Anda di halaman 1dari 7

Stigma pada ODHA

Atika Jatimi, S.Kep., Ns., M.Kep


Introduction
Stigma dan diskriminasi telah menjadi hukuman sosial
oleh masyarakat di berbagai belahan dunia terhadap
pengidap HIV/AIDS yang bisa bermacam-macam
bentuknya, antara lain berupa tindakan-tindakan
pengasingan, penolakan, diskriminasi, dan penghindaran
atas orang yang terinfeksi HIV.
Tindakan diskriminasi dan stigmatisasi membuat orang
enggan untuk melakukan tes HIV, enggan mengetahui
hasil tes mereka, dan tidak berusaha untuk memperoleh
perawatan yang semestinya serta cenderung
menyembunyikan status penyakitnya. Hal ini semakin
memperburuk keadaan, membuat penyakit yang tadinya
dapat dikendalikan menjadi semacam “hukuman mati”
bagi para pengidapnya dan membuat penyakit ini makin
meluas penyebarannya secara terselubung.
Review
Stigma dan diskriminasi terhadap ODHA merupakan tantangan yang bila tidak
teratasi, potensial untuk menjadi penghambat upaya penanggulangan HIV dan
AIDS. Diskriminasi yang dialami ODHA baik pada unit pelayanan kesehatan, tempat
kerja, lingkungan keluarga maupun di masyarakat umum harus menjadi prioritas
upaya penanggulangan HIV dan AIDS. Oleh sebab itu perlu dukungan dan
perberdayaan kelompok-kelompok dukungan sebaya (KDS) sebagai mitra kerja
yang efektif dan mahasiswa sebagai kelompok yang potensial dalam mengurangi
stigma dan diskriminasi (Komisi Penanggulangan AIDS, 2007).
Epidemi HIV/AIDS
HIV/ AIDS telah menjadi pandemi dan masalah kesehatan di seluruh dunia. Data surveilans WHO
(2013) menunjukkan jumlah orang dengan HIV/AIDS per wilayah negara tahun 2011 untuk semua
golongan umur sebagai berikut: Afrika menempati urutan pertama dengan jumlah 23 juta kasus, Asia
Tenggara 3.5 juta kasus, Amerika 3 juta kasus, Eropa 2.3 juta kasus, Pasifik Barat 1.3 juta kasus, dan
terakhir Mediterania Timur 560 ribu kasus. Total jumlah kasus secara global adalah 34 juta kasus.
Secara kumulatif sejak 1 April 1987 hingga Desember 2012 kasus HIV/AIDS di Indonesia berdasarkan
laporan Ditjen PP & PL Kemenkes RI (2013) terdapat 98.390 HIV dan 45.499 AIDS dengan total
kematian 7.293 kasus. Dari jumlah kumulatif ini Sulawesi Selatan menempati urutan ke-8 dengan total
2.972 kasus HIV, dan 1.446 AIDS dengan 167 kematian. Provinsi ini juga melaporkan peningkatan
jumlah kasus terbanyak pertama dari seluruh propinsi di Indonesia yaitu 404 kasus dan menempati
urutan ke-12 tertinggi prevalensi kasus AIDS diantara 33 propinsi di Indonesia yaitu 18/100.000
penduduk.
Data Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Selatan jumlah kumulatif HIV/AIDS tahun 2005 sampai
dengan Juni 2012 masing-masing sebagai berikut: tahun 2005 HIV 408, AIDS 176, tahun 2006 HIV 511
sedangkan AIDS 137, tahun 2007 HIV 393, AIDS 219, tahun 2008 meningkat HIV 456, AIDS 90, tahun
2009 HIV 562 sedangkan AIDS 153, tahun 2010 HIV 548 sedangkan AIDS 246, tahun 2011 baik HIV &
AIDS meningkat tajam HIV 607 kasus sedangkan AIDS 650, tahun 2012 HIV 629, AIDS 354, tahun 2013
sampai dengan bulan September HIV 647 dan AIDS 361 kasus.
Stigma & Diskriminasi
Stigma dan diskriminasi tidak hanya dilakukan oleh masyarakat awam, namun juga
dilakukan oleh petugas kesehatan baik dokter dan perawat serta mahasiswa yang
perpendidikan tinggi juga ikut melakukan diskriminasi dan stigmatisasi. Di sisi lain
para petugas kesehatan baik dokter atau perawat yang dalam keseharianya sering
menangangani pengidap penyakit ini juga biasanya mendapatkan perlakuan
diskriminasi dan stigma oleh masyarakat, seperti contohnya jika sakit mereka
menghindari untuk terlihat berobat atau menolak untuk ditangani oleh dokter dan
petugas kesehatan yang biasa menangani pengidap HIV/AIDS.
Herek et al (2002) menemukan bahwa ekspresi nyata dari stigmatisasi HIV/ AIDS di
Amerika pada tahun 1999, 1 dari 5 orang dewasa yang disurvei mengatakan
mereka "takut" pada orang dengan AIDS. Satu dari 6 orang mengaku "jijik"
berhubungan dengan orang-orang dengan AIDS. Penelitian lain yang dilakukan
pada tahun 2000, sebuah survei internet nasional terhadap lebih dari 5600 orang
dewasa Amerika, mengungkapkan temuan serupa. Kurang lebih 1 dari 5 orang
responden setuju dengan pernyataan bahwa orang-orang yang terkena AIDS
melalui hubungan seks atau penggunaan narkoba layak mendapatkan apa yang
mereka derita sekarang.
Survei awal yang dilakukan melibatkan 10 orang mahasiswa FKM UMI dengan cara
wawancara didapatkan bahwa masih terdapat 4 orang diantara 10 orang yang
diwawancarai mengaku ‘takut’ bergaul dengan Odha dengan alasan khawatir jika
bergaul dengan mereka akan tertular. Saat ditanyakan, bagaimana sikap mereka
jika ada teman mereka yang menderita HIV, keempat orang tersebut memilih
untuk menjauhinya. Padahal para mahasiswa tersebut umumnya sudah
mendapatkan matakuliah Epidemiologi Penyakit Menular yang juga membahas
tentang cara penularan virus HIV, namun mereka masih saja melakukan
stigmatisasi terhadap Odha.
Upaya Mengurangi Stigma
Stigma yang terkait dengan penyakitnya merupakan tantangan psikologis
tersendiri untuk Odha. Saat mereka diketahui mengidap HIV, perlahan
tapi pasti satu persatu teman-temannya menjauhi, bahkan tak jarang
keluarganya pun menjauhi. Padahal, disaat seperti ini Odha sangat
membutuhkan dukungan penuh dari lingkungan sosialnya, karena
mereka mengalami tekanan psikologis yang cukup berat akibat
dinyatakan terinfeksi HIV.
Nasronuddin 2007, mengungkapkan bahwa terjadi peningkatan kadar
ACTH dan kadar kortisol dalam tujuh hari pertama yang dipicu oleh
stressor psikologis akibat dinyatakan terinfeksi HIV, selain akibat stressor
psikologis peningkatan setelah hari ke tujuh terjadi akibat stressor
biologis HIV, dari sini dapat dilihat bahwa efek dari pernyataan diagnosis
mengidap HIV terhadap seseorang sangat signifikan meningkatkan tingkat
stress, belum lagi menghadapi reaksi keluarga dan teman-teman yang
perlahan tapi pasti beranjak menjauh.
Lanjutan , , ,
Dengan berusaha mencoba memahami pengalaman hidup yang dialami pengidap HIV akan menyebabkan hasil
psikologis yang positif untuk membantu meningkatkan kualitas hidup orang dengan HIV/ AIDS (Treisman
& Angelino, 2004). Memberikan pengertian dan pengetahuan yang memadai kepada masyarakat terutama
kepada mahasiswa sebagai intelektual muda menjadi suatu hal yang sangat penting, mahasiswa yang notabene
kisaran usianya kurang lebih sama dengan rata-rata usia odha tentunya akan lebih mudah mengerti dan
tersentuh jika belajar dan bergaul langsung dari odha tentang pengalaman pahitnya menghadapi stigmatisasi,
dilain pihak odha akan lebih merasa nyaman mengungkapkan statusnya kepada mereka yang usianya kurang
lebih sama dengan mereka.
Stigma dan diskriminasi biasanya terjadi akibat ketakutan yang berlebihan akan tertular penyakit ini. Masalah
lain yaitu penyakit ini dianggap sangat mematikan dan belum ditemukan obatnya, serta anggapan bahwa
penyakit tersebut hanya ditularkan akibat dari perilaku menyimpang sehingga dianggap merupakan aib bagi
pengidap dan keluarganya. Padahal, jika benar-benar dipahami dan dimengerti cara penularanya, sebenarnya
penyakit ini dapat dicegah tanpa harus menjauhi apalagi sampai melakukan stigma dan diskriminasi terhadap
para pengidapnya. Dibutuhkan berbagai penelitian aplikatif, konsisten agar terwujud peran serta berbagai pihak
dalam upaya menurunkan stigma dan diskriminasi yang dialami Odha, sehingga mereka mau lebih terbuka
mengenai penyakitnya yang makin memudahkan upaya pencegahan penularan terselubung dan memudahkan
odha mengakses pelayanan kesehatan yang adekuat tanpa rasa takut akan menghadapi stigma dan diskriminasi.

Anda mungkin juga menyukai