Anda di halaman 1dari 71

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

HIV merupakan suatu penyakit infeksi oleh Human

Immunodeficiency Virus (HIV) yang dapat mengakibatkan kerusakan

sistem kekebalan tubuh. HIV dianggap sebuah penyakit fatal yang

berkembang secara cepat. Saat ini infeksi HIV dipandang lebih optimis

sebagai penyakit kronis yang dapat dikontrol dengan pelayanan kesehatan

yang tepat. Jika HIV tidak segera di obati perkembangan penyakit HIV

akan masuk pada tahap AIDS (Acquired immunodeficiency syndrome)

(Black dkk, 2014).

Kasus HIV terus menjadi masalah kesehatan masyarakat global.

United Nations Programme on HIV/AIDS mencatat kasus HIV mengalami

peningkatan dari tahun 2000 sebanyak 26,0 miliar kasus, pada tahun 2020

meningkat menjadi 37,8 miliar kasus dan semakin meningkat pada tahun

2021 menjadi 38,4 miliar kasus. Mayoritas HIV berasal dari Afrika Timur

dan Selatan sebanyak 20,6 miliar kasus (UNAIDS, 2022). Sejalan dengan

angka kejadian AIDS mengalami penurunan dari tahun 2000 sampai tahun

2021. Pada tahun 2000 United Nations Programme on HIV/AIDS

mencatat Sebanyak 1,7 milliar orang meninggal akibat AIDS, pada tahun

2021 angka kematian akibat AIDS mengalami penurunan sebanyak

650.000. United Nations Programme on HIV/AIDS mencatat pada tahun


2

2021 angka kematian terbanyak akibat AIDS berasal dari Afrika timur dan

Selatan Sebanyak 280.000 orang (UNAIDS, 2022).

Prevalensi HIV/AIDS di Indonesia menunjukkan adanya

peningkatan yang signifikan dari tahun 2010 yaitu 410.000 orang menjadi

540.000 orang di tahun 2021. Sejalan dengan AIDS, pada tahun 2010 yaitu

sebanyak 14.000 orang meninggal akibat AIDS menjadi 26.000 di tahun

2021, orang meninggal akibat AIDS (UNAIDS, 2022). Berdasarkan

Laporan Eksekutif Perkembangan HIV/AIDS dan Penyakit Infeksi

Menular Seksual (PIMS) Triwulan I Tahun 2022 melaporkan di Indonesia

Jumlah kumulatif orang dengan HIV sampai bulan Maret 2022 sebanyak

329.581 orang, sedangkan jumlah komulatif kasus AIDS yang dilaporkan

sampai bulan Maret 2022 sebanyak 137.397 orang (SIHA Indonesia,

2022).

Prevalensi HIV di Sumatera Barat ditemukan 14.918 kasus.

Sebagian besar orang dengan HIV pada periode Januari – Maret 2022

terdapat pada kelompok umur 25 - 49 tahun (67,9%) dan berjenis kelamin

laki-laki (71%). Jumlah orang dengan HIV yang ditemukan pada periode

Januari – Maret 2022 berdasarkan faktor risiko, sebanyak (30,2%)

homoseksual yang merupakan kelompok populasi LSL (28,8%) dan Waria

(1,3%), jumlah kumulatif orang dengan HIV ditemukan (kasus HIV) yang

dilaporkan sampai dengan Maret 2022 sebanyak 329.581 orang,

sedangkan jumlah kumulatif kasus AIDS yang dilaporkan sampai dengan

Maret 2022 sebanyak 137.397 kasus (SIHA Sumatera Barat, 2022).


3

Prevalensi pasien dengan kasus HIV/AIDS tertinggi di Kota

Padang berada di poliklinik VCT RSUP Dr. M. Djamil Padang.

Berdasarkan data dari rekam medis pasien dengan kasus HIV/AIDS yang

rutin menjalani pengobatan pada bulan Januari 2022 berjumlah 469 orang

dan mengalami peningkatan pada bulan Desember 2022 berjumlah 508

orang dan mengalami penurunan pengobatan pada bulan Februari 2023

berjumlah 478 orang (SIHA RSUP Dr. M.Djamil Padang, 2022).

Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) rentan terserang penyakit

akibat infeksi oleh HIV yang menyerang sistem kekebalan tubuh. Menurut

Nasrondin (2007) dalam Wulandari (2016) menyatakan masalah fisik yang

dialami ODHA seperti demam, faringitis, malaise, nyeri kepala, mual,

muntah, diare, anoreksi dan penurunan berat badan penurunan sistem

kekebalan tubuh dan banyak nya infeksi oportunistik. HIV/AIDS sering

dikaitkan dengan perilaku menyimpang dari norma dan penyakit yang

tidak bisa disembuhakan sehingga dapat menyebabkan kematian hal ini

mengakibatkan adanya  stigma negatif dan diskriminasi di masyarakat

pada ODHA (Jayani, 2020). Beberapa dampak tersebut mengkibatkan

ODHA mengalami kesepian dan kehilangan kontrol kematian. Oleh

karena itu Penyakit HIV/AIDS yang diderita oleh ODHA masih dianggap

aib sehingga dapat menyebabkan tekanan psikologis pada ODHA seperti

stress, pandangan negatif pada diri sendiri dan kecemasan (Paradita, 2014

dalam Khasanah, 2014).

Saat ODHA mengetahui statusnya ODHA sudah mulai

memikirkan respon fisik yang akan dialami dan respon lingkungan yang
4

akan diterima hal ini menjadi tekanan pada ODHA sehingga timbulnya

pandangan negatif pada diri sendiri mengakibatkan ODHA merasa

bersalah, marah dan tidak berdaya, hal ini mengakibatkan penilaian

negatif yang diberikan oleh lingkungan dan masyarakat menjadi stigma

yang mudah diterima dan diterapkan oleh ODHA untuk diri mereka

sendiri. Sehingga timbulnya stigma internal pada ODHA. Stigma internal

muncul akibat efek negatif dari penilaian orang lain dan pengalaman

pernah mengalami diskriminasi, sehingga ODHA cenderung menarik diri

dari lingkungan (Wulandari, 2016).

Stigma internal merupakan produk dari internalisasi rasa malu,

menyalahkan, putus asa, bersalah, dan takut akan diskriminasi yang

dihubungkan dengan kondisi yang dialami oleh ODHA. Stigma internal

dapat berdampak besar pada pengobatan dan perawatan pada ODHA

(Brouard dkk, 2006). Menurut Greeff dalam Syahrani (2018) stigma

internal adalah mekanisme pertahanan yang kuat untuk melindungi diri

dari stigma eksternal yang mengakibatkan perilaku penolakan atau

keengganan untuk mengungkapkan status HIV/AIDS dan keengganan

untuk menerima bantuan.

Stigma internal merupakan masalah umum bagi ODHA saat ini.

Hal ini dibuktikan oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh syahrina

(2018) di Yayasan Taratak Jiwa Hati di Padang tentang stigma internal

pada 40 ODHA menunjukkan 10% ODHA memiliki stigma internal

rendah, 77,5% ODHA memiliki stigma internal sedang dan 12,5% ODHA

memiliki stigma internal tinggi. Hasil penelitian yang sama dilakukan oleh
5

Daramatasia (2020) di Jombang tentang perceived stigma pada 55 ODHA

menunjukkan (24%) ODHA memiliki personalized stigma tinggi dan (76

%) ODHA memiliki personalized stigma rendah. Hasil penelitian yang

sama juga juga didapatkan oleh Kurniyanti (2021) di Jombang tentang

stigma diri pada 55 ODHA menunjukkan (23,6%) ODHA memiliki

perceived stigma baik, (74,5%) ODHA memiliki perceived stigma cukup,

dan (1,8%) ODHA memiliki perceived stigma buruk (Kurniyanti, 2021).

Berdasarkan data tersebut semakin memperkuat fenomena bahwa stigma

internal masih terjadi pada ODHA.

Stigma internal yang tinggi dapat menimbulkan beberapa dampak

pada ODHA diantaranya perasaan malu, khawatir terhadap penyakit yang

diderita, perasaan putus asa, merasa akan dijauhi, perasaan takut, percaya

diri dan penerimaan diri yang kurang sehingga berdampak pada harga diri

dan afikasi diri rendah dan penurunan kualitas hidup (Daramatasia dkk,

2020). Hal ini dapat mengurangi ODHA dalam melakukan interaksi sosial

seperti pada keluarga dan petugas kesehatan dan penurunan penggunaan

layanan kesehatan yang berdampak pada penurunan kepatuhan minum

obat dan penurun daya tahan tubuh pada ODHA (Syahrina dkk. 2018).

Menurut Brouard (2006) Stigma internal dipengaruhi oleh

beberapa faktor seperti faktor sosial, faktor konteks dan faktor diri sendiri.

faktor sosial meliputi gender, hemopobhia, membina perasaan tidak

bersalah dan rasa bersalah, ras dan kasta. Selanjutnya faktor konteks terdiri

dari lingkungan yang mendukung, dan kondisi hidup dan faktor diri
6

sendiri meliputi status kesehatan, penerimaan diri, spiritualitas, tingkat

pendidikan dan ketahanan atau resiliasi (Brouard dkk, 2006).

Spiritualitas merupakan bagian dari faktor diri yang mempengaruhi

stigma internal pada ODHA. Spiritualitas adalah konsep yang luas

meliputi nilai, makna dan tujuan, menuju inti manusia seperti kejujuran,

cinta, peduli, bijaksana, penguasaan diri dan rasa kasih, sadar akan adanya

kualitas otoritas yang lebih tinggi, membimbing spirit atau transenden

yang penuh dengan kebatinan, mengalir dinamis seimbang dan

menimbulkan Kesehatan tubuh-pikiran-spirit (Yusuf dkk, 2017). Ketika

ODHA memiliki spiritualitas baik terbukti lebih baik dalam mengatasi

masalah dan lebih Bahagia (Syahrina dkk, 2018). Spiritualitas dibagi

menjadi 4 bagian yaitu spiritual general, kebutuhan spiritual, koping

spiritual, dan kesejahteraan spiritual. Dimensi spiritual dapat

menumbuhkan kekuatan yang timbul diluar kekuatan manusia (Murwani,

2020). Perubahan aktivitas spiritual dapat dilihat dari bagaimana ODHA

memaknai tujuan kehidupan dengan lebih mendekatkan diri pada

tuhannya. (Edison dkk, 2021).

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Murwani (2020) tentang

tingkat spiritualitas ODHA di poliklinik VCT RSUD dr. Moewardi di

Surakarta didapatkan tingkat spiritualitas tinggi sebanyak 34,8%, tingkat

spiritualitas sedang sebanyak 55,1%, tingkat spiritualitas rendah sebanyak

10,1%. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Munte dkk (2022) pada 22

ODHA tentang tingkat spiritualitas ODHA di Yayasan Kota Medan plus

didapatkan tingkat spiritualitas ODHA kurang sebanyak 72,2% dan tingkat


7

spiritualitas baik sebanyak 17,3% (Munthe dkk, 2022). Berdasarkan hasil

penelitian tersebut disimpulkan bahwa sebagian besar ODHA masih

memiliki tingkat spiritual yang kurang.

Kesejahteraan spiritual adalah keharmonisan, saling kedekatan

antara diri dengan orang lain, alam dan dengan kehidupan yang tertinggi.

Rasa keharmonisan ini dicapai Ketika seseorang menemukan

keseimbangan antara nilai, tujuan, dan sistem keyakinan mereka dengan

hubungan mereka di dalam diri mereka sendiri dan dengan orang lain

( Asy’arie dalam Yusuf dkk, 2017). Kesejahteraan spiritual merupakan

keseimbangan dengan diri, hubungan dengan orang lain, lingkungan dan

juga dengan Tuhannya. Kesejahteraan spiritual menggambarkan

kehidupan seseorang dalam harmoninya yang berhubungan dengan makna,

tujuan dan nilai-nilai kehidupan yang terdiri dari fisik dan psikologis

(Yusuf dkk, 2017).

Berdasarkan hasil wawancara mengenai stigma internal kepada 10

orang ODHA pada tanggal 14 Februari 2023 di Klinik Voluntary

Conseling And Testing RSUP Dr. M. Djamil Padang didapatkan (70%)

pasien saat pertama kali dinyatakan positif HIV menyatakan adanya HIV

dalam tubuh merupakan suatu yang menjijikkan, (90%) orang dengan

HIV/AIDS menyatakan saat mengetahui statusnya ODHA berusaha

merahasiakan statusnya pada orang lain, (90%) orang dengan HIV/AIDS

menyatakan mengungkapkan statusnya kepada orang lain adalah suatu

yang beresiko, (70%) orang dengan HIV/AIDS menyatakan sejak

mengetahui statusnya ODHA merasa orang yang buruk. Untuk spiritual


8

ODHA menyatakan (80%) ODHA sudah mulai memahami dirinya sendiri,

mendapatkan kasih sayang dari orang lain, dan lingkungan sekitarnya

(60%) ODHA mengatakan merasa tenang dan diberikan kekuatan saat

beribadah dan berdo’a kepada Tuhan.

Berdasarkan fenomena dan uraian yang telah dijabarkan diatas

masih sedikitnya penelitian yang mengeksplor terkait kesejahteraan

spiritual dengan stigma internal, maka penulis tertarik untuk melakukan

penelitian tentang hubungan kesejahteraan spiritual dengan stigma internal

pada Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) di Klinik Voluntary Conseling

And Testing RSUP Dr. M. Djamil Padang.

B. Rumusan Masalah

Berdsarkan latar belakang diatas maka dalam penelitian ini penulis

membuat rumusan masalah sebagai berikut “Apakah ada hubungan

kesejahteraan spiritual dengan stigma internal Orang Dengan HIV/AIDS

(ODHA) di Klinik Voluntary Conseling And Testing RSUP Dr. M. Djamil

Padang”?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kesejahteraan

spiritual dengan stigma internal Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) di

Klinik Voluntary Conseling And Testing RSUP Dr. M. Djamil Padang.


9

2. Tujuan Khusus

1) Untuk mengetahui distribusi frekuensi stigma internal Orang

Dengan HIV/AIDS (ODHA) di Klinik Voluntary Conseling And

Testing RSUP Dr. M. Djamil Padang.

2) Untuk mengetahui distribusi frekuensi kesejahteraan spiritual

Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) di Klinik Voluntary Conseling

And Testing RSUP Dr. M. Djamil Padang.

3) Untuk mengetahui hubungan kesejahteraan spiritual dengan stigma

internal Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) di Klinik Voluntary

Conseling And Testing RSUP Dr. M. Djamil Padang

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Pelayanan Keperawatan

Bagi pelayanan keperawatan diharapkan penelitian ini dapat

menjadi masukan dan memberikan suatu infomasi bahwa

kesejahteraan spiritual marupakan salah satu faktor yang dapat

mempengaruhi stigma internal pada ODHA di RSUP Dr. M. Djamil

Padang.

2. Bagi Institusi Pendidikan

Hasil penelitian ini dapat bermanfaat sebagai tambahan

informasi ilmu keperawatan dan sebagai bahan bacaan untuk

meningkatkan pengetahuan mahasiswa keperawatan tentang

kesejahteraan spiritual dapat mengurangi tingkat stigma internal pada

ODHA di RSUP Dr. M. Djamil Padang.


10

3. Bagi Peneliti Selanjutnya

Supaya dapat menjadi bahan untuk penelitian selanjutnya yang

sejenis berkaitan dengan kesejahteraan spiritual dapat mengurangi

tingkat stigma internal pada ODHA di RSUP Dr. M. Djamil Padang.


11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Human Immunodeficiency Virus (HIV) / Acquired Immune Deficiency

Syndrome (AIDS)

1. Pengertian HIV/AIDS

HIV (Human Immunodeficiency Virus) merupakan virus yang

dikenal sebagai retrovirus, virus ini memiliki kode genetik dalam

bentuk asam ribonukleat (RNA). Infeksi HIV terjadi Ketika virus

memasuki sel CD4 (T) pejamu dan meyebabkan sel ini mereplikasi

RNA virus dan protein virus, yang pada akhirnya menyerang sel CD4

lain (Smeltzer, 2013). Infeksi oleh human immunodeficiency virus

(HIV) dapat mengakibatkan kerusakan sistem kekebalan dan

pertahanan tubuh. HIV dianggap sebagai penyakit fatal yang bisa

berkembang dalam waktu yang cepat pada tahap AIDS jika tidak

segera mendapatkan pengobatan yang efektif (Black dkk, 2014).

AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) merupakan

tahap akhir dari perkembangan penyakit oleh infeksi virus HIV

(Human Immunodeficiency Virus) yang mengakibatkan kelelahan

pada sistem imun (Black dkk. 2014). Pasien dengan diagnosa

HIV/AIDS ditandai dengan beberapa kategori seperti infeksi primer

(infeksi HIV akut /baru, sindrom HIV akut ditandai dengan penurunan

jumlah sel T CD4, CD4 normal adalah 500 sampai 1500 sel/mm 3, HIV
12

tanpa gejala ditandai dengan (CDC kategori A lebih dari 500 limfosit

T CS4+/mm3, HIV dengan gejala (CDC kategori B 200 sampai 499

limfosit T CD4+/mm, dan AIDS (CDC katgori C lebih sedikit dari 200

limfosit T CD4+/mm3 (Smeltzer, 2013).

2. Etiologi HIV/AIDS

Penyebab AIDS disebut Lymphadenopathy Assosiated Virus

(LAV) karena virus ini dapat menyebabkan limfadenopati pada

penderita. Berdasarkan hasil penemuan Robert Gallo, pada Maret

1984, menemuka adanya perkembangan sel yang tetap berlangsung

dan produktif pada pasien setelah terinfeksi virus, sehingga disebut

Human T-cell Lymphotropic Virus Type III (HLTV-III). Pada bulan

Mei tahun 1986. Komisi Taksonomi WHO (The International

Community on Taxonomy of Viruses) sepakat memberikan nama baru

untuk virus penyebab AIDS yaitu HIV. (Pakpahan, 2021).

HIV cenderung menyerang jenis sel tertentu, yaitu sel-sel yang

mempunyai antigen pemukaan CD4, terutama sekali limfosit T4 yang

memegang peranan penting dalam mengatur dan mempertahankan

sistem kekebalan tubuh. HIV juga mempunyai sejumlah gen yang

dapat mengatur replikasi maupun pertumbuhan virus yang baru, salah

satu gen tersebut adalah tat yang dapat mempercepat replikasi virus

sedemikian hebatnya sehingga terjadi pengahncuran limfosit T4 secara

besar-cesaran yang akhirnya menyebabkan kelumpuhan sistem

kekebalan tubuh. Kelumpuhan sistem kekebalan tubuh ini


13

mengakibatkan timbulnya berbagai infeksi oportunistik dan keganasan

yang merupakan gejala-gejala klinis AIDS (Pakpahan, 2021).

Virus ini berbentuk sferikal dengan diameter 120 nanometer

dan sekitar 60 kali lebih kecil dibandingkan sel eritrosit. HIV terdiri

atas dua bagian besar yaitu bagian inti yang terdiri atas rantai RNA,

protein inti, dan enzim reverse transcriptase yang memungkinkan

virus untuk mengubah informasi genetiknya yang berada dalam RNA

kedalam bentuk DNA yang kemudian diintegrasikan kedalam

informasi genetik sel limfosit yang diserang (memanfaatkan sel

limfosit untuk menggandakan diri menghasilkan virus baru) dan

bagian selubung virus yang terdiri dari lipid dan glikoprotein gp120

dan gp41 (Pakpahan, 2021).

3. Patofisiologi HIV/AIDS

Menurut Black dkk (2014) HIV-1 adalah anggota subfamily

lentivirus dari retrovirus manusia. Penyakit yang disebabkan lentivirus

ditandai dengan onset mendadak dan keterlibatan progresif sistem

saraf pusat (SSP) dan mengakibatkan gangguan sistem kekebalan.

HIV-1 adalah salah satu dari 5 virus pada famili lentivirus. Virus HIV

lainnya adalah HIV-2 dan human T-lymphotropic virus (HTLV) tipe

I,II, dan IV. Retrovirus termasuk kedalam famili retroviridae dan

memiliki ribonucleic acid (RNA) -bergantung deoxyribonucleic acid

(DNA) polymerase (transkiptase terbalik). HIV menginfeksi sel T

pembantu (T4 limfosit), magrofag dan sel B. HIV tidak secara


14

langsung memengaruhi SSP atau saraf perifer, astrosit, atau

oligodendrosit. Infeksi HIV pada SSP secara tidak langsung

disebabkan oleh neurotoksin yang diproduksi oleh makrofag terinfeksi

atau zat kimia yang dihasilkan oleh disregulasi (ketidakteraturan)

sitokin dan kemokin.

Sel T pembantu lebih mudah terinfeksi dari pada sel-sel lain.

Deplesi sel T pembantu terjadi dalam beberapa tahap berikut

1) Setelah masuk ke pejamu, HIV melekat pada membaran sel

target dengan cara melekat pada molekul reseptornya, CD4.

2) Virus tidak terlapisi, dan RNA masuk ke sel.

3) Enzim yang diketahui transkiptase terbalik dikeluarkan, dan

RNA virus di transkripsi kedalam DNA.

4) DNA baru membentuk ini bergerak kedalam inti dan DNA

sel.

5) Provirus dibuat Ketika DNA virus mengintegrasikan

dirinya sendiri kedalam DNA seluler atau genom sel.

6) Setelah provirus pada tempatnya, materi genetiknya bukan

lagi murni DNA pejamu tetapi bagian DNA virus.

7) Sel dapat berfungsi abnormal.

8) Sel pejamu mati dan tunas atau anak virus terbentuk, virus

baru sekarang mengonfeksi sel lain.

Target utama bagi HIV adalah sel T4 pembantu namun,

“perekat” yang menyebabkan HIV tertarik adalah molekul CD4, yang


15

bertindak sebagai reseptor bagi HIV pada sel T4 pembantu. Meskipun

molekul CD4 juga ditemukan pada sel lain, seperti makrofag dan

monosit, klinisi menyebut sel T4 sebagai CD4. T4 pembantu, CF4+ dan

CD4+ sel T pembantu digunakan secara sinonim. Zat lain, kemokin

bertindak sebagai pembawa pesan untuk memfasilitasi HIV masuk

kedalam sel. Pada tahun 1996, ilmuan menemukan bahwa orang

tertentu yang meiliki kelainan genetik pada gen terkait kemokin,

meskipun paparan berulang HIV, tidak pernah menjadi terinfeksi.

Perjalanan HIV dibedakan dari beberapa fase. Fase pertama

disebut juga dengan fase infeksi akut yang ditandai dengan gejala

demam, faringistis, malaise, nyeri kepala, mual, muntah, diare,

anoreksia dan penurunan berat badan, gejala tersebut akan berlangsung

sekitar 3-6 bulan. Jumlah limfosit T pada fase ini masih diatas

500sel/m dan kemudian akan mengalami penurunan setelah 6 minggu

terinfeksi HIV. Fase selanjutnya yaitu fae infeksi laten. Pada fase ini

jumlah virion di plasma menurun karena Sebagian besar virus

terakumulasi di kelenjar limfe. Pada fase ini sering menunjukkan

asimtomatik, fase ini berlangsung sekitar 8-10 tahun setelah infeksi,

setelah 8 tahun maka akan muncul infeksi oportunistik. Selanjutnya

fase infeksi kronis, selama fase ini virus bereplikasi didalam kelenjar

limfe dengan sangat cepat sehingga fungsi kelenjar limfe Sebagi

perangkap virus menurun oleh sebab itu tersebar ke darah. Sehingga

terjadi peningkatan virion dalam sirkulasi darah. Pada fase ini terjadi

penurunan jumlah limfosit T CD4 hingga diabwah 200/mm 3, oleh


16

sebab itu rentan terhadap infeksi sekunder. Perjalanan penyakit

semakin progresif yang mendorong kea rah AIDS. Beberapa infeksi

sekunder yang sering menyertai adalah pneumonia tuberculosis,

toksoplasma encephalitis, diare akibat kriptosporiosis, infeksi virus

herpes, kandidiasis. (Nasrondin, 2007 dalam Wulandari, 2016).

Saat ODHA mengetahui statusnya respon psikologi yang

dialami yaitu stress, pandangan negatif pada diri sendiri dan

kecemasan. (Paradita , 2014 dalam Khasanah, 2014) . ODHA takut dan

cemas akan kematian karna penyakit HIV/AIDS tidak dapat

disembuhkan. Banyak ODHA yang memilih menyembunyikan

statusnya kepada orang lain karna takut mendapatkan stigma negatif

dan diskriminasi (Jayani, 2020). Adanya pandangan negatif pada diri

ODHA mengakibatkan kurangnya rasa percaya diri dan penerimaan

diri. Hal ini yang menyebabkan ODHA mudah menerima dan

menerapkan stigma yang diberikan oleh masyarakat sehingga

timbulnya stigma internal pada ODHA (Daramatasia dkk, 2020).

4. Dampak HIV/AIDS

1) Fisik

Menurut Nasrodin (2007) dalam wulandari (2016) masalah

fisik yang dialami ODHA dapat dilihat melalui 3 fase.

a. Fase infeksi akut

berjuta-juta virus baru disebut virion. Virion akan

mengakibatkan sindroma infeksi akut dengan gejala seperti

demam, faringitis, malaise, nyeri kepala, mual, muntah,


17

diare, anoreksi dan penurunan berat badan, dan gejala

tersebut akan berlangsung sekitar 3-6 bulan. Jumlah

limfosit T pada fase ini masih diatas 500sel/m dan

kemudian akan mengalami penurunan setelah 6 minggu

terinfeksi HIV.

b. Fase infeksi laten

Respon imun spesifik HIV dengan terperangkapnya

virus dalam sel dendritik folikuler (SDF) dipusat

germinativum kelenjar limfe sehingga virion tidak dapat

dikenali. Pada fase ini jumlah virion diplasma menurun

karena Sebagian besar virus terakumulasi di kelenjar limfe.

Pada fase ini sering menunjukkan asimtomatis. Fase ini

berlangsung sekitar 8-10 tahun setelah terinfeksi. Setelah 8

tahun maka akan muncul infeksi oportunistik.

c. Fase infeksi kronis

Selama fase ini, virus HIV bereplikasi didalam kelenjar

limfe dengan sangat cepat sehingga fungsi kelenjar limfe

sebagai perangkap virus menurun oleh sebab itu virus

tersebar ke darah. Sehingga terjadi peningkatan virion

dalam sirkulasi darah..pada fase ini terjadi penurunan

jumlah limfosit T-CD4 hingga dibawah 200sel/mm 3, oleh

sebab itu rentan terhadap infeksi sekunder. Perjalanan

penyakit semakin progresif yang mendorong kea rah AIDS.

Beberapa infeksi sekunder yang sering menyertai adalah


18

pneumonia, tuberculosis, toksoplasma encephalitis, diare

akibat kriptoporiosis, infeksi virus herpes, kandidiasis dan

kadang-kadang juga ditemukan kanker kelenjar getah

bening.

2) Sosial

Menurut stewart (1997) dalam Wulandari (2016) dampak sosial

yang dialami ODHA yaitu :

a. Stigma

Stigma adalah fenomena sangat kuat yang terjadi di

masyarakat dan terkait erat dengan nilai yang didapatkan

pada beragam identitas sosial . stigma adaah tanda atau ciri

yang menandakan seseorang yang membawa pandangan

negatif dan oleh karena itu dinilai lebih rendah

disbandingkan dengan orang normal. Stigma berhubungan

dengan kehidupan sosial yang biasanya ditunjukkan kepada

orang-orang yang dipandang berbeda. Orang yang

mendapatkan stigma ditandai degan orang yang bersalah

karena menyebarkan sesuatu kepada masyarakat seperti

orang yang berpenyakitan salah satunya orang dengan

HIV/AIDS. Menurut Brouard (2006) Stigma terbagi dua

stigma eksternal dan internal.

Stigma eksternal adalah ketakutan dan penilaian

terhadap apa yang berbeda, yang mengarah pada kesalahan,

jarak dan diskriminasi. Stigma internal adalah persaan,


19

imajinasi, produk dari internalisasi rasa malu,

menyalahkan, putus asa, bersalah dan takut akan

diskriminasi yang diasosiakaan dengan HIV postif . stigma

internal dapat berpengaruh pada pencegahan, pengobatan,

dan perawatan HIV.

b. Diskriminasi

Menurut Stewart (1997) dalam Wulandari (2016)

diskriminasi adalah perilaku yang merendahkan seseorang

karena keanggotannya dalam suatu kelompok atau perilaku

negative terhadap individu, karena individu tersebut adalah

anggota dari kelompok tertentu terhadap orang yang

terinfeksi HIV, misalnya penolakan bekerja dan hidup

serumah juga akan berpengaruh terhadap kondisi Kesehatan

ODHA

3) Dampak psikologis

Menurut Paradita (2014) dalam Khasanah (2014) dampak

psikologis yang dialami oleh ODHA yaitu sebagi berikut:

a. Stress

Yang ditandai dengan menolak, marah, depresi, dan

keinginan untuk mati. Individu yang terinfeksi AIDS ( atas

permintaan dokter), biasanya mengalami shock, bisa putus

asa karena shock berat. ODHA mengalami depresi berat,

sehingga menyebabkan penyakit makin lama makin berat,

timbul berbagai infeksi oportunistik, penderita makin


20

tersiksa. Biaya pengobatan tambah besar, macam penyakit

tambah tambah banyak, obat yang diberi haus tambah

banyak dan tambah keras, dengan berbgai efek sampaing

yang memperparah keadaan penderita

b. Kecemasan

Kecemasan akan HIB/AIDS berkorelsi negatif dengan

psychological well being kesejahteraan psikologis.

c. Harga diri rendah

Keyakinan diri self efficacy yang rendah akan membuat

ODHA dimana penderita sering kali memikirkan mengenai

kehilangan, kesepian dan perasaan berdosadiatas segala apa

yang tidak dilakukan sehingga mereka kurang menitik

beratkan Langkah-langkah penjagaan Kesehatan dan

kerohanian mereka. Seorang pasien yang sudah didiagnosis

HIV positis dan mengetahuinya, kondisi mental penderita

akan mengalami fase yang sering disingkat SABDA

(Shock, Anger, Bergain, Depressed, Acceptance)

4) Dampak Spiritual

Menurut Paradita 2014 dalam Khasanah (2014) dampak

spiritual pada ODHA saat dinyatakan postif HIV yaitu adanya

munculnya rasa kesepian dan kehilangan kontrol kematian.

ODHA berpikir bahwa tuhan tidak saying pada dirinya dan

penyakitnya merupakan musibah bagi sirinya. Keyakinan terhadap

agamanya memudah dan tidka ercaya lagi pertolongan Tuhan.


21

Yusuf (2017) menyatakan spiritualitas memunyai peran penting

yang dapat memberi struktur dan arti pada nilai manusia, perilaku

hingga pengalamanya. Spiritual juga efektif dalam membantu

mengubah kebiasaan negatif seseorang.

B. Stigma Pada ODHA

1. Pengertian Stigma Pada ODHA

Menurut Brouard (2006) Stigma adalah atribut atau kualitas yang

secara signifikan mendiskreditkan seseorang dimata orang lain. Stigma

adalah sebuah proses dan terjadi dalam budaya atau latar tertentu dan

sifat-sifat tertentu yang digunakan oleh orang lain sebagai tidak dapat

di percaya atau tidak layak. Orang yang terstigma dipandang memiliki

identitas yang rusak atau tercemar yang menyimpang dari norma-

norma sosial dan yang pantas mendapat sanksi. Stigma beroperasi

dengan memproduksi struktur sosial kekuasaan, hirarki, kelas,

pengucilan dan dengan mengubah perbedaan seperti kelas, ras, etnik,

status Kesehatan, orientasi seksual, dan gender menjadi

ketidaksetaraan. Jadi stigma yang melekat pada ODHA sebagai

penyakit berlapis pada stigma yang sudah ada sebelumnya. Stigma

melayani berbagai fungsi sosial dan psikologis berfungsi untuk

menjauhkan individu atau kelompok dari rasa takut akan infeksi

dengan memfasilitasi penyangkalan resiko dan mempromosikan rasa

kebal mempertahankan tatanan sosial dengan meminggirkan yang

tidak diinginkan, yang dapat memperkuat norma sosial seputar

kesetiaan dan keluarga degan moralisasi seputar pergaulan bebas dan


22

perilaku menyimpang lainnya dan ni merupakan strategi di negara-

negara miskin sumber daya bagi keluarga dan masyarakat untuk

mengecualikan mereka yang dianggap menguras sumber daya yang

terbatas dalam kelompok tersebut.

Stigma internal adalah produk dari internalisasi rasa malu,

menyalahkan, putus asa, bersalah dan takut akan diskriminasi

(Syahrina dkk,2018)

2. Etiologi Stigma

Menurut Goffman (2016) dalam Bili (2021). Stigma terkait

Kesehatan (helth-related stigma) merupakan bentuk stigma yang terjafi

pada orang-orang dengan maslaah kesehatan. Stigma terkait Kesehatan

lebih sering terjadi pada orang-orang dengan penyakit kronis seperti

HIV/AIDS.

Beberapa penyebab stigma yaitu

1) Diri : berbgaia mekanisme internal yang dibuat

dari diri sendiri

2) Masyarakat : gossip, pelanggaran dan pengasiangan di

tingkat budaya masyarakat

3) Lembaga : perlakuan diskriminasi dalam Lembaga

4) Struktur : lembaga yang lebih luas seperti

kemiskinan.

3. Jenis Stigma

Jenis stigma menurut para ahli psikologi dan sosiologi antara lain

stigma eksternal dan stigma internal. Untuk jenis stigma internal


23

merupakan persepsi individu baha dirinya mengaami stigma dari

amsyarakat karena merupakan bagian kelompok yag di stigma

sehingga menimbulkan reaksi negatif dari individu tersebut terhadap

diri mereka sendiri. Stigma internal muncul bila seseorang sadar

mengenal stigma terhadap kelompok mereka, maka akan menyebabkan

berkurang atau hingga kepercayaan diri self esteem dan efikasi diri self

efficacy. Orang dengan efikasi diri yang rendah akibat stigma internal

memiliki kemungkinan yang lebih rendah untuk melamar pekerjaan

atau bersosialisasi denagn orang lain (Vogel, 2013).

Jenis-jenis stigma menurut Ditchman (2016):

1) Stigma Struktural

Mengacu pada ketidak seimbangan dan ketidak adilan,

dilihat dari masyarakat

2) Stigma Masyarakat

Menggambarkan reaksi atau penialian negatif dari

masyarakat terhadap yang mengalami stigma.

3) Stigma Asosiasi

Menilai rendah orang lain karena memiliki hubungan

dengan individu yang mengalmi stigma tersebut.

Jenis dan tipe stigma dibagi menjadi 2 yaitu :

1) Stigma Eksternal

Stigma Eksternal mengacu pada sikap masyarakat

umum, termasuk kelompok professional terhadap orang


24

dengan HIV/AIDS bahwa orang dnegan HIV/AIDS itu

berbahaya. Stigma eksternal mengacu pada persepsi diri

negatf dari HIV/AIDS yang menimbulkan sikap masyarakat

dan kelompok. Stigma eksternal dipengaruhi oleh

pengetahuan, (kepercayaan tentang pengobatan, keyakinan,

pengakuan dan prilaku).

2) Stigma internal

Menurut Corrigan (2016) dalam Bili (2016 ) stigma

internal adalah stigma yang muncul dari pribadi individu itu

sendiri. Stigma internal mengacu pada kepercayaan negatif

terhadap dirinya. Harga diri rendah mendiskriminasikan diri

dan mereka tidak dibutuhkan dikalangan masyarakat. Stigma

internal terjadi karena adanya stigma eksternal yang

diberikan dari masyarakat dapat memepengaruhi seseorang

untuk merasa bersalah dan tidak mencukupi tentang

kondisinya yang dapat menyebabkan perubahan persentasi

perilaku

Menurut Friedman (2018) dalam Bili (2021) stigma

didefinikan menjadi 3 tipe yaitu :

1) Stigma yang berhubungan dnegan cacat tubuh yang dimiliki

oleh seseorang

2) Stigma yang berhubungan dengan kerakter individu yang

umum diketahui seperti bekas narapidana, pasien RSJ


25

3) Stigma yang berhubungan dengan ras, bangsa dan agama

Stigma semacam ini ditransmisikan dari generasi ke generasi.

4. Mekanime Stigma

Mekanisme stigma terjadi karena beberapa faktor , maka menurut

Corrigan (2016) dalam Bili (2021) yaitu :

1) Adanya perlakuan negatif dan diskrimnasi secara langsung

Mekanisme yang pertama yaitu adanya perlakuan negative

dan diskriminasi secara langsung yang terdapat pembatasan

pada kehidupan dan diskrimiansi secara langsung sehingga

terdampak pada status sosial dan Kesehatan fisik. Stigma

terjadi beberapa tempat disebuah Kesehatan dan sistem

lainnya.

2) Proses konfirmasi terhadap harapan atau self fullfiling

prophecy Stigma menjadi proses melalui konfirmai harapan,

persepsi negative mengarahkan individu untuk berperilaku

sesuai dengan stigma yang diberikan sehingga berpengaruh

pada pikiran, perasaan dan prilaku individu tersebut.

3) Munculnya stereotip secara otomatis stigma dapat menjadi

proses melalui aktivitas stereotip otomatis secara negative

pada suatu kelompok.

4) Terjadinya proses ancaman terhadap identitas dari individu.


26

5. Proses Stigma

Proses stigma adalah proses atau tahapan terjadinya stigma,

menurut Friedman (2018) proses terjadinya stigma yang dilakukan

masyarakat memlalui 3 tahap yaitu:

1) Proses interprestasi

Pelanggaran norma yang terjadi dalam masyarakat tidak

semuanya mendapatkan stigma dari amsyarakat, tetapi

pelanggaran norma.

2) Proses Pedefinisian

Oang dianggap berperilaku menyimpang terhadap

perilaku yang dianggap berperilaku menyimpang oleh

masyarakat.

3) Perilaku diskriminasi

Proses dilakukan masyarakat untuk memberikan

perlakuan yang bersifat membedakan.

C. Stigma Internal Pada ODHA

1. Pengertian Stigma Internal Pada ODHA

Stigma diri atau stigma internal adalah keadaan seseorang yang

meyakini bahwa stigma yang dikenakan kepadanya oleh masyarakat

adalah benar. Percaya dan meyakini apa yang dikatakan orang tentang

dirinya adalah benar, stigma diri akan berdampak negatif dan merusak

kepercayaan diri seseorang. Stigma diri memiliki dampak yang

merugikan bagi individu. Stigma diri menyebabkan hilangnya harga

diri dan penerimaan (Pratiwi, 2019).


27

Stigma internal adalah sikap dan asumsi yang tidak

menguntungkan yang timbul dari respon emosional seseorang terhadap

suatu penyakit yang dapat menimbulkan emosi ketakutan dan

perubahan respon pelaku, dan paling buruk dapat menimbulkan efek

negatif yang mengarah pada penurunan kualitas hidup, harga diri

rendah, dan penurunan penggunaan pelayanan kesehatan (Corrigan &

Rao, 2012). Stigma internal muncul akibat adanya efek negatif dari

penilaian orang lain dan pengalaman seseorang yang pernah

mengalami diskriminasi terhadap dirinya, sehingga mereka cenderung

mengurung diri dari lingkungan sosialnya (Mardiah et al., 2020).

2. Proses Terjadinya Stigma Internal Pada ODHA

Proses internalisasi stigma internal terjadi melalui serangkaian

tahapan yang berurutan yang paling mengikuti, menjadi tahap awal

pembentukan stigma diri atau stigma internal. Secara umum orang

yang menderita kondisi tidak sehat ini menyadari fenomena yang ada

dimasyarakat tentang kondisi mereka. Oleh karena itu, tahap ini

disebut tahap kesadaran (awareness). Orang ini kemudian menerima

bahwa stereotip negatif mereka dimasyarakat adalah nyata dan tahap

ini disebut tahap prsetujuan (agreement) selain itu, orang tersebut

menerima bahwa stereotip ini berlaku untuk dirinya sendiri atau

disebut tahap eksekusi (Apply). Hal ini dapat menyebabkan kerugian

besar, penurunan harga diri dan self-efficacy atau efikasi diri dan tahap

inimenjadi tahap akhir dari stigma diri yang disebut kerugian (Harm)

(Corrigan dan Reo, 2012)


28

3. Dampak Stigma Internal

Stigma internal dapat menyebabakan beberapa dampak pada

ODHA diantaranya perasaan malu, khawatir terhadap penyakit yang

diderita, perasaan putus asa, merasa akan dijauhi, perasaan takut,

percaya diri dan penerimaan diri yang kurang sehingga berdampak

pada harga diri dan afikasi diri rendah dan penurunan kualitas hidup

(Daramatasia dkk, 2020). Hal ini dapat mengurangi ODHA dalam

melakukan interaksi sosial seperti pada keluarga dan petugas

Kesehatan dan penurunan penggunaan layanan kesehatan yang

berdampak pada penurunan kepatuhan minum obat dan penurun daya

tahan tubuh pada ODHA (Syahrina dkk. 2018).

4. Instrumen Pengukuran Stigma Internal Pada ODHA

Instrumen yang digunakan untuk mengukur perceived stigma pada

ODHA adalah kuesioner modifikasi Berger HIV Stigma Scale yang

sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diuji validitas dan

reliabilitasnya oleh Nurdin (2013). Instrumen ini menilai stigma pada

ODHA melalui 4 faktor yakni personalized stigma (12 soal),

disclosured (4 soal), public attitudes (5 soal), negative self-images (4

soal). Dimana terdapat satu butir soal yang sama pada faktor

personalized stigma dan public attitudes yakni soal nomor 20.

Kuesioner ini terdiri dari 25 item pertanyaan dengan bentuk

pertanyaan positif (favourable) dan negatif (unfavourable)

menggunakan skala likert. Masing-masing dari pertanyaan tersebut

terdapat 5 alternatif jawaban yaitu sangat setuju (5), setuju (4), kurang
29

setuju (3), tidak setuju (2), dan sangat tidak setuju (1). Skor total

berentang antara 25-125 yang dikategorikan berdasarkan rumus dari

Arikunto (2002) yakni cut off point Rumus :

Naturan cut off point = (maximum score + minimun score) / 2

= (125 + 25) / 2

= 75

Jadi score dalam kuesioner ini adalah 75% dari total skor (125),

dengan hasil: ≥75 stigma tinggi, dan <75 stigma rendah

Kuesiner yang digunakan untuk mengukur skala stigma pada

ODHA adalah kuesioner modifikasi versi singkat berger HIV Stigma

Scale yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia yang terdiri

dari 25 item. Uji validitas dan reliabilitas telah dilakukan oleh Berger

(2001) dan didapatkan nilai Cronbach Alpha sebesar 0,96%. Uji

validitas dan reliabilitas kuesioner Berger HIV Stigma Scale versi

bahasa Indonesia (40) item yang dilakukan oleh Nurdin (2013) didapat

nilai Cronbach Alpha 0,94. Sedangkan uji validitas dan reliablitas versi

singkat kuesioner Berger HIV Stigma Scale versi bahasa Indonesia

yang terdiri dari 25 item didapat nilai Cronbach Alpha 0,93.

Table 2.1 Instrumen Pengukuran Stigma Pada ODHA (Berger Hiv

Stigma Scale)

No Pertanyaan Sangat Setuju Kurang Tidak Sangat


setuju setuju setuju tidak
setuju
1. Memberitah
u orang lain
bahwa saya
mengidap
HIV/AIDS
30

adalah
sesuatu yang
beresiko
2. Saya
berusaha
keras
merahasiaka
n status
HIV/AIDS
saya
3. Saya merasa
saya tidak
sebaik orang
lain karena
saya
mengidap
HIV/AIDS
4. Orang
dengan
HIV/AIDS
diperlakuka
n seperti
orang
buangan
5. Sebagian
besar orang
meyakini
bahwa orang
dengan
HIV/AIDS
adalah kotor
6. Mengidap
HIV/AIDS
membuat
saya merasa
tidak bersih
7. Sebagian
besar orang
berfikir
bahwa orang
dengan
HIV/AIDS
mejijikkan
8. Mengidap
HIV/AIDS
membuat
saya merasa
bahwa saya
31

adalah orang
yang buruk
Sebagian
9. besar orang
dengan
HIV/AIDS
ditolak
Ketika orang
lain
mengetahui
statusnya
10. Saya sangat
berhati-hati
kepada
kepada siapa
saya
memberitah
u bahwa
saya
mengidap
HIV/AIDS
11. Beberapa
orang yang
mengetahui
saya
mengidap
HIV/AIDS
semakin
menjauhi
saya
12. Sejak
mengetahui
saya
mengidap
HIV/AIDS
saya
khawatir
orang-orang
akan
mendiskrimi
nasi saya
13. Sebagian
besar orang
tidak
nyaman
berada
disekitar
orang
32

dengan
HIV/AIDS
14. Adanya
HIV/AIDS
dalam tubuh
saya
merupakan
sesuatu yang
menjijikkan
15. Saya
khawatir
bahwa orang
yang
mengetahui
saya
mengidap
HIV/AIDS
akan
memberitah
u orang lain
Beberapa
16. orang
menghindari
menyentuh
saya setelah
mereka tahu
abhwa saya
mengidap
HIV
17. Orang yang
saya sayangi
berhenti
menghubun
gi saya
setelah
mereka tahu
saya
mengidap
HIV/AIDS
18. Beberapa
orang yang
dekat
dengans aya
takut orang
lain akan
menolak
mereka jika
terungkap
33

jika saya
mengidap
HIV/AIDS
19. Orang-orang
tidak mau
saya berada
didekat
anak-anak
mereka
Ketika
mereka tahu
saya
mengidap
HIV/AIDS
20. Orang-orang
mundur
menjauhi
saya saat
mereka tahu
saya
mengidap
HIV/AIDS
21. Saya
berhenti
bersosialisas
i dengan
beberapa
orang karena
reaksi
mereka
Ketika
mereka tahu
saya
mengidap
HIV/AIDS
22. Saya telah
kehilangan
teman-
teman
karena
memberitah
u mereka
bahwa saya
mengidap
HIV/AIDS
23. Orang-orang
yang
mengetahui
34

saya
mengidap
HIV/AIDS
cenderung
mengabaika
n sisi baik
saya
24. Orang-orang
tampaknya
takut kepada
saya karena
mereka tahu
saya
mengidap
HIV/AIDS
25. Ketika
orang-orang
tahu saya
mengidap
HIV/AIDS
mereka
mencari
kelemahan
pada
kerakter
saya

5. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Stigma Internal Pada ODHA

Faktor-faktor yang mempengaruhi stigma internal pada

ODHA menurut Brouard dkk, (2006)

1) Faktor Sosial

a. Gender

Stigma pada ODHA sangat dekat hubungannya dengan

prasangka budaya, apabila Wanita terinfeksi HIV atau telah

berkembang menjadi AIDS maka mereka akan mendapat

perlakuan yang berbeda dari masyarakat.


35

b. Homophobia

Fenomena homoseksual baik gay maupun lesbian

diintegrasikan dengan sikap yang negative dan bermasalah

dengan orientasi seksual mereka.

c. Membina perasaan tidak bersalah dan rasa bersalah

Bagaimana seseorang memperoleh HIV(seks bebas,

transfusi darah, pemakaian narkoba suntik, kecelakaan

medis, keturunan, dll hal ini mempengaruhi terhadap

stigma internal ODHA.

d. Ras dan kasta

Kelompok seseorang dimasyarakat juga dapat

mempengaruhi stigma internal

2) Faktor konteks

a. Lingkungan yang mendukung

Salah satu faktor penting adalah lingkungan dimana

ODHA berdomisili, keluarga, teman, dan kelompok yang

mendukung.

b. Kekuatan hubungan

Kekuatan hubungan ODHA dipengaruhi oleh teman,

atau keluarga akan mempengaruhi stigma internalnya

3) Faktor diri sendiri

a. Status Kesehatan

Stigma internal akan lebih mudah dihilangkan apabila

dalam kondisi Kesehatan yang baik.


36

b. Penerimaan diri

Penerimaan status ODHA sangat penting untuk

menghilangkan stigma internal, tetapi masih banyak ODHA

yang menyangkal status mereka.

c. Spiritualitas

ODHA yang memiliki spiritualitas baik terbukti lebih

baik mengatasi masalah dan lebih bahagia.

d. Tingkat Pendidikan

Harga diri dan efikasi diri dikaitkan dengan tingkat

pendidikan seseorang, lebih tinggi Pendidikan seseorang

maka lebih baik harga diri dan efikasi diri orang tersebut.

e. Ketahanan/resiliasi

Stigma intenal dipengaruhi oleh ketahanan seseorang

dalam mengatasi masalahnya, ketahanan dapat dikatakan

seperti kepribadian dan kalitas intrinsik seseorang.

D. Konsep Spiritualitas

1. Pengertian Spiritualitas

Spiritualitas adalah konsep yang luas meliputi nilai, makna dan

tujuan, menuju inti manusia seperti kejujuran, cinta, peduli, bijaksana,

penguasaan diri dan rasa kasih, sadar akan adanya kualitas otoritas

yang lebih tinggi, membimbing spirit atau transenden yang penuh

dengan kebatinan, mengalir dinamis seimbang dan menimbulkan

Kesehatan tubuh-pikiran-spirit (Yusuf dkk, 2017)


37

2. Aspek-Aspek Spiritualitas

Yusuf (2017) membagi aspek spiritualitas menjadi 4 bagian yaitu :

1) Spiritual General

Suatu yang dipengaruhi oleh budaya, perkembangan,

pengalaman hidup, kepercayaan dan nilai kehidupan. Spiritual

general ini akan menghadirkan cinta, kepercayaan dalam

hubungan antar manusia dengan beberapa kekuatan diatasnya,

kreatif, kemuliaan atau sumber energi serta spiritual

merupakan pencarian arti dalam kehidupan dan pengembalian

dari nilai-nilai dan sistem kepercayaan seseorang yang mana

akan terjadi konflik bila pemahamannya dibatasi (Potter

&Perry)

2) Kebutuhan Spiritual

Kebutuhan spiritual merupakan kebutuhan dasar yang

dibutuhkan oleh setiap manusia (Aziz, 2014). Menurut Hamid

(2008) kebutuhan spiritual merupakan kebutuhan untuk

mencari arti dan tujuan hidup, kebutuhan untuk mencintai,

adanya rasa keterkaitan, kebutuhan untuk memberi dan

mendapat maaf.

3) Koping Spritual

Koping spiritual adalah bagaimana seseorang melihat,

berpikir dan merasakan dirinya. Ide, konsep, pikiran, emosi,

dan objek mental semuanya secara konsisten mengambil energi

kita, yang menyebabkan adanya suatu tabir antara diri kita


38

dengan realitas, sehingga memungkinkan seseorang tersebut

mengalami realitas secara langsung (Shandy, 2010).

4) Kesejahteraan spiritual

kesejahteraan spiritual adalah keharmonisan, saling

kedekatan antara diri dengan orang lain, alam dan dengan

kehidupan yang tertinggi. Rasa keharmonisan ini dicapai

Ketika seseorang menemukan keseimbangan antara nilai,

tujuan, dan sistem keyakinan mereka dengan hubungan mereka

di dalam diri mereka sendiri dan dengan orang lain.

Ketidakseimbangan spiritual (spirituality disequilibrium)

adalah sebuah kekacauan jiwa yang terjadi Ketika kepercayaan

yang dipegang teguh tergoncang hebat. Kekacauan ini

seringkali muncul Ketika penyakit yang mengancam hidup

berhasil didiagnosis. (Asy’arie dalam Yusuf dkk, 2017)

E. Kesejahteraan Spiritual Pada ODHA

1. Konsep kesejahteraan spiritual

kesejahteraan spiritual adalah keharmonisan, saling kedekatan

antara diri dengan orang lain, alam dan dengan kehidupan yang

tertinggi. Rasa keharmonisan ini dicapai Ketika seseorang menemukan

keseimbangan antara nilai, tujuan, dan sistem keyakinan mereka

dengan hubungan mereka di dalam diri mereka sendiri dan dengan

orang lain. Ketidakseimbangan spiritual (spirituality disequilibrium)

adalah sebuah kekacauan jiwa yang terjadi Ketika kepercayaan yang

dipegang teguh tergoncang hebat. Kekacauan ini seringkali muncul


39

Ketika penyakit yang mengancam hidup berhasil didiagnosis.

(Asy’arie dalam Yusuf dkk, 2017).

Kesejahteraan spiritual merupakan domain yang mempengaruhi

luaran dari terapi antiretroviral pada ODHA. Perubahan aktivitas

spiritual dapat dilihat dari bagaimana ODHA memaknai tujuan

kehidupan dengan lebih mendekatkan diri pada tuhannya. (Edison dkk,

2021). Dimensi spiritual dapat menumbuhkan kekuatan yang timbul

diluar kekuatan manusia (Murwani, 2020).

Kesejahteraan spiritual adalah cara hidup, atau gaya hidup yang

memandang dan menghidupkan hidup menjadi bertujuan dan

menyenangkan, yang mencari pilihan yang menopang hidup dan

memperkaya hidup untuk di pilih secara bebas pada setiap kesempatan,

yang menanamkan akarnya secara kuat ke dalam nilai spiritual atau

keyakinan agama tertentu (Kozier,2010).

Kesejahteraan spiritual adalah rasa keharmonisan yang saling

berdekatan antara diri dengan orang lain, alam dan dengan kehidupan

yang tertinggi. Rasa keharmonisan ini dicapai ketika seseorang

menemukan keseimbangan antara nilai, tujuan dan sistem keyakinan

individu dengan hubungan mereka didalam diri mereka sendiri dan

dengan orang lain (Potter & Perry, 2010 dalam Husna 2022).

Manusia memelihara atau meningkatkan spiritual mereka dalam

banyak cara, beberapa orang berfokus pada perkembangan bagian

dalam diri dan dunia, yang lain berfokus pada perkembangan bagian

dalam diri dan dunia, yang lain berfokus pada ekspresi energi spiritual
40

mereka dengan orang lain atau dengan dunia luar. Berhubungan

dengan bagian dalam diri atau jiwa seseorang dapat dicapai dengan

melakukan pendekatan dengan yang maha kuasa atau dengan diri

sendiri, dengan cara berdoa atau mengalami inspirasi seni. Ekspresi

energi spiritual seseorang terhadap orang lain dimanifestasikan dalam

hubungan saling mencintai dan melayani orang lain, kesenangan dan

tawa, partisipasi dalam layanan keagamaan, perkumpulan, kegiatan

keagamaan dan dengan ekspresi kasih sayang, empati, pengampunan

dan harapan (Kozier,2010).

Fisher (2010) menyatakan bahwa kesejahteraan spiritual memiliki

keseimbangan antara hubungan dengan dirinya, orang lain,

lingkungan, dan juga dengan tuhannya. Kesejahteraan spiritual

mencerminkan sejauh mana orang hidup dalam harmoninya yang

berkaitan dengan makna.

2. Karakteristik Kesejahteraan Spiritual

Karakteristik yang mengindikasi kesejahteraan spiritual menurut

Iqbal (2010) dalam Husna (2022) adalah:

1) Rasa kedamaian di dalam diri

2) Rasa kasih sayang terhadap sesama

3) Menghargai hidup

4) Rasa syukur

5) Menghargai persamaan maupun perbedaan

6) Humor

7) Kebijaksanaan
41

8) Kemurahan hati

9) Kemampuan diri

10) Kapasitas untuk cinta tanpa syarat

Menurut Potter & Perry, (2010) kesejahteraan spiritual akan

terlibat antara diri dengan orang lain, alam dengan kehidupan yang

tertinggi yang di tandai dengan adanya rasa damai, rasa syukur,

menghargai hidup, dan menghargai perbedaan.

3. Pengukuran Kesejahteraan Spiritual

Alat ukur yang digunakan pada pengukuran kesejahteraan spiritual

adalah Spiritual Well Being Quisioner (SWBS). Alat ukur ini sudah

dibuktikan atau diuji oleh fisher (2012) yang terdiri dari4 domain

yaitu hubungan dengan diri sendiri rehabilitas α = 0.84 orang lain

reabilitas α = 0,86, lingkungan reabilitas α = 0,85 dan hubungan

dengan tuhan reabilitas α = 0,95. Hasil uji reabilitas dari alat ukur

SWBQ didapatkan korelasi item dengan skor total berkisar antara r =

0,572 – 0,861 dan dengan demikian dinyatakan valid dalam mengukur

kesejahteraan spiritual (B.B Fisher, 2012).Hasil ukur dari kuisioner

SWBQ terbagi dalam 2 kategori yaitu baik dan buruk. Dikategorikan

baik jika skor < mean/median dan digategorikan buruk jika skor ≥

mean/median dan jika data terdisribusi normal maka dihitung nilai

mean dan jika data terdistrbusi normal maka dihitung menggunakan

nilai median.
42

Tabel 2.2 Instrumen Pengukuran Kesejahteraan Spiritual

No pernyataan selalu sering Kadang- Tidak


kadang pernah
1. Saya merasa saya
mendapatkan kasih
saying dari orang
lain yang ada
disekitar saya
2. Saya merasa saya
memiliki hubungan
personal dengan
tuhan
3. Saya merasa saya
memilikikemauan
untuk memaafkan
orang lain
4. Saya merasa diri
saya memiliki
hubungan baik
dengan lingkungan
sekitar saya
5. Saya merasa saya
memahami diri saya
sendiri
6. Saya merasa saya
memiliki rasa
penghormatan
kepada tuhan
7. Saya merasa saya
menghargai
pemandangan yang
indah yang ada
disekitar saya
8. Saya merasa adanya
rasa percaya kepada
dan dari orang
sekitar saya
9. Saya merasa saya
memahami diri saya
sendiri sebagai
seorang manusia
10. Saya merasa saya
menyatu dengan
alam/lingkungan
11. Saya merasa saya
mendapatkan
43

kekuatan dari tuhan


12. Saya merasa saya
sejalan dengan
lingkungan sekitar
saya
13. Saya merasa damai
dengan shalat dan
berdoa kepada
tuhan
14. Saya merasa saya
menikmati hidup
saya
15. Saya merasa shalat
dan berdo’a
menambah
kekuatan bagi diri
saya
16. Saya merasa saya
memiliki kedamaian
batin kepada diri
saya
17. Saya merasa saya
memiliki rasa
hormat terhadap
orang lain
18. Saya merasa saya
memiliki arti/makna
hidup
19. Saya merasa saya
memiliki kebaikan
terhadap orang lain
20. Saya merasa saya
mendapatkan
keuatan dari
lingkungan saya

4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kesejahteraan Spiritual

Pada ODHA

Beberapa faktor yang mempengaruhi kesejahteraan spiritual pada

ODHA ( Taylor,1997;Craven & Hirnle,1996;Hamid,2000)


44

1) Tahap Perkembangan

Peran keluarga sangat penting dalam menginisiasi

perkembangan spiritual sejak dini. Spiritual berhubungan

dengan kekuasaan non material, seeorang harus memiliki

beberapa kemampuan berpikir abstrak sebelum muai menerti

spiritual dan menggali suatu hubungan dengan Yang Maha

Kuasa. Hai ini berarti bahwa spiritual lebih menekankan

sebuah makna, arti dan nilai dari sebuah benda. Manusia harus

mneyadari bahwa tidak ada seseuatu yang sia-sia dari apa yang

telah diciptakan di dunia ini, tugas manusia adalah menemukan

makna dari semua ciptaan Tuhan. Semua ini harus dibangun

sejak diawalinya proses pertumbuhan dan perkembangan.

2) Peranan Keluarga Penting dalam Perkembangan Spiritual

Individu

Berbagai upaya yang dilakukan untuk mendidik, mengajari,

mempertahankan dan meningkatkan konsep sukses dalam

hidup, hal yang dapat diajarkan keluarga tentang Tuhan yaitu

seperti tentang kehidupan beragama, berperilaku kepada orang

lain, bahkan kehidupan untuk diri sendiri. Oleh karena itu

keluarga merupakan lingkungan terdekat dan dunia pertama

dimana individu menjadi mempunyai pandangan, pengalaman

terhadap dunia yang diwarnai oleh pengalaman dengan

keluarganya.
45

3) Latar Belakang Etnik dan Budaya

Sikap, keyakinan dan nilai budaya dipengaruhi oleh latar

belakang etnik dan sosial budaya, pada umunya seseorang akan

mengikuti tradisi agama dan spiritual keluarga, anaka belajar

pentingnya menjalankan kegiatan agama, termasuk nilai moral

dari hubungan keluarga dan peran serta dalam berbagai bentuk

kegiatan keagamaan.

4) Pengalaman Hidup Sebelumnya

Pengalaman hidup baik positif maupun negatif dapat

mempengaruhi spiritual seseorang dan sebaliknya juga

dipengaruhi oleh bagaimana seseorang mengartikan secara

spiritual pengalaman tersebut.

5) Krisis dan Perbuatan

Krisis dan perbuatan dapat menguatkan atau bahkan

melemahkan keadaan spiritual seseorang, tergantung sikap

positif atau negative yang biasa dikembangkan. Krisis sering

dialami Ketika seseorang mengahadapai penyakit, penderitaan,

proses, penuaan, kehilangan dan bahkan kematian. Keadaan ini

sering terjadi pada klien dengan penyakit terminal. Kronis atau

dengan prognosis yang buruk. Perubahan dalam kehidupan dan

krisis yang dihadapi tersebut merupakan pengalaman spiritual

yang bersifat fiscal dan emosional ( Toth dalam Yusuf dkk,

2017).
46

6) Terpisah dari Ikatan Spiritual

Menderita sakit terutama yang bersifat akut. Sering kali

membuat individu merasa terisolasi dan kehilangan kebebasan

pribadi dan sistem dukungan sosial. Kebiasaan hidup sehari-

hari juga berubah, antara lain tidak dapat menghadiri acara

resmi, mengikuti kegiatan keagamaan, atau tidak dapat

berkumpul dengan keluarga atau teman dekat yang bisa

memberikan dukungan setiap saat diinginkan.

7) Isu Moral Terkait dengan Terapi

Isu moral terkait dengan terapi masih terus berjalan,

meskipun sudah ada pemiahan, dan orientasi tang tegas dari

pengobatan modern dan pengobatan paradoksial, berlawanan

arah dengan pengobatan modern. Pengobatan modern berbasis

pada penemuan obat-obat baru, radiasi dan pembedahan.

Pengobatan paradoksial berbasis pada kombinasi energi tubuh,

spirit dan pikiran dengan unsur akhir keajaiban . kenyataannya

semua jenis pengobatan ini terus berjalan dan tetap

berkembang sesuai kerakter masyarakat dengan tokoh yang

mengembangkan.(Yusuf dkk, 2017)


47

F. Hubungan Kesejahteraan Spiritual Dengan Stigma Internal Pada

ODHA

ODHA yang mengalami stigma internal akan berdampak negatif

dan merugikan bagi individu seperti hilangnya kepercayaan diri, harga diri

dan penerimaan diri (Pratiwi, 2019). Dampak negatif dari stigma internal

tersebut sejalan dengan spiritual ODHA seperti mengalami kesepian dan

kehilangan kontrol kematian. Menurut Iqbal (2010) dalam Husna (2022)

rasa kedamain didalam diri, menghargai hidup marupakan bagian dari

kerakteristik kesejahteraan spiritual. Kesejahteraan spiritual adalah rasa

keharmonisan yang saling berdekatan antara diri dengan orang lain, alam

dan dengan kehidupan yang tertinggi. Rasa keharmonisan ini dicapai

ketika seseorang menemukan keseimbangan antara nilai, tujuan dan sistem

keyakinan individu dengan hubungan mereka didalam diri mereka sendiri

dan dengan orang lain (potter & perry, 2010 dalam Husna 2022).

Fisher (2010) menyatakan bahwa kesejahteraan spiritual memiliki

keseimbangan antara hubungan dengan dirinya, orang lain, lingkungan,

dan juga dengan tuhannya. Kesejahteraan spiritual mencerminkan sejauh

mana orang hidup dalam harmoninya yang berkaitan dengan makna.

Kesejahteraan spiritual dikaitkan dengan kesejahteraan terhadap

Tuhan dan sosial yang dimana melakukan gaya hidup yang agamais sesuai

perintah Tuhan, menjalin jaringan sosial spiritual, dan memiliki jiwa yang

optimis. Kesejahteraan spiritual memotivasi seseorang untuk mendapatkan

pengalaman religius dan spiritual dimana nantinya mencapai Kesehatan

fisik, dan terhindar dari kegelisahan diri sehingga tercapai hidup yang
48

berkualitas . Brouard (2006) menyatakan ODHA yang memiliki

spiritualitas baik mampu mengatasi masalah stigma internal yang

dihadapinya dan lebih Bahagia.


49

BAB III

KERANGKA KONSEPTUAL

A. Kerangka Teori

HIV adalah suatu penyakit yang dapat mengakibatkan kerusakan

sistem kekebalan tubuh, HIV (Human Immunodeficiency Virus) merupakan

penyakit kronis yang dapat dikontrol dengan pelayanan Kesehatan yang

tepat. Jika HIV tidak segera di obati perkembangan penyakit HIV akan

massuk pada tahap AIDS (Acquired immunodeficiency syndrome) (Black

dkk, 2014).

Beberapa masalah yang dialami oleh pasien dengan diagnosa

HIV/AIDS meliputi beberapa aspek seperti fisik, sosial, psikologi dan

spiritual. Menurut Nasrondin (2007) dalam Wulandari (2016) menyatakan

masalah fisik yang dialami ODHA seperti demam, faringitis, malaise, nyeri

kepala, mual, muntah, diare, anoreksi dan penurunan berat badan

penurunan sistem kekebalan tubuh dan banyak nya infeksi oportunistik

yang muncul akibat dari infeksi HIV. Dampak sosial stigma dan

diskriminasi (Jayani, 2020). Dampak psikologis yang dialami ODHA yaitu

stress, pandangan negatif pada diri sendiri dan kecemasan. Masalah

spiritual yang muncul adalah kesepian, kehilangan kontrol kematian.

(Paradita 2014 dalam Khasanah 2014).

Saat ODHA mengetahui statusnya ODHA sudah mulai memikirkan

respon fisik yang akan dialami dan respon lingkungan yang akan diterima

hal ini menjadi tekanan pada ODHA sehingga timbulnya Pandangan negatif
50

pada diri sendiri mengakibatkan ODHA merasa bersalah, marah dan tidak

berdaya, sehingga penilaian negatif yang diberikan oleh lingkungan dan

masyarakat menjadi stigma yang mudah diterima dan diterapkan oleh

ODHA untuk diri mereka sendiri. Sehingga timbulnya stigma internal pada

ODHA (Wulandari, 2016). Stigma intenal adalah stigma yang muncul dari

pribadi individu itu sendiri. Stigma individu mengacu pada kepercayaan

negatif terhadap dirinya. Stigma internal terjadi karena adanya stigma

eksternal yang diberikan dari masyarakat dapat mempengaruhi seseorang

untuk merasa bersalah dan tidak mencukupi tentang kondisinya yang

nantinya dapat menyebabkan perubahan persentasi perilaku (Corrigan,

2016 dalam Bili 2016).

Menurut Brouard (2006) faktor-fator yang dapat mempengaruhi

stigma internal pada ODHA adalah faktor sosial meliputi gender,

hemopobhia, membina perasaan tidak bersalah dan rasa bersalah, ras dan

kasta. Selanjutnya faktor konteks terdiri dari lingkungan yang mendukung,

dan kondisi hidup dan faktor diri sendiri meliputi status kesehatan,

penerimaan diri, spiritualitas, tingkat pendidikan dan ketahanan atau

resiliasi. Salah satu faktor diri sendiri yaitu spiritualitas. Spiritualitas adalah

konsep yang luas meliputi nilai, makna dan tujuan, menuju inti manusia

seperti kejujuran, cinta, peduli, bijaksana, penguasaan diri dan rasa kasih

sayang (Yusuf dkk, 2017). Ketika ODHA memiliki spiritualitas baik

terbukti lebih baik dalam mengatasi masalah dan lebih Bahagia (Syahrina

dkk, 2018). Spiritualitas dibagi menjadi 4 bagian yaitu spiritual general,

kebutuhan spiritual, koping spiritual, dan kesejahteraan spiritual. Dimensi


51

spiritual dapat menumbuhkan kekuatan yang timbul diluar kekuatan

manusia (Murwani, 2020). Kesejahteraan spiritual merupakan bagian dari

spiritualitas. Kesejahteraan spiritual adalah keharmonisan, saling kedekatan

antara diri dengan orang lain, alam dan dengan kehidupan yang tertinggi.

Rasa keharmonisan ini dicapai Ketika seseorang menemukan

keseimbangan antara nilai, tujuan, dan sistem keyakinan mereka dengan

hubungan mereka di dalam diri mereka sendiri dan dengan orang lain.

(Asy’arie dalam Yusuf dkk, 2017).

Berdasarkan uraian diatas maka kerangka konsep teori penelitian ini

adalah sebagai berikut :


52

Dampak HIV/AIDS
Fisik (demam, faringitis, melaise, nyeri kepala,
mual, muntah, diare,, anoreksia, penurunan
HIV (Human Immunodeficiency berat badan, infeksi oportunistik
Virus) Sosial (adanya stigma negatif dan diskriminasi)
AIDS (Acquired immunodeficiency Spiritual (kehilangan kontrol kematian)
syndrome)
Psikologi (stress, pandangan negative terhadap
diri sendiri, kecemasan)

Faktor-faktor yang mempengaruhi Stigma Internal :


Stigma
Faktor sosial (gender, hemophobia, membina
perasaan tidak bersalah dan rasa bersalah, ras
dan kasta)
Faktor konteks (lingkungan yang mendukung Stigma internal
dan kondisi hidup)
Faktor diri sendiri (status Kesehatan,
penerimaan diri, spiritualitas, tingkat Aspek Spiritualitas
Pendidikan dan ketahanan).
Spiritual general
Kebutuhan spiritual
Koping spiritual
Kesejahteraan
spiritual

Skema 3.1 Kerangka Teori

Sumber : Wulandari (2016), Jayani (2020), Paradita (2014), Khasanah


(2014), Brouard (2006), Yusuf (2017).
53

B. Kerangkan Konsep

Variabel Independen Variabel Dependen

Kesejahteraan Spiritualitas
Stigma internal

Skema 3.2

Kerangka Konsep

C. Hipotesa

Ha : Apakah ada hubungan antara kesejahteraan spiritual dengan

stigma internal Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) di Klinik Voluntary

Conseling And Testing RSUP M. Djamil Padang.


54

BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan Desain penelitian deskriptif analitik

yang bertujuan untuk memebrikan gambaran mengenai masing-masing

variabel dan mengetahui hubungan anatara variabel dependen dan variabel

independen. Pendekatan yang digunakan adalah cross sectional yaitu suatu

metode penelitian yang mengukur pengamatan variabel dependen dan

variabel independen dilakukan bersamaan (Notoadmojo, 2017). Dalam hal

ini peneliti ingin mengetahui hubungan kesejahteraan spiritual dengan

stigma internal pada Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) di Klinik

Voluntary Conseling And Testing di RSUP Dr. M. Djamil Padang.

B. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Desember – Juli 2023.

Pengumpulan data dilakukan pada bulan Mei 2023.

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan objek penelitian yang akan diteliti

(Notoadmojo, 2017). Populasi dalam penelitian ini adalah semua orang

dengan HIV/AIDS yang aktif berobat di Klinik Voluntary Conseling


55

And Testing RSUP Dr. M. Djamil Padang yaitu berjumlah 478 orang

pada bulan Februari 2023.

2. Sampel

Sampel adalah bagian yang diambil dari keseluruhan objek yang

diteliti dan dianggap mewakili populasi (Notoadmojo, 2017).

Menurut Notoadmojo, besaran sampel ditentukan dengan

menggunakan rumus :

n=

Keterangan:

n = Jumlah sampel

N = Besar Populasi

d = Presisi yang ditetapkan 0,12 = 0,01

jumlah sampel pada penelitian ini berdasarkan rumus diatas :

n=

n=

n=

n=
56

n = 82,69

n = 83

Berdasarkan rumus, maka jumlah sampel penelitian ini adalah 83

orang Adapun kriteria sampel yang ditetapkan dalam penelitian ini adalah:

1) Kriteria Inklusi merupakan kerakteristik yang ditetapkan peneliti

untuk mewakili subjek penelitian. Kriteria inklusi sampel dalam

penelitian ini sebagai berikut :

a. Pasien HIV/AIDS yang aktif berobat di Klinik Voluntary

Conseling And Testing RSUP Dr. M. Djamil Padang

b. Pasien HIV/AIDS yang aktif berobat memiliki kesadaran

penuh dan bisa diajak berkomunikasi dengan baik

c. Pasien HIV/AIDS yang aktif berobat bersedia menjadi

responden dan menandatangani inform consent.

2) Kriteria eksklusi merupakan kerakteristik yang mengeluarkan

subjek dari penelitian. Kriteria eksklusi dalam penelitian ini

adalah:

a. Mengalami ketidaknyamanan fisik yang memperberat

(seperti nyeri, pusing, atau lainnya) sehingga tidak

memungkinkan untuk responden melanjutkan penelitian.

b. Pasien HIV/AIDS yang tidak mampu berkomunikasi dengan

baik

3. Teknik Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan

accidental sampling yaitu dilakukan dengan mengambil responden


57

yang kebetulan ada atau tersedia di suatu tempat sesuai dengan konteks

penelitian (Notoadmojo, 2017). Pada penelitian ini pemilihan sampel

sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi peneliti.

Pengambilan sampel dilakukan dengan cara meminta data

jumlah ODHA yang aktif berobat melalui pihak Klinik Voluntary

Conseling And Testing RSUP Dr. M. Djamil Padang sebanyak 478

orang. Sampel yang akan digunakan dalam peneitian ini adalah 83

orang dengan menggunakan Teknik accidental sampling. Dalam

pengambilan sampel peneliti meminta bantuan dan menjelaskan

kepada enumerator dalam menyeleksi responden sesuai dengan kriteria

inklusi dan eksklusi peneliti.

D. Variabel dan Defenisi Operasional

1. Variabel

Variabel yang digunakan adalah variabel independen atau

variabel bebas dalam penelitian ini adalah kesejahteraan spiritual,

sedangkan varibel dependen atau variabel terikat dalam penelitian ini

adalah stigma internal pada ODHA di RSUP Dr. M. Djamil Padang.

2. Definisi Operasional

Tabel 4.1 Definisi Operasional

No Variabel Definisi Alat Ukur Cara Hasil Skala


Operasional Ukur Ukur Ukur
1. Kesejahte Rasa Kuisioner SWBQ Wawancar Baik : Ordinal
raan keharmonisan (Spiritual Well Being a skor <
spiritual dan Questionnaire) dengan terpimpin mean
(variabel keseimbangan jumlah pertanyaan 20 (39,16)
independ yang dimiliki dengan menyatakan Buruk :
en) ODHA dalam jawaban skor ≥
hidupnya yang Selalu = 1 mean
saling Sering = 2 (39,16)
58

berdekatan Kadang-Kadang = 3
antara dirinya Tidak pernah = 4
sendiri, orang
lain,
lingkungan,
dan juga
dengan
Tuhannya
2. Stigma Persepsi Kuisioner BHSC Wawancar Stigma Ordinal
internal negatif yang (Barger HIV Stigma a internal
(variabel bersumber dari Scale) terpimpin tinggi :
dependen respon Dengan jumlah skor ≥ 75
) emosional pertanyaan 25 Stigma
seseorang pertanyaan dengan internal
terhadap menyatakan jawaban rendah :
penyakit, yang Sangat tidak setuju = 1 skor < 75
dapat Tidak setuju = 2
menyebabkan Kurang setuju = 3
perubahan Setuju = 4
perasaan takut Sangat Setuju = 5
dan respon
kriminal.
Paling buruk ,
dapat
memeiliki efek
destruktif dan
menyebabkan
penurunan
kualitas hidup.
Harga diri
rendah dan
berkurangnya
penggunaan
layanan
kesehatan

E. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian merupakan alat bantu bagi peneliti dalam

mengumpulkan data (Nursalam, 2015). Instrumen yang digunakan dalam

penelitian ini menggunakan 2 instrumen yaitu :

1. Spiritual Well Being Questionnaire (SWBQ)


59

Alat ukur yang digunakan pada pengukuran kesejahteraan

spiritual adalah Spiritual Well Being Quisioner (SWBS). Alat

ukur ini sudah dibuktikan atau diuji oleh Fisher (2012) yang

terdiri dari4 domain yaitu hubungan dengan diri sendiri

rehabilitas α = 0.84 orang lain reabilitas α = 0,86, lingkungan

reabilitas α = 0,85 dan hubungan dengan tuhan reabilitas α =

0,95. Hasil uji reabilitas dari alat ukur SWBQ didapatkan

korelasi item dengan skor total berkisar antara r = 0,572 –

0,861 dan dengan demikian dinyatakan valid dalam mengukur

kesejahteraan spiritual (B.B Fisher, 2012). Hasil ukur yang

diperoleh kesejahteraan spiritual baik jika skor < mean (39,16)

dan kesejahteraan spiritual buruk jika skor ≥ mean (39,16).

2. Berger HIV Stigma Scale (BHSC)

Instrumen yang digunakan untuk mengukur stigma internal

pada ODHA adalah kuisioner modifikasi Berger HIV Stigma

Scale yang sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia

dan diuji validitas dan reliabilitasnya oleh Nurdin (2013).

Kuesioner ini terdiri dari 25 item dengan menggunakan skala

likert. Masing-masing dari pertanyaan tersebut terdapat 5

alternatif jawaban dengan skala yaitu 1 = sangat tidak setuju,

2 = tidak setuju, 3 = kurang setuju, 4 = setuju, 5 = sangat

setuju. Uji validitas dan reliabilitas kuesioner Berger HIV

Stigma Scale versi bahasa Indonesia yang terdiri dari 25 item


60

didapat nilai Cronbach Alpha 0,93. Hasil ukur yang diperoleh

Stigma tinggi jika skor ≥ 75, Stigma rendah jika skor < 75.

F. Etika Penelitian

Masalah etika dalam penelitian keperawatan adalah masalah yang

sangat penting dalam penelitian, mengingat keperawatan akan

berhubungan langsung dengan manusia , maka dari etika penelitian harus

diperhatikan karena manusia mempunyai hak asasi dalam kegiatan

penelitian. Setelah mendapatkan persetujuan dari responden maka barulah

penenlitian mampu memperhatikan etika-etika dalam melakukan

penelitian menurut Notoadmojo (2018) yaitu :

1. Menghormati atau mengahargai subjek

2. Non maleficience (Tidak Merugikan)

Sebelum melakukan penelitian responden akan diberikan

penjelasan tentang tujuan penelitian. Responden juga telah

mendapatkan penjelasan bahwa penelitian tidak akan

membahayakan atau tidak akan menimbulkan dampak yang

merugikan.

3. Autonomy

Peneliti akan meminta persetujuan kepada calon responden

apakah bersedia menjadi subjek penelitian dengan diberikan

inform consent. Penjelasan inform consent ini mencangkup

penjelasan judul penelitian yaitu hubungan kesejahteraan

spiritual dengan stigma internal Orang Dengan HIV/AIDS

(ODHA) di Klinik Voluntary Conseling And Testing RSUP Dr.


61

M. Djamil Padang, beserta tujuan dan manfaat penelitian.

Calon responden berhak menentukan apakah bersedia menjadi

subjek penelitian dan tidak ada paksaan atau tekanan tertentu.

4. Confidentiality (Kerahasiaan)

Peneliti akan menjaga privasi dan kerahasiaan responden

dengan tidak membuka informasi dari responden kepada orang

lain. serta penelitian juga tidak menampilkan informasi

mengenai identitas responden seperti nama dan dengan cara

membentuk inisial responden.

5. Beneficience (Berbuat Baik)

Peneliti menjelaskan tentang keuntungan apabila responden

berpartisipasi dalam penenlitian ini, yaitu untuk mengetahui

apakah kesejahteraan spiritual dapat mempengaruhi stigma

internal Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA).

6. Justice (Keadilan)

Peneliti akan berlaku adil kepada setiap responden dengan

memperlakukan setiap responden sama dengan

mempertimbangkan perlakuan yang sama dalam waktu yang

sama.

7. Uji Etik

Peneliti memastikan setiap penelitian yang dilakukan sesuai

dengan prinsip etika dalam penelitian dan memiliki negatif

consequence kepada subjek penelitian sekecil mungkin.


62

Sebelum melakukan penelitian, peneliti melakukan uji etik

dengan pengisian form yang sudah ditentukan sebagai syarat

untuk mendapatkan izin penelitian yang dilakukan di Klinik

Voluntary Conseling And Testing RSUP Dr. M. Djamil Padang.

G. Teknik Pengumpulan Data

1. Jenis data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yang

dikumpulkan mencangkup data yang diperoleh dari pengumpulan

kuisioner kesejahteraan spiritual dan stigma internal pada Orang

Dengan HIV/AIDS (ODHA) yang aktif berobat di Klinik Voluntary

Conseling And Testing RSUP Dr. M. Djamil Padang.

2. Langkah-langkah pengumpulan data

1. Tahap persiapan

1) Peneliti mengajukan surat permohonan rekomendasi izin

penelitian pada institusi Pendidikan STIKes

MERCUBAKTIJAYA Padang.

2) Peneliti memasukkan surat permohonan ke Diklat RSUP Dr.

M. Djamil Padang dan tebusan pada kabag Diklat RSUP Dr.

M. Djamil Padang. Kemudian mendapatkan surat izin untuk

pengambilan data direkam medis Klinik Voluntary Conseling

And Testing RSUP Dr. M. Djamil Padang.

3) Setelah mendapatkan izin penelitian, peneliti memperkenalkan

diri serta meminta izin kepada kepala poli untuk melakukan


63

survey awal di Klinik Voluntary Conseling And Testing RSUP

Dr. M. Djamil Padang.

4) Peneliti menjelaskan maksud dan tujuan penelitian

5) Setelah mendapatkan izin kepala poli peneliti dapat

mengambil data awal dari Diklat RSUP. Dr. M. Djamil

Padang dan melakukan survey awal.

6) Peneliti kemudian akan konfirmasi ulang untuk pengambilan

data calon responden sesuai dengan Teknik pengambilan

sampel dan ketetapan jumlah sampel yang diambil.

7) Selanjutnya peneliti akan mengurus surat etik penelitian

sebelum memulai penelitian

8) Setelah surat etik penelitian selesai, peneliti akan mengurus

surat untuk memulai penelitian di Diklat RSUP. Dr. M. Djamil

9) Peneliti berencana selama pengumpulan data akan dibantu

oleh satu orang enumerator agar mempermudah melakukan

pengumpulan data.

10) Kemudian peneliti akan merencanakan penyamaan persepsi

dengan enumerator sebelum mandatangi responden.

2. Tahap Pelaksanaan

1) Peneliti mengunjungi poliklinik Voluntary Conseling And

Testing di RSUP Dr. M. Djamil Padang, peneliti meminta izin

petugas poliklinik Voluntary Conseling And Testing untuk

melihat rekam medis berapa banyak status pasien HIV/AIDS


64

yang aktif menjalani pengobatan pada saat hari penelitian,

peneliti memilih responden sesuai kriteria inklusi dengan cara:

a. Pasien HIV/AIDS yang aktif berobat di Klinik Voluntary

Conseling And Testing RSUP Dr. M. Djamil Padang

b. Pasien HIV/AIDS yang aktif berobat memiliki kesadaran

penuh dan bisa diajak berkomunikasi dengan baik

c. Pasien HIV/AIDS yang aktif berobat bersedia menjadi

responden dan menandatangani inform consent

peneliti juga memperhatikan apakah responden termasuk

kedalam kriteria eklusi dengan cara :

a. Mengalami ketidaknyamanan fisik yang memperberat

(seperti nyeri, pusing, atau lainnya) sehingga tidak

memungkinkan untuk responden melanjutkan penelitian.

b. Pasien HIV/AIDS yang tidak mampu berkomunikasi

dengan baik.

2) Peneliti memperkenalkan diri dan menjelaskan kepada

responden tentang penelitian yang dilakukan, dan tujuan

penelitian kepada responden, kemudian peneliti meminta

persetujuan responden dan meminta tanda tangan responden.

3) Peneliti melakukan wawancara terpimpin kepada setiap

responden tentang kesejahteraan spiritual dan stigma internal.

4) Tahap terminasi

5) Setelah melakukan penelitian, peneliti memberikan

reinforcement positif kepada responden


65

6) Peneliti mengucapkan terima kasih kepada responden atas

ketersediaannya untuk ikut serta dalam penelitian.

H. Alur Penelitian

Mulai Mengajukan Mengurus surat penelitian dari


Judul kampus

Mengunjungi Mengajukan surat


Klinik permohonan izin
Survey awal penelitian ke
Voluntary
Diklat RSUP Dr.
Conseling And
M. Djamil Padang
Testing

Identifikasi
rumusan Identifikasi Identifikasi
masalah penentuan tujuan Batasan masalah
masalah
Inform consent wawancara Pemilihan sampel sesuai
tentang kesejahteraan spiritual kriteria inklusi dan ekslusi
dan stigma internal

Pengolahan dan Analisa data Selesai

Skema 4.2 Alur Penelitian

I. Teknik Pengolahan Data

Setelah data penelitian terkumpul, kemudian dilakukan proses

pengelolaan data tahap-tahap berikut :

1. Pemeriksaan data (editing)


66

Setelah melakukan penelitian dan mendapatkan data yang

diperlukan, peneliti memeriksa Kembali data kelengkapan

data yang diperoleh sesuai dengan variabel yang diteliti dan

telah lengakp. Seperti kelengkapan pengisian, konsistensi,

pengisian setiap jawaban kuisioner. Jika ditemukan data tidak

lengkap peneliti mengambil data Kembali untuk melengkapi

data penelitian.

2. Pengkodean data (coding)

Setelah memperoleh semua lembar kuisioner sudah terisi

dan memperoleh data kesejahteraan spiritual dan stigma

internal pada Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) yang aktif

menjalani pengobatan, dari hasil wawancara terpimpin dengan

menggunakan kuisioner kesejahteraan spiritual sebagai alat

ukur Spiritual Well Being Quisioner (SWBQ) dan Barger HIV

Stigma Scale (BHSC) sebagai alat ukur stigma internal dan

kelengkapannya. Kemudian peneliti akan memberikan kode

untuk lebih memudahkan pengolahan data serta Analisa

kesejahteraan spiritual dan stigma internal :

Variabel kesejahteraan spiritul

1. 1 = < mean 39,16 (Baik)

2. 2 = ≥ mean 39,16 (Buruk)

Variabel stigma internal

1. 1 = ≥ 75 (Tinggi)

2. 2 = < 75 (Rendah)


67

3. Memasukkan data (entry data)

Selanjutnya setelah data diisi dengan benar, peneliti

memasukkan data kedalam master tabel yang telah disiapkan

guna memudahkan peneliti dalam mengolah data, setelah itu

akan dimasukkan kedalam program komputerisasi untuk

diolah. Jika ditemukan kesalahan saat pengisian data peneliti

melakukan perbaikan dan double check dalam entry data.

4. Mentabulasi data (tabulating)

Data yang sudah selesai dimasukkan pada master tabel,

selanjutnya di tabulasi secara komputerisasi untuk

menganalisa data univariat dan bivariat, penyajian data dalam

bentuk table yang bertujuan memudahkan dalam pengamatan

dan evaluasi. Jika ditemukan kesalahan Analisa univariat dan

bivariat maka peneliti melakukan pengecekan ulang pada data

yang sudah dimasukkan kedalam tabel.

5. Membersihkan data (cleaning)

Data yang sudah dikelompokkan sesuai dengan variabel

selanjutnya peneliti melakukan pemeriksaan Kembali untuk

memastikan data bersih dari terjadinya kesalahan data. Jika

ditemukan kesalahan maka pengecekan di ulang Kembali

untuk melihat missing, variasi dan konsistensi data agar

seluruh data yang di entry terbebas dari kesalahan.

J. Analisa Data
68

Setelah semua data terkumpul maka Langkah selanjutnya adalah

menganalisis data, analisis data dalam penelitian ini menggunakan teknik

sebagai berikut.

1. Analisa Univariat

Analisa univariat bertujuan untuk menjelaskan kerakteristik

setiap variabel. Bentuk Analisa univariat tergantung dari jenis

datanya. Pada kategori data yang hanya menggunakan

distribusi frekuensi dengan ukuran presentase pada semua

variabel independen dan varibel dependen. Analisa univariat

dilakukan untuk melihat distribusi frekuensi masing-masing

variabel.

2. Analisa Bivariat

Analisa bivariat yang dilakukan terhadap dua variabel

yang diduga berhubungan atau berkorelasi, bertujuan untuk

membuktikan hipotesis yang telah dirumuskan ( Notoadmojo,

2010). Analisis bivariat dilakukan untuk melihat hubungan

antara variabel bebas (kesejahteraan spiritual) dan variabel

terikat (stigma internal pada Orang Dengan HIV/AIDS

(ODHA)) dengan melakukan uji chi square dengan derajat

kemaknaan 95%. Pada penelitian ini aturan chi-square yang

digunakan adalah uji person chi square. Interpretasi jika p ≤

0,05 berarti HO ditolak dan HA diterima artinya ada hubungan

antara variabel dependen dengan variabel independen. Jika p >


69

0,05 artinya ada hubungan antara variabel independen dengan

variabel dependen.

DAFTAR PUSTAKA

BLACK, JOYCE M. 2014. Keperawatan Medikal Bedah Manajemen Klinis

Untuk Hasil Yang Diharapkan. 8th ed. edited by S. K. Ns. Aklia Suslia et al.

Elsevier: SALEMBA MEDIKA.

Brouard, Pierre. 2006. A Closer Look: The Internalization Of Stigma Related To

HIV. Pennsylvania: USAID.

Daramatasia, Wira. 2020. “PERCEIVED STIGMA ORANG DENGAN HIV /

AIDS ( ODHA ) PADA KELOMPOK DUKUNGAN SEBAYA DI JCC +

JOMBANG.” (Ciastech):1015–24.

Edison, Chiyar. 2021. “Pengalaman Aktivitas Spiritual Pada Orang Dengan HIV /
70

AIDS ( ODHA ) Dalam Menjalani Proses Penyakitnya Spiritual Activities

Experience of People Living with HIV / AIDS ( PLWH ) in the Disease

Process.” 8(3):216–22.

Husna, Alfi. 2022. “Hubungan Kesejahteraan Spiritual Dengan Self Care

Behavior Pada Pasien Hipertensi Di Puskesmas Air Dingin.”

Jayani, Indah. 2020. “Pengaruh Pendekatan Melalui Konseling Interpersonal

Terhadap Respon Sosial, Emosional Dan Spiritual Pada Pasien Hiv/Aids.”

Care : Jurnal Ilmiah Ilmu Kesehatan 8(1):62. doi: 10.33366/jc.v8i1.1464.

Khasanah, Nur. 2014. “Dampak Ekonomi , Sosial Dan Psikologi Hiv / Aids Pada

Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) Di Kabupaten KEBUMEN.” STIE Putra

Bangsa Kebumen 630–45.

Kurniyanti, Mizam Ari. 2021. “Hubungan Stigma Diri Dengan Kepatuhan Minum

Obat Arv Pada Orang Dengan Hiv/Aids (Odha).” Jurnal Ilmiah Kesehatan

Media Husada 10(1):42–51. doi: 10.33475/jikmh.v10i1.249.

Munthe, Dewi Sartika. 2022. “Hubungan Tingkat Spiritual Dengan Kualitas

Hidup Orang Dengan Hiv/Aids (Odha).” Jurnal Keperawatan Priority

5(1):124–31. doi: 10.34012/jukep.v5i1.2142.

Murwani, Wara Gati. 2020. “Hubungan Tingkat Spiritualitas Dengan Tingkat

Kualitas Hidup Pasien HIV/AIDS Di Poliklinik VCT RSUD Dr. Moewardi

Surakarta.” Aisyiyah Surakarta Journal of Nursing 2:1–6.

Pakpahan, Romauli. 2021. KUALITAS HIDUP PASIEN HIV/AIDS. Jawa Tengah:

CV Amerta Media.
71

SIHA. 2022. “LAPORAN EKSEKUTIF PERKEMBANGAN HIV AIDS DAN

PENYAKIT INFEKSI MENULAR SEKSUAL (PIMS) TRIWULAN I

TAHUN 2022.” Kemkes.Go.Id. Retrieved January 25, 2023

(https://siha.kemkes.go.id).

Syahrina, Isna Asyri. 2018. “Stigma Internal Hubungannya Dengan Interaksi

Sosial Orang Dengan HIV/AIDS Di Yayasan Taratak Jiwa Hati Padang.”

Jurnal Fakultas Psikologi Universitas Wisnuwardhana Malang 22(1):1–17.

UNAIDS. 2022. “Global HIV & AIDS Statistics — Fact Sheet.” Unaids.Org.

Retrieved January 25, 2023 (https://www.unaids.org/en/frequently-asked-

questions-about-hiv-and-aids).

Wulandari, Ning Arti. 2016. ASUHAN KEPERAWATAN PADA ODHA ( ORANG

DENGAN HIV/AIDS). Malang: Media Nusa Creative.

Yusuf, Ah. 2017. KEBUTUHAN SPIRITUAL KONSEP DAN APLIKASI DALAM

ASUHAN KEPERAWATAN. Jakarta: Mitra Wacana Media.

Anda mungkin juga menyukai