Anda di halaman 1dari 43

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


AIDS merupakan singkatan dari Acquired Immune Deficiency
Syndrome, yaitu sekumpulan gejala yang disebabkan oleh infeksi virus
Human Immunodeficiency Virus (HIV) (Djoerban & Djazuli, 2006). Infeksi
tersebut menyebabkan penderita mengalami penurunan ketahanan tubuh
sehingga mudah terinfeksi berbagai penyakit. Sebelum memasuki fase AIDS,
penderita terlebih dulu dinyatakan sebagai HIV positif (Kemenkes RI, 2014).
Berdasarkan data WHO pada tahun 2007-2009, dapat diketahui bahwa
perkembangan HIV/AIDS fluktuatif. Penyakit HIV/AIDS menjadi pandemi
yang mengkhawatirkan karena penyakit ini memiliki window period dan fase
tanpa gejala yang relatif panjang. Hal ini menyebabkan pola perkembangan
serperti fenomena gunung es (iceberg phenomena), artinya jumlah kasus yang
dilaporkan jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah yang sebenarnya
(Kemenkes RI, 2014).
Berdasarkan data United Nations Program on HIV/AIDS (UNAIDS)
WHO tahun 2016, perkiraan jumlah pengidap HIV pada semua kelompok
umur di dunia pada tahun 2010 sebanyak 33,3 juta dan meningkat menjadi
36,7 juta pada tahun 2015. Jumlah pengidap HIV baru pada tahun 2010
dilaporkan sebanyak 2,2 juta penderita dan tahun 2015 sebanyak 2,1 juta
penderita. Di Asia, perkiraan jumlah penderita HIV pada semua kelompok
umur sebanyak 4,7 juta penderita pada tahun 2010, dan tahun 2015 sebanyak
5,1 juta penderita. Jumlah penderita baru HIV di Asia pada tahun 2010
sebanyak 1,1 juta penderita dan 960.000 penderita pada tahun 2015
(UNAIDS WHO, 2016). Setiap hari di dunia diperkirakan sekitar 2.000 anak
dibawah usia 15 tahun tertular HIV, dan sekitar 1.400 anak meninggal akibat
HIV, serta lebih dari 6000 orang usia produktif terinfeksi HIV (Purwaningsih
et al., 2015).

1
Epidemi AIDS di Indonesia sudah berlangsung hampir 20 tahun tetapi
diperkirakan masih akan berlangsung terus dan memberikan dampak yang
tidak mudah untuk diatasi (Nurbani, 2008). Hasil Profil Kesehatan Indonesia
Tahun 2014 menyatakan peningkatan data jumlah kasus HIV positif dari
tahun 2005 sampai tahun 2014. Tahun 2005, jumlah kasus baru HIV postif
adalah 859 kasus dan jumlah kasus baru HIV positif pada tahun 2012, 2013
dan 2014 berturut-turut adalah 21.511, 29.039 dan 32.711 kasus. Pada tahun
2015 penemuan kasus baru HIV menurun menjadi 30.935. Pada tahun 2014
dan 2015 terjadi penurunan kasus AIDS menjadi sebesar 7.875 kasus pada
tahun 2014 dan 6.081 kasus pada tahun 2015. Diperkirakan hal tersebut
terjadi karena jumlah pelaporan kasus AIDS dari daerah masih rendah. Secara
kumulatif, kasus AIDS sampai dengan tahun 2015 sebesar 77.112 kasus
(Profil Kesehatan Indonesia, 2015).
Jawa Tengah merupakan provinsi penyumbang terbanyak kasus AIDS
kelima setelah Jawa Timur, Papua, DKI Jakarta, dan Bali sampai dengan
bulan Desember tahun 2016. Kasus AIDS di Jawa Tengah sebanyak 6.444
kasus, sedangkan kasus HIV mencapai 16.867 kasus (Kemenkes, 2016).
Jumlah kematian AIDS tahun 2015 sebanyak 172 kasus, lebih banyak
dibandingkan kematian tahun 2014 sebanyak 163 kasus, dengan kasus
kematian AIDS tertinggi pada umur 25-49 tahun (Dinkes Jateng, 2015).
Sragen merupakan salah satu kabupaten di Jawa tengah yang menyumbang
angka kesakitan HIV yaitu sebanyak 20 orang pada tahun 2016.
Sesuai dengan komitmen global, Indonesia menetapkan target pada
tahun 2030 penyakit HIV/AIDS sudah tidak lagi menjadi masalah kesehatan
di tanah air. Target Kemenkes dalam Sustainable Development Goals (SDGs)
dalam hal pengendalian HIV AIDS adalah pada tahun 2019 persentase angka
kasus HIV yang diobati sebesar 55%. Pada tahun 2013 sebanyak pasien
39.418 pasien AIDS dan berhasil menurunkan kematian sampai 1,6 %
sedangkan pada tahun 2014 yang menerima ARV sebanyak 43.104 orang dan
berhasil menurunkan angka kematian sampai 0,04%.

2
Pengendalian penyakit menular di masyarakat melibatkan semua aspek
yang meliputi promotif, preventif, kuratif serta rehabilitatif harus
mendapatkan perhatian secara proporsional dan digunakan secara terpadu di
dalam sistem pengendaliannya. Pengendalian HIV/AIDS merupakan salah
satu bagian dari program pengendalian dan pemberantasan penyakit menular
yang ada di Puskesmas. Program ini bertujuan untuk menurunkan jumlah
kasus baru HIV/AIDS, angka kematian akibat penyakit HIV/AIDS serta
menurunkan stigma dan diskriminasi pada penderita HIV/AIDS sehingga
dapat meningkatkan kualitas hidup orang dengan HIV/AIDS. Strategi dan
kegiatan pengendalian HIV/AIDS di Kabupaten Sragen masih belum
menunjukkan hasil yang maksimal hal ini kemungkinan disebabkan oleh
keterlambatan dalam diagnosis, kurang tepatnya tatalaksana, maupun
terjadinya komplikasi pada berbagai sistem organ sehingga diperlukan suatu
inovasi dalam strategi dan kegiatan pengendalian HIV/AIDS.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana analisis pengendalian penyakit HIV/AIDS di Kabupaten
Sragen?
2. Bagaimana permasalahan pengendalian penyakit HIV/AIDS di Kabupaten
Sragen?
3. Bagaimana upaya peningkatan pengandalian penyakit HIV/AIDS yang
dapat dilakukan di Kabupaten Sragen?

C. Tujuan
1. Untuk menganalisis pengendalian penyakit HIV/AIDS di Kabupaten
Sragen.
2. Untuk mengetahui permasalahan pengendalian penyakit HIV/AIDS di
Kabupaten Sragen.
3. Untuk mengetahui upaya peningkatan pengendalian penyakit HIV/AIDS
yang dapat dilakukan di Kabupaten Sragen.

3
D. Manfaat
1. Dapat menganalisis pengendalian penyakit HIV/AIDS di Kabupaten
Sragen.
2. Dapat mengetahui permasalahan pengendalian penyakit HIV/AIDS di
Kabupaten Sragen
3. Dapat mengetahui upaya peningkatan pengendalian penyakit HIV/AIDS
yang dapat dilakukan di Kabupaten Sragen.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi HIV/AIDS
AIDS merupakan singkatan dari Acquired Immune Deficiency
Syndrome, yaitu sekumpulan gejala yang disebabkan oleh infeksi virus
Human Immunodeviciency Virus (HIV) (Djoerban & Djazuli, 2006). Infeksi
tersebut menyebabkan penderita mengalami penurunan ketahanan tubuh
sehingga mudah untuk terinfeksi berbagai penyakit. Tubuh penderita yang
terinfeksi HIV menjadi lebih peka terhadap infeksi kuman yang dalam
keadaan normal sebenarnya tidak berbahaya. Infeksi kuman bentuk ini
disebut infeksi oportunistik. Infeksi oportunistik adalah infeksi yang timbul
karena mikroba yang berasal dari luar tubuh maupun dalm tubuh manusia,
namun dalam keadaan normal terkendali oleh kekebalan tubuh (Yunihastuti,
2005).
HIV adalah virus penyebab AIDS yang menyerang sel darah putih
manusia yang merupakan bagian terpenting dari sistem kekebalan tubuh
manusia. AIDS ditandai dengan menurunnya sistem kekebalan tubuh
khususnya menyerang limfosit T CD4 Limfosit T helper. Saat jumlah T
helper turun hingga dibawah 200 sel/mm3 darah atau mulai muncul infeksi
penyerta. AIDS yaitu suatu sindroma atau kumpulan tanda/gejala penyakit
yang terjadi akibat tertular/terinfeksi virus HIV yang merusak sistem
kekebalan tubuh, bukan karena diturunkan atau dibawa sejak lahir. AIDS
adalah tahap akhir dari infeksi virus HIV ketika sistem kekebalan tubuh telah
sangat rusak, sehingga tidak dapat melawan infeksi ringan sekalipun dan pada
akhirnya menyebabkan kematian.

5
B. Diagnosis dan Penularan HIV/AIDS
Untuk mendiagnosis seseorang dengan HIV perlu dilakukan tes,
sebelum dan sesudah tes diagnosis HIV akan dilaksankan konseling.
Pelaksanaan konseling HIV telah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehtan
RI (Permenkes) Nomor 74 Tahun 2014 mengenai Pedoman Pelaksanaan
Konseling dan tes HIV. Permenkes tersebut menyebutkan bahwa terdapat
dua macam pendekatan yang dilakukan untuk konseling dan tes HIV yaitu:
1. Konseling dan tes HIV atas inisiatif pemberi pelayanan kesehatan
(KTIP), merupakan tes HIV dan konseling yang dilakukan kepada
seseorang untuk kepentingan kesehatan dan pengobatan berdasarkan
inisiatif dari pemberi pelayanan kesehatan;
2. Konseling dan tes HIV Sukarela (KTS)/Voluntarry Counceling Test
(VCT), merupakan proses konseling sukarela dan tes HIV atas inisiatif
individu yang bersangkutan.
Pelayanan konseling dan tes HIV harus dapat dilaksanakan di
setiap fasilitas pelayanan kesehatan. Pelaksanannya, tes HIV harus
mengikuti prinsip yang telah disepakati secara global yaitu 5 komponen
dasar yang disebut 5C (inform consent, confidentiality, counseling,
correct test result dan connections to, care, treatment and prevention
services) (Kemenkes RI, 2014):
a. Informed Consent adalah persetujuan akan suatu tindakan
pemeriksaan laboratorium HIV yang diberikan oleh pasien/klien
atau wali/pengempu setelah mendapatkan dan memahami
penjelasan yang diberikan secara lengkap oleh petugas kesehatan
tentangtindakan medis yang akan dilakukan terhadap pasien/klien
tersebut.
b. Confidentiality adalah semua isi informasi atau konseling antara
klien dan petugas pemeriksa atau konselor dan hasil tes
laboratorium tidak akan diungkapkan kepada pihak lain tanpa
persetujuan pasien/klien tersebut.

6
c. Counseling, yaitu proses dialog antara konselor dengan klien
bertujuan untuk memberikan informasi yang jelas dan dapat
dimengerti klien/pasien. Konselor memberikan informasi, waktu,
perhatian dan keahliannya, untuk membantu klien mempelajari
keadaan dirinya, mengenali dan melakukan pemecahan masalah
terhadap keterbatasan yang diberikan lingkungan. Layanan
konseling HIV harus dilengkapi dengan informasi HIV-AIDS,
konseling pra-konseling dan tes pasca tes yang berkualitas baik.
d. Correct test result, hasil tes harus akurat. Layanan tes HIV harus
mengikuti standar pemeriksaan HIV nasional yang berlaku. Hasil
tes harus dikomunikasikan sesegera mungkin kepada pasien/klien
secara pribadi oleh tenaga kesehatan yang memeriksa.
e. Connections to, care, treatment and prevention services,
pasien/klien harus dihubungkan atau dirujuk ke layanan
pencegahan, perawatan, dukungan dan pengobatan HIV yang
didukung dengan sistem rujukan yang baik dan terpantau.

Permenkes RI No. 74 tahun 2014 menjelaskan terdapat dua metode


yang dapat dilakukan dalam tes HIV, yaitu tes cepat (rapid test) dan ELISA.
Tes cepat harus dilakukan sesuai prosedur yang ditetapkan oleh pabriknya.
Hasil tes cepat dapat ditunggu oleh pasien. Tes cepat dapat dilaksanakan di
luar laboratorium, tidak memerlukan peralatan khusus dan dapat
dilaksanakan di fasilitas kesehatan primer oleh paramedik terlatih. Tes cepat
tidak dianjurkan untuk jumlah pasien yang banyak. Diagnosis adanya infeksi
dengan HIV dapat ditegakkan di laboratorium dengan ditemukannya antibodi
yang khusus terhadap virus tersebut. Pemeriksaan untuk menemukan adanya
antibodi tersebut menggunakan metode ELISA (Enzyme Linked
Imunosorbent Assay). Hasil tes ELISA positif maka dilakukan pengulangan.
Jika masih tetap positif maka selanjutnya dikonfirmasi dengan tes yang lebih
spesifik yaitu metode Western Blott. Pemilihan antara menggunakan tes
cepat HIV atau tes ELISA harus mempertimbangkan faktor tatanan tempat

7
pelaksaan tes HIV, biaya dan ketersediaan perangkat tes, reagen dan
peralatan, pengambilan sampel, transportasi, SDM serta kesediaan pasien
untuk kembali mengambil hasil.
Infeksi HIV/AIDS merupakan penyakit infeksi yang menular melalui
cairan tubuh yang mengandung virus HIV, yaitu air mani (semen), cairan
vagina/serviks, dan darah. Tindakan penularannya dapat melalui hubungan
seksual, baik homoseksual maupun heteroseksual, jarum suntik pada
pengguna narkotika, transfusi komponen darah, dan dari ibu yang terinfeksi
HIV ke bayi yang dilahirkannya (transmisi maternal-fetal). Secara global,
ditemukan bahwa proses penularan melalui hubungan seksual menempati
urutan pertama, yaitu 70-80%, disusul pada penggunaan obat suntik dengan
jarum suntik bersamaan 5-10%. Infeksi perinatal juga memiliki presentase
tinggi yaitu 5-10% dan penularan melalui transfusi darah 3-5%. Besarnya
risiko ditentukan dari paparan dan derajat viremia dari sumber infeksi.
Penularan melalui ASI dari ibu yang terinfeksi ke bayinya juga dapat
terjadi, namun dengan risiko yang lebih kecil karena jumlah virus yang
sangat sedikit dalam ASI. Ada beberapa faktor yang dapat meningkatkan
risiko penularan melalui ASI, yaitu: level virus yang bermakna dalam ASI,
adanya mastitis, kadar limfosit T CD4 ibu yang rendah, dan defisiensi
vitamin A pada ibu. Di negara berkembang, pemberian ASI dari ibu yang
terifeksi masih menjadi pro dan kontra karena walaupun menjadi jalur
penularan, ASI merupakan sumber nutrisi utama pada bayi di usia awal
kehidupan dan memberi faktor-faktor antibodi yang penting.
Menurut Kemenkes RI dalam Laporan Triwulan HIV/AIDS (2014),
faktor risiko penularan infeksi HIV yang tercatat selama tahun 1987-2013 di
Indonesia adalah antara lain melalui hubungan heteroseksual sebanyak
62,5%, penasun atau pengguna obat-obatan terlarang dengan jarum suntik
sebanyak 16,1%, penularan melalui perinatal sebanyak 2,7%, dan penularan
pada homoseksual sebanyak 2,4%. Data epidemiologi menunjukan bahwa
Papua merupakan daerah di Indonesia dengan angka kejadian AIDS paling

8
tinggi, diikuti Jawa Timur, DKI Jakarta, Jawa Barat, Bali, Jawa Tengah,
Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat, Sumatera Utara, dan Banten.
Kecenderungan penularan infeksi HIV di seluruh Indonesia hampir
sama, kecuali untuk Papua dimana mayoritas diakibatkan karena hubungan
seksual berisiko tanpa kondom yang dilakukan kepada pasangan tetap
maupun tidak tetap. Selain itu, terbatasnya penggunaan obat antiretroviral
baik untuk pengobatan maupun pencegahan transmisi dari ibu ke janin
menambah situasi penyebaran infeksi HIV sehingga memperburuk situasi
epidemi HIV di Indonesia.

C. Fase dan Gejala Infeksi HIV-AIDS


Mekanisme utama infeksi HIV dimulai setelah virus masuk ke dalam
tubuh pejamu. Setelah masuk ke dalam tubuh pejamu, HIV menyerang sel
darah putih (limfosit Th) yang merupakan sumber kekebalan tubuh untuk
menangkal berbagai penyakit infeksi. HIV yang masuk di limfosit Th, virus
memaksa limfosit Th untuk memperbanyak dirinya, sehingga akhirnya
menyebabkan kematian limfosit Th, kematian limfosit Th itu membuat daya
tahan tubuh berkurang, sehingga tubuh mudah terserang infeksi dari luar
(baik virus lain, bakteri, jamur atau parasit). Kondisi ini menyebabkan
kematian pada orang dengan HIV/AIDS. Virus HIV selain menyerang
limfosit Th, juga memasuki sel tubuh yang lain, organ yang sering terkena
adalah otak dan susunan saraf lainnya. Virus HIV diliputi oleh selubung
protein pembungkus yang sifatnya toksik (racun) terhadap sel, khususnya sel
otak serta susunan saraf pusat dan tepi lainnya, sehingga terjadilah kematian
sel otak (Hidayat, 2008).
Gejala klinis penderita AIDS sulit diidentifikasi karena simtom yang
ditujukan pada umumnya bermula dari gejala-gejala umum yang lazim
didapati seperti rasa lelah dan lesu, berat badan menurun secara drastis,
demam yang sering dan berkeringat di waktu malam, kurang nafsu makan,
bercak-bercak putih di lidah dan di dalam mulut, pembengkakan leher,
radang paru-paru, kanker kulit. Manifestasi klinik utama dari penderita

9
AIDS pada umunya ada tiga hal antara lain tumor, infeksi oportunistik dan
manifestasi neurologi. Perjalanan infeksi HIV dapat dijelaskan dalam tiga
fase, yaitu (Nasronudin, 2007):
1. Fase Infeksi Akut (Sindroma Retroviral Akut)
Fase ini ditandai oleh proses replikasi yang menghasilkan virus-
virus baru (virion) dalam jumlah yang besar. Replikasi virus dalam
jumlah yang besar akan memicu timbulnya sindroma infeksi
mononucleosis akut yakni antara lain: demam, limfadenopati, bercak pada
kulit, faringitis, malaise, dan mual muntah yang timbul sekitar 3-6
minggu setelah infeksi. Fase ini selanjutnya akan terjadi penurunan
jumlah sel limfosit T-CD4 dan kemudian terjadi respon imun yang
mengakibatkan kenaikan jumlah limfosit T. Jumlah limfosit T pada fase
3
ini masih diatss 500 sel/mm dan kemudian akan mengalami penurunan

setelah enam minggu terinfeksi HIV.

2. Fase Infeksi Laten


Fase infeksi laten terjadi ketika respon imun sudah dapat
megendalikan jumlah virus dalam darah, sebagian virus masih menetap di
dalam tubuh meskipun jarang ditemukan dalam plasma. Virus
terakumulasi di dalam kelenjar limfe terperangkap di dalam sel dendritic
folikuler dan masih terus mengadakan replikasi, sehingga penurunan
limfosit T-CD4 terus terjadi walaupun virion di plasma jumlahnya sedikit.
Fase ini jumlah limfosit T-CD4 menurun hingga sekitar 500 sampai 200
3
sel/mm . Jumlah virus yang bereplikasi setelah fase primer akan

bereplikasi lagi hingga mencapai set point tertentu yang akan


memprediksi onset waktu terjadinya penyakit AIDS. Jumlah virus kurang
dari 1.000 kopi/ml darah, penyakit AIDS kemungkinan akan terjadi
dengan periode laten lebih dari 10 tahun. Sedangkan jika jumah virus
kurang dari 200 kopi/ml darah, infeksi HIV tidak akan mengarah pada
penyakit AIDS. Pasien sebagian besar dengan jumlah virus lebih dari
100.000 kopi/ml darah mengalami penurunan jumlah limfosit T-CD4

10
yang lebih cepat dan mengalami perkembangan menjadi penyakit AIDS
dalam kurun waktu kurang dari 10 tahun. Fase ini pasien umunya belum
menunjukkan gejala klinis atau asimtomatis dan fase laten berlangusng
sekitar 8-10 tahun (dapat 3-13 tahun) setelah infeksi HIV.

3. Fase Infeksi Kronis


Selama fase ini, di dalam kelenjar limfa terus terjadi replikasi virus
yang diikuti dengan kerusakan dan kematian sel dendritic folikuler serta
sel limfosit T-CD4. Fungsi kelenjar sebagai perangkat virus menurun atau
bahkan hilang dan virus dicurahkan ke dalam darah. Respon imun tidak
mampu mengatasi jumlah virion yang sangat besar. Jumlah sel limfosit T-
3
CD4 menurun hingga dibawah 200 sel/mm , jumlah virus meningkat

dengan cepat sedangkan respon imun semakin tertekan sehingga pasien


semakin rentan terhadap berbagai macam infeksi sekunder yang dapat
disebabkan oleh virus, jamur, protozoa atau bakteri. Perjalanan infeksi
semakin progresif dan mendorong ke arah AIDS, setelah menjadi AIDS
pasien jarang bertahan hidup lebih dari 2 tahun tanpa intervensi terapi.

D. Epidemiologi HIV/AIDS di Indonesia


Sejak pertama kali ditemukan tahun 1987 sampai dengan September
2014, HIV-AIDS tersebar di 381 (76%) dari 498 kabupaten/kota di seluruh
provinsi di Indonesia. Provinsi pertama kali ditemukan adanya kasus
HIV/AIDS adalah Provinsi Bali, sedangkan yang terakhir melaporkan adalah
Provinsi Sulawesi Barat pada tahun 2011. Sementara secara kumulatif sejak 1
Januari 1987 sampai dengan 30 September 2014 telah terjadi kasus HIV
sebanyak 150.296 dan kasus AIDS sebanyak 55.799. Dari bulan Juli sampai
dengan September 2014 jumlah infeksi HIV yang baru dilaporkan sebanyak
7.335 kasus. Persentase infeksi HIV tertinggi dilaporkan pada kelompok
umur 25-49 tahun sebesar 69,1%, diikuti kelompok umur 20-24 tahun
sebesar17,2%, dan kelompok umur diatas 50 tahun sebesar 5,5%. Rasio HIV
antara laki-laki dan perempuan adalah 1 berbanding 1. Persentase faktor

11
risiko HIV tertinggi adalah hubungan seks berisiko pada heteroseksual
sebesar 57%, LSL (Lelaki Seks Lelaki) sebesar 15%, dan penggunaan jarum
suntik tidak steril pada penasun (pengguna narkoba suntik) sebesar 4%.
Berbagai upaya penanggulangan sudah dilakukan oleh Pemerintah bekerja
sama dengan berbagai lembaga di dalam negeri dan luar negeri. Sebelum
memasuki fase AIDS, penderita terlebih dulu dinyatakan sebagai HIV positif.
Jumlah HIV positif yang ada di masyarakat dapat diketahui melalui 3
metode, yaitu pada layanan Voluntary, Counseling, and Testing (VCT), sero
survey, dan Survei Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP).

Berdasarkan estimasi WHO sebanyak 660.000 orang di Indonesia


terinfeksi HIV pada tahun 2014 yang meningkat sebesar 43%. Merupakan
orang dewasa (≥ 15 tahun) sebesar 0,5 %., homoseks sebesar 8,5%, pengguna
narkoba injeksi 36,4%, dan pekerja seks komersial 9%. Pada tahun 1999 di
Indonesia terdapat 635 kasus HIV dan 183 kasus baru AIDS. Mulai tahun
2000-2005 terjadi peningkatan kasus HIV dan AIDS secara signifikan di
Indonesia.Pada Tahun 2015 terjadi penurunan yaitu menjadi 24.791 kasus
dengan jumlah kumulatif infeksi HIV sebanyak 184.929. Sementarajumlah
AIDS yang dilaporkan tahun 2015 adalah 3127 dengan Jumlah kumulatif
AIDS sebanyak 65.197 orang. dijumpai Setelah 3 tahun berturut-turut
(2010-2012) cukup stabil, perkembangan jumlah kasusbaru HIV positif
pada tahun 2013 dan 2014 kembali mengalami peningkatan secara
signifikan.

Gambar 2.1 Diagram Kasus Baru HIV Positif Sampai Tahun 2015.

12
Insidensi adanya kecenderungan peningkatan penemuan kasus baru
sampai tahun 2013. Namun pada tahun 2015 terjadi penurunan kasus AIDS
menjadi sebesar 3.127 kasus. Diperkirakan hal tersebut terjadi karena
jumlah pelaporan kasus AIDS dari daerah masih rendah. Secara kumulatif,
kasus AIDS sampai dengan tahun 2015 sebesar 68.197 kasus dan 4.600 kasus
adalah anak-anak.

Gambar 2.2 Grafik Jumlah Kasus Baru AIDS sampai tahun 2014.

Pemetaan epidemi HIV di Indonesia dibagi menjadi lima kategori,


yaitu<90 kasus, 90-206 kasus, 207-323 kasus, 324-440 kasus, dan >440
kasus. Berdasarkan gambar di atas, sebanyak 15 provinsi di Indonesia
memiliki jumlah kasus HIV > 440, meliputi seluruh provinsi di Pulau Jawa,
Bali dan Pulau Papua serta beberapa provinsi di Sumatera (Sumatera Utara
dan Riau), Kalimantan (Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur), dan satu
provinsi di Sulawesi yaitu Sulawesi Selatan. Jumlah kasus HIV di lima
belas provinsi tersebut menyumbang hampir 90% dari seluruh jumlah kasus
HIV di Indonesia. Provinsi dengan jumlah HIV tertinggi yaitu DKI Jakarta
(38.464), Jawa Timur (24.104), dan Jawa Barat(17.075), Bali (1.824).
Sebanyak empat provinsi memiliki jumlah kasus HIV kurang dari 90 kasus
yaitu Gorontalo, Sulawesi Barat, Aceh, dan Maluku Utara.

13
Gambar 2.3 Peta Epidemi HIV di Indonesia Tahun 2014.

Bedasarkan data WHO populasi terbanyak pada daerah perkotaan.


Angka kejadian kasus AIDS atau AIDS Case Rate adalah jumlah kasus AIDS
per 100.000 penduduk dalam kurun waktu tertentu. AIDS Case Rate di
Indonesia yang tertinggi adalah Jawa Timur (13.043), Provinsi Papua (12.117
kasus), diikuti DKI Jakarta (8.007kasus),Bali (4.813 kasus), dan Jawa Tengah
(5.042 kasus). Pada provinsi Papua dan Papuan Barat, terutama disebabkan
oleh hubungan seksual yang tidak aman terutama pada rentang usia antara 15-
49 tahun.

Berdasarkan jenis kelamin, persentase kasus baru AIDS tahun 2015


pada kelompok laki-laki 1,75 kali lebih besar dibandingkan pada kelompok
perempuan Penderita AIDS pada laki-laki sebesar 54% dan pada perempuan
sebesar 31%. Sebesar 4% penderita AIDS tidak diketahui jenis kelaminnya.
Beberapa kasus baru AIDS dari Provinsi DKI Jakarta dan Papua Barat tidak
dilaporkan jenis kelaminnya.Pada penelitian berdasarkan jenis kelamin
memiliki pola yang hampir sama dalam 7 tahun terakhir.

14
Gambar 2.4 Diagram Kasus Baru AIDS Menurut Jenis Kelamin Di
Indonesia Tahun 2015.

Gambaran kasus baru AIDS menurut kelompok umur menunjukkan


bahwa Infeksi HIV terbanyak ditemukan pada kelompok usia produktif 25-49
tahun pada 5 tahun terakhir. Usia muda merupakan populasi dengan faktor
risiko yang tinggi. Usia dewasa muda yaitu pada usia 20-29 tahun sebesar
32% pada populasi yang terinfeksi HIV , 30-39 tahun sebesar 29,4%, dan 40-
49 tahun sebesar 11,8 %. Kelompok umur tersebut masuk ke dalam kelompok
usia produktif yang aktif secara seksual dan termasuk kelompok umur yang
menggunakan NAPZA suntik. Kelompok usia muda yang sedikit berdasarkan
tidak lazimnya seks sebelum pernikahan yang dilarang adat istiadat di
Indonesia. Berdasarkan data Behaviour Surveillance Surveys (BSS) pada
2004-2005 sebanyak 1% pelajar di Jakarta dan Surabaya memakai narkoba
suntik, 23% pelajar di Jakarta dan 9% pelajar di Surabaya pernah mencoba
menggunakan narkoba suntik dengan jaarum suntik bergantian, sehingga
meningkatkan angka penularan HIV. Sebanyak 40% pengguna narkoba
suntik pada usia 15-24 tahun. Pada kota Jakarta dan Surabayadidapati pekerja
seks komersial dengan usia muda dibanding kota lain.

15
Gambar 2.5 Diagram Persentase Kasus Baru AIDS Menurut Kelompok
Umur Tahun 2015.

HIV/AIDS dapat ditularkan melalui beberapa cara penularan, yaitu


hubungan seksual lawan jenis (heteroseksual), hubungan sejenis
homoseksual/biseksual, penggunaan alat suntik (penasun)/pengguna narkoba
injeksi (IDU) secara bergantian, transfusi darah, dan penularan dari ibu ke
anak (perinatal). Kasus baru infeksi HIV di Indonesia terutama pada
golongan yanga berisiko, yaitu Injecting Drug Users (IDUs), Female Sex
Workers (FSWs) dan klien, men who have sex with men. Berdasarkan data
Kemenkes tahun 2015 hubungan heteroseksual merupakan cara penularan
dengan persentase tertinggi pada kasus AIDS yaitu sebesar 64,5%, diikuti
oleh penasun sebesar 12,4%, penularan melalui perinatal sebesar 3,5%, ,
homoseksual sebesar (2,7%). Sedangkan penasun yang biasanya cara
penularan tertinggi kedua, pada tahun 2014 turun secara signifikan menjadi
3,3% dibandingkan tahun 2013 yang sebesar 9,3% . Prevalensi dari kebiasaan
penyuntikan yang tidak aman jumlahnya lebih kecil dibandingkan kebiasaan
seks yang tidak aman, tetapi tidak menggambarkan prevalensi dari penguna
narkoba suntik terjadi penurunan jumlah penggunaan jarum suntik bersama,
dilaporkan sebanyak 87% pengguna narkoba suntik tidak menggunakan

16
jarum suntik bersama. Program Locations of Needle and Syringe Program
(NSP) dan Methadone Maintenance Therapy (MMT) yang dilakukan
pemerintah meningkatkan dari 120 pada 2006 menjadi 194 and 74 pada
2011.

Gambar 2.6 Persentase Kasus AIDS Menurut Faktor Risiko Di


Indonesia Tahun 2010-2015.

Pasangan yang multipel, hubungan seksual yang terlalu sering,


kebutuhan kondom, rendahnya angka penggunaan kondom secara bersamaan
meningkatkan risiko transmisi dari HIV tidak hanya populasi berisiko, tetapi
juga pada tetapijuga wanita sebagia partner seksual atau pekerja seks
komersial atau pengguna narkoba. Bersamaan dengan peningkatan angka
penularan melalui seks bebas maka dilakukan penyuluhan tentang perilaku
seks sehat dengan menggunakan kondom, tetapi terhambat oleh pandangan
agama tertentu pada daerah epidemi.Penyakit AIDS dilaporkan bersamaan
dengan penyakit penyerta. Pada tahun 2015 penyakit tuberkulosis, diikkuti
kandidiasis dan diare merupakan penyakit penyerta AIDS tertinggi masing-
masing sebesar 275 kasus, 191 kasus, dan 187 kasus.
Menurut jenis pekerjaan pada tahun 2015, penderita AIDS kumulatif di
Indonesia paling banyak yang diketahui berasal dari kelompok ibu rumah
tangga (9.096 orang) diikuti tenaga non-profesional (8.267 orang), dan

17
wiraswasta (8.037 kasus). Sementara sebanyak 21.434 orang tidak diketahui
jenis pekerjaannya.

Gambar 2.7 Diagram Jumlah Kumulatif AIDS yang Dilaporkan


Menurut Jenis Pekerjaan.

Angka kematian atau Case Fatality Rate (CFR) adalah jumlah kematian
(dalam persen) dibandingkan jumlah kasus dalam suatu penyakit tertentu.
CFR AIDS di Indonesia pada tahun 2001 menunjukkan penurunan yang
signifikan kemudian naik kembali sampai tahun 2004, selanjutnya sampai
tahun 2015 menunjukkan kecenderungan menurun. Pada tahun 2015, CFR
AIDS di Indonesia sebesar 0,67%. Sebanyak 22.000 orang meninggal
disebabkan oleh tuberkulosis.

18
Gambar 2.8 Grafik Angka Kematian Akibat AIDS yang Dilaporkan
Tahun 2000-2014.

Diagnosis HIV melalui beberapa tes. Berdasarkan data geografis WHO


tahun 2015, di Indonesia menggunakan 3-rapid test algorithm yang
diprioritaskan pada populasi yang memiliki faktor risiko, wanita hamil dan
pasien yang telah memiliki gejala. Tetapi hanya 6% dari wanita hamil di
Indonesia yang telah melakukan tes HIV. Pada tahun 2014, sebanyak 14.000
wanita hamil di Indonesia terinfeksi HIV dengan <10% dari populasi tersebut
sudah mendapat ARV sebagai pencegahan/Prevention Mother to Children
Transmission (PMTCT). Sementara untuk tes viral load di rekomendasikan 6
bulan dan tiap tahun setelah diagnosis. Di Indonesia fasilitas pelayanan
kesehatan pelaporan Voluntary Counseling and Testing(VCT) meningkat 4
kali dari 156 di 27 provinsi pada tahun 2009 menjadi 500 di 33 provinsi pada
tahun 2011. Jumlah Orang dengan HIV AID (ODHA) yang masih menerima
ARV sampai dengan bulan September 2014 adalah 60.263 orang (sebesar
31% kasus HIV yang telah terdiagnosis). Pemakain regimennya adalah
96,68% (58.262 orang) menggunakan lini 1 dan 3,32% (2.001 orang)
menggunakan lini 2.

19
E. Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia
Penanggulangan adalah segala upaya yang meliputi pelayanan
promotif, preventif, diagnosis, kuratif dan rehabilitatif yang ditujukan untuk
menurunkan angka kesakitan, angka kematian, membatasi penularan serta
penyebaran penyakit agar wabah tidak meluas ke daerah lain serta
mengurangi dampak negatif yang ditimbulkannya (Permenkes, 2013). Upaya
yang dilakukan meliputi penanggulangan HIV AIDS secara secara
komprehensif dan berkesinambungan yang terdiri atas promosi kesehatan,
pencegahan, diagnosis, pengobatan dan rehabilitasi terhadap individu,
keluarga, dan masyarakat.Penanggulangan HIV/AIDS diatur dalam undang
undang yang bertujuan untuk (Permenkes, 2013):
1. Menurunkan hingga meniadakan infeksi HIV baru
2. Menurunkan hingga meniadakan kematian yang disebabkan oleh
keadaan yang berkaitan dengan AIDS
3. Meniadakan diskriminasi terhadap ODHA
4. Meningkatkan kualitas hidup ODHA
5. Mengurangi dampak sosial ekonomi dari penyakit HIV dan AIDS pada
individu, keluarga dan masyarakat
Program penanggulangan AIDS di Indonesia mempunyai 4 pilar, yang
semuanya menuju pada paradigm Zero new Infection, Zero AIDS-related
death dan Zero Discrimination.Empat pilar tersebut adalah (Pedoman ARV,
Kemenkes, 2011):
1. Pencegahan (prevention) yang meliputi pencegahan, penularan HIV
melalui transmisi seksual dan alat suntik, pencegahan di lembaga
pemasyarakatan dan rumah tahanan, pencegahan HIV dari ibu ke bayi
(Prevention Mother to Child Transmission, PMTCT), pencegahan
dikalangan pelanggan penjaja seks, dan lain-lain.
2. Perawatan, dukungan dan pengobatan (PDP) yang meliputi penguatan
dan pengembangan layanan kesehatan, pencegahan dan pengobatan
infeksi oportunistik, pengobatan antiretroviral dan dukungan serta
pendidikan dan pelatihan bagi ODHA. Program PDP terutama ditujukan

20
untuk menurunkan angka kesakitan dan rawat inap, angka kematian
yang berhubungan dengan AIDS, dan meningkatkan kualitas hidup
orang yang terinfeksi HIV (berbagai stadium). Pencapaian tujuan
tersebut dapat dilakukan antara lain dengan pemberian terapi
antiretroviral (ARV).
3. Mitigasi dampak berupa dukungan psikososio ekonomi.
4. Penciptaan lingkungan yang kondusif (creating enabling environment)
yang meliputi program peningkatan lingkungan yang kondusif adalah
dengan penguatan kelembagaan dan manajemen, manajemen program
serta penyelarasan kebijakan dan lain-lain.
Upaya penanggulangan HIV/AIDS dituangkan oleh pemerintah dalam
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2013,
tentang Penanggulangan HIV/AIDS, meliputi penanggulangan HIV/AIDS
secara komprehensif dan berkesinambungan yang terdiri dari promosi
kesehatan, pencegahan, diagnosis, pengobatan dan rehabilitasi terhadap
individu, keluarga dan masyarakat. Srategi yang digunakan dalam kegiatan
penanggulangan HIV/AIDS meliputi (Permenkes 21, 2013):
a. Meningkatkan pemberdayaan masyarakat dalam penanggulangan
HIV dan AIDS melalui kerjasama nasional, regional, dan global
dalam aspek legal,organisasi, pembiayaan, fasilitas pelayanan
kesehatan dan sumber daya manusia.
b. Memprioritaskan komitmen nasional dan internasional.
c. Meningkatkan advokasi, sosialisasi, dan mengembangkan kapasitas.
d. Meningkatkan upaya penanggulangan HIV dan AIDS yang merata,
terjangkau, bermutu, dan berkeadilan serta berbasis bukti, dengan
mengutamakan pada upaya preventif dan promotif.
e. Meningkatkan jangkauan pelayanan pada kelompok masyarakat
berisiko tinggi, daerah tertinggal, terpencil, perbatasan dan
kepulauan serta bermasalah kesehatan.
f. Meningkatkan pembiayaan penanggulangan HIV dan AIDS.

21
g. Meningkatkan pengembangan dan pemberdayaan sumber daya
manusia yang merata dan bermutu dalam penanggulangan HIV dan
AIDS.
h. Meningkatkan ketersediaan, dan keterjangkauan pengobatan,
pemeriksaan penunjang HIV dan AIDS serta menjamin keamanan,
kemanfaatan, dan mutu sediaan obat dan bahan/alat yang diperlukan
dalam penanggulangan HIV dan AIDS.
i. Meningkatkan manajemen penanggulangan HIV dan AIDS yang
akuntabel, transparan, berdayaguna dan berhasil guna.

F. Penatalaksanaan Pasien HIV/AIDS


Penanganan pada penderita HIV/AIDS di Indonesia berpedoman pada
tata Laksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral (Kemenkes,
2011), meliputi perawatan (care), dukungan (support), dan pengobatan
(treatment). Pasien sudah ditetapkan positif HIV/AIDS maka langkah
selanjutnya adalah menentukan stadium klinis HIV/AIDS menurut WHO,
skrining TB dan infeksi oportunistik lainnya, pemeriksaan CD4 untuk
menentukan PPK (pengobatan pencegahan kotrimoksasol) dan ARV.
Pemberian PPK jika tidak tersedia pemeriksaan CD4, identifikasi
kepatuhan, positive prevention dan konseling KB. Setelah langkah-langkah
tersebut pasien dibagi menjadi tiga kelompok berdasarkan kesesuaian
pemberian terapi ARV yaitu pasien yang memenuhi syarat ARV, pasien
belum memenuhi syarat ARV dan pasien ada kendala kepatuhan
(Kemenkes, 2011). Pasien yang memenuhi syarat pemberian ARV bila
tersedia pemeriksaan CD4 berdasarkan Kemenkes (2011) adalah sebagai
berikut.
1. Stadium III dan IV WHO, atau jumlah CD4 =350 /mm.
2. Jumlah CD4 > 350 - =500 /mm tanpa memandang stadium WHO.
3. Pasien dengan koinfeksi TBC aktif tanpa memandang jumlah CD4 dan
stadium WHO.

22
4. Pasien dengan koinfeksi HBV dengan dasar penyakit liver kronis tanpa
memandang jumlah CD4 dan stadium WHO.
5. Pada pasangan dengan HIV negatif dan HIV positif untuk mengurangi
transmisi penyakit menjadi pasangan yang tidak infektif.
6. Wanita hamil dan menyusui dengan HIV.

Lini pertama obat ARV yang ditetapkan oleh pemerintah adalah 2


NRTIs (nucleoside reverse transcriptase inhibitors) disertai 1 NNRTIs
(non-nucleosidereverse transcriptase inhibitors), misalnya zidovudin
diberikan bersamalamivudin dan nevirapin.2 NRTIs dan PIs (protease
inhibitor) yang diperkuat ritonavir merupakan lini ke dua, sedangkan lini
ketiga adalah gabungan antara integrase inhibitor, generasi ke dua dari
NNRTIs dan PIs. Pasien HIV/AIDS yang memulai terapi dengan ARV, data
diri lengkap mereka akan dimasukkan ke dalam rekam medis dan register
terapi ARV. Pasien datang ke klinik VCT tiap bulan sekali dengan waktu
yang sudah ditetapkan yang tertera pada rekam medis dan diberikan
persediaan obat ARV untuk persediaan bulan selanjutnya.Hasil tatalaksana
pada pasien HIV/AIDS dapat diklasifikasikan menjadi terapi ARV yang
terkontrol, berhenti terapi, rujuk keluar, meninggal dunia, lost follow up,
dan tidak diketahui (Kemenkes, 2011).

Hasil pemberian terapi ARV secara signifikan memberikan hasil yang


baik bagi pasien HIV/AIDS. Pemberian terapi ARV selama infeksi HIV
akut memberikan efek yang baik pada pasien seperti memperpendek durasi
simptomatik infeksi, mengurangi sel yang terinfeksi, menyediakan
cadangan respon imun yang spesifik dan menurunkan set point virus dalam
jangka waktu yang lama. Beberapa studi mengatakan bahwa terapi pada
infeksi HIV akut dapat menurunkan viral load dan meningkatkan respon
spesifik sel T helper (Kemenkes, 2011).

Pemberian terapi ARV merupakan terapi seumur hidup karena


HIV/AIDS sampai sekarang belum dapat disembuhkan. Tujuan pemberian

23
ARV adalah menjaga viral load dibawah 50 kopi/ml, dikatakan gagal terapi
jika viral load mencapai 1000 kopi/ml. Keberhasilan terapi ARV
memerlukan kepatuhan terapi bagi pasien HIV/AIDS. Kepatuhan pasien
harus selalu dipantau dan dievaluasi secara teratur pada setiap
kunjungan.Kegagalan terapi ARV sering diakibatkan oleh ketidakpatuhan
pasien mengkonsumsi ARV (Kemenkes 2011).

G. Pencegahan penularan HIV-AIDS


Pencegahan penularan HIV telah dijelaskan dalam Permenkes Nomor
21 tahun 2013 tentang penanggulangan HIV-AIDS. Pencegahan penularan
HIV dapat dicapai secara efektif dengan cara menerapkan pola hidup aman
dan tidak berisiko. Pencegahan penulatan HIV dapat dilakukan dengan
upaya:
1. Pencegahan penularan HIV melalui hubungan seksual
Upaya pencegahan penularan HIV melalui hubungan seksual dilakukan
melalui upaya untuk:
a. Tidak melakukan hubungan seksual sebelum menikah (Abstinensia)
b. Setia dengan pasangan (Be Faithful)
c. Menggunakan kondom secara konsisten (Condom use)
d. Menghindari penyalahgunaan obat/zat adiktif (no Drug)
e. Meningkatkan kemampuan pencegahan melalui edukasi termasuk
mengobati IMS sedini mungkin (Education)
f. Melakukan pencegahan lain, antara lain melalui sirkumsisi
2. Pencegahan penularan HIV melalui hubungan non seksual meliputi:
a. Uji saring darah pendonor
b. Pencegahan infeksi HIV pada tindakan medis dan non medis yang
melukai tubuh
c. Pengurangan dampak buruk pada pengguna NAPZA suntik
(penasun) yang dilakukan dengan:
 Program layanan alat suntik steril (LASS) dengan konseling
perubahan perilaku serta dukungan psikososial

24
 Mendorong pengguna NAPZA suntik khususnya pecandu
opiate menjalani prigram terapi rumatan
 Mendorong pengguna NAPZA suntik untuk melakukan
pencegahan penularan seksual
g. Layanan koseling dan tes HIV serta pencegahan/imunisasi hepatitis.
3. Pencegahan penularan HIV dari ibu ke anaknya (PPIA):
a. Pencegahan penularan HIV pada perempuan usia reproduktif
b. Pencegahan kehamilan yang tidak direncanakan pada perempuan
dengan HIV
c. Pencegahan penularan HIV dari ibu hamil dengan HIV ke bayi yang
dikandungnya
d. Pemberian dukungan psikologis, sosial dan perawatan kepada ibu
dengan HIV beserta anak dan keluarga.

H. SUFA (Strategic Use of ARV)


Sewindu terakhir, perkembangan terus dilakukan dalam upaya
pengendalian HIV/AIDS di Indonesia mulai dari pencegahan penularan dari
jarum suntik disebut Harm Reduction pada tahun 2006, pencegahan
Penularan Melalui Transmisi Seksual (PMTS) mulai tahun 2010, penguatan
Pencegahan Penularan dari Ibu ke Anak (PPIA) pda tahun 2011,
pengembangan Layanan Komprehensif Berkesinambungan (LKB) di tingkat
Puskesmas pada tahun 2012, hingga Kemenkes RI meluncurkan inisiatif
penggunaan Antiretroviral (ARV) untuk pengobatan dan pencegahan atau
dikenal dengan Strategic Use of ARV (SUFA) pada pertengahan tahun 2013,
dasar Kemenkes RI dalam mengambil kebijakan ini adalah Treatment is
prevention: HPTN 052 study shows 96% reductionin transmission when HIV-
positive partner starts treatmentearly dan WHO issues new HIV
recommendations calling for earlier ARV initiation. Tujuan dari SUFA
meningkatkan cakupan tes HIV, meningkatkan cakupan ART serta
meningkatkan retensi terhadap ART. SUFA telah dilaksanakan di 13
Kabupaten/Kota. SUFA adalah pemakaian ARV secara langsung begitu

25
diketahui HIV positif tanpa memandang nilai CD4, dikenal dengan Test and
Treat. Tujuan lain dari SUFA adalah mencegah penularan (menurunkan viral
load) yang dikenal dengan Treatment as Prevention (TasP). Implementasi
SUFA menekankan pada TOP, merupakan kepanjangan dari Temukan, Obati,
dan Pertahankan. Temukan yang positif memiliki arti menawarkan tes HIV
kepada semua orang yang memiliki perilaku berisiko, penawaran tes HIV
rutin kepada ibu hamil, pasien TB, Hepatitis, IMS, pasangan ODHA.
Populasi kunci yang status HIV masih negatif, dilakukan tes ulang minimal
setiap 6 bulan selanjutnya adalah obati. Ditemukan, yaitu memberikan
pengobatan bagi mereka yang sudah memenuhi kriteria diantaranya memulai
pengobatan Antiretroviral (ARV) secara dini bila jumlah CD4 350 atau
memulai pengobatan ARV tanpa melihat jumlah CD4-nya pada ODHA
dengan stadium klinis AIDS 3 atau 4, ibu hamil, pasien TB, pasien Hepatitis
dan populasi kunci yang HIV (+). Obat ARV dapat berupa kombinasi
beberapa obat atau obat Kombinasi Dosis Tetap atau Fixed Dose
Combination (KDT/FDC). Pertahankan yang diobati arrtinya, memastikan
pasien patuh minum obat seumur hidup dengan memberikan pendampingan
terutama pada awal pengobatan, serta memberikan dukungan yang tepat dari
keluarga, komunitas, kelompok dukungan sebaya dan layanan kesehatan.

26
BAB III
ANALISIS DATA

A. Profil Kesehatan Kabupaten Sragen


Sragen merupakan salah satu Kabupaten di Jawa tengah yang terletak
di perbatasan dengan Provinsi Jawa Timur. Dengan luas wilayah 941,55 km2,
Kabupaten Sragen terbagi dalam 20 kecamatan, 8 kelurahan, dan 200 desa.
Batas wilayah Kabupaten Sragen adalah:
1. Sebelah timur : Kabupaten Ngawi, Jawa Timur
2. Sebelah barat : Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah
3. Sebelah selatan : Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah
4. Sebelah utara : Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah
Penduduk Kabupaten Sragen tahun 2017 sebanyak 882.090 jiwa dan
diproyeksikan pada tahun 2055 mencapai 1 juta jiwa dengan asumsi laju
pertumbuhan penduduk 0,53 (Badan Pusat Statistik Kabupaten Sragen, 2017).

Gambar 3.1 Peta Administrasi Kabupaten Sragen

Berdasarkan data profil kesehatan Kabupaten Sragen tahun 2017,


sarana kesehatan di Kabupaten Sragen memiliki 2 Rumah Sakit Umum, 1
Rumah Sakit Khusus Ibu Anak, 6 Rumah Sakit Umum Swasta, 21 Puskesmas

27
rawat inap dengan total tempat tidur sebanyak 621, 4 Puskesmas non rawat
inap, 25 Puskesmas keliling, dan 63 Puskesmas pembantu.

Tabel 3.1 Jumlah Penduduk di Wilayah Kabupaten Sragen


Rata-rata Kepadatan
Jumlah Jumlah
No Kecamatan jiwa/ rumah penduduk per
Penduduk rumah tangga
tangga km2
1 Kalijambe 48.320 48,946 3.07 1,042.29
2 Plupuh 47.041 43,048 2.65 890.16
3 Masaran 67.468 73,213 3.36 1,662.42
4 Kedawung 61.597 59,301 2.97 1,191.26
5 Sambirejo 38.198 35,715 3.07 737.46
6 Gondang 44.652 42,092 2.91 1,022.39
7 Sambungmacan 45.060 44,584 3.57 1,158.63
8 Ngrampal 36.992 37,434 2.85 1,088.20
9 Karangmalang 60.521 66,672 3.31 1,551.23
10 Sragen 67.706 68,847 3.61 2,524.64
11 Sidoharjo 52.622 51,414 2.89 1,120.37
12 Tanon 55.930 51,412 2.68 1,008.08
13 Gemolong 50.251 46,655 3.23 1,159.71
14 Miri 33.863 32,486 2.96 603.72
15 Sumberlawang 46.895 44,197 2.94 588.04
16 Mondokan 35.095 33,863 2.84 686.04
17 Sukodono 33.009 29,559 2.68 648.94
18 Gesi 22.228 19,856 1.36 501.67
19 Tangen 27.866 25,985 2.94 471.34
20 Jenar 27.643 26,811 3.04 419.12
JUMLAH 882.090 297.536 3,0 937

(Dinas Kesehatan Kabupaten Sragen, 2017)

Tabel di atas menunjukkan jumlah penduduk terbanyak berada di


Kecamatan Sragen (67.706 jiwa) dan penduduk paling sedikit jumlahnya di

28
Kecamatan Gesi (22.228 jiwa). Namun, berdasarkan kepadatannya
2
Kecamatan Jenar paling lengang (419 jiwa per km ) dan Kecamatan Sragen
paling padat (2.524 jiwa per km2).

B. Data Penderita HIV/AIDS di Kabupaten Sragen


Tabel 3.2 Data Penderita HIV/AIDS Kabupaten Sragen Tahun 2000 s.d 2017

Kasus AIDS meninggal


Tahun Infeksi HIV Kasus AIDS Total
Jumlah %
2000 0 1 1 1 100%
2001 0 2 2 2 100%
2002 0 0 0 0 0%
2003 0 0 0 0 0%
2004 0 0 0 0 0%
2005 2 1 3 2 67%
2006 0 2 2 2 100%
2007 2 3 5 3 60%
2008 1 3 4 3 75%
2009 3 3 6 3 50%
2010 3 13 16 4 25%
2011 2 25 27 12 44.44%
2012 14 18 32 12 37.50%
2013 29 29 58 9 15.52%
2014 40 60 100 11 11%
2015 53 120 173 12 6.94%
2016 99 64 163 11 6.75%
2017 81 106 187 18 9.62%
Jumlah 329 450 779 105 13.48%

(Dinas Kesehatan Kabupaten Sragen, 2017)

Secara umum, kasus infeksi HIV dan AIDS di kabupaten Sragen


meningkat sejak tahun 2000. Dari data tersebut terlihat bahwa kasus
HIV/AIDS di Kabupaten Sragen cenderung meningkat dalam 6 tahun terakhir

29
dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Angka tertinggi untuk kasus
HIV terjadi pada tahun 2016 yaitu sebanyak 99 kasus, disusul pada tahun
2017 sebanyak 81 kasus, dan tahun 2015 sebanyak 53 kasus. Sedangkan 3
kasus tertinggi untuk kasus AIDS didapatkan pada tahun 2015 sebanyak 120
kasus, disusul tahun 2017 sebanyak 106 kasus, dan tahun 2016 sebanyak 64
kasus. Namun, angka kematian pada penderita HIV/AIDS meningkat pada
tahun 2017 sejumlah 18 orang.
Tabel 3.3 Jumlah Penderita HIV/AIDS berdasarkan Jenis Kelamin

Tahun Jenis Kelamin Jumlah


L P
2000 1 0 1
2001 1 1 2
2002 0 0 0
2003 0 0 0
2004 0 0 0
2005 1 3 4
2006 2 0 2
2007 0 4 4
2008 1 3 4
2009 2 4 6
2010 12 4 16
2011 16 11 27
2012 20 12 32
2013 24 34 58
2014 45 55 100
2015 90 83 173
2016 72 91 163
2017 101 86 187
Jumlah 388 391 779
% 49.81 50.19 100

(Dinas Kesehatan Kabupaten Sragen, 2017)

30
Menurut Data DKK Sragen tahun 2017, jumlah penderita HIV/AIDS
terbanyak pada kisaran usia 25-49 tahun. Berdasarkan jenis kelamin pada tahun
2017, jumlah penderita laki – laki (101 kasus) lebih banyak daripada
perempuan (86 kasus). Hal ini berbeda dengan tahun sebelumnya yaitu pada
tahun 2016 dimana jumlah penderita perempuan (91 kasus) lebih banyak
daripada laki-laki (72 kasus). Wanita lebih sering disasar untuk melakukan
skrining HIV/AIDS, misalnya pada ibu hamil trimester satu sehingga lebih
mudah untuk dideteksi.

Tabel 3.4 Jumlah Penderita HIV/AIDS berdasarkan Umur

Kelompok Umur HIV AIDS Jumlah


 4 tahun 3 0 3
5 – 14 tahun 2 0 2
15 – 19 tahun 3 1 4
20 – 24 tahun 8 5 13
25 – 49 tahun 43 73 116
≥ 50 tahun 22 27 49
Jumlah 81 106 187

(Dinas Kesehatan Kabupaten Sragen, 2017)

C. Jumlah Kematian Penyakit HIV/ di Kabupaten Sragen


Berdasarkan pada tabel 3.5 di bawah, diketahui bahwa kasus meninggal
akibat HIV/AIDS tertinggi berada di kisaran angka 9 – 12 orang antara tahun
2011 sampai 2016 tetapi meningkat menjadi 18 orang pada tahun 2017. Kasus
kematian akibat HIV/AIDS dapat disebabkan oleh berbagai faktor, beberapa di
antaranya adalah keterlambatan dalam diagnosis, kurang tepatnya tata laksana,
maupun terjadinya komplikasi pada berbagai sistem organ. Peningkatan jumlah
penderita AIDS yang meninggal meningkat pada tahun 2017. Hal ini
menunjukkan perlunya peningkatan penemuan kasus sebelum pasien berada
dalam stadium lanjut.

31
Tabel 3.5 Jumlah Kasus HIV/AIDS yang Meninggal Dunia

Jumlah Kasus Kasus HIV/AIDS yang


Tahun
HIV/AIDS Meninggal
2000 1 1
2001 2 2
2002 0 0
2003 0 0
2004 0 0
2005 3 2
2006 2 2
2007 5 3
2008 4 3
2009 6 3
2010 16 4
2011 27 12
2012 32 12
2013 58 9
2014 100 11
2015 173 12
2016 163 11
2017 187 18
Total 779 105

(Dinas Kesehatan Kabupaten Sragen, 2017)

32
BAB IV
PEMBAHASAN

A. Analisis Pengendalian Penyakit HIV/AIDS di Kabupaten Sragen


Kasus infeksi HIV dan AIDS di Kabupaten Sragen dari tahun 2000
sampai dengan tahun 2017 cenderung meningkat. Jumlah kasus HIV/AIDS
dari tahun 2000 sampai dengan 2017 berjumlah 779 kasus. Pada tahun 2016
kasus HIV/AIDS terjadi sedikit penurunan tetapi kembali Jmengalami
peningkatan pada tahun 2017. Tahun 2017 merupakan angka tertinggi untuk
kasus HIV/AIDS disusul dengan tahun 2015 dan tahun 2016. Kasus kematian
akibat HIV/AIDS juga cenderung mengalami peningkatan setiap tahunnya.
Kasus kematian akibat HIV/AIDS tertinggi terjadi pada tahun 2017 (18 jiwa),
diikuti dengan tahun 2011, 2012 dan 2015 (12 jiwa). Total kematian yang
disebabkan oleh HIV/AIDS dari tahun 2000 sampa dengan tahun 2017
berjumlah 105 jiwa. Kasus kematian akibat HIV/AIDS disebabkan oleh
berbagai faktor diantaranya adalah keterlambatan dalam diagnosis, kurang
tepatnya tatalaksana, maupun terjadinya komplikasi pada berbagai sistem
organ.
Berdasarkan data dari DKK Sragen pada tahun 2000 sampai dengan 2017
jumlah HIV/AIDS pada perempuan sebanyak 391 jiwa dan laki-laki sebanyak
388 jiwa. Berdasarkan data tersebut kasus HIV/AIDS pada perempuan lebih
tinggi dibandingkan laki- laki. Hal ini berbeda dengan data nasional, pola
penularan HIV berdasarkan jenis kelamin memiliki pola yang hampir sama
dalam 7 tahun terakhir yaitu lebih banyak terjadi pada kelompok laki-laki
dibandingkan kelompok perempuan dengan perbandingan kasus 59% : 41%.
Pada Kabupaten Sragen jumlah HIV/AIDS perempuan lebih banyak dibanding
laki-laki kemungkinan karena terdapat beberapa program yang mewajibkan
perempuan mengikuti tes HIV/AIDS sehingga perempuan dapat terdiagnosis
lebih banyak dibandingkan laki-laki. HIV/AIDS pada perempuan akan
menimbulkan dampak yang sangat besar baik dari segi fisik, psikologis, sosial

33
maupun spiritual. Kondisi tersebut akan semakin berat apabila perempuan
tersebut dalam kondisi hamil, melahirkan, dan mempunyai bayi.
Proporsi HIV/AIDS berdasarkan umur di Kabupaten Sragen, terbanyak
dilaporkan pada umur 25-49 tahun kemudian disusul oleh kelompok dengan
umur ≥ 50 tahun. Sebagian besar kasus HIV/AIDS terjadi pada kelompok usia
produktif. Berdasarkan data nasional, pola penularan HIV berdasarkan
kelompok umur dalam 5 tahun terakhir tidak banyak berubah. Infeksi HIV
paling banyak terjadi pada kelompok usia produktif 25-49 tahun yaitu
sebanyak 16.421 kasus, diikuti kelompok usia 20-24 tahun dengan 3.587 kasus.
Kejadian kasus AIDS di Indonesia berdasarkan kelompok umur memiliki pola
yang jelas. Kasus AIDS yang dilaporkan sejak tahun 1987 sampai September
2014 terbanyak pada kelompok usia 20-29 tahun (32,9%), diikuti kelompok
usia 30- 39 tahun (28,5%) dan 40-49 tahun (10,7%) (Kemenkes RI, 2014).
Usia produktif dan seksual aktif memungkinkan seseorang dapat menularkan
HIV/AIDS secara lebih mudah melalui hubungan seksual.

B. Permasalahan Pengendalian Penyakit HIV/AIDS di Kabupaten Sragen


HIV/AIDS di Sragen masih dianggap sebagai sesuatu yang tabu. Oleh
karena itu, masyarakat terutama yang berisiko tinggi masih memiliki kesadaran
yang rendah untuk memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan. Mereka merasa
takut apabila didiagnosis terkena HIV/AIDS karena beban moral dan sosial
yang harus ditanggung sangat berat.
Komisi Penanggulangan AIDS Sragen berupaya meningkatkan angka
penemuan penderita HIV/AIDS dengan cara mengajak LSM peduli AIDS
untuk melakukan pendampingan dan penjaringan pada warga masyarakat
perumahan dan kelompok risiko tinggi. Program yang selama ini berjalan
masih kurang efektif karena tidak tersedianya dana untuk transportasi dan
operasional anggota LSM karena status kepegawaian LSM yang bukan
pegawai negeri, sehingga tidak dapat mengalokasikan dana dari APBD.
Selama itu, penemuan kasus HIV terbanyak dari skrining pemeriksaan
ibu hamil yang berarti suami dari ibu hamil yang terdeteksi HIV memiliki

34
risiko tinggi untuk terkena HIV, tetapi selama ini suami dari bumil yang
terdeteksi positif HIV sulit untuk diajak melakukan pemeriksaan karena takut
mengetahui dirinya terkena HIV.

C. Upaya Peningkatan Pengendalian Penyakit HIV/AIDS di Kabupaten


Sragen
Kabupaten Sragen memiliki berbagai program sebagai upaya untuk
meningkatkan pengendalian penyakit HIV/AIDS. Permasalahan utama dalam
pengendalian penyakit HIV/AIDS di Kabupaten Sragen bertitik berat pada
sumber dana dan partisipasi masyarakat yang kurang terutama masyarakat
berisiko tinggi yang memerlukan perhatian lebih. Terlepas dari permasalahan
tersebut, DKK Sragen memiliki sumber daya yang mumpuni sebagai kekuatan
mengendalikan peningkatan angka HIV/AIDS yang tercermin dari beberapa
program untuk meningkatkan pengendalian penyakit HIV/AIDS di Kabupaten
Sragen.
Pencegahan Penularan Ibu ke Anak (PPIA) merupakan salah satu
program penanggulangan HIV/AIDS yang telah dilaksanakan DKK Sragen.
Penularan HIV dari Ibu ke Anak dapat terjadi pada masa kehamilan, saat
persalinan dan saat menyusui, intervensinya dilakukan melalui 4 (empat)
kegiatan, yaitu:
a. pencegahan penularan HIV pada perempuan usia produktif;
b. pencegahan kehamilan yang tidak direncanakan pada ibu HIV positif;
c. pencegahan penularan HIV dari ibu hamil HIV positif ke bayi yang
dikandung;
d. pemberian dukungan psikologis, sosial dan perawatan kepada ibu HIV
positif beserta anak dan keluarganya.
Sebagai salah satu faktor risiko penularan, PPIA telah rutin dilakukan
berupa penyuluhan dan deteksi dini HIV/AIDS di kelas ibu hamil. PPIA dapat
dilakukan bersamaan dengan kunjungan ibu hamil untuk Ante Natal Care
(ANC) dan penyuluhan calon pengantin yang banyak dilakukan di desa-desa

35
di Kabupaten Sragen. Hal ini akan lebih mengefisienkan waktu dan dana yang
diperlukan.
Partisipasi masyarakat merupakan aspek penting dalam penanggulangan
HIV/AIDS. Oleh karena itu, pemerintah perlu melakukan tindakan guna
meningkatkan, memperbaiki dan partisipasi kesadaran masyarakat. Tindakan
yang dapat dilakukan berupa penyebaran informasi, membuat program yang
berhubungan dengan penanggulangan HIV/AIDS, peningkatan kapasitas bagi
lembaga-lembaga swadaya masyarakat untuk memberikan informasi yang tepat
tentang HIV/AIDS pada warga. Kegiatan seperti ini perlu dilakukan guna
mencegah infeksi baru pada masyarakat luas serta menurunkan stigma dan
diskriminasi pada ODHA.
Dinas Kesehatan Kabupaten Sragen memanfaatkan peran Kelompok
Dukungan Sebaya (KDS) dalam menanggulangi HIV/AIDS. DKK Sragen akan
memfasilitasi pertemuan rutin antara KDS dengan ODHA setiap bulannya
yang bertujuan sebagai wadah untuk saling membantu dan bertukar pikiran.
Layanan kesehatan berbasis masyarakat lebih spesifik pada kegiatan kelompok
dukungan sebaya atau pendamping ODHA terbukti efektif untuk memperbaiki
kualitas bagi ODHA. Terlepas dari berbagai persoalan dalam memaknai
pendampingan terhadap ODHA yang terkadang justru menjadikan
ketergantungan bagi ODHA dalam mengakses layanan kesehatan, untuk
melakukan perubahan sosial dibutuhkan keterlibatan aktif penggerak
masyarakat yang dapat memobilisasi masyarakat dan komunitas. Peran
penggerak masyarakat adalah:
a. menjembatani kebutuhan masyarakat dengan fasillitas layanan kesehatan,
b. melakukan penguatan (pengetahuan, kapasitas) bagi kader-kader untuk
memberdayakan masyarakat di lingkungan sekitarnya (terutama kelompok
yang termarjinalkan),
c. melakukan pengorganisasian kader masyarakat untuk memperjuangkan
kepentingan masyarakat setempat.
Pelatihan para pendamping ODHA juga merupakan salah satu upaya
DKK Sragen untuk meningkatkan upaya pengendalian HIV/AIDS. Para

36
pendamping orang dengan HIV/AIDS (ODHA) diharapkan tak hanya
mempunyai pengetahuan tapi juga keterampilan dalam urusan mendampingi.
Peranan pendamping sangat penting terutama untuk mengingatkan para ODHA
agar tidak lupa minum obat dan mengajarkan bagaimana cara hidup sehat
terutama dalam berhubungan seks.
Kegiatan pelatihan ini bertujuan meningkatkan kapasitas pendamping
sebaya dalam mendampingi orang terinfeksi HIV. Mereka juga diharapkan
meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan sebagai pendamping
sebaya dalam mendorong agar orang terinfeksi tidak putus obat. Pelatihan yang
dilakukan dapat bekerja sama dengan institusi ataupun universitas yang dapat
menyediakan jasa petugas pelayanan kesehatan sehingga mendapatkan sumber
daya manusia yang mencukupi.
Pelatihan yang dilakukan juga mencakup pelatihan tentang pemulasaraan
jenazah dengan HIV/AIDS. Kasus penolakan terhadap jenazah orang dengan
HIV/AIDS (ODHA) masih sering terjadi di masyarakat. Minimnya
pengetahuan masyarakat tentang HIV/AIDS membuat mereka tidak berani
melakukan proses pemulasaran jenazah ODHA karena khawatir tertular
penyakit tersebut. Oleh karena itu, DKK Sragen memiliki program untuk
melakukan pelatihan ke petugas puskesmas, petugas rumah sakit, KDS maupun
kader kesehatan di setiap desa di Kabupaten Sragen untuk melakukan
pemulasaraan jenazah yang mengidap HIV/AIDS. Terdapat penekanan
terhadap pentingnya alat pelindung diri (APD) dalam pemulasaraan jenazah
ODHA. APD yang harus digunakan meliputi sarung tangan (handscoen),
celemek plastik (aprone), penutup kepala (hairnet), penutup hidung (masker),
kacamata dan sepatu boot. Selain pemenuhan APD bagi pemulasaraan jenazah,
prinsip pemulasaran jenazah ODHA yang perlu diperhatikan adalah
pengelolaan air limbah saat memandikan jenazah yang harus dilokalisir
sedemikian rupa. Perawatan jenazah penderita penyakit menular dilaksanakan
dengan selalu menerapkan kewaspadaan universal tanpa mengakibatkan tradisi
budaya dan agama yang dianut keluarganya. Setiap petugas kesehatan terutama
perawat harus dapat menasehati keluarga jenazah dan mengambil tindakan

37
yang sesuai agar penanganan jenazah tidak menambah risiko penularan
penyakit seperti halnya hepatitis-B, AIDS, kolera dan sebagainya. Tradisi yang
berkaitan dengan perlakuan terhadap jenazah tersebut dapat diizinkan dengan
memperhatikan hal yang telah disebut di atas, seperti misalnya mencium
jenazah sebagai bagian dari upacara penguburan.
Pentingnya APD dalam penanggulangan HIV/AIDS juga mendapatkan
perhatian khusus dari DKK Sragen dimana terdapat penyediaan APD minimal
satu buah di setiap kecamatan. APD mencakup berbagai peralatan dan pakaian
seperti kaca mata, baju pelindung, sarung tangan, rompi, tutup telinga dan
respirator.
Tingginya angka HIV/AIDS di Kabupaten Sragen mendorong
diadakannya kerja sama lintas sektoral. DKK Sragen telah melakukan kerja
sama dengan Dinas Pendidikan Kabupaten Sragen untuk memasukkan
pendidikan seks ke kurikulum Sekolah Menengah Atas dimana salah satu
implementasi nyatanya berupa penyuluhan pendidikan seks saat Masa
Orientasi Siswa (MOS). Kerja sama lainnya yang telah dilakukan adalah
kerjasama antara DKK Sragen dengan Komisi Penanggulangan AIDS yang
diimplementasikan dalam berbagai kegiatan yang ditujukan untuk
perkembangan ODHA ke arah yang lebih baik. Salah satu contoh nyata dari
kerja sama ini adalah pertemuan rutin ODHA dan KDS seperti yang telah
dijelaskan di paragraf sebelumnya. Kerja sama lintas sektoral berguna untuk
memberi informasi tentang epidemi HIV/AIDS, menumbuhkan kepedulian
lintas sektor terhadap upaya penanggulangan HIV/AIDS, dan meningkatkan
kerja sama lintas sektor dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS. Tanpa kerja
sama lintas sektor, upaya penanggulangan HIV/AIDS tidak akan berhasil.
DKK Sragen juga telah memberikan ARV secara gratis kepada penderita
HIV dengan indikasi tertentu. ARV (Antiretroviral) adalah pengobatan
antivirus yang diberikan pada orang dengan HIV positif. Obat-obatan ini bukan
untuk menyembuhkan HIV tapi berfungsi untuk menekan aktivitas virus
seminimal mungkin. Hingga saat ini belum ada obat yang bisa menyembuhkan
HIV. Namun diharapkan dengan pengobatan ARV, ODHA akan bisa hidup

38
normal seperti orang lain dan memperpanjang usia harapan hidup. Lini pertama
obat ARV yang ditetapkan oleh pemerintah adalah 2 NRTIs (nucleoside
reverse transcriptase inhibitors) disertai 1 NNRTIs (non-nucleosidereverse
transcriptase inhibitors), misalnya zidovudin diberikan bersama lamivudin dan
nevirapin. 2 NRTIs dan PIs (protease inhibitor) yang diperkuat ritonavir
merupakan lini ke dua, sedangkan lini ketiga adalah gabungan antara integrase
inhibitor, generasi ke dua dari NNRTIs dan PIs. Pasien HIV/AIDS yang
memulai terapi dengan ARV, data diri lengkap mereka akan dimasukkan ke
dalam rekam medis dan register terapi ARV.
Pemulangan penderita HIV/AIDS ke daerah asal sesuai dengan KTP juga
merupakan salah satu sarana penanggulangan HIV AIDS yang dilakukan oleh
DKK Sragen. Hal ini merupakan salah satu alternatif pilihan ketika individu
yang bersangkutan tidak dapat ditanggulangi dengan cara yang sudah
disebutkan di atas dengan harapan individu yang bersangkutan mendapatkan
penanggulangan yang layak dan sesuai di daerah asalnya.

39
BAB V

PENUTUP

A. Simpulan
HIV/AIDS merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi
Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang menyerang sistem kekebalan
tubuh. Infeksi tersebut menyebabkan penderita mengalami penurunan
ketahanan tubuh sehingga sangat mudah terinfeksi berbagai macam penyakit
lain. Kasus HIV/AIDS di Kabupaten Sragen cenderung meningkat dalam 6
tahun terakhir dengan angka tertinggi untuk kasus HIV/AIDS terjadi pada
tahun 2017 yaitu sebanyak 187 kasus. Selain itu, jumlah kematian akibat
HIV/AIDS semakin meningkat, dimana angka kematian tertinggi terdapat
pada tahun 2017 yaitu sebanyak 18 jiwa.
Tingginya angka kasus HIV/AIDS di Kabupaten Sragen disebabkan
oleh berbagai macam faktor yang tersebar di bidang politik, ekonomi, dan
sosial budaya masyarakat setempat. Pendidikan mengenai kesehatan seksual
masih dianggap sebagai sesuatu yang tabu, sehingga akses terbatas terhadap
informasi dan pelayanan kesehatan seksual dan reproduksi masih kurang.
Selain itu, ketakutan, stigma dan diskriminasi terhadap ODHA (orang yang
hidup dengan HIV/AIDS) masih menjadi hambatan utama.
Pencegahan penularan HIV telah dijelaskan dalam Permenkes Nomor
21 tahun 2013 tentang penangguangan HIV/AIDS. Pencegahan penularan
HIV dapat dicapai secara efektif dengan cara menerapkan pola hidup aman
dan tidak berisiko. Pencegahan penularan HIV dibagi menjadi pencegahan
penularan HIV melalui hubungan seksual, hubungan non seksual, serta dari
ibu ke anaknya (PPIA). Selain itu juga dengan program penggunaan
Antiretroviral (ARV) untuk pengobatan dan pencegahan atau dikenal dengan
Strategic Use of ARV (SUFA). Penanganan pada penderita HIV/AIDS di
Indonesia berpedoman pada tata Laksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi
Antiretroviral (Kemenkes, 2011), meliputi perawatan (care), dukungan
(support), dan pengobatan (treatment).

40
B. Saran
1. Mengadakan kerja sama melalui pengajuan CSR (Corporate Social
Responsibility) kepada perusahaan-perusahaan untuk pendanaan program
penanggulangan HIV dan AIDS di Kabupaten Sragen.
2. Memberikan dukungan psikososial terhadap ODHA dengan menbentuk
"Rumah Bersama" yang di dalamnya berisi pembelajaran/edukasi
sekaligus praktik untuk para ODHA terkait menjaga diri agar
meminimalisir kemungkinan terjangkitnya infeksi oportunistik,
meningkatkan motivasi minum obat karena disediakan satu waktu yang
bersama-sama minum obat, memberdayakan ODHA melalui penggalian
minat, bakat dan keterampilan sehingga masyarakat tidak memandang para
ODHA sebagai beban.
3. Mengubah stigma masyarakat, bahwa ODHA adalah orang-orang yang
telah melanggar norma sehingga tidak perlu diperhatikan, yaitu melalui
penyebarluasan informasi mengenai bagaimana cara penularan HIV.
Dengan ini, diharapkan masyarakat dapat mengubah pandangan mereka
dan lebih peduli terhadap penderita HIV/AIDS.
4. Membentuk klinik Rumatan Metadon untuk menjaring kasus dari pemakai
jarum suntik dan menekan risiko terjadinya HIV/AIDS akibat pemakaian
jarum suntik bersama karena narkoba.
5. Membentuk klinik IMS untuk menjaring kasus penyakit menular seksual.

41
DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kesehatan RI (2009). Pedoman Penatalaksanaan Infeksi Menular


Seksual. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan.
Ditjen PP dan PL Kemenkes RI (2012). Laporan Situasi Perkembangan HIV dan
AIDS di Indonesia sampai dengan Maret 2012.
http://www.pppl.depkes.go.id/_asset/_download/SITUASI_AIDS_TERKIN
I.pdf Diakses tanggal 10 November 2018

Djoerban Z, Djauzi S (2006). HIV/AIDS di Indonesia dalam A.W. Sudoto, B.


Setiyohadi, I. Alwi, M. Simadibrata K, S. Setiati: Buku ajar ilmu penyakit
dalam Jilid III. Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UI. p. 1803-1808.

Hidayat A, Azis A, (2008). Pengantar Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta:


Salemba Medika.

Hugo, G. (2001). Mobilitas penduduk dan HIV/AIDS di Indonesia. Bangkok:


UNDP South East Asia HIV and Development Project.

Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1507/MENKES/SK/X/2005. Tentang


Pedoman Pelayanan Konseling Dan Testing HIV/AIDS Secara Sukarela
(Voluntary Counselling and Testing).

Keputusan Menteri Kesehatan RI 241/MENKES/ SK/ IV/2006.Tentang Standar


Pelayanan Laboratorium Kesehatan Pemeriksa HIV dan Infeksi
Oportunistik.

Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1278/MENKES/SKM/XII/2009 Tentang


Pedoman Pelaksanaan Kolaborasi Pengendalian Penyakit TB dan HIV.

42
Keputusan Menteri Kesehatan RI, 2011. Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan
Terapi Antiretroviral pada orang Dewasa. Jakarta: Ditjen PP PL.

Kementerian Kesehatan RI (2013). Pedoman Nasional Monitoring dan Evaluasi


Program Pengendalian HIV dan AIDS serta IMS. Jakarta: Ditjen PP&PL,
Kementerian Kesehatan RI.

Kementerian Kesehatan RI (2014). Pusat Data dan Informasi Kementrian


Kesehatan RI, Infodatin: Situasi dan Analisis HIV AIDS. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI.

Kementerian Kesehatan RI (2014). Sufa, Inovasi Baru dalam Upaya Pengendalian


HIV/AIDS di Indonesia. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
www.depkes.go.id/article/view/201408140001 Diakses tanggal 10
November 2018.

Nasronudin (2007). Pengembangan pengetahuan penyakit infeksi HIV dan AIDS


dalam HIV dan AIDS Pendekatan Biologi Molekuler, Klinis, dan Sosial.
Surabaya: Airlangga University Press, p. 279-303.

Sugiana, I.M. (2015). Analisis Kesiapan Layanan Puskesmas Sebagai Satelit


Antiretroviral Therapy bagi Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di
Kabupaten Badung. Denpasar: Universitas Udayana. Tesis

Syamsul, R. (2015). Peran Dinas Kesehatan dalam Penanggulangan HIV/ AIDS


di Kabupaten Penajam Paser Utara. Jurnal Ilmu Pemerintahan, 3(2), 2015:
812- 822.

Theodore M. Hammett (2005). HIV/AIDS and Other Infectious Diseases among


Correctional Inmates: Transmission, Burden, and an Appropriate Response.
American Journal of Public Health, 96(6): 974-978.

Yunihastuti E, Djauzi S, Djoerban Z (2005). Infeksi Oportunistik AIDS. Jakarta:


Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

43

Anda mungkin juga menyukai