Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH STIGMA ODHA (ORANG DENGAN HIV/AIDS)

KEPERAWATAN HIV/AIDS

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 2 :
1. MEGA SUMANGKUT (16061063)
2. MERCY TENDAGE (16061174)
3. CHRISTINE RUMOKOY (16061052)
4. WENDA KAWUWUNG (16061013)
5. JOVITA LEGI (16061192)
6. THERESIA Palar (16061108)
7. INKA POLUAN (16061102)
8. JULIET MANGUANDE (16061131)
9. HIZKIA KANSIL (16061033)

FAKULTAS KEPERAWATAN UNIKA DE LA SALLE MANADO


FEBRUARI, 2018
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa, karena berkat tuntunanNya
sehingga kami boleh menyeselaikan tugas mata kuliah KEPERAWATAN HIV/AIDS ini.
Ucapan terimakasih saya sampaikan kepada dosen yang mengajar mata kuliah ini, Mem
Freisy Lumowa, yang sudah mengajar kami dalam mata kuliah ini dan juga sudah memberikan
tugas ini untuk kami kerjakan.
Semoga makalah ini bisa berfungsi untuk menambah pengetahuan bagi kita semua yang
membaca ini.
Kami menyadari dalam pembuatan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan, oleh
karena itu saya mengharapkan kritik dan saran dari teman-teman atau dosen yang membaca
makalah ini.
Terimakasih.

Manado, February 2018

Penulis
DAFTAR ISI
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


HIV di Indonesia masih menjadi masalah yang serius dan komplek serta menimbulkan berbagai
masalah di masyarakat. Angka kematian HIV/AIDS di Indonesia juga masih tinggi, hal ini
karenakan virus HIV/AIDS merupakan virus yang mudah ditularkan dan mudah berkembang
terutama di kalangan remaja yang memiliki gaya hidup bebas. HIV/AIDS menjadi fenomena
gunung es yang artinya penyakit ini memiliki jumlah persentasi sedikit yang terdeteksi namun
sangat banyak yang tidak terdeteksi walaupun orang itu bisa dianggap positif ODHA. Orang
dengan HIV/AIDS tidak hanya berjuang masalah fisik tetapi juga psikososial seperti stigma,
kemiskinan, depresi, penyalahgunaan zat dan keyakinan tertentu yang dapat mempengaruhi
kualitas hidup yang holistik mencakup kesehatan fisik, kesehatan mental dan sosial sehingga
menyebabkan beberapa masalah dalam beberapa kegiatan dan minat dari penderita (Aranda,
2004).
Berdasarkan penelitian tentang stigma internal di Bangladesh tahun 2012 tentang stigma internal
pada orang yang hidup dengan HIV/AIDS menunjukan hasil bahwa prevalensi stigma internal
tinggi di Bangladesh, dan banyak hal yang harus dilakukan oleh organisasi yang bekerja untuk
ODHA untuk mengurangi stigma internal. Stigma internal membuat ODHA frustasi dan
tertekan, sehingga menyebabkan penderita enggan untuk mencari perawatan, pengobatan, dan
layanan kesehatan. Akibat dari stigma internal ODHA merasa bersalah, malu, dan pikiran untuk
bunuh diri. ODHA merasakan bahwa penyakit yang diderita adalah salahnya sendiri, hal ini
menyebabkan penurunan kepercayaan diri, kehilangan motivasi, penarikan dari kontrak sosial,
menghindari pekerjaan dan mengabaikan perencanaan untuk masa depan (UNAIDS, 2011).
Presentase depresi pada penderita yang terinfeksi HIV sebesar 22% (Department of Health AIDS
Institute, 2010). Penyebab depresi yaitu adanya perasaan stres selama menjalani terapi,
kemunculan infeksi oportunistik, efek samping dari konsumsi obat antiretroviral, adanya stigma
sosial, atau diskriminasi masyarakat mempengaruhi keadaan mental ODHA (Simoni et al., 2010;
Payuk et
al., 2012).
Di Indonesia jumlah penderita terus meningkat seiring dengan berjalannya waktu. Untuk jangka
waktu 6 tahun jumlah orang dengan HIV/AIDS (ODHA) meningkat 6 kali lipat. Di tahun 2003
angka penderita HIV/AIDS berjumlah 4.159 kasus dan di tahun 2009 menjadi 26.632 atau naik
sebesar 84,4%. Walaupun terlihat tidak setinggi jumlah penderita HIV/AIDS di negaranegara
benua Afrika, total estimasi jumlah ODHA di Indonesia pada tahun 2010 adalah 371.800 dan
pada tahun 2014 diperkirakan meningkat menjadi 541.700 ODHA (Ministry of Health, 2007)
atau sekitar 68,6%. Berdasarkan data statistik kasus HIV/AIDS di Indonesia yang dilaporkan
September 2014 oleh Kemenkes, Jawa Timur menduduki urutan ke 2 yaitu sebanyak 8.976
penderita dan 19.249 penderita HIV (Ditjen PP dan PL Kemenkes RI, 2014). Untuk di RSUD dr.
Soedono Madiun jumlah penderita HIV/AIDS yang memeriksakan diri ke klinik
VCT sampai akhir tahun 2013 sebanyak 717 orang dan pada bulan November 2015 sudah
sebanyak 1.104 orang penderita, di mana jumlah penderita laki-laki 618 orang dan penderita
perempuan 486 orang.
Banyak jumlah ODHA yang ada di wilayah Madiun dan sekitarnya, tentunya membuat semua
orang merasa prihatin, mengingat bahwa ODHA akan mengalami berbagai tekanan sosial yang
ada di sekitarnya. Berdasarkan studi pendahuluan yang penulis pada bulan Oktober 2015, dari 10
penderita HIV di Klinik VCT Kemuning RSUD dr. Soedono Madiun, ditemukan 20 %
menyatakan tidak mengalami masalah psikologis yang mengganggu aktivitasnya sehari-hari; 20
% lainnya juga merasa tidak mengalami stigma, kemudian 40 % merasakan adanya stigmatisasi
oleh masyarakat dan keluarganya dan 20 % juga mengalami stigmatisasi diri di mana merasa
malu, merasa kotor dan mengucilkan diri dari masyarakat. Kemudian juga ditemukan bahwa dari
80 % penderita ODHA yang mengalami stigma dari masyarakat, keluarga ataupun stigma
internal, menunjukkan bahwa 40 % dari ODHA sempat mengalami depresi.
Adanya depresi pada penderita HIV/AIDS juga disebabkan karena pengetahuan penderita
HIV/AIDS yang masih rendah. Pada umumnya ODHA yang berobat di Klinik Kemuning masih
memiliki pengetahuan yang minim terkait dengan penyakit yang dideritanya. Rendahnya
pengetahuan ODHA tentang HIV/AIDS ikut mempengaruhi sikap dan perilaku dalam
keseharian, sehingga rendahnya pengetahuan mempengaruhi timbulnya stigma internal dan
depresi.
Timbulnya stigma lebih disebabkan karena adanya diskriminatif terhadap ODHA. Diskriminatif
ini disebabkan oleh faktor resiko penyakit ini yang terkait dengan prilaku seksual yang
menyimpang dan penyalahgunaan obat narkotika dan obat berbahaya atau narkoba (Herek dan
Capitiano, 2009). Stigma dan diskriminasi terjadi karena adanya anggapan bahwa penyakit
HIV/AIDS selalu berujung pada kematian. Penyakit ini sering diasosiasikan dengan perilaku atau
kebiasaan buruk yang dianggap tidak sesuai dan bertentangan dengan norma positif dalam
masyarakat, persepsi masyarakat bahwa ODHA dengan sengaja menularkan penyakitnya, serta
kurangnya pengetahuan yang benar tentang cara penularannya (Kemenkes, 2012).
Stigma masih menjadi masalah di dalam upaya pengendalian HIV/AIDS di dunia karena tidak
semua ODHA mau membuka statusnya kepada orang lain karena takut masyarakat tahu akan
status HIV nya, sehingga ODHA akan diperlakukan diskriminatif dalam kehidupan masyarakat.
Bentuk lain dari stigma berkembang melalui internalisasi oleh ODHA dengan persepsi negatif
tentang diri mereka sendiri. Stigma dan diskriminasi yang dihubungkan dengan penyakit
menimbulkan efek psikologi yang berat tentang bagaimana ODHA melihat diri mereka sendiri.
Jika stigma ditemukan pekat menyebar pada suatu komunitas, maka ODHA di komunitas
tersebut dapat menginternalisasi sikap dan kepercayaan negatif mengenai infeksi HIV sehingga
menyebabkan tindak
menstigmatisasi diri, tingkat harga diri yang rendah, depresi, rasa khawatir, serta keputuaasaan
(Gaddist, dan Mayer, 2008). Stigma internal atau stigmatisasi diri artinya seseorang menghakimi
dirinya sendiri sebagai “tidak berhak” tidak disukai masyarakat (Kemenkes RI, 2012). Hal ini
bisa mendorong dalam beberapa kasus terjadinya depresi, kurangnya penghargaan diri, dan
keputusasaan.
Penelitian yang dilakukan Saragih (2008) mendapatkan 74% pasien yang terinfeksi HIV/AIDS di
RS Adam Malik Medan mengalami depresi pada berbagai tingkat. Penelitian yang dilakukan di
Jakarta (RSCM) oleh Kusuma (2010) mendapatkan 51,5% pada pasien HIV mengalami depresi
yang diukur dengan instrument CES-D sebagai salah satu alat ukur untuk mengetahui depresi
pada penyakit kronis. Pada penelitian di Malawi, Afrika tahun 2015 tentang stigma HIV yang
berakibat pada kecemasan dan depresi pada perempuan Malawi disebutkan bahwa stigma HIV
dapat menimbulkan kecemasan dan depresi pada perempuan Malawi. Akibat dari depresi yang
berkelanjutan yaitu penurunan kondisi fisik dan mental, sehingga dapat menyebabkan seseorang
malas untuk melakukan aktivitas self care harian secara rutin. Depresi dapat menyebabkan tidak
tetap dalam perawatan, tidak hadir dalam klinik dan melupakan dosis terapi antiretroviral (ART).
Depresi juga dapat meningkatkan prilaku beresiko menularkan HIV pada orang lain (Yayasan
Spirita, 2014).
Untuk memerangi stigma di kalangan ODHA, program yang komprehensif, termasuk
pendidikan untuk memahami kompleksitas dan faktorfaktor tentang HIV/AIDS dapat membantu
mengurangi stigmatisasi. Dukungan dari pemerintah, masyarakat, pemberi kerja, penyedia
layanan kesehatan, teman sekerja, keluarga juga dapat membantu mengurangi stigma internal.
Melihat dapat diinternalisasinya stigma serta akibatnya terhadap depresi dalam kehidupan
seorang ODHA, maka penelitian ini bermaksud untuk meneliti tingkat depresi pada ODHA
kaitannya dengan stigma internal yang mungkin dialami sebagai efek dari menyandang status
HIV positif.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah
apakah ada hubungan antara stigma internal dengan tingkat depresi pada penderita HIV/AIDS di
RSUD dr. Soedono Madiun?.
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum pada penelitian ini adaah untuk mengetahui hubungan antara stigma internal
dengan tingkat depresi pada penderita HIV/AIDS di RSUD dr. Soedono Madiun.
1.3.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus yang ingin dicapai pada penelitian ini ada tiga poin, diantaranya:
1. Mengidentifikasi kejadian stigma internal pada penderita HIV/AIDS di RSUD dr.
Soedono Madiun.
2. Mengidentifikasi kejadian depresi pada penderita HIV/AIDS di RSUD dr. Soedono
Madiun.
3. Menganalisis hubungan antara stigma internal dengan tingkat depresi pada penderita
HIV/AIDS di RSUD dr. Soedono Madiun.

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi intelektual bagi ilmu
keperawatan tentang hubungan stigma internal dengan tingkat depresi pada penderita HIV/AIDS.

1.4.2 Manfaat Praktis


1. Bagi pelayanan kesehatan
Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi kepada rumah sakit tentang hubungan stigma
dengan depresi pada pasien HIV/AIDS sehingga dapat dijadikan sebagai acuan dalam
merumuskan perencanaan asuhan keperawatan dan melaksanakan tindakan keperawatan
sehingga dapat memberikan
kontribusi dalam upaya menurunkan tingkat depresi akibat stigma internal pada penderita
HIV/AIDS.
2. Bagi masyarakat
Hasil penelitian ini dapat dijadikan informasi kepada masyarakat dalam perawatan kesehatan
khususnya dalam mengatasi depresi akibat stigma internal pada penderita HIV/AIDS.
3. Bagi peneliti lain
Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan referensi dan pertimbangan dalam mengembangkan
penelitian tentang pelayanan yang ditujukan pada penderita
HIV/AIDS pada penelitian selanjutnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Stigma
1. Pengertian Stigma
Menurut Lacko, Gronholm, Hankir, Pingani, dan Corrigan dalam Fiorillo, Volpe, dan Bhugra
(2016) stigma berhubungan dengan kehidupan sosial yang biasanya ditujukan kepada orang-
orang yang dipandang berbeda, diantaranya seperti menjadi korban kejahatan, kemiskinan, serta
orang yang berpenyakitan salah satunya orang HIV. Orang yang mendapat stigma dilabelkan
atau ditandai sebagai orang yang bersalah.
2. Faktor-Faktor Terbentuk Stigma
Faktor-faktor terbentuknya stigma sebagai berikut:
a. Pengetahuan.
Stigma terbentuk karena ketidaktahuan, kurangnya pengetahuan tentang HIV/AIDS, dan
kesalahpahaman tentang penularan HIV (Liamputtong, 2013). Hal-hal tersebut dikarenakan
rendahnya tingkat pengetahuan seseorang. Pengetahuan adalah hasil tahu dari informasi yang
ditangkap oleh panca indera. Pengetahuan dipengaruhi oleh faktor pendidikan, pekerjaan, umur,
lingkungan, sosial dan budaya (Wawan dan Dewi, 2011). Hal ini sesuai dengan penelitian
Walusimbi dan Okonsky dalam Erkki dan Hedlund
(2013) yang menyatakan bahwa perawat yang memiliki pengetahuan tinggi akan memiliki rasa
ketakutan penularan HIV yang rendah dan sikap positif yang lebih baik dibandingkan perawat
yang berpengetahuan rendah.
b. Persepsi.
Persepsi terhadap seseorang yang berbeda dari orang lain dapat mempengaruhi perilaku dan
sikap terhadap orang tersebut. Cock dan kawan-kawan menyatakan bahwa stigma bisa
berhubungan dengan persepsi seperti rasa malu dan menyalahkan orang yang memiliki penyakit
seperti HIV (Paryati et al, 2012).
c. Tingkat Pendidikan
Tingkat Pendidikan dapat mempengaruhi munculnya stigma. Jika tingkat pendidikan tinggi maka
tingkat pengetahuan juga akan tinggi. Hal ini sesuai dengan penelitian Walusimbi dan Okonsky
dalam Erkki dan Hedlund (2013) dimana menyatakan bahwa perawat yang memiliki
pengetahuan tinggi akan memiliki rasa ketakutan penularan HIV yang rendah dan sikap positif
yang lebih baik
d. Lama Bekerja
Seseorang yang masa bekerja yang paling lama maka memiliki pengalaman yang banyak
sehingga dapat membuat keputusan yang tepat untuk melaksanakan tugasnya (Suganda dalam
Paryati et al, 2012). Maka dari itu, seseorang yang sudah berpengalaman akan memiliki rasa
percaya diri.
e. Umur
Umur merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi stigma seseorang. Semakin bertambah
umur seseorang maka semakin berubah sikap dan perilaku seseorang sehingga pemikiran
seseorang bisa berubah (Suganda dalam Paryati et al, 2012). WHO (2013) membagi umur
seseorang terbagi atas 4, yaitu balita (di bawah 1 tahun), anak-anak (2-9 tahun), remaja (10-19
tahun), dan dewasa (lebih dari 19 tahun). Elizabeth dalam Jahja (2011) menyebutkan masa
dewasa terbagi menjadi 3, yaitu masa dewasa awal (21-40 tahun), masa dewasa madya (40-60
tahun), dan masa dewasa lanjut (60 tahun sampai meninggal). Masa dewasa awal adalah masa
seseorang berusaha menyesuaikan dirinya terhadap pola hidupnya yang baru. Seseorang dengan
masa ini memiliki emosi yang tidak stabil serta belajar menjaga sebuah komitmen dan tanggung
jawab. Masa dewasa madya adalah masa seseorang lebih mendekatkan dirinya terhadap agama.
Masa dewasa lanjut adalah masa seseorang secara fisik dan psikologi telah menurun.
f. Pelatihan
Pemberian pelatihan yang sesuai dengan bidang, salah satunya pelatihan HIV, dapat memotivasi
tenaga kesehatan untuk meningkatkan kinerja dirinya dalam pekerjaan. Selain itu, pelatihan juga
meningkatkan pengetahuan, pengalaman, dan sikap bagi seseorang sehingga dapat berpikir kritis
(Wu Z et al dalam Paryati et al, 2012).
g. Jenis Kelamin
Jenis kelamin merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kerja seseorang (Gibson dalam
Paryati, 2012). Perempuan juga cenderung memiliki stigma yang tinggi dimana bersikap
menyalahkan dibanding dengan laki-laki (Andrewin dalam Salmon et al, 2014).
h. Dukungan Institusi
Pada institusi kesehatan, seperti rumah sakit dan puskesmas, memiliki SOP (Standard Operating
Procedure) sesuai kebijakan masing-masing institusi, sarana dan fasilitas, serta penggunaan APD
(Alat Pelindung Diri) dalam melakukan tindakan khusus kepada pasien dengan penyakit tertentu,
seperti HIV (Paryati et al, 2012).
i. Kepatuhan Agama
Kepatuhan agama bisa mempengaruhi sikap dan perilaku seseorang. Seseorang yang patuh pada
nilai-nilai agama bisa mempengaruhi peran dalam kinerja bekerja dalam pelayanan kesehatan
khususnya terkait HIV (Paryati et al, 2012).
3. Manifestasi Stigma
Biasanya orang yang terkena stigma dihubungkan dengan seks bebas, penggunaan narkoba, dan
homoseksual. Hal ini menjadi bumerang bagi mereka dimana dianggap masyarakat sebagai
orang yang berperilaku buruk. Wanita pun juga menjadi korban terkena stigma karena
berhubungan seksual dengan lawan jenis yang diduga memiliki HIV. Maka dari itu, stigma bisa
muncul dari kata-kata kasar, gosip, dan menjauhi atau mendiskriminasi orang HIV
(Liamputtong, 2013).

4. Tipe-Tipe Stigma
Van Brakel dalam Fiorillo, Volpe, dan Bhugra (2016)
mengungkapkan ada 5 tipe stigma sebagai berikut :
a. Public stigma, dimana sebuah reaksi masyarakat umum yang memiliki
keluarga atau teman yang sakit fisik ataupun mental.
Salah satu contoh kata-katanya adalah “saya tidak mau tinggal bersama dengan orang HIV”.
b. Structural stigma, dimana sebuah institusi, hukum, atau perusahaan yang
menolak orang berpenyakitan. Misalnya, perusahaan X menolak memiliki
pekerja HIV.
c. Self-stigma, dimana menurunnya harga dan kepercayaan diri seseorang
yang memiliki penyakit. Contohnya seperti pasien HIV yang merasa bahwa
dirinya sudah tidak berharga di dunia karena orang-orang disekitarnya
menjauhi dirinya.
d. Felt or perceived stigma, dimana orang dapat merasakan bahwa ada
stigma terhadap dirinya dan takut berada di lingkungan komunitas. Misalnya
seorang wanita tidak ingin mencari pekerjaan dikarenakan takut status HIV
dirinya diketahui dan dijauhi oleh rekan kerjanya.
e. Experienced stigma, dimana seseorang pernah mengalami diskriminasi
dari orang lain. Contohnya seperti pasien HIV diperlakukan tidak ramah
dibandingkan dengan pasien yang tidak HIV diperlakukan ramah oleh tenaga
kesehatan.
f. Label avoidance, dimana seseorang tidak berpartisipasi dalam pelayanan
kesehatan untuk menghindari status dirinya sebagai orang yang memiliki
penyakit. Salah satu contoh adalah pasien menyembunyikan obatnya.
5. Alat Pengukuran Stigma
Adanya stigma HIV bagaikan memiliki dinding pemisah antara orang HIV dengan upaya
pencegahan dan pengobatan HIV dari pelayanan kesehatan. Maka dari itu, stigma HIV memiliki
alat pengukuran untuk mengetahui seberapa banyak stigma HIV yang terjadi di lingkungan
masyarakat maupun di pelayanan kesehatan. Pengukuran stigma HIV ada berbagai macam, yaitu
HIV and AIDS Stigma Instrument-PLWA (HASI-P) dari Holzemer et al, internalized stigma
scale dari Sayles et al, dan measuring HIV stigma and discrimination among health facility staff
dari
Nyblade et al yang dikembangkan Health Policy Project. Alat ukur stigma dari Nyblade et al
memiliki beberapa indikator sebagai berikut (Damalita, 2014):
a. Tenaga kesehatan takut terinfeksi HIV (termasuk di dalamnya
pengetahuan tentang cara penularan).
b. Sikap terhadap ODHA (stereotip dan prasangka).
c. Enacted Stigma (Stigma yang berlaku dan dapat diamati).
d. Diskriminasi yang diantisipasi (meliputi stigma sekunder yang dialami
oleh staf fasilitas kesehatan).
e. Kebijakan di tingkat kelembagaan dan lingkungan.
6. Tingkat Stigma
Menurut Azwar (2016) untuk membuat kategorisasi individu ke dalam tingkatan atau kategori
berjenjang menjadi 3 jenjang dapat menggunakan rumus sebagai berikut:

µ- µ+𝑡
𝜇 = Mean teoretis pada skala
𝑡(𝛼⁄2,𝑛−1) = Harga t pada 𝛼/2 dan derajat kebebasan n-1
𝑠 = Deviasi standar skor
𝑛 = Banyaknya subjek
Pada instrument ini berisi pernyataan favourable berisi Ya=1 dan Tidak=0 serta unfavourable
berisi Tidak=1 dan Ya=0. Skala dalam
penelitian ini yaitu skala ordinal dengan kategori tinggi, sedang, dan rendah.
Cara menentukan kategori tersebut bisa dengan rumus berikut:

µ- µ+𝑡

14,78 – 2,011(4,5/ 14,78 + 2,011(4,5/


13,49≤X≤16,07
13≤X≤16
Hasilnya adalah stigma tinggi jika >16, stigma sedang jika 13-16, dan stigma rendah jika <13
(Azwar, 2016).
7. Cara Menghentikan Stigma
Corrigan dalam Fiorillo, Volpe, dan Bhugra (2016) menyebutkan bahwa ada 3 strategi yang
dapat dilakukan untuk menghentikan stigma di masyarakat, yaitu protes, pendidikan, dan kontak.
Protes untuk menghilangkan penyataan negatif masyarakat, media, dan iklan. Pendidikan dapat
memberikan informasi yang lengkap dan jelas mengenai penyakit sehingga orang yang
berpengetahuan lebih bisa bijak dalam berhubungan dengan orang yang memiliki penyakit dan
tidak akan mendiskriminasinya. Kontak, maksudnya adalah orang yang memiliki penyakit dapat
berkumpul dengan orang yang memiliki penyakit yang sama sehingga dapat meningkatkan harga
dirinya dan semakin percaya diri. Adanya perkumpulan khusus juga dapat mengurangi
kecemasan seseorang dan bisa saling mengungkapkan perasaannya selama didiagnosa penyakit.

8. Stigma Perawat tentang Pasien HIV


Berdasarkan penelitian Damalita (2014) kepada 51 responden tenaga kesehatan yang mana salah
satunya adalah perawat ternyata masih ada stigma terhadap pasien HIV. Responden mengakui
khawatir tertular HIV dari pasien, masih menganggap pasien HIV telah berperilaku tidak baik,
tidak bersedia merawat pasien HIV, serta mereka masih memberikan perawatan yang berkualitas
rendah. Selain itu, dalam penelitian Maharani (2014) menemukan bahwa tenaga kesehatan
menganggap bahwa orang HIV adalah orang yang berperilaku tidak baik dan tidak boleh punya
anak. Petugas kesehatan juga mengakui sebelum mendapat pelatihan tentang HIV mereka
menganggap penyakit HIV sebagai monster dan masih merasa cemas ketika merawat pasien
HIV. Hal ini membuat pasien dengan status HIV merasa dilecehkan oleh petugas kesehatan dan
diperlakukan berbeda dengan pasien lain.
B. HIV
1. Pengertian dan Penyebab HIV
HIV adalah singkatan dari Human Immunodeficiency Virus. Menurut Nursalam dan Kurniawati
(2011), HIV menginfeksi sel pejamu (sel T-helper) secara berkelanjutan untuk menggandakan
dirinya dan menyebar ke sel selanjutnya. Maka dari itu, sebanyak 10 miliar HIV dihasilkan
setiap hari. HIV memiliki 2 tipe, yaitu HIV-1 dan HIV-2. HIV-1 bermutasi lebih cepat
dibandingkan HIV-2.
2. Tanda dan Gejala Orang Terkena HIV
Seseorang yang terinfeksi HIV tidak menunjukkan tanda dan gejala infeksi selama 8-10 tahun.
Seiring berjalannya waktu, orang yang terinfeksi HIV akan menunjukkan gejala seperti demam,
ruam, pembengkakan kelenjar getah bening, nyeri saat menelan, mual, muntah, kehilangan berat
badan, berkeringat di malam hari, diare dan batuk yang berkepanjangan. Jika orang tersebut tidak
mendapatkan perawatan sejak dini atau tidak mengonsumsi obat secara teratur, maka
penyakitnya akan semakin memburuk disertai dengan gejala akibat infeksi oportunistik dan
mengakibatkan Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) (Nursalam dan Kurniawati,
2011).
3. Faktor Resiko HIV
HIV hanya dapat hidup di dalam darah dan akan membeku di luar
darah manusia. HIV tidak akan menular melalui udara,
sentuhan/berpegangan, berpelukan, berciuman, batuk, bersin, gigit nyamuk, memakai fasilitas
umum bersama orang HIV, dan menggunakan alat rumah tangga bersama orang HIV (Spiritia,
2009). Menurut Nursalam dan Kurniawati (2011) cara penularan HIV melalui beberapa hal
berikut :
a. Hubungan seksual dengan orang terinfeksi HIV, baik biseksual,
heteroseksual, maupun homoseksual. Selain itu, penyebaran HIV juga bisa
lewat hubungan seksual secara anal, oral, dan vaginal dengan penderita.
b. Ibu yang terinfeksi HIV ketika hamil dapat menularkan kepada janinnya
jika ibu tidak menggunakan terapi ARV (anti
retroviral). Selain itu, proses persalinan normal juga beresiko menularkan HIV dari ibu kepada
anaknya, makanya disarankan oleh tenaga kesehatan untuk melakukan persalinan secara caesar
agar meminimalisir resiko penularan HIV. Persalinan caesar dapat mengurangi resiko penularan
HIV dari ibu kepada bayi hingga 80% (Nursalam dan Kurniawati, 2013).
c. Alat kesehatan yang tidak steril (alat terkena darah HIV) dapat beresiko
menularkan kepada orang lain. Alat tajam yang berhubungan dengan kulit,
seperti jarum, pisau, silet, alat sirkumsisi dan alat membuat tato tanpa
disterilkan juga akan beresiko menular kepada orang lain.
d. Penggunaan jarum suntik yang bergantian dapat beresiko menularkan HIV
kepada orang lain. Biasanya ini terjadi pada orang yang sering menggunakan
narkoba atau jarum suntik yang digunakan bersama.
4. Cara Pencegahan HIV
Cara mencegah penularan HIV (Nursalam & Kurniawati, 2011) dengan menghindari faktor
resikonya seperti melakukan hubungan seksual menggunakan kondom yang aman dan tidak
melakukan homoseksual serta tidak menggunakan jarum suntik secara bergantian. Bagi ibu yang
telah terinfeksi HIV maka yang harus dilakukan adalah mencegah terjadinya kehamilan, tetapi
jika ibu ingin hamil maka harus dilakukan pencegahan penularan kepada bayinya dengan
mengonsumsi ARV sesuai resep dokter dan jika akan melahirkan maka harus melalui persalinan
Caesar. Tenaga kesehatan yang akan menggunakan alat medis seperti jarum suntik, alat
sirkumsisi, dan alat untuk operasi harus dipastikan sudah dilakukan sterilisasi terutama jarum
suntik harus digunakan sekali pemakaian. Selain peralatan yang steril, tenaga kesehatan juga
dapat mencegah penularan HIV dengan mencuci tangan 6 langkah dan menggunakan Alat
Pelindung Diri (APD) sesuai tindakan yang dilakukan kepada pasien.
5. Pemeriksaan Penunjang HIV
Menurut Nursalam dan Kurniawati (2011), HIV dapat didiagnosa dengan enzyme linked
imunoabsorbent assay (ELISA), polymerase chain reaction (PCR), Western Blot (WB), indirect
immunofluorescence assay (IFA) dan radio-immunoprecipitation assay (RIPA). ELISA tidak
menunjukkan hasil yang spesifik karena hasil positif tidak hanya karena ada HIV saja tetapi
disebabkan hal-hal lain seperti penyakit autoimun, infeksi virus, keganasan hematologi, maupun
kehamilan. Hasil positif yang disebabkan selain HIV biasanya disebut juga false positif. ELISA
akan memberikan hasil negatif sampai 6-12 minggu setelah terinfeksi HIV.
WB dapat mendeteksi rantai protein spesifik pada DNA sehingga jika ditemukan rantai protein
HIV pada DNA seseorang maka menunjukkan hasil positif. PCR berfungsi lebih spesifik dan
sensitif pada infeksi HIV sehingga diagnostik ini digunakan jika tes-tes lainnya menunjukkan
hasil yang tidak jelas.
VCT (Volunteer Counseling Test) merupakan tes konseling dimana pasien/klien secara sukarela
mau melakukan tes HIV (Nursalam dan Kurniawati, 2011). Kerahasiaan pasien/klien harus
terjamin dan tidak diberitahukan kepada orang lain tanpa izin dari pasien/klien kecuali
kepentingan kesehatan klien, pendidikan dan penelitian, serta aparatur penegak hukum (UU RI
No. 38 Pasal 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan).

6. Pengobatan HIV
Pengobatan HIV sampai sekarang belum ditemukan. Terapi ARV atau highly active
antiretroviral therapy (HAART) merupakan terapi yang terdiri dari kombinasi dari 3 obat dari 2
jenis antiretrovirus, seperti nucleoside analogue reverse transcriptase inhibitor (NRTI) dengan
nonnucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI) atau protease inhibitor (Soedarto, 2012).
Terapi ART kombinasi lebih bagus karena dapat mengurangi viral load serta hanya dapat
mencegah perkembangan HIV dan meningkatkan kualitas hidup pasien (Nursalam dan
Kurniawati, 2007).
Setiap obat memiliki efek samping yang berbeda, termasuk ARV. Secara umum, efek samping
yang biasanya muncul seperti sakit kepala, susah tidur, muntah, mual, lemah, dan diare. Maka
dari itu, pasien HIV harus patuh pada jadwal obat yang telah diresepkan oleh dokter agar dapat
mencegah terjadi resistensi serta bisa menahan perkembangan virus (Nursalam dan Kurniawati,
2007).
C. Perawat
1. Pengertian Perawat
Menurut UU RI Nomor 38 Pasal 1 Tahun 2014 tentang Keperawatan menyebutkan bahwa
perawat adalah seseorang yang lulus dari pendidikan keperawatan dan telah diakui oleh
pemerintah berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
2. Peran Perawat
Perawat memiliki berbagai peran menurut CHS dalam Hidayat (2008), yaitu peran sebagai
pemberi asuhan keperawatan, edukator, advokat klien, koordinator, kolaborator, konsultan, dan
pembaharu.
a. Perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan, dimana perawat dapat
memenuhi kebutuhan dasar manusia melalui asuhan keperawatan yang terdiri
dari pengkajian, diagnosa,
perencanaan, intervensi, dan evaluasi.
b. Perawat sebagai edukator, dimana perawat berperan dalam meningkatkan
pengetahuan pasien tentang informasi terkait kondisi kesehatan pasien.
c. Perawat sebagai advokat klien, dimana perawat memberikan informasi
berkaitan dengan pelayanan dan perawat memberikan kebebasan kepada
pasien untuk membuat keputusan dengan melindungi hak-hak pasien.
d. Perawat sebagai koordinator, dimana perawat mengatur pelayanan yang
dibutuhkan oleh pasien.
e. Perawat sebagai kolaborator, dimana perawat melakukan kolaborasi
dengan tenaga kesehatan lain untuk memberikan pelayanan yang sesuai
dengan kondisi pasien.
f. Perawat sebagai konsultan, dimana pasien dapat berkonsultasi mengenai
masalah kesehatan yang dialami kepada perawat sehingga perawat mampu
memberikan penjelasan dan saran
terkait kondisi pasien.
g. Perawat sebagai pembaharu, dimana perawat dapat mengembangkan
kemampuan dan dapat bekerjasama dalam peningkatan pelayanan kesehatan.
3. Asuhan Keperawatan pada Pasien HIV
Menurut UU RI No. 38 Pasal 1 Tahun 2014 menyebutkan bahwa asuhan keperawatan
merupakan bentuk interaksi perawat terhadap pasien dan lingkungannya dalam mewujudkan
tujuan pemenuhan kebutuhan dasar dan kemandirian pada diri pasien tersebut.
Ketika seseorang telah mengetahui bahwa dirinya terinfeksi HIV maka akan memunculkan 4
respons pada dirinya (Nursalam dan Kurniawati, 2007), yaitu respons biologis, respons adaptif
psikologis, respons adaptif sosial, dan respons adaptif spiritual. Peran perawat dalam hal ini
sangat penting dalam memberikan asuhan keperawatan baik biologi, psikologi, sosial, dan
spiritual sehingga pasien mampu menerima dirinya atau beradaptasi dengan kondisi
kesehatannya.
a. Asuhan keperawatan segi biologis.
1) Universal Precautions, dengan cara pertama adalah menghindari kontak
langsung dengan cairan tubuh pasien HIV. Jika perawat melakukan tindakan
invasif, maka perawat menggunakan APD sesuai jenis tindakan yang
dilakukan. Kedua dengan menggunakan alat medis yang sekali pakai dan
sudah disterilisasi. Alat atau cairan yang terkena HIV dibuang dengan benar
dan aman (Nursalam dan Kurniawati, 2007).
2) Pemberian ARV sesuai pemeriksaan darah CD4 dan viral load, serta
jadwal obat yang telah diresepkan oleh dokter.
3) Pasien HIV terkadang mengalami anoreksia atau penurunan nafsu makan
sehingga berat badan akan menurun. Maka dari itu, pasien HIV
membutuhkan nutrisi baik mineral maupun vitamin dengan jumlah yang
banyak untuk meningkatkan imun tubuh sehingga dapat melawan HIV.
Pasien HIV harus diberi makanan yang disukai dengan porsi yang kecil tapi
sering makan. Pada pasien HIV yang mengalami diare dianjurkan untuk
memberikan makanan yang lunak tapi tidak berlemak. Air putih 8 gelas sehari dapat memenuhi
kebutuhan mineral dalam tubuh pasien.
4) Pasien yang terinfeksi HIV cenderung mengalami penurunan imun
sehingga dibutuhkan olahraga dan istirahat yang cukup. Olahraga ringan
misal membersihkan rumah dan melakukan kegiatan yang disukai pasien
seperti berenang atau senam bersama dapat merangsang hormone untuk
memicu imun tubuh lebih baik.
b. Asuhan keperawatan segi psikologis.
Perawat mampu memfasilitasi strategi koping dan dukungan sosial pada pasien HIV. Perawat
mampu memfasilitasi pasien dalam proses penerimaan diri pada penyakitnya. Proses penerimaan
diri memiliki 5 tahap, yaitu penolakan (denial), marah (anger), sikap tawar-menawar
(bargaining), depresi, dan penerimaan diri. Dalam proses penerimaan diri, perawat juga dapat
memberikan dukungan sosial pada pasien berupa emosional, informasi, dan material (Nursalam
dan Kurniawati, 2007).
Ketiga dukungan tersebut dapat diaplikasikan oleh perawat seperti membantu mengidentifikasi
dan menyelesaikan masalah, meningkatkan rasa percaya diri pasien, memberikan pasien
kebebasan dalam pengambilan keputusan berdasarkan keyakinan dan agama, memberikan
pendidikan kesehatan tentang minum obat teratur, menyarankan untuk aktivitas dan istirahat
yang cukup, nutrisi yang seimbang, dan memberitahukan perilaku-perilaku yang dapat
membantu penyembuhan (Nursalam dan Kurniawati, 2007).
c. Asuhan keperawatan segi sosial.
Seseorang tidak dapat menyelesaikan masalah tanpa bantuan orang lain, begitu juga dengan
pasien HIV. Maka dari itu, pasien HIV membutuhkan dukungan sosial sangat diperlukan agar
dapat bermanfaat bagi kesehatan, keamanan dan kesejahteraan pasien tersebut (Nursalam dan
Kurniawati, 2007).
Dukungan sosial bisa berasal dari keluarga, teman, kekasih, kelompok masyarakat ataupun
tenaga kesehatan, yaitu perawat. Sebagai contoh, perawat dapat memberikan informasi yang
pasien inginkan, memberi kesempatan untuk mengungkapkan perasaan, memberitahu betapa
pentingnya kehadiran pasien bagi orang lain, memberi dukungan berupa moral, material, dan
spiritual, serta menghargai pasien (Nursalam dan Kurniawati, 2007).
d. Asuhan keperawatan segi spiritual.
Pada segi spiritual lebih dipusatkan pada penerimaan diri pasien terhadap penyakitnya. Maka
dari itu, perawat harus menyakinkan pasien untuk selalu memiliki harapan untuk sembuh dan
pasien mampu berpikir positif terhadap penyakitnya. Pada pasien HIV membutuhkan perawatan
paliatif yang meliputi 3 hal, seperti pemberian kenyamanan, pengelolaan nyeri, dan menyiapkan
pasien menghadapi kematian. Pasien juga harus difasilitasi agar lebih mendekatkan diri kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala. Selain itu, pasien mampu belajar untuk tabah dalam menghadapi
setiap cobaan yang dihadapinya sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (Q.S.
Al-Baqarah 2:286) yang artinya :
“Allah tidak akan membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia
mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan)
yang dikerjakannya...”
Dari ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak memberikan
cobaan atau penyakit tanpa ada obat ataupun solusinya. Selain itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala
juga ingin menguji seberapa besar kesabaran dan ketabahan hati hamba-Nya setelah diberikan
cobaan atau penyakit (Nursalam, 2011). Makna ayat tersebut bagi perawat adalah perawatnya
dapat merawat pasien HIV tanpa mengeluh takut tertular dan ingin bertukar pasien. Perawat
harus yakin bahwa dirinya mampu memberikan asuhan keperawatan yang baik dan berempati
tanpa harus berjauhan pada pasien HIV, takut, dan ingin bertukar pasien. Jika perawat memiliki
sikap empati dan penolong maka pasien akan merasa puas dengan pelayanan kesehatan yang
diterima. Begitu juga sebaliknya, jika perawat tidak memiliki sikap empati dan penolong maka
pasien akan menolak untuk berobat atau dirawat di pelayanan kesehatan karena rasa kepercayaan
yang kurang.
D. Kerangka Teori

Perawat Pasien HIV

Stigma:
-Faktor terbentuk stigma
-Tipe stigma
-Manifestasi stigma

Skema 2.1 Kerangka Teori


Sumber: Fiorillo, Volpe, dan Bhugra (2016); Liamputtong, (2013); Nursalam dan
Kurniawati (2007); Hidayat (2008); Nursalam (2011);
Spiritia (2009); UU RI No. 38 Tahun (2014); Wawan dan Dewi, (2011); Al-Qur’an
E. Kerangka Konsep

Faktor-faktor terbentuk Stigma Perawat


stigma : tentang Pasien
HIV
- Pengetahuan
- Persepsi
- Tingkat Pendidikan
- Lama Bekerja Tinggi Sedang Rendah

- Umur
- Pelatihan
- Jenis Kelamin
- Dukungan Institusi
- Kepatuhan Agama

: Tidak diteliti
: Diteliti
Skema 2.2 Kerangka Konsep
DAFTAR PUSTAKA
Sumber: Fiorillo, Volpe, dan Bhugra (2016); Liamputtong, (2013); Nursalam dan Kurniawati
(2007); Hidayat (2008); Nursalam (2011);
Spiritia (2009); UU RI No. 38 Tahun (2014); Wawan dan Dewi, (2011); Al-Qur’an

Anda mungkin juga menyukai