Anda di halaman 1dari 15

IDENTIKASI ANGKA KEMATIAN DAN ANGKA KESAKITAN KASUS

HIV SERTA RASIO DAN RESIKONYA

Disusun Oleh
KELOMPOK 8 :
Arumawati 72021050311
Anik Diyah A 72021050337
Istining Dyah H.W. 72021050310

Program Studi Sarjana Farmasi


Universitas Muhammadiyah Kudus
Kelas Maret 2022
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG

AIDS (Aquired Immunodeficiency Syndrome) merupakan kumpulan gejala penyakit


yang timbul akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh virus HIV
(Human ImmunodeficiencyVirus), ditemukan dalam tubuh terutama darah, cairansperma, cairan
vagina, Air susu Ibu. HIV merupakan jenis virus yang menurunkan sistem kekebalan tubuh,
sehingga orang yang terkena virus ini menjadi rentanterhadap beragam infeksi atau juga mudah
terkena tumor. (Li et al., 2014; Rollins et al., 2014; Mulenga et al., 2015; Rama et al., 2015;
UNAIDS, 2016a, 2016b)

Prevalensinya meningkat, data terbaru menunjukkan bahwa Indonesia merupakan 5


pendukung terbesar kasus HIV/AIDS di dunia, 3 terbesar di Asia dan terbanyak di Asia
tenggara.(Unaids, no date; Taylor & al,. 2015; UNAIDS, 2016a). Kasus HIV/AIDS di dunia
semakin meningkat, dari 15 juta di tahun 2014 menjadi 17 juta. (Global AIDS Response
Progress Reporting (GARPR, 2016; (UNAIDS, 2016b). Prevalensi HIV/AIDS DKI Jakarta
juga mengalami peningkatan, bulan Maret 2016 ada 198.219 kasus, di Jawa Tengah 13.547
kasus. (Keria et al., 2015) (Profil Dep Kes Prop Jateng, 2016), Jumlah ODHA di ex karesidenan
Kedu (Magelang, Purworejo, Kebumen, Temanggung dan Wonosobo) meningkat sekitar 86%,
dengan faktor risiko beragam. Jumlah orang dengan HIV/AIDS (ODHA) yang sudah konsumsi
Antiretroviral (ARV) baru mencapai sekitar 65.000 kasus ( 30%). (Direktorat Jenderal
PengendalianPenyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2015) sedang ODHA yang mengkonsumsi
ARV diwilayah Kedu 40-65%. (Profil dinkes 2015, Dinas kesehatan wilayah Kedu). Sasaran
program pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan indikator prevalensi HIV daritahun
2015 – 2019 targetnya kurang dari 0,5%.

Menurut Global Fund (GF) penemuan kasus HIV/ AIDS di Indonesia masih rendah,
ditemukan karena ketidaktahuan masyarakat tentang deteksi dini HIV sehingga sering
terdiagnosis AIDS dalam stadium akhir, disamping itu ODHA yang sudah mengetahui
memiliki status HIV positif masih belum bersedia mengkonsumsi ARV dengan berbagai
alasan antara lain: faktor psikis, ketidaksiapan konsumsi ARV seumur hidup maupun masalah
sosioekonomi (Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan,
2015)(RAP PP&PL 2015- 2019).
AIDS bekerja menurunkan imunitas, sampai saat ini HIV /AIDS belum dapat disembuhkan
namun replikasi dan infeksi lanjut bisa dicegah dengan obat ARV. Faktor- faktor risiko yang
diperkirakan meningkatkan angka kejadian HIV/AIDS antara lain: Lingkungan Sosial ekonomi
khususnya kemiskinan, latar belakang kebudayaan/etnis, Keadaan demografi. Kelompok
masyarakat yang berpotensi punya risiko tinggi HIV adalah: Status penerima transfusi darah,
bayi dari ibuyang dinyatakan menderita AIDS (proses kehamilan,kelahiran dan pemberian ASI),
(Ngwende et al., 2013), pecandu narkotik (khususnya IDU, tindik dengan alat yang terpapar
HIV/AIDS). Mereka yang mempunyaibanyak pasangan seks pramuria (baik di diskotik atau bar,
WPS, waria, panti pijat, homo dan heteroseks), Pola hubungan seks, status awal berhubungan
seks, orang yang terpenjara, keluarga dengan penderita HIV/AIDS positif (pasangan penderita
misal suami/ istri) yang tidak menggunakan pelindung, pemakai alat suntik (pecinta tatto,
tindik dengan alat terpapar HIV/AIDS ) sangat mungkin tertular HIV dan AIDS. (Badenhorst,
van Staden and Coetsee, 2008)

Menurut penelitian, risiko paling tinggi untuk terinfeksi HIV/AIDS yaitu perempuan
pekerja seks. Hasil penelitian di Moscow menemukan 79 % dari perempuan pengidap HIV
berasal dari kelompok pekerja seks. Hubungan heteroseks merupakan modusutama infeksi HIV
di dunia. Sekitar 30 perempuan di 10 negara dari berbagai kebudayaan, geografi dan pengaturan
pemukiman melaporkan bahwa pengalaman seks pertama kali merupakan akibat dari
pemaksaan sehingga kekerasan seks merupakan pandemi AIDS. Kekerasan seks secara umum
meningkatkan risiko penularan karena pelindung pada umumnya tidak digunakan,
mengakibatkan trauma fisik terhadap rongga vagina sehingga memudahkan transmisi virus saat
berhubungan seks. (A et al., 2004), Peningkatan HIV AIDS dengan beragam faktor risiko
semakin banyak ditemukan.

Kabupaten Magelang, merupakan wilayah yang rentan terhadap HIV/AIDS, karena


kenyataannya dengan peningkatan kasus narkoba, penggunaan alat suntik tidak steril seperti
tattoo, tindik dan dari perilaku berisiko ikut berperan meningkatkan jumlahpenderita
HIV/AIDS. Penderita HIV/AIDS di Magelang semakin meningkat, Jumlah penderita AIDS
yang tercatat 2016 ada 236 kasus dan meninggal 27 orang. Dari penderita yang sudah di
diagnosa HIV/AIDS masih ada yang belum konsumsi ARV tetapi aktif melakukan hubungan
seks, sedang bagi yang memutuskan ARV maka obat di konsumsi seumur hidup dengan tujuan
untuk menekan replikasi HIV. Terapi yang diperlukan untuk menekan replikasi secara maksimal
90% sampai dengan 95% dari semua dosis yang ditentukan. Kepatuhan minum ARV diketahui
meminimalkan infeksi oportunistik dan memperpanjang harapan hidup. (Simoni et al., 2003;
McNall et al., 2004; Alakija Kazeem Salami et al., 2010; Monjok et al., 2010; Segeral et al.,
2010; Martoni, Arifin and Raveinal, 2013; Nduaguba et al.,2015) ARV dapat meningkatkan CD4
dalam darah dan menurunkan jumlah virus sehingga ODHAlebih sehat dan produktif (Ickovics
and Meisler, 1997; Mulenga et al., 2015; Plazy et al., 2015; Billong et al., 2016; Grossman et
al., 2016; Sosnik and Augustine, 2016; Biru et al., 2017).

Beberapa ODHA yang mengkonsumsi ARV tidak teratur bahkan mengalami drop out
karena faktor efek samping obat, lupa dan multifaktor lain akan meningkatkan risiko penularan
terhadap kejadian HIV/AIDS jika perilaku ODHA tidak mendukung, imunitas menurun,
retensi buruk . (malow R, Pearson CR, Amico R, 2008; Aragonés et al., 2011; Wakibi, Ng’ang’a
and Mbugua, 2011; Latif, Maria and Syafar, 2014; Yang, 2014; Fox and Rosen, 2015; Saberi et
al., 2015; Biru et al., 2017). Berdasar renstra diharapkan ada penurunan hiv < 0,5 % dan
penularan HIV dengan meminimalisir faktor risikonya. (Direktorat Jenderal Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2015).

Pencegahan penularan HIV melalui hubungan seksual dilakukan dengan empat kegiatan
yang terintegrasi meliputi:

a.peningkatan peran pemangku kepentingan;

b. .intervensi perubahan perilaku;

c. manajemen pasokan perbekalan kesehatan pencegahan;

d. penatalaksanaan IMS.(depkes RI, 2013) .

1.2 RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian diatas maka perlu pengkajian untuk mengetahui faktor risiko kejadian
HIV/AIDS di wilayah Kabupaten Magelang agar penularan bisa diminimalisir.

1.3 TUJJUAN
Tujuan penelitian untuk menentukan besarnya pengaruh faktor risiko terhadap kejadian
HIV/AIDS di Magelang
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 HIV
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang menyerang sistem kekebalan
tubuh manusia dan melemahkan kemampuan tubuh untuk melawan segala penyakit yang ada,
sehingga sistem kekebalan tubuh melemah. AIDS (Aquired Immune Deficiency Syndrome)
adalah kumpulan gejala penyakit akibat kelemahan sistem kekebalan tubuh. HIV/ADIS adalah
salah satu masalah utama kesehatan yang paling berbahaya yang dapat mengancam kehidupan
seluruh penduduk didunia tanpa memandang umur, jenis kelamin, dan Ras.

Virus masuk ke dalam tubuh manusia terutama melalui perantara darah, semen dan sekret
vagina. sebagian besar (75%) penularan terjadi melalui hubungan seksual (Noviana, 2013).
HIV memasuki tubuh manusia dengan berbagai cara, hubungan seksual merupakan jalur utama
yang paling sering ditemukan. Virus dapat ditularkan dari seseorang yang sudah terkena HIV
kepada mitra seksualnya melalui hubungan seksual tanpa pengaman. Kemudian HIV dapat
ditularkan melalui transfusi darah atau produk darah, atau penggunaan alat-alat yang sudah
dikotori darah seperti jarum suntik, jarum tato, tindik dan alat lainnya. HIV juga dapat
ditularkan melalui Ibu kepada anaknya, ini bisa terjadi saat anak masih berada dalam
kandungan, ketika dalam proses lahir atau sesudah lahir (Kusmiran, 2013).

Kegiatan penanggulangan HIV dan AIDS tersebut terdiri atas promosi kesehatan,
pencegahan penularan HIV, Pemeriksaan diagnosis HIV, pengobatan perawatan dan
dukungan, serta rehabilitasi. Gejala orang yang terinfeksi HIV menjadi AIDS bisa dilihat dari
2 gejala yaitu gejala mayor (umum terjadi): berat badan menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan,
diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan, demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan,
penurunan kesadaran dan gangguan neurologis, demensia/HIV ensefalopati dan gejala minor
(tidak umum terjadi): batuk menetap lebih dari 1 bulan, dermatitis generalisata, adanya herpes
zostermultisegmental dan herpes zoster berulang, kandidiasis orofaringeal, herpes simpleks
kronis progresif, limfadenopati generalisata, infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita,
retinitis virus sitomegalo (Noviana, 2013).

Pencegahan penularan HIV/AIDS merupakan tanggung jawab masingmasingi ndividu.


Ada beberapa hal yang harus di pahami untuk mengurangi penyebaran HIV/AIDS yaitu
penggunaan kondom terhadap pekerja seks dalam melakukan hubungan sek terhadap beberapa
orang, menghindari penggunaan jarum suntik secara bergantian dalam penggunaan narkotika,
dan terpenting juga yaitu selalu bersikap setia terhadap pasangan (Marlina, Suyanto dan
Masadi, 2010).

Penularan HIV baru terjadi jika ada pertukaran cairan tubuh antara orang yang terinfeksi
HIV dengan yang belum terinfeksi. Cara penularan sangat bervariasi, namun yang mendorong
epidemi adalah tiga perilaku yang berisiko tinggi, yaitu seks komersial yang tidak terlindungi,
berbagi alat suntik dikalangan pengguna NAPZA dan lelaki seks dengan lelaki (LSL) yang
tidak terlindungi (KPAN, 2010).Beberapa faktor risiko lain penularan HIV/AIDS adalah
melalui transfusi darah atau produk darah yang sudah tercampur virus HIV, melaului jarum
suntik yang tidak steril, transpalansi organ pengidap HIV dan penularan dari ibu ke anaknya
saat dikandungan (Berdasarkan penelitian yang dilakukan Dewi (2015) yaitu terdapat
hubungan umur, jenis kelamin, pendidikan, status perkawinan, status pekerjaan, berganti-ganti
pasangan seks dan bergantian perlatan suntik terhadap kejadian HIV./AIDS.

Selain itu, Kumalasari (2013), orang tertular HIV dan akhirnya menderita HIV positif
karena perilaku berisiko mereka yang menggunakan jarum suntik bergantian dengan temannya
dan perilaku seksual mereka yang berganti-ganti pasangan. Banyak orang yang belum
memahami seberapa parah penyakit HIV/AIIDS tetapi adapula orang yang sudah tahu tetapi
masih terus melakukan hal yang dapat memicu tertularnya HIV/AIDS seperti para sesuka
sejenis, pekerja seks yang memang sudah tahu bagaimana tentang bahaya HIV/AIDS tetapi
masih saja banyak tidak menggunakan alat kontrasepsi pada saat berhubungan (Aryanti, Ani
dan Karmaya, 2019).

Masyarakat yang berisiko untuk penyebaran HIV/AIDS cukup beragam, seperti lingkungan
mahasiswa, militer, lingkungan gay, penjara, pemandian, pelacuran dan lingkungan
tunawisma. Ada variasi tingkat risiko dalam masyarakat tergantung dari masing-masing
pekerjaannya. tetapi ketika HIV menyebar dalam diri mereka, biasanya akan menyebar dengan
cepat karena adanya jaringan terkait erat yang berhubung melalui seks dan narkoba (Lubis
2011).
2.2 REVIEW JURNAL
Tabel 1. Rangkuman hasil analisis bivariat variabel yang berpengaruh terhadap kejadian
HIV dan AIDS di Magelang.

Variabel yang mempunyai nilai p value < 0,05 pada analisis biivariat bermakna akan
diikutsertakan dalam analisis multivariat dengan p<0,25. Adapun hasil rangkuman analisis
bivariat yang dinyatakan berpengaruh terhadap kejadian HIV dan AIDS di Magelang dapat
dilihat pada tabel 2 berikut ini:
Tabel 2. Rangkuman hasil analisis bivariat variabel yang dinyatakan bermakna terhadap
kejadian HIV dan AIDS di Magelang

Hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa dari 12 variabel yang dinyatakan


berpengaruh terhadap kejadian HIV dan AIDS dan dianalisis secara bersama-sama terdapat
6 variabel yang terbukti palingberpengaruh terhadap kejadian HIV dan AIDS.

Tabel 3. Rangkuman hasil analisis multivariat model regresi logistic variabel yang
berpengaruh terhadap kejadian HIV dan AIDS
P OR 95% CI
No Variabel Bebas B
Value (Exp B) Bawah Upper
Riwayat Penya-
1 kit Dahulu 0,984 0,011 2,56 1,52 5,72
(PMS+)
2 Riwayat Penya-
kit Keluarga ada 0,952 0,033 2,95 1,70 6,23
yang HIV/AIDS
3 Tingkat pendidi-
1,549 0,001 4,70 2,11 10,47
kan rendah
4 Tingkat pengeta-
0,402 0,002 3, 32 1,02 7.12
huan rendah
5 Pe ng g u na ka n
1,507 0,001 4,51 1,94 10,50
Narkoba/IDU +
6 Keberadaan
1,144 0,010 3, 42 1, 22 5, 88
tindik
7 Riwayat Hetero-
0,992 0,006 3,15 1,50 6,66
seks
Constant 8,180 0,001 - - -
2.3 PEMBAHASAN ISI JURNAL
Data medis yang masuk dalam perwatan HIV dan AIDS semakin meningkat. Semua
golongan usia rebtan terkena HIV / AIDS. Penyakit menular Seksual (PMS) diduga dapat
meningkatkan kejadian HIV dan AIDS. Dengan adanya PMS dapat meyebabkan gangguan
pertahanan epitel normal. Luka pada alat kelamin atau karena adanya penumpukan sel yang
terinfeksi, (limfosit atau makrofag) pada semen dan sekresi vaginal. Menurut penelitian
epidemiologi dari Afrika sub sahara, Eropadan Amerika Utara menunjukkan bahwa terdapat
sekitar 4x lebih besar risiko terinfeksi AIDS akibat adanya luka pada alat kelamin yang
sebagian besar karena cancroids/sifilis. Risiko ini akan semakin meningkat karena adanya
PMS lain seperti clamedia, GO, Sifilis, Servicitis, BV,kerusakan makrofag dll.

Trikomoniasis dapat menyebabkan penumpukan lokal limfosit dan makrofag. (Mahajan


et al., 2008). Tingginya penularan HIV terjadi melalui aktivitas seksual yang berisiko, baik
yang dilakukan dengan pasangan heteroseksual atau homoseksual. Kondisi ini bisa
meningkatkan risiko infeksi menular seksual (IMS). Dalam penelitian ini berdasar hasil
analisis multivariat OR: 2,56, 95% CI 1,52-5,72, p value 0,01 sehingga Penyakit menular
seksual dinyatakan berisiko 2,56 kali lebih besar berpengaruh terhadap kejadian HIV/AIDS
dengan p value 0,011 sehingga dinyatakan bermakna.

Hasil dari penelitian ini sesuai dengan penelitian GA Hutchinson, EM Jameson tahun 2008
dengan judul “Prevalence and Risk Factors for HIV Infection in Pregnant Women in North
Trinidad, metode cross sectional dengan hasil riwayat penyakit menular seksual (Odd Ratio
9.7, 95% Convidence Interval (CI), 5.6-14.3). Riwayat penyakit menular seksual berkorelasi
dengan usia dini pertama kali melakukan hubungan seksual (p = 0,0011) dan riwayat pelecehan
seksual pada masa kanak-kanak (p = 0,0026).

Riwayat sakit HIV/AIDS dalam keluarga merupakanstatus dimana dalam keluarga tersebut
sudah ada yang dinyatakan reaktif atau sakit HIV/AIDS. Penyebab penularan terbanyak
karena hubungan heteroseksual dalam keluarga, hubungan transmisi non seksual seperti
transplasental atau perilaku berisiko yang lain. Dengan adanya riwayat keluarga didiagnosa
HIV/ AIDS misal ibu berstatus reaktif, jika hamil tidak teratur konsumsi ARV, persalinan yang
berisiko maka akan lebih berpotensi untuk menularkan HIV/AIDS pada janin. (Porowski,
Burgdorf and Herrell, 2004; Ngwende et al., 2013; Rollins et al., 2014; PKMK, 2016).
Data menunjukkan ditemukan peningkatan kasus HIV/AIDS pada Ibu Rumah tangga
salah satu penyebabnya suami dinyatakan reaktif lebih dahulu sehingga menularkan pada istri.
(Health, 2006; Ngwende et al., 2013; Poorolajal et al., 2016). Hasil analisis multivariate
Riwayat penyakit keluarga ada yang HIV/AIDS (OR=2,95, p value 0,03 dan 95% CI
1,70<OR<6,23) jadi dinyatakan berpengaruh terhadap kejadian HIV dan AIDS. Penelitian ini
selaras dengan penelitian Deniese J jamieeson, 1999 yang menyatakan Riwayat penyakit
Keluarga khususnya Ibu berHIV akan menularkan 2,7 kali lebih besar terhadap janinnya
(NACP, 2010; Latif, Maria and Syafar, 2014; Goldberg and Short, 2016; Budambula et al.,
2018).

Tingkat pendidikan, Secara teori bahwa tingkat pengetahuan seseorang diipengaruhi oleh
tingkat pendidikan. Tingkat pendidikan relevansinya akan mempengaruhi dalam memahami
suatu informasi yang ia dapatkan. Biasanya semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang akan
lebih mudah menangkap dan memahami informasi yang didapat. Hasil analisis deskriptif
dalam penelitian ini menunjukkan bahwa semakin tinggi pendidikan maka semakin baik
pengetahuannya. Berdasar uji multivariat OR: 4,70, 95% CI 2,11-10,47, p value 0,001 sehingga
tingkat pendidikan yang rendah dinyatakan berpengaruh terhadap kejadian HIV dan AIDS.Hal
ini sesuai dengan penelitian BIibis luhur bahwa tingkat pendidikan rendah dengan OR:7,63.

Tingkat pengetahuan rendah dalam penelitian ini dengan hasil analisis multivariat
menunjukkan ada pengaruh terhadap kejadian HIV/ AIDS dengan OR 3,32 dan 95% CI 1,02 –
7,12 dengan p value 0,002 sehingga secara statistik dinyatakan bermakna. Hal ini sesuai
dengan teori yang mengatakan bahwa prilaku seseorang sesuai dengan tingkat pemahaman
dan pengetahuan yang dimiliki. Pengetahuan tentangHIV/ AIDS bersifat spesifik, saat ini lebih
banyak disebarkan melalui penyuluhan serta beberapa informasi dari berbagai media yang
ada. Secara teoritingkat pengetahuan berhubungan dengan tingkat pendidikan. Penelitian ini
sesuai dengan Bibis Luhur bahwa pendidikan berpengaruh terhadap pengetahuan yang
rendah berpengaruh terhadap HIV/ AIDS sehingga dinyatakan bermakna dengan OR: 5,2.
Namun berpendidikan rendah dapat juga punya pengetahuan tentang HIV/AIDS terutama bagi
Lebih banyak bagi anggota KDS, ODHA yang aktif dalam pertemuan rutin LSM/KDS.

Analisis multivariatnya OR = 4,51, p value 0,001 dengan 95%CI 1,94<OR<10,50 sehingga


dinyatakan bermakna. Hasil ini selaras dengan penelitian dari Chen Cheng-Hui tahun 2006
dengan judul “ Risk factor of HIV/AIDS infection among incarcerated male Injection Drug User
in Tainan ” Taiwan, tahun 2006 dengan metode case control, hasil ada hubungan antara
pengguna narkoba suntik terhadap HIV/AIDSdengan OR 8,2 dengan sampel 241. Penelitian T.
Parwati, Clair ryan dkk menyatakanl bahwa semua pengguna narkotik suntik (penasun)
terinfeksi oleh HIV subtipe CRF01_AE dinyatakan bermakna dengan chi square OR 7,951

dengan tingkat kesalahan0,5 % . Namun penelitian ini bertolak belakang dari valeriane Leroy
et all, 1994, France yang menyatakanIDU dalam multivariat tidak bermakna dengan RR 1,27,
95% CI 0,97<OR<1,67.

Riwayat tindik dengan menggunakan jarum tidak steril merupakan faktor risiko terhadap
kejadian HIV/AIDS. Berdasar hasil analisis multivariat p value 0,01 dg 95%CI 1,22<OR<5,88, OR
3,42 sehingga dinyatakan bermakna. Riwayat Heteroseks berisiko terhadap penularan
dengan p value 0,006, OR 3,15 95% CI 1,50<OR< 6,66. Heteroseksual tidak aman
mempengaruhi penularan, hal ini karena adanya pola perilaku yang menyimpang yang
semakin banyak dilakukan. Jika sudah positif mengidap HIV, konsumsi ARV dapat mencegah
terjadinya penularan baru serta meningkatkan kualitas hidup ODHA. (Programme, 2011;
Seema Sahay, K. Srikanth Reddy,2011; Fox and Rosen, 2015; Nduaguba et al., 2015; Plazy et
al., 2015). Data yang ada banyakditemukan ODHA yang masih enggan melakukan pengobatan
dengan alasan multifaktor.

Rata-rata pengobatan terjadi setelah enam bulan hingga satu tahun setelah dinyatakan
status HIV reaktif. Layanan kesehatan telah mengupayakan kemudahan untuk masyarakat
dalam mengakses obat Antiretroviral (ARV), tetapi kadang akses mendapatkan ARV masih ada
kendala seperti habis stok pada jenis tertentu sehingga sulit didapat. ( Yang, 2014, Wakibi
2011).

2.4 ANALISIS FAKTOR YANG TERBUKTI TIDAK BERPENGARUH TERHADAP


KEJADIAN HIV/AIDS

Jenis Kelamin, Perbedaan secara fisiologis yang mencirikan seseorang disebut sebagai
laki-laki atau perempuan. Dari segi anatomi fisiologi perempuan bersifat “menampung”
sehingga akan mempermudahinfeksi yang tidak disadari. Karena alat reproduksi perempuan
sangat halus, sehingga mudah mengalami perlukaan yang dapat mempercepat masuknya
kuman. Dalam penelitian ini jenis kelamin dinyatakan tidak berpengaruh terhadap kejadian
HIV dan AIDS karena dimungkinkan masih adanya keterbatasan dalam jumlah sampel.
Penelitian ini sesuai dengan penelitian Vincent Marconi yang menyatakan jens kelamin tidak
berpengaruh dengan HIV/AIDS, jumlah pengidap laki-laki lebih banyak dari pada
perempuan. Laki-laki hampir mencapai 65 persen dari jumlah keseluruhan.(Keria et al., 2015;
PKMK, 2016)). Prevalensi HIV 5% atau lebih terjadi pada laki- laki yang berhubungan seks
dengan laki-laki, pekerja seks dan orang-orang transgender, kasus ini tidak hanya di negara
yang dikenal memiliki epidemi terkonsentrasi tetapi juga di negara-negara sebagian besar di
timur dan selatan Afrika. (Unaids, 2016; UNAIDS, 2016a). Data di Indonesia Terbanyak DKI
Jakarta 48.502, Jawa Timur 35.168, Papua 27.052, Jawa Barat 26.066, JawaTengah 19,272, serta Bali
15.873, terbanyak pada usiaproduktif 20-39 tahun. (PKMK, 2016).

Keadaan sosial ekonomi, Pendapatan yang kurang dari UMR jika ditinjau penghasilan /ekonomi
secara teori ekonomi berpengaruh terhadap kejadian HIV/ AIDS. Namun dalam penelitian ini uji
multivariat menunjukkan sosial ekonomi tidak berpengaruh terhadap kejadian HIV/AIDS. Hal ini
dimungkinkan untuk beberapa responden dengan tingkat sosial yang tinggi banyak yang dinyatakan
menderita HIV/AIDS karena alasan adanya status coba-coba dalam seks, penggunaan narkoba/IDU
dll. Tujuan SDGs.ketiga, yaitu meningkatkan kesehatan yang baik, salah satu target dalam poin 3.3
mengakhiri epidemi AIDS. Pemerintah menargetkan terciptanya 3 Zero, yakni bebas infeksi HIV
baru, bebas diksriminasi dan stigma pada pengidap HIV, serta bebas kasus kematian akibat
AIDS.(Prevention, 2012; Tromp et al., 2013; Koole et al., 2014; Keria et al., 2015; PKMK, 2016;
UNAIDS,2016a).

Indeks Masa Tubuh, dalam penelitian ini didapat dari data CM sekitar 2-5 tahun sebelum
penelitian, Gambaran status gizi seseorang ini sebenarnya dapat dikatakan berhubungan
dengan status ekonomi seseorang pada masa lalu. Meningkatnya kasus HIV/AIDS tidak
lepas dari status gizi yang berpengaruh terhadap sistem Imunologi. Daya tahan tubuh optimal
diperoleh dari status gizi baik sehingga saat terpapar oleh penyakit tertentu tubuh bisa
menanggulangi penyakit, begitu juga sebaliknya.

Kondisi IMT yang kurang dari 20 ini dinyatakan rata-rata gambaran status gizi buruk. (
Suapriasa, 2001). Bagi ODHA sistem immunologinya mengalami gangguan. Dengan adanya
keterpaparan virus HIV, jika perbaikan gizi ODHA kurang memadai maka penderita HIV
akan mengalami Infeksi oportunistikdengan stadium AIDSyang kronis. IMT dalam penelitian
ini dinyatakan tidak berpengaruh terhadap kejadian HIV/AIDS. Hal ini tidak sesuai dengan
penelitian Quach LA, Tang AM, Schmid CH, et al, juli (2007), Sydney IMT atauBMI di

bawah 20 kg/m2 dinyatakan 2,3 kali lebih berisiko terhadap HIV dan kematian 95% CI 1,0-
5,4, p value 0,05.

Status awal berhubungan seks merupakan status dimana pertama kali melakukan aktivitas
seks dalam kehidupannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi kejadian HIV dan
AIDS pada kelompok kasusdari respondendenganstatus awalberhubungan seks dengan
dipaksa (9,9 %) lebih kecil dibanding dari responden yang coba-coba (90,1%).Sedang proporsi
kontrol dari responden dengan status awal berhubungan seks dipaksa (1,4%) lebih kecil
dibanding dari yang status awal seks dengan coba-coba (98,6%). Status awal berhubungan
seks dinyatakan tidak berpengaruh terhadap kejadian HIV/AIDS.Analisismultivariatnya
menunjukkan tidak bermakna.

Penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian GAHutchinson, EM Jameson 2008 dengan
judul “Prevalence and Risk Factors for HIV Infection in Pregnant Women in North Trinidad,
metode cross sectional dengan hasil riwayat penyakit menular seksual berkorelasi dengan usia
dini pertamali melakukan hubungan seksual p( = 0,0011) dan riwayat pelecehan seksual pada
masa kanak-kanak (p = 0,0026). Status pernah menerima transfusi darah. Merupakan pernah
tidaknya responden menerima darah dari orang lain baik dari dalam atau Luar negeri.
Penerima transfusi darah dihitung sebelum sampai sesudah dinyatakan reaktif. Dalam
penelitian ini transfusi darahdinyatakan tidakberpengaruh terhadap kejadian HIV dan AIDS.

Latar belakang kebudayaan, Terdapatnya beberapa suku asli di Indonesia yang


melakukan ritual tertentu sesuai tradisi atau orang tersebut sudah pernah melakukan
kebudayaan sesuai daerah setempat yang berisiko terhadap kejadian HIV/AIDS mengingat
di Magelang banyak pendatang dari Propinsi lain dan negara lain serta memilih menetap
tinggal di sekitar candi Borobudur. Namun dalam penelitian ini latar belakang budaya
dinyatakan tidak berpengaruh terhadap kejadian HIV dan AIDS. Kebudayaan tertentu
berpengaruh terhadap kejadian HIV.(Taylor et al., 2015).

Keadaan demografi/domisili, Latar belakang keadaandemografi/ domisili seperti daerah


pariwisata Internasional juga potensial meningkatkan HIV/ AIDS. (Budambula et al., 2018)
(Tromp et al., 2013;Weaver et al., 2014; Adriano et al., 2016; Chenneville et al., 2016). Pada
dasarnya kebudayaan baru yang tidak di pertimbangkan dan asal ikut ikutan. Adanya efek
negatif event internasional di candi Borobudur langsung diikuti tanpa pertimbangan lebih
lanjut, pernah melakukan hubungan seks dengan turistanpa pengaman, riwayat homoseks/ lsl,
melakukan seks yang tidak aman dikategorikan rentan terhadap penularan HIV. Hal ini
disebabkan karena sekedar menerima budaya dari negara asing tanpa pertimbanga, konsumsi
narkoba /IDU yang berisiko, menerima skedar ikut modernisasi yang kurang tepat dapat
meningkatkan kejadian HIV. Hal ini berbeda dengan penelitian di Kenya bahwa sosio
demografi, praktek seksual berisiko berpengaruh terhadap infeksi HIV pada pengguna
narkoba .(Budambula et al., 2018)
BAB III
KESIMPULAN

• Faktor risiko yang terbukti berpengaruh terhadap kejadian HIV dan AIDS dalam
penelitian ini adalah: Riwayat Penyakit Menular seksual, riwayat penyakit dalam
keluarga ada yang HIV/AIDS, tingkat pendidikan yang rendah, tingkat pengetahuan
rendah, status penggunaan narkoba suntik/IDU, keberadaan tindik, riwayat heteroseks
• Variabel bebas yang terbukti tidak berpengaruh terhadap kejadian HIV/AIDS adalah:
jenis kelamin, keadaan sosial ekonomi dan IMT, status menikah, pernah menerima
transfusi darah, lama menggunakan narkoba/IDU, status awal berhubungan seks,
menganut latar belakang kebudayaan lebih dari satu pasangan, letak demografi tempat
tinggal/domisili, keberadaan tatoo, pengaruh negatif Event internasional di Candi
Borobudur, pernah berhubungan seks dengan turis asing, kurangnya informasi tentang
pencegahan HIV, Keberadaan tato, Riwayat Homoseksual.
DAFTAR PUSTAKA

A, B. M., Lutalo, T., Nalugoda, F., Gray, R. and Koenig, M. A. (2004) ‘Coerced First Intercourseand
Reproductive Health Among AdolescentWomen in Rakai , Uganda’, pp. 156–163.
Adriano, L. S., Fonteles, M. M. de F., Azevedo, M. de F. M., Beserra, M. P. P. and Romero,
N. R. (2016) ‘Medication adherence in patients with juvenile idiopathic arthritis.’, Revista
brasileira de reumatologia, 7(1), pp. 23–29. doi: 10.1016/j.rbr.2015.11.004.
Alakija Kazeem Salami, Fadeyi, A., Ogunmodede,
J. A. and Desalu, O. (2010) ‘Factors Influencing Adherence to Antiretroviral Medication in
Ilorin,Nigeria’, Journal of the International Association of Physicians in AIDS Care, 9(3), pp.
191–195. doi: 10.1177/1545109710368722.
Aragonés, C., Sánchez, L., Campos, J. R. and Pérez,
J. (2011) ‘Antiretroviral therapy adherence in persons with HIV/AIDS in Cuba.’, MEDICC
review, 13(2), pp. 17–23.
Badenhorst, G., van Staden, A. and Coetsee, E. (2008)‘HIV/AIDS risk factors among residence
studentsat the University of the Free State.’, Curationis,31(3), pp. 27–35. Available at:
http://search. ebscohost.com/login.aspx?direct=true&db=cin
20&AN=2010290135&site=ehost-live.
Billong, S. C., Fokam, J., Penda, C. I., Amadou, S.,Kob, D. S., Billong, E.-J., Colizzi, V., Ndjolo,
A., Bisseck, A.-C. Z.-K. and Elat, J.-B. N. (2016) ‘Predictors of poor retention on antiretroviral therapy
as a major HIV drug resistance early warning indicator in Cameroon: results from a nationwide
systematic random sampling’, BMC Infectious Diseases. BMC Infectious Diseases, 16(1), p. 678.
doi: 10.1186/s12879-016-1991-3.
Biru, M., Jerene, D., Lundqvist, P., Molla, M., Abebe,
W. and Hallström, I. (2017) ‘Caregiver-reported antiretroviral therapy non-adherence during
the first week and after a month of treatment initiation among children diagnosed with HIV in
Ethiopia’, AIDS Care, 29(4), pp. 436–440. doi: 10.1080/09540121.2016.1257098.
Budambula, V., Matoka, C., Ouma, J., Ahmed, A. A., Otieno, M. F. and Were, T. (2018) ‘Socio-
demographic and sexual practices associated with HIV infection in Kenyan injection and non-
injection drug users’, BMC Public Health. BMC Public Health, 18(1), p. 193. doi: 10.1186/
s12889-018-5100-y.
Chenneville, T., Machacek, M., St. John Walsh, A., Emmanuel, P. and Rodriguez, C. (2016)
‘Medication Adherence in 13- to 24-Year- Old Youth Living With HIV’, Journal of the
Association of Nurses in AIDS Care. Elsevier Inc, pp. 1–12. doi: 10.1016/j.jana.2016.11.002.

Anda mungkin juga menyukai