Anda di halaman 1dari 5

STIGMA DAN DISKRIMINASI

TERHADAP ODHA

Komang Tri Maheswari 1914201088/22


Sarjana Keperawatan B

Kasus HIV/AIDS ditemukan di Indonesia pada tahun 1987 tepatnya di Bali dan
sampai saat ini penyakit HIV/AIDS semakin meningkat dan belum ditemukan obatnya
serta tercatat sebagai salah satu penyakit yang paling mematikan. Selain penyakit yang
diderita, ODHA (Orang dengan HIV/AIDS), seringkali menghadapi stigma dan
diskriminasi dari masyarakat. Hal tersebut membuat ODHA tidak berani membuka diri
bahwa ia positif mengidap virus HIV.
Kamus Besar Bahasa Indonsia (KBBI) mendefenisikan stigma sebagai ciri
negatif yang menempel pada pribadi seseorang karena pengaruh lingkungan. United
Nations Programme on HIV and AIDS (UNAIDS) mendefinisikan stigma dan
diskriminasi terkait dengan HIV sebagai ciri negatif yang diberikan pada seseorang
sehingga menyebabkan tindakan yang tidak wajar dan tidak adil terhadap orang tersebut
berdasarkan status HIV-nya.
Stigma terhadap ODHA terjadi hampir dalam segala lapisan masyarakat yaitu
keluarga, teman sebaya, dan lingkungan sekolah atau kerja. Hal tersebut seperti
yang  diungkapkan oleh Muclis Achan dan Agung Sujatmoko (2015:100) stigma
terhadap ODHA terjadi pada berbagai tingkatan, mulai dari keluarga, masyarakat,
institusi sampai tingkat nasional. Tingkat keluarga misalnya tidak menerima anggota
keluarga yang terserang HIV dan AIDS. Masyarakat antara lain menolak keberadaan
ODHA, sehingga tidak diperbolehkan tinggal di lingkungan masyarakat. Sebagai contoh,
terdapat ketua rukun tangga (RT) yang gigih mempengaruhi warganya agar menolak
keberadaan ODHA di sekitarnya. Tingkat institusi ODHA dikeluarkan dari tempat kerja
dengan tidak hormat tanpa alasan yang jelas atau ada persyaratan harus bebas HIV saat
melamar pekerjaan, dan terdapat juga sekolah dengan terang-terangan menolak ODHA
masuk ke institusi pendidikan dengan alasan akan menularkan ke murid atau mahasiswa
lain di sekitarnya.
Hal senada juga diungkap oleh Nasronudin (2007:297) yaitu ODHA sering
menghadapi reaksi spontan yang keliru dari masyarakat (termasuk sebagian dari kalangan
kedokteran), seperti menjauhkan diri dari ODHA, berusaha tidak menyentuh ODHA,
menggunakan obat pencuci hama bahkan membakar kasur atau pakaian bekas ODHA.
Reaksi tersebut menambah beban psikologis dan sosial  pada ODHA. Nasronudin  juga
melihat adanya  sikap masyarakat yang cenderung mengisolasi penderita, menolak
kehadirannya kembali ke rumah, atau kampung halaman pasca perawatan dari rumah
sakit.  Situasi tersebut sangat tidak kondusif  bagi kelangsungan hidup dan proses
pengobatan ODHA.
Fenomena yang terjadi di masyarakat Indonesia terkait dengan stigma kepada
ODHA adalah sebagai berikut: 
1. Ketakutan akan stigma dan diskriminasi, kendala utama penanganan HIV dan
AIDS. 
2. Stigma HIV dan AIDS masih berkutat pada masalah seks. 
3. Paradigma baru pola transmisi HIVdan AIDS yang didominasi oleh pengguna
narkotika intevana.
UNAIDS adalah program pendukung utama untuk aksi global terhadap
epidemik HIV dan AIDS membedakan stigma dalam beberapa kategori, yaitu : 
1. Stigma instrumental AIDS 
Ketakutan atas hal yang berhubungan dengan penyakit mematikan dan menular.
Maksudnya adalah stigma muncul akibat dari faktor penyebab dan akibat dari
HIV dan AIDS, sebagai contoh masyarakat memberi stigma pada ODHA sebagai
orang yang akan mati.  
2. Stigma simbolis AIDS 
Pengunaan HIV dan AIDS untuk mengekspresikan sikap terhadap kelompok
sosial atau gaya hidup tertentu yang dianggap berhubungan dengan penyakit
tersebut, seperti seseorang menjadi ODHA karena pergaulan pada masa lalu yang
suka berganti-ganti pasangan. 
3. Stigma kesopanan AIDS 
Hukuman sosial atas orang yang berhubungan dengan isu HIV dan AIDS atau
orang yang positif HIV, seperti ODHA dikeluarkan dari tempat kerja dengan tidak
hormat. 
Selain beberapa jenis stigma tersebut, secara teori stigma yang dialami oleh
ODHA juga dikategorikan sebagai berikut:
1. Self stigma
Tekanan atau reaksi psikososial pada dirinya. Reaksi-reaksi tersebut dapat berupa
kecemasan, depresi, merasa malu, merasa takut, merasa terisolasi dan kurangnya
dukungan social, marah pada dirinya sendiri dan orang lain. Reaksi-reaksi inilah
yang mendorong ODHA terkadang memiliki niat untuk melakukan bunuh diri atau
yang terburuk adalah berusaha menularkannya kepada orang lain.
2. Family stigma
Merupakan stigma yang dikeluarkan oleh keluarga ODHA itu sendiri. Rasa malu
karena orang lain mungkin menyalahkan mereka karena entah bagaimana
bertanggung jawab atas gangguan tersebut. Stigma-stigma seperti salah mendidik
atau menjaga anggota keluarganya. Selain itu, semua anggota keluarga dapat
dianggap “tercemar” karena kedekatan hubungan mereka dengan anggota keluarga
yang terstigma. Stigma ini berujung pada pembiaran terhadap ODHA dan sangat
sering terjadi di masyarakat kita.
3. Social stigma
Social stigma adalah stigma yang berkembang di masyarakat. masyarakat antara
lain menolak keberadaan ODHA, sehingga tidak diperbolehkan tinggal di
lingkungan masyarakat. ODHA dikeluarkan dari tempat kerja dengan tidak hormat
tanpa alasan yang jelas atau ada persyaratan harus bebas HIV saat melamar
pekerjaan, dan terdapat juga sekolah dengan terang-terangan menolak ODHA
masuk ke institusi pendidikan dengan alasan akan menularkan ke murid atau
mahasiswa lain di sekitarnya.
Faktor penyebab timbulnya stigma di masyarakat terhadap ODHA adalah
rendahnya tingkat pendidikan dan pengetahuan masyarakat mengenai HIV dan AIDS
disamping itu kurangnya sosialisasi atau penyuluhan mengenai HIV dan AIDS terutama
cara penularan dan pencegahannya sehingga masyarakat mempunyai tanggapan yang
keliru tentang ODHA.   Hal ini  berdampak pada meningkatnya diskriminasi pada
ODHA, seperti mengusir dan mengasingkan ODHA di masyarakat, memecat ODHA
yang bekerja, menceraikan pasangan yang berstatus HIV positif, dan perilaku
diskriminatif lainnya. Muclis Achan dan Agung Sujatmoko (2015: 99) yang  menjelaskan
beberapa faktor yang menjadi penyebab munculnya stigma dan diskriminasi yaitu :
1. Kurangnya pengetahuan mengenai HIV dan AIDS. 
2. Tanggapan yang salah tentang cara penularan HIV.
3. Kesalahan dalam mencari tindakan dan pengobatan.
4. Adanya pelopor epidemi yang kurang benar dan anggapan bahwa penyakit HIV
dan AIDS tidak dapat disembuhkan. 
5. Adanya prasangka dan ketakutan yang berlebihan terhadap masalah sosial yang
sensitif. 
Selain stigma masyarakat, ODHA juga memiliki tekanan atau reaksi psikososial
pada dirinya, menurut Nasronudin (2007:305) reaksi psikososial tersebut  meliputi: 
1. Kecemasan: rasa tidak pasti tentang penyakit yang diderita, perkembangan dan
pengobatannya, merasa cemas dengan berbagai gejala-gejala baru, merasa cemas
dengan ancaman kematian.
2. Depresi: merasa sedih, tak berdaya, merasa rendah diri merasa bersalah, merasa
tak berharga, putus asa, keinginan untuk bunuh diri, menarik diri, sulit tidur, dan
hilang napsu makan.
3. Merasa terisolasi dan kurangnya dukungan sosial: merasa ditolak oleh keluarga
maupun masyarakat.
4. Merasa marah pada diri sendiri dan orang lain: menunjukkan sikap bermusuhan
terhadap pemberi perawatan, menolak untuk bekerja sama dengan pemberi
perawatan.
5. Merasa takut bila ada orang yang mengetahui penyakit yang diderita. 
6. Merasa malu dengan adanya stigma sebagai penderita terinfeksi HIV,
penyangkalan terhadap kebiasaan seksual dan penggunaan obat-obat terlarang.  
Masyarakat tentu harus menghentikkan stigma terhadap ODHA. Hal tersebut
sangat perlu dilakukan untuk kebaikan kedua belah pihak baik untuk masyarakat maupun
ODHA itu sendiri. Stigma terhadap ODHA memiliki dampak yang besar bagi program
pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS termasuk kualitas hidup ODHA. Populasi
berisiko akan merasa takut untuk melakukan tes HIV karena apabila terungkap hasilnya
reaktif akan menyebabkan mereka dikucilkan. Orang dengan HIV positif merasa takut
mengungkapkan status HIV dan memutuskan menunda untuk berobat apabila menderita
sakit, yang akan berdampak pada semakin menurunnya tingkat kesehatan mereka dan
penularan HIV tidak dapat dikontrol. Dampak stigma dan diskriminasi pada perempuan
ODHA yang hamil akan lebih besar ketika mereka tidak mau berobat untuk mencegah
penularan ke bayinya. Reaksi psikososial dan ditambah dengan stigma dari masyarakat
membuat ODHA mengalami berbagai kesulitan dalam menjalankan
kehidupannya sehingga membuat ODHA putus asa dan tidak berfungsi sosial dengan
baik. Oleh sebab itu kita sebagai praktisi-praktisi kesehatan perlu menghilangkan stigma
ini di masyarakat dengan meningkatkan pengetahuan masyarakat terkait HIV/AIDS.

Anda mungkin juga menyukai