Anda di halaman 1dari 38

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Human Immunodeficiency Virus atau HIV adalah virus yang menyerang
kekebalan tubuh manusia. Dalam perjalanan infeksinya, virus ini mampu merusak
system kekebelan tubuh, sehingga orang yang terinfeksi akan jatuh dalam kondisi
terparah, yaitu AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome). HIV-AIDS masih
menjadi masalah kesehatan global yang harus diselesaikan bersama. Berdasarkan
data yang bersumber dari United Nations Programme on HIV and AIDS
(UNAIDS) tahun 2019 wilayah Asia Tenggara menempati peringkat 3 besar dunia
yang populasinya paling banyak terinfeksi HIV. Hal inilah yang melatar belakangi
Indonesia untuk selalu waspada terhadap penyebaran dan penularan virus ini.
Meskipun cenderung fluktuatif, data kasus HIV/AIDS di Indonesia terus
meningkat dari tahun ke tahun. Selama sebelas tahun terakhir, jumlah kasus HIV
di Indonesia mencapai puncaknya pada tahun 2019, yaitu sebanyak 50.282 kasus.
Provinsi Jawa Timur menempati peringkat 2 dengan jumlah penemuan kasus pada
tahun 2019 sebanyak 8.935 kasus baru. Senada dengan hal diatas, dari data yang
bersumber Dinas Kesehatan Kota Blitar, peningkatan kasus HIV terjadi setiap
tahunnya dengan penemuan kasus baru yang fluktuatif. Dilaporkan jumlah kasus
kumulatif dari tahun 2015 hingga Oktober 2021 sebanyak 270 kasus, dengan
penambahan kasus baru sebanyak 13 kasus di tahun 2021. Indonesia berupaya
untuk mengakhiri AIDS pada tahun 2030 yang harus diupayakan.
Berdasarkan studi pendahuluan yang dilaksanakan di Poliklinik Cendana
RSUD Ngudi Waluyo, didapatkan jumlah kunjungan pasien yang positif HIV
pada tahun 2022 sejumlah 357 orang dengan rata-rata kunjungan setiap jadwal
buka poli sebanyak 10-15 orang.
Penyakit HIV/AIDS telah menimbulkan masalah yang cukup luas pada
individu yang terinfeksi yakni meliputi masalah fisik, sosial dan emosional.
(Smeltzer, 2005). AIDS menyebabkan destruksi progresif fungsi imun. Namun,
morbiditas dan mortalitas terutama disebabkan oleh infeksi oportunistik yang
timbul karena gagalnya surveilans dan kerja system imu. Pasien dengan AIDS
rentan terhadap beragam infeksi protozoa, bakteri, fungus, dan virus, dan

1
sebagaian dari mikroorganisme ini relatif jarang dijumpai, misalnya
Cryptosporidium, dan Mycobacterium avium-intracellulare (MAI). Infeksi-infeksi
ini bersifat menetao, parah, dan sering kambuh. Pasien biasanya mengidap lebih
dari satu infeksi pada suatu saat. (Priece, 2005).
Selain masalah fisik tersebut, pasien HIV/AIDS juga menghadapi masalah
sosial yang memprihatinkan sebagai dampak dari adanya stigma tarhadap
penyakit ini. Hal ini disebabkan oleh karena penyakit ini identik dengan akibat
dari perilaku-perilaku tidak bermoral seperti seks bebas, penyalahgunaan narkoba,
dan seks sesama jenis (homoseksual), sehingga pasien dianggap pantas untuk
mendapat hukuman akibat perbuatannya tersebut. Selain itu, stigma juga muncul
karena pemahaman masyarakat yang kurang terhadap penyakit ini. HIV/AIDS
dianggap sebagai penyakit mematikan yang mudah sekali menular melalui kontak
sosial biasa seperti halnya bersalaman dan lain sebagainya. Hal tersebut sering
kali dikucilkan dan mendapat perilaku diskriminatif dari masyarakat. (Purnama &
Haryanti, 2006) (dalam Kusuma, 2011).
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (2010) diperoleh data bahwa sikap
menerima anggota keluarga yang terinfeksi HIV meliputi 47,4% bersikap bersedia
membicarakan dengan anggota keluarga lain, 43,5% bersikap bersedia merawat
anggota keluarga yang terinfeksi virus HIV di rumah. Sikap deskriminatif
terhadap anggota keluarga yang terinfeksi HIV masih cukup tinggi yaitu yang
bersikap merahasiakan apabila ada anggota keluarga terinfeksi HIV sebesar
21,7% sedangkan penduduk yang bersikap mengucilkan sebesar 7,1%. Hasil
penelitian Kusuma (2011) diketahui responden mempersepsikan dukungan
keluarganya non-supportif yaitu 51 orang (55,4%), sedangkan responden yang
mempersiapkan dukungan keluarganya supportif berjumlah 41 orang (44,6%).
Hasil ini menunjukkan pasien HIV/AIDS di Indonesia masih banyak yang
kurang mendapatkan dukungan dari keluarga. Padahal, dukungan sosial sangat
diperlukan terutama pada PHIV yang kondisinya sudah sangat parah. Menurut
hipotesis penyangga dukungan sosial memengaruhi kesehatan dan melindungi
orang itu dari efek negatif dari stres berat, karena orang-orang dengan dukungan
sosial tinggi akan mengubah respon mereka terhadap sumber stres. Hal tersebut
didukung dengan hipotesis langsung yang berpendapat bahwa, dukungan sosial itu

2
bermanfaat bagi kesehatan dan kesejahteraan, tidak peduli banyaknya stres yang
dialami orang-orang. Menurut hipotesis ini efek dukungan sosial yang positif
akan sebanding dibawah intensitas stres tinggi dan rendah. (Nursalam, 2009).
Ryan dan Austin (1989) dalam Friedman (1998) mengemukakan bahwa secara
lebih spesifik, keberadaan dukungan sosial yang adekuat terbukti berhubungan
dengan menurunnya mortalitas, lebih mudah sembuh dari sakit, dan dikalangan
kaum tua, fungsi kognitif, fisik, dan kesehatan emosi. Wills (1985) menyimpulkan
bahwa baik efek-efek penyangga (dukungan sosial menahan efek-efek negatif dari
stres terhadap kesehatan) dan efek-efek utama (dukungan sosial secara langsung
mempengaruhi akibat-akibat dari kesehatan) pun ditemukan. Sesungguhnya efek-
efek penyangga dan utama dari dukungan sosial terhadap kesehatan dan
kesejahteraan boleh jadi boleh jadi berfungsi secara bersamaan. Secara lebih
spesifik, keberadaan dukungan sosial yang adekuat terbukti berhubungan dengan
menurunnya mortalitas, lebih mudah sembuh dari sakit, dan di kalangan kaum tua,
fungsi kognitif, fisik, dan kesehatan emosi. (Friedman, 1998)
Pasien terinfeksi HIV, umumnya dilaporkan mengalami keterlibatan
system saraf pusat, meski tanpa atau gejala AIDS lainnya. Bila terdapat AIDS,
sekitar 60% pasien menunjukkan gejala neurologik; perubahan neuropatologik,
dilaporkan pada 60-90% pasien. Gangguan mental organic terkait infeksi HIV
termasuk demensia AIDS, gangguan mood organik, dan gangguan kepribadian
organik. Kondisi psikiatrik terkait infeksi HIV termasuk depresi, psikosis dan
mania. (Kaplan, 1994). Depresi adalah gangguan mood, kondisi emosional
berkepanjangan yang mewarnai seluruh proses mental (berpikir, perasaan,
aktivitas) seseorang yang ditandai dengan pikiran negatif pada diri sendiri,
suasana hati menurun, kehilangan minat atau motivasi, pikiran lambat serta
aktivitas menurun. Bahkan menurut WHO, depresi adalah masalah yang serius
karena merupakan urutan keempat penyakit di dunia. (Keliat, 2011). Berdasarkan
penelitian yang dilakukan Kusuma (2011) tentang hubungan dukungan keluarga
dari 92 orang penderita HIV diketahui lebih dari setengah responden mengalami
depresi yaitu lebih sebesar 47 orang (51,1%) sedangakan yang tidak depresi
adalah 45 orang (48,9%), dengan kesimpulan responden yang mengalami depresi

3
berisiko 10,35 kali untuk memiliki kualitas hidup kurang baik dibanding dengan
responden yang tidak depresi.

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka peneliti tertarik untuk meneliti


Hubungan Dukungan Keluarga terhadap Tingkat Depresi Pada Pasien HIV.

1.2 Rumusan masalah


Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan pertanyaan masalah, yaitu
adakah hubungan antara dukungan keluarga terhadap tingkat depresi pada pasien
HIV?

1.3 Tujuan penelitian


1.3.1 Tujuan umum
Untuk mempelajari hubungan antara dukungan keluarga terhadap tingkat
depresi pada pasien HIV.
1.3.2 Tujuan khusus
a. Mengidentifikasi dukungan keluarga pada pasien HIV.
b. Mengidentifikasi tingkat depresi pada pasien HIV.
c. Menganalisa hubungan antara dukungan keluarga terhadap tingkat
depresi pada pasien HIV.

1.4 Manfaat penelitian


1.4.1 Bagi peneliti
Meningkatkan kemampuan dan memperluas wawasan dalam kegiatan
penelitian.
1.4.2 Bagi tempat penelitian
Sebagai bahan masukan keluarga untuk memberikan dukungan sosial
kepada anggota keluarga dengan infeksi HIV/AIDS supaya dapat meningkatkan
kesehatan dan kesejahteraan hidupnya.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS)


2.1.1 Pengertian
AIDS atau Acquired Immuno Deficiency Syndrome adalah suatu kumpulan
kondisi klinis tertentu yang merupakan hasil akhir dari infeksi oleh HIV. (Price,
2005).

2.1.2 Epidemiologi
Menurut The Joint United Nations Programe on HIV/AIDS (2000),
diperkirakan bahwa 36,1 juta orang terinfeksi oleh HIV dan AIDS pada akhir
tahun 2000. Dari 36,1 juta kasus, 16,4 juta adalah perempuan, dan 600.000 adalah
anak-anak berusia kurang 15 tahun. Infeksi HIV telah menyebabkan kematian
pada sekitar 21,8 juta orang sejak permulaan epidemi pada akhir tahun 1970an
sampai awal tahun 1980an. (Price, 2005). Secara global, 34,0 juta [31,4-
35.900.000] orang hidup dengan HIV pada akhir 2011. Diperkirakan 0,8% orang
dewasa usia 15-49 tahun di seluruh dunia hidup dengan HIV, meskipun beban
epidemi terus bervariasi antara negara dan wilayah. Sub-Sahara Afrika tetap
terkena dampak paling parah, dengan hampir 1 dari setiap 20 orang dewasa
(4,9%) yang hidup dengan HIV dan akuntansi untuk 69% dari orang yang hidup
dengan HIV di seluruh dunia. (WHO). Surveilans di seluruh dunia merupakan
suatu tantangan karena saat ini belum ada definisi kasus AIDS yang dapat
digunakan secara global.
Jumlah infeksi baru di Indonesia menunjukkan adanya peningkatan,
sepanjang periode tahun 1996-2006, angka kasus HIV meningkat 17,5% dan
diperkirakan bahwa ada sekitar 193.000 orang yang saat ini hidup dengan HIV di
Indonesia. Sementara itu, jumlah kumulatif kasus AIDS juga cenderung terus
meningkat, yaitu sebesar 19.973 kasus pada tahun 2009, lebih dari dua kali liapat
dibandingkan dengan jumlah kumulatif pada tahun 2006 sebesar 8.194 kasus.
(BAPPENAS, 2010).

5
Peningkatan fenomena tersebut senada dengan apa yang terjadi di Provinsi
Jawa Timur. Jumlah kasus AIDS kumulatif berdasarkan laporan Kabupaten/Kota
tahun 2010 sebanyak 4.069 orang, menunjukkan peningkatan dibandingkan tahun
2009 sebanyak 3.554 orang. (Profil Kesehatan Provinsi Jawa Timur, 2010). Dari
data yang diperoleh, penderita HIV/AIDS pada tahun 2010 berjumlah 89, angka
tersebut meningkat menjadi 125 pada tahun 2011. Pada tahun 2012 jumlah
penderita HIV/AIDS 123 orang dan pada tahun 2013 di hitung mulai bulan
Januari sampai dengan bulan September 2013, angka penderita HIV/AIDS di
Kabupaten Blitar berjumlah 93 orang. (Dinas Kesehatan Kabupaten Blitar, 2013).
2.1.3 Etiologi
Penyebabnya adalah golongan virus retro yang disebut human
imunnodeficiency virus (HIV). HIV pertama kali ditemukan pada tahun 1983
sebagai retrovirus dan disebut HIV-1. Pada tahun 1986 di Afrika ditemukan lagi
retrovirus baru yang diberi nama HIV-2. HIV-2 dianggap sebagai virus kurang
patogen dibandingkan dengan HIV-1. Maka untuk memudahkan, keduanya diberi
nama HIV. (Nursalam, 2009).
Ada dua tipe HIV yang dapat menyebabkan AIDS: HIV-1 dan HIV-2.
HIV-1 bermutasi lebih cepat karena replikasi lebih cepat, berbagai macam sub
tipe dari HIV-1 telah ditemukan dalam area geografis yang spesifik dan kelompok
spesifik risiko tinggi. Individu dapat terinfeksi oleh sub tipe yang berbeda. Berikut
adalah sub tipe HIV-1 dan distribusi geografisnya:
a. Sub tipe A : Afrika Tengah.
b. Sub tipe B : Amerika Selatan, Brazil, USA, Thailand.
c. Sub tipe C : Brazil, India, Afrika Selatan.
d. Sub tipe D : Afrika Tengah.
e. Sub tipe E : Thailand, Afrika Tengah.
f. Sub tipe F : Brazil, Romania, Zaire.
g. Sub tipe G : Zaire, Gabon, Thailand.
h. Sub tipe H : Zaire, Gabon.
i. Sub tipe O : Kamerun, Gabon.

Sub tipe C saat ini terhitung lebih dari separuh dari semua infeksi HIV baru di
seluruh dunia. (Nursalam, 2009).

6
HIV, yang dahulu disebut virus limfotrofik sel T manusia tipe III (HTLV-
III) atau virus limfadenopati (LAV), adalah suatu retrovirus manusia sitopatik
dari famili lentivirus. Retrovirus mengubah asam ribonukleatnya (RNA) menjadi
asam deoksiribonukleat (DNA), setelah masuk ke dalam sel pejamu. HIV-1 dan
HIV-2 adalah lentivirus sitopatik, dengan HIV-1 menjadi penyebab utama AIDS
di seluruh dunia. (Price, 2005).
Genom HIV mengode Sembilan protein yang esensial untuk setiap aspek
siklus hidup virus. Dari segi struktur genomik, virus-virus memiliki perbedaan
yaitu bahwa protein HIV-1, Vpu, yang membantu pelepasan virus, tampaknya
diganti oleh protein Vpx pada HIV-2. Vpx meningkatkan infektivitas (daya tular)
dan mungkin merupakan duplikasi dari protein lain, Vpr. Vpr diperkirakan
meningkatkan transkripsi virus. HIV-2, yang pertama kali diketahui dalam serum
dari para perempuan Afrika Barat (warga Senegal) pada tahun 1985,
menyebabkan penyakit klinis tetapi tampaknya kurang patogenik dibandingkan
HIV-1. (Marlink, 1994) (dalam Price, 2005).

2.1.4 Cara penularan


Penularan paling terjadi paling efisien melalui darah dan semen. HIV juga
dapat ditularkan melalui air susu dan sekresi vagina atau serviks. Tiga cara utama
penularan adalah kontak dengan darah dan kontak seksual dan kontak ibu-bayi.
(Price, 2005). Nursalam (2009) menjelaskan bahwa virus HIV menular melalui
enam cara penularan, yaitu:
a. Hubungan seksual dengan pengidap HIV/AIDS
Hubungan seksual secara vaginal, anal, dan oral dengan penderita HIV
tanpa perlindungan bisa menularkan HIV. Selama hubungan seksual berlangsung,
air mani, cairan vagina, dan darah dapat mengenai selaput lender vagina, penis,
dubur, atau mulut sehingga HIV yang terdapat dalam cairan tersebut masuk ke
aliran darah. (PELEKSI, 2005). Selama berhubungan juga bisa terjadi lesi mikro
pada dinding vagina, dubur, dan mulut yang bisa menjadi jalan HIV untuk masuk
ke aliran darah pasangan seksual. (Syaiful, 2000).

7
b. Ibu pada bayinya
Penularan HIV dari ibu bisa terjadi pada saat kehamilan (in utero).
Berdasarkan laporan CDC Amerika, prevalensi penularan HIV dari ibu ke bayi
adalah 0,01% sampai 0,7%. Bila ibu baru terinfeksi HIV dan belum ada gejala
AIDS, kemungkinan bayi terinfeksi sebanyak 20% sampai 35%, sedangkan kalau
gejala AIDS sudah jelas pada ibu kemungkinan mencapai 50%. (PELEKSI,
2005). Penularan juga terjadi selama proses persalinan melalui tranfusi
fetomaternal atau kontak antara kulit atau membrane mukosa bayi dengan atau
sekresi maternal saat melahirkan. (Lily V, 2004). Semakin lama proses
melahirkan, semakin besar risiko penularan. Oleh karena itu, lama persalinan bisa
dipersingkat dengan operasi section caesaria. (HIS dan STB, 2000). Transmisi
lain terjadi selama periode post partum melalui ASI. Risiko bayi tertular melalui
ASI dari ibu yang positif sekitar 10%. (Lily V, 2004).
c. Darah dan produk darah yang tercemar HIV/AIDS
Sangat cepat menularkan HIV karena virus langsung masuk ke pembuluh
darah dan menyebar ke seluruh tubuh.
d. Pemakaian alat kesehatan yang tidak steril
Alat pemeriksaan kandungan seperti spekulum, tenakulum, dan alat-alat
lain yang menyentuh darah, cairan vagina atau air mani yang terinfeksi HIV, dan
langsung digunakan untuk orang lain yang tidak terinfeksi bisa menularkan HIV.
(PELKENI, 1995).
e. Alat-alat untuk menorah kulit
Alat tajam dan runcing seperti jarum, pisau, silet, menyunat seseorang,
membuat tato, memotong rambut, dan sebagainya bisa menularkan HIV sebab alat
tersebut mungin dipakai tanpa disterilkan terlebih dahulu.
f. Menggunakan jarum suntik secara bergantian
Jarum suntik yang digunakan di fasilitas kesehatan, maupun yang
digunakan oleh pengguna narkoba (Infecting Drug User-IDU) sangat berpotensi
menularkan HIV. Selain jarum suntik, pada para pemakai IDU secara bersama-
sama juga menggunakan tempat penyempur, pengaduk, dan gelas pengoplos obat,
sehingga berpotensi tinggi untuk menularkan HIV.

8
HIV tidak menular melalui peralatan makan, pakaian, handuk, sapu
tangan, toilet yang dipakai secara bersama-sama, berpelukan di pipi, berjabat
tangan, hidup serumah dengan penderita HIV/AIDS, gigitan nyamuk, dan
hubungan sosial yang lain. (Nursalam, 2009).

2.1.5 Perjalanan penyakit


Perjalanan klinis pasien dari tahap terinfeksi HIV sampai tahap AIDS,
sejalan dengan penurunan derajat imunitas pasien, terutama imunitas seluler dan
menunjukkan gambaran penyakit yang kronis. Penurunan imunitas biasanya
diikuti adanya peningkatan risiko dan derajat keparahan infeksi oportunistik serta
penyakit keganasan. (Depkes RI, 2003). Dari semua orang yang terinfeksi HIV,
sebagian berkembang menjadi AIDS pada tiga tahun pertama, 50% menjadi AIDS
sesudah sepuluh tahun, dan hampir 100% pasien HIV menunjukkan gejala AIDS
setelah tiga belas tahun. (Sudoyo, 2006) dalam (Nursalam, 2009). Dalam tubuh
ODHA, partikel virus akan bergabung dengan DNA sel pasien, sehingga orang
yang terinfeksi HIV seumur hidup akan tetap terinfeksi. Sebagian pasien
memperlihatkan gejala tidak khas infeksi seperti demam, nyeri menelan,
pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare, atau batuk pada 3-6 minggu
setelah infeksi (Sudoyo, 2006) dalam (Nursalam, 2009).. Tanda dan gejala dari
sindrom retroviral akut ini meliputi panas, nyeri otot, sakit kepala, mual, muntah,
diare, berkeringat malam hari, kehilangan berat badan, dan timbul ruam. Tanda
dan gejala tersebut biasanya hilang 2-4 minggu setelah infeksi, kemudian hilang
atau menurun setelah beberapa hari dan sering salah terdeteksi sebagai influenza
atau infeksi mononukleosis. (Calles, N.R, 2000).
Selama infeksi primer jumlah limfosit CD4+ pada dalam darah menurun
dengan cepat. Target virus ini adalah limfosit CD4 + pada nodus limfa dan thymus
selama waktu tersebut, yang membuat individu yang terinfeksi HIV akan mungkin
terkena infeksi oportunistik dan membatasi kemampuan thymus untuk
memproduksi limfosit T. Tes antibodi HIV menggunakan enzyme linked
imunoabsorbent assay (ELISA) yang akan menunjukkan hasil positif. (Calles,
N.R, 2000) dalam (Nursalam, 2009). Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV
asimptomatik (tanpa gejala). Masa tanpa gejala ini biasa berlangsung selama 8-10

9
tahun. Tetapi ada sekelompok orang yang perjalanannya penyakitnya sangat
cepat, hanya sekitar 2 tahun, dan ada pula yang perjalanant penyakitnya lambat.
(Nursalam, 2009).
Seiring dengan makin memburuknya kekebalan tubuh, ODHA mulai
menampakkan gejala akibat infeksi oportunistik (penurunan berat badan, demam
lama, pembesaran kelenjar getah bening, diare, tuberkulosis, infeksi jamur,
herpes, dan lain-lain). (Sudoyo 2006) dalam (Nursalam, 2009). Perjalanan
penyakit lebih progresif pada pengguna narkoba. Lamanya penggunaan jarum
suntik berbanding lurus dengan infeksi pneumonia dan tuberkulosis. Infeksi oleh
kuman lain akan membuat HIV membelah lebih cepat. Selain itu dapat
mengakibatkan reaktivasi virus di dalam limfosit T sehingga perjalanan penyakit
bias lebih progresif. (Sudoyo, 2006) dalam (Nursalam, 2009). Pembagian
stadium:
a. Stadium pertama: HIV
Infeksi dimulai dengan masuknya HIV dan diikuti terjadinya perubahan
serelogis ketika antibodi terhadap virus tersebut berubah dari negatif menjadi
positif. Rentang waktu sejak HIV masuk ke dalam tubuh sampai tes antibodi
terhadap HIV menjadi positif window periode. Lama window periode antara satu
sampai tiga bulan, bahkan ada yang dapat berlangsung sampai enam bulan.
b. Stadium kedua: Asimptomatik (tanpa gejala)
Asimptomatik berarti bahwa di dalam organ tubuh terdapat HIV tetapi
tubuh tidak menunjukkan gejala-gejala. Keadaan ini dapat berlangsung rerata
selama 5-10 tahun. Cairan tubuh pasien HIV/AIDS yang tampak sehat ini sudah
dapat menularkan HIV kepada orang lain.
c. Stadium ketiga
Pembesaran kelenjar limfa secara menetap dan merata (Persistent
Generalized Lymphadenopathy), tidak hanya muncul pada satu tempat saja, dan
berlangsung lebih satu bulan.
d. Stadium keempat
Keadaan ini disertai adanya bermacam-macam penyakit, antara lain
penyakit konstitusional, penyakit saraf, dan penyakit infeksi sekunder.

2.1.6 Pemeriksaan infeksi HIV

10
Tes skrining yang digunakan untuk mendiagnosa HIV adalah ELISA.
Untuk mengidentifikasi antibodi terhadap HIV, tes ELISA sangat sensitif, tapi
tidak selalu spesifik, karena penyakit lain bisa juga menunjukkan hasil positif.
Beberapa penyakit yang bisa menyebabkan false positif, antara lain adalah
penyakit autoimun, infeksi virus, atau keganasan hematologi. Kehamilan juga bisa
menyebabkan false positif. Tes yang lain biasanya digunakan untuk
mengonfirmasi hasil ELISA, antara lain Western Blot (WB), indirect
immunofluoresence assay (IFA) ataupun radio-immuno-precipitation assay
(RIPA). (Nursalam, 2009).
a. Western Blot
Merupakan elektroforesis poliakrilamid yang digunakan untuk
mendeteksi rantai protein yang spesifik terhadap DNA. Jika tidak ada rantai Jika
tidak ada rantai protein yang ditemukan, berarti hasil tes negatif. Sedangkan bila
hampir atau semua rantai protein ditemukan berarti wastern blot positif. Tes
western blot mungkin juga tidak bisa menyimpulkan seseorang menderita HIV
atau tidak. Oleh karena itu, tes harus diulang lagi setelah dua minggu dengan
sampel yang sama. Jika tes western blot tetap tidak bisa disimpulkan, maka tes
western blot harus diulang lagi setelah enam bulan. Jika tes tetap negatif maka
pasien dianggap HIV negatif. (Nursalam, 2009).

b. Tes enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)


Biasa digunakan untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap HIV.
Pemeriksaan reaksi ELISA digunakan untuk mendiagnosa infeksi HIV secara
tidak langsung. Jika diperoleh hasil positif atau reaktif, maka dilakukan
pemeriksaan ulang dengan mempergunakan contoh darah yang sama. Jika
hasilnya masih reaktif, maka akan dilakukan pemeriksaan western blot. (Muma,
1997). ELISA merupakan tes yang baik, tetapi hasilnya mungkin masih akan
negatif sampai 6-12 minggu setelah pasien terinfeksi. (Nursalam, 2009).
c. PCR (polymerase chain reaction)

11
Untuk DNA dan RNA virus HIV sangat sensitif dan spesifik untuk
infeksi HIV. Tes ini sering digunakan bila hasil tes yang lain tidak jelas.
(Nursalam, 2009).
d. Limfosit CD4 (sel T-helper)
Merupakan salah satu cara untuk mengetahui kuantitas fungsi imunologi
pasien. CD4 juga berguna untuk menentukan stadium klinis HIV. (Nursalam,
2009). Pengawasan terhadap nilai T4 mempermudah dokter dalam
memperkirakan adanya peningkatan risiko pasien untuk mengalami infeksi
oportunistik yang secara langsung berkaitan dengan imunodefisiensi. Hasil
pemeriksaan juga merupakan petunjuk dalam memutuskan pemberian terapi dan
profilaksis. (Muma, 1997). Pemeriksaan T4 harus dilakukan pada evaluasi
pertama dan pada kunjungan kedua 2-6 minggu kemudian, untuk menentukan
tindakan selanjutnya. (Muma, 1997).

e. Pemeriksaan mikroglobulin beta-2 (MB2) dan antigen p24


Nilai pemeriksaan ini mungkin abnormal selama perkembangan aktif
penyakit. Konsentrasi serum MB2 yang lebih dari 3 mg/L menunjukkan
kemungkinan adanya AIDS. Terdeteksinya antigen p24, salah satu protein inti di
dalam serum penderita yang positif terhadap HIV menandakan bahwa proses
replikasi sedang berlangsung dengan aktif. (Muma, 1997).

2.1.7 Tanda dan gejala


Gejala utama/mayor:
a. Demam berkepanjangan lebih dari tiga bulan.
b. Diare kronis lebih dari satu bulan berulang maupun terus menerus.
c. Penurunan berat badan lebih dari 10% dalam tiga bulan.
d. TBC.
Gejala minor:
a. Batuk kronis selama lebih dari satu bulan.
b. Infeksi pada mulut dan tenggorokan yang disebabkan jamur Candida albicans.

12
c. Pembengkakan kelenjar getah bening yang menetap diseluruh tubuh.
d. Munculnya Herpes zooster berulang dan bercak-bercak gatal di seluruh tubuh.

(Depkes RI, 1997) dalam (Nursalam, 2009).

2.1.8 Klasifikasi penyakit


WHO mengklasifikasikan HIV/AIDS menjadi klasifikasi laboratorium dan
klinis.
a. Klasifikasi Laboratorium
Tabel 2.1 Klasifikasi laboratorium menurut WHO
CD4+/ Stadium klinis Stadium awal Stadium klinis 3: Stadium 4
Limfosit
mm3 1: Asimptomatik klinis 2 Awal Intermediet Lanjut
> 2000 > 500 1A 2A 3A 4A
1000-2000 200-500 1B 2B 3B 4B
< 1000 < 200 1C 2C 3C 4C
Sumber: Depkes RI, 2003
b. Klasifikasi klinis
Dalam Nursalam (2009), pada beberapa negara, pemeriksaan limfosit
CD4+ tidak tersedia. Dalam hal ini pasien bisa didiagnosis berdasarkan gejala
klinis, yaitu berdasarkan tanda dan gejala mayor dan minor. Dua gejala mayor dan
minor di tambah dua gejala minor didefinisikan sebagai infeksi HIV simptomatik.
Beberapa penelitian menunjukkan reliabilitas klasifikasi derajat klinis menurut
WHO bisa memrediksi morbiditas dan mortalitas pasien yang terinfeksi HIV.

Tabel 2.2 Klasifikasi klinis HIV pada orang dewasa menurut WHO

13
Stadium Skala ativitas gambaran klinis
Asimptomatik, aktivitas normal
I a. Asimptomatik
b. Limfadenopati generalisata
Simptomatik, aktivitas normal
a. Berat badan menurun <10%
b. Kelainan kulit dan mukosa yang ringan seperti, dermatitis
seboroik, prurigo. Anikomikosis, ulkus oral yang rekuren, dan
II
kheilitis angularis.
c. Herpes zoster dalam lima tahun terakhir.
d. Infeksi saluran pernapasan bagian atas, seperti sinusitis
bakterialis.
Pada umumnya lemas, aktivitas di tempat tidur kurang dari 50%
a. Berat badan menurun > 10%
b. Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan.
c. Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan.
III d. Kandidiasis orofaringeal.
e. Oral hairy leukoplakia.
f. TB paru dalam tahun terakhir
g. Infeksi bacterial yang berat seperti pneumonia dan
piomiosistish.
IV Pada umumnya sangat lemah, aktivitas di tempat tidur lebih dari
50%
a. HIV wasting syndrome seperti yang didefinisikan oleh CDC.
b. Pneumonia Pneumocystis carinii
c. Toksoplamsmosis otak.
d. Diare kriptosporidiosis lebih dari 1 bulan.
e. Kriptokokosis ekstrapulmonal.
f. Retinitis virus sitomegalo.
g. Herpes simplex mukokutan lebih dari 1 bulan.
h. Leukoensefalopati multifokal progresif.
i. Mikosis diseminata seperti histoplasmosis.

14
j. Kandidiasis di esophagus, trakea, bronkus, paru.
k. Mikobakteriosis atipikal diseminata.
l. Septosemia salmonelosis nontifoid.
m. Tuberkulosis di luar paru.
n. Limfoma.
o. Sarkoma Kaposi.
p. Ensefalopati HIV.
Sumber: Depkes RI, 2003.

2.1.9 Aspek psikososial


AIDS telah memberikan dampak yang kuat dalam bidang medis, politik,
dan sosial. AIDS juga telah menjadi isu politik baik untuk rumah sakit umum
maupun swasta dan menimbulkan masalah sosial yang serius, baik akibat
ketakutan pada penularannya maupun ketakutan akan sindroma awal yang dialami
oleh sekelompok minoritas. Perhatian khusus dalam bidang psikologis semakin
meningkat di antara tenaga kesehatan sebagai akibat dari timbulnya ketakutan
akan tertular oleh AIDS. Isu-isu ini telah menambah beban sosial dan psikologis
pada penderita AIDS, yang menghadapi suatu penyakit yang melumpuhkan dan
membuat mereka tidak berdaya dengan prognosa yang buruk. (Muma, 1997).
Stres yang dialami pasien HIV menurut konsep psikoneuroimunologis,
stimulusnya akan melalui sel astrosit pada cortical dan amigdala pada sistem
limbik berefek pada hipotalamus. (Nursalam, 2009)
Beban secara sosiokultural yang diakibatkan oleh diagnosa AIDS dapat
berasal dari beberapa sumber. Stigma sosial yang berhubungan dengan aspek
penularan dapat menyebabkan gangguan perilaku pada orang lain, termasuk
menghindari kontak fisik dan kontak sosial. Akibat dari keadaan ini dirasakan
cukup menyakitkan bagi orang dewasa, apalagi untuk anak-anak yang menderita
AIDS yang juga dikucilkan di sekolah dan dari teman sebayanya karena ketakutan
yang dialami oleh para orang tua. (Muma, 1997).

15
Diagnosa AIDS mungkin akan membuat pasien dimasukkan ke dalam
golongab kelompok minoritas yang tidak disukai. Anggota keluarga secara tiba-
tiba mengetahui pola hidup yang mereka anggap sulit untuk diterima. Sehingga,
penderita AIDS sangat mudah bersalah dan menerima penolakan dari sekitarnya.
(Muma, 1997).

2.1.10 Penatalaksanaan penyakit


Antiretroviral (ARV) bisa diberikan pada pasien untuk menghentikan
aktivitas virus, memulihkan sistem imun dan mengurangi terjadinya infeksi
oportunistik, memperbaiki kualitas hidup, dan menurunkan kecacatan. ARV tidak
menyembuhkan pasien HIV, namum bisa memperbaiki kualitas hidup dan
memperpanjang usia harapan hidup penderita HIV/AIDS. Obat ARV terdiri atas
beberapa golongan seperti nucleoside reverse transcriptase inhibitor, nucleoside
reverse transcriptase inhibitor, non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor,
dan inhibitor protease. (Nursalam, 2009).
Untuk memulai anti retroviral therapy (ART), ada beberapa syarat yang
harus dipenuhi penderita. Adapun syarat yang harus dipenuhi untuk mencegah
putus obat dan menjamin efektivitas pengobatan antara lain adalah infeksi HIV
telah dikonfirmasi dengan hasil tes (positif) yang tercatat, memiliki indikasi
medis, dan tida memulai ART jika tidak memenhuhi indikasi klinis, mengulangi
pemeriksaan CD4 dalam empat bulan jika memungkinkan. ARV diberikan pada
pasien HIV/AIDS dengan tujuan untuk menghentikan replikasi HIV, memulihkan
sistem imun dan mengurangi terjadinya infeksi oportunistik, dan menurunkan
morbiditas dan mortalitas karena infeksi HIV. (Nursalam, 2009).
Obat-obatan ARV yang beredar saat ini sebagian besar bekerja
berdasarkan siklus replikasi HIV, sementara obat-obat baru lainnya masih dalam
penelitian. Jenis obat-obat ARV mempunyai target yang berbeda pada siklus
replikasi, yaitu:
a. Entry (saat masuk)
HIV harus masuk ke dalam sel T untuk dapat memulai kerjanya yang
merusak. HIV mula-mula melekatkan diri pada sel, kemudian menyatukan
membran luarnya dengan membran luar sel. Enzim reverse trascriptase dapat

16
dihalangi oleh obat AZT, ddC, 3TC, dan D4T, enzim integrase mungkin dihalangi
oleh obat yang sekarang dikembangkan, enzim protease mungkin dapat dihalangi
oleh obat squinavir, ritonivir, dan indinivir.
b. Early replication
Sifat HIV adalah mengambil alih mesin genetika sel T. Setelah
bergabung dengan sebuah sel, HIV menaburkan bahan-bahan genetiknya ke
dalam sel. Disini HIV mengalami masalah dengan kode genetiknya yang tertulis
dalam bentuk yang disebut RNA, sedangkan pada manusia kode genetik tertulis
dalam DNA. Untuk mengalami masalah ini, HIV membuat enzim reverse
transcriptase (RT) yang menyalin RNAnya ke dalam DNA. Obat nucleose RT
inhibitor (nukes) menyebabkan terbentuknya enzim reverse transcriptase yang
cacat. Golongan non-nucleoside RT inhibitors memiliki kemampuan untuk
mengikat enzim reverse transcriptase sehingga membuat enzim tersebut menjadi
tidak berfungsi.
c. Late replication
HIV harus menggunting sel DNA untuk kemudian memasukkan
DNAnya sendiri ke dalam guntingan tersebut dan menyambung kembali helaian
DNA tersebut. Alat penyambung itu adalah enzim integrase, maka obat integrase
inhibitor diperlukan untuk menghalangi penyambungan ini.
d. Assembly (perakita atau penyatuan)
Begitu HIV mengambil alih bahan-bahan genetik sel, maka sel akan
diatur untuk membuat berbagai potongan sebagai bahan untuk membuat virus
baru. Potongan ini harus dipotong dalam ukuran yang benar yang dilakukan enzim
protease HIV, maka pada fase ini, obat jenis protease inhibitor diperlukan untuk
mengahalangi terjadinya penyambungan ini.
(Nursalam, 2009).

2.2 Keluarga
2.2.1 Pengertian
Pengertian keluarga akan berbeda. Hal ini bergantung pada orientasi
yang digunakan dan orang yang mendefinisikannya. Friedman (1998)
mendefinisikan bahwa keluarga adalah kumpulan dua orang atau lebih yang hidup

17
bersama dengan keterikatan aturan dan emosional dan individu memupunyai
peran masing-masing yang merupakan bagian dari keluarga. (Suprajitno, 2004).
Pernyataan tersebut juga didukung oleh Baylon dan Maglaya (1978) yang
menyatakan baghwa, keluarga adalah dua atau lebih individu yang tergabung
karena hubungan perkawinan, darah, atau adopsi dan hidup dalam satu rumah
yang saling berinteraksi satu sama lain dalam perannya masing-masing dan
menciptakan serta mempertahankan suatu kebudayaan. (Achjar, 2010). Dari
definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa karakteristik keluarga adalah:
a. Terdiri dari dua atau lebih individu yang diikat oleh hubungan perkawinan
atau adopsi.
b. Anggota keluarga biasanya hidup bersama atau jika terpisah mereka tetap
memperhatikan satu sama lain.
c. Anggota keluarga berinteraksi satu sama lain dan maisng-masing
mempunyai peran social suami, istri, anak, kakak, adik.
d. Mempunyai tujuan yaitu, menciptakan dan mempertahankan budaya,
meningkatkan perkembangan fisik, psikologis, dan social anggota.
(Setyowati, 2008).

2.2.2 Fungsi keluarga


Secara umum fungsi keluarga (Friedman, 1998) adalah sebagai berikut:
a. Fungsi afektif (the affective function) adalah fungsi keluarga yang utama
untuk mengajarkan segala sesuatu untuk mempersiapkan anggota keluarga
berhubungan dengan orang lain. Fungsi ini dibutuhkan untuk perkembangan
individu dan psikososial anggota keluarga.
b. Fungsi sosialisasi dan tempat bersosialisasi (socialization and social
placement function) adalah fungsi mengembangkan dan tempat melatih anak
untuk berkehidupan sosial sebelum meninggalkan rumah untuk berhubungan
dengan orang lain di luar rumah.
c. Fungsi reproduksi (the reproductive function) adalah fungsi untuk
mempertahankan generasi dan menjaga kelangsungan keluarga.
d. Fungsi ekonomi (the economic function), yaitu keluarga berfungsi untuk
memenuhi kebutuhan keluarga secara ekonomi dan tempat untuk

18
mengembangkan kemampuan individu meningkatkan penghasilan untuk
memenuhi kebutuhan keluarga.
e. Fungsi perawatan atau pemeliharan kesehatan (the health care function),
yaitu fungsi untuk mempertahankan keadaan kesehatan anggota keluarga agar
tetap memiliki produktivitas tinggi. Fungsi ini dikembangkan menjadi tugas
keluarga di bidang kesehatan.
(Suprajitno, 2004).
Dengan demikian, fungsi dan peran keluarga sangat dibutuhkan oleh
semua anggota keluarga khususnya pasien yang menderita penyakit kronis guna
mendukung peningkatan status kesehatannya. (Kusuma, 2011).

2.2.3 Dukungan keluarga


Kane mendefinisikan dukungan sosial keluarga sebagai suatu proses
hubungan antara keluarga dengan lingkungan sosialnya. Dukungan keluarga
adalah proses yang terjadi sepanjang masa kehidupan., sifat dan jenis dukungan
sosial berbeda-beda dalam berbagai tahap-tahap siklus kehidupan. (Friedman,
1998). Dukungan sosial sangat diperlukan terutama pada PHIV yang kondisinya
sudah sangat parah. Individu yang termasuk dalam memberikan dukungan sosial
meliputi pasangan (suami atau istri), orang tua, anak, sanak keluarga, teman, tim
kesehatan, atasan, dan konselor. (Nursalam, 2009). Beberapa pendapat
mengatakan bahwa dukungan sosial terutama dalam konteks yang akrab atau
kualitas hubungan perkawinan dan keluarga barangkali merupakan sumber
dukungan sosial yang paling penting. (Rodin dan Salovey, 1989 dikutip Smet,
1994) dalam (Nursalam, 2009). Dukungan sosial keluarga mengacu pada
dukungan-dukungan sosial yang dipandang oleh anggota keluarga sebagai sesuatu
yang dapat diakses atau diadakan untuk keluarga (dukungan sosial bisa atau tidak
digunakan, tapi anggota keluarga memandang bahwa orang yang bersifat
mendukung selalu siap memberikan pertolongan dan bantuan jika diperlukan).
Dukungan sosial keluarga dapat berupa dukungan social keluarga internal, seperti
dukungan dari suami/istri atau dukungan dari saudara kandung; atau dukungan
sosial keluarga eksternal. Dukungan sosial eksternal bagi keluarga inti (dalam

19
jaringan kerja sosial keluarga). Sebuah jaringan sosial secara sederhana adalah
jaringan kerja sosial keluarga itu sendiri. (Friedman, 1998).
Dukungan sosial terdiri atas informasi atau nasihat verbal dan atau non
verbal, bantuan nyata atau tindakan yang diberikan oleh keakraban sosial atau
didapat karena kehadiran mereka dan mempunyai manfaat emosional atau efek
perilaku bagi pihak penerima. House dan Kahn (1985), Thoits (1982) dalam
Friedman (1998) memasukkan dukungan sosial dalam empat jenis dukungan,
yaitu dukungan instrumental, informasional, penghargaan, dan emosional.
a. Dukungan emosional
Mencangkup ungkapan empati, kepedulian, dan perhatian terhadap orang
yang bersangkutan. (Nursalam, 2009). Bentuk dukungan ini membuat individu
memiliki perasaan nyaman, yakin, diperlukan, dan dicintai oleh pemberi
dukungan sosial, sehingga individu dapat mengatasi masalah dengan lebih baik.
Dukungan ini sangat penting dalam menghadapi keadaan yang tidak dapat
dikontrol. (Lubis, 2009).

b. Dukungan penghargaan
Terjadi lewat ungkapan hormat atau penghargaan positif untuk orang lain
itu, dorongan maju atau persetujuan dengan gagasan atau perasaan individu, dan
perbandingan positif orang itu dengan orang lain, misalnya orang itu kurang
mampu atau lebih buruk keadaannya (menambah harga diri). (Nursalam, 2009).
Bentuk dukungan ini berupa penghargaan diri pada individu, pemberian
semangat, persetujuan pada pendapat individu, perbandingan yang positif dengan
individu lain,. Bentuk dukungan ini membantu individu dalam membangun harga
diri dan kompetensi. (Lubis, 2009).
c. Dukungan instrumental
Mencangkup bantuan langsung misalnya orang member pinjaman uang
kepada orang yang membutuhkan atau menolong dengan member pekerjaan pada
orang yang tidak punya pekerjaan. (Nursalam, 2009). Bentuk dukungan ini
merupakan penyediaan materi yang dapat memberikan pertolongan langsung,
seperti pinjaman uang, pemberian barang, makanan, serta pelayanan. Bentuk

20
dukungan ini dapat mengurangi stres karena individu dapat langsung
memecahkan masalahnya yang berhubungan dengan materi. Dukungan
instrumental sangat diperlukan terutama dalam mengatasi masalah yang dianggap
dapat dikontrol. (Lubis, 2009).
d. Dukungan informatif
Mencakup pemberian nasihat, saran, pengetahuan, dan informasi serta
petunjuk. (Nursalam, 2009) Bentuk dukungan ini melibatkan pemberian
informasi, saran, dan umpan balik tentang situasi dan keadaan individu. Jenis
informasi seperti ini dapat menolong individu untuk mengenali dan mengatasi
masalah dengan lebih mudah. (Lubis, 2009).
2.2.4 Dukungan keluarga bagi pasien HIV/AIDS
Menurut Gottlieb (1983) dikutip Smet (1994) terdapa pengaruh
dukungan sosial terhadap kesehatan tetapi bagi kesehatan. Menurut hipotesis
penyangga dukungan sosial memengaruhi kesehatan dan melindungi orang itu
dari efek negatif dari stres berat, karena orang-orang dengan dukungan sosial
tinggi akan mengubah respon mereka terhadap sumber stres. Hal tersebut
didukung dengan hipotesis langsung yang berpendapat bahwa, dukungan sosial itu
bermanfaat bagi kesehatan dan kesejahteraan, tidak peduli banyaknya stres yang
dialami orang-orang. Menurut hipotesis ini efek dukungan sosial yang positif
akan sebanding dibawah intensitas stres tinggi dan rendah. (Nursalam, 2009).

2.3 Depresi
2.3.1 Pengertian depresi
Depresi adalah gangguan mood, kondisi emosional berkepanjangan yang
mewarnai seluruh proses mental (berpikir, perasaan, aktivitas) seseorang yang
ditandai dengan pikiran negatif pada diri sendiri, suasana hati menurun kehilangan
minat atau motivasi, pikiran lambat serta aktivitas menurun. (Keliat, 2011).
Depresi adalah gangguan mental umum yang ditandai dengan kesedihan,
kehilangan minat atau kesenangan, perasaan bersalah, kesulitan berkonsentrasi,
tidur terganggu, nafsu makan berubah dan energi rendah. Masalah ini dapat
menjadi kronis atau berulang dan menyebabkan gangguan besar dalam
kemampuan seseorang untuk menjalankan tanggung jawab sehari-hari. Pada kasus

21
yang parah, depresi dapat menyebabkan bunuh diri.
(http://kamuskesehatan.com/arti/depresi/, diakses tanggal 1 Nopember, pukul
20.46). Menurut Aktinson (1991) dalam Lubis (2009) depresi sebagai suatu
gangguan mood yang dicirikan tak ada harapan dan patah hati, ketidakberdayaan
yang berlebihan, tak mampu konsentrasi, tak punya semangat hidup, selalu
tegang, dan mencoba bunuh diri.

2.3.2 Penyebab depresi


Dalam Keliat (2011), yang menyebabkan depresi adalah
a. Faktor biologis
1. Genetik. Transmisi gangguan alam perasaan diteruskan melalui garis
keturunan. Frekuensi gangguan alam perasaan meningkatkan pada kembar
monozigot dibanding dizigot walaupun diasuh secara terpisah.
2. Nurotransmiter
a) Katekolamin
Penurunan katekolamin otak atau aktivitas system katekolamin
menyebabkan terjadinya depresi.
b) Asetilkolin
Peningkatan asetilkolin dapat menjadi faktor penyebab depresi.
c) Serotonin
Defisit serotonin dapat merupakan faktor penyebab depresi.
3. Endokrin
Depresi berkaitan dengan gangguan hormone seperti pada hipotiroidisme
dan hipertiroidisme, terapi estrogen eksogen, dan pascapartum.
b. Faktor lingkungan
1. Kehilangan orang yang dicintai.
2. Rasa bermusuhan, kemarahan, kekecewaan, yang ditunjukkan pada suatu
objek atau pada diri sendiri.
3. Sumber koping tidak adekuat.
4. Individu dengan kepribadian dependen, obsesif-kompulsif, dan dan histeris.
5. Adanya masalah atau kesulitan hidup.
6. Belajar perilaku dari lingkungan yang tidak berdaya dan bergantung.

22
7. Pengalaman negatif masa lalu

2.3.3 Faktor yang mempengaruhi depresi


Beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya depresi atau
meningkatkan risiko seseorang terkena depresi adalah:
a. Faktor genetik
Seseorang yang dalam keluarganya diketahui menderita depresi berat
memiliki risiko lebih besar menderita gangguan depresi daripada masyarakat pada
umumnya. Seseorang tidak akan menderita depresi hanya karena ibu, ayah, atau
saudaranya menderita depresi, tetapi risiko terkena depresi meningkat. (Lubis,
2009)
b. Susunan kimia otak tubuh
Beberapa bahan kimia di dalam otak dan tubuh memegang peranan yang
besar dalam mengendalikan emosi kita. Pada orang yang depresi ditemukan
adanya perubahan dalam jumlah bahan kimia tersebut. Hormon noradrenalin yang
memegang peranan utama dalam mengendalikan otak dan aktivitas tubuh,
tampaknya berkurang pada mereka yang mengalami depresi. (Lubis, 2009).
c. Faktor usia
Berbagai penelitian mengungkapkan bahwa golongan usia muda yaitu
remaja dan orang dewasa lebih lebih banyak mengalami depresi. Hal ini terjadi
karena pada usia tersebut terdapat tahap-tahap serta tugas perkembangan yang
penting, yaitu peralihan dari masa anak-anak ke masa remaja, remaja ke dewasa,
masa sekolah ke masa kuliah atau bekerja, serta masa pubertas ke pernikahan.
(Lubis, 2009).
d. Gender
Wanita dua kali lebih sering terdiagnosis menderita depresi daripada pria.
Bukan berarti wanita lebih mudah terserang depresi, bisa saja karena wanita lebih
sering mengakui adanya depresi daripada pria, dan dokter lebih dapat mengenali
depresi pada wanita. (Lubis, 2009).
e. Gaya hidup
Banyak kebiasaan dan gaya hidup tidak sehat berdampak pada penyakit
misalnya penyakit jantung juga dapat memicu kecemasan dan depresi. Tingginya

23
tingkat stres dan kecemasan digabung dengan makanan yang tidak sehat dan
kebiasaan tidur serta tidak olahraga untuk jangka waktu yang lama dapat menjadi
faktor beberapa orang mengalami depresi. (Lubis, 2009).
f. Penyakit fisik
Penyakit fisik dapat menyebabkan penyakit. Perasaan terkejut karena
mengetahui kita memiliki penyakit serius dapat mengarahkan pada hilangnya
kepercayaan diri dan penghargaan diri (self-esteem), juga depresi. (Lubis, 2009).
g. Penyakit jangka panjang
Ketidaknyamanan, ketidakmampuan, ketergantungan, dan
ketidakamanan dapat membuat seseorang cenderung menjadi depresi.
Kebenyakan dari kita suka bebas dan suka bertemu orang-orang. Orang yang sakit
keras menjadi rentan terhadap depresi saat mereka dipaksa dalam posisi dimana
mereka tidak berdaya atau karena energi yang mereka perlukan untuk melawan
depresi sudah habis untuk penyakit jangka panjang. (Lubis, 2009).
h. Tingkat pendidikan
Depresi lebih banyak terjadi pada orang yang tidak menikah atau bercerai
dan memiliki pendidikan yang rendah (Rubin & Peyrot, 2001).
2.3.3 Tanda dan gejala depresi
Dalam Keliat (2011), gejala utama gangguan ini meliputi afek depresif
(sedih yang berkepanjangan), kehilangan minat atau motivasi, kurang energy,
lelah kronis, dan aktivitas menurun. Gejala lainnya adalah:
a. Konsentrasi dan perhatian kurang.
b. Harga diri dan kepercayaan diri berkurang.
c. Suasana hati sedih dan merasa bersalah.
d. Rasa bersalah dan tidak berguna.
e. Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis.
f. Kehilangan minat melakukan kegiatan yang biasa dilakukan.
g. Idea tau percobaan bunuh diri.
h. Gangguan pola tidur (susah tidur atau tidur berlebih).
i. Nafsu makan berkurang.

24
Dalam Lubis (2009) gejala depresi dibagi menjadi tiga, yaitu gejala fisik,
gejala psikis, dan gejala sosial.
a. Gejala fisik
Menurut beberapa ahli, gejala depresi yang kelihatan ini mempunyai
rentang dan variasi yang luas sesuai dengan berat ringannya depresi yang dialami.
Namun secara garis besar ada beberapa gejala fisik umum yang relatif mudah
dideteksi. Gejala iu seperti:
1. Gangguan pola tidur.
Misalnya sulit tidur, terlalu banyak atau terlalu sedikit tidur.
2. Menurunnya tingkat aktivitas.
Pada umumnya, orang yang mengalami depresi menunjukkan perilaku
yang pasif, menyukai kegiatan yang tidak melibatkan orang lain seperti
menonton TV, makan, dan tidur.
3. Menurunnya efisiensi kerja.
Penyebabnya jelas, orang yang terkena depresi akan sulit memfokuskan
perhatian atau pikiran pada suatu hal, atau pekerjaan. Sehingga, mereka juga
akan memfokuskan energi pada hal-hal prioritas.
4. Menurunnya produktivitas kerja
Orang yang terkena depresi akan kehilangan sebagian atau seluruh
motivasi kerjanya. Sebabnya, ia tidak akan lagi bisa menikmati dan merasakan
kepuasan atas apa yang dilakukannya.
5. Mudah merasa letih atau sakit
Jelas saja, depresi itu sendiri adalah perasaan negatif. Jika sesorang
menyimpan perasaan negatif, maka jelas akan membuat letih karena
membebani pikiran dan perasaan, dan ia harus memikulnya di mana saja dan
kapan saja, suka tidak suka.
b. Gejala psikis
1. Kehilangan rasa percaya diri
Penyebabnya, orang yang mengalami depresi cenderung memandang
segala sesuatu dari sisi negative, termasuk menilai diri sendiri dan orang lain.
Orang lain dinilai lebih sukses, pandai, beruntung, kaya, lebig berpendidikan,

25
lebih berpengalaman, lebih diperhatikan oleh atasan, dan pikiran negative
lainnya.
2. Sensitif
Orang yang mengalami depresi senang sekali mengkaitkan segala
sesuatu dengan dirinya. Perasaannya sensitif sekali, sehingga sering peristiwa
yang netral jadi dipandang dari sudut pandang yang berbeda oleh mereka,
bahkan disalahartikan.
3. Merasa diri tidak berguna
Perasaan tidak berguna ini muncul karena mereka merasa menjadi
orang yang gagal terutama di bidang atau lingkungan yang seharusnya mereka
kuasai.
4. Perasaan bersalah
Perasaan bersalah terkadang timbul dalam pemikiran orang yang
mengalami depresi. Mereka memandang suatu kejadian yang menimpa dirinya
sebagai suatu hukuman atau akibat dari kegagalan mereka melaksanakan
tanggung jawab yang seharusnya dikerjakan.

5. Perasaan terbebani
Banyak orang yang menyalahkan orang lain atas kesusahan yang
dialaminya. Mereka merasa terbeban berat karena merasa terlalu dibebani
tanggung jawab yang berat.
c. Gejala sosial
Problem sosial yang terjadi biasanya berkisar pada masalah interaksi
dengan rekan kerja, atasan, atau bawahan. Masalah ini tidak hanya berbentuk
konflik, namun masalah lainnya juga seperti perasaan minder, malu, cemas,
jika berada di antara kelompok dan merasa tidak nyaman untuk berkomunikasi
secara normal. Mereka tida mampu untuk bersikap terbuka dan secara aktif
menjalin hubungan dengan lingkungan sekalipun ada kesempatan.

2.3.4 Tingkat depresi


Menurut klasifikasi organisasi kesehatan dunia WHO, berdasarkan
tingkatan penyakitnya, depresi dibagi menjadi:

26
a. Mild depression/minor depression dan dysthymic disorder
Pada depresi ringan, mood yang rendah dating dan pergi dan penyakit
dating setelah kejadian stressful yang spesifik. Individu akan merasa cemas dan
juga tidak bersemangat. Perubahan gaya hidup biasanya dibutuhkan untuk
mengurangi depresi jenis ini.
Minor depression ditandai dengan adanya dua gejala pada depression
episode namun tidak lebih dari lima gejala depresi muncul selama dua minggu
berturut-turut, dan gejala itu bukan karena pengaruh obat-obatan ataupun
penyakit.
Bentuk depresi yang kurang parah disebut distimia (Disthymic disorder).
Depresi ini menimbulkan gangguan mood ringan dalam jangka waktu yang lama
sehingga seseorang tidak dapat bekerja optimal. Gejala depresi ringan pada
gangguan distimia dirasakan minimal dalam jangka waktu dua tahun.
b. Moderate depression
Pada depresi sedang mood yang rendah berlangsung terus dan individu
mengalami simtom fisik juga walaupun berbeda-beda tiap individu. Perubahan
gaya hidup saja tidak cukup dan bantuan diperlukan untuk mengatasinya.
c. Severe depression/major depression
Depresi berat adalah penyakit yang tingkat depresinya parah. Individu
akan mengalami gangguan dalam kemampuan untuk bekerja, tidur, makan, dan
menikmati hal yang menyenangkan. Dan penting untuk mendapatkan bantuan
medis secepat mungkin. Depresi ini dapat muncul sesekali atau beberapa kali
dalam seumur hidup.
Major depression ditandai dengan adanya lima atau lebih simtom yang
ditunjukkan dalam major depression episode dan berlangsung selama dua minggu
berturut-turut.

27
2.3.5 Penatalaksanaan depresi
Depresi dapat menjadi penyakit yang sangat mengganggu kehidupan
sehari-hari, namun kemungkinan untuk mengobati individu depresi bagi yang
mencari bantuan pengobatan sangat tinggi, yaitu 85% hingga 90% (Hegg, 1991).
Kadang-kadang depresi juga bisa hilang dengan sendirinya tanpa harus menjalani
pengobatan. Pada kasus depresi berat diperlukan terapi dan pengobatan yang
efektif untuk mengurangi depresi, namun pada kasus depresi ringan dan sedang
dapat melakukan terapi terhadap diri sendiri untuk mengurangi gejala-gejala
depresi. (Lubis, 2009). Berikut ini adalah penatalaksanaa depresi menurut Lubis
(2009):
a. Obat antidepresan
Ada beberapa obat antidepresan, yaitu:
1. Lithium adalah obat yang digunakan untuk mengobati gangguan bipolar.
2. MAOIs (Monoamine Oxidase Inhibitors). Obat ini menghalangi aktivitas
monoamine oxidase, enzim yang menghancurkan monoamine
neurotransmitters norenephrine, serotonin, dan dopamine.
3. Tricyclics adalah obat yang meningkatkan ativitas neurotransmitter
monoamine norephinephrine dan serotonin dengan menghambat reuptake
ke dalam neuron.
4. SSRIs adalah obat yang menghambat reuptake serotonin namun tidak
menghalangi neurotransmitter lain.
b. CBT (Cognitive Behaviour Theraphy)
Pendekatan CBT memusatkan perhatian pada proses berpikir klien yang
berhubungan dengan kesulitan emosional dan psikologi klien. Pendekatan ini akan
berupaya membantu klien mengubah pikiran-pikiran atau pernyataan diri negatif
dan keyakinan-keyakinan pasien yang tida rasional. (Lubis, 2009).
c. Terapi interpersonal
Terapi interpersonal adalah bantuan psikoterapi jangka pendek yang
berfokus kepada hubungan antara orang-orang dengan perkembangan simtom
penyakit kejiwaan. Terapi interpersonal awalnya dikembangkan untuk mengobati

28
depresi. Terapi interpersonal digunakan untuk menangani depresi pada remaja,
lansia, dan orang dengan HIV. (Lubis, 2009).
d. Konseling kelompok dan dukungan sosial
Konseling secara kelompok adalah pelaksanaan wawancara konseling
yang dilaukan antara seseorang konselor profesional dengan beberapa pasien
sekaligus dalam kelompok. (Winkel, 1999). Konseling kelompok dianggap lebih
sesuai bagi individu yang perlu berbagi sesuatu dengan orang lain utnuk merasa
dirinya dimiliki dan dihargai, individu dapat berbincang tentang kebimbangan
mereka, nilai hidup mereka, dan masalah-masalah yang dihadapi. (Lubis, 2009).
Beberapa pendapat mengatakan bahwa dukungan sosial terutama dalam
konteks yang akrab atau kualitas hubungan perkawinan dan keluarga barangkali
merupakan sumber dukungan sosial yang paling penting. (Rodin dan Salovey,
1989 dikutip Smet, 1994) dalam (Nursalam, 2009). Kegunaan dukungan sosial
kelompok:
1. Merasa ada orang lain yang juga menderita, sehingga dapat mengurangi
rasa isolasi.
2. Mempunyai pengalaman menolong orang lain dengan memberikan
informasi, nasihat sokongan emosional.
3. Dapat memberikan harapan dengan melihat ada pasien yang menjadi
sembuh.
4. Dapat meniru semangat, optimis, kegigihan sesama pasien melawan
penyakitnya.
5. Dapat mengeluarkan segala perasaan dan masalah dan merasa
didengarkan.
6. Merasa diterima dan disayangi dalam keadaan apa pun. Oleh karena itu,
diharapkan melalui intervensi kelompok dukungan sosial dapat
mengurangi stres berat yang dialami pasien sehingga mereka dapat lebih
optimis dan percaya diri dalam melawan penyakitnya.
e. Berolahraga
Keadaan mood yang negatif seperti depresi, kecemasan, dan kebingungan
disebabkan oleh pikiran dan perasaan yang negatif pula. Salah satu cara yang

29
dapat dilakukan untuk menghasilkan pikiran dan perasaan positif yang dapat
menghalangi munculnya mood negatif adalah dengan berolahraga. (Lubis, 2009).
f. Diet (Mengatur pola makan)
Simtom depresi dapat diperparah oleh ketidakseimbangan nutrisi di dalam
tubuh. Ketidakseimbangan nutrisi yang dapat menyebabkan depresi semakin
parah, yaitu:
1. Konsumsi kafein secara berkala.
2. Konsumsi sukrosa (gula).
3. Kekurangan biotin, asam folat, dan vitamin B, vitamin C, kalsium,
tembaga, magnesium atau potasium.
4. Kelebihan magnesium atau vanadium.
5. Ketidakseimbangan asam amino.
6. Alergi makanan.
g. Terapi humor
Sudah lama profesional medis mengakui bahwa pasien yang
mempertahankan sikap mental yang positif dan berbagi tawa merespons lebih baik
terhadap pengobatan. Respon fisiologis dari tertawa termasuk meningkatnya
pernapasan, sirkulasi, sekresi hormon, dan enzim pencernaan, dan peningkatan
tekanan darah. (Lubis, 2009).
h. Berdoa
Berdoa merupakan salah satu cara untuk mengatasi depresi. Mengambil
waktu untuk untuk berdoa member kesempatan kepada kita menghentikan
kegiatan kita dan jalan arus hidup kita. Kita mendapat waktu untuk istirahat,
mengalihkan perhatian, dan mengambil kesibukan mental yang lain. Apa pun
pengertian kita tentang doa, tujuan, dan caranya, doa dapat mendatangkan
ketenangan lahir dan batin, serta melepaskan kita dari ketegangan fisik. (Lubis,
2009).
i. Hidroterapi dan hidrotermal
Hidroterapi adalah penggunaan air untuk pengobatan penyakit. Terapi
hidrotermal adalah penggunaan efek temperatur air, misalnya mandi air panas,
sauna, dan lain-lain. Pengobatan dari hidroterapi berdasarkan efek mekanis dan
termal dari air. Tubuh bereaksi pada stimulus panas dan dingin. Saraf

30
mengantarkan rangsangan yang dirasakan kulit ke dalam tubuh, dimana
merangsang sistem imun, mempengaruhi hormone stres, meningkatkan aliran
tubuh dan mengurangi rasa sakit. (Lubis, 2009).
2.5 Hipotesis
Ada hubungan antara dukungan keluarga terhadap tingkat depresi pada
pasien dengan HIV/AIDS.

31
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Desain penelitian


Desain penelitian merupakan suatu strategi untuk mencapai tujuan
penelitian yang telah ditetapkan dan berperan sebagai pedoman atau penuntun
peneliti pada seluruh proses penelitian. (Nursalam, 2008). Dalam penelitian ini
menggunakan desain “korelatif” yaitu mencari, menjelaskan, suatu hubungan,
memperkirakan, menguji berdasarkan teori yang ada.
3.2 Kerangka kerja

Menetapkan populasi, yaitu klien yang terdiagnosa HIV, terdaftar, dan


berkunjung di Poli Infeksi RSUD Mardi Waluyo Kota Blitar

Accidental sampling
Menetapkan sampel penelitian, yaitu klien yang terdiagnosa HIV,
terdaftar, dan berkunjung di Poli Infeksi RSUD Mardi Waluyo Kota
Blitar

Membagi alat ukur berupa kuesioner kepada para sampel penelitian.

Melakukan pengumpulan data

Mengolah dan menganalisa

Pelaporan hasil penelitian

32
3.3 Populasi, sampel, dan sampling
3.3.1 Populasi
Populasi dalam penelitian adalah setiap subjek yang memenuhi kriteria
yang telah ditetapkan. (Nursalam, 2008). Pada penelitian ini populasi yang
digunakan adalah klien yang sudah terdiagnosa HIV, terdaftar, dan berkunjung di
Poli Cendana RSUD Ngudi Waluyo Wlingi.
3.2.2 Sampel
Sampel adalah bagian populasi terjangkau yang dapat dipergunakan
sebagai subjek penelitian melalui sampling. (Nursalam, 2008). Sampel dalam
penelitian ini adalah klien yang dinyatakan positif HIV dan bersedia diteliti di Poli
Cendana RSUD Ngudi Waluyo Wlingi. Rata-rata perharinya menangani 7-10
pasien HIV untuk diberikan konseling. Besar sampel penelitian ini sebanyak 30
responden (Mustayah dkk, 2008). Sampel diambil dengan memperhatikan kriteria
inklusi.
Kriteria inklusi adalah karakteristik umum subjek penelitian dari suatu
populasi target yang terjangkau yang akan diteliti. (Nursalam, 2008). Kriteria
sampel penelitian ini adalah berusia lebih dari 18 tahun (kelompok usia dewasa),
dapat membaca dan menulis, kesadaran composmentis, bersedia berpartisipasi dan
koorperatif.
Kriteria ekslusi adalah menghilangkan atau mengeluarkan subyek yang
memenuhi kriteria inklusi dari studi karena pelbagai sebab. (Nursalam, 2008).
Kriteria ekslusi dari penelitian ini adalah responden yang mengalami
ketidaknyamanan fisik yang memberat (seperti nyeri, pusing, atau lainnya)
sehingga tidak memungkinkan untuk melanjutkan penelitian, memutuskan untuk
tidak melanjutkan pengisian ataupun tidak mengisi kuesioner secara lengkap.

3.2.3 Sampling
Sampling adalah proses menyeleksi porsi dari populasi untuk dapat
mewakili populasi. (Nursalam, 2008). Pengambilan sampel dalam penelitian ini

33
dilakukan dengan metode non probability sampling melalui accidental sampling,
yaitu dengan mengambil kasus atau responden yang kebetulan ada atau tersedia.
(Notoatmodjo, 2005).
3.3 Variabel dan sub variabel penelitian
3.3.1 Variabel penelitian
Yang menjadi variabel bebas dalam penelitian ini adalah dukungan
keluarga dan yang menjadi variabel terikat dalam penelitian ini adalah tingkat
depresi.

3.4 Definisi operasional


Definisi operasional adalah proses perumusan atau pemberian arti pada
masing-masing variabel untuk kepentingan akurasi, komunikasi, dan replikasi
agar memberikan pemahaman yang sama pada setiap orang mengenai variabel
yang diangkat dalam suatu penelitian. (Nursalam, 2008).

3.5 Pengumpulan data


3.5.1 Instrumen pengumpulan data
Instrumen pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan instrumen
angket atau kuesioner. Kuesioner adalah suatu daftar pengecek, berisi nama
subjek dan beberapa gejala atau identitas lainnya dari sasaran pengamatan.
(Notoatmojo, 2005). Kuesioner yang digunkan dalam penelitian ini terdiri dari
tiga bagian, yaitu kuesioner karakterisitik responden (bagian A), kuesioner
dukungan keluarga (bagian B), dan kuesioner tingkat depresi (bagian C).
Kuesioner bagian A untuk mengetahui karakteristik responden meliputi usia, jenis
kelamin, status ekonomi, tingkat pendidikan, pekerjaan, penghasilan, dan lama
menderita penyakit. Kuesioner bagian B yang digunakan untuk mengkaji
dukungan keluarga yang telah dikembangkan dalam penelitian Heni Kusuma
(2011). Kuesioner bagian C adalah kuesioner yang digunakan untuk mengukur
depresi. Kuesioner ini dimodifikasi dari kuesioner The Zung Self-Rating
Depression Scale yang terdiri dari 20 pertanyaan untuk mendeteksi derajat
depresi.
3.5.2 Cara pengumpulan data

34
Setelah mendapat izin dari Badan Kesatuan Bangsa dan Politik
Kabupaten Blitar, Dinas Kesehatan Kabupaten Blitar, dan Direktur RSUD Ngudi
Waluyo Wlingi, peneliti mengadakan pendekatan kepada calon responden yang
memenuhi kriteria inklusi untuk mendapat persetujuan menjadi responden
peneliti. Selanjutnya dilakukan pengumpulan data. Pengumpulan data dilakukan
dengan memberikan kuesioner kepada responden. Kuesioner berisi pertanyaan-
pertanyaan mengenai karakteristik responden, dukungan keluarga, dan depresi.
3.5.3 Tempat dan waktu pengumpulan data
Tempat atau lokasi pengumpulan data adalah di Poli Cendana RSUD
Ngudi Waluyo Wlingi.

3.6 Analisa data


Analisa data merupakan proses dan analisa secara sistematis dari data
yang telah terkumpul untuk menjawab riset question atau tes hipotesa supaya
trends dan relationshipnya bisa dideteksi. (Nursalam, 2003). Adapun dalam
penelitian ini, analisa data dilakukan melalui tahap sebagai berikut:
3.6.1 Persiapan
Langkah persiapan bermaksud merapikan data agar bersih, rapi, dan
tinggal mengadakan pengolahan lanjut atau menganalisis. (Suharsimi, 1998).
Kegiatan yang dilakukan dalam tahap ini adalah:
a. Mengecek nama dan kelengkapan identitas pengisi untuk menghindari
kesalahan ataupun kekurangan data identitas sampel.

b. Mengecek kelengkapan data, yaitu memeriksa isi instrumen pengumpulan


data.

c. Mengecek macam isian data untuk menghindari ketidaktepatan pengisian


oleh sampel.

c.6.2 Tabulasi data

Tabulasi data merupakan suatu kegiatan untuk mengelompokkan data


sesuai dengan item yang ditentukan oleh peneliti. (Suharsimi, 1998). Kegiatan
yang dilakukan dalam langkah tabulasi data:

35
a. Memberikan skor (scoring) terhadap item-item yang perlu diberi skor sesuai
dengan yang telah ditetapkan dalam definisi operasional.

b. Mengubah jenis data bila diperlukan, disesuaikan atau dimodifikasi dengan


teknik analisis yang akan digunakan.

c.6.3 Analisa data sesuai dengan pendekatan penelitian

a. Data dukungan keluarga

Data tentang dukungan keluarga dalam kuesioner diukur dalam skala


likert, dengan skor 1-4 (Tidak pernah: 0, jarang: 1, kadang-kadang: 2, sering: 3,
selalu: 4). Selanjutnya skor yang didapat dari responden secara individual
dijumlahkan.
Hasil prosentase selanjutnya dikategorikan. Pengkategorian
menggunakan rumus cut of point 75% dari total skor (80):
1. ≥60: Supportif

2. <60: Non-suopportif

(Berdasarkan rumus pengkategorian data dikotom yang mengukur variabel sikap


dari Arikunto, 2002).
b. Data tingkat depresi

Data tentang tingkat depresi dalam kuesioner The Zung Self-Rating


Depression diukur dalam skala likert, dengan skor 1-4 (Tidak pernah: 0, jarang: 1,
kadang-kadang: 2, sering: 3, selalu: 4). Scoring dari setiap pertanyaan berbeda dan
sesuai dengan petunjuk scoring The Zung Self-Rating Depression. Selanjutnya
skor dijumlah dan dikategorikan.
1. Skor 20-49 : normal
2. Skor 50-59 : depresi ringan
3. Skor 60-69 : depresi sedang
4. Skor > 70 : depresi berat.
c. Analisa data

36
Selanjutnya untuk mencari hubungan antara dukungan keluarga terhadap
tingkat depresi pada pasien dengan HIV/AIDS menggunakan korelasi Spearman-
Rho dengan derajat kemaknaan ≤0,05.

c.7 Penyajian data

Penyajian data akan dilakukan dalam bentuk diagram dan tabel kemudian
diinterpretasikan dalam bentuk kalimat.

c.8 Etika penelitian

Dalam melakukan penelitian, peneliti mengajukan permohonan izin


kepada kepala
3.8.1 Informed consent (Lembar persetujuan)
Lembar persetujuan diedarkan kepada responden dengan memberikan
penjelasan tentang maksud dan tujuan dari penelitian yang akan dilakukan serta
menjelaskan akibat atau manfaat yang akan diperoleh bila bersedia menjadi
responden. Tujuannya agar responden mengetahui kemandiriannya dalam hal
penatalaksanaan diabetes melitus. Jika subjek bersedia menjadi responden, maka
subjek harus bersedia menandatangani lembar persetujuan tersebut dan jika tidak
bersedia diteliti maka peneliti tetap menghormati hak-hak mereka.
c.8.2 Anonimity (Tanpa nama)

Untuk menjaga kerahasiaan identitas subjek, peneliti tidak akan


mencantumkan nama subjek pada lembar pengumpulan data yang diisi oleh
subjek. Lembar tersebut hanya diberi nomor kode tertentu.
c.8.3 Confidentiality (Kerahasiaan)

Kerahasiaan informasi yang diberikan oleh subjek dijamin oleh peneliti.


Penyajian atau pelaporan hasil riset hanya terbatas pada kelompok data tertentu
yang terkait dengan masalah penelitian.

c.9 Keterbatasan

37
a. Keterbatasan waktu, sarana, dana, dan referensi sehingga hasil penelitian
ini kurang sempurna.
b. Subjek atau jumlah sampel yang digunakan terbatas sehingga hasilnya
kurang representatif.
c. Pengumpulan data menggunakan instrumen angket, yaitu kuesioner.
Sehingga hasilnya dapat bersifat subjektif.

38

Anda mungkin juga menyukai