Anda di halaman 1dari 65

PROPOSAL SKRIPSI

ANALISIS FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN SELF


ACCEPTANCE PENDERITA HIV DAN AIDS DALAM KELOMPOK
DUKUNGAN SEBAYA (KDS) BERDASARKAN TEORI HEALTH
BELIEF MODEL

Oleh:

1. Wiwin dwi p
2. Anggie N.L
3. Bagus Ponco
4. Yeti pitasari
5. Desi arista
6. Ayu wulansari
7. Dhika hariya
8. Eva lusiana
9. Rizki ardiansah
10. Edo anggara

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
BINA SEHAT PPNI
MOJOKERTO
2018
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masalah HIV dan AIDS menjadi masalah kontemporer yang berkaitan

dengan perilaku berisiko manusia. Masalah HIV dan AIDS bukanlah masalah

kesehatan semata, tetapi juga sebagai masalah sosial yang berkaitan dengan relasi

seseorang dengan lingkungannya dan permasalahan dari berbagai aspek seperti

ekonomi, budaya, dan politik sehingga orang dengan HIV dan AIDS (ODHA)

menjadi permasalahan yang perlu diperhatikan (Miller 2007). Perubahan yang

terjadi di dalam diri dan di luar diri ODHA membuat mereka memiliki persepsi

yang negatif tentang dirinya dan mempengaruhi perkembangan konsep dirinya.

ODHA cenderung menunjukkan bentuk-bentuk reaksi sikap dan tingkah laku

yang salah. Hal ini disebabkan ketidakmampuan ODHA menerima kenyataan

dengan kondisi yang dialami.

Seseorang yang baru mengetahui statusnya sebagai ODHA, cenderung

tidak menerima dirinya sendiri yang telah menjadi seorang orang dengan HIV dan

AIDS. Sumber penerimaan diri salah satunya bisa didapatkan dalam kelompok

dukungan melalui kegiatan yang dilakukan dalam kelompok, tetapi tidak semua

ODHA yang telah tergabung dalam kelompok dukungan bisa menerima statusnya.

Hasan (2008) mengungkapkan bahwa para ODHA memiliki tiga faktor utama

sebagai tantangan yaitu menghadapi reaksi terhadap penyakit yang mengandung

stigma, kemungkinan waktu kehidupan yang terbatas serta harus mengembangkan

strategi untuk mempertahankan kondisi fisik dan emosi. Menurut Astuti (2008)

99% penderita HIV dan AIDS mengalami

1
2

stress berat, dimana pada saat mengetahui dirinya mengidap penyakit AIDS

banyak ODHA yang tidak bisa menerima kenyataan bahwa dirinya tertular HIV,

sehingga menimbulkan depresi dan kecenderungan bunuh diri pada ODHA

(Astuti 2008).

Jumlah kasus HIV dan AIDS di dunia pada tahun 2014 terdapat 35 juta

penderita dan meningkat pada tahun 2015 sehingga berjumlah 36,7 juta (WHO,

2016). Indonesia pada tahun 2012 terdapat 21.511 kasus HIV dan 5.686 kasus

AIDS. Hampir seluruh wilayah provinsi di Indonesia tidak ada yang bebas dari

HIV dan AIDS, hal ini sesuai dengan data Kementrian Kesehatan RI (2014) yang

menjelaskan situasi kasus HIV dan AIDS di Indonesia sejak pertama kali

ditemukan sampai dengan Desember 2012. Estimasi dan proyeksi jumlah Orang

Dengan HIV dan AIDS (ODHA) menurut populasi beresiko dimana jumlah

ODHA di populasi wanita resiko rendah mengalami peningkatan dari 190.349

kasus pada tahun 2011 menjadi 279.276 kasus di tahun 2016. Di Provinsi Jawa

Timur pada tahun 2012 terdapat 15.124 ODHA pada populasi wanita resiko

rendah dan Kota Surabaya terdapat pada urutan pertama yaitu 4.447 wanita resiko

rendah. Peningkatan jumlah kasus HIV dan AIDS yang terjadi di seluruh wilayah

Indonesia membuat perlu terus dilakukannya upaya penanggulangan dan

pencegahan penyebaran guna mengurangi peningkatan kembali jumlah kasus,

baik oleh Departemen atau Instansi atau Lembaga pemerintahan, Swasta, LSM

maupun kelompok masyarakat sesuai peran dan tugas pokoknya masing-masing.

(Komisi Penanggulangan AIDS 2011).

Hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti pada tanggal 6 April 2017

pada Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) Yayasan Mahameru Surabaya, dari 10


3

orang penderita yang telah diwawancarai didapatkan 6 dari 10 orang dengan

mekanisme koping dan penerimaan diri yang negatif (60%) menganggap dirinya

tidak berguna, masih belum menerima kenyataan yang dihadapi, serta tidak

memiliki keyakinan dalam mengatasi masalah kesehatan, dan 4 orang dengan

mekanisme koping dan penerimaan diri yang positif (40%) dengan mengatakan

mempunyai rasa percaya diri yang tinggi, memiliki keyakinan akan kemampuan

dirinya, dan tidak menyalahkan diri sendiri. Hasil dari studi pendahuluan yang

didapatkan tersebut menunjukkan bahwa sampai saat ini belum diketahui faktor-

faktor yang berhubungan dengan self acceptance terhadap orang dengan HIV dan

AIDS dalam kelompok dukungan sebaya.

Berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Sandu, et al

(2016) yang dilakukan di Kelompok Dukungan Sebaya Kota Kediri didapatkan

bahwa sebagian besar ODHA memiliki mekanisme koping yang negatif yaitu

sebanyak 18 responden dengan presentase (60%). Penderita HIV sangat mudah

merasa bersalah dan menerima penolakan dari sekitarnya, hal ini disebabkan

karena anggapan bahwa tingkah laku mereka terutama tingkah laku seksual dapat

membahayakan orang lain.

Sumber self acceptance bisa didapatkan dalam kelompok dukungan

melalui kegiatan yang dilakukan dalam kelompok, dukungan yang baik akan

bersikap optimis dan bisa menerima status dirinya yang sekarang serta

bersemangat mengisi kehidupannya. Dukungan untuk seseorang dengan HIV dan

AIDS bisa didapatkan di Kelompok Dukungan Sebaya (KDS). KDS merupakan

suatu kelompok yang terdiri dari dua atau lebih orang yang terinfeksi atau

terpengaruh langsung oleh HIV berkumpul dan saling mendukung (Kementrian


4

Kesehatan RI 2014). Self acceptance diharapkan akan meningkat setelah

bergabung dalam KDS karena didalamnya terdapat kegiatan yang berhubungan

dengan pengetahuan tentang HIV, interaksi sosial antar anggota, memberikan

kesempatan untuk berbagi pengalaman dan perasaan, serta dapat memberikan

dukungan emosional. Saat self acceptance yang baik tercapai, seseorang akan

memiliki keyakinan untuk mampu melakukan dan berusaha dengan baik dalam

hal-hal yang harus dilakukannya sehingga dapat mencapai derajat kesehatan

(Heather 2001). Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya self acceptance

menurut Hurlock (1999) yaitu pemahaman, hal realisitis, lingkungan, psikologis,

keyakinan akan tujuan hidup, penyesuaian diri, dan perspektif diri.

Strategi dalam penerimaan diri terhadap penderita HIV dan AIDS dapat

diteliti dengan menggunakan pendekatan teori Health Belief Models (HBM) yang

mengemukakan bahwa persepsi seorang individu tentang penyakitnya akan

mempengaruhi perilaku kesehatan. Teori ini berfokus pada persepsi subjektif

seseorang diantaranya: persepsi seseorang terhadap kerentanan tertular penyakit

(perceveid susceptibility) yaitu penyakit HIV dan AIDS; persepsi seseorang

terhadap keseriusan suatu penyakit (perceveid severity) seperti kematian; persepsi

positif terhadap perilaku pencegahan (perceveid benefit); dan perilaku negatif

terhadap perilaku pencegahan (perceveid barriers) yang kesemuanya dapat

dipengaruhi oleh faktor pemodifikasi berupa umur, jenis kelamin, tingkat

pendidikan, pekerjaan, pengetahuan, dan dukungan. Keempat persepsi tersebut

dimungkinkan dapat menjadi faktor yang mempengaruhi penerimaan diri pada

penderita HIV dan AIDS.


5

Berdasarkan masalah diatas, peneliti ingin mengetahui faktor-faktor yang

berhubungan dengan self acceptance terhadap penderita HIV dan AIDS dalam

kelompok dukungan sebaya menggunakan pendekatan Teori Health Belief Model

(HBM). Temuan ini akan sangat bermakna sebagai informasi dalam rangka

peningkatan self acceptance yang akan berimplikasi pada status kesehatan

seseorang dengan HIV dan AIDS.

1.2 Rumusan Masalah

Faktor apa sajakah yang berhubungan dengan self acceptance terhadap

penderita HIV dan AIDS dalam Kelompok Dukungan Sebaya?

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan Umum

Menganalisis faktor yang berhubungan dengan self acceptance terhadap

penderita HIV dan AIDS dalam Kelompok Dukungan Sebaya berbasis teori

Health Belief Model.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Menganalisis hubungan faktor demografi dengan persepsi individu

2. Menganalisis hubungan persepsi individu (kerentanan, keseriusan,

manfaat, hambatan) dengan self acceptance penderita HIV dan AIDS

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan ilmu keperawatan

imun dan hematologi terkait HIV dan AIDS dengan menjelaskan faktor-faktor
6

yang berhubungan dengan self acceptance terhadap penderita HIV dan AIDS

dalam kelompok dukungan sebaya berbasis teori Health Belief Model (HBM)

1.4.2 Manfaat Praktis

1. Bagi penderita HIV dan AIDS

Diharapkan dapat bergabung dengan Kelompok Dukungan Sebaya

(KDS) dan mengikuti kegiatannya secara rutin dan berkala

2. Bagi Kelompok Dukungan Sebaya (KDS)

Diharapkan dapat memberikan pengetahuan, pengalaman, serta

dukungan kepada sesama ODHA

3. Bagi perawat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan edukasi serta

pendampingan pada penderita HIV positif sebagai upaya meningkatkan

self acceptance

4. Bagi tim layanan kesehatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan perawatan secara

holistic dan komprehensif kepada penderita HIV positif dan dapat

memberikan layanan serta dukungan yang baik bagi penderita HIV

positif
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Self Acceptance

2.1.1 Pengertian self acceptance

Self Acceptance (penerimaan diri) merupakan suatu kemampuan individu

untuk dapat melakukan penerimaan terhadap keberadaan diri sendiri. Hal ini

didasarkan pada kepuasan individu atau kebahagiaan individu mengenai dirinya

serta berpikir mengenai kebutuhannya untuk memiliki mental yang sehat. Sikap

penerimaan diri dapat dilakukan secara realistis, tetapi juga dapat dilakukan

secara tidak realistis (Hurlock 1999 dalam Agoes 2005). Penerimaan diri dapat

diartikan sebagai suatu sikap memandang diri sendiri sebagaimana adanya dan

memperlakukannya secara baik disertai rasa senang serta bangga dan terus

mengusahakan kemajuannya. Menerima diri sendiri perlu kesadaran dan kemauan

untuk melihat fakta yang ada pada diri, baik fisik maupun psikis, sekaligus

kekurangan dan ketidaksempurnaan tanda ada rasa kecewa, tujuannya untuk

merubah diri menjadi lebih baik.

Chaplin (2005) mengemukakan bahwa self acceptance adalah sikap yang

pada dasarnya merasa puas dengan diri sendiri, kualitas dan bakat yang ada pada

dalam diri, serta pengetahuan-pengetahuan akan keterbatasan diri. Penerimaan diri

ini mengandaikan adanya kemampuan diri dalam psikologis seseorang yang

menunjukkan kualitas diri, hal ini dapat diartikan bahwa tinjauan tersebut akan

diarahkan pada seluruh kemampuan diri yang mendukung. Kesadaran diri dengan

segala kelebihan dan kekurangan diri harus seimbang dan saling melengkapi satu

sama lain sehingga menumbuhkan pribadi yang sehat.

7
8

Self acceptance (penerimaan diri) melibatkan pemahaman diri, kesadaran

yang reaslistis, memahami kekuatan dan kelemahan seseorang, sehingga

menghasilkan perasaan individu tentang dirinya. Hurlock (2000) menjelaskan bila

individu hanya melihat dari satu sisi saja maka tidak mustahil akan timbul

kepribadan yang tidak seimbang, semakin individu menyukai dirinya maka ia

akan mampu menerima dirinya dan semakin diterima oleh orang lain yang

mengatakan bahwa individu dengan penerimaan diri yang baik akan mampu

meneriman karakter-karakter alamiah.

Handayani (2011) menambahkan bahwa self acceptance (penerimaan diri)

adalah sejauh mana seseorang dapat menyadari dan mengakui karakteristik

pribadi dan menggunakannya dalam menjalani kelangsungan hidupnya.

Penerimaan diri ini ditunjukkan oleh pengakuan seseorang terhadap kelebihannya

sekaligus menerima segala kekurangannya tanpa menyalahkan orang lain dan

mempunyai keinginan yang terus menerus untuk mengembangkan diri.

Penerimaan diri mengacu pada kepuasan individu atas kebahagiaan terhadap diri,

dan dianggap perlu untuk kesehatan mental

Self acceptance (penerimaan diri) berhubungan dengan konsep diri yang

positif, dimana seseorang dapat menerima dan memahami fakta-fakta yang begitu

berbeda dengan dirinya. Penerimaan diri merupakan sikap positif terhadap diri

sendiri, dapat menerima keadaan dirinya secara tenang, serta memiliki kesadaran

penuh terhadap siapa dan apa diri mereka, selain itu dapat pula menghargai diri

dan orang lain (Calhoun dan Acocella 2013). Proses adaptasi dan penerimaan

status seseorang bervariasi, penelitian yang dilakukan oleh Tandiono (2007)

dalam suatu studi longitudinal didapatkan proses adaptasi seseorang yang baru
9

mengetahui statusnya sebagai penderita HIV ditemukan bahwa 78% penderita

HIV dapat beradaptasi dalam jangka waktu 8-12 bulan yang ditandai dengan

penurunan jumlah CD4 limfosit sebesar 38 %.

Uraian di atas dapat diketahui bahwa penerimaan diri merupakan sikap

positif terhadap diri sendiri, mampu dan mau menerima keadaan diri baik

kelebihan atau kekurangan sehingga dapat memandang masa depan lebih positif.

Tanpa penerimaan diri seseorang hanya dapat membuat sedikit atau tidak ada

kemajuan sama sekali dalam suatu hubungan yang efektif.

2.1.2 Ciri-ciri Self Acceptance

Self acceptance (penerimaan diri) setiap individu terhadap dirinya sendiri

cenderung tidak sama antara yang satu dengan yang lainnya. Menurut Cutrona

(1987) ciri-ciri orang yang menerima dirinya adalah sebagai berikut :

1. Menerima diri sendiri apa adanya

Memahami diri ditandai dengan perasaan yang tulus, nyata, dan jujur dalam

menilai diri sendiri. Kemampuan seseorang untuk memahami dirinya

tergantung pada kapasitas intelektual dan kesempatan menemukan dirinya.

Individu tidak hanya mengenal dirinya tetapi juga menyadari kenyataan yang

dialaminya, jika seorang individu mau menerima diri apa adanya, maka

individu tersebut bisa untuk lebih mengahargai dirinya sendiri. Individu

tersebut juga mampu untuk menerima orang lain dan tidak menuntut bahwa

mereka harus mencoba untuk menyamai dirinya. Menerima diri sendiri berarti

merasa senang terhadap apa dan siapa ia sesungguhnya


10

2. Tidak menolak apabila memiliki kekurangan

Sikap atau respon dari lingkungan membentuk sikap terhadap diri seseorang.

Individu yang mendapat sikap yang sesuai dan menyenangkan dari

lingkungannya cenderung akan meneriman dirinya. Kelebihan merupakan

suatu kemampuan karakteristik atau ciri tentang diri dianggap lebih baik

daripada kemampuan-kemampuan lain dalam dirinya. Salah satu penyebab

seseorang sulit untuk menerima kelebihannya dikarenakan ingin mendapatkan

sesuatu yang lebih dalam hal itu. Kekurangan adalah kemampuan yang

sebenarnya diharapkan untuk lebih baik dari kondisi yang sesungguhnya

namun ternyata tidak demikian, yang dianggap kurang biasanya adalah hal

diinginkan untuk menjadi lebih baik, dan kekurangan bisa melahirkan rasa

malu dan minder.

3. Memiliki keyakinan bahwa untuk mencintai diri sendiri, seseorang tidak harus

dicintai dan dihargai oleh orang lain.

Seseorang yang dapat mengidentifikasi dirinya sendiri serta memiliki

penyesuaian diri yang baik maka cenderung dapat menerima dirinya dan dapat

melihat dirinya sama dengan apa yang dilihat oleh orang lain. Mencintai diri

sendiri dengan menerima segala bentuk kekurangan yang ada dalam diri,

memaafkan segala kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat , dan menghargai

setiap apa yang ada dan telah dicapai, merupakan sebuah kekuatan yang besar

untuk membangun diri dan memiliki penghormatan tertinggi bagi pikiran,

tubuh, dan jiwa.


11

4. Tidak perlu merasa sempurna

Seseorang yang memiliki konsep diri yang stabil akan melihat dirinya dari

waktu secara konstan dan tidak mudah berubah-rubah. Memandang diri secara

positif merupakan sikap mental yang melibatkna proses memasukkan pikran,

kata, dan gambaran yang membangun perkembangan dari suatu pemikiran.

Pendapat lain dikemukakan oleh Bastaman (2007) mengenai beberapa hal

yang menentukan keberhasilan seseorang dalam melakukan perubahan dari

penghayatan hidup tak bermakna menjadi hidup yang bermakna, yaitu :

1. Pemahaman diri (self insight)

Meningkatnya kesadaran atas buruknya kondisi diri pada saat ini dan

keinginan kuat untuk melakukan perubahan kearah kondisi yang lebih baik

2. Makna hidup (the meaning of life)

Nilai-nilai yang penting dan bermakna bagi kehidupan pribadi seseorang yang

berfungsi sebagai tujuan hidup yang harus dipenuhi.

3. Pengubahan sikap (changing attitude)

Merubah diri yang bersikap negatif menjadi positif dan lebih bijak dalam

menghadapi masalah

4. Keterikatan diri (self commitment)

Merupakan komitmen seseorang terhadap makna hidup yang ditetapkan.

Komitmen yang kuat akan membawa diri pada hidup yang lebih bermakna

dan mendalam.
12

5. Kegiatan terarah (directed activities)

Suatu upaya yang dilakukan secara sadar berupa pengembangan potensi

pribadi yang positif serta pemanfaatan relasi antar pribadi untuk mencapai

tujuan hidup.

6. Dukungan sosial (social support)

Hadirnya seseorang atau sejumlah orang yang akrab, dapat dipercaya, dan

selalu sedia memberi bantuan pada saat diperlukan

2.1.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi Self Acceptance

Pada dasarmya untuk memiliki self acceptance bukanlah suatu hal yang

mudah karena individu jauh lebih mudah menerima kelebihan yang ada pada

dirinya daripada menerima segala kekurangan yang ada pada dirinya juga. Sikap

tersebut bisa dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut

mempengaruhi diri seseorang sehingga menjadi individu yang mempunyai

penerimaan diri yang rendah. Menurut Hurlock (1999) faktor-faktor yang

mempengaruhi penerimaan dalam diri seseorang yaitu:

1. Adanya pemahaman tentang diri sendiri

Hal ini timbul dengan adanya kesempatan seseorang untuk mengenali

kemampuan dan ketidakmampuannya. Seseorang yang dapat memahami

dirinya sendiri tidak akan hanya tergantung dari kemampuan intelektualnya

saja, tetapi jugapada kesempatannya untuk memahami dirinya.

2. Adanya hal yang realistik

Hal ini timbul jika seseorang dapat menentukan sendiri harapannya dengan

disesuaikan dengan pemahaman dan kemampuannya. Semakin besar


13

kesempatan tercapainya suatu harapan, maka akan menimbulkan kepuasan

diri yang merupakan hal penting dalam penerimaan diri

3. Tidak adanya hambatan di dalam lingkungan

Seseorang yang memiliki harapan, namun jika lingkungan disekitarnya tidak

memberikan kesempatan atau bahkan menghalangi, maka harapannya akan

sulit tercapai.

4. Sikap lingkungan seseorang

Sikap yang berkembang di masyarakat akan ikut andil dalam proses

penerimaan diri seseorang, jika lingkungan memberikan sikap yang baik pada

individu, maka individu akan cenderung untuk senang dan menerima dirinya

5. Ada tidaknya tekanan yang berat

Tekanan emosi yang berat dan terus menerus akan mengganggu seseorang dan

menyebabkan ketidakseimbangan fisik maupun psikologis

6. Frekuensi keberhasilan

Setiap orang pasti akan mengalami kegagalan, hanya saja frekuensinya yang

berbeda-beda. Semakin banyak keberhasilan yang dicapai akan menyebabkan

individu menerima dirinya denganbaik

7. Ada tidaknya identifikasi seseorang

Pengenalan orang-orang yang mempunyai penyesuaian diri yang baik akan

memungkinkan berkembangnya sikap positif terhadap dirinya serta

mempunyai contoh yang baik bagaimana harus berperilaku.


14

8. Perspekstif diri

Perspektif diri terbentuk jika individu dapat melihat dirinya sama dengan apa

yang dilihat oleh orang lain pada dirinya. Rendahnya perspektif diri akan

menimbulkan perasaan tidak puas dan penolakan diri

9. Latihan pada masa kanak-kanak

Pelatihan yang diterima pada masa kanak-kanak akan mempengaruhi pola

kepribadian anak selama masa perkembangan. Latihan yang baik pada masa

kanak-kanak akan memberikan pengaruh positif pada penerimaan diri.

10. Konsep diri yang stabil

Konsep diri yang stabil bagi seseorang akan memudahkan dala usaha

menerima dirinya. Apabila konsep dirinya selalu berubah-ubah maka individu

tersebut akan mengalami kesulitan dalam memahami dan menerima dirinya.

2.1.4 Karakteristik Self Acceptance

Tingkah laku orang yang memiliki self acceptance dan tidak memiliki self

acceptance tentu berbeda. Seseorang dikatakan memiliki self acceptance yang

baik dapat dilihat dari perkataan dan perilakunya sehari-hari. Pada umumnya

perilaku yang dimunculkannya lebih cenderung positif dan senang melakukan

kegiatan yang berhubungan dengan banyak orang, sehingga akan berdampak

positif terhadap kematangan pada dirinya. Beberapa karakteristik seseorang yang

memiliki penerimaan diri menurut Ryff & Keyes (1995) yaitu:

1. Memiliki penilaian realistis terhadap potensi-potensi yang dimilikinya

2. Menyadari kekurangan tanpa menyalahkan diri sendiri

3. Memiliki spontanitas dan tanggung jawab terhadap perilakunya


15

4. Menerima kualitas-kualitas kemanusiaan tanpa menyalahkan diri terhadap

keadaan-keadaan diluar kendali mereka

Hal terpenting ketika seseorang mampu menerima dirinya adalah ketika

dapat menerima segala potensi yang ada pada dirinya, baik itu yang berkaitan

dengan kelebihan ataupun dengan kelemahan/kekurangan, dan orang tersebut

akan mudah untuk berinteraksi dengan orang lain karena bersedia menerima kritik

ataupun penolakan dari orang lain dengan sikap positif. Terdapat beberapa

komponen yang menentukan keberhasilan seseorang dalam melakukan perubahan

dari penghayatan hidup tak bermakna menjadi hidup yang bermakna. Berdasarkan

indikator komponen-komponen penerimaan diri yang dikemukakan oleh Shareer

(1949) dan dimodifikasi oleh Berger (dalam Denmark, 1973) terdapat 9 domain

slef acceptance, yaitu :

1. Sikap dan perilaku didasarkan nilai-nilai standar diri tidak dipengaruhi

lingkungan luar

2. Keyakinan dalam menjalani hidup

3. Berani bertanggung jawab terhadap perilakunya

4. Mampu menerima pujian dan kritik secara subjektif

5. Tidak menyalahkan diri atas perasaannya terhadap orang lain

6. Menganggap dirinya memiliki kemampuan sama dengan orang lain

7. Tidak mengaharapkan penolakan orang lain

8. Tidak menganggap dirinya berbeda dari orang lain

9. Tidak malu atau rendah diri


16

2.1.5 Manfaat Self Acceptance

Self acceptance (penerimaan diri) memliki peranan yang penting dalam

interaksi sosial. Self acceptance dapat membantu individu dalam berinteraksi

dengan individu lain, meningkatkan kepercayaan diri serta membuat hubungan

menjadi lebih akrab karena individu tersebut menyadari bahwa setiap individu

diciptakan sama yaitu memiliki kelebihan dan kekurangan. Tanpa self acceptance

individu cenderung sulit untuk dapat berinteraksi dengan individu lain sehingga

dapat berpengaruh buruk pada kepribadiaannya. Hurlock (1999) mengatakan

bahwa “semakin baik seseorang dapat menerima dirinya, maka akan semakin baik

pula penyesuain diri dan sosialnya”. Tanpa Self acceptance individu cenderung

akan mengalami kesulitan dalam kehidupan sosialnya.

Salah satu karakteristik dari individu yang memiliki penyesuaian diri

yang baik yaitu mampu mengenali kelebihan dan kekurangannya, biasanya

memiliki keyakinan diri (self confidence), selain itu juga individu lebih dapat

menerima kritik dibandingkan dengan orang yang kurang dapat menerima dirinya,

dengan demikian orang yang memiliki penerimaan diri dapat mengevaluasi

dirinya secara realistic sehingga dapat menggunakan semua potensinya secara

efektif. Penerimaan diri biasanya disertai dengan adanya penerimaan dari orang

lain dan merasa aman untuk memberikan perhatiannya pada orang lain seperti

menunjukkan rasa empati. Individu yang memiliki penerimaan diri yang baik

maka dapat dikatakan memiliki konsep diri yang baik pula, karena selalu mengacu

pada gambaran ideal sehingga bisa menerima gambaran dirinya yang sesuai

dengan realita.
17

2.1.6 Aspek Self Acceptance

Pada umumnya, individu dengan penerimaan diri yang baik akan

menunjukkan ciri-ciri tertentu dalam berfikir dan melakukan aktifitas

kesehariannya. Individu yang dapat menerima dirinya secara utuh berarti individu

tersebut mampu menerima secara positif aspek-aspek dalam diri, Grinder dalam

Parista (2008), aspek-aspek penerimaan diri meliputi:

1. Aspek Fisik

Tingkat penerimaan diri secara fisik, tingkatan kepuasan individu terhadap

bagian-bagian tubuh dan penampilan fisik secara keseluruhan

menggambarkan penerimaan fisik sebagai suatu evaluasi dan penilaian diri

terhadap raganya, apakah raga dan penampilannya menyenangkan atau

memuaskan untuk diterima atau tidak.

2. Aspek Psikis

Aspek psikis meliputi pikiran, emosi dan perilaku individu sebagai pusat

penyesuaian diri (Calhoun & Acocella, 1990). Individu yang dapat menerima

dirinya secara keseluruhan serta memiliki keyakinan akan kemampuan diri

dalam menghadapi tuntutan lingkungan.

3. Aspek Sosial

Aspek sosial meliputi pikiran dan perilaku individu yang diambil sebagai

respon secara umum terhadap orang lain dan masyarakat (Calhoun &

Acocella, 1990). Individu menerima dirinya secara sosial akan memiliki

keyakinan bahwa dirinya sederajat dengan orang lain sehingga individu

mampu menempatkan dirinya sebagaimana orang lain mampu menempatkan

dirinya.
18

4. Aspek Moral

Perkembangan moral dalam diri dipandang sebagai suatu proses yang

melibatkan struktur pemikiran individu dimana individu mampu mengambil

keputusan secara bijak serta mampu mempertanggungjawabkan keputusan

atau tindakan yang telah diamilnya berdasarkan konteks sosial yang telah ada

Grinder dalam Marsya (2008).

2.2 Konsep HIV dan AIDS

2.2.1 Pengertian HIV dan AIDS

HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang

menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan dapat menimbulkan AIDS.

HIV menyerang salah satu jenis dari sel-sel darah putih yang bertugas

menyerang infeksi. Sel darah putih tersebut terutama limfosit yang

memiliki CD4 sebagai sebuah marker atau penanda yang berada di

permukaan sel limfosit. Berkurangnya nilai CD4 dalam tubuh manusia

menunjukkan bahwa sel-sel darah putih atau limfosit yang seharusnya

berperan dalam mengatasi infeksi yang masuk ke tubuh manusia menjadi

lemah. Pada orang dengan sistem kekebalan yang baik, nilai CD4 berkisar

antara 1400-1500. Sedangkan pada orang dengan sistem kekebalan yang

terganggu (misal pada orang yang terinfeksi HIV) nilai CD4 semakin lama

akan semakin menurun (bahkan pada beberapa kasus bisa sampai nol) (Komisi

Penanggulangan AIDS 2007).

Virus HIV diklasifikasikan ke dalam golongan lentivirus atau

retroviridae. Virus ini secara material genetik adalah virus RNA yang

tergantung pada enzim reverse transcriptase untuk dapat menginfeksi sel


19

mamalia, termasuk manusia, dan menimbulkan kelainan patologi secara

lambat. Virus ini terdiri dari 2 grup, yaitu HIV-1 dan HIV-2. Masing-masing

grup mempunyai lagi berbagai subtipe, dan masing-masing subtipe secara

evolusi yang cepat mengalami mutasi. Diantara kedua grup tersebut, yang

paling banyak menimbulkan kelainan dan lebih ganas di seluruh dunia adalah

grup HIV-1 (Nasronudin 2014).

Acquired Immunodeficiency Syndrome atau Acquired Immune

Deficiency Syndrome (AIDS) adalah sekumpulan gejala dan infeksi yang

timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus

HIV. Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang memperlemah

kekebalan pada tubuh manusia yang merupakan retrovirus dengan

kemampuan menggunakan RNA dan DNA sebagai penjamu untuk

membentuk virus DNA yang dikenali selama periode inkubasi yang panjang

dan menyebabkan munculnya tanda dan gejala tertentu. AIDS merupakan

bentuk lanjut dari HIV yang merupakan kumpulan gejala menurunnya sistem

kekebalan tubuh. Infeksi HIV berjalan sangat progresif merusak sistem

kekebalan tubuh sehingga penderita tidak dapat menahan serangan infeksi

jamur, bakteri, dan virus. Penyakit yang ditimbulkan akibat infeksi oleh

benda-benda tersebut disebut infeksi oportunistik (IO), dan kumpulan gejala

yang ditimbulkan disebut dengan AIDS (Kemenkes 2014)

2.2.2 Struktur dan Klasifikasi HIV dan AIDS

Virion HIV berbentuk sferis dan memiliki inti berbentuk kerucut

dikelilingi oleh selubung lipid yang berasal dari membran sel hospes. Inti virus

mengandung protein kapsid terbesar yaitu p24, protein nukleokapsid p7/p9, dua
20

copy RNA genom, dan 3 enzim virus yaitu protease, reverse transcriptase, dan

integrase. Protein p24 adalah antigen virus yang cepat terdeteksi dan merupakan

target antibody dalam tes screening HIV. Inti virus dikelilingi oleh matriks protein

dinamakan p17 yang merupakan lapisan dibawah selubung lipid, sedangkan

selubung lipid virus ini mengandung dua glikoprotein yang sangat penting dalam

proses infeksi HIV dalam sel yaitu gp120 dan gp41. Genom virus yang berisi gen

gag, pol, dan env yang akan mengkode protein virus. Hasil translasi berupa

protein prekusor yang besar dan harus dipotong oleh protease menjadi protein

mature (Jawetz, et al. 2011).

Gambar 2.1 Struktur Anatomi HIV


(sumber: e-lifestyle and healththylife-wordpress.com- Susi Budiani, 2012)

Klasifikasi dari HIV merupakan kelompok virus RNA dengan kelompok

family (retroviridae), sub family (lentivirinae), genus (lentivirus), dan spesies

(HIV-1 dan HIV-2). HIV menunjukkan banyak gambaran khas fisikokimia dari

familinya. Terdapat dua tipe yang berbeda dari virus AIDS manusia, yaitu HIV-1

dan HIV-2. Kedua tipe dibedakan berdasarkan susunan genom dan hubungan

filogenetik (evolusioner) dengan lentivirus primata lainnya. Berdasarkan pada

deretan gen env, HIV-1 meliputi tiga kelompok virus yang berbeda yaitu M
21

(main), N (new atau non-M, non-O), dan O (outlier). Kelompok M yang dominan

terdiri dari 11 subtipe atau clades (A-K), telah teridentifikasi 6 subtipe HIV-2

yaitu sub tipe A-F. HIV-1 lebih mematikan, mudah masuk ke dalam tubuh, dan

sumber infeksi paling banyak di dunia (Ardhiyanti, et al. 2015).

2.2.3 Etiologi HIV dan AIDS

Human Immunodeficiency Virus (HIV) dianggap sebagai virus

penyebab AIDS. Virus ini termaksuk dalam retrovirus anggota subfamili

lentivirinae. Ciri khas morfologi yang unik dari HIV adalah adanya nukleoid

yang berbentuk silindris dalam virion matur. Virus ini mengandung 3 gen

yang dibutuhkan untuk replikasi retrovirus yaitu gag, pol, env. Terdapat lebih

dari 6 gen tambahan pengatur ekspresi virus yang penting dalam patogenesis

penyakit. Satu protein replikasi fase awal yaitu protein Tat, berfungsi dalam

transaktivasi dimana produk gen virus terlibat dalam aktivasi transkripsional

dari gen virus lainnya. Transaktivasi pada HIV sangat efisien untuk

menentukan virulensi dari infeksi HIV. Protein Rev dibutuhkan untuk ekspresi

protein struktural virus. Rev membantu keluarnya transkrip virus yang terlepas

dari nukleus. Protein Nef menginduksi produksi khemokin oleh makrofag,

yang dapat menginfeksi sel yang lain (Jawetz, et al. 2011).

HIV secara morfologi terdiri atas dua bagian besar yaitu bagian inti

(core) dan bagian selubung (envelop). Bagian inti berbentuk silindris terdiri

atas dua untaian RNA. Enzim recerve transcriptase dan beberapa jenis

protein, bagian selubung terdiri atas lipid dan glikoprotein yang berhubungan

dengan sel limfosit T4, karena bagian luar virus tidak tahan panas dan bahan

kimia, maka HIV termasuk virus yang sensitif terhadap pengaruh llingkungan
22

luar seperti air mendidih, sinar matahari, dan mudah dimatikan dengan

berbagai desinfektan seperti eter, aseton, alkohol, dan sebagainya, tetapi relatif

resiten terhadap radiasi dan sinar ultraviolet. Virus HIV ditemukan dalam

darah, saliva, semen, airmata, dan mudah mati diluar tubuh. HIV juga

ditemukan dalam sel monosit, makrofag, dan sel glia jaringan otak

(Kementrian Kesehatan RI 2014).

2.2.4 Siklus HIV dan AIDS

Virus memasuki tubuh terutama menginfeksi sel yang mempunyai

molekul protein CD4. Kelompok sel terbesar yang mempunyai molekul CD4

adalah limfosit T. sel target lain adalah monosit, makrofag, sel dendrite, sel

langerhans, dan sel microglia (Price, et al. 2012). HIV yang masuk ke dalam

tubuh akan ditangkap oleh sel dendrit pada membran mukosa dan kulit 24 jam

pertama setelah paparan. Sel yang terinfeksi akan membuat jalur ke nodus limfa

dan pembuluh darah perifer selama 5 hari setelah paparan, replikasi virus semakin

cepat. Siklus hidup HIV dibagi menjadi 5 fase yaitu; masuk kemudian mengikat,

reverse trancriptase, replikasi, budding, dan maturasi. Replikasi HIV di dalam sel

CD4 menurut Ardhiyanti et al (2015) terjadi melalui 7 tahap sebagai berikut:

1. HIV melekatkan diri pada permukaan sel penjamu atau ke sel inang yaitu sel

CD4;

2. RNA HIV, reverse trascriptase, integrase, dan komponen protein lain masuk

ke dalam sel penjamu atau sel inang (CD4);

3. Enzim reverse transcriptase membentuk DNA virus;


23

4. DNA virus bergerak menuju nukleus sel CD4 dan mengintegrasikan diri

terhadap DNA sel penjamu atau sel inang (CD4) dengan bantuan enzim

integrase;

5. Virus RNA baru digunakan sebagai genomik RNA dan untuk membuat

beberapa virus protein;

6. Virus RNA baru dan beberapa protein bergerak menuju permukaan sel dan

membentuk virus HIV baru yang belum matur; dan

7. Virus-virus yang sudah matur melepaskan protein HIV melalui enzim protease

dan siap memasuki sel CD4 lainnya.

2.2.5 Patogenesis HIV dan AIDS

Penyakit HIV dimulai dengan infeksi akut yang hanya dikendalikan

sebagian oleh respon imun spesifik dan berlanjut menjadi infeksi kronik progresif

pada jaringan limfoid perifer. Perjalanan penyakit dapat dipantau dengan

mengukur jumlah virus dalam serum pasien dan menghitung jumlah sel T CD4

dalam darah tepi. Sistem kekebalan tubuh pada awalnya mampu mengendalikan

infeksi HIV, akan tetapi perjalanan dari waktu ke waktu virus HIV menyebabkan

sel limfosit CD4 semakin turun. Tahap-tahap infeksi HIV meliputi infeksi primer,

penyebaran virus ke organ limfoid, latensi klinis, peningkatan ekspresi HIV,

penyakit klinis, dan kematian. Durasi antara infeksi primer dan progresi menjadi

penyakit klinis rata-rata sekitar 10 tahun. Masa terjadinya infeksi primer, selama

4-11 hari masa antara infeksi mukosa dan viremia permulaan, viremia dapat

terdeteksi selama sekitar 8-12 minggu. Virus tersebar luas ke seluruh tubuh

selama masa ini dan menyerang organ limfoid, pada tahap ini juga terjadi

penurunan jumlah sel limfosit CD4 yang beredar secara signifikan. Respon imun
24

terhadap HIV terjadi selama 1 minggu sampai 3 bulan setelah terinfeksi. Viremia

plasma menurun dan level sel CD4 kembali meningkat, tetapi respon imun tidak

mampu menyingkirkan infeksi secara sempurna dan sel-sel yang terinfeksi HIV

menetap dalam limfoid (Murtiastutik 2009).

Masa laten klinis ini dapat berlangsung sampai 10 tahun, selama masa ini

banyak terjadi replikasi virus. Siklus hidup virus dari saat infeksi sel sampai

produksi virus baru yang menginfeksi sel berikutnya rata-rata 2,6 hari. Pasien

akan menderita gejala-gejala konstitusional dan gejala klinis yang nyata, seperti

infeksi oportunistik atau neoplasma. Level virus yang lebih tinggi dapat terdeteksi

dalam plasma selama tahap infeksi lebih lanjut. HIV yang ditemukan pada pasien

dengan penyakit tahap lanjut biasanya jauh lebih virulen dan sitopatik dari pada

strain virus yang ditemukan pada awal infeksi (Jawetz, et al. 2011).

2.2.6 Cara Penularan HIV dan AIDS

Penularan HIV dapat terjadi melalui berbagai cara, yaitu; kontak seksual,

kontak dengan darah atau secret yang infeksius, ibu ke anak selama masa

kehamilan, persalinan, dan pemberian ASI. HIV berada terutama dalam cairan

tubuh manusia. Cairan yang berpotensial mengandung HIV adalah darah, cairan

sperma, cairan vagina, dan ASI (Komisi Penanggulangan AIDS 2014)

Menurut Purwaningsih et al (2014) HIV hanya bisa hidup dalam cairan

tubuh manusia seperti darah, air mani (semen), cairan vagina, air susu ibu, dan

cairan dalam otak. Virus dalam jumlah kecil terdapat pada air kencing, air mata,

dan air keringat sehingga tidak berpotensi menularkan HIV,


25

sehingga penularan HIV dapat melalui aktivitas sebagai berikut:

1. Hubungan seksual dengan orang yang mengidap HIV dan AIDS, berhubungan

seks dengan pasangan yang berganti-ganti dan tidak menggunakan alat

pelindung kondom

2. Kontak darah/luka dan transfusi darah yang tercemar virus HIV

3. Penggunaan jarum suntik atau jarum tindik secara bersama atau bergantian

dengan orang yang terinfeksi HIV

4. Ibu hamil yang terinfeksi HIV kepada bayi yang sedang dikandung.

Menurut Kementrian Kesehatan RI (2014) dalam buku pedoman program

pencegahan ibu ke anak HIV, HIV tidak dapat ditularkan melalui aktivitas

berikut:

1. Bersalaman

2. Berpelukan

3. Bersentuhan atau berciuman

4. Penggunaan toilet umum, kolam renang, alat makan atau minum secara

bersama

5. Gigitan serangga seperti nyamuk.

2.2.7 Stadium HIV dan AIDS

Individu dinyatakan terinfeksi HIV setelah dilakukan pemeriksaan dan

dinyatakan positif terinfeksi, antara lain 30-70% mereka mengalami gejala seperti

demam, sakit tenggorokan, keringat malam, pembengkakan kelenjar getah bening,

nyeri otot, dan ruam merah di seluruh tubuh. Gejala ini berlangsung selama 2-6

minggu dan akan menghilang dengan sendirinya. Menurut WHO South-East Asia

Regional Office (SEARO) tahun 2014 dalam pedoman nasional tatalaksana klinis
26

HIV dan terapi Antiretroviral pada orang dewasa (Kementrian Kesehatan RI

2011), Stadium dalam HIV dan AIDS sebagai berikut:

Tabel 2.1 Stadium HIV


Stadium 1 : HIV
1. Asimtomatis
2. Limfadenopati generalisata yang persisten atau persistent generalized
limphadenopaty (PGL) yaitu limfadenopati pada beberapa kelenjar
getah bening yang bertahan lama. Adanya pembengkakan kelenjar akan
tetapi sulit dilihat dan lebih mudah ditemukan saat menyentuhnya
3. Tingkat aktivitas 1: aktivitas masih normal
Stadium 2 : Asimptomatik
1. Penurunan BB < 10% BB sebelumnya
2. Manifestasi mukokutaneus minor seperti ulserasi oral, infeksi jamur kuku
3. Herpes zoster selama 5 tahun terakhir
4. Infeksi saluran napas atas berulang misalnya sinusitis akibat infeksi
bakteri
5. Tingkat aktivitas 2: Simtomatis dan aktivitas normal
Stadium 3 : Pembesaran kelenjar limfe
1. Penurunan BB>10% BB sebelumnya
2. Diare kronis yang tidak jelas penyebabnya selama lebih dari 1 bulan
3. Demam lama yang tidak jelas penyebabnya selama lebih dari 1 bulan
4. Kandidiasis oral
5. Oral hairy leukoplakia yaitu bercak putih pada mulut berambut
6. TB paru dalam 1 tahun terakhir
7. Infeksi bakteri berat seperti pneumonia dan bisul pada otot
8. Co-trimoxazole prophylaxis dapat diberikan karena efektif
9. Tingkat aktivitas 3: tidak bangun dari tempat tidur <50% dalam
sehari selama 1 bulan terakhir
Stadium 4: AIDS
1. HIV wasting syndrome, kondisi penurunan BB>10% dari BB sebelumnya,
panas, dan diare yang tidak jelas penyebabnya selama 1 bulan terakhir
2. Pneumocystic carinii pneumonia
3. Toksoplasmosis pada otak
4. Kriptosporidiosis dengan diare lebih dari satu bulan
5. Kriptokokosis ekstrapulmonar
6. Penyakit cytomegalovirus (CMV) pada organ selain hati, limpa, kelenjar
getah bening
7. Infeksi virus herpes mukokutan selama lebih dari 1 bulan terakhir atau
pada organ visceral
8. Progressive multifocal leukoencephalophaty (PML) yaitu infeksi virus
dala otak
9. infeksi jamur endemik diseminata
10. kandidiasis esophagus, trakea, bronkus, atau paru-paru
27

11. TB ekstrapulmonar
12. Limfoma
13. Sarkoma kaposi
14. Ensefalopati HIV, ketidakmampuan mental atau disfungsi motorik
15. Co-trimoxazole prophylaxis dapat diberikan karena efektif
16. Klien tidak bangun dari tempat tidur >50% dalam sehari selama 1 bulan
terakhir
Sumber: Kementrian Kesehatan RI, 2011

2.2.8 Penatalaksanaan ARV

Antiretroviral (ARV) merupakan obat yang menghambat replikasi Human

Immunodeficiency Virus (HIV) (Departemen Kesehatan 2009). Pengobatan infeksi

HIV dengan antiretroviral digunakan untuk memelihara fungsi kekebalan tubuh

mendekati keadaan normal, mencegah perkembangan penyakit, memperpanjang

harapan hidup, dan memelihara kualitas hidup dengan cara menghambat replikasi

virus HIV. Replikasi aktif HIV menyebabkan kerusakan progresif sistem imun

dan berkembangnya infeksi oportunistik, keganasan (malignasi), penyakit

neurologi, penurunan berat badan yang akhirnya berakibat ke arah kematian

(Imrotul 2010).

Obat ARV terdiri dari beberapa golongan seperti nucleoside reverse

transcriptase inhibitor (NRTI) dan non nucleoside reverse transcriptase inhibitor

(NNRTI) serta inhibitor protease. Terapi ARV dibagi menjadi dua lini yaitu lini

pertama dan lini kedua. Anjuran pemilihan obat ARV lini pertama menurut

panduan Kementrian Kesehatan tahun 2014 yaitu 2 NRTI + 1 NNRTI dengan

panduan sebagai berikut:

1. AZT + 3TC + NVP (Zidovudine + Lamivudine + Nevirapine)

2. AZT + 3TC + EFV (Zidovudine + Lamivudine + Efavirenz)


28

3. TDF + 3TC (atau FTC) + NVP (Tenofovir + Lamivudine

(emtricitabine) + Nevirapine)

4. TDF + 3TC (atau FTC) + EFV (Tenofovir + Lamivudine

(emtricitabine) + Efavirenz)

NRTI bekerja dengan cara menghambat kompetitif reverse transcriptase

HIV-1 dan dapat bergabung dengan rantai DNA virus yang sedang aktif dan

menyebabkan terminasi. Obat golongan ini memerlukan aktivasi

intrasitoplasma,difosforilasi oleh enzim menjadi bentuk trifosfat. Golongan ini

terdiri dari : Analog deoksitimidin (Zidovudin), analog timidin (Stavudin), analog

deoksiadenosin (Didanosin), analog adenosisn (Tenovir disoproxil fumarat/TDF),

analog sitosin (Lamivudin dan Zalcitabin) dan analog guanosin (Abacavir)

(Katzung 2004).

NNRTI bekerja dengan cara membentuk ikatan langsung pada situs aktif

enzim reverse transcriptase yang menyebabkan aktivitas polimerase DNA

terhambat. Golongan ini tidak bersaing dengan trifosfat nukleosida dan tidak

memerlukan fosforilasi untuk menjadi aktif. Golongan ini terdiri dari: Nevirapin,

Efavirenz, Delavirdine (Katzung 2004).

Panduan terapi ARV lini kedua adalah 2NRTI + boosted-PI. Boosted PI

merupakan satu obat dari golongan protease inhibitor yang sudah ditambahi

(boost) dengan ritonavir. Selama tahap akhir siklus pertumbuhan HIV, produk-

produk gen Gag-Pol dan Gag ditranslasikan menjadi poliprotein dan kemudian

menjadi partikel yang belum matang. Protease bertanggung jawab pada

pembelahan molekul sebelumnya untuk menghasilkan protein bentuk akhir dari


29

inti virion matang dan protease penting untuk produksi virion infeksius matang

selama replikasi. Obat golongan ini menghambat kerja enzim protease sehingga

mencegah pembentukan virion baru yang infeksius. Golongan ini terdiri dari :

Saquinavir, Ritonavir, Nelfinavir, Amprenavir (Katzung 2004). Panduan lini

kedua yang direkomendasikan oleh pemerintah yaitu : TDF atau AZT + 3TC +

LPV/r.

Saat yang paling tepat untuk memulai terapi ARV adalah sebelum pasien

jatuh sakit atau munculnya IO yang pertama. Perkembangan penyakit akan lebih

cepat apabila terapi ARV dimulai pada saat CD4 < 200 sel/mm³ dibandingkan bila

terapi dimulai pada CD4 di atas jumlah tersebut. Apabila tersedia sarana tes CD4

maka terapi ARV sebaiknya dimulai sebelum CD4 kurang dari 200 sel/mm³.

Terapi ARV dianjurkan pada pasien dengan TB paru atau infeksi bakterial berat

dan CD4 < 350 sel/mm³. Juga pada ibu hamil stadium klinis manapun dengan

CD4 < 350 sel/mm³ (Departemen Kesehatan 2011). Menurut WHO (2007) dalam

pedoman nasional tatalaksana klinis HIV dan terapi Antiretroviral pada orang

dewasa (Kementrian Kesehatan RI 2011) tentang pedoman penatalaksanaan ARV

sebagai berikut:

Tabel 2.2 Penatalaksanaan ARV


Topic 2010 2013
CD4 ≤ 350 CD4 ≤ 500
Memulai ART tanpa Memulai ART tanpa
mempertimbangkan mempertimbangkan
Memulai ARV stadium klinis WHO stadium klinis WHO
ataupun nilai CD4 bila ataupun nilai CD4 bila
terdapat TB dan HBV terdapat TB, HBV, SDC,
dan PW
Earlier Initiation Prioritas CD4 ≤ 350

6 options & FDCs 2 options & FDCs


Tahap 1
- AZT atau TDF TDF dan EFV
30

- d4t phase out


Perlakuan sederhana

Tahap 2 PI Boosted PIs Boosted


Heat stable FDC: ATV/r, Heat stable FDC: ATV/r,
LPV/r LPV/r

Less toxic, more robust regimens

Tahap 3 DRV/r, RAL, ETV DRV/r, RAL, ETV


Viral Load Testing Iya Iya
( Fase dalam pendekatan) (VL dengan monitoring)

Better Monitoring

EVIDENCE-BASED, but INTENTIONALLY ASPIRATIONAL


Sumber: WHO tahun 2013 dalam Pedoman Nasional Tatalaksana HIV dan Terapi
Antiretroviral pada orang dewasa tahun 2014

2.3 Konsep Kelompok Dukungan Sebaya (KDS)

2.3.1 Pengertian Kelompok Dukungan Sebaya

Kelompok Dukungan Sebaya merupakan kelompok dukungan yang

diberikan untuk dan oleh orang dalam situasi yang sama. Kelompok dukungan

sebaya meliputi sekumpulan orang yang menghadapi tantangan yang sama, bisa

diantara seseorang yang menghadapi tantangan untuk pertama kalinya dengan

seseorang yang telah mampu mengelolanya, dapat diartikan dengan mengkaitkan

seseorang yang baru memulai pengobatan dengan seseorang yang sudah

mengelola pengobatan dan efek samping dengan baik. Pola dukungan KDS

dimulai dengan pertemuan tertutup bagi ODHA untuk saling berbagai

pengalaman, ketan, dan harapan. Pola ini berkembang dengan kegiatan belajar

bersama hingga keterlibatan ODHA lebih luas dalam penyebaran informasi dan

advokasi yang terkait HIV, hal ini juga membantu dalam Strategi Rencana Aksi

Nasional (SRAN) 2010-2014 yang bertujuan meningkatkan mutu hidup ODHA

(Departemen Kesehatan 2009)


31

Menurut Tri Johan et al (2015) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa

Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) lebih mengerti kebutuhan yang diperlukan

oleh orang dengan HIV dan AIDS (ODHA) karena mereka termasuk program

perawatan dan pengobatan serta berpartisipasi aktif terhadap pencegahan

penularan HIV dan AIDS. Kelompok sebaya sangat diperlukan karena terkadang

ODHA lebih terbuka terhadap teman sebaya daripada keluarga atau yang lainnya.

Peran KDS membantu manajer kasus dalam konsep diri ODHA, maka dibutuhkan

peran kelompok sebaya untuk memberikan dukungan dalam kehidupan sehari-hari

agar ODHA tidak jatuh dalam kondisi yang mengkhawatirkan secara fisik

maupun psikis, dan membantu ODHA dalam pencegahan penularan kepada orang

sehat yang berada disekitarnya. KDS memiliki peran yang bermakna dalam mutu

hidup ODHA. ODHA yang mendapatkan dukungan sebaya berpengaruh pada

tingkat kepercayaan diri, pengetahuan HIV, akses layanan HIV, perilaku

pencegahan HIV, dan kegiatan positif yang lebih tinggi dibandingkan ODHA

yang tidak mendapatkan dukungan sebaya.

Menurut Solomon P (2004) kelompok dukungan sebaya disebut juga

dengan peer group support yang didefinisikan sebagai suatu sistem pemberian

dan penerimaan bantuan dengan rasa hormat, tanggung jawab bersama dan

kesepakatan bersama yaitu melalui dukungan, persahabatan, empati, saling

berbagi, dan saling memberi bantuan.


32

2.3.2 Ciri-ciri Kelompok Dukungan Sebaya

Mead dan MacNeil (2005) menjelaskan ciri-ciri dukungan kelompok

sebaya (peer group support) sebagai berikut:

1. Dukungan peer group tidak selalu menganggap orientasi masalah. Terlepas

dari kenyataan bahwa orang mungkin berkumpul hanya berbagi pengalaman

tentang masalah kesehatan psikologis, percakapan tidak harus fokus pada

pengalaman itu. Ada kepercayaan yang lebih dan keterbukaan dengan orang

lain.

2. Penilaian dan evaluasi bukan bagian dari hubungan. Sebaliknya, orang

berusaha untuk tanggung jawab bersama dan komunikasi yang memungkinkan

mereka untuk mengekspresikan kebutuhan mereka satu sama lain tanpa

ancaman atau paksaan.

3. Dukungan peer group mengasumsikan timbal balik penuh. Tidak ada peran

pembantu statis, meskipun ini tidak mengherankan, timbal balik adalah kunci

untuk membangun hubungan yang alami.

4. Dukungan peer group mengasumsikan evolusi sistemik sebagai lawan

pemulihan individu dari masalah atau penyakit tertentu.

2.3.3 Manfaat Kelompok Dukungan Sebaya

Menurut Agoes (2005) kelompok dukungan sebaya mempunyai beberapa

Manfaat, antara lain:

1. Sebagai teman (companionship). Persahabatan akan memberikan kesempatan

kepada remaja untuk menjadi seorang teman yang siap menyertai atau

menemani dalam berbagai aktivitas bersama sepanjang waktu.


33

2. Sebagai orang yang merangsang hal yang positif (positive stimulation). Ketika

seorang sahabat sedang mengalami suatu kegagalan atau dalam suasana

kesedihan, maka remaja dapat berperan sebagai pendorong (motivator) dan

membantu memberi jalan keluar pemecahan masalah, sehingga dapat lepas

dari kesedihan. Seorang sahabat sejati, akan dapat membangkitkan semangat

untuk menghadapi permasalahannya dengan tabah dan dapat

menyelesaikannya dengan berhasil.

3. Memberikan dukungan secara fisik (psysical support). Persahabatan mampu

menjadikan seseorang mau mengorbankan waktu, tenaga dan bantuan materil-

moril kepada sahabatnya. Bahkan ia akan hadir secara fisik ketika sahabatnya

sedang mengalami penderitaan/kesedihan, dengan kehadiran fisik dari

sahabatnya maka seseorang dapat merasakan perhatian dan pertolongan secara

tulus.

4. Memberi dukungan ego (ego support). Persahabatan menyediakan

pengharapan, yaitu adanya dukungan yang membangkitkan semangat berani,

menumbuhkan perasaan diri berharga (dihargai), merasa diri menarik

perhatian orang lain (attractive).

5. Sebagai pembanding sosial (sosial comparison). Persahabatan memberi

kesempatan dan informasi penting tentang pribadi, karakter, sifat-sifat, minat

bakat dan kemampuan yang dimiliki oleh orang lain. Dengan mengetahui hal

itu, individu dapat merefleksikan ke dalam diri-sendiri sehingga ia dapat

belajar baik secara langsung maupun tidak langsung tentang orang itu, untuk

meningkatkan kemampuannya agar menjadi lebih baik.


34

2.4 Teori Health Belief Model (HBM)

Teori Health Belief Model (HBM) adalah teori yang dikemukakan oleh

Becker (1974), merupakan pengembangan dari teori lapangan Lewin (1954).

Teori ini muncul didasarkan adanya masalah kesehatan yang ditandai oleh

kegagalan masyarakat menerima usaha pencegahan dan penyembuhan penyakit

yang diselenggarakan oleh layanan kesehatan. Health Belief Model memiliki

kerangka konseptual yang mudah dipahami, variabel yang terbatas dan fokus pada

motivasi seseorang terhadap keinginan untuk sehat. Konstruksi HBM terdiri dari

persepsi rentan terhadap penyakit, persepsi keseriusan, persepsi manfaat, persepsi

hambatan dan self efficacy (Daddario 2007 dalam Griffin 2011).

Teori Health Belief Model menyatakan bahwa perilaku individu untuk

melawan atau mengobati penyakitnya serta perilaku sehat lainnya dipengaruhi

oleh empat variabel kunci (Edberg 2009), yaitu:

1. Persepsi terhadap kerentanan (Perceveid suspectibility)

Individu akan beperilaku untuk mencari pengobatan atau mencegah penyakit

apabila ia merasa rentan (suspectible) terhadap masalah penyakit tersebut

2. Keseriusan yang dirasakan (Perceveid Seriousness)

Individu akan berperilaku untuk mencari pengobatan atau mencegah penyakit

apabila ia merasa bahwa penyakitnya tersebut parah sehingga apabila ia

terkena penyakit tersebut, maka konsekuensinya yang diterima juga berat

3. Manfaat dan hambatan yang dirasakan (Perceveid benefits and barriers)

Apabila individu merasa rentan dengan penyakit yang dianggap gawat, maka

ia akan melakukan suatu tindakan. Tindakan ini bergantung dari pemikiran


35

adanya manfaat (benefits) yang dirasakan dan juga hambatan (barriers) yang

mugkin akan dijumpai selama melakukan tindakan.

4. Dorongan melakukan tindakan (Cues to action)

Individu akan melakukan tindakan berdasar variabel-variabel yang telah

dijelaskan sebelumnya dipengaruhi oleh dorongan eksternal yang dapat

diperoleh dari pesan-pesan di media massa, nasihat atau anjuran dari teman

dan juga keluarga yang pernah menderita sakit sebelumnya.

Dibawah ini merupakan kerangka teori Health Belief Model yang

dikembangkan oleh Rosenstock et al (1988)

Modifiying Factor Perceptions Action

Perceveid susceptibility
(acceptance of the
Sociodemographic diagnosis) Perceveid
factors (Age, Individual
Perceveid severity of ill- Threat Behavioral
gender,
health condition
sosioeconomi,
knowledge,
motivation) Perceveid benefits of
action Cues to
action
Perceveid benefits of
action

Perceveid efficacy

Gambar 2.2 Health Belief Models – Revised (Rosenstock, Stecher, & Becker
1998)
Kerangka model diatas menjelaskan dan memprediksi kemungkinan

terjadinya perubahan yang dihubungkan dengan pola keyakinan (belief) atau

perasaan (perceveid) tertentu. Model tersebut menjelaskan bahwa persepsi


36

individu dipengaruhi oleh beberapa faktor pemodifikasi yaitu; faktor

sosiodemografi yang terdiri dari umur, jenis kelamin, dukungan, pengetahuan,

pekerjaan, dan tingkat pendidikan; faktor sosial psikologis terdiri dari peer group,

kepribadian, dan pengalaman sebelumnya; serta faktor struktural yang terdiri dari

kelas sosial dan akses menuju layanan kesehatan. Persepsi dibedakan menjadi dua

persepsi secara umum yaitu perasaan terancam dan adanya harapan. Perasaan

terancam dirasakan oleh individu apabila dirinya merasa rentan dan merasa

adanya keparahan tentang kondisi kesehatannya. Persepsi kerentanan merupakan

perasaan individu dimana mereka beresiko untuk terkena suatu penyakit yang

spesifik (Resenstock 1988).

Persepsi keseriusan individu dapat dilihat dari derajat keparahan baik

secara klinis maupun emosional akibat perkembangan suatu penyakit. Dampak

yang ditimbulkan berupa ketidaknyamanan, kecacatan, atau bahkan kematian.

Dampak lain yang mungkin ditimbulkan mencakup dampak sosial, lingkungan,

pekerjaan, dan teman sebaya. Persepsi manfaat merupakan perasaan dimana

individu akan mendapat keuntungan dari tindakan yang akan diambil untuk

mencegah ancaman dari suatu penyakit. Efek kemanfaatan dipengaruhi oleh

pertimbangan terhadap tingkat ancaman yang dirasakan, apabila ancaman yang

dirasakan tinggi, namun tidak ada manfaat yang dirasakan maka kemungkinan

tidak akan ada tindakan yang diambil. Tingginya tingkat ancaman dan manfaat

yang dirasakan menyebabkan seseorang bertindak. Persepsi hambatan dapat

dianggap suatu kemauan individu untuk mengambil suatu tindakan. Persepsi

hambatan mungkin dapat disebabkan oleh adanya biaya, resiko cidera, kesulitan,

dan waktu (Janz 2002).


37

2.5 Keaslian Penulisan

Proses awal dari pengumpulan studi yang relevan dimulai dengan

menentukan keywords yang terkait dengan topik dan tujuan dari penelitian ini.

Adapun keywords yang peneliti hasilkan untuk melakukan pencarian studi di

database yaitu „peer group support‟ dan „HIV and AIDS‟ dengan database

EBSCO, Proquest, dan Scopus, sedangkan untuk keywords „Dukungan Sebaya‟,

„HIV and AIDS‟, dan „self acceptance‟ peneliti mencari major academic database

meliputi Google scholar dan Research Gate. Perpustakaan universitas juga terlibat

dalam pencarian artikel terkait khususnya grey literature.

Tabel 2.3 Keaslian Penulisan


No Judul Penelitian Metode Hasil
1 Peran Dukungan Sebaya 1) Desain : Kualitatif Dukungan sebaya memiliki peran
terhadap Mutu Hidup 2) Sampel : Informan yang bermakna dalam mutu hidup
ODHA di Indonesia utama sebanyak 59 ODHA. ODHA yang mendapatkan
(Handayani 2011) orang (36 orang dukungan sebaya berpengaruh pada
mendapatkan tingkat kepercayaan diri,
dukungan sebaya, 23 pengetahuan HIV, akses layanan
orang tidak HIV, perilaku pencegahan HIV, dna
mendapatkan kegiatan positif yang lebih tinggi
dukungan sebaya) dibandingkan ODHA yang tidak
3) Variabel : mutu hidup mendapatkan dukungan sebaya.
4) Instrumen: deep Ditemukan juga bahwa KDS
interview menjadi contoh bagi ODHA baru
untuk meningkatkan semangat hidup
2 Konstruksi orang dengan 1) Desain : fenomenologi Konstruksi tentang penyakit HIV &
HIV & AIDS (ODHA) 2) Sampel : 3 ODHA AIDS yang terbangun pada diri
tentang penyakit HIV dan laki-laki dan 3 ODHA ODHA saat ini secara umum positif,
perempuan
AIDS di Kelompok meskipun pada awalnya semua
3) Variabel : konstruksi
Dukungan Sebaya orang dengan HIV & ODHA tidak bisa menerima
Jombang Care Center AIDS (ODHA) kenyataan telah mengidap penyakit
Kabupaten Jombang terhadap penyakit HIV tersebut
(Dyagustin & Listyani & AIDS
2015) 4) Instrumen : deep
interview

3 Hubungan Dukungan 1) Desain : cross Adanya korelasi antara dukungan


38

Sosial dengan Kualitas sectional emosi, penghargaan, dan informasi


Hidup orang dengan 2) Sampel : 54 dengan kualitas hidup penderita
HIV/AIDS (ODHA) di Responden HIV/AIDS
3) Variabel : kualitas
Bandar Lampung (Dwi
hidup dan dukungan
2013) social
4) Instrumen : kuisioner
WHOQOL
4 Peran Kelompok 1) Desain : kuantitatif Peran kelompok dukungan sebaya
Dukungan Sebaya dan korelasional sangat baik terhadap kualitas hidup
Kepatuhan Minum Obat 2) Sampel : 30 ODHA ODHA dan adanya hubungan yang
yang tergabung dalam
pada ODHA (Tri Johan, et signifikan antara peran kelompom
komunitas ODHA dan
al. 2015) 30 ODHA yang dukungan sebaya dengan kepatuhan
tergabung dalam minum obat pada ODHA
kelompok dukungan
sebaya di Kecamatan
Turen
3) Variabel : Kelompok
dukungan sebaya dan
kepatuhan minum obat
4) Instrumen :
wawancara
5 Hubungan Dukungan 1) Desain : deskriptif Dukungan sosial dan kualitas hidup
Sosial dengan Kualitas korelasional pada ODHA di kelompok dukungan
Hidup ODHA pada 2) Sampel : 60 orang sebaya Solo Plus Surakarta sebagian
dengan HIV dan AIDS
Kelompok Dukungan besar menerima dukungan sedang.
3) Variabel : Dukungan
Sebaya Solo Plus di sosial, kualitas hidup, Terdapat hubungan positif antara
Surakarta (Rahdatu 2016) kelompok dukungan dukungan sosial dengan kualitas
sebaya hidup pada ODHA yaitu semakin
4) Instrumen : kuisioner baik dukungan sosialnya maka
kualitas hidup ODHA akan semakin
meningkat
6 Mekanisme Koping pada 1) Desain : Analitik Ada hubungan antara stimulus fokal
ODHA dengan korelasional dengan stimulus konteksual. Faktor
Pendekatan Teori 2) Sampel : 30 orang stimulus kontektual paling dominan
dengan HIV dan AIDS
Adaptasi Calista Roy dimana dalam penelitian ini adalah
3) Variabel : Mekanisme
(Sandu, et al. 2016) koping, orang dengan adanya stimulus lain yang
HIV dan AIDS, teori merangsang seseorang baik internal
adaptasi Callista Roy maupun eksternal serta
4) Instrumen : Kuisioner mempengaruhi situasi dan dapat
diobservasi, diukur, dan secara
subjektif disampaikan oleh individu
39

7 Peer supporter 1) Desain: Kualitatif Dukungan sebaya mempunyai peran


2) Sampel : Fokus grup beberapa aspek positif seperti
experiences of home visits 12 orang yang akan perasaan memiliki dan ada juga
for people melakukan kunjungan beberapa faktor permasalahan
with HIV infection. (Lee ke rumah orang didalamnya seperti ketidakstabilan
dengan HIV dan peran, stress, dan kekhawatiran
H.J 2015) AIDS tentang kualitas hidup mereka, untuk
3) Varibel : Pengalaman mempertahankan program dukungan
dukungan sebaya, sebaya yang stabil dan efektif
orang dengan HIV diperlukan pelatihan bagaimana
4) Instrumen : deep mencegah dan mengelola stress yang
interview terkait dengan peran tersebut
8 A peer adherence support 1) Desain : Kuantitatif Ada perbedaan jumlah CD4 secara
cross-sectional signifikan antara kelompok
intervention to improve 2) Sample : 340 intervensi yang mengakses
the antiretroviral penderita HIV dan dukungan kepatuhan teman sebaya
treatment outcomes AIDS dan kelompok kontrol yang
3) Variabel : mendapatkan perawatan standar.
of HIV patients in South peer adherence suppor Dukungan teman memiliki efek
Africa: The moderating t intervention, positif terhadap intervensi umum
improv
role of family dynamics e the kepatuhan pengobatan antiretroviral.
antiretroviral
(Wouters 2014)
treatment outcomes
of HIV patients
4) Instrumen : Kuisioner
BAB 3
KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Konseptual

Faktor Pemodifikasi Persepsi Individu Tindakan

Faktor demografi : Cues to


1. Usia Persepsi action kerentanan
2. Jenis kelamin
3. Pendidikan
4. Pekerjaan Persepsi
5. Pengetahuan keseriusan
6. Dukungan
Persepsi
Hambatan Self acceptance penderita HIV

Aspek self acceptance : dan AIDS Persepsi


1. Fisik Keuntungan
2. Psikis (kepribadian)
3. Sosial (Peer group)
4. Moral

Keterangan :

Diteliti : :

Tidak diteliti :

Gambar 3.1 Kerangka konseptual Analisis Faktor Self Acceptance Penderita


HIV dan AIDS dalam Kelompok Dukungan Sebaya berdasarkan
Teori Health Belief Model Rosentock (1988)

40
41

Teori Health Belief Model yang ntelah dimodifikasi menjelaskan bahwa

penerimaan diri penderita HIV dan AIDS dipengaruhi oleh beberapa faktor.

Faktor utama yang dapat mempengaruhi penerimaan diri penderita HIV dan

AIDS yaitu faktor pemodifikasi, persepsi individu, dan isyarat untuk bertindak.

Faktor pemodifikasi terdiri atas faktor demografi yang dapat berupa umur, jenis

kelamin, pendidikan, pekerjaan, pengetahuan, dan dukungan. faktor pemodifikasi

juga dapat dari aspek dalam self acceptance yaitu aspek fisik, sosial, psikologis,

dan moral. Perbedaan dari faktor demografi dan aspek dari self acceptance

mempengaruhi persepsi individu tentang penyakit HIV dan AIDS. Persepsi

individu dibedakan menjadi perceveid benefit, perceveid barrier, perceveid

seriousness, dan perceveid susceptibility. Persepsi individu tersebut menimbulkan

persepsi ancaman yang dirasakan individu sehingga mempengaruhi keputusan

individu untuk bertindak dalam menjalankan terapi medikasi. Persepsi ancaman

yang dirasakan berpengaruh terhadap tingkat penerimaan diri terhadap penyakit

HIV dan AIDS. Faktor pemodifikasi dan persepsi individu secara langsung dapat

mempengaruhi tingkat penerimaan diri pada penderita HIV dan AIDS.

3.2 Hipotesis Penelitian

Hipotesis penelitian yang ditetapkan pada penelitian ini adalah:

Hı : Ada hubungan antara faktor demografi dengan persepsi individu

H0 : Tidak Ada hubungan antara faktor demografi dengan persepsi individu

Hı : Ada hubungan antara persepsi individu dengan self acceptance

penderita HIV dan AIDS

H0 :Tidak Ada hubungan antara persepsi individu dengan self acceptance

penderita HIV dan AIDS


BAB 4
METODE PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain penelitian kuantitatif yang

menggunakan metode deskriptif korelasional dengan pendekatan cross sectional.

Penelitian dekriptif korelasional merupakan penelitian yang bertujuan untuk

menjelaskan suatu hubungan antara variabel satu dengan variabel lainnya.

Penelitian cross sectional adalah penelitian dimana peneliti mengukur data

variabel independen dan dependen hanya sekali pada satu waktu (Nursalam,

2016). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang

berhubungan dengan self acceptance penderita HIV dan AIDS berdasarkan teori

Health Belief Model. Data yang terhimpun kemudian diinterpretasikan dan

dianalisis untuk membuktikan hipotesis diterima atau ditolak.

Pengukuran

Variabel 1 Deskripsi Variabel


Interpretasi
Uji hubungan makna

Variabel 2 Deskripsi Variabel

Gambar 4.1 Kerangka Metode Penelitian Deskriptif Korelasional (Nursalam


2016)

42
43

Rancangan penelitian digambarkan sebagai berikut:


Variabel X2 1:
Persepsi Keseriusan

Variabel X2 2:
Persepsi Kerentanan Uji Hubungan
Variabel X1: Variabel Y:
Faktor pemodifikasi Self Acceptance
Demografi Variabel X2 3:
Persepsi Manfaat

Variabel X2 4:
Persepsi Hambatan

Gambar 4.2 Kerangka Penelitian Analisis Faktor Self Acceptance Penderita


HIV dan AIDS dalam Kelompok Dukungan Sebaya (KDS)
Berdasarkan Teori Health Belief Model di KDS Yayasan
Mahameru Surabaya Bulan Juli 2017

4.2 Populasi, Sampel, dan Sampling

4.2.1 Populasi

Populasi target dalam penelitian ini yaitu penderita HIV dan AIDS dalam

Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) Yayasan Mahameru dan populasi terjangkau

pada penelitian ini yaitu penderita HIV dan AIDS yang aktif mengikuti kegiatan

dari bulan Januari – Mei 2017 berjumlah 86 penderita.

4.2.2 Sampel

Sampel dalam penelitian ini berjumlah 43 penderita. Pemilihan sampel

dilakukan dengan menetapkan kriteria sebagai berikut:

1. Kriteria inklusi

1) Penderita HIV dan AIDS dengan usia produktif (18 - 64 tahun) (BPS,

2016)

2) Aktif dalam KDS dari bulan Januari-Mei 2017


44

2. Kriteria Eksklusi

1) Penderita HIV dan AIDS berusia kurang dari 18 tahun dan lebih dari

64 tahun

2) Penderita HIV dan AIDS dengan munculnya tanda-tanda infeksi

oportunistik

4.2.3 Sampling

Metode sampling yang digunakan oleh peneliti adalah nonprobability

sampling yaitu purposive sampling dengan cara memilih sampel diantara

populasi berdasarkan dengan tujuan penelitian. Peneliti dibantu oleh ketua

kelompok dukungan sebaya Yayasan Mahameru, didapatkan 43 orang dengan

HIV/AIDS yang tergabung dalam kelompok dukungan sebaya Yayasan

Mahameru di Surabaya yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi untuk

menjadi responden penelitian.

4.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel

4.3.1 Variabel Independen

Variabel independen dalam penelitian berasal dari struktur teori HBM

meliputi faktor pemodifikasi demografi dan persepsi individu. Faktor

pemodifikasi demografi adalah faktor-faktor yang dapat mempengaruhi persepsi

individu meliputi umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, pengetahuan, dan

dukungan. Persepsi individu meliputi persepsi manfaat, hambatan, keseriusan,

kerentanan.
45

4.3.2 Variabel Dependen

Variabel dependen adalah faktor yang diamati dan diukur untuk

menentukan ada tidaknya hubungan dari variabel bebas. Variabel dependen pada

penelitian ini adalah self acceptance penderita HIV dan AIDS


46

4.3.3 Definisi Operasional

Tabel 4.1. Definisi Operasional Analisis Faktor yang berhubungan dengan Self Acceptance Penderita HIV dan AIDS dalam
Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) Berdasarkan Teori Health Belief Model di KDS Yayasan Mahameru Surabaya Bulan Juli
2017
Variabel Definisi Operasional Parameter Alat Ukur Skala Skor
Variabel Dependen
Self Acceptance Suatu sikap dalam menilai 1. Sikap dan perilaku didasarkan Kuisioner Ordinal Penilaian dengan skala
diri sendiri dan keadaannya nilai-nilai standar diri tidak likert terdiri dari 1-4
Self Acceptance
secara objektif serta dipengaruhi lingkungan luar yaitu:
menerima segala potensi- 2. Keyakinan dalam menjalani Scale (SAS)
1. Sangat tidak sesuai
potensi yang dimilikinya, hidup
keterbatasan yang disadari 3. Berani bertanggung jawab (STS)
tanpa menimbulkan rasa terhadap perilakunya 2. Tidak sesuai (TS)
malu, rendah diri dari 4. Mampu menerima pujian dan 3. Sesuai (S)
penilaian orang lain kritik secara subjektif 4. Sangat sesuai (SS)
terhadap dirinya 5. Tidak menyalahkan diri atas Skor:
perasaannya terhadap orang 1: SS
lain 2: S
6. Menganggap dirinya memiliki
kemampuan sama dengan 3:TS
orang lain 4:STS
7. Tidak mengharapkan Kategori :
penolakan orang lain - Baik : T ≥ median
8. Tidak menganggap dirinya - Buruk : T ≤ median
berbeda dari orang lain (Denmark 1973)
9. Tidak malu atau rendah diri Coding:
0 = Buruk
47

1 = Baik
Variabel Definisi Operasional Parameter Alat Ukur Skala Skor
Variabel Independen:
Faktor
pemodifikasi
demografi
1. Umur Satuan waktu yang 1 = Dewasa muda (18 – 35 tahun) Pertanyaan dalam Ordinal Dikategorikan menjadi
terhitung sejak tahun lahir 3 = Dewasa tengah (36 – 55 kuisioner :
responden sampai tahun tahun) demografi 1= Dewasa muda
dilaksanakannya 4 = Dewasa akhir (56 – 65 tahun) 2= Dewasa tengah
penelitian 3= Dewasa akhir
2. Jenis Kelamin Gender responden yang 4.1.1.1 Laki- laki Pertanyaan dalam Nominal Dikategorikan menjadi
dibawa sejak lahir 4.1.1.2 Perempuan kuisioner :
demografi 1. Laki-laki
2. Perempuan
3. Pendidikan Jenjang pendidikan 1. Lulus SD/MI Pertanyaan dalam Ordinal Dikategorikan menjadi:
terakhir yang ditempuh 2. Lulus SMP kuisioner 1. Lulus SD/MI
responden 3. Lulus SMA demografi 2. Lulus SMP
4. Lulus Diploma/Sarjana 3. Lulus SMA
5. Lainnya 4. Lulus
Diploma/Sarjana
5. Lainnya
4. Pekerjaan Pencaharian yang Jenis pekerjaan responden Pertanyaan dalam Nominal Dikategorikan menjadi:
dijadikan pokok kuisioner 1. PNS/TNI/POLRI
penghidupan atau sesuatu demografi 2. Swasta
yang diperoleh untuk 3. Tidak Bekerja
mencari nafkah 4. Lainnya
48

Variabel Definisi Operasional Parameter Alat Ukur Skala Skor


5. Pengetahuan Pemahaman responden 1. Jenis infeksi HIV Pertanyaan dalam Nominal Dikategorikan menjadi:
mengenai HIV dan AIDS 2. Pengobatan HIV kuisioner Salah = 0
3. Penularan HIV demografi Benar = 1

Baik : 76-100%
Cukup : 56-75%
Kurang : ≤ 55%
6. Dukungan Sumber emosional, 1. Dukungan sosial keluarga Pertanyaan dalam Nominal Dikategorikan menjadi:
sosial informasional, atau 2. Dukungan sosial teman sebaya kuisioner 1: Dukungan sosial
pendampingan yang 3. Dukungan sosial teman sebaya demografi keluarga
diberikan oleh orang- dan keluarga 2: Dukungan sosial
orang disekitar individu teman sebaya
untuk menghadapi setiap 3: Dukungan sosial
permasalahan dan krisis teman dan keluarga
yang terjadi dalam
kehidupan
Persepsi individu
Persepsi Pendapat subjektif 1. Penyakit dapat menyebabkan Kuisioner Ordinal Skoring terdiri dari 4:
keseriusan responden tentang kematian 1: Sangat tidak setuju
keseriusan dari penyakit 2. Penyakit lebih buruk dari 2: Tidak setuju
penyakit kronis lainnya 3: Setuju
3. Penyakit dapat menyebabkan 4: Sangat setuju
keluarga ikut sakit Persepsi (+) : T ≥
4. Penyakit merupakan penyakit median data = 1
terburuk yang pernah diderita Persepsi (-) : T ≤
49

median data = 0
Variabel Definisi Operasional Parameter Alat Ukur Skala Skor
Persepsi Pendapat subjektif 1. Mengetahui resiko akibat Kuesioner Ordinal Skoring terdiri dari 4
kerentanan responden tentang resiko terkena HIV dan AIDS yaitu:
terkena penyakit HIV dan 2. Mengetahui mengenai 1: Sangat tidak setuju
AIDS pengobatan untuk mengurangi 2: Tidak setuju
paparan virus 3: Setuju
3. Mengetahui resiko akan 4: Sangat setuju
diasingkan oleh masyarakat Persepsi (+) : T ≥
4. Penyakit akan sulit untuk median data
sembuh Persepsi (-) : T ≤
median data
Coding :
0 = Persepsi Negatif
1 = Persepsi Positif
Persepsi Pendapat subjektif 1. Penggunaan kontrasepsi untuk Kuesioner Ordinal Skoring terdiri dari 4
manfaat responden tentang mengurangi resiko penularan yaitu:
keuntungan yang diperoleh 2. Konsumsi obat ARV 1: Sangat tidak setuju
dari pencegahan penularan mengurangi timbulnya gejala 2: Tidak setuju
HIV 3. Penerimaan status HIV dapat 3: Setuju
mengurangi stress 4: Sangat setuju
4. Pola gaya hidup sehat Persepsi (+) : T ≥
median data
Persepsi (-) : T ≤
median data
Coding :
0 = Persepsi Negatif
1 = Persepsi Positif
50

Variabel Definisi Operasional Parameter Alat Ukur Skala Skor


Persepsi Persepsi subjektif responden 1. ODHA belum bisa diterima Kuesioner Ordinal Skoring terdiri dari 4
hambatan terhadap kondisi yang oleh masyarakat disekitarnya yaitu:
menjadi halangan untuk 2. Informasi terkait HIV 1: Sangat tidak setuju
mengurangi gejala HIV 3. Efek samping obat 2: Tidak setuju
4. Hambatan dalam penerimaan 3: Setuju
status HIV 4: Sangat setuju
Persepsi (+) : T ≥
median data
Persepsi (-) : T ≤
median data
Coding :
0 = Persepsi Negatif
1 = Persepsi
Positif
51

4.4 Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini, melalui metode kuesioner.

Kuesioner tersebut meliputi:

1. Kuesioner untuk self acceptance merupakan alat ukur dengan menggunakan

skala penerimaan diri Self Acceptance Scale berdasarkan karakteristik

penerimaan diri oleh Sheerer yang kemudian dimodifikasi oleh Berger

(Denmark 1973). Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Lia (2016)

alat ukur ini telah diuji reabilitasnya dengan menggunakan koefisien

Cronbach’s Alpha dan didapatkan nilai koefisien reabilitas alat ukur

penerimaan diri sebesar 0,888 dengan dua kali putaran yang berarti alat ukur

tersebut reliable. Penelitian ini diukur menggunakan skala model Likert

dengan 4 pilihan jawaban yaitu: (1) Sangat Tidak Sesuai = STS, (2) Tidak

Sesuai = TS, (3) Sesuai = S, (4) Sangat Sesuai = SS. Peneliti membagi dua

kategori item pertanyaan, yaitu favorable dan unfavorable dengan

menggunakan bobot nilai, proses input data diberi coding dengan T ≥ median

data (Baik) = 1 dan T < median data (Buruk) = 0 . Skala penerimaan diri

menggunakan Berger‟s Self Acceptance Scale yang terdiri dari 36 butir

pertanyaan. Skala penerimaan diri mengacu pada karakteristik penerimaan diri

oleh Sheerer yang kemudian dimodifikasi oleh Berger (Denmark 1973).

Tabel 4.2 Dimensi alat ukur penerimaan diri


Nomor Pertanyaan
No Indikator Jumlah
Favorable Unfavorable
1 Sikap dan perilaku didasarkan nilai-
nilai standar diri tidak dipengaruhi 21 9, 30, 33 4
lingkungan luar
2 Keyakinan dalam menjalani hidup 1, 26 12, 36,16 5
3 Berani bertanggung jawab terhadap
14 11 2
perilakunya
52

4 Mampu menerima pujian dan kritik


25, 29 3, 23, 31 5
secara subjektif
5 Tidak menyalahkan diri atas
7, 27 13, 17, 20 5
perasaannya terhadap orang lain
6 Menganggap dirinya memiliki
kemampuan sama dengan orang 15, 28 5 3
Lain
7 Tidak mengharapkan penolakan
2, 6, 10, 11,34 5
orang lain
8 Tidak menganggap dirinya berbeda
19, 32 22, 24 4
dari orang lain
9 Tidak malu atau rendah diri 4, 8, 18 3
Total 12 24 36

2. Kuesioner A (Faktor pemodifikasi: umur, jenis kelamin, pendidikan, dll)

Kuesioner A berisikan komponen faktor pemodifikasi demografi meliputi

umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, pengetahuan, dan dukungan

sosial. Umur, jenis kelamin, pendidikan, pengetahuan, pekerjaan, dan

dukungan diukur menggunakan pertanyaan pilihan. Responden

memberikan jawaban dengan cara memberi tanda (√) pada kotak yang

tersedia

3. Kuesioner B (Variabel persepsi: persepsi kerentanan, persepsi keseriusan,

persepsi manfaat, dan persepsi hambatan)

Kuesioner B merupakan kuesioner variabel persepsi individu yang

diadopsi dengan modifikasi dari kuesioner Coe et al (2012) berdasarkan

pengembangan dari domain teori Health Belief Model, terdiri dari persepsi

kerentanan 4 pertanyaan terdiri dari pertanyaan favourable (1,2,3) dan

unfavourable (4), persepsi keseriusan 4 pertanyaan terdiri dari pertanyaan

favourable (1,2,4) dan unfavourable (3), persepsi manfaat 4 pertanyaan

terdiri dari pertanyaan favourable (1,2,3,4), dan persepsi hambatan 4


53

pertanyaan terdiri dari pertanyaan favourable (1,3) dan unfavourable (2,4).

Skoring menggunakan skala likert 1-4 (1 = sangat tidak setuju, 2= tidak

setuju, 3= setuju, 4= sangat setuju). Proses input data diberi coding dengan

T ≥ median data (persepsi positif) = 1 dan T < median data (persepsi

negatif) = 0. Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Coe et al

(2012) dalam Maziya (2016) instrumen ini telah digunakan untuk meneliti

persepsi individu dalam HBM terhadap penerimaan vaksin virus H1N1

dan telah dilakukan uji reliabilitas (persepsi keseriusan R = 0, 62; persepsi

kerentanan R= 0, 69; persepsi manfaat R=0,22 dan persepsi hambatan R =

0,78).

4.5 Uji Validitas dan Reliabilitas

4.5.1 Uji Validitas

Validitas dalam pengukuran merupakan sebuah konsep tentang kesesuaian

hubungan antara definisi konseptual dengan definisi operasional. Validitas yang

dipakai dalam penelitian ini adalah validitas konstruk, yaitu konsep validitas dari

konstruksi teoritik tentang variabel yang akan diukur oleh jenis alat ukur.

Konstruksi yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu self acceptance. Pengujian

validitas alat ukur ini dilakukan dengan cara menghubungkan tiap skor pada item

dengan skor totalnya, setelah data ditabulasikan maka pengujian validitas

konstruksi dilakukan dengan analisis faktor yaitu dengan mengkorelasikan antar

skor item instrument. Oleh karena itu, untuk mendapatkan koefesien korelasi antar

skor item dengan skor total digunakan teknin korelasi product moment dari

Pearson. Pelaksanaan uji coba alat ukur telah dilakukan oleh peneliti kepada 43
54

partisipan penderita HIV dan AIDS. Item instrument dianggap valid dengan

membandingkan dengan r tabel yaitu rdihitung > rtabel.

4.5.2 Uji Reliabilitas

Reliabilitas ukur menunjukkan konsistensi sebuah alat ukur. Konsistensi

sebuah alat ukur dapat ditunjukkan ketika sebuah alat ukur yang digunakan

berulang kali, akan didapatkan haisl yang sama. Pengukuran reliabilitas

instrument penelitian ini diukur dengan menggunakan teknik Alpha Cronbach. Uji

coba yang dilakukan dalam penelitian ini adalah uji coba terpakai, dimana

pengukuran hanya dilakukan satu kali dan langsung pada subjek penelitian. Hasil

uji coba tersebut juga digunakan dalam analisis data pada penelitian ini.

Reliabilitas dinyatakan koefesien reliabilitas yang angkanya antara 0

sampai 1.00. semakin tinggi koefesien reliabilitas mendekati angka 1.00 berarti

semakin tinggi reliabilitasnya, begitupun sebaliknya jika koefesien reliabilitas

mendekati angka 0 maka semakin rendah reliabilitasnya. Dari uji reliabilitas yang

dilakukan oleh peneliti diperoleh koefesien sebesar 0,716 sehingga skala ini

reliabel untuk digunakan dalam penelitian ini dan pada alat ukur self acceptance

ini ada 11 item yang gugur karena memiliki nilai correceted item-total correlation

dibawah 0,3.

4.6 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 24-25 Agustus 2017 yang

bertempat di Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) Yayasan Mahameru Surabaya.


55

4.7 Prosedur Pengambilan dan Pengumpulan Data

Pengambilan dan pengumpulan data pada penelitian ini dibagi

menjadi beberapa tahap, yaitu:

1. Tahap administratif

Peneliti mengajukan surat permohonan pengumpulan data awal pada bagian

akademik Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga dengan tujuan kepada

kepala Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) Yayasan Mahameru Surabaya

untuk melakukan pengambilan data awal penelitian. Peneliti menyerahkan

persyaratan yang diperlukan kepada kepala Kelompok Dukungan Sebaya

(KDS) Yayasan Mahameru untuk mendapatkan data awal

2. Tahap pencarian dan penentuan responden

Peneliti mencari dan menetukan responden penelitian sesuai dengan kriteria

inklusi. Peneliti dibantu oleh Kepala Kelompok Dukungan Sebaya (KDS)

Yayasan Mahameru yang didalamnya terdapat orang dengan HIV/AIDS untuk

mendapatkan responden dengan kriteria inklusi yang tergabung dalam

kelompok dukungan sebaya

3. Tahap etik penelitian

Peneliti mengajukan uji etik penelitian di Fakultas Keperawatan Universitas

Airlangga untuk mengetahui apakah penelitian yang dilakukan oleh peneliti

laik untuk dilakukan atau tidak. Uji etik dilakukan untuk mengusahakan

manfaat sebesar-besarnya, memperkecil kerugian atau resiko bagi subjek dan

memperkecil kesalahan penelitian


56

4. Tahap informed consent

Peneliti menjelaskan kepada responden tentang masalah, tujuan, dan manfaat

penelitian. Responden diberikan lembar informed consent dan kuisioner.

Responden diberikan penjelasan tentang cara pengisian kuisioner dan

memfasilitasi bila ada kemungkinan terdapat kebingungan atau kesalahan

responden dalam pengisian kuisioner

5. Tahap pengumpulan data

Pada tahap pengambilan data, peneliti menghubungi ketua KDS Yayasan

Mahameru untuk menentukan jadwal pengambilan data. Proses pengambilan

data dilakukan bersamaan dengan program pendampingan rutin yang

dilakukan oleh KDS Yayasan Mahameru dan dilakukan dua kali pengambilan

data yaitu pada tanggal 24-25Agustus 2017 pukul 09.00 WIB, hari pertama 20

responden berkumpul dan hari kedua terdapat 23 responden yang bertempat di

kantor KDS Yayasan Mahameru Jalan Tirtoyoso I. Peneliti mendampingi

responden saat pengisian kuisioner. Sebelum mengisi kuisioner, responden

diberikan penjelasan terkait tujuan, manfaat penelitian, dan dipersilahkan

mundur jika tidak bersedia menjadi responden penelitian ini, setelah itu

responden diberikan waktu untuk bertanya jika ada yang belum paham terkait

dengan poin-poin pada kuisioner. Data yang terkumpul dicatat dalam lembar

pengumpulan data.
57

4.8 Analisis Data

Data yang terkumpul melalui kuisioner pada penderita HIV dan AIDS

akan diolah menjadi beberapa tahap, yaitu:

1. Tahap Persiapan

Peneliti memeriksa kembali kelengkapan data dari responden yang meliputi

lembar persetujuan (informed consent), kelengkapan lembar kuisioner, serta

kelengkapan jawaban item oleh responden.

2. Tahap tabulasi, yang termasuk dalam tahap ini antara lain :

1) Coding, yaitu pemberian kode numerik (angka) terhadap data yang terdiri dari

beberapa kelompok (klasifikasi data). Kegunaan dari coding yaitu unutk

mempermudah entry data.

3. Scoring, yaitu pemberian skor dalam setiap option jawaban pada setiap item

pertanyaan di dalam kuisioner.

4. Tahap analisis statistik.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang berhubungan

dengan self acceptance penderita HIV dan AIDS dalam kelompok dukungan

sebaya berdasarkan data yang diperoleh peneliti dari kuisioner responden.

Data yang dihasilkan pada penelitian ini merupakan data kategorikal yang

diperoleh dari analisis penerimaan diri (self acceptance) penderita HIV dan

AIDS, faktor pemodifikasi serta persepsi individu yang dituliskan dalam

frekuensi dan proporsi. Uji statistik regresi logistic dan pearson’s correlation

digunakan untuk menentukan hubungan antara faktor pemodifikasi demografi

dengan persepsi individu dan hubungan antara persepsi individu dengan

penerimaan diri penderita HIV dan AIDS. Derajat kepercayaan (confidance


58

interval) sebesar 95% dengan alpha (α) = 5% atau 0,05. Jika hasil uji statistik

(p value) kurang dari sama dengan α (p ≤ 0,05) maka hipotesis diterima atau

ada hubungan antara variabel x dan variabel y

4.9 Kerangka Kerja Penelitian


Menentukan populasi target penderita HIV dan AIDS dalam
Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) Yayasan Mahameru
yang aktif mengikuti kegiatan dari bulan Januari – Mei 2017
berjumlah 86 orang

Pusrposive sampling

Menentukan sampel berdasarkan kriteria inklusi dan eklusi dan besar


sampel berjumlah 43 orang

Mengidentifikasi : 1) Faktor pemodifikasi (Usia, jenis kelamin,


pendidikan, dll) ; 2) persepsi individu (persepsi kerentanan,
keseriusan, manfaat, hambatan); 3) self acceptance penderita HIV
dan AIDS

Mengukur self acceptance dengan menggunakan alat ukur self


acceptance scale; mengukur faktor pemodifikasi demografi dari teori
Health Belief Model; dan persepsi individu menurut AIDS Health Belief
Scale, yang telah diisi oleh responden

Menganalisis data hasil dari pengukuran tingkat Self Acceptance Scale, faktor
pemodifikasi dan persepsi individu dengan menggunakan Uji Regresi Logistik dan
pearson’s correlation untuk mengetahui hasil signifikasi dari pengujian (p ≤ 0.05)

Mengetahui hasil analisis faktor yang berhubungan dengan self


acceptance penderita HIV dan AIDS dalam KDS

Merekomendasikan hasil penelitian kepada Kelompok Dukungan Sebaya (KDS)

Gambar 4.3 Kerangka Kerja Penelitian Analisis Faktor yang Berhubungan


dengan Self Acceptance Penderita HIV dan AIDS dalam Kelompok
Dukungan Sebaya (KDS) Berdasarkan Teori Health Belief ModelI
di KDS Yayasan Mahameru Surabaya Bulan Juli 2017
59

4.10 Etik Penelitian

Penelitian ini telah dilakukan uji etik dan dinyatakan lolos yang dilakukan

oleh Komisi Etik Penelitian Kesehatan di Fakultas Keperawatan Universitas

Airlangga dengan nomor keterangan lolos kaji etik yaitu 477-KEPK.

4.10.1 Sikap Menghormati Orang (Respect toHuman)

1. Informed consent

Lembar persetujuan diberikan kepada responden, tujuannya adalah subjek

mengetahui dan tujuan penelitian serta dampak yang diteliti selama

mengumpulkan data. Jika responden bersedia diteliti maka harus

meanandatangani lembar penelitian, jika menolak maka peneliti tidak akan

memaksa dan tetap menghormati haknya

2. Autonomy

Prinsip autonomy adalah peneliti memberikan kebebasan bagi klien

menetukan keputusan sendiri apakah bersedia atau tidak bersedia atau tidak ikut

dalam penelitian, tanpa adanya paksaan dan pengaruh dari peneliti.

3. Anonimity

Bertujuan untuk menjaga kerahasian identitas responden penelitian

tidak akan mencatumkan nama responden pada kuesioner yang di isi oleh

responden, lembar tersebut hanya diberi nomor kode tertentu.

4. Confidentialy

Semua informasi yang telah dikumpulkan dari responden dijamin

kerahasiaanya oleh peneliti, hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan

pada hasil riset. Peneliti manjaga kerahasian responden dengan isian nama pada

informed consent hanya menggunakan nama (inisial) bukan nama lengkap, isian
60

dipandu oleh peneliti tanpa melibatkan orang luar penelitian, pengisian diawasi

langsung oleh penanggungjawab kasus dari kelopok dukungan sebaya yayasan

Mahameru Surabaya.

5. Freedom

Perilaku tanpa tekanan dari luar, memutuskan sesuatu tanpa tekanan atau

paksaan pihak lain, berarti responden bebas menentukan pilihan yang menurut

pandangannya sesuatu yang terbaik. Responden mempunyai hak untuk menerima

atau menolak asuhahan keperwatan yang diberikan namun pada penelitian ini,

peneliti tidak melakukan intervensi asuhan keperawatan sehingga konteks

kebebasan dalam penelitian ini adalah kebebasan dalam memilih mengikuti

penelitian atau tidak.

4.10.2 Bebuat Baik dan Tidak Merugikan (Beneficience and Non

Maleficience)

1. Nonmaleficience

Prinsip ini berarti tidak menimbulkan bahaya/cidera fisik dan

psikologis pada klien.

2. Beneficience

Berarti hanya melakukan sesuatu yang baik. Kebaikan, memerlukan

sesuatu pencegahan dari kesalahan atau kejahatan, penghapusan kesalahan atau

kejahatan dan peningkatan kebaikan oleh diri dan orang lain dan secara aktif

berkontribusi bagi kesehatan dan kesejahteraan klien.

3. Keadilan (Justice)

Keterlibatan subjek penelitian berdasarkan persetujuan antar peneliti

dengan klien, yang dilakukan oleh peneliti dengan sama dan adil. Keadilan dalam
61

peneliti ini, diterapkan dengan memenuhi haksubjek untuk mendapatkan

penaganan yang sama dan adil, dengan memberikan kesempatan yang sama dan

menghormati persetujuan dalam informed consent yang telah disepakati.

4.11 Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan dalam penelitian ini yaitu instrument yang diadopsi dari

penelitian luar negeri. Faktor perbedaan budaya yang digunakan oleh orang luar

negeri berbeda dengan orang Indonesia, sehingga poin-poin yang terdapat dalam

kuesioner mungkin kurang sesuai jika digunakan untuk orang Indonesia.


DAFTAR PUSTAKA

Agustiani, Dwi., 2013. Hubungan Dukungan Sosial dengan Kualitas Hidup


ODHA di Kota Bandar Lampung. Universitas Indonesia, Jakarta

Allport. G. W., 1992. Personal Religious Orientation and Prejudice. Journal of


Personality and Social Psychology, 5, 432-433

Ardhiyanti, Y. Lusiana, N. Megasari, K., 2015. Bahan Ajar AIDS pada Asuhan
Kebidanan. Deepublish, Yogyakarta

Astuti., 2008. Hubungan Antara Dukungan Sosial Yang Diterima Dengan


Kebermaknaan Hidup Pada ODHA (Orang dengan HIV AIDS). Fakultas
Psikologi. Universitas Mercu Buana, Yogyakarta

Azwar, S., 2011. Reliabilitas dan Validitas Edisi Ketiga. Pustaka Belajar,
Yogyakarta

Bastaman. H. D., 2007. Logoterapi, Psikologi untuk Menemukan Makna Hidup


dan Meraih Hidup Bermakna. Jakarta: Raja Grafindo Persada

Badan Pusat Statistika. 2016. Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional


(BKKBN). Departemen Kesehatan. Survei Demografi dan Kesehatan
Indonesia

Calhoun, JF & Acocella , J. R., 2013. Psychology of Adjusment and Human


Relationship, McGraw Hill, Inc, London

Chaplin, J. P., 2005. Kamus Lengkap Psikologi, Penerjemah: Kartini Kartono, PT


Raja Grafindo Persada, Jakarta

Coe, Antoinette PharmD, et. al., 2012. The Use of the Health Belief Model to
Assess Predictors of Intent to Receive the Novel (2009) H1N1 Influenza
Vaccine. Innovations in pharmacy. Vol. 3 No. 2 Article 74

Cutrona, C.E & Russell, D. W., 1987. The Provisions of Social Relationships and
Adaptation to Stress. Literature W.H. Jones & D. Parlman (Eds. 2) Advances
in Personal Relationship (Vol. 1). Greenwich, CT, JAI Press, Inc.

Dariyo, Agoes., 2005. Psikologi Perkembangan Remaja. Ghalia Indonesia, Bogor,


hal. 102-103

Denmark, L. K., 1973. Self Acceptance and Leader Effectiveness. Intrnational


Journal of Extension : Winter 1973. Texas A & M University

Depkes RI., 2009. Rencana Strategi 2005-2009. Jakarta: Depkes RI

Depkes RI., 2011. Profil Kesehatan Indonesia di Tahun 2011. Jakarta: Kemenkes
Dyagustin & Listyani., 2015. Konstruksi Orang dengan HIV &AIDS (ODHA)
Tentang Penyakit HIV & AIDS di Kelompok Dukungan Sebaya Jombang Care
Center Kabupaten Jombang.Thesis. Universitas Indonesia, Jakarta

Edberg, M., 2009. Buku Ajar Kesehatan Masyarakat Teori Sosial dan Perilaku.
Jakarta: EGC

Febri, Ragillia I., 2015. Analisis Faktor Dominan Perilaku Tes HIV Berdasarkan
Teori Health Belief Model Pada Ibu Hamil di Puskesmas Mulyorejo Surabaya.
Skripsi. Universitas Airlangga. Surabaya

Glanz, K., Rimer, B. & Vishwanath, K., 2008. Health Behaviour and Healrh
Education: theory & Practice. New Jersey: Pearson Education, Inc

Griffin, Marry., 2011. Health Belief Model, Social Support, and Intent to Screen
for Colorectal Cancer in Older African American Men. Dessertation of
Faculty of the Graduate School at the University of North Carolina at
Greesboro.

Handayani., 2011. Peran Dukungan Sebaya terhadap Mutu Hidup ODHA di


Indonesia. Seminar Hasil Riset UHAMKA

H. J, Lee., 2015. Peer supporter experiences of home visits for people with HIV
infection.

Hasan, A.B.P., 2008. Pengantar Psikologi Kesehatan Islami. Rajawali Pers,


Jakarta

Heather Z.S., 2001. Group Worok with HIV/AIDS- Affected Children, Adolescent
and Adults: A curriculum guide. Washington DC: Family Ties Project

Hjelle, L. A & Zeigler, D. J., 2012. Personality Theoris : Basic Assumptions,


Research and Application, McGraw Hill, Tokyo

Hurlock, E. B., 1999. Psikologi Perkembangan : Suatu Pendekatan Sepanjang


Rentang Kehidupan hal 276, Erlangga, Jakarta

Hurlock, E. B., 2000. Psikologi Perkembangan : Suatu Pendekatan Sepanjang


Rentang Kehidupan Edisi V, Erlangga, Jakarta

Imrotul, H., 2010. Studi Kasus Tentang Konsep Diri pada Orang dengan
HIV/AIDS. Skripsi. Universitas Negeri Malang. Malang

Janz, K., Champion, V.L & Strecher, V.J., 2002. The Health Belief Model in K.
Glanz, B.K Rimer & F.M Lewis. “Health Behavioral and Health Education:
Theory, Research, and Practice”. San Fransisco: Jossey-Bass
Jawetz, Melnick, and Adelberg‟s. 2011. Medical Microbiology, Edisi 23. Jakarta:

Penerbit Buku Kedokteran EGC hal 233-235

Johan, Tri., Tavip D. W., Joko Pitoyo., 2015. Peran Kelompok Dukungan Sebaya
(KDS) dan Kepatuhan Minum Obat pada ODHA. Jurnal Pendidikan
Kesehatan Vol 4 (1), 64-69

Katzung, B.G., 2004. Farmakologi Dasar Klinik, Diterjemahkan oleh Bagian


Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Buku III, edisi 6,
531, 637. Salemba Medika, Jakarta

Kementrian Kesehatan RI. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan


Penyehatan Lingkungan., 2014. Laporan situasi perkembangan HIV/AIDS di
Indonesia sampai dengan September 2014

Kementrian Kesehatan RI. Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan.,


2014. RI Situasi dan Analisis HIV AIDS di Indonesia sampai dengan
Desember 2014

Kementrian Kesehatan RI. Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan.,


2011. RI Situasi dan Analisis HIV AIDS di Indonesia sampai dengan
Desember 2011

Komisi Penanggulangan AIDS Nasional., 2011. Strategi Dan Rencana Aksi


Nasional Penanggulangan HIV AIDS tahun 2010-2014: lampiran peraturan
Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat nomor
08/PER/MENKO/KESRA/I/2010

Larasati, Marsya., 2012. Hubungan Antara Persepsi Terhadap Dukungan Sosial


dan Depresi pada Homoseksual Usia Dewasa Muda. Thesis. Universitas
Indonesia, Jakarta

Lia, Novita S., 2016. Perbedaan Penerimaan Diri Remaja Akhir Terhadap
Perceraian Orang Tua Ditinjau Dari Locus of Control. Skripsi. Universitas
Airlangga

Lopez, Shane. J. & C.R. Snyder., 2004. Positive Psychological Asessment A


Handbooks of Models and Measures. American Psychological Association,
Washington

Maziya. Nur., 2016. Analisis Faktor yang Berhubungan dengan Kualitas Hidup
Penderita Kusta Berbasis Teori Health Belief Model (HBM) di Puskesmas
Surabaya Utara. Skripsi. Universitas Airlangga. Surabaya

Mead, S dan Cheryl MacNeil., 2005. Peer Support: A Systematic Approach. hal

2-

Anda mungkin juga menyukai