangkan pada beberapa tahun yang lalu dan
memiliki keterbatasan tetapi masih bermanfaat untuk membantu menetapkan indikator saat memulai
terapi.
BAB VI
MONITORING DAN EVALUASI

Monitoring dan evaluasi program sangat penting dilakukan untuk mengukur kemajuan yang
dicapai dan mengetahui dampak dari program Pelayanan HIV AIDS, tujuannya adalah untuk
memonitor capaian program penanggulangan HIV&AIDS pada pencegahan, dukungan, perawatan
dan pengobatan, mitigasi dampak, lingkungan kondusif dan program lainnya. Sebagai tambahan, juga
memberikan gambaran tentang kondisi penanggulangan HIV/AIDS di Rumah Sakit Siaga Raya

Monitoring dan evaluasi adalah bagian integral dari pengembangan program, pemberian
layanan, penggunaan optimal sediaan layanan, dan jaminan kualitas. Karena itu untuk kepentingan
layanan HIV AIDS di RSUD Prof DR M Ali Hanafiah SM Batusangkar, maka monitoring dan
evaluasi dilakukan dari luar selama melakukan pelayanan. Monitoring dan evaluasi dilakukan dengan
cara sistematis dan berkala pada program pelayanan HIV AIDS. Monitoring dan Evaluasi dapat
dilakukan secara internal maupun eksternal.
Tujuan Monitoring dan Evaluasi adalah:
1. Untuk menyusun perencanaan dan tindaklanjut
2. Untuk perbaiki pelaksanaan pelayanan HIV AIDS
3. Untuk mengetahui kemajuan dan hambatan pelayanan HIV AIDS
Pelayanan HIV AIDS membutuhkan SDM yang terlatih dan bermotivasi tinggi. Monitoring
secara teratur sangat dibutuhkan untuk memastikan kualitas yang baik dan konsisten, dan akan
membantu staf agar terhindar dari kejenuhan. Penilaian setiap 6 bulan atau satu tahun oleh Ketua TIM
pelayanan HIV AIDS RSUD Prof DR M Ali Hanafiah SM Batusangkaratau konselor berpengalaman
dari luar institusi layanan. Hasil penilaian disampaikan segera setelah penilaian selesai kepada tim
administrasi bulanan dan manajemen. Monitoring dan evaluasi pelayanan HIV dapat dikembangkan
dalam riset spesifik dengan membangun dan mengembangkan riset konseling dan testing di tingkat
nasional merupakan hal yang perlu dilakukan. Selain untuk mengenai dampak dan proses, dapat
dilakukan riset khusus yang berkaitan dengan berbagai pertanyaan yang muncul terkait konseling dan
testing. Misal riset tentang protokol pemeriksaan sampel dengan testing cepat, penerimaan klien akan
ketersediaan akses pada terapi TB, analisis biaya dan sebagainya. Dua jenis monitoring dan evaluasi
yang dilakukan adalah monitoring dan evaluasi teknis/penatalaksanaan pelayanan klien serta
monitoring dan evaluasi program. Monitoring dan evaluasi hendaknya dilakukan rutin, berkala dan
berkesinambungan Aspek yang perlu dimonitor dan dievaluasi:
1. Kebijakan, tujuan, dan sasaran mutu,
2. Sumber daya manusia
3. Sarana, prasana, dan peralatan
4. Standar minimal pelayanan HIV AIDS
5. Prosedur Pelayanan HIV AIDS
6. Hambatan pelayanan HIV AIDS
7. Uraian Rincian Layanan dengan menilai ketersediaan petugas diberbagai tingkatlayanan,
kepatuhan terhadap protokol, ketersediaan materi pengajaran mengenaikesehatan dan
kondom, ketersediaan dan penggunaan catatan terformat,ketersediaan alat testing dan
layanan medik, kepatuhan petugas pada peran dantanggung jawab dan aspek umum dari
operasionalisasi layanan.
8. Pengelolaan yang profesional dan efektif
9. Akuntabilitas dan sustainibilitas.
10. Kepuasan dan evaluasi klien secara langsung atau melalui kotak saran.
BAB VII
PENUTUP

Pedoman pelayanan HIV AIDS di Rumah Sakit Siaga Raya digunakan sebagai acuan bagi
seluruh jajaran kesehatan yang terkait dalam pelayanan HIV AIDS di rumah sakit. Keberhasilan
pelayanan HIV AIDS di rumah sakit sangat bergantung pada adanya kebijakan, dedikasi, kerja keras
dan kemampuan para penyelenggara pelayanan serta komitmen bersama untuk mencapai hasil
maksimal yang berkualitas.
DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kesehatan RI. Direktorat Jenderal pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan.
Pedoman Pelayanan Konseling dan Testing HIV sekarela.‐‐Jakarta : Departemen Kesehatan RI.2003

Kementerian Kesehatan RI. Direktorat Jenderal pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan.
Pedoman Testing Dan Konseling HIV Terintegrasi Di Sarana Kesehaan PITC.‐‐Jakarta : Kementerian
Kesehatan RI.2010

Kementerian Kesehatan RI. Direktorat Jenderal pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan.
Modul Materi Pelatihan Kolaborasi TB-HIV Bagi Petugas Fasilitas Pelayan Kesehatan.‐‐Jakarta :
Kementerian Kesehatan RI.2013

Kementerian Kesehatan RI. Direktorat Jenderal pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan.
Pedoman Nasional Layanan Komprehensif HIV-IMS Berkesinambungan.‐‐Jakarta : Kementerian
Kesehatan RI. 2012

Kementerian Kesehatan RI. Direktorat Jenderal pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan.
Pedoman Nasional Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA).‐‐Jakarta : Kementerian
Kesehatan RI.2012

Tjandra, Yoga. Situasi epidemiologi HIV AIDS di Indonesia. Direktorat Jenderal pengendalian
penyakit dan penyehatan lingkungan. Kementerian kesehatan RI. 2012

Kementerian Kesehatan RI. Data HIV AIDS. Jakarta . 2009

Komisi pengendalian AIDS (KPA). Stanas Penanggulangan HIV AIDS 2007-2010. Jakarta 2007

Kementerian Kesehatan RI. Estimasi dan Proyeksi HIV AIDS Tahun 2011-2016. Kemeterian
kesehatan RI. Jakarta 2013

Anda mungkin juga menyukai