Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Berdasarkan data dari WHO tahun 2022, ringkasan epidemi HIV Global terdapat

total sekitar 39.0 juta orang yang hidup dengan HIV di seluruh dunia, sekitar 1.3

juta orang yang tertular HIV dan 630.000 orang meninggal karena penyebab

terinfeksi HIV. Sekitar 37.5 juta orang yang hidup dengan HIV, (Dewasa usia lebih

dari 15 tahun), 1.2 juta orang yang tertular HIV dan 540.000 orang yang meninggal

karena penyebab terkait HIV. Sekitar 20.0 juta orang yang hidup dengan HIV

(Wanita usia lebih dari 15 tahun), 540.000 orang yang tertular HIV dan 230.000

orang yang meninggal karena penyebab terkait HIV. Sekitar 17.4 juta orang yang

hidup dengan HIV (Pria usia lebih dari 15 tahun), 640.000 orang yang tertular HIV

dan 310.000 orang yang meninggal karena penyebab terkait HIV. Sekitar 1.5 juta

orang yang hidup dengan HIV (Anak-anak usia kurang dari 15 tahun), 130.000

orang yang tertular HIV dan 84.000 orang yang meninggal karena penyebab HIV.

Kasus IMS (infeksi menular seksual) merupakah salah satu cara penularan infeksi

HIV yang berdampak bagi kesehatan seksual dan reproduksi di seluruh dunia, lebih

dari 1 juta orang dengan IMS diperoleh setiap hari. Dengan adanya pengaruh global

dan pengaruh budaya maka Indonesia termasuk dalam peringkat ke 10 penderita


(Source: UNAIDS/WHO Estimates, 2022)
kasus HIV terbanyak di dunia. .

Kasus HIV di Indonesia dilaporkan pertama kalinya pada tahun 1987 di Bali dan

sampai september 2019 HIV/AIDS sudah menyebar dikabupaten/kota diseluruh

provinsi di Indonesia. Kasus HIV/AIDS di Indonesia meningkat di tahun 2023,


provinsi di Indonesia dengan pengidap HIV terbanyak yaitu provinsi DKI Jakarta

dengan total pengidap sebanyak 90.956 kasus disusul oleh provinsi Jawa Timur

dengan total pengidap sebanyak 78.238 kasus, dan provinsi Jawa Barat sebanyak

57.246 kasus. Salah satu penyebab kasus infeksi HIV di Indonesia adalah Penularan

yang didominasi oleh kelompok heteroseksual (suami/istri), kelompok LGBT, ibu

rumah tangga dan kelompok lainnya seperti pria/wanita pekerja seks, kelompok

MSM (man sex with man), aktivitas ini telah menyumbang sekitar 30% penularan
(Kementerian Kesehatan RI, 2023)
dari suami ke istri. .

Provinsi DKI Jakarta merupakan salah satu provinsi di Indonesia dengan tingkat

prevalensi pertama HIV yang relatif tinggi di Indonesia karena Jakarta marupakan

ibu kota negara Indonesia dengan memiliki jumlah populasi yang sangat besar dan

padat dengan total pengidap sebanyak 90.956 kasus, terhitung sampai bulan maret

2023, dari total angka tersebut sebanyak 6.573 orang telah meninggal dunia akibat

komplikasi terpapar HIV/AIDS. Saat ini sebanyak 33.590 pasien telah menjalankan

pengobatan dengan rutin mengonsumsi antiretroviral (ARV) seumur hidup, karena

obat tersebut dapat menekan jumlah virus HIV yang ada dalam tubuh penderita,

dengan ini pasien bisa hidup normal seperti pada umumnya tanpa takut menularkan

atau mengalami komplikasi akibat antibodi dan sistem imunnya rusak diserang oleh

infeksi virus HIV. angka ini diharapkan terus bertambah agar penularan bisa terus

ditekan. Pemprov DKI Jakarta terus berupaya untuk melakukan penanganan pada

kasus HIV tersebut dengan melakukan pemeriksaan rutin agar penderita yang

terpapar HIV, termasuk pengidap HIV bisa terpantau dan melakukan pengobatan

sedini mungkin. Salah satu langkah yang terus berjalan saat ini adalah mewajibkan
calon pengantin/pasangan yang mau menikah untuk bersedia melakukan

pemeriksaan HIV sebagai salah satu syarat menikah, dari pemeriksaan ini

melindungi calon pasangan. Bukan berarti menikahnya tidak jadi, tetapi

penanggulangannya seperti apa jika memang salah satu dari calon pasangan

pengantin tersebut terinfeksi HIV. Pasien dengan HIV ini juga ada yang telah
(CNN Indonesia, 2022)
menjalani pengobatan di RSPAD Gatot Soebroto.

RSPAD Gatot Seobroto merupakan salah satu rumah sakit rujukan tertinggi

berstandar Internasional yang turut memberikan perhatian akan permasalahan

kesehatan di Indonesia, salah satunya adalah berperan aktif dalam penanganan kasus

Human Immunodeficiency Virus (HIV)/Acquired Immune Deficiency Syndrome

(AIDS). Letnan Jenderal TNI dr. A. Budi Sulistya, Sp.THT-KL., M.A.R.S diwakili

oleh Dirprofnakes RSPAD Gatot Soebroto, Brigadir Jenderal TNI dr. Dewi

Puspitorini, Sp.P., M.A.R.S., M.H mengatakan bahwa jumlah kasus HIV/AIDS di

RSPAD terus meningkat setiap tahunnya. Jumlah penderita HIV di RSPAD Gatot

Soebroto tahun 2022 adalah 1.234 orang. Jumlah ini terdiri dari 960 laki-laki dan

274 perempuan. Kelompok usia yang paling banyak terinfeksi HIV adalah usia 25-

34 tahun, dengan persentase sebesar 37,6%.


(dr. A. Budi Sulistya & dr. Dewi Puspitorini, 2022)
.

Berdasarkan informasi yang disampaikan oleh perawat penangung jawab di poli

pelayanan Voluntary Counseling and Testing (VCT). HIV/AIDS di RSPAD Gatot

Soebroto, peneliti memfalidasi informasi bahwa pasien yang terdeteksi infeksi HIV

dan mengikuti program pengobatan semakin meningkat, pasien HIV/AIDS sejak


pertama kali datang untuk deteksi dini sudah diberikan konseling oleh tim VCT.

Pemberian konseling bertujuan untuk menyiapkan mental dan psikologis pasien

sehingga apabila dinyatakan positif maka pasien yang bersangkutan sudah siap

menerima kenyataan tersebut, konseling dapat diberikan oleh dokter, perawat, atau

psikolog selama kurang lebih 30 menit untuk setiap pasien. Konseling yang

disampaikan adalah pengertian HIV/AIDS, tanda dan gejala, akibat dari HIV/AIDS,

masa inkubasi, cara penularan melalui kontak seksual, cairan tubuh (sperma dan

cairan vagina), pencegahan dan pengenalan dini terhadap HIV/AIDS, konseling

tersebut juga digunakan untuk mengantisipasi penurunan mental.

Human Immunodeficiency Virus (HIV) menurut kemenkes RI adalah infeksi virus

yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dengan cara penularan melalui

cairan tubuh seperti darah, sperma, cairan vagina, cairan ASI dan hubungan seksual

tanpa kondom, vaginal seks, oral seks, anal seks. HIV juga dapat menyebabkan

Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) yang merupakan stadium lanjut dari

infeksi HIV, infeksi HIV tersebut memperoleh proses yang signifikan.


(Kementerian Kesehatan RI, 2021)
.

Proses penyakit HIV/AIDS yaitu sejak awal terinfeksi HIV/skrining awal Rapid

Test HIV dinyatakan positif (Reaktif), seseorang dapat menularkan HIV sepanjang

hidupnya setelah terinfeksi, masa inkubasi HIV bervariasi pada tiap pengidapnya,

rata-rata 2-4 minggu setelah terinfeksi dan masa jendela (window period) selama 3

bulan dan berproses selama 5-10 tahun, jika seseorang memperoleh paparan HIV

atau memiliki resiko tertular, penting untuk menunggu hingga 3 bulan setelah
terpapar untuk melakukan tes HIV viral load dengan Elisa Test & western Blot Test.

Pasien dengan HIV tersebut akan mengalami tanda dan gejala.

Tanda dan gejala HIV yaitu dalam beberapa minggu setelah terinfeksi, beberapa

orang mengalami gejala yang mirip dengan flu dan beberapa selang waktu

kemudian timbul gejala demam, selera makan menurun, diare, berat badan menurun

drastis, sakit kepala, kelelahan, sakit tenggorokkan, ruam dan pembengkakan

kelenjar getah bening, bahkan pada tahap awal terinfeksi HIV sebagian besar orang

tidak memiliki gejala sama sekali, ini disebut infeksi HIV asimtomatik. Tetapi virus

HIV masih ada didalam tubuhnya, sedangkan tanda dan gejala AIDS yaitu: radang

paru, radang sel cema, kanker kulit, radang karena jamur dan TBC bahkan bila tidak

mendapat penangan lebih awal dan penanganan yang tepat akan menyebabkan
(Kementerian Kesehatan RI, 2021)
kematian.

Penanganan HIV dengan melakukan pengobatan atau terapi obat antiretroviral

(ARV) sesuai dengan anjuran dari tenaga kesehatan, ARV dapat membantu

mengontrol infeksi virus HIV dan mencegah perkembangan AIDS. ARV bekerja

dengan mengurangi jumlah virus HIV dalam darah dan ARV tersebut dapat

mengurangi risiko penularan HIV dari orang ke orang lain. Pengobatan untuk resiko

HIV adalah terapi pengobatan yang disebut dengan Post Exposure Prophylaxis

(PEP) adalah obat yang digunakan untuk menurunkan risiko seseorang terinfeksi

virus HIV setelah terpapar melalui cara paparan yang berisiko tinggi menularkan,

misalkan salah satu pasangan yang terinfeksi HIV tetapi salah satu dari keduanya

dengan HIV non reaktif maka obat PEP harus dikonsumsi dalam waktu 72 jam
setelah paparan untuk efektif. Obat PEP biasanya dikonsumsi selama 28 hari (<1

bulan). Namun, jika seseorang mengalami efek samping yang parah, pengobatan

dapat dihentikan lebih awal, obat PEP terdiri dari kombinasi dua atau lebih obat

antiretroviral (ARV). ARV bekerja dengan menghambat replikasi virus HIV di

dalam tubuh, jika seseorang tidak tertangani dengan tepat maka akan mengakibatkan
(Kementerian Kesehatan RI, 2021)
komplikasi. .

Komplikasi HIV adalah infeksi oportunistik yaitu infeksi yang disebabkan oleh

organisme yang biasanya tidak berbahaya bagi orang dengan sistem kekebalan

tubuh yang sehat, contoh dari infeksi oportunistik yaitu pneumonia kriptokokus,

kandidiasis, herpes zoster, tuberculosis. Kemudian penyakit kanker, pasien dengan

HIV beresiko lebih tinggi terkena berbagai jenis kanker termasuk kanker serviks,

kanker anus, kanker kelenjar getah bening, kanker paru-paru dan kanker hati.

Penyakit kardiovaskuler seperti serangan jantung dan stroke. Penyakit gagal ginjal.

Penyakit hati seperti sirosis hepar dan penyakit neurologis seperti demensia dan
(Faridah et al., 2020)
neuropati.

Pasien dengan HIV akan mendapatkan stigma, diskriminasi dan dikucilkan dari

masyarakat, teman, dan lingkungan bahkan dalam keluarga karena penyakit HIV

merupakan penyakit yang sangat menakutkan dan mengkhawatirkan yang dapat

menularkan ke orang lain bahkan sampai menyebabkan kematian juga merupakan

sebuah aib yang dapat diartikan sebuah cela atau kondisi seseorang dilihat dari sisi

buruknya atau hal yang tidak baik, berperilaku buruk dan tidak normal, pasien

dengan HIV akan mengalami dampak dari stigma dan diskriminasi tersebut.
Dampak psikologis pada pasien HIV/AIDS tersebut akan mengalami perburukan

masalah kesehatan mental seperti kecemasan, stres, depresi, koping individu tidak

efektif bahkan sampai bunuh diri dan termasuk salah satu penyakit kronis

psikologis. Kecemasan adalah perasaan yang tidak nyaman, gelisah, dan khawatir

yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor, seperti stres, trauma, dan penyakit.

Kecemasan yang berlebihan dapat mengganggu aktivitas sehari-hari dan dapat


(Gail W. Stuart, 2016)
berdampak negatif pada kesehatan fisik dan mental.

Indikator Kecemasan dapat dimanifestasikan dalam berbagai bentuk, baik secara

fisik, psikologis, maupun perilaku. Berikut adalah beberapa indikator kecemasan:

gejala fisik yaitu gelisah, jantung berdebar, napas pendek, tubuh terasa lemas,

tangan dan kaki gemetar, mual dan muntah, sakit kepala, gangguan tidur, gejala

psikologis yaitu: cemas, khawatir, tegang, sulit berkonsentrasi, mudah tersinggung,

mudah marah, merasa tidak berdaya, merasa seperti akan pingsang, gejala perilaku

yaitu: mengindari situasi yang membuat cemas, menolak untuk melakukan sesuatu,

mengalami serangan panik dan melakukan tindakan impulsive.


(Faridah et al., 2020)
.

Pasien HIV/AIDS sering mengalami kecemasan yang sangat tinggi yang berwujud

pada perasaan dan anggapan negatif yang dapat disebabkan oleh dampak dari stigma

dan diskriminasi dimasyarakat, akibatnya pasien akan menunjukkan perasaan takut,

malu ketahuan kepada orang lain, khawatir, takut akan kematian, mengisolasi diri,

tidak terbuka dengan orang lain dan keluarga, kesulitan dalam menjalani kehidupan
sehari-hari dan bersosialisasi dimasyarakat disebabkan karena orang lain akan

menghindari diri dari orang yang terinfeksi HIV/AIDS tersebut.

Beberapa hasil jurnal penelitian tentang HIV, responden mengalami kecemasan ada

hubungan dengan harga diri rendah, sikap sinis, perasaan takut berlebih dan persepsi

negatif kepada orang dengan HIV juga dapat mempengaruhi dan menurunkan

kualitas hidup, pandangan buruk kepada orang dengan HIV akan mengalami

terganggunya konsep diri dan mengalami depresi berat, saran dari beberapa jurnal

tersebut perlu adanya penguatan serta dukungan secara psikis, emosional, sosial dan

spiritual pada pasien HIV untuk kembali bersemangat dalam menjalankan

kehidupan.

Dari berbagai dampak pandangan masyarakat dan kecemasan yang terjadi pada

pasien HIV dukungan keluarga, dukungan sebaya/sahabat, adanya komunitas dan

bahkan tenaga kesehatan yang sudah teredukasi sangat di butuhkan dan diharapakan

pasien HIV mampu mengurangi stigma yang dialami, memiliki motivasi serta

semangat hidup seperti semula.

Tenaga kesehatan dalam hal ini adalah Perawat berperan memberikan pelayanan

yang dibutuhkan oleh pasien HIV/AIDS, peran perawat dalam hal ini adalah

memberikan dukungan secara emosional, motivasi, perhatian dan memberikan

penyemangat, memudahkan pasien untuk mengakses layanan dengan mudah dan

membantu pasien dalam menghadapi stigma dan diskriminasi, membantu pasien

dalam mengambil keputusan terkait perawatan dan pengobatan, serta berperan


sebagai educator yaitu meningkatkan pengetahuan, keterampilan pasien dalam

mencegah dan memahami HIV/AIDS, meningkatkan kepatuhan pasien dalam

pengobatan dan pemamantau terhadap kondisi pasien.

1.2 Rumusan Masalah

HIV merupakah salah satu penyakit infeksi menular yang menyerang sistem

kekebalan tubuh manusia dan termasuk salah satu faktor penyebab utama kematian

di dunia. Prevalensi penderita HIV setiap tahun semakin bertambah, Pasien dengan

HIV akan mendapatkan stigma, diskriminasi dan dikucilkan di masyarakat karena

penyakit HIV merupakan penyakit yang sangat menakutkan, mengkhawatirkan yang

dapat menularkan ke orang lain bahkan sampai menyebabkan kematian dan

merupakan sebuah aib yang dapat diartikan sebuah cela atau kondisi seseorang

dilihat dari sisi buruknya atau hal yang tidak baik, berperilaku buruk dan tidak

normal.

Hasil wawancara terhadap sejumlah pasien dengan HIV mengatakan bahwa

mengalami perasaan malu, rasa takut ketahuan kepada orang lain bahkan ada yang

tidak memberitahu kepada keluarga/tidak terbuka kepada siapapun, perasaan

khawatir dan takut akan kematian, kesulitan dalam menjalani kehidupan sehari-hari,

khawatir tidak mendapatkan dan dikeluarkan dari pekerjaan, sehingga sering

mengalami kecemasan yang sangat tinggi dan berwujud pada perasaan, anggapan

negatif yang dapat memperburuk masalah kesehatan mental, gangguan psikologis,

koping individu tidak adekuat, depresi bahkan sampai dengan bunuh diri, sehingga

penting dukungan keluarga dalam merawat pasien dengan HIV. Peneliti tertarik
untuk meneliti hal tersebut dan merumuskan masalah penelitian yaitu mengetahui

dukungan keluarga dengan tingkat kecemasan pada pasien HIV.

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui hubungan dukungan keluarga dengan tingkat kecemasan pada

pasien HIV di Poli VCT RSPAD Gatot Soebroto Jakarta Pusat.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui karakteristik responden (umur, jenis kelamin, pendidikan

dan pekerjaan).

2. Mengetahui tingkat kecemasan yang dialami oleh pasien HIV di poli

VCT RSPAD Gatot Soebroto.

3. Mengetahui tingkat dukungan keluarga yang diperoleh pasien HIV di

poli VCT RSPAD Gatot Soebroto.

4. Mengetahui hubungan antara dukungan keluarga dengan kecemasan

pada pasien HIV di poli VCT RSPAD Gatot Soebroto.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi Institusi Pendidikan

1. Penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu sumber referensi bagi

mahasiswa keperawatan tentang pentingnya dukungan keluarga bagi

pasien yang mengalami HIV sehingga mahasiswa mampu


mengembangkan materi pembelajaran yang lebih efektif dalam

meningkatkan pengetahuan tentang hubungan dukungan keluarga dengan

tingkat kecemasan pada pasien HIV.

2. Program konseling/(VCT) dan terapi dapat dikembangkan untuk

membantu mahasiswa dalam mengetahui program apa saya yang perlu

disampaikan kepada pasien yang mengalami HIV sehingga mahasiswa

mampu percaya diri dalam memberikan informasi.

1.4.2 Bagi Pelayanan

1. Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas

pelayanan kesehatan bagi pasien HIV. Dengan memahami hubungan

dukungan keluarga dengan tingkat kecemasan, tenaga kesehatan dapat

memberikan dukungan yang lebih tepat kepada pasien HIV, baik

dukungan secara emosional dan dukungan secara sosial. Hal ini dapat

membantu pasien HIV dalam pengambilan keputusan yang tepat untuk

menjalani pengobatan dan perawatan dengan lebih baik tanpa ada rasa

takut dan cemas karena dampak pandangan buruk dari masyarakat.

2. Meningkatkan aksesibilitas layanan kesehatan, hasil penelitian ini dapat

digunakan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang

pentingnya pemahaman dari penyakit HIV dan dampak pandangan dari

masyarakat itu sendiri. pasien HIV diharapkan mampu mengakses

layanan kesehatan yang dibutuhkan dengan mudah sehingga program

pemerintah dapat tercapai untuk mengetahui setiap pasien yang terinfeksi

HIV yang telah/tidak menjalani pengobatan.


1.4.3 Bagi Penelitian Selanjutnya

1. Meningkatkan pemahaman mengenai infeksi HIV dan sebagai acuan

bagi peneliti selanjutnya untuk melakukan penelitian. Penelitian ini dapat

memberikan pemahaman yang lebih baik tentang hubungan dukungan

keluarga dengan tingkat kecemasan pada pasien HIV.

2. Penelitian selanjutnya dapat menggunakan metode penelitian yang

berbeda, dalam penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan

desain cross-sectional. Peneliti selanjutnya dapat meneliti tentang faktor-

faktor yang mempengaruhi hubungan dukungan keluarga dengan tingkat

kecemasan dan efektifitas intervensi yang ditujukan untuk meningkatkan

dukungan keluarga bagi pasien HIV.

Peneliti selanjutnya dapat meneliti tentang faktor-faktor yang mempengaruhi

hubungan dukungan keluarga dengan tingkat kecemasan dan efektifitas intervensi

yang ditujukan untuk meningkatkan dukungan keluarga bagi pasien HIV.


DAFTAR PUSTAKA

CNN Indonesia. (2022). CNN, Indonesia.


Https://Www.Cnnindonesia.Com/Gaya-Hidup/20220901134133-255-841919/Kasus-Hiv-Di-
Indonesia-Capai-519-Ribu-per-Juni-2022-Jakarta-Terbanyak, 1–2.

dr. A. Budi Sulistya, Sp. T.-KL. , M. A. R. S., & dr. Dewi Puspitorini, Sp. P. , M. A. R. S. , M. H. (2022).
Redaksi : Sub Diassa Unit Pen/PKRS Penulis : Administrator.
Http://Rspadgs.Mil.Id/Id/Entry/Pembukaan-Pelatihan-Tatalaksana-Perawatan-Pasien-Hiv-Aids-
Di-Rspad-Gatot-Soebroto, 1–3.

Faridah, I., Sakit Melati Tangerang Ida Faridah, R., & Tangerang, Stik. (2020). Pengetahuan Dan Sikap
Tentang HIV/AIDS Dan Upaya Pencegahan HIV/AIDS. Jurnal Kesehatan, 9(1), 43–58.
https://doi.org/10.37048/kesehatan.v9i1.129

Gail W. Stuart, B. A. K. & J. pasaribu. (2016). Prinsip dan Praktik Keperawatan Kesehatan Jiwa Stuart:
Vol. Buku 2 (B. A. K. & J. P. Gail W.Stuart, Ed.; Indonesia).

Kementerian Kesehatan RI. (2021). Topik Kesehatan HIV. Kementrian Kesehatan, 1.

Kementerian Kesehatan RI. (2023). KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA.


Https://Sehatnegeriku.Kemkes.Go.Id/Baca/Rilis-Media/20230508/5742944/Kasus-Hiv-Dan-
Sifilis-Meningkat-Penularan-Didominasi-Ibu-Rumah-Tangga/, 1–2.

Source: UNAIDS/WHO Estimates, 2023. (2022). Source: UNAIDS/WHO Estimates, 2023.


Https://Www.Who.Int/Data/Gho/Data/Themes/Hiv-Aids, 1–2.

Anda mungkin juga menyukai