NASKAH PUBLIKASI
Oleh :
YOGYAKARTA
2017
2
3
ABSTRACT
Pengantar
sejenis virus yang menyerang sistem sel darah putih sehingga menurunnya sistem
imun atau kekebalan tubuh seseorang. Sedangkan AIDS atau Acquired Immune
menurunnya sistem kekebalan akibat HIV. Individu yang sudah dinyatakan HIV
positif atau AIDS dinamakan ODHA (Orang Dengan HIV AIDS). Turunnya sistem
individu masuk ke tahap AIDS. Sedangkan bagi individu dengan status AIDS,
komplikasi (www.depkes.go.id, 2014). Salah satu dampak yang akan terjadi apabila
infeksi tidak segera ditangani adalah kemungkinan terjadinya kematian akan sangat
Mwesigire, Katamba, Martin, Seelay, dan Wu (2015), ART memiliki tujuan akhir
yang berkaitan dengan fungsi fisik secara penuh dan kesejahteraan individual.
napza suntik, hubungan seksual baik yang hetero maupun yang sesama jenis, dan
dari ASI ibu positif HIV/AIDS kepada bayi. Bahkan dari beberapa kasus, diketahui
banyak menimpa ibu rumah tangga yang ditularkan dari suami yang terinfeksi HIV
5
pengobatan bagi individu. Adanya perubahan status yang dialami oleh individu
Menurut Jamil (2014), HIV memiliki jumlah kematian yang tinggi, dimana
kematian bukan hanya disebabkan oleh virus HIV saja melainkan juga akibat
yang menyerang biasanya disebabkan oleh beberapa bakteri, virus, jamur, parasit,
dan beberapa kondisi klinis lainnya. Jika ODHA telah terserang, maka resiko
infeksi akan semakin meningkat dan dapat menyerang organ-organ penting seperti
of Health & Family Welfare Goverment of India, 2007). Lubis (2007) juga
menambahkan bahwa HIV juga merupakan faktor resiko yang paling potensial bagi
munculnya TB (tuberkulosis), terutama bagi individu yang baru terinfeksi atau yang
memiliki infeksi TB laten. Selain itu, resiko untuk terkena penyakit TB pada
individu yang positif HIV meningkat sebanyak 50% dibandingkan yang tidak
terinfeksi. Infeksi lain yang juga sering dihadapi oleh ODHA adalah PCP
(Pneumocystis Pneumonia) yang ditandai dengan adanya sesak napas, demam, dan
batuk yang tidak produktif (Fajar, 2013). Penjelasan tersebut semakin diperkuat
pula oleh pernyataan seorang ODHA melalui wawancara yang menjelaskan bahwa
menurunnya sisitem imunitas yang ada dalam tubuh. Beberapa penyakit yang sering
6
lain sebagainya.
Hal lain yang berkaitan masalah kesehatan pada ODHA diungkapkan pula
oleh pakar kesehatan Michael Horberg (tempo.co, 2013) yang menjelaskan bahwa
sebanyak 40 hingga 90% individu yang terinfeksi HIV positif akan menunjukkan
beberapa gejala terkait dengan masuknya virus HIV. Gejala tersebut bisa muncul
dalam kurun dua bulan atau bahkan tidak tampak selama beberapa tahun lamanya.
pembengkakan kelenjar getah bening, kelelahan, nyeri otot dan sendi, berat badan
yang menurun drastis, infeksi pada mulut, herpes dan sebagainya. Selain itu,
menurut Center for Disease and Control Prevention (2014), diperkirakan sebanyak
80% ODHA memiliki masalah terkait dengan virus hepatitis C terutama pada
pengguna narkoba jenis jarum suntik dengan koinfeksi HIV tiga kali lipat lebih
tinggi dibandingkan dengan penyakit hati, gagal hati, dan kematian akibat virus
bahwa adanya masalah kesehatan yang dihadapi oleh ODHA terkait dengan virus
umumnya dan membawa pengaruh pada rendahnya kualitas hidup, terutama yang
yang subjektif dan multidimensional yang berkaitan dengan nilai positif dan negatif
kehidupan. Kualitas hidup juga mencakup beberapa hal seperti kepuasan hidup,
7
terhadap sebuah fakta atau kejadian, dan taraf penerimaan terhadap kondisi tertentu.
kualitas hidup sebesar 62,02. Namun dalam lingkup Asia Tenggara, Indonesia
hidup yang cukup baik. Sementara kualitas hidup terkait dengan kesehatan (health-
related quality of life) sendiri lebih fokus pada konsekuensi kualitas hidup
life juga mencakup adanya kepuasan dan kebahagiaan individu yang berkaitan
ditangani. Masalah lain yang dapat muncul bisa saja bukan hanya terkait dengan
kesehatan saja, namun juga terkait dengan kondisi psikologis akibat dari beban sakit
menemukan bahwa sekitar setengah dari individu dewasa yang terinfeksi HIV
memiliki beberapa bentuk gangguan kejiwaan, dimana salah satunya dan yang
paling umum adalah depresi. Pada perempuan, depresi juga berkaitan dengan
kurangnya dukungan material serta emosional dari pihak keluarga. Bhatia dan
Munjal (2014) menjelaskan bahwa tingkat prevalensi depresi pada ODHA dibawah
meningkat seiring dengan tingkat keparahan gejala. Depresi yang dialami oleh
ODHA juga dikaitkan oleh rendahnya kualitas hidup terkait dengan kesehatan,
ditambah lagi oleh faktor lainnya seperti rendahnya pendidikan, sosial ekonomi
yang rendah serta kurangnya dukungan sosial (Adewuya, dkk, 2008). Chorwe-
infeksi HIV juga dipengaruhi dengan adanya masalah mental, dimana kemudian
masalah mental tersebut diperlukan adanya upaya-upaya yang dilakukan selain juga
untuk meningkatkan kualitas hidup ODHA tersebut. Beberapa contoh upaya yang
spiritual dan psikologis, serta adanya strategi coping (Basavaraj, Navya, & Rashmi,
2010).
Salah satu bentuk coping yang bisa dilakukan oleh individu untuk
mengurangi stres, cemas dan depresi terkait dengan kondisi yang dialami adalah
berpikir positif. Berpikir positif sendiri berkaitan dengan psikologi positif yang
berfokus pada masalah manusia yang unik seperti adanya aktualisasi diri, harapan,
cinta, kesehatan, kreativitas, dan sebagainya (Naseem & Khalid, 2010). Bahkan
ditemukan pula bahwa individu yang mampu berpikir positif memiliki kekebalan
tubuh yang tinggi. Penelitian yang dilakukan oleh Penabaker, dkk juga
9
menunjukkan bahwa adanya pikiran yang positif mampu mengarah pada kesehatan
saja, tetapi juga meningkatkan harga diri dan kesehatan mental bagi individu
(Shokhmgar, 2016), dimana berpikir positif juga merupakan salah satu bentuk
coping yang mempengaruhi kualitas hidup pada ODHA terutama yang berkaitan
dengan kesehatan (Basavaraj dkk, 2011). Menurut Wang, Chang, dan Lai (2012),
berpikir positif adalah sikap mental yang masuk ke dalam pola pikir individu, kata-
sukacita, kesehatan dan hasil yang sukses dari setiap situasi dan tindakan yang ada.
Berpikir positif juga dimaksudkan sebagai sebuah sikap mental yang fokus pada
Berpikir positif merupakan salah satu strategi yang bisa digunakan untuk
mampu menjadi salah satu cara dalam meningkatkan kualitas hidup pada ODHA
meningkatkan kemampuan berpikir positif pun dapat dimulai dari hal-hal kecil
yang ada disekitar, seperti misalnya dengan cara senantiasa membiasakan berbaik
sangka atau bersikap optimis terhadap diri sendiri, orang lain, keadaan dan bahkan
kepada Tuhan Yang Maha Esa. Adanya pembiasaan berpikir positif diharapkan
menurunnya kondisi kesehatan yang disebabkan oleh virus HIV tersebut. Apabila
bukan tidak mungkin kualitas hidupnya akan meningkat. Begitu pula sebaliknya,
kualitas hidup yang rendah dapat ditandai dengan ketidakmampuan individu dalam
merasakan dan mengapresiasi emosi positif, depresi, perasaan bersalah, dan bahkan
penarikan diri dari lingkungan sosial. Belajar dari hal tersebut, maka salah satu
langkah yang dapat dilakukan agar kualitas hidup ODHA menjadi lebih baik adalah
dengan mengupayakan diri untuk selalu berpikir positif. Berpikir positif juga
bertujuan untuk membuat ODHA menjadi lebih optimis terhadap hidup yang
sedang dijalani meskipun kondisi fisiknya tak lagi sama. Selain itu, berpikir positif
juga mampu membuat ODHA lebih fokus pada kelebihan diri sendiri dan hal-hal
baik yang ada di sekitar. Berdasarkan latar belakang dan penjelasan yang telah
dipaparkan, maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah : Apakah ada
pengaruh atau hubungan antara berpikir positif dan health-related quality of life
pada ODHA ?
Metode Penelitian
Data dalam peneltian ini diambil dari ODHA yang terdapat di Yogyakarta
sifat yang sesuai dengan kriteria yang diinginkan dalam penelitian meliputi :
dalam jangka waktu minimal 1 tahun, dan menempuh pendidikan minimal SMP
atau sederajat.
11
menggunakan skala. Skala dalam penelitian ini terdiri dari dua skala, yaitu : skala
health survey SF-36 dan skala berpikir positif. Skala health survey SF-36 disusun
berdasarkan komponen aitem yang dikemukakan oleh Ware dkk (1992) dan terdiri
dikemukakan oleh Diener dkk (2009) dengan jumlah aitem sebanyak 22 aitem.
Skala kepuasan hidup terdiri dari 36 aitem sedangkan skala berpikir positif
terdiri dari 22 aitem. Jawaban kedua skala tersebut kemudian dibagi dalam 5
alternatif jawaban yang terdiri dari (TP) Tidak Pernah, (J) Jarang, (KK) Kadang-
kadang, (S) Sering, dan (S) Selalu. Bobot nilai setiap pilihan berada pada rentang
1-5. Bobot penilaian pada aitem yaitu (TP) Tidak Pernah=1, (J) Jarang=2, (KK)
hubungan antara dukungan sosial dan kepuasan hidup digunakan teknik uji korelasi
Hasil Penelitian
Uji normalitas dilakukan guna mengetahui normal atau tidaknya sebaran data
penelitian. Sebaran data disebut normal apabila nilai p (sig) lebih besar dari 0,05
(p>0,05). Pada penelitian kali ini, teknik yang digunakan untuk melihat normalitas
Tabel 1
Hasil Uji Normalitas Berpikir Positif dan Health-related Quality of Life
12
Sesuai dengan tabel uji normalitas diatas, diketahui bahwa data dari kedua
variabel yaitu health-related quality of life dan berpikir positif, hanya variabel
health-related quality of life yang terdistribusi secara normal. Pada variabel health-
related quality of life didapatkan hasil S-W Test sebesar 0,960 dan p = 0,153
(p>0,05), sedangkan hasil S-W Test pada variabel berpikir positif sebesar 0,943 dan
p = 0,038 (p<0,05).
Pada uji linearitas, jika hasil p < 0.05 maka dapat dinyatakan bahwa kedua
variabel bersifat linear. Hasil uji linearitas dari health-related quality of life dan
Tabel 2
Hasil Uji Linieritas Berpikir Positif dan Health-related Quality of Life
Variabel F p Keterangan
Berpikir Positif
terdistribusi normal dan uji linearitas penelitian menunjukkan hasil yang linear
sehingga uji hipotesis dalam penelitian ini menggunakan uji korelasi Spearman.
Tabel 3
Hasil Uji Hipotesis Berpikir Positif dan Health-related Quality of Life
13
Hasil analisis korelasi antara berpikir positif dan health-related quality of life
Variabel N r r2 p
Positif
menunjukkan nilai p = 0.000 (p < 0.01). Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan
yang signifikan antara kedua variabel penelitian. Nilai korelasi Spearman sebesar
Pembahasan
Mousavi, Esmaeili, dan Saless (2015) yang dikhususkan pada penderita kanker
resiliensi dan kualitas hidup. Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin sering
berdampak pada peningkatan kualitas hidup yang lebih baik. Selain itu, adanya
harapan positif yang dikembangkan individu juga akan meningkatkan segala aspek
Berkaitan dengan sikap resiliensi pada kualitas hidup, Tian dan Hong (2014)
menjelaskan bahwa resilien bukanlah prediktor kuat dari kualitas hidup, tetapi
memiliki pengaruh besar pada tekanan psikologis yang diterima dan efek
faktor penting yang mempengaruhi kualitas hidup individu sehingga mau tidak mau
peran antara resilien dan kualitas hidup tidak bisa diabaikan. Selain berkaitan
14
dengan sikap resilien, berpikir positif, khususnya terkait dengan masa depan
Borrman, Ishak, Rapoport, Hartoonian, & Mirocha, 2012). Hal tersebut didukung
pula oleh Diener (2009) yang menjelaskan bahwa individu yang memiliki
kesejahteraan tinggi lebih banyak membuat penilaian positif dari keadaan dan
berpikir positif memiliki hubungan yang positif dengan kesehatan mental, bahkan
berpikir positif kepada Tuhan jauh lebih berpengaruh pada kesehatan mental
dibandingkan berpikir positif pada sesama. Hal tersebut terjadi dikarenakan pada
saat merenung atau merefleksikan setiap peristiwa kehidupan maupun orang lain,
menafsirkan kejadian-kejadian yang ada dengan cara yang lebih positif, seperti
halnya melihat kondisi sakit sebagai sarana dalam menghargai nikmat akan sehat
(Yucel, 2014). Oleh sebab itu, berpikir positif dapat dimaknai pula sebagai sumber
kebahagiaan, yang tergantung pada seberapa baik individu mampu mengontrol dan
mengelola pikiran.
(Mazanec, Daly, Douglas, & Lipson, 2010), namun bukanlah faktor utama dalam
ODHA. Menurut Conversano dkk (2016), apabila menggunakan strategi coping dan
penanganan yang tepat serta spesifik, optimis atau berpikir secara tidak langsung
lebih baik dibandingkan dengan orang yang pesimis (Conversano, dkk, 2010).
penting yang berpengaruh pada kualitas hidup ODHA, yaitu adanya kesejahteraan
Bahkan menurut Marins, Jamal, Chen, Barros, Hudes, dan Barbosa, ART mampu
dengan HIV, dan bahkan meningkatkan kualitas hidup pasien. Individu yang
mendapatkan dukungan teman sebaya pada saat memulai ART juga menunjukkan
hasil yang berbeda pada kualitas hidup dan dilaporkan semakin meningkat secara
Diedrichs. Nguyen, Nguyen, Ho, Marrone, & Thorson, 2012). Keterkaitan antara
ART dan kualitas hidup semakin diperkuat oleh Oguntibeju (2012) yang
menjelaskan bahwa ada hubungan yang kuat antara ART dan peningkatan kualitas
hidup pada domain yang berbeda, meskipun beberapa penelitian kemudian ikut
melaporkan dampak dari penggunaan ART. Pada penelitian yang dilakukan oleh
Imam, Karim, Ferdous, dan Akhter (2011), diketahui selain faktor psikologis,
16
terdapat beberapa faktor yang berperan dalam menentukan kualitas hidup terutama
sosial sebesar 64,6%, fisik 58,5%, lingkungan 52,4%, dan spiritualitas 52,4%.
Kesimpulan
yang signifikan antara berpikir positif dan health-related quality of life pada
ODHA. Sehingga hipotesis yang diajukan pada penelitian ini diterima. artinya,
semakin tinggi kemampuan berpikir positif yang dimiliki individu, maka semakin
baik pula helath-related quality of life ODHA, meskipun berpikir positif bukanlah
Saran
spritiual sehingga individu tidak hanya mampu berpikir positif, namun juga
terhadap diri sendiri yang kemudian disusul pada lingkungan sekitar. ODHA
juga diharapkan dapat lebih mendekatkan diri terhadap Tuhan Yang Maha Esa
yang diwujudkan dalam sikap optimisme akan masa depan sehingga lebih
termotivasi.
Bagi peneliti lain yang tertarik dengan topik yang sama maupun yang
faktor lain yang dinilai lebih berpengaruh terhadap kualitas hidup ODHA, baik
DAFTAR PUSTAKA
Adewuya, A.O., Afolabi, M. O., Ola, B. A., Oqundele, O. A., Ajibare, A. O.,
Oladipo, B. F., Fakande, I. 2008. Relationship Between Depression and
Quality of Life in Person with HIV Infection in Nigeria. International Journal
Psychiathry Med, 38 (1) 43-51
19
Basavaraj, K.H., Navya, M.A., & Rashmi, R. 2010. Quality of Life in HIV/AIDS.
Indian Journal of Sexuality Transmitted Disease and AIDS, 31 (2) 75-80
Bhatia, M. S., Munjal, S., 2014. Prevalence of Depression in People Living With
HIV/AIDS Undergoing ART and Factors Associated With it. Journal of
Clinical and Diagnostic Research, 8 (10)Depkes. 2014. Situasi dan Analisis
HIV AIDS. www.depkes.go.id diakeses pada tanggal 20 Desember 2016
Ika. (2015). Angka Infeksi Baru HIV/AIDS di Indonesia Capai 25 Ribu Pertahun.
http://ugm.ac.id diakses pada tanggal 2 Desember 2016
Isma Savitri. 2013. 16 Gejala Anda Positif HIV. https://m.tempo.co diakses pada
02 Mei 2017
Jamil, K.F. 2014. Profil Kadar CD4 Terhadap Infeksi Oportunistik Pada Penderita
Human Immunodeficiency Virus / Acquired Immunodeficiency Syndrome
(HIV/AIDS) di RSUD DR Zainoel Abidin. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala,
2 (14) 76-80
Lubis, R. 2007. KO-Infeksi HIV/AIDS dan TB. Info Kesehatan Masyarakat, 11 (1)
76-81
Mazanec, S.R., Daly, B.J., Douglas, S. L., & Lipson, A.R. 2010. The Relationship
Between Optimism and Quality of Life in Newly Disgnosed Cancer Patients.
Cancer Nurs, 33 (3) 235-243
Ministry of Health & Family Welfare Government of India. 2007. Guidlines for
Prevention and Management of Common Opportunistic
20
Mousavi, E., Asmaeili, A., & Saless, S.S. 2015. The Effect of Positive Thinking on
Quality of Life and Resiliency of Cancer Patients. Razavi International J
Med, 3 (3) 1-5
Mutabazi-Mwesigire, D., Katamba, A., Martin, F., Seeley, J., & Wu, A.W. 2015.
Factors That Effect Quality of Life Among People Living with HIV
Attending on Urban Clinic in Uganda A Cohort Study. Plos One, 10 (137) 1-
21
Naseem, Z., Khalid, R. 2010. Positive Thinking in Coping with Stress and Health
Outcomes : Literature Review. Journal of Research and Reflections in
Education, 4 (1) 42-61
Odili, V.U., Ikhurionan, I.B., Usifoh, S.F., & Oparah, A.C. 2011. Determinant of
Quality of Life in HIV/AIDS Patients. West African Journal of Pharmacy, 22
(1) 42-48
Oguntibeju, O.O. 2012. Quality of Life of People Living with HIV and AIDS and
Antiretroviral Therapy. HIV/AIDS – Research and Palliative Care, 4 117-124
Parmar, S.D. 2015. Positive Thinking Can Change Our Life. The International
Journal of Indian Psychology, 2 (3) 27-30
Tam, V.V., Larsson, M., Pharris, A., Diedrichs, B., Nguyen, H.P., Nguyen, C.T.K.,
Ho, P.D., Marrone, G., & Thorson, A. 2012. Peer Support and Improved
Quality of Life Among Persons Living with HIV on Antiretroviral Treatment
: A Randomized Controlled Trial From North –Eastern Vietnam. Health and
Quality of Life Outcomes, 10 (53) 1-13
Tian, J., Hong, J.S. 2014. Assesment of The Relationship Between Resilience and
Quality of Life in Patients with Digestive Cancer. World J Gastroenterop, 20
(48) 18439-18444
Vilhauer, J.S., Young, S., Kealoha, C., Borrman, J., Ishak, W.W., Rapoport, M.H.,
Hartoonian, N., & Mirocha, J. 2012. Treating Major Depression by Creating
21
Positive Expectations for The Future : A Pilot Study for The Effectiveness of
Future Direct Therapy (FTD) on Symptoms Severity and Quality of Life. CNS
Neuroscience Ther,18 (2) 1-8
Wang, H.T., Chang, W., & Lai, Y.F. 2012. A Study On The Relationship Between
Thinking Styles (Attitudes) and Collaboration Attitudes of College Students
in Taiwan. Journal of Educational and Instructional Studies in The World, 2
(7) 46-57