Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
AIDS atau Aquired Immuno Deficiency Syndrome adalah
kumpulan gejala atau syndrome akibat oleh karena penurunan
kekebalan tubuh manusia, yang disebabkan oleh virus HIV atau
Human Immunodeficiency Virus. Laporan Epidemi HIV Global
UNAIDS 2012 menunjukkan bahwa jumlah penderita HIV di dunia
mencapai 34 juta orang. Sekitar 50% di antaranya adalah
perempuan (Depkes, 2015). Di Indonesia penderita HIV/AIDS mulai
ditemukan pada tahun 1987, jumlah penderita sampai bulan Maret
2017 sebesar 87.453, dengan kasus baru ditemukan pada tahun
2016 sebesar 7.491, penularan terbesar dengan cara
heteroseksual yaitu sebesar 68%, dan penularan melalui perinatal
sebesar 3% (Depkes, 2017). Di Jawa Timur sampai dengan bulan
Desember 2016, jumlah kasus AIDS yang dilaporkan adalah
17.394 orang, dan 36.881 kasus HIV. (Dinkes Jatim, 2017)
Tingginya kasus HIV/AID tidak hanya merupakan masalah penyakit
menular saja, tetapi merupakan masalah kesehatan, bahkan
merupakan masalah sosial kemasyarakat yang sangat kompleks.
Berdasarkan Sudikno, dkk (2010) didapatkan pengetahuan
HIV/AIDS remaja di Indonesia dengan katagori baik di perkotaan
sebesar 54% dan di pedesaan sebesar 46,6%. (Gondo, 2018).
Kasus AIDS pertama ditemukan di AS pada 1981, tetapi
kasus tersebut hanya sedikit memberi informasi tentang sumber
penyakit ini. Sekarang ada bukti jelas bahwa AIDS disebabkan oleh
virus yang dikenal dengan HIV. Jadi untuk menemukan sumber
AIDS perlu mencari asal usul HIV. Asal usul HIV bukan hanya
menyangkut masalah akademik, karena tidak hanya memahami
dari mana asal virus tersebut tetapi juga bagaimana virus ini
berkembang menjadi penting sekali untuk mengembangkan vaksin
HIV dan pengobatan yang lebih efektif. Juga, pengetahuan tentang
bagaimana epidemic AIDS timbul menjadi penting dalam
menentukan bentuk epidemi di masa depan serta mengembangkan
pendidikan dan program pencegahan yang efektif (Hasanah et al.,
2016)
Meskipun belum ada obat yang dapat membunuh virus
penyebab AIDS, pengobatan yang mampu meningkatkan harapan
dan kualitas hidup pasiennya sudah lama diperkenalkan.
Pengobatan ini dilakukan dengan pemberian kombinasi obat-obat
antiretroviral. Meskipun hanya sekitar separuh penderita HIV/AIDS
yang menerima terapi antiretroviral pada akhir tahun 2016,
pengobatan ini memiliki tingkat keberhasilan yang menjanjikan [2].
Laporan UNAIDS juga menunjukkan tren yang bagus, dimana
persentase penggunaan obat antiretroviral antiretroviral di kalangan
penderita HIV/AIDS meningkat dari tahun ke tahun [3]. Meskipun
demikian, untuk dapat memberikan hasil terapi yang optimal,
penggunaan obat- obat ini harus dilakukan dengan beberapa
persyaratan yang ketat. Beberapa hal di antaranya adalah
penggunaan kombinasi yang tepat, kepatuhan pasien, serta
dengan mewaspadai efek yang tidak diinginkan akibat adanya
interaksi obat (Yuliandra et al., 2017).
Tujuan pemberian obat ARV adalah memperbaiki status
kesehatandan kualitashidup bagi Orang dengan HIV/AIDS (ODHA),
menurunkan rawat inap akibat HIV, menurunkan kematian terkait
AIDS, menurunkan angka Mother To Child Transmision (MTCT)
atau yang kita kenal dengan penularan dari ibu ke bayi dan juga
memberikan harapan baru bagi penderita HIV/AIDS untuk bisa
hidup lebih lama lagi (Marta, 2019).
Indikator keberhasilan terapi ARV adalah berat badan
penderita HIV/ AIDS meningkat dan tidak terjadi penurunan, viral
load menurun, tidak terjadi infeksi opportunistik dan CD4
meningkat. Cluster Diffential Four (CD4) adalah bagian sel darah
putih yang mana sel ini memegang peranan penting dari sistem
kekebalan tubuh manusia. Setelah mengidap HIV maka CD4 akan
menurun, ini tanda bahwa sistem kekebalan tubuh semakin rusak.
Untuk melihat keberhasilan terapi ARV, maka CD4 perlu dipantau
dan dievaluasi secara periodik, apakah ada peningkatan
dibandingkan sebelum pemberian ARV dengan cara memeriksa
CD4 dilaboraturium. Tes CD4 ini diusulkan setiap 3-6 bulan
(Spiritia,2006).

B. Rumusan Masalah
A. Konsep teori penyakit HIV/AIDS
B. Konsep teori patofisiologi HIV/AIDS, Diagnose HIIV/AIDS
C. Konsep teori penataalaksaan keperawatan HIV/AIDS
D. Konsep teori tentang stigma pada ODHA
E. Faktor yang mempengaruhi stigma dan disskriminasi penderita
HIV/AIDS
F. Dampak stigma bagi psikologis odha

C. Tujuan Dan Manfaaat


Untuk memberikan informasi kepada para pembaca
utamanya bagi semua mahasiswa dan generasi tentang HIV/AIDS,
sehingga dengan demikian kita semua berusaha untuk
menghindarkan dari segala sesuatu yang bias saja menyebabkan
penyakit HIV/AIDS.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsep Teori Penyakit HIV/AIDS

1. Defiisi HIV/AIDS

AIDS merupakan penyakit menular yang disebabkan karena


infeksi dengan virus yang disebut HIV. Virus ini menyerang dan
menghancurkan kelompok sel-sel darah putih tertentu yaitu sel T-
Helper, sel yang membuat zat anti dalam tubuh. HIV memperbanyak
diri dalam sel limfosit yang diinfeksikannya dan merusak selsel
tersebut,sehingga mengakibatkan menurunnya sistem kekebalan dan
daya tahan tubuh. Virus ini terdapat dalam darah dan air mani. Daya
tahan tubuh yang melemah mengakibatkan timbulnya penyakit oleh
karena infeksi ataupun penyakit lain akan meningkat. (Rahakbauw,
2016)
Pengertian HIV adalah merupakan singkatan dari Human
Immunodeficiency Virus yaitu virus yang merusak system kekebalan
tubuh manusia. Virus adalah jasad renik hidup yang amat kecil dan
hanya dapat dilihat dengan mikroskop electron dan virus merupakan
organisme yang bersifat parasitik dan hidup dalam sel tubuh manusia
(Kemenkes, 2012). Acquired Immune Deficiency Sydrome (AIDS)
merupakan kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh Human
Immunodeficiency Virus (HIV). Seseorang yang terinfeksi virus HIV
atau menderita AIDS sering disebut Odha singakatan dari orang yang
hidup dengan HIV/AIDS.(Wahyuny & Susanti, 2019)

Human Immunodeficiency Virus atau biasa disebut HIV adalah


sejenis virus yang menyerang / menginfeksi sel darah putih yang
menyebabkan turunnya kekebalan tubuh manusia. Sedangkan
Acquired Immune Deficiency Syndrome atau AIDS adalah
sekumpulan gejala penyakit yang timbul karena turunnya kekebalan
tubuh yang disebabkan infeksi oleh HIV.(Belakang et al., 2019)
2. Etiologi HIV/AIDS
Etiologi HIV-AIDS adalah Human Immunodefisiensi virus
(HIV) yang meruakan virus sitopatik yang diklasifikasikan dalam
family retroviridae, subfamili lentiviridae, genus lentivirus.
Berdasarkan strukturnya HIV termasuk family retrovirus yang
merupakan kelompok virus RNA yang mempunyai berat molekul
0,7 kb (kilobase). Virus ini terdiri dari 2 grup, yaitu HIV-1 dan HIV
Masing-masing grup mempunyai berbagai subtipe. Diantara kedua
grup tersebut, yang paling banyak menimbulkan kelainan dan lebih
ganas di seluruh dunia adalah grup HIV-1 (United States
Preventive Services Task Force, 2011). (Yuliyanasari, 2017)

HIV/AIDS dapat menyebabkan pertahanan individu terhadap


mikroorganisme patogen menjadi lemah dan meningkatkan resiko
terjadinya infeksi sekunder sehingga masuk ke stadium AIDS.
Sehingga pasien berisiko menderita berbagai jenis infeksi
oportunistik seperti bakteri, jamur, protozoa, atau virus lain.

3. Manifestasi kliis

tanda gejala, dimana kenyamanan pada anak menjadi tujua


utamanya. Sebanyak 60% orang tu melaporkan anak menderita
nyeri (hanya 20% merasakan nyeri ditangani dengan
baik). Tanda gelaja lain yang muncul, yaitu dyspnea,
nausea/vomiting, sialorrhea, konstipation (Seow & Tanuseptro,
2016). Nyeri dan ketidaknyamanan dalam konteks HIV/AIDS pada
anak diakibatkan oleh efek dari HIV itu sendiri atau respon
kekebalan tubuh anak misalnya neuropati perifer, kardiomiopati,
myelopathy dan efek dari infeksi oportunistik misalnya pneumonia,
meningitis, herpes zoster, kandidiasis oral, dan lainnya .
(Ramdhanie et al., 2019)
tanda gejala yang nampak terlihat secara fisik seperti pasien
mempergunakan tato, terdeteksi tbc, hepatitis serta diare kronis,
(Kesehatan, 2018)

Gejala Klinis pada stadium AIDS dibagi antara lain: Demam


berkepanjangan lebih dari tiga bulan, diare kronis lebih dari satu
bulan berulang maupun terus-menerus, penurunan berat badan
lebih dari 10% dalam satu bulan, tuberkulosis (TBC). Gejala Minor :
Batuk kronis selama lebih dari satu bulan, infeksi pada mulut dan
tenggorokan disebabkan jamur Candida Albicans, pembengkakan
kelenjar getah bening yang menetap di seluruh tubuh, munculnya
Herpes zoster berulang dan bercak-bercak gatal diseluruh tubuh.

4. Pencegahan HIV/AIDS
Banyaknya pencegahan yang dapat mengakibatkan tidak
mengalami penyakit HIV AIDS melalui dari hubungan seksual
yang selalu berganti-ganti pasangan, melalui jarum suntik,
melalui tanfusi darah, dan melalui ibu hamil yang telah positif
HIV AIDS pada bayinya. (G. Mayorga et al., 2016)

Cara pencegahan virus HIV yang paling efektif adalah dengan


memutuskan rantai penularan. Pencegahan dikaitkan dengan
cara-cara penularan HIV. Infeksi HIV/AIDS merupakan suatu
penyakit dengan perjalanan yang panjang dan hingga saat ini
belum ditemukan obat efektif maka pencegahan dan penularan
menjadi sangat penting melalui pendidikan kesehatan dan
peningkatan pengetahuan yang mengenai patofisiologi HIV
dan cara penularannya

5. Pengobatan HIV/AIDS
Meskipun belum ada obat yang dapat membunuh virus
penyebab AIDS, pengobatan yang mampu meningkatkan
harapan dan kualitas hidup pasiennya sudah lama
diperkenalkan. Pengobatan ini dilakukan dengan pemberian
kombinasi obat-obat antiretroviral. Meskipun hanya sekitar
separuh penderita HIV/AIDS yang menerima terapi
antiretroviral pada akhir tahun 2016, pengobatan ini memiliki
tingkat keberhasilan yang
Menjanjikan. (Yuliandra et al., 2017)

Pengobatan antiretroviral (ARV) kombinasi merupakan terapi


terbaik bagi pasien terinfeksi Human Immunodeficiency Virus
(HIV) hingga saat ini. Tujuan utama pemberian ARV adalah
untuk menekan jumlah virus (viral load), sehingga akan
meningkatkan status imun pasien HIV dan mengurangi
kematian akibat infeksi oportunistik. (Karyadi, 2017)

B. Konsep teori patofisiologi dan diagnose HIV/AIDS


Perjalanan klinis pasien dari tahap infeksi HIV sampai tahap AIDS,
sejalan dengan penurunan derajat imunitas pasien, terutama seluler
dan menunjukan gambaran penyakit yang kronis. Penurunan
imunitas biasanya diikuti adanya peningkatan risiko dan derajat
keparahan infeksi oportunistik serta penyakit keganasan. Dari
semua orang yang terinfeksi HIV, sebagian berkembang menjadi
AIDS pada tiga tahun pertama, 50% menjadi AIDS sesudah sepuluh
tahun, dan hampir 100% pasien HIV menunjukan gejala AIDS
setelah 13 tahun. Infeksi HIV akan menghancurkan sel-T, sehingga
Thelper tidak dapat memberikan induksi kepada sel-sel efektor
sistem imun. Tanda dan gejala tersebut biasanya terjadi 2-4 minggu
setelah infeksi, kemudian hilang atau menurun setelah beberapa
hari. Selain infeksi primer jumlah limfosit CD4⁺ dalam darah
menurun dengan cepat. Target virus ini adalah limfosit CD4⁺ pada
nodus limfa dan tymus. Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV
asimptomatik (tanpa gejala) masa tanpa gejala bisa berlangsung
selama 8-10 tahun (Junita & Dewi, 2015)
Selain limfosit, monosit dan makrofag juga rentan terhadap infeksi
HIV. Monosit dan makrofag yang terinfeksi dapat berfungsi sebagai
reservoir untuk HIV tetapi tidak dihancurkan oleh virus. HIV bersifat
politronik dan dapat menginfeksi beragam sel manusia, seperti sel
Natural Killer (NK), limfosit B, sel endotel, sel epitel, sel langerhans,
sel dendritik, sel mikroglia dan berbagai jaringan tubuh. Setelah
virus berfusi dengan limfosit CD4, maka berlangsung serangkaian
proses kompleks kemudian terbentuk partikel-partikel virus baru dari
yang terinfeksi. Limfosit CD4 yang terinfeksi mungkin tetap laten
dalam keadaan provirus atau mungkin mengalami siklus-siklus
replikasi sehingga menghasikan banyak virus. Infeksi pada limfosit
CD4 juga dapat menimbulkan sitopatogenitas melalui beragam
mekanisme termasuk apoptosis (kematian sel terprogram) anergi
(pencegahan fusi sel lebih lanjut), atau pembentukan sinsitium (fusi
sel). (Talita, 2017)

C. Penatalaksaan keperawatan HIV/AIDS


Pengobatan antiretroviral (ARV) kombinasi merupakan terapi terbaik
bagi pasien terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) hingga
saat ini. Tujuan utama pemberian ARV adalah untuk menekan
jumlah virus (viral load), sehingga akan meningkatkan status imun
pasien HIV dan mengurangi kematian akibat infeksi oportunistik.

Saat ini ARV itu sendiri terbagi dalam dua lini. Lini ke-1 atau lini
pertama terdiri dari paduan nucleoside reverse transcriptase
inhibitors (NRTI) yang meliputi Zidovudin (AZT) atau Tenofovir
(TDF) dengan Lamivudin (3TC) atau Emtricitabin (FTC), serta non-
nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NNRTI) meliputi
Nevirapin (NVP) atau Efavirenz (EFV). Sementara itu, paduan lini 2
terdiri dari NRTI, serta ritonavir-boosted protease inhibitor (PI) yaitu
Lopinavir/Ritonavir. Lini 1 itu sendiri terdiri dari kombinasi 2 NRTI
dan 1 NNRTI, sedangkan lini 2 terdiri dari kombinasi 2 NRTI dan 1
PI.1-3 Untuk mencapai berbagai tujuan pengobatan ARV
dibutuhkan pengobatan ARV yang berhasil. Keberhasilan
pengobatan pada pasien HIV dinilai dari tiga hal, yaitu keberhasilan
klinis, keberhasilan imunologis, dan keberhasilan virologis.
Keberhasilan klinis adalah terjadinya perubahan klinis pasien HIV
seperti peningkatan berat badan atau perbaikan infeksi oportunistik
setelah pemberian ARV. Keberhasilan imunologis adalah terjadinya
perubahan jumlah limfosit CD4 menuju perbaikan, yaitu naik lebih
tinggi dibandingkan awal pengobatan setelah pemberian ARV.

Sementara itu, keberhasilan virologis adalah menurunnya jumlah


virus dalam darah setelah pemberian ARV. Target yang ingin
dicapai dalam keberhasilan virologis adalah tercapainya jumlah
virus serendah mungkin atau di bawah batas deteksi yang dikenal
sebagai jumlah virus tak terdeteksi.

Meskipun belum ada obat yang dapat membunuh virus penyebab


AIDS, pengobatan yang mampu meningkatkan harapan dan
kualitas hidup pasiennya sudah lama diperkenalkan. Pengobatan
ini dilakukan dengan pemberian kombinasi obat-obat antiretroviral.
Meskipun hanya sekitar separuh penderita HIV/AIDS yang
menerima terapi antiretroviral pada akhir tahun 2016, pengobatan
ini memiliki tingkat keberhasilan yang
menjanjikan [2]. Laporan UNAIDS juga menunjukkan tren yang
bagus, dimana persentase penggunaan obat antiretroviral di
kalangan penderita HIV/AIDS meningkat dari tahun ke tahun [3].
Meskipun demikian, untuk dapat memberikan hasil terapi yang
optimal, penggunaan obat-obat ini harus dilakukan dengan
beberapa persyaratan yang ketat. Beberapa hal di antaranya
adalah penggunaan kombinasi yang tepat, kepatuhan pasien, serta
dengan mewaspadai efek yang tidak diinginkan akibat adanya
interaksi obat. Terapi antiretoroviral, sebagaimana halnya
penggunaan obat-obat untuk penyakit lainnya, perl dievaluasi
terutama terkait dengan kesesuaian terapi dengan standar yang
sudah ditetapkan. Selain itu, evaluasi penggunaan obat merupakan
salah satu tugas dari apoteker dan menjadi salah satu standar
pelayanan kefarmasian di rumah sakit. Di dalam proses evaluasi
penggunaan obat, gambaran tentang pola penggunaan obat dapat
diketahui dan bisa dibandingkan dengan pola penggunaannya
pada periode waktu tertentu. Salah satu tujuan penting lainnya
adalah sebagai sumber masukan untuk melakukan intervensi
perbaikan penggunaan obat di masa yang akan dating.

D. Konsep teori stigma pada odha


Stigma terhadap ODHA tergambar dalam sikap sinis, perasaan
ketakutan yang berlebihan, dan pengalaman negatif terhadap
ODHA. Banyak yang beranggapan bahwa orang yang terinfeksi
HIV/AIDS layak mendapatkan hukuman akibat perbuatannya
sendiri. Mereka juga beranggapan bahwa ODHA adalah orang
yang bertanggung jawab terhadap penularan HIV/AIDS.1 Hal inilah
yang menyebabkan orang dengan infeksi HIV menerima perlakuan
yang tidak adil, diskriminasi, dan stigma karena penyakit yang
diderita.Isolasi sosial, penyebarluasan status HIV dan penolakan
dalam pelbagai lingkup kegiatan kemasyarakatan seperti dunia
pendidikan, dunia kerja, dan layanan kesehatan merupakan bentuk
stigma yang banyak terjadi.
DAFTAR PUSTAKA

Belakang, L., Indonesia, D., Kecamatan, D., Kabupaten, M., Mertoyudan,


K., Magelang, K., Sampling, N. P., Sampling, P., Mertoyudan, K.,
Magelang, K., Kuantitatif, D., Subur, P. U., Mertoyudan, K., Magelang,
K., Subur, P. U., Mertoyudan, K., Magelang, K., & Kunci, K. (2019).
TINGKAT PENGETAHUAN PUS TENTANG HIV / AIDS DI
KECAMATAN MERTOYUDAN MAGELANG Level Knowledge Of
PUS Abaout HIV / AID. 10(2), 198–203.
G. Mayorga, M., Furgerson, K., Cook, K., Ann Wardle, E., O’Hara, D. P.,
Probst, C. J., Kurtyılmaz, Y., Nkuba, M., Kyaruzi, E., Makulova, A. T.,
Alimzhanova, G. M., Bekturganova, Z. M., Umirzakova, Z. A.,
Makulova, L. T., Karymbayeva, K. M., Morgan, L. W., Greenwaldt, M.
E., Gosselin, K. P., Ibrahim Dincer, Marc A. Rosen, P. A., … Koltz, R.
L. (2016). No 主観的健康感を中心とした在宅高齢者における 健康関
連指標に関する共分散構造分析Title. Journal of Chemical Information
and Modeling, 6(2), 1689–1699.
https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
Gondo, H. K. (2018). Pengetahuan, Sikap Dan Analisis Kebutuhan
Mahasiswa Tentang Pencegahan Penularan Hiv Dari Ibu Ke Bayi.
Jurnal Ilmiah Ilmu Kesehatan, 3(2), 318–328.
Hasanah, I., Putri, D., & Wulandari, R. R. A. (2016). Titik Sebar Hotspot
Area HIV/AIDS di Amerika 2013 dengan Analisis Cluster Bernoulli
Menggunakan Geographic Information System (GIS) dan Satscan.
Semnasteknomedia Online, 4(1), 1–2.
Junita, S., & Dewi, L. (2015). Pandangan Masyarakat Terhadap Penyakit
Hiv/Aids Di Kecamatan Mentarang Kabupaten Malinau Kalimantan
Utara. Journal of Holistic Nursing Science.
Karyadi, T. (2017). Keberhasilan Pengobatan Antiretroviral ( ARV ). Jurnal
Penyakit Dalam Indonesia, 4(1), 2–4.
Kesehatan, J. (2018). 1 , 2 , 3. 11(2), 84–95.
Marta, E. S. (2019). Gambaran kadar CD4 penderita HIV/AIDS sebelum
dan setelah pemberian antiretroviral (ARV) di RSUP Dr M Djamil
Padang tahun 2015. Menara Ilmu, 13(1), 60–67.
Rahakbauw, N. (2016). DUKUNGAN KELUARGA TERHADAP
KELANGSUNGAN HIDUP ODHA (ORANG DENGAN HIV/AIDS) Oleh
Nancy Rahakbauw*. Insani, 3(2), 64–82.
Ramdhanie, G. G., Kep, M., Sp, N., An, K., Rukmasari, E. A., Kep, S., &
Kes, M. (2019). PERAWATAN PALIATIF PADA ANAK DENGAN
HIV / AIDS SEBAGAI KORBAN TRANSMISI INFEKSI VERTIKAL :
LITERATURE REVIEW Fakultas Keperawatan Univeritas Padjadjaran
PALLIATIVE CARE FOR CHILDREN WITH VERTICALLY
TRANSMITTED HIV / AIDS INFECTION ; LITERATURE REVIEW
Juml. 19, 285–292.
Shaluhiyah, Z., Musthofa, S. B., & Widjanarko, B. (2014). Stigma
Masyarakat terhadap Orang dengan HIV / AIDS Public Stigma to
People Living with HIV / AIDS. 3, 333–339.
Talita. (2017). Tentang pembangunan kependudukan dan keluarga
sejahtera. Jurnal Kesehatan, 7–15.
Wahyuny, R., & Susanti, D. (2019). Gambaran Pengetahuan Mahasiswa
Tentang Hiv / Aids Di Universitas Pasir Pengaraian Kabupaten Rokan
Hulu. Jurnal Maternal Dan Neonatal, 2(6), 341–349.
Yuliandra, Y., Nosa, U. S., Raveinal, R., & Almasdy, D. (2017). Terapi
Antiretroviral pada Pasien HIV/AIDS di RSUP. Dr. M. Djamil Padang:
Kajian Sosiodemografi dan Evaluasi Obat. Jurnal Sains Farmasi &
Klinis, 4(1), 1. https://doi.org/10.29208/jsfk.2017.4.1.173
Yuliyanasari, N. (2017). Global Burden Desease – Human
Immunodeficiency Virus – Acquired Immune Deficiency Syndrome
( Hiv-Aids ). Qanun, 01(October 2016), 65–77.
Junita, S., & Dewi, L. (2015). Pandangan Masyarakat Terhadap Penyakit
Hiv/Aids Di Kecamatan Mentarang Kabupaten Malinau Kalimantan
Utara. Journal of Holistic Nursing Science. Retrieved from
http://journal.ummgl.ac.id/index.php/nursing/article/view/862
Talita. (2017). Tentang pembangunan kependudukan dan keluarga
sejahtera. Jurnal Kesehatan, 7–15.

Anda mungkin juga menyukai