BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
AIDS atau Aquired Immuno Deficiency Syndrome adalah
kumpulan gejala atau syndrome akibat oleh karena penurunan
kekebalan tubuh manusia, yang disebabkan oleh virus HIV atau
Human Immunodeficiency Virus. Laporan Epidemi HIV Global
UNAIDS 2012 menunjukkan bahwa jumlah penderita HIV di dunia
mencapai 34 juta orang. Sekitar 50% di antaranya adalah
perempuan (Depkes, 2015). Di Indonesia penderita HIV/AIDS mulai
ditemukan pada tahun 1987, jumlah penderita sampai bulan Maret
2017 sebesar 87.453, dengan kasus baru ditemukan pada tahun
2016 sebesar 7.491, penularan terbesar dengan cara
heteroseksual yaitu sebesar 68%, dan penularan melalui perinatal
sebesar 3% (Depkes, 2017). Di Jawa Timur sampai dengan bulan
Desember 2016, jumlah kasus AIDS yang dilaporkan adalah
17.394 orang, dan 36.881 kasus HIV. (Dinkes Jatim, 2017)
Tingginya kasus HIV/AID tidak hanya merupakan masalah penyakit
menular saja, tetapi merupakan masalah kesehatan, bahkan
merupakan masalah sosial kemasyarakat yang sangat kompleks.
Berdasarkan Sudikno, dkk (2010) didapatkan pengetahuan
HIV/AIDS remaja di Indonesia dengan katagori baik di perkotaan
sebesar 54% dan di pedesaan sebesar 46,6%. (Gondo, 2018).
Kasus AIDS pertama ditemukan di AS pada 1981, tetapi
kasus tersebut hanya sedikit memberi informasi tentang sumber
penyakit ini. Sekarang ada bukti jelas bahwa AIDS disebabkan oleh
virus yang dikenal dengan HIV. Jadi untuk menemukan sumber
AIDS perlu mencari asal usul HIV. Asal usul HIV bukan hanya
menyangkut masalah akademik, karena tidak hanya memahami
dari mana asal virus tersebut tetapi juga bagaimana virus ini
berkembang menjadi penting sekali untuk mengembangkan vaksin
HIV dan pengobatan yang lebih efektif. Juga, pengetahuan tentang
bagaimana epidemic AIDS timbul menjadi penting dalam
menentukan bentuk epidemi di masa depan serta mengembangkan
pendidikan dan program pencegahan yang efektif (Hasanah et al.,
2016)
Meskipun belum ada obat yang dapat membunuh virus
penyebab AIDS, pengobatan yang mampu meningkatkan harapan
dan kualitas hidup pasiennya sudah lama diperkenalkan.
Pengobatan ini dilakukan dengan pemberian kombinasi obat-obat
antiretroviral. Meskipun hanya sekitar separuh penderita HIV/AIDS
yang menerima terapi antiretroviral pada akhir tahun 2016,
pengobatan ini memiliki tingkat keberhasilan yang menjanjikan [2].
Laporan UNAIDS juga menunjukkan tren yang bagus, dimana
persentase penggunaan obat antiretroviral antiretroviral di kalangan
penderita HIV/AIDS meningkat dari tahun ke tahun [3]. Meskipun
demikian, untuk dapat memberikan hasil terapi yang optimal,
penggunaan obat- obat ini harus dilakukan dengan beberapa
persyaratan yang ketat. Beberapa hal di antaranya adalah
penggunaan kombinasi yang tepat, kepatuhan pasien, serta
dengan mewaspadai efek yang tidak diinginkan akibat adanya
interaksi obat (Yuliandra et al., 2017).
Tujuan pemberian obat ARV adalah memperbaiki status
kesehatandan kualitashidup bagi Orang dengan HIV/AIDS (ODHA),
menurunkan rawat inap akibat HIV, menurunkan kematian terkait
AIDS, menurunkan angka Mother To Child Transmision (MTCT)
atau yang kita kenal dengan penularan dari ibu ke bayi dan juga
memberikan harapan baru bagi penderita HIV/AIDS untuk bisa
hidup lebih lama lagi (Marta, 2019).
Indikator keberhasilan terapi ARV adalah berat badan
penderita HIV/ AIDS meningkat dan tidak terjadi penurunan, viral
load menurun, tidak terjadi infeksi opportunistik dan CD4
meningkat. Cluster Diffential Four (CD4) adalah bagian sel darah
putih yang mana sel ini memegang peranan penting dari sistem
kekebalan tubuh manusia. Setelah mengidap HIV maka CD4 akan
menurun, ini tanda bahwa sistem kekebalan tubuh semakin rusak.
Untuk melihat keberhasilan terapi ARV, maka CD4 perlu dipantau
dan dievaluasi secara periodik, apakah ada peningkatan
dibandingkan sebelum pemberian ARV dengan cara memeriksa
CD4 dilaboraturium. Tes CD4 ini diusulkan setiap 3-6 bulan
(Spiritia,2006).
B. Rumusan Masalah
A. Konsep teori penyakit HIV/AIDS
B. Konsep teori patofisiologi HIV/AIDS, Diagnose HIIV/AIDS
C. Konsep teori penataalaksaan keperawatan HIV/AIDS
D. Konsep teori tentang stigma pada ODHA
E. Faktor yang mempengaruhi stigma dan disskriminasi penderita
HIV/AIDS
F. Dampak stigma bagi psikologis odha
PEMBAHASAN
1. Defiisi HIV/AIDS
3. Manifestasi kliis
4. Pencegahan HIV/AIDS
Banyaknya pencegahan yang dapat mengakibatkan tidak
mengalami penyakit HIV AIDS melalui dari hubungan seksual
yang selalu berganti-ganti pasangan, melalui jarum suntik,
melalui tanfusi darah, dan melalui ibu hamil yang telah positif
HIV AIDS pada bayinya. (G. Mayorga et al., 2016)
5. Pengobatan HIV/AIDS
Meskipun belum ada obat yang dapat membunuh virus
penyebab AIDS, pengobatan yang mampu meningkatkan
harapan dan kualitas hidup pasiennya sudah lama
diperkenalkan. Pengobatan ini dilakukan dengan pemberian
kombinasi obat-obat antiretroviral. Meskipun hanya sekitar
separuh penderita HIV/AIDS yang menerima terapi
antiretroviral pada akhir tahun 2016, pengobatan ini memiliki
tingkat keberhasilan yang
Menjanjikan. (Yuliandra et al., 2017)
Saat ini ARV itu sendiri terbagi dalam dua lini. Lini ke-1 atau lini
pertama terdiri dari paduan nucleoside reverse transcriptase
inhibitors (NRTI) yang meliputi Zidovudin (AZT) atau Tenofovir
(TDF) dengan Lamivudin (3TC) atau Emtricitabin (FTC), serta non-
nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NNRTI) meliputi
Nevirapin (NVP) atau Efavirenz (EFV). Sementara itu, paduan lini 2
terdiri dari NRTI, serta ritonavir-boosted protease inhibitor (PI) yaitu
Lopinavir/Ritonavir. Lini 1 itu sendiri terdiri dari kombinasi 2 NRTI
dan 1 NNRTI, sedangkan lini 2 terdiri dari kombinasi 2 NRTI dan 1
PI.1-3 Untuk mencapai berbagai tujuan pengobatan ARV
dibutuhkan pengobatan ARV yang berhasil. Keberhasilan
pengobatan pada pasien HIV dinilai dari tiga hal, yaitu keberhasilan
klinis, keberhasilan imunologis, dan keberhasilan virologis.
Keberhasilan klinis adalah terjadinya perubahan klinis pasien HIV
seperti peningkatan berat badan atau perbaikan infeksi oportunistik
setelah pemberian ARV. Keberhasilan imunologis adalah terjadinya
perubahan jumlah limfosit CD4 menuju perbaikan, yaitu naik lebih
tinggi dibandingkan awal pengobatan setelah pemberian ARV.