Assalamu’alaikum w.w
Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan yang menciptakan manusia dan menambah ilmu
pengetahuan bagi mereka yang berusaha mendapatkannya. Salawat dan salam senantiasa tercurahkan
kepada Rasulullah, penghulu dan mahaguru bagi kita semua. Alhamdulillah Pedoman Kerja
Pelayanan HIV AIDS Tahun 2019 Rumah Sakit Siaga Raya telah kita miliki. Pedoman ini diharapkan
menjadi acuan dalam peningkatan mutu pelayanan di lingkungan Rumah Sakit Siaga Raya yang kita
cintai ini.
Ucapan terima kasih kepada Tim HIV AIDS yang telah menyelesaikan Pedoman Kerja
Pelayanan HIV AIDS Tahun 2019 di Rumah Sakit Siaga Raya ini. Kami percaya bahwa tidak ada
yang sempurna kecuali Allah SWT, saran dan masukan dari kita sangat diharapkan untuk
kesempurnaan pedoman ini untuk masa yang akan datang.
Wassalamu’alaikum w. w.
HIV dan AIDS adalah masalah darurat global. Di seluruh dunia lebih dari 20 juta orang
meninggal sementara 40 juta orang telah terinfeksi. Fakta yang lebih memprihatinkan adalah bahwa di
seluruh dunia setiap hari virus HIV menular kepada sekitar 2000 anak di usia 15 tahun, terutama
berasal dari penularan ibu-bayi, menewaskan 1400 anak di bawah 15 tahun, dan menginfeksi lebih
dari 6000 orang muda dalam usia produktif antara 15-24 tahun yang juga merupakan mayoritas dari
orang-orang yang hidup dengan HIV dan AIDS (ODHA). Estimasi yang dilakukan pada tahun 2003
diperkirakan di Indonesia terdapat sekitar 90.000-130.000 orang terinfeksi HIV, sedangkan data yang
tercatat oleh Departemen Kesehatan RI sampai dengan Maret 2005 tercatat 6.789 orang hidup dengan
HIV/AIDS.
Untuk mengantisipasi dan menghadapi ancaman epidemi ini Indonesia telah menyusun dan
melaksanakan Strategi Penanggulangan HIV dan AIDS melalui dua periode yang dimuat dalam
Strategi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS 1994-2003 dan tahun 2003-2007.
Di tahun-tahun mendatang tantangan yang dihadapi dalam upaya penanggulangan HIV dan
AIDS semakin besar dan rumit. Mengembangkan hasil-hasil yang telah dicapai dan menjabarkan
paradigma baru dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS menjadi upaya yang komprehensif,
terpadu, dan diselenggarakan secara sinergis oleh semua pemangku kepentingan (stakeholders).
Akselerasi upaya perawatan, pengobatan dan dukungan kepada ODHA dijalankan bersamaan dengan
akselerasi upaya pencegahan baik di lingkungan sub-populasi berperilaku risiko tinggi maupun yang
berperilaku risiko rendah dan masyarakat umum.
Tingginya tingkat penyebaran HIV dan AIDS pada kelompok manapun berarti bahwa
semakin banyak orang menjadi sakit, dan membutuhkan jasa pelayanan kesehatan. Melihat tingginya
prevalensi di atas maka masalah HIV/AIDS merupakan masalah kesehatan masyarakat yang sangat
luas. Oleh karena itu penanganan tidak hanya dari segi medis tetapi juga dari psikososial dengan
berdasarkan pendekatan kesehatan kesehatan masyarakat melalui upaya pencehan primer, sekunder,
dan tertier.
Mengetahui status HIV lebih dini memungkinkan pemanfaatan pelayanan HIV AIDS terkait
dengan pencegahan, perawatan, dukungan, dan pengobatan merupakan salah satu upaya dalam
penanggulangan HIV AIDS. Perubahan perilaku seseorang dari beresiko menjadi kurang beresiko
terhadap kemungkinan tertular HIV memerlukan bantuan perubahan emosional dan pengetahuan
dalam suatu proses yang mendorong nurani dan logika. Proses mendorong ini sangat unik dan
membutuhkan pendekatan individual.
Oleh karena itu perlu adanya program-program pencegahan HIV AIDS yang efektif dan
memiliki jangkauan layanan yang semakin luas seperti, program pengobatan, perawatan dan
dukungan yang komprehensif bagi ODHA untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Sehubungan
dengan permasalahan tersebut maka TIM HIV AIDS Rumah Sakit Siaga Raya menyusun pedoman
pelayanan terkait dengan Pelayanan HISV AIDS.
1.2. TUJUAN
a. Umum :
Meningkatkan mutu layanan di Rumah Sakit Siaga Raya berkaitan dengan Pelayanan HIV
AIDS di Rumah Sakit
b. Khusus :
1. Sebagai Pedoman bagi semua jajaran pelaksana pelayanan di Rumah Sakit Siaga Raya
dalam hal pelayanan HIV AIDS di RS.
2. Menurunkan angka kesakitan HIV di RS terkait dengan MDG’s 6.
1.3. SASARAN
Pimpinan, pengambil kebijakan di rumah sakit, petugas kesehatan dan pelaksana kesehatan
lainnya di Rumah Sakit Siaga Raya
BAB II
SITUASI HIV AIDS DI INDONESIA
3.1. KEBIJAKAN
Program Pelayanan HIV AIDS di Rumah Sakit Siaga Raya berdasarkan pada SK Direktur
Rumah Sakit Siaga Raya tentang kebijakan pelayanan HIV AIDS dengan kebijakan‐kebijakan sebagai
berikut :
1. Peningkatan penyelenggaraan pelayanan kesehatan HIV – AIDS yang berkesinambungan
yang berfokus kepada pasien, Rumah Sakit Siaga Raya melihat kebutuhan pasien selama
perawatan, baik di rawat jalan maupun rawat inap.
2. Untuk pasien yang sedang dirawat inap dan melihat ada gejala gejala infeksi opportunistik ,
maka Rumah Sakit Siaga Raya melalui tim medis atau keperawatan dapat melakukan
pemeriksaan rapid test tanpa melalui konseling dengan menggunakan konsep Test Inisiatif
Petugas Kesehatan (TIPK)
3. Untuk pasien yang sudah di diagnosa dengan Orang Dengan HIV-AIDS (ODHA) atau pun
pasangannya yang ingin mempunyai keturunan maka dianjurkan untuk mengikuti Program
Pencegahan Penularan Ibu Anak (PPIA)
4. Untuk pasien yang mendapat layanan ke rumah sakit, maka Rumah Sakit Siaga Raya
memberi konseling, informasi dan edukasi kepada pasien dan keluarga yang tepat tentang
tindak lanjut pelayanan atau perawatan
5. Untuk pasien yang tidak langsung dirujuk ke rumah sakit lain, maka Rumah Sakit Siaga Raya
memberi informasi dan edukasi kepada pasien dan keluarga yang tepat tentang tindak lanjut
pelayanan atau perawatan
6. Untuk merujuk pasien kerumah sakit Rumah Sakit Siaga Raya menentukan bahwa rumah
sakit penerima dapat menyediakan kebutuhan pasien yang akan dirujuk
7. Untuk pasien yang sudah didiagnosis orang dengan HIV-AIDS (ODHA), maka setiap
kunjungan dilakukan skrening TB
8. Untuk pasien yang sudah didiagnosa dengan ODHA maka konselor / petugas Rumah Sakit
Siaga Raya harus merujuk ke kelompok dukungan sebaya/ pendamping (LSM) yang sudah
bekerjasama degan RS.
9. Untuk peningkatan mutu layanan diperlukan monitoring dan evaluasi serta pelaporan kegiatan
dan dilaksanakan pertemuan triwulan.
10. Kebijakan ini secara teknis pelaksanaannya dijabarkan lebih lanjut dalam bentuk Standar
Prosedur Operasional (SPO)
3.2 PELAYANAN HIV DAN AIDS
AIDS adalah singkatan dari Acquired Immune Deficiency Syndrome. Acquired artinya tidak
diturunkan tetapi ditularkan dari satu ke orang lainnya; Immune adalah sistem daya tahan tubuh atau
kekebalan tubuh terhadap penyakit; Deficiency artinya tidak cukup atau kurang; dan Syndrome adalah
kumpulantanda dan gejala penyakit. Acquired Immune Deficiency Syndrome adalah bentuk lanjut dari
infeksi HIV. AIDS merupakan kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh virus HIV (Human
Immunodeficiency Virus) yang mengakibatkan rusaknya/menurunnya sistem kekebalan tubuh
terhadap berbagai penyakit. Apabila HIV ini masuk ke dalam peredaran darah seseorang, maka HIV
tersebut menyerap sel-sel darah putih. Sel-sel darah putih ini adalah bagian dari sistem kekebalan
tubuh yang berfungsi melindungi tubuh dari serangan penyakit. HIV secara berangsur-angsur merusak
sel darah putih hingga tidak bisa berfungsi dengan baik.
Masyarakat yang membutuhkan pemahaman diri akan status HIV agar dapat mencegah
dirinya dari penularan infeksi penyakit yang lain dan penularan kepada orang lain. Masyarakat yang
datang ke pelayanan VCT disebut dengan klien. Sebutan klien dan bukan pasien merupakan salah
satu pemberdayaan dimana klien akan berperan aktif dalam proses konseling. Tanggung jawab klien
dalam konseling adalah bersama mendiskusikan hal-hal yang terkait dengan informasi akurat dan
lengkap tentang HIV/AIDS, perilaku berisiko, testing HIV dan pertimbangan yang terkait dengan
hasil negative atau positif .
Psikososial anjutan
Konseling Pasca-testing
Koseling Pra-testing
Informasi Dasar HI
Tahapan Penatalaksanaan :
1. Penerimaan klien :
a. Informasikan kepada klien tentang pelayanan tanpa nama (anonimus) sehingga nama
tidak ditanyakan
b. Pastikan klien datang tepat waktu danusahakan tidak menunggu
c. Jelaskan tentang prosedur VCT .
d. Buat catatan rekam medik klien dan pastikan setiap klien mempunyai nomor kodenya
sendiri.
Kartu periksa Konseling dan Testing
Klien mempunyai kartu dengan nomor kode.
Data ditulis oleh konselor. Untuk meminimalkan kesalahan, kode harus diperiksa
ulang oleh konselor dan perawat/pengambil darah.
2. Konseling pra testing HIV/AIDS
a. Periksa ulang nomor kode klien dalam formulir.
b. Perkenalan dan arahan
c. Membangun kepercayaan kilen pada konselor yang merupakan dasar utama bagi
terjaganya kerahasiaan sehingga terjalin hibungan baik dan terbin sekap saling
memahami.
d. Alasan kunjungan dan klarisifikasi tentang fakta dan mitos tentang HIV/AIDS
e. Penilaian risko untuk membantu klien mengetahui factor resiko dan menyiapkan diri
untuk pemeriksaan darah
f. Memberikan pengetahuan akan implikasi terinfeksi atau tidak terinfeksi HIV dan
memfasilitasi diskusi tentang cara menyesuaikan diri dengan status HIV
g. Di dalam konseing pra testing seorang konselor VCT harus dapat membuat keseimbangan
antara pemberian informasi, penilaian resiko dan merespon kebutuhan emosi klien.
h. Konselor VCT melakukan penilaian sistem dukunagn
i. Klien memberika persetujuan tertulisnya (Informed Consent) sebelum dilakukannya
testing HIV/AIDS.
Konseling Pra testing HIV/AIDS dalam keadaan khusus atau sedang dirawat inap di Rumah
Sakit Siaga Raya :
a. Dalam keadaan klien sedang dalam rawat inap maka konseling dapat dilakukan di
ruangan pasien dirawat oleh konselor samping tempat tidur atau dengan memindahkan
tempat tidur klien ke ruang yang nyaman dan terjaga kerahasiaanya
b. Dalam keadaan klien tidak stabil maka VCT dapat dilakukan langsung kepada klien
dengan prinsip Provider‐initiated HIV testing and counselling (PITC) yaitu suatu tes
HIV dan konseling yang diprakarsai oleh petugas kesehatan kepada pasien sebagai bagian
dari standar pelayanan medis. Tujuan utamanya adalah untuk membuat keputusan klinis
dan/atau menentukan pelayanan medis khusus yang tidak mungkin dilaksanakan tanpa
mengetahui status HIV pasien. Apabila pasien yang datang atau dirawat inap
menunjukkan adanya gejala yang mengarah ke HIV maka tanggung jawab dasar dari
petugas kesehatan adalah menawarkan tes dan konseling HIV kepada pasien tersebut
sebagai bagian dari tatalakasana klinis. Sebagai contoh petugas kesehatan memprakarsai
tes dan konseling HIV kepada pasien TB dan pasien suspek TB, pasien IMS, pasien gizi
buruk, pasien dengan gejala atau tanda IO lainnya.
3. Informed Concent
a. Semua klien sebelum menjalani testing HIV harus memberikan persetujuan tertulisnya.
b. Informed Consent pada anakyaitu orangtua dapat memberikan persetujuan konseling dan
testing HIV/AIDS untuk anaknya
4. Testing HIV dalam VCT
Prinsip testing HIV adalah sukarela dan terjaga kerahasiaannya. Testing dimaksud untuk
menegakkan diagnose. Terdapat serangkaian testing yang berbeda-beda karena perbedaan prinsip
metoda yang di gunakan. Testing yang digunakan adalah testing serologis untuk mendeteksi antibody
HIV dalam serum atau plasma. Spesimen adalah darah klien yang di ambil secara intravena, plasma
atau serumnya. Penggunaan metode testing cepat (rapid testing) memungkinkan klien mendapatkan
hasil testing pada hari yang sama. Tujuan testing HIV ada 4 yaitu untuk membantu menegakkan
diagnosis, pengamanan darah donor (skrining), untuk surveilans, dan untuk penelitian. Hasil testing
yang disampaikan kepada klien adalah benar milik klien. Petugas laboratorium harus menjaga mutu
dan kofidensialitas. Hindari terjadinya kesalahan, baik teknis (technical error) maupun manusia
(human error). Petugas laboratorium (perawat) (mengambil) darah setelah klien menjalani konseling
pra testing.
Rumah SakitPelayanan bagi ODHA yang diberikan di RS oleh dokter, perawat, konselor,pekerja
sosial dan pelayanan pendidikan.
Dampak buruk dari penularan HIV dari ibu ke bayi dapat dicegah apabila:
1. Terdeteksi dini
2. Terkendali (ibu melakukan prilaku hidup sehat, ibu mendapatkan ARV profilaksis secara
teratur, ibu melakukan ANC secara teratur, petugas kesehatan menerapkan pencegahan
infeksi sesuai Kewadaan Standar).
3. Penatalaksanaan persalinan yang aman.
4. Pembarian makanan bayi yang aman dan sesuai (PASI atau susu formula), dengan konseling
mengenai manfaat risiko pemberian ASI dan susu formula. Perlu dukungan bagi ibu
mengenai keputusan terhadap pilihan pemberian makanan bayi. Jika pilihan ibu adalah ASI
ekslusif, maka diberikan konseling manajeman laktasi; jika pilihan ibu susu formula ekslusif,
maka dijelaskan mengenai AFASS.
5. Pemantauan ketat tumbung-kembang bayi dang balita dari ibu dengan HIV.
6. Adanya dukungan dan perhatian yang berkesinambungan kepada ibu, bayi dan keluarganya.
Menurut WHO ada empat prog yang perlu diupayakan untuk mencegah terjadinya penularan
HIV dari ibu ke anak, meliputi.
a. Mencegah terjadinya penularan HIV pada perempuanusia reproduksi.
b. Mencegah kehamilan yang tidak direncanakan pada ibu dengan HIV.
c. Mencegah terjadinya penularan HIV dari ibu hamil dengan HIV ke bayi yang dikandungnya.
d. Memberikan dukungan psikologis, sosial dan perawatan kepada ibu dengan HIV beserta bayi
dan keluarganya.
D. Memberikan dukungan psiokologis, sosial dan perawatan kepada ibu dengan HIV, beserta
bayi dan kerluarganya
Upaya PMTCT tidak berhenti setelah ibu melahirkan, karena ibu tersebut terus menjalani
hidup dengan HIV di tubuhya, maka dukungan psikologis, sosial dan perawatan sepanjang waktu
tetap dibutuhkan. Jika bayi dari ibu tersebut tidak terinfeksi HIV, masa depanya tetap perlu
dipikirkan, karena adanya kemungkinan orang tua bayi meninggal dunia. Sedangkan bila bayi
terinfeksi HIV, pengobatan ARV diperlukan seperti odha lainya.
Dengan dukungan prikososial yang baik, ibu dengan HIV akan bersikap optimis dan
bersemangat mengisi kehidupanya, sehingg ia akan betindak bijak dan positif untuk senantiasa
menjaga kesehatan diri dan anaknya, dan berperilaku sehat agar tidak terjadi penularan HIV dari
dirinya ke orang lain.
Jenis-jenis metode pemberian makanan pada bayi dari ibu dengan HIV
a. Tersedia pengganti ASI yang memenuhi syarat AFASS (affordable,
feasible,acceptable,sustainable,safe).
b. Bila kondisi AFASS tidak terpenuhi, maka dapat dipertimbangkan pemberian ASI ekslusif
yang jangka pemberianya singkta atau alternatif ASI lainya, yaitu:
Pasteusasi/memanaskan ASI perah.
Mencari ibu Susu (perempuan lain untuk menyusui bayinya) yang telah dibuktikan
HIV negatif.
c. Bila ibu memilih menyusui bayi, ibu harus memahami teknik menyusui yang benar untuk
menhindarkan peradangan payudara (mastitis) dan lecet pada puting yang dapat
mempertinggi risiko bayi tertular HIV.
Situasi ini membutuhkan pendekatan yang penuh dengan inovasi baru. Pendekatan program
tidak hanya menjangkau pekerja seks perempuan tetapi juga menyasar kepada kelompok berisiko
lainnya, termasuk waria, laki-laki yang seks dengan laki-laki (LSL) dan laki-laki berisiko tinggi
(LBT) sebagai pembeli seks. LBT kita kenal sebagai 4 M (mobile man with money in macho
environment), yaitu kelompok laki-laki yang karena pekerjaan atau profesinya berada jauh dari
keluarga. Hal ini dikarenakan LBT dikhawatirkan akan terjadi peningkatan penularan HIV melalui
hubungan heteroseksual di tahun-tahun mendatang.
Perubahan pendekatan yang sudah lama berjalan ke pendekatan baru membutuhkan kerja
keras, kesungguhan dan dedikasi tinggi. Namun, apabila kita yakin bahwa perjuangan meningkatkan
kesehatan masyarakat adalah suatu tujuan yang mulia dan kita berupaya mencegah dan lebih banyak
orang tidak tertular, maka tak ada kata menyerah. Buku pedoman ini menjadi panduan untuk
membuat perubahan tersebut menjadi lebih lancar dan berhasil. Pada akhirnya epidemi HIV dapat
terkendali sehingga mampu mencapai nol infeksi HIV baru, nol kematian karena AIDS dan nol
stigma dan diskriminasi.
Manfaat ARV
Antiretroviral merupakan suatu revolusi dalam perawatan ODHA. Terapi dengan
antiretroviral atau disingkat ARV telah menyebabkan penurunan angka kematian dan kesakitan bagi
ODHA. Manfaat terapi antiretroviral adalah sebagai berikut :
1. Menurunkan morbiditas dan mortalitas
2. Pasien dengan ARV tetap produktif
3. Memulihkan sistem kekebalan tubuh sehingga kebutuhan profilaksis infeksioportunistik
berkurang atau tidak perlu lagi
4. Mengurangi penularan karena viral load menjadi rendah atau tidak terdeteksi,namun ODHA
dengan viral load tidak terdeteksi, namun harus dipandang tetapmenular
5. Mengurangi biaya rawat inap dan terjadinya yatim piatu
6. Mendorong ODHA untuk meminta tes HIV atau mengungkapkan status HIV-nyasecara
sukarela
Nucleoside dan non-nucleoside inhibitors (NRTI dan NNRTI): keduanya mempunyai "target”
enzim yang sama (reverse transcriptase inhibitor). Obat tersebut mencegah HIV RNA menjadi DNA
sehingga HIV tidak dapat masuk ke inti sel tubuh manusia untuk membuat virus baru.
Protease inhibitors (PI): Pada saat inti sel tubuh manusia membuat materi HIV,bagian tersebut harus
dipotong dan disatukan kembali sebelum membentuk HIVyang baru keluar dari sel. PI mencegah
proses “pemotongan dan penyatuan kembali”, sehingga bagian-bagian virus yang baru saja terbentuk
tidak dapat dipotong untuk membentuk ‘badan virus’.
1. Paduan obat ARV harus menggunakan 3 jenis obat yang terserap dan beradaalam dosis
terapeutik. Prinsip tersebut untuk menjamin efektivitas penggunaanobat
2. Membantu pasien agar patuh minum obat antara lain dengan mendekatkanakses pelayanan
ARV .
3. Menjaga kesinambungan ketersediaan obat ARV dengan menerapkanmanajemen logistik
yang baik.
Paduan ART untuk orang dewasa yang ditetapkan oleh pemerintah untuk lini pertama adalah:2 NRTI
+ 1 NNRTI
Paduan di bawah ini dapat digunakan sebagai alternatif dari paduan di atas.
a. mendapat terapi ARV pasien harus dipersiapkan secara matangdengan konseling kepatuhan,
sehingga pasien paham benar akan manfaat, carapenggunaan, efek samping obat, tanda-tanda
bahaya dan lain sebagainya yangterkait dengan terapi ARV
b. Pasien yang akan mendapat terapi ARV harus memiliki pengawas minum obat(PMO), yaitu
orang dekat pasien yang akan mengawasi kepatuhan minum obat.
c. Pasien yang mendapat terapi ARV harus menjalani pemeriksaan untukpemantauan klinis
dengan teratur.
Pengetahuan Dasar Penggunaan ARV
ART atau antiretroviral sampai saat ini merupakan satu-satu obat yang memberikanmanfaat
besar dalam pengobatan ODHA. Namun penggunaan ARV menuntutadherence dan kesinambungan
berobat yang melibatkan peran pasien, dokter ataupetugas kesehatan, pendamping dan ketersediaan
obat. Beberapa hal khusus yangharus diperhatikan dalam penggunaan antiretroviral adalah sebagai
berikut:
1. Replikasi HIV sangat cepat dan terus menerus sejak awal infeksi, sedikitnyaterbentuk
sepuluh milyar virus setiap hari,namun karena waktu paruh (half life)virus bebas (virion)
sangat singkat, maka sebagian besar virus akan mati. Walauada replikasi yang cepat, sebagian
pasien merasa tetap sehat tanpa ART selamakekebalan tubuhnya masih berfungsi dengan
baik.
2. Replikasi yang terus menerus mengakibatkan kerusakan sistem kekebalan tubuhsemakin
berat, sehingga semakin rentan terhadap infeksi oportunistik (IO),kanker, penyakit saraf,
kehilangan berat badan secara nyata (wasting) danberakhir dengan kematian.
3. Viral load menunjukkan tingginya replikasi HIV sehingga penurunan CD4menunjukkan
kerusakan sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh HIV.
4. Nilai viral load menggambarkan progresivitas penyakit dan risiko kematian.Pemeriksaan
secara berkala jumlah CD4 dan viral load (jika memungkinkan)dapat menentukan
progresivitas penyakit dan mengetahui syarat yang tepatuntuk memulai atau mengubah
rejimen ART
5. Tingkat progresivitas penyakit pada ODHA dapat berbeda-beda. Keputusanpengobatan harus
berdasarkan pertimbangan individual dengan memperhatikangejala klinik, hitung limfosit
total dan bila memumgkinkan jumlah CD4.
6. Terapi kombinasi ART dapat menekan replikasi HIV hingga di bawah tingkatyang tidak
dapat dideteksi oleh pemeriksaan yang peka (PCR). Penekanan virussecara efektif ini
mencegah timbulnya virus yang resisten terhadap obat danmemperlambat progresivitas
penyakit. Jadi tujuan terapi adalah menekanperkembangan virus secara maksimal.
7. Cara paling efektif untuk menekan replikasi HIV secara terus menerus adalahmemulai
pengobatan dengan kombinasi ARV yang efektif. Semua obat yangdipakai harus dimulai
pada saat yang bersamaan pada pasien yang baru. Padapasien yang tidak pernah diterapi,
tidak boleh menggunakan obat yang memilikiresistensi silang dengan obat yang pernah
dipakai.
8. Terapi kombinasi ARV harus menggunakan dosis dan jadwal yang tepat.
9. Prinsip pemberian ART diperlakukan sama pada anak maupun dewasa,walaupun pengobatan
pada anak perlu perhatian khusus.
10. Walaupun viral load tidak terdeteksi, ODHA yang mendapat ART harus tetapdianggap
menular. Mereka harus dikonseling agar menghindari seks yang tidakaman, atau penggunaan
NAPZA suntik yang dapat menularkan HIV ataupatogen menular lain.
11. Untuk menghindari timbulnya resistensi, ART harus dipakai terus menerusdengan kepatuhan
(adherence) yang sangat tinggi, walaupun sering dijumpaiefek samping ringan.
12. Pemberian ART harus dipersiapkan secara baik dan matang dan harusdigunakan seumur
hidup.
13. Disamping ART, maka infeksi oportunistik harus pula mendapat perhatian danharus diobati.
Memulai ARV
Sebelum memulai terapi, perlu dilakukan hal-hal sebagai berikut:
1. Penggalian riwayat penyakit secara lengkap
2. Pemeriksaan fisik lengkap
3. Pemeriksaan laboratorium rutin
4. Hitung limfosit total (Total Lymphocite Count/TLC) dan bila mungkinpemeriksaan CD4.
Penilaian klinis yang mendukung adalah sebagai berikut:
1. Menilai stadium klinis infeksi HIV
2. Mengidentifikasi penyakit yang berhubungan erat dengan HIV di masa lalu
3. Mengidentifikasi penyakit yang terkait dengan HIV saat ini yang membutuhkanpengobatan
4. Mengidentifikasi pengobatan lain yang sedang dijalani yang dapatmempengaruhi pemilihan
terapi
Riwayat Penyakit
Pertanyaan tentang riwayat penyakit meliputi :
1. Kapan dan dimana diagnosis HIV ditegakkan
2. Kemungkinan sumber infeksi HIV
3. Gejala dan keluhan pasien saat ini
4. Riwayat penyakit sebelumnya, diagnosis dan pengobatan yang diterimatermasuk infeksi
oportunistik
5. Riwayat penyakit dan pengobatan TB termasuk kemungkinan kontak denganTB sebelumnya
6. Riwayat kemungkinan infeksi menular seksual (IMS)
7. Riwayat dan kemnugkinan adanya kehamilan
8. Riwayat penggunaan ART termasuk riwayat rejimen untuk PMTCT sebelumnya
9. Riwayat pengobatan dan penggunaan kontrasepsi oral pada perempuan
10. Kebiasaan sehari-hari dan riwayat perilaku seksual
11. Riwayat penggunaan NAPZA suntik
Pemeriksaan Fisik
1. Berat badan, tanda vital
2. Kulit : herpes zoster, sarkoma Kaposi, dermatitis HIV, pruritic papular eruption(PPE),
dermatitis saborik berat, jejas suntikan (needle track) atau jejas sayatan
3. Limfadenopati
4. Selaput lendir orafaringeal, kandidiasis, sarkoma kaposi, hairy leukiplakia, HSV
5. Pemeriksaan jantung, paru dan abdomen
6. Pemeriksaan sistem saraf dan otot rangka ; keadaan kejiwaan, berkurangnyafungsi motoris
dan sensoris
7. Pemeriksaan fundus mata : retinitis dan papil edema
8. Pemeriksaan saluran kelamin/ alat kandungan
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang harus dilakukan sebelum memulai terapidengan antiretroviral
adalah :
1. Pemeriksaan serologi untuk HIV dengan menggunakan strategi 2 atau strategi 3 sesuai
pedoman
2. Limfosit total atau CD4 (jika tersedia)
3. Pemeriksaan darah lengkap (terutama HB) dan kimia darah (terutamafungsi hati) dan fungsi
ginjal
4. Pemeriksaan kehamilan
Indikasi ART
ODHA dewasa seharusnya segera mulai ART manakala infeksi HIV telah ditegakkan secara
laboratoris disertai salah satu kondisi berikut :
1. Secara klinis sebagai penyakit tahap lanjut dari infeksi HIV :
2. Infeksi HIV stadium IV, tanpa memandang jumlah CD4
3. Infeksi HIV stadium III dengan jumlah CD4<350/mm3
4. Infeksi stadium I atau II dengan jumlah CD4<200 mm3
Artinya bahwa ART untuk penyakit stadium IV (kriteria WHO disebut AIDSklinik) tidak
seharusnya tergantung pada jumlah CD4. Untuk stadium III, bilatersedia sarana pemeriksaan CD4
akan sangat membantu untuk menentukansaat pemberiaan terapi yang lebih tepat. Tuberkulosis paru
dapat timbul padatahapan dengan jumlah CD4 berapapun, bila jumlah CD4 tersebut dapatterjaga
dengan baik (misalnya >350/mm3), maka terapi dapat ditunda denganmeneruskan pemantauan pasien
secara klinis. Nilai ambang untuk kondisiStadium III adalah 350/mm3 karena pada nilai nilai
dibawahnya biasanya kondisi pasien mulai menunjukkan perkembangan penyakit yang cepat
memburuk dan sesuai dengan pedoman yang ada. Bagi pasien dalam stadium I atau II, maka jumlah
CD4<200/mm3 merupakan indikasi pemberian terapi.Apabila tidak ada sarana pemeriksaan CD4,
maka yang digunakan sebagaiindikator pemberian terapi pada infeksi HIV simptomatik adalah jumlah
limfosittotal 1200/mm3 atau kurang (misalnya pada stadium II). Sedangkan pada pasien asimptomatik
jumlah limfosit total kurang berkorelasi dengan jumlah CD4. Namun bila dalam stadium simptomatik
baru akan bermanfaat sebagaipetanda prognosis dan harapan hidup. Pemeriksaan viral load (misalnya
dengan menggunakan kadar RNA HIV-1dalam plasma) tidak dianggap perlu sebelum dimulainya
ART dan tidakdirekomendasikan oleh WHO sebagai tindakan rutin untuk memandupengambilan
keputusan terapi karena mahal dan pemeriksaannya rumit.Diharapkan pada masa mendatang dapat
berkembang cara pemeriksaan viralload yang lebih terjangkau sehingga cara memantau pengobatan
tersebut dapat diterapkan secara luas. Perlu diperhatikan bahwa sistem pentahapan infeksi HIV
menurut WHO bagi orang dewasa tersebut dikembangkan pada beberapa tahun yang lalu dan
memiliki keterbatasan tetapi masih bermanfaat untuk membantu menetapkan indikator saat memulai
terapi.
BAB VI
MONITORING DAN EVALUASI
Monitoring dan evaluasi program sangat penting dilakukan untuk mengukur kemajuan yang
dicapai dan mengetahui dampak dari program Pelayanan HIV AIDS, tujuannya adalah untuk
memonitor capaian program penanggulangan HIV&AIDS pada pencegahan, dukungan, perawatan
dan pengobatan, mitigasi dampak, lingkungan kondusif dan program lainnya. Sebagai tambahan, juga
memberikan gambaran tentang kondisi penanggulangan HIV/AIDS di Rumah Sakit Siaga Raya
Monitoring dan evaluasi adalah bagian integral dari pengembangan program, pemberian
layanan, penggunaan optimal sediaan layanan, dan jaminan kualitas. Karena itu untuk kepentingan
layanan HIV AIDS di RSUD Prof DR M Ali Hanafiah SM Batusangkar, maka monitoring dan
evaluasi dilakukan dari luar selama melakukan pelayanan. Monitoring dan evaluasi dilakukan dengan
cara sistematis dan berkala pada program pelayanan HIV AIDS. Monitoring dan Evaluasi dapat
dilakukan secara internal maupun eksternal.
Tujuan Monitoring dan Evaluasi adalah:
1. Untuk menyusun perencanaan dan tindaklanjut
2. Untuk perbaiki pelaksanaan pelayanan HIV AIDS
3. Untuk mengetahui kemajuan dan hambatan pelayanan HIV AIDS
Pelayanan HIV AIDS membutuhkan SDM yang terlatih dan bermotivasi tinggi. Monitoring
secara teratur sangat dibutuhkan untuk memastikan kualitas yang baik dan konsisten, dan akan
membantu staf agar terhindar dari kejenuhan. Penilaian setiap 6 bulan atau satu tahun oleh Ketua TIM
pelayanan HIV AIDS RSUD Prof DR M Ali Hanafiah SM Batusangkaratau konselor berpengalaman
dari luar institusi layanan. Hasil penilaian disampaikan segera setelah penilaian selesai kepada tim
administrasi bulanan dan manajemen. Monitoring dan evaluasi pelayanan HIV dapat dikembangkan
dalam riset spesifik dengan membangun dan mengembangkan riset konseling dan testing di tingkat
nasional merupakan hal yang perlu dilakukan. Selain untuk mengenai dampak dan proses, dapat
dilakukan riset khusus yang berkaitan dengan berbagai pertanyaan yang muncul terkait konseling dan
testing. Misal riset tentang protokol pemeriksaan sampel dengan testing cepat, penerimaan klien akan
ketersediaan akses pada terapi TB, analisis biaya dan sebagainya. Dua jenis monitoring dan evaluasi
yang dilakukan adalah monitoring dan evaluasi teknis/penatalaksanaan pelayanan klien serta
monitoring dan evaluasi program. Monitoring dan evaluasi hendaknya dilakukan rutin, berkala dan
berkesinambungan Aspek yang perlu dimonitor dan dievaluasi:
1. Kebijakan, tujuan, dan sasaran mutu,
2. Sumber daya manusia
3. Sarana, prasana, dan peralatan
4. Standar minimal pelayanan HIV AIDS
5. Prosedur Pelayanan HIV AIDS
6. Hambatan pelayanan HIV AIDS
7. Uraian Rincian Layanan dengan menilai ketersediaan petugas diberbagai tingkatlayanan,
kepatuhan terhadap protokol, ketersediaan materi pengajaran mengenaikesehatan dan
kondom, ketersediaan dan penggunaan catatan terformat,ketersediaan alat testing dan
layanan medik, kepatuhan petugas pada peran dantanggung jawab dan aspek umum dari
operasionalisasi layanan.
8. Pengelolaan yang profesional dan efektif
9. Akuntabilitas dan sustainibilitas.
10. Kepuasan dan evaluasi klien secara langsung atau melalui kotak saran.
BAB VII
PENUTUP
Pedoman pelayanan HIV AIDS di Rumah Sakit Siaga Raya digunakan sebagai acuan bagi
seluruh jajaran kesehatan yang terkait dalam pelayanan HIV AIDS di rumah sakit. Keberhasilan
pelayanan HIV AIDS di rumah sakit sangat bergantung pada adanya kebijakan, dedikasi, kerja keras
dan kemampuan para penyelenggara pelayanan serta komitmen bersama untuk mencapai hasil
maksimal yang berkualitas.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kesehatan RI. Direktorat Jenderal pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan.
Pedoman Pelayanan Konseling dan Testing HIV sekarela.‐‐Jakarta : Departemen Kesehatan RI.2003
Kementerian Kesehatan RI. Direktorat Jenderal pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan.
Pedoman Testing Dan Konseling HIV Terintegrasi Di Sarana Kesehaan PITC.‐‐Jakarta : Kementerian
Kesehatan RI.2010
Kementerian Kesehatan RI. Direktorat Jenderal pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan.
Modul Materi Pelatihan Kolaborasi TB-HIV Bagi Petugas Fasilitas Pelayan Kesehatan.‐‐Jakarta :
Kementerian Kesehatan RI.2013
Kementerian Kesehatan RI. Direktorat Jenderal pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan.
Pedoman Nasional Layanan Komprehensif HIV-IMS Berkesinambungan.‐‐Jakarta : Kementerian
Kesehatan RI. 2012
Kementerian Kesehatan RI. Direktorat Jenderal pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan.
Pedoman Nasional Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA).‐‐Jakarta : Kementerian
Kesehatan RI.2012
Tjandra, Yoga. Situasi epidemiologi HIV AIDS di Indonesia. Direktorat Jenderal pengendalian
penyakit dan penyehatan lingkungan. Kementerian kesehatan RI. 2012
Komisi pengendalian AIDS (KPA). Stanas Penanggulangan HIV AIDS 2007-2010. Jakarta 2007
Kementerian Kesehatan RI. Estimasi dan Proyeksi HIV AIDS Tahun 2011-2016. Kemeterian
kesehatan RI. Jakarta 2013