PENDAHULUAN
1
Epidemi AIDS di Indonesia sudah berlangsung hampir 20 tahun tetapi
diperkirakan masih akan berlangsung terus dan memberikan dampak yang
tidak mudah untuk diatasi (Nurbani, 2008). Hasil Profil Kesehatan Indonesia
Tahun 2014 menyatakan peningkatan data jumlah kasus HIV positif dari
tahun 2005 sampai tahun 2014. Tahun 2005, jumlah kasus baru HIV postif
adalah 859 kasus dan jumlah kasus baru HIV positif pada tahun 2012, 2013
dan 2014 berturut-turut adalah 21.511, 29.039 dan 32.711 kasus. Pada tahun
2015 penemuan kasus baru HIV menurun menjadi 30.935. Pada tahun 2014
dan 2015 terjadi penurunan kasus AIDS menjadi sebesar 7.875 kasus pada
tahun 2014 dan 6.081 kasus pada tahun 2015. Diperkirakan hal tersebut
terjadi karena jumlah pelaporan kasus AIDS dari daerah masih rendah. Secara
kumulatif, kasus AIDS sampai dengan tahun 2015 sebesar 77.112 kasus
(Profil Kesehatan Indonesia, 2015).
Jawa Tengah merupakan provinsi penyumbang terbanyak kasus AIDS
kelima setelah Jawa Timur, Papua, DKI Jakarta, dan Bali sampai dengan
bulan Desember tahun 2016. Kasus AIDS di Jawa Tengah sebanyak 6.444
kasus, sedangkan kasus HIV mencapai 16.867 kasus (Kemenkes, 2016).
Jumlah kematian AIDS tahun 2015 sebanyak 172 kasus, lebih banyak
dibandingkan kematian tahun 2014 sebanyak 163 kasus, dengan kasus
kematian AIDS tertinggi pada umur 25-49 tahun (Dinkes Jateng, 2015).
Sragen merupakan salah satu kabupaten di Jawa tengah yang menyumbang
angka kesakitan HIV yaitu sebanyak 20 orang pada tahun 2016.
Sesuai dengan komitmen global, Indonesia menetapkan target pada
tahun 2030 penyakit HIV/AIDS sudah tidak lagi menjadi masalah kesehatan
di tanah air. Target Kemenkes dalam Sustainable Development Goals (SDGs)
dalam hal pengendalian HIV AIDS adalah pada tahun 2019 persentase angka
kasus HIV yang diobati sebesar 55%. Pada tahun 2013 sebanyak pasien
39.418 pasien AIDS dan berhasil menurunkan kematian sampai 1,6 %
sedangkan pada tahun 2014 yang menerima ARV sebanyak 43.104 orang dan
berhasil menurunkan angka kematian sampai 0,04%.
2
Pengendalian penyakit menular di masyarakat melibatkan semua aspek
yang meliputi promotif, preventif, kuratif serta rehabilitatif harus
mendapatkan perhatian secara proporsional dan digunakan secara terpadu di
dalam sistem pengendaliannya. Pengendalian HIV/AIDS merupakan salah
satu bagian dari program pengendalian dan pemberantasan penyakit menular
yang ada di Puskesmas. Program ini bertujuan untuk menurunkan jumlah
kasus baru HIV/AIDS, angka kematian akibat penyakit HIV/AIDS serta
menurunkan stigma dan diskriminasi pada penderita HIV/AIDS sehingga
dapat meningkatkan kualitas hidup orang dengan HIV/AIDS. Strategi dan
kegiatan pengendalian HIV/AIDS di Kabupaten Sragen masih belum
menunjukkan hasil yang maksimal hal ini kemungkinan disebabkan oleh
keterlambatan dalam diagnosis, kurang tepatnya tatalaksana, maupun
terjadinya komplikasi pada berbagai sistem organ sehingga diperlukan suatu
inovasi dalam strategi dan kegiatan pengendalian HIV/AIDS.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana analisis pengendalian penyakit HIV/AIDS di Kabupaten
Sragen?
2. Bagaimana permasalahan pengendalian penyakit HIV/AIDS di Kabupaten
Sragen?
3. Bagaimana upaya peningkatan pengandalian penyakit HIV/AIDS yang
dapat dilakukan di Kabupaten Sragen?
C. Tujuan
1. Untuk menganalisis pengendalian penyakit HIV/AIDS di Kabupaten
Sragen.
2. Untuk mengetahui permasalahan pengendalian penyakit HIV/AIDS di
Kabupaten Sragen.
3. Untuk mengetahui upaya peningkatan pengendalian penyakit HIV/AIDS
yang dapat dilakukan di Kabupaten Sragen.
3
D. Manfaat
1. Dapat menganalisis pengendalian penyakit HIV/AIDS di Kabupaten
Sragen.
2. Dapat mengetahui permasalahan pengendalian penyakit HIV/AIDS di
Kabupaten Sragen
3. Dapat mengetahui upaya peningkatan pengendalian penyakit HIV/AIDS
yang dapat dilakukan di Kabupaten Sragen.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi HIV/AIDS
AIDS merupakan singkatan dari Acquired Immune Deficiency
Syndrome, yaitu sekumpulan gejala yang disebabkan oleh infeksi virus
Human Immunodeviciency Virus (HIV) (Djoerban & Djazuli, 2006). Infeksi
tersebut menyebabkan penderita mengalami penurunan ketahanan tubuh
sehingga mudah untuk terinfeksi berbagai penyakit. Tubuh penderita yang
terinfeksi HIV menjadi lebih peka terhadap infeksi kuman yang dalam
keadaan normal sebenarnya tidak berbahaya. Infeksi kuman bentuk ini
disebut infeksi oportunistik. Infeksi oportunistik adalah infeksi yang timbul
karena mikroba yang berasal dari luar tubuh maupun dalm tubuh manusia,
namun dalam keadaan normal terkendali oleh kekebalan tubuh (Yunihastuti,
2005).
HIV adalah virus penyebab AIDS yang menyerang sel darah putih
manusia yang merupakan bagian terpenting dari sistem kekebalan tubuh
manusia. AIDS ditandai dengan menurunnya sistem kekebalan tubuh
khususnya menyerang limfosit T CD4 Limfosit T helper. Saat jumlah T
helper turun hingga dibawah 200 sel/mm3 darah atau mulai muncul infeksi
penyerta. AIDS yaitu suatu sindroma atau kumpulan tanda/gejala penyakit
yang terjadi akibat tertular/terinfeksi virus HIV yang merusak sistem
kekebalan tubuh, bukan karena diturunkan atau dibawa sejak lahir. AIDS
adalah tahap akhir dari infeksi virus HIV ketika sistem kekebalan tubuh telah
sangat rusak, sehingga tidak dapat melawan infeksi ringan sekalipun dan pada
akhirnya menyebabkan kematian.
5
B. Diagnosis dan Penularan HIV/AIDS
Untuk mendiagnosis seseorang dengan HIV perlu dilakukan tes,
sebelum dan sesudah tes diagnosis HIV akan dilaksankan konseling.
Pelaksanaan konseling HIV telah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehtan
RI (Permenkes) Nomor 74 Tahun 2014 mengenai Pedoman Pelaksanaan
Konseling dan tes HIV. Permenkes tersebut menyebutkan bahwa terdapat
dua macam pendekatan yang dilakukan untuk konseling dan tes HIV yaitu:
1. Konseling dan tes HIV atas inisiatif pemberi pelayanan kesehatan
(KTIP), merupakan tes HIV dan konseling yang dilakukan kepada
seseorang untuk kepentingan kesehatan dan pengobatan berdasarkan
inisiatif dari pemberi pelayanan kesehatan;
2. Konseling dan tes HIV Sukarela (KTS)/Voluntarry Counceling Test
(VCT), merupakan proses konseling sukarela dan tes HIV atas inisiatif
individu yang bersangkutan.
Pelayanan konseling dan tes HIV harus dapat dilaksanakan di
setiap fasilitas pelayanan kesehatan. Pelaksanannya, tes HIV harus
mengikuti prinsip yang telah disepakati secara global yaitu 5 komponen
dasar yang disebut 5C (inform consent, confidentiality, counseling,
correct test result dan connections to, care, treatment and prevention
services) (Kemenkes RI, 2014):
a. Informed Consent adalah persetujuan akan suatu tindakan
pemeriksaan laboratorium HIV yang diberikan oleh pasien/klien
atau wali/pengempu setelah mendapatkan dan memahami
penjelasan yang diberikan secara lengkap oleh petugas kesehatan
tentangtindakan medis yang akan dilakukan terhadap pasien/klien
tersebut.
b. Confidentiality adalah semua isi informasi atau konseling antara
klien dan petugas pemeriksa atau konselor dan hasil tes
laboratorium tidak akan diungkapkan kepada pihak lain tanpa
persetujuan pasien/klien tersebut.
6
c. Counseling, yaitu proses dialog antara konselor dengan klien
bertujuan untuk memberikan informasi yang jelas dan dapat
dimengerti klien/pasien. Konselor memberikan informasi, waktu,
perhatian dan keahliannya, untuk membantu klien mempelajari
keadaan dirinya, mengenali dan melakukan pemecahan masalah
terhadap keterbatasan yang diberikan lingkungan. Layanan
konseling HIV harus dilengkapi dengan informasi HIV-AIDS,
konseling pra-konseling dan tes pasca tes yang berkualitas baik.
d. Correct test result, hasil tes harus akurat. Layanan tes HIV harus
mengikuti standar pemeriksaan HIV nasional yang berlaku. Hasil
tes harus dikomunikasikan sesegera mungkin kepada pasien/klien
secara pribadi oleh tenaga kesehatan yang memeriksa.
e. Connections to, care, treatment and prevention services,
pasien/klien harus dihubungkan atau dirujuk ke layanan
pencegahan, perawatan, dukungan dan pengobatan HIV yang
didukung dengan sistem rujukan yang baik dan terpantau.
7
pelaksaan tes HIV, biaya dan ketersediaan perangkat tes, reagen dan
peralatan, pengambilan sampel, transportasi, SDM serta kesediaan pasien
untuk kembali mengambil hasil.
Infeksi HIV/AIDS merupakan penyakit infeksi yang menular melalui
cairan tubuh yang mengandung virus HIV, yaitu air mani (semen), cairan
vagina/serviks, dan darah. Tindakan penularannya dapat melalui hubungan
seksual, baik homoseksual maupun heteroseksual, jarum suntik pada
pengguna narkotika, transfusi komponen darah, dan dari ibu yang terinfeksi
HIV ke bayi yang dilahirkannya (transmisi maternal-fetal). Secara global,
ditemukan bahwa proses penularan melalui hubungan seksual menempati
urutan pertama, yaitu 70-80%, disusul pada penggunaan obat suntik dengan
jarum suntik bersamaan 5-10%. Infeksi perinatal juga memiliki presentase
tinggi yaitu 5-10% dan penularan melalui transfusi darah 3-5%. Besarnya
risiko ditentukan dari paparan dan derajat viremia dari sumber infeksi.
Penularan melalui ASI dari ibu yang terinfeksi ke bayinya juga dapat
terjadi, namun dengan risiko yang lebih kecil karena jumlah virus yang
sangat sedikit dalam ASI. Ada beberapa faktor yang dapat meningkatkan
risiko penularan melalui ASI, yaitu: level virus yang bermakna dalam ASI,
adanya mastitis, kadar limfosit T CD4 ibu yang rendah, dan defisiensi
vitamin A pada ibu. Di negara berkembang, pemberian ASI dari ibu yang
terifeksi masih menjadi pro dan kontra karena walaupun menjadi jalur
penularan, ASI merupakan sumber nutrisi utama pada bayi di usia awal
kehidupan dan memberi faktor-faktor antibodi yang penting.
Menurut Kemenkes RI dalam Laporan Triwulan HIV/AIDS (2014),
faktor risiko penularan infeksi HIV yang tercatat selama tahun 1987-2013 di
Indonesia adalah antara lain melalui hubungan heteroseksual sebanyak
62,5%, penasun atau pengguna obat-obatan terlarang dengan jarum suntik
sebanyak 16,1%, penularan melalui perinatal sebanyak 2,7%, dan penularan
pada homoseksual sebanyak 2,4%. Data epidemiologi menunjukan bahwa
Papua merupakan daerah di Indonesia dengan angka kejadian AIDS paling
8
tinggi, diikuti Jawa Timur, DKI Jakarta, Jawa Barat, Bali, Jawa Tengah,
Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat, Sumatera Utara, dan Banten.
Kecenderungan penularan infeksi HIV di seluruh Indonesia hampir
sama, kecuali untuk Papua dimana mayoritas diakibatkan karena hubungan
seksual berisiko tanpa kondom yang dilakukan kepada pasangan tetap
maupun tidak tetap. Selain itu, terbatasnya penggunaan obat antiretroviral
baik untuk pengobatan maupun pencegahan transmisi dari ibu ke janin
menambah situasi penyebaran infeksi HIV sehingga memperburuk situasi
epidemi HIV di Indonesia.
9
AIDS pada umunya ada tiga hal antara lain tumor, infeksi oportunistik dan
manifestasi neurologi. Perjalanan infeksi HIV dapat dijelaskan dalam tiga
fase, yaitu (Nasronudin, 2007):
1. Fase Infeksi Akut (Sindroma Retroviral Akut)
Fase ini ditandai oleh proses replikasi yang menghasilkan virus-
virus baru (virion) dalam jumlah yang besar. Replikasi virus dalam
jumlah yang besar akan memicu timbulnya sindroma infeksi
mononucleosis akut yakni antara lain: demam, limfadenopati, bercak pada
kulit, faringitis, malaise, dan mual muntah yang timbul sekitar 3-6
minggu setelah infeksi. Fase ini selanjutnya akan terjadi penurunan
jumlah sel limfosit T-CD4 dan kemudian terjadi respon imun yang
mengakibatkan kenaikan jumlah limfosit T. Jumlah limfosit T pada fase
3
ini masih diatss 500 sel/mm dan kemudian akan mengalami penurunan
10
yang lebih cepat dan mengalami perkembangan menjadi penyakit AIDS
dalam kurun waktu kurang dari 10 tahun. Fase ini pasien umunya belum
menunjukkan gejala klinis atau asimtomatis dan fase laten berlangusng
sekitar 8-10 tahun (dapat 3-13 tahun) setelah infeksi HIV.
11
risiko HIV tertinggi adalah hubungan seks berisiko pada heteroseksual
sebesar 57%, LSL (Lelaki Seks Lelaki) sebesar 15%, dan penggunaan jarum
suntik tidak steril pada penasun (pengguna narkoba suntik) sebesar 4%.
Berbagai upaya penanggulangan sudah dilakukan oleh Pemerintah bekerja
sama dengan berbagai lembaga di dalam negeri dan luar negeri. Sebelum
memasuki fase AIDS, penderita terlebih dulu dinyatakan sebagai HIV positif.
Jumlah HIV positif yang ada di masyarakat dapat diketahui melalui 3
metode, yaitu pada layanan Voluntary, Counseling, and Testing (VCT), sero
survey, dan Survei Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP).
Gambar 2.1 Diagram Kasus Baru HIV Positif Sampai Tahun 2015.
12
Insidensi adanya kecenderungan peningkatan penemuan kasus baru
sampai tahun 2013. Namun pada tahun 2015 terjadi penurunan kasus AIDS
menjadi sebesar 3.127 kasus. Diperkirakan hal tersebut terjadi karena
jumlah pelaporan kasus AIDS dari daerah masih rendah. Secara kumulatif,
kasus AIDS sampai dengan tahun 2015 sebesar 68.197 kasus dan 4.600 kasus
adalah anak-anak.
Gambar 2.2 Grafik Jumlah Kasus Baru AIDS sampai tahun 2014.
13
Gambar 2.3 Peta Epidemi HIV di Indonesia Tahun 2014.
14
Gambar 2.4 Diagram Kasus Baru AIDS Menurut Jenis Kelamin Di
Indonesia Tahun 2015.
15
Gambar 2.5 Diagram Persentase Kasus Baru AIDS Menurut Kelompok
Umur Tahun 2015.
16
jarum suntik bersama. Program Locations of Needle and Syringe Program
(NSP) dan Methadone Maintenance Therapy (MMT) yang dilakukan
pemerintah meningkatkan dari 120 pada 2006 menjadi 194 and 74 pada
2011.
17
wiraswasta (8.037 kasus). Sementara sebanyak 21.434 orang tidak diketahui
jenis pekerjaannya.
Angka kematian atau Case Fatality Rate (CFR) adalah jumlah kematian
(dalam persen) dibandingkan jumlah kasus dalam suatu penyakit tertentu.
CFR AIDS di Indonesia pada tahun 2001 menunjukkan penurunan yang
signifikan kemudian naik kembali sampai tahun 2004, selanjutnya sampai
tahun 2015 menunjukkan kecenderungan menurun. Pada tahun 2015, CFR
AIDS di Indonesia sebesar 0,67%. Sebanyak 22.000 orang meninggal
disebabkan oleh tuberkulosis.
18
Gambar 2.8 Grafik Angka Kematian Akibat AIDS yang Dilaporkan
Tahun 2000-2014.
19
E. Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia
Penanggulangan adalah segala upaya yang meliputi pelayanan
promotif, preventif, diagnosis, kuratif dan rehabilitatif yang ditujukan untuk
menurunkan angka kesakitan, angka kematian, membatasi penularan serta
penyebaran penyakit agar wabah tidak meluas ke daerah lain serta
mengurangi dampak negatif yang ditimbulkannya (Permenkes, 2013). Upaya
yang dilakukan meliputi penanggulangan HIV AIDS secara secara
komprehensif dan berkesinambungan yang terdiri atas promosi kesehatan,
pencegahan, diagnosis, pengobatan dan rehabilitasi terhadap individu,
keluarga, dan masyarakat.Penanggulangan HIV/AIDS diatur dalam undang
undang yang bertujuan untuk (Permenkes, 2013):
1. Menurunkan hingga meniadakan infeksi HIV baru
2. Menurunkan hingga meniadakan kematian yang disebabkan oleh
keadaan yang berkaitan dengan AIDS
3. Meniadakan diskriminasi terhadap ODHA
4. Meningkatkan kualitas hidup ODHA
5. Mengurangi dampak sosial ekonomi dari penyakit HIV dan AIDS pada
individu, keluarga dan masyarakat
Program penanggulangan AIDS di Indonesia mempunyai 4 pilar, yang
semuanya menuju pada paradigm Zero new Infection, Zero AIDS-related
death dan Zero Discrimination.Empat pilar tersebut adalah (Pedoman ARV,
Kemenkes, 2011):
1. Pencegahan (prevention) yang meliputi pencegahan, penularan HIV
melalui transmisi seksual dan alat suntik, pencegahan di lembaga
pemasyarakatan dan rumah tahanan, pencegahan HIV dari ibu ke bayi
(Prevention Mother to Child Transmission, PMTCT), pencegahan
dikalangan pelanggan penjaja seks, dan lain-lain.
2. Perawatan, dukungan dan pengobatan (PDP) yang meliputi penguatan
dan pengembangan layanan kesehatan, pencegahan dan pengobatan
infeksi oportunistik, pengobatan antiretroviral dan dukungan serta
pendidikan dan pelatihan bagi ODHA. Program PDP terutama ditujukan
20
untuk menurunkan angka kesakitan dan rawat inap, angka kematian
yang berhubungan dengan AIDS, dan meningkatkan kualitas hidup
orang yang terinfeksi HIV (berbagai stadium). Pencapaian tujuan
tersebut dapat dilakukan antara lain dengan pemberian terapi
antiretroviral (ARV).
3. Mitigasi dampak berupa dukungan psikososio ekonomi.
4. Penciptaan lingkungan yang kondusif (creating enabling environment)
yang meliputi program peningkatan lingkungan yang kondusif adalah
dengan penguatan kelembagaan dan manajemen, manajemen program
serta penyelarasan kebijakan dan lain-lain.
Upaya penanggulangan HIV/AIDS dituangkan oleh pemerintah dalam
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2013,
tentang Penanggulangan HIV/AIDS, meliputi penanggulangan HIV/AIDS
secara komprehensif dan berkesinambungan yang terdiri dari promosi
kesehatan, pencegahan, diagnosis, pengobatan dan rehabilitasi terhadap
individu, keluarga dan masyarakat. Srategi yang digunakan dalam kegiatan
penanggulangan HIV/AIDS meliputi (Permenkes 21, 2013):
a. Meningkatkan pemberdayaan masyarakat dalam penanggulangan
HIV dan AIDS melalui kerjasama nasional, regional, dan global
dalam aspek legal,organisasi, pembiayaan, fasilitas pelayanan
kesehatan dan sumber daya manusia.
b. Memprioritaskan komitmen nasional dan internasional.
c. Meningkatkan advokasi, sosialisasi, dan mengembangkan kapasitas.
d. Meningkatkan upaya penanggulangan HIV dan AIDS yang merata,
terjangkau, bermutu, dan berkeadilan serta berbasis bukti, dengan
mengutamakan pada upaya preventif dan promotif.
e. Meningkatkan jangkauan pelayanan pada kelompok masyarakat
berisiko tinggi, daerah tertinggal, terpencil, perbatasan dan
kepulauan serta bermasalah kesehatan.
f. Meningkatkan pembiayaan penanggulangan HIV dan AIDS.
21
g. Meningkatkan pengembangan dan pemberdayaan sumber daya
manusia yang merata dan bermutu dalam penanggulangan HIV dan
AIDS.
h. Meningkatkan ketersediaan, dan keterjangkauan pengobatan,
pemeriksaan penunjang HIV dan AIDS serta menjamin keamanan,
kemanfaatan, dan mutu sediaan obat dan bahan/alat yang diperlukan
dalam penanggulangan HIV dan AIDS.
i. Meningkatkan manajemen penanggulangan HIV dan AIDS yang
akuntabel, transparan, berdayaguna dan berhasil guna.
22
4. Pasien dengan koinfeksi HBV dengan dasar penyakit liver kronis tanpa
memandang jumlah CD4 dan stadium WHO.
5. Pada pasangan dengan HIV negatif dan HIV positif untuk mengurangi
transmisi penyakit menjadi pasangan yang tidak infektif.
6. Wanita hamil dan menyusui dengan HIV.
23
ARV adalah menjaga viral load dibawah 50 kopi/ml, dikatakan gagal terapi
jika viral load mencapai 1000 kopi/ml. Keberhasilan terapi ARV
memerlukan kepatuhan terapi bagi pasien HIV/AIDS. Kepatuhan pasien
harus selalu dipantau dan dievaluasi secara teratur pada setiap
kunjungan.Kegagalan terapi ARV sering diakibatkan oleh ketidakpatuhan
pasien mengkonsumsi ARV (Kemenkes 2011).
24
Mendorong pengguna NAPZA suntik khususnya pecandu
opiate menjalani prigram terapi rumatan
Mendorong pengguna NAPZA suntik untuk melakukan
pencegahan penularan seksual
g. Layanan koseling dan tes HIV serta pencegahan/imunisasi hepatitis.
3. Pencegahan penularan HIV dari ibu ke anaknya (PPIA):
a. Pencegahan penularan HIV pada perempuan usia reproduktif
b. Pencegahan kehamilan yang tidak direncanakan pada perempuan
dengan HIV
c. Pencegahan penularan HIV dari ibu hamil dengan HIV ke bayi yang
dikandungnya
d. Pemberian dukungan psikologis, sosial dan perawatan kepada ibu
dengan HIV beserta anak dan keluarga.
25
diketahui HIV positif tanpa memandang nilai CD4, dikenal dengan Test and
Treat. Tujuan lain dari SUFA adalah mencegah penularan (menurunkan viral
load) yang dikenal dengan Treatment as Prevention (TasP). Implementasi
SUFA menekankan pada TOP, merupakan kepanjangan dari Temukan, Obati,
dan Pertahankan. Temukan yang positif memiliki arti menawarkan tes HIV
kepada semua orang yang memiliki perilaku berisiko, penawaran tes HIV
rutin kepada ibu hamil, pasien TB, Hepatitis, IMS, pasangan ODHA.
Populasi kunci yang status HIV masih negatif, dilakukan tes ulang minimal
setiap 6 bulan selanjutnya adalah obati. Ditemukan, yaitu memberikan
pengobatan bagi mereka yang sudah memenuhi kriteria diantaranya memulai
pengobatan Antiretroviral (ARV) secara dini bila jumlah CD4 350 atau
memulai pengobatan ARV tanpa melihat jumlah CD4-nya pada ODHA
dengan stadium klinis AIDS 3 atau 4, ibu hamil, pasien TB, pasien Hepatitis
dan populasi kunci yang HIV (+). Obat ARV dapat berupa kombinasi
beberapa obat atau obat Kombinasi Dosis Tetap atau Fixed Dose
Combination (KDT/FDC). Pertahankan yang diobati arrtinya, memastikan
pasien patuh minum obat seumur hidup dengan memberikan pendampingan
terutama pada awal pengobatan, serta memberikan dukungan yang tepat dari
keluarga, komunitas, kelompok dukungan sebaya dan layanan kesehatan.
26
BAB III
ANALISIS DATA
27
rawat inap dengan total tempat tidur sebanyak 621, 4 Puskesmas non rawat
inap, 25 Puskesmas keliling, dan 63 Puskesmas pembantu.
28
Kecamatan Gesi (22.228 jiwa). Namun, berdasarkan kepadatannya
2
Kecamatan Jenar paling lengang (419 jiwa per km ) dan Kecamatan Sragen
paling padat (2.524 jiwa per km2).
29
dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Angka tertinggi untuk kasus
HIV terjadi pada tahun 2016 yaitu sebanyak 99 kasus, disusul pada tahun
2017 sebanyak 81 kasus, dan tahun 2015 sebanyak 53 kasus. Sedangkan 3
kasus tertinggi untuk kasus AIDS didapatkan pada tahun 2015 sebanyak 120
kasus, disusul tahun 2017 sebanyak 106 kasus, dan tahun 2016 sebanyak 64
kasus. Namun, angka kematian pada penderita HIV/AIDS meningkat pada
tahun 2017 sejumlah 18 orang.
Tabel 3.3 Jumlah Penderita HIV/AIDS berdasarkan Jenis Kelamin
30
Menurut Data DKK Sragen tahun 2017, jumlah penderita HIV/AIDS
terbanyak pada kisaran usia 25-49 tahun. Berdasarkan jenis kelamin pada tahun
2017, jumlah penderita laki – laki (101 kasus) lebih banyak daripada
perempuan (86 kasus). Hal ini berbeda dengan tahun sebelumnya yaitu pada
tahun 2016 dimana jumlah penderita perempuan (91 kasus) lebih banyak
daripada laki-laki (72 kasus). Wanita lebih sering disasar untuk melakukan
skrining HIV/AIDS, misalnya pada ibu hamil trimester satu sehingga lebih
mudah untuk dideteksi.
31
Tabel 3.5 Jumlah Kasus HIV/AIDS yang Meninggal Dunia
32
BAB IV
PEMBAHASAN
33
maupun spiritual. Kondisi tersebut akan semakin berat apabila perempuan
tersebut dalam kondisi hamil, melahirkan, dan mempunyai bayi.
Proporsi HIV/AIDS berdasarkan umur di Kabupaten Sragen, terbanyak
dilaporkan pada umur 25-49 tahun kemudian disusul oleh kelompok dengan
umur ≥ 50 tahun. Sebagian besar kasus HIV/AIDS terjadi pada kelompok usia
produktif. Berdasarkan data nasional, pola penularan HIV berdasarkan
kelompok umur dalam 5 tahun terakhir tidak banyak berubah. Infeksi HIV
paling banyak terjadi pada kelompok usia produktif 25-49 tahun yaitu
sebanyak 16.421 kasus, diikuti kelompok usia 20-24 tahun dengan 3.587 kasus.
Kejadian kasus AIDS di Indonesia berdasarkan kelompok umur memiliki pola
yang jelas. Kasus AIDS yang dilaporkan sejak tahun 1987 sampai September
2014 terbanyak pada kelompok usia 20-29 tahun (32,9%), diikuti kelompok
usia 30- 39 tahun (28,5%) dan 40-49 tahun (10,7%) (Kemenkes RI, 2014).
Usia produktif dan seksual aktif memungkinkan seseorang dapat menularkan
HIV/AIDS secara lebih mudah melalui hubungan seksual.
34
risiko tinggi untuk terkena HIV, tetapi selama ini suami dari bumil yang
terdeteksi positif HIV sulit untuk diajak melakukan pemeriksaan karena takut
mengetahui dirinya terkena HIV.
35
di Kabupaten Sragen. Hal ini akan lebih mengefisienkan waktu dan dana yang
diperlukan.
Partisipasi masyarakat merupakan aspek penting dalam penanggulangan
HIV/AIDS. Oleh karena itu, pemerintah perlu melakukan tindakan guna
meningkatkan, memperbaiki dan partisipasi kesadaran masyarakat. Tindakan
yang dapat dilakukan berupa penyebaran informasi, membuat program yang
berhubungan dengan penanggulangan HIV/AIDS, peningkatan kapasitas bagi
lembaga-lembaga swadaya masyarakat untuk memberikan informasi yang tepat
tentang HIV/AIDS pada warga. Kegiatan seperti ini perlu dilakukan guna
mencegah infeksi baru pada masyarakat luas serta menurunkan stigma dan
diskriminasi pada ODHA.
Dinas Kesehatan Kabupaten Sragen memanfaatkan peran Kelompok
Dukungan Sebaya (KDS) dalam menanggulangi HIV/AIDS. DKK Sragen akan
memfasilitasi pertemuan rutin antara KDS dengan ODHA setiap bulannya
yang bertujuan sebagai wadah untuk saling membantu dan bertukar pikiran.
Layanan kesehatan berbasis masyarakat lebih spesifik pada kegiatan kelompok
dukungan sebaya atau pendamping ODHA terbukti efektif untuk memperbaiki
kualitas bagi ODHA. Terlepas dari berbagai persoalan dalam memaknai
pendampingan terhadap ODHA yang terkadang justru menjadikan
ketergantungan bagi ODHA dalam mengakses layanan kesehatan, untuk
melakukan perubahan sosial dibutuhkan keterlibatan aktif penggerak
masyarakat yang dapat memobilisasi masyarakat dan komunitas. Peran
penggerak masyarakat adalah:
a. menjembatani kebutuhan masyarakat dengan fasillitas layanan kesehatan,
b. melakukan penguatan (pengetahuan, kapasitas) bagi kader-kader untuk
memberdayakan masyarakat di lingkungan sekitarnya (terutama kelompok
yang termarjinalkan),
c. melakukan pengorganisasian kader masyarakat untuk memperjuangkan
kepentingan masyarakat setempat.
Pelatihan para pendamping ODHA juga merupakan salah satu upaya
DKK Sragen untuk meningkatkan upaya pengendalian HIV/AIDS. Para
36
pendamping orang dengan HIV/AIDS (ODHA) diharapkan tak hanya
mempunyai pengetahuan tapi juga keterampilan dalam urusan mendampingi.
Peranan pendamping sangat penting terutama untuk mengingatkan para ODHA
agar tidak lupa minum obat dan mengajarkan bagaimana cara hidup sehat
terutama dalam berhubungan seks.
Kegiatan pelatihan ini bertujuan meningkatkan kapasitas pendamping
sebaya dalam mendampingi orang terinfeksi HIV. Mereka juga diharapkan
meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan sebagai pendamping
sebaya dalam mendorong agar orang terinfeksi tidak putus obat. Pelatihan yang
dilakukan dapat bekerja sama dengan institusi ataupun universitas yang dapat
menyediakan jasa petugas pelayanan kesehatan sehingga mendapatkan sumber
daya manusia yang mencukupi.
Pelatihan yang dilakukan juga mencakup pelatihan tentang pemulasaraan
jenazah dengan HIV/AIDS. Kasus penolakan terhadap jenazah orang dengan
HIV/AIDS (ODHA) masih sering terjadi di masyarakat. Minimnya
pengetahuan masyarakat tentang HIV/AIDS membuat mereka tidak berani
melakukan proses pemulasaran jenazah ODHA karena khawatir tertular
penyakit tersebut. Oleh karena itu, DKK Sragen memiliki program untuk
melakukan pelatihan ke petugas puskesmas, petugas rumah sakit, KDS maupun
kader kesehatan di setiap desa di Kabupaten Sragen untuk melakukan
pemulasaraan jenazah yang mengidap HIV/AIDS. Terdapat penekanan
terhadap pentingnya alat pelindung diri (APD) dalam pemulasaraan jenazah
ODHA. APD yang harus digunakan meliputi sarung tangan (handscoen),
celemek plastik (aprone), penutup kepala (hairnet), penutup hidung (masker),
kacamata dan sepatu boot. Selain pemenuhan APD bagi pemulasaraan jenazah,
prinsip pemulasaran jenazah ODHA yang perlu diperhatikan adalah
pengelolaan air limbah saat memandikan jenazah yang harus dilokalisir
sedemikian rupa. Perawatan jenazah penderita penyakit menular dilaksanakan
dengan selalu menerapkan kewaspadaan universal tanpa mengakibatkan tradisi
budaya dan agama yang dianut keluarganya. Setiap petugas kesehatan terutama
perawat harus dapat menasehati keluarga jenazah dan mengambil tindakan
37
yang sesuai agar penanganan jenazah tidak menambah risiko penularan
penyakit seperti halnya hepatitis-B, AIDS, kolera dan sebagainya. Tradisi yang
berkaitan dengan perlakuan terhadap jenazah tersebut dapat diizinkan dengan
memperhatikan hal yang telah disebut di atas, seperti misalnya mencium
jenazah sebagai bagian dari upacara penguburan.
Pentingnya APD dalam penanggulangan HIV/AIDS juga mendapatkan
perhatian khusus dari DKK Sragen dimana terdapat penyediaan APD minimal
satu buah di setiap kecamatan. APD mencakup berbagai peralatan dan pakaian
seperti kaca mata, baju pelindung, sarung tangan, rompi, tutup telinga dan
respirator.
Tingginya angka HIV/AIDS di Kabupaten Sragen mendorong
diadakannya kerja sama lintas sektoral. DKK Sragen telah melakukan kerja
sama dengan Dinas Pendidikan Kabupaten Sragen untuk memasukkan
pendidikan seks ke kurikulum Sekolah Menengah Atas dimana salah satu
implementasi nyatanya berupa penyuluhan pendidikan seks saat Masa
Orientasi Siswa (MOS). Kerja sama lainnya yang telah dilakukan adalah
kerjasama antara DKK Sragen dengan Komisi Penanggulangan AIDS yang
diimplementasikan dalam berbagai kegiatan yang ditujukan untuk
perkembangan ODHA ke arah yang lebih baik. Salah satu contoh nyata dari
kerja sama ini adalah pertemuan rutin ODHA dan KDS seperti yang telah
dijelaskan di paragraf sebelumnya. Kerja sama lintas sektoral berguna untuk
memberi informasi tentang epidemi HIV/AIDS, menumbuhkan kepedulian
lintas sektor terhadap upaya penanggulangan HIV/AIDS, dan meningkatkan
kerja sama lintas sektor dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS. Tanpa kerja
sama lintas sektor, upaya penanggulangan HIV/AIDS tidak akan berhasil.
DKK Sragen juga telah memberikan ARV secara gratis kepada penderita
HIV dengan indikasi tertentu. ARV (Antiretroviral) adalah pengobatan
antivirus yang diberikan pada orang dengan HIV positif. Obat-obatan ini bukan
untuk menyembuhkan HIV tapi berfungsi untuk menekan aktivitas virus
seminimal mungkin. Hingga saat ini belum ada obat yang bisa menyembuhkan
HIV. Namun diharapkan dengan pengobatan ARV, ODHA akan bisa hidup
38
normal seperti orang lain dan memperpanjang usia harapan hidup. Lini pertama
obat ARV yang ditetapkan oleh pemerintah adalah 2 NRTIs (nucleoside
reverse transcriptase inhibitors) disertai 1 NNRTIs (non-nucleosidereverse
transcriptase inhibitors), misalnya zidovudin diberikan bersama lamivudin dan
nevirapin. 2 NRTIs dan PIs (protease inhibitor) yang diperkuat ritonavir
merupakan lini ke dua, sedangkan lini ketiga adalah gabungan antara integrase
inhibitor, generasi ke dua dari NNRTIs dan PIs. Pasien HIV/AIDS yang
memulai terapi dengan ARV, data diri lengkap mereka akan dimasukkan ke
dalam rekam medis dan register terapi ARV.
Pemulangan penderita HIV/AIDS ke daerah asal sesuai dengan KTP juga
merupakan salah satu sarana penanggulangan HIV AIDS yang dilakukan oleh
DKK Sragen. Hal ini merupakan salah satu alternatif pilihan ketika individu
yang bersangkutan tidak dapat ditanggulangi dengan cara yang sudah
disebutkan di atas dengan harapan individu yang bersangkutan mendapatkan
penanggulangan yang layak dan sesuai di daerah asalnya.
39
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
HIV/AIDS merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi
Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang menyerang sistem kekebalan
tubuh. Infeksi tersebut menyebabkan penderita mengalami penurunan
ketahanan tubuh sehingga sangat mudah terinfeksi berbagai macam penyakit
lain. Kasus HIV/AIDS di Kabupaten Sragen cenderung meningkat dalam 6
tahun terakhir dengan angka tertinggi untuk kasus HIV/AIDS terjadi pada
tahun 2017 yaitu sebanyak 187 kasus. Selain itu, jumlah kematian akibat
HIV/AIDS semakin meningkat, dimana angka kematian tertinggi terdapat
pada tahun 2017 yaitu sebanyak 18 jiwa.
Tingginya angka kasus HIV/AIDS di Kabupaten Sragen disebabkan
oleh berbagai macam faktor yang tersebar di bidang politik, ekonomi, dan
sosial budaya masyarakat setempat. Pendidikan mengenai kesehatan seksual
masih dianggap sebagai sesuatu yang tabu, sehingga akses terbatas terhadap
informasi dan pelayanan kesehatan seksual dan reproduksi masih kurang.
Selain itu, ketakutan, stigma dan diskriminasi terhadap ODHA (orang yang
hidup dengan HIV/AIDS) masih menjadi hambatan utama.
Pencegahan penularan HIV telah dijelaskan dalam Permenkes Nomor
21 tahun 2013 tentang penangguangan HIV/AIDS. Pencegahan penularan
HIV dapat dicapai secara efektif dengan cara menerapkan pola hidup aman
dan tidak berisiko. Pencegahan penularan HIV dibagi menjadi pencegahan
penularan HIV melalui hubungan seksual, hubungan non seksual, serta dari
ibu ke anaknya (PPIA). Selain itu juga dengan program penggunaan
Antiretroviral (ARV) untuk pengobatan dan pencegahan atau dikenal dengan
Strategic Use of ARV (SUFA). Penanganan pada penderita HIV/AIDS di
Indonesia berpedoman pada tata Laksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi
Antiretroviral (Kemenkes, 2011), meliputi perawatan (care), dukungan
(support), dan pengobatan (treatment).
40
B. Saran
1. Mengadakan kerja sama melalui pengajuan CSR (Corporate Social
Responsibility) kepada perusahaan-perusahaan untuk pendanaan program
penanggulangan HIV dan AIDS di Kabupaten Sragen.
2. Memberikan dukungan psikososial terhadap ODHA dengan menbentuk
"Rumah Bersama" yang di dalamnya berisi pembelajaran/edukasi
sekaligus praktik untuk para ODHA terkait menjaga diri agar
meminimalisir kemungkinan terjangkitnya infeksi oportunistik,
meningkatkan motivasi minum obat karena disediakan satu waktu yang
bersama-sama minum obat, memberdayakan ODHA melalui penggalian
minat, bakat dan keterampilan sehingga masyarakat tidak memandang para
ODHA sebagai beban.
3. Mengubah stigma masyarakat, bahwa ODHA adalah orang-orang yang
telah melanggar norma sehingga tidak perlu diperhatikan, yaitu melalui
penyebarluasan informasi mengenai bagaimana cara penularan HIV.
Dengan ini, diharapkan masyarakat dapat mengubah pandangan mereka
dan lebih peduli terhadap penderita HIV/AIDS.
4. Membentuk klinik Rumatan Metadon untuk menjaring kasus dari pemakai
jarum suntik dan menekan risiko terjadinya HIV/AIDS akibat pemakaian
jarum suntik bersama karena narkoba.
5. Membentuk klinik IMS untuk menjaring kasus penyakit menular seksual.
41
DAFTAR PUSTAKA
42
Keputusan Menteri Kesehatan RI, 2011. Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan
Terapi Antiretroviral pada orang Dewasa. Jakarta: Ditjen PP PL.
43